Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN KASUS

Tn. R, 52 Tahun Dengan Pneumothoraks

Pembimbing:
dr. Hanafi, Sp.P
dr. Asti Arieyani, MARS

Penyusun:
dr. Zenna al kautsar ch

PESERTA INTERNSHIP
RS. PELABUHAN TG. PRIOK DKI JAKARTA
PERIODE 15 NOVEMBER 2022 – 14 MEI 2023
ILUSTRASI KASUS

I. Identitas Pasien

Nama : Tn. R

Tempat/Tanggal Lahir : Jakarta, 02 November 1970

Jenis kelamin : Laki - laki

Umur : 52 tahun 2 bulan

Tanggal masuk : 09 Januari 2023

Tanggal periksa : 09 Januari 2023

II. Anamnesis (alloanamnesis kepada ibu pasien)

A. Keluhan Utama

Sesak nafas

B. Keluhan Tambahan

Batuk tidak berdahak, nyeri perut

C. Riwayat Penyakit Sekarang

Seorang pasien laki - laki berusia 52 tahun datang ke IGD RS Pelabuhan Jakarta diantar
keluarga nya dengan keluhan sesak nafas sejak 5 hari SMRS. Sesak nafas tidak dipengaruhi
oleh cuaca maupun aktivitas, Pasien mengatakan sesak nafas dirasakan semakin memberat
setiap hari nya terutama pada pagi ini. selain itu juga pasien mengalami keluhan batuk tidak
berdahak serta rasa nyeri pada bagian perut tanpa di ikuti rasa mual maupun muntah. Os
mengatakan tidak memiliki keluhan lain.
D. Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien mengatakan memiliki riwayat penyakit TB paru.

E. Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada keluhan serupa di keluarga.

F. Riwayat Konsumsi obat rutin

Pasien mengaku tidak memiliki riwayat konsumsi obat rutin setelah tuntas pengobatan
TB paru.

G. Riwayat operasi

Pasien mengaku tidak memiliki riwayat operasi sebelum nya.

III. PEMERIKSAAN FISIK

STATUS GENERALIS

Keadaan umum : Tampak sakit berat

Kesadaran : Compos mentis

Tanda Vital :

a. Tekanan darah : 197/173

b. Frekuensi nadi : 125x/menit

c. Frekuensi napas : 38x/menit

d. Suhu : 36.8oC

e. Saturai O2 : 68%
PEMERIKSAAN FISIK UMUM (09 januari 2023)

Kepala : Normocephali, tidak ada deformitas

Mata : Kelopak kedua mata tidak cekung, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik,
pupil bulat isokor, RCL +/+, RCTL +/+, air mata (+/+)

Telinga : Tidak terdapat sekret, deformitas -/-

Hidung : Terdapat sekret, deviasi septum(-) deformitas -/-, pernafasan cuping hidung (-)

Mulut : Mukosa bibir lembab, lidah kotor (-)

Faring : Hiperemis (-), T1/T1

Leher :Pembesaran KGB (-), trakea ditengah, JVP 5+2cmH2O, retraksi


sternokleidomastoideus -/-

Thoraks : Bentuk dan gerakan dada tampak simetris, tidak ada retraksi interkostal

Jantung :

 Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak


 Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS IV linea midklavikularis sinistra
 Perkusi : Batas jantung atas di ICS III
Batas jantung kanan di ICS IV linea sternalis dextra
Batas jantung kiri di ICS V linea midklavikularis sinistra
 Auskultasi : Bunyi jantung I & II regular, murmur (-), gallop (-)

Paru :

 Inspeksi : tampak dada kanan tertinggal, retraksi (-/-).


 Palpasi : fremitus kanan redup, krepitasi (-/-), nyeri (-/-).
 Perkusi : Hipersonor pada lapang paru kanan.
 Auskultasi : vesikuler kanan menurun / kiri dalam batas normal, rhonki (-/-), wheezing (+/-).
Abdomen :

 Inspeksi : Datar
 Auskultasi : Bising usus (+)
 Perkusi : Timpani pada seluruh lapang abdomen
 Palpasi : Supel (+)

Ekstremitas :

 Atas : Akral hangat, edema (-/-), turgor kulit baik, CRT <2s
 Bawah : Akral hangat, edema (-/-), turgor kulit baik, CRT <2s

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Hematologi GDS Antigen SARS-Cov-2


Darah Lengkap (09/01/23) (09/01/23) (09/01/23)
Hb : 15.90 g/dL 154 (H)
Ht : 48.00
Hasil : Negatif
Eritrosit : 5.71 juta/uL
Leukosit : 21.78 x 103 /uL (H)
Trombosit: 417.000 /uL
MCV : 84.1 fL
MCH : 27.80 pg
MCHC : 33.00 g/dL
RDW-SD : 38.70 fL
RONTGEN

Expertise dr. Adji, Sp.Rad: kemungkinan pleuropneumothoraks kanan dan TB paru lama.

V. RESUME

Seorang pasien laki - laki berusia 52 tahun datang ke IGD RS Pelabuhan Jakarta diantar
keluarga nya dengan keluhan sesak nafas sejak 5 hari SMRS. Pasien mengatakan sesak nafas
dirasakan semakin memberat setiap hari nya terutama pada pagi ini tanpa dipengaruhi cuaca
maupun aktivitas. Keluhan lain juga dialami pasien seperti batuk tidak berdahak serta rasa
nyeri pada bagian perut. Os mengatakan bahwa ia memiliki riwayat TB paru. pada
pemeriksaan tanda tanda vital didapatkan pasien tampak sakit berat, compos mentis, TD
197/173, nadi 125x/menit, pernafasan 38x/menit, suhu 36.8 oC. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan adanya pergerakan dinding dada sebelah kiri tertinggal, hipersonor pada perkusi
lapang paru kiri, dan pada auskultasi didapatkan suara nafas vesikuler paru kiri menurun
disertai adanya wheezing. Pada pemeriksaan lab di dapatkan adanya peningkatan leukosit, dan
pada pemeriksaan radiologi di dapatkan kesan pleuropneumothoraks kiri disertai TB paru
lama.

VI. WORKING DIAGNOSIS


Pneumothoraks spontaneous sekunder dextra

VII. TATALAKSANA
 Terapi IGD
- IVFD Asering + aminofilin 1 amp / 12 jam
- Neurosanbe 1 amp
- Captopril 25mg SL
- NRM O2 15 lpm
- Nebulasi NS 2CC
 Konsul dr. Hanafi, Sp.P
- Oksigenasi
- Lakukan pemasangan chest tube, konsul Sp.B
- Rujuk koja karna tidak memiliki alat yang memadai.
 Konsul dr. Sueb, Sp.B
- Rujuk koja, tidak ada alat WSD
 Konsul dr. Hendra, Sp.PD
- Nicardipin 0,5mg/jam
- Meropenem 3x1 gr
- NGT 6x200cc
- Amlodipin 1x10mg
- Lisinopril 1x10mg
- Bisoprolol 1 x 2.5mg
- Cek AGD, Elektrolit dan konsul syaraf
VIII. PROGNOSIS

Quo ad vitam : dubia ad malam


Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad sanationam : dubia ad malam
PEMBAHASAN KASUS

2.1 Definisi Pneumothoraks


Pneumothoraks adalah keadaan dimana terdapatnya udara bebas dalam kavum pleura,
maka akan menimbulkan penekanan terhadap paru-paru sehingga paru-paru tidak mengembang
dengan maksimal.1
Pneumothoraks adalah suatu keadaan terdapatnya udara atau gas di dalam rongga pleura
yang menyebabkan kolapsnya paru yang terkena.2

2.2 Epidemiologi Pneumothoraks


Didapatkan kejadian pneumothoraks lebih sering terjadi pada penderita dewasa yang
berumur sekitar 40 tahun. Laki-laki lebih sering daripada wanita. Pneumothoraks sering dijumpai
pada musim penyakit batuk.3
Di RSUD Dr. Soetomo, kurang lebih 55% kasus pneumothoraks disebabkan oleh
penyakit dasar seperti tuberkulosis paru aktif, tuberkulosis paru disertai fibrosis atau emfisema
lokal, bronkitis kronis, dan emfisema. Selain karena penyakit tersebut, pneumothoraks pada
wanita sering terjadi berulang. Kematian akibat pneumothoraks sekitar 12%.3
Tercatat keterlambatan diagnosis tension pneumothoraks dapat menyebabkan kematian
sebanyak 31% - 91%. Pneumothoraks sendiri diperkirakan terjadi sekitar 5% dari total pasien
dengan trauma mayor dan 1 - 3% pada pasien perawatan intensif dengan ventilasi mekanik.2

2.3 Etiologi Pneumothoraks


Etiologi trauma thoraks kebanyakan diakibatkan oleh kecelakaan lalu lintas yang
umumnya berupa trauma tumpul. Trauma tajam terutama disebabkan oleh tikaman dan
tembakan. Trauma pada bagian ini juga sering disertai dengan cedera pada tempat lain, misalnya
di abdomen, kepala, dan ekstremitas sehingga merupakan cedera majemuk. Tersering disebabkan
oleh ruptur spontan pleura visceralis yang menimbulkan kebocoran udara ke rongga toraks.
Pneumotoraks dapat terjadi berulang kali.3,4
Penyebab tension pneumothoraks secara umum tidak jauh berbeda dengan
pneumothoraks non tension, yang membedakan adalah adanya peningkatan tekanan intrapleura.
Beberapa hal yang dapat menyebabkan tension pneumothoraks antara lain :
● Pneumothoraks spontan sekunder, akibat komplikasi pneumothoraks spontan
akibat penyakit paru, seperti Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK),
tuberkulosis (TBC), fibrosis kistik, dan tumor paru.
● Trauma pada dada yang menyebabkan kerusakan pada pleura viseral.
● Tindakan pemasangan kateter vena juguler atau pungsi pleura.
● Ventilasi mekanik.

2.4 Klasifikasi Pneumothoraks


1. Pneumotoraks Spontan Primer dan Spontan Sekunder
Pneumothoraks spontan sering terjadi. Pneumothoraks spontan primer terjadi pada pasien
tanpa penyakit paru yang mendasari. Diartikan bahwa udara masuk rongga pleura tanpa
terjadinya trauma dan tanpa riwayat penyakit paru. Biasanya disebabkan oleh pecahnya suatu
bleb subpleura yang biasanya terdapat di daerah apeks paru. Faktor risiko utama adalah
merokok. Pada beberapa kasus, biasanya terjadi di usia 18 - 40 tahun, faktor herediter juga
memegang peranan, umumnya penderita berpostur tinggi dan kurus.4
Pneumothoraks spontan sekunder terjadi sebagai komplikasi penyakit paru dasarnya
(underlying lung disease). Pasien memiliki gangguan pada paru nya yang menyebabkan udara
masuk rongga pleura, karena kerusakan yang terjadi di paru. Beberapa penyakit yang sering
menjadi penyebab pneumothoraks antara lain PPOK tipe emfisema dan tuberkulosis paru. Tanda
dan gejala pasien ini mungkin dapat buruk, tergantung penyakit dasarnya.4

2. Pneumotoraks Iatrogenik dan Traumatika


Pneumothoraks iatrogenik merupakan bagian pneumothoraks traumatika yang
menyebabkan kerusakan pada pleura yang menyebabkan udara memasuki rongga pleura,
diakibatkan oleh intervensi medis. Contohnya akibat pungsi pleura, biopsi pleura, trans thoracal
biopsi, dan intervensi medis lainnya di paru.4
Pneumothoraks traumatika dibagi berdasarkan penyebabnya, yaitu trauma tumpul dan
trauma tajam yang mengenai dinding dada. Tatalaksana nya hampir sama dengan yang
disebabkan bukan karena trauma.4

3. Tension Pneumothoraks
Tension pneumothoraks merupakan salah satu kegawatdaruratan medis, karena terjadi
akumulasi dari udara di rongga pleura ketika bernapas. Karena udara masuk ke dalam rongga
pleura namun tidak bisa keluar meninggalkan paru, maka terjadi peningkatan tekanan
intratorakal setiap kali bernapas dan menghasilkan pergeseran yang masif dari mediastium ke
arah paru yang sehat dan menekan ke pembuluh darah.4

4. Closed Pneumothoraks dan Open Pneumothoraks


Paru terdapat di dalam rongga dada, dengan rongga yang sempit. Jika udara masuk ke
dalam rongga ini, mau itu dari dalam paru (closed pneumothoraks) ataupun dari luar rongga dada
(open pneumothoraks) akan terjadi kolaps dari paru yang menyebabkan orang tersebut tidak bisa
bernapas, walaupun dengan saluran pernapasan yang terbuka.4

5. Pneumomediastinum
Pneumomediastinum adalah adanya gas di jaringan mediastinum yang terjadi secara
spontan atau trauma. Tekanan intra-alveolar yang berlebihan menyebabkan pecahnya alveoli
yang berbatasan dengan mediastinum. Udara keluar ke jaringan ikat sekitarnya dan masuk ke
dalam mediastinum. Trauma esofagus atau peningkatan tekanan jalan napas juga mungkin
menjadi penyebab pneumomediastinum.4

2.5 Patofisiologi Pneumothoraks


Secara garis besar ke semua jenis pneumothoraks mempunyai dasar patofisiologi yang
hampir sama. Jika terdapat hubungan terbuka antara rongga pleura dan udara luar atau alveolus
(robeknya dinding alveolus karena distensi berlebihan), udara masuk dan menyebabkan paru
ipsilateral kolaps. Pernapasan di paru yang sehat juga terganggu, karena tekanan pleura pada sisi
yang sehat turun saat inspirasi dan akibatnya mediastinum bergeser ke sisi yang sehat. Saat
ekspirasi, tekanan meningkat dan mediastinum bergeser ke arah sisi kolaps. Pergerakan
mediastinum ini mengurangi perjalanan pernapasan dari paru-paru yang sehat. Terjadinya
hiperekspansi rongga pleura tanpa disertai gejala pre-shock atau shock dikenal dengan simple
pneumotoraks. Berkumpulnya udara pada rongga pleura dengan tidak adanya hubungan dengan
lingkungan luar dikenal dengan closed pneumothoraks. Pada saat ekspirasi, udara juga tidak
dipompakan balik secara maksimal karena elastic recoil dari kerja alveoli tidak bekerja
sempurna. Akibatnya bila proses ini semakin berlanjut, hiperekspansi rongga pleura pada saat
inspirasi menekan mediastinal ke sisi yang sehat dan saat ekspirasi udara terjebak pada paru dan
rongga pleura karena luka yang bersifat katup tertutup terjadilah penekanan vena cava, shunting
udara ke paru yang sehat, dan obstruksi jalan napas. Akibatnya dapat timbul gejala pre-shock
atau shock oleh karena penekanan vena cava. Kejadian ini dikenal dengan tension pneumotoraks.
Pada open pneumotoraks terdapat hubungan antara cavum pleura dengan lingkungan
luar. Open pneumotoraks dikarenakan trauma penetrasi. Perlukaan dapat inkomplit (sebagai
pleura parietalis) atau komplit (pleura parietalis dan viseralis). Bilamana terjadi open
pneumotoraks inkomplit pada saat inspirasi udara luar akan masuk ke dalam cavum pleura.
Akibatnya paru tidak dapat mengembang karena tekanan intrapleural tidak negatif. Efeknya akan
terjadi hiperekspansi cavum pleura yang menekan mediastinal ke sisi paru yang sehat. Saat
ekspirasi mediastinal bergeser ke mediastinal yang sehat. Terjadilah mediastinal flutter.
Bilamana open pneumotoraks komplit, maka saat inspirasi dapat terjadi hiperekspansi cavum
pleura mendesak mediastinal ke arah yang sehat dan saat ekspirasi udara terjebak pada cavum
pleura dan paru karena luka yang bersifat katup tertutup. Selanjutnya terjadilah penenkanan vena
cava, shunting udara ke paru yang sehat, dan obstruksi jalan napas. Akibatnya dapat timbul
gejala pre-shock atau shock oleh karena penekanan vena cava, yang dapat menyebabkan tension
pneumotoraks.1,3
Pneumotoraks spontan terjadi karena lemahnya dinding alveolus dan pleura viseralis.
Apabila dinding alveolus dan pleura viseralis yang lemah ini pecah, maka akan ada fistel yang
menyebabkan udara masuk ke rongga pleura. Mekanismenya pada saat inspirasi rongga dada
mengembang, disertai pengembangan rongga pleura yang kemudian menyebabkan paru dipaksa
ikut mengembang seperti balon yang dihisap. Pengembangan paru menyebabkan tekanan
intraaveolar menjadi negatif sehingga udara luar masuk. Pada pneumotoraks spontan, paru-paru
kolaps, udara inspirasi bocor masuk ke rongga pleura sehingga tekanan intrapleura tidak negatif.
Pada saat ekspirasi mediastinal kembali lagi ke posisi semula. Proses yang terjadi ini dikenal
dengan mediastinal flutter.
Pneumotoraks ini terjadi biasanya pada satu sisi, sehingga respirasi paru sisi sebaliknya
masih bisa menerima udara secara maksimal dan bekerja dengan sempurna.3

2.6 Diagnosis Pneumothoraks


Tanda dan gejala pasien pneumothoraks dapat berbeda-beda tergantung tipe
pneumothoraks. Gejala dan keluhan yang sering muncul, yaitu :3,4
1. Tidak ada tanda dan gejala klinis yang muncul (Pneumothoraks Spontan Primer),
terutama pasien muda dan sehat, kemungkinan karena dapat mentoleransi penurunan
kapasitas vital dan tekanan parsial oksigen dengan cukup baik.
2. Sesak napas, didapatkan pada hampir 80-100% pasien. Seringkali sesak dirasakan
mendadak dan makin lama semakin berat. Penderita bernapas tersengal, pendek-pendek,
dengan mulut terbuka.
3. Nyeri dada, yang didapatkan pada 75-90% pasien. Nyeri dirasakan tajam pada sisi yang
sakit, terasa berat, tertekan dan terasa lebih nyeri pada gerak pernapasan.
4. Batuk-batuk, yang didapatkan pada 25-35% pasien.
5. Denyut jantung meningkat
6. Kulit mungkin tampak sianosis karena kadar oksigen darah yang kurang.
7. Tidak menunjukan gejala (silent) yang terdapat pada 5-10% pasien, biasanya pada jenis
pneumotoraks spontan primer.
Pada pemeriksaan fisik toraks, didapatkan:3,4
1. Inspeksi :
a. Dapat terjadi pencembungan pada sisi yang sakit (hiperekspansi dinding dada)
b. Pada waktu respirasi, bagian yang sakit gerakannya tertinggal
c. Trakea dan jantung terdorong ke sisi yang sehat
2. Palpasi :
a. Pada sisi yang sakit, ruang antar iga dapat normal atau melebar
b. Iktus jantung terdorong ke sisi toraks yang sehat
c. Fremitus suara melemah atau menghilang pada sisi yang sakit
3. Perkusi :
a. Suara ketok pada sisi sakit, hipersonor sampai timpani dan tidak menggetar
b. Batas jantung terdorong ke arah toraks yang sehat, apabila tekanan intrapleura
tinggi.

4. Auskultasi :
a. Pada bagian yang sakit, suara napas melemah sampai menghilang, suara vokal
melemah dan tidak menggetar serta bronkofoni negatif.
Pemeriksaan penunjang untuk memperkuat diagnosis pneumothoraks, dapat dilakukan
foto rontgen thoraks atau pun CT-scan thoraks.
1. Foto rontgen thoraks dapat ditemukan hal berikut :
a. Bagian pneumothoraks tampak lusen, rata, dan paru yang kolaps akan tampak
garis yang merupakan tepi paru. Kadang-kadang paru yang kolaps tidak
membentuk garis, akan tetapi berbentuk lobuler sesuai dengan lobus paru.
b. Paru yang mengalami kolaps hanya tampak seperti massa radio-opaque yang
berada di daerah hilus. Keadaan ini menunjukan kolaps paru yang luas sekali.
Besar kolaps paru tidak selalu berkaitan dengan berat ringan nya sesak napas yang
dikeluhkan.
c. Jantung dan trakea bisa saja tampak terdorong ke sisi paru yang sehat, spatium
intercostalis melebar, diafragma mendatar dan terlihat tertekan ke bawah. Apabila
ada pendorongan jantung atau trakea ke arah paru yang sehat, kemungkinan besar
telah terjadi tension pneumothoraks dengan tekanan intrapleura yang tinggi.
2. CT-scan thoraks dapat memperlihatkan gambaran yang lebih spesifik untuk membedakan
antara emfisema bullosa dengan pneumothoraks, batas antara udara dengan cairan intra
dan ekstrapulmoner, dan CT-scan dapat membantu membedakan pneumothoraks spontan
primer atau sekunder.
3. Pada kejadian pneumothoraks perlu dipertimbang kemudian beberapa hal berikut :
a. Pneumomediastinum, terdapat ruang atau celah hitam pada tepi jantung, mulai
dari basis sampai apeks. Hal ini terjadi apabila pecahnya fistel mengarah
mendekati hilus, sehingga udara yang dihasilkan akan terjebak di mediastinum.
b. Emfisema subkutan, diketahui bila ada rongga hitam di bawah kulit. Hal ini
biasanya merupakan kelanjutan dari pneumomediastinum. Udara yang tadi nya
terjebak di mediastinum dapat bergerak menuju daerah yang lebih tinggi, yaitu ke
daerah leher. Di sekitar leher terdapat banyak jaringan ikat yang mudah ditembus
oleh udara, sehingga bila jumlah udara yang terjebak cukup banyak maka dapat
mendesak jaringan ikat tersebut, bahkan sampai ke daerah dada depan dan
belakang.
c. Bila disertai adanya cairan di dalam rongga pleura, maka akan tampak permukaan
cairan sebagai garis datar di atas diafragma.
4. Analisa gas darah, dapat memberikan gambaran hipoksemia walaupun pada beberapa
pasien sering tidak diperlukan pemeriksaan ini. Pada pasien dengan gagal napas yang
berat secara signifikan meningkatkan mortalitas sebesar 10%.

2.7 Diagnosis Banding Pneumothoraks


● Miokardium infark (MI) akut
Napas yang pendek dan sakit dada, namun sakit dada pada miokardium infark biasanya
spesifik seperti di hancurkan, sentral, dan menyebar ke daerah rahang, tangan, kiri atau
perut. Namun pasien dengan MI bisa juga superinfeksi dengan penyakit paru.4
● Emfisema
Kehilangan fungsi jaringan paru dan digantikan dengan rongga berudara yang juga
menyebabkan napas yang pendek-pendek berkurangnya asupan udara dan meningkatnya
resonansi pada pemeriksaan. Emfisema merupakan penyakit kronik, bedanya emfisema
difus sedangkan pneumotoraks lokal. Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan foto rontgen
harus dilakukan dan dinilai teliti sehingga dapat didapatkan hasil yang akurat.4

2.8 Tatalaksana Pneumothoraks


Tujuan utama penatalaksanaan pneumothoraks adalah untuk mengeluarkan udara dari
rongga pleura dan menurunkan risiko kekambuhan.
1. Primary survey dengan memperhatikan : airway, breathing, dan circulatio
2. Tindakan dekompresi, sebaiknya dilakukan seawal mungkin pada kasus pneumothoraks
yang luas nya mencapai >15%. Tujuan tindakan ini untuk mengurangi tekanan
intrapleura dengan membuat hubungan antara kavum pleura dengan udara luar, dengan
cara sebagai berikut :
a. Menusukkan jarum melalui dinding dada terus masuk ke rongga pleura, tekanan
akan berubah menjadi negatif karena mengalir ke luar melalui jarum tersebut.
b. Membuat hubungan dengan udara luar melalui kontra ventil, dengan cara :
i. Memakai infus set jarum ditusukkan ke dinding dada sampai ke dalam
rongga pleura, kemudian infus set yang telah dipotong pada pangkal
saringan tetesan di masukkan ke botol yang berisi air.
ii. Jarum abbocath merupakan alat yang terdiri dari gabungan jarum dan
kanula. Setelah jarum ditusukkan pada posisi yang tetap di dinding toraks
sampai menembus ke kavum pleura, jarum dicabut dan kanula tetap
ditinggal. Kanula ini kemudian dihubungkan dengan pipa plastik infus set.
Pipa infus ini selanjutnya dimasukkan ke botol yang berisi air.
iii. Pipa water sealed drainage (WSD) pipa khusus (kateter thoraks) steril,
dimasukkan ke rongga pleura dengan perantraan troakar atau dengan
bantuan klem penjempitan. Setelah troakar masuk, maka thoraks kateter
segera dimasukkan ke rongga pleura dan kemudian troakar dicabut,
sehingga hanya kateter thoraks yang masih tertinggal di rongga pleura.
Selanjutnya ujung kateter thoraks yang ada di dada dan di pipa kaca WSD
dihubungkan melalui pipa plastik lainnya. Penghisapan dilakukan terus-
menerus apabila tekanan intrapleura tetap positif. Penghisapan ini
dilakukan dengan memberi tekanan negatif sebesar 10 - 20 cm H2O.

2.9 Tuberkulosis (TB) Paru


Tuberkulosis (TB) adalah penyakit kronik menular yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak
berspora, tidak berkapsul, dan bersifat tahan asam sehingga sering dikenal dengan Basil Tahan
Asam (BTA). Bakteri ini berukuran lebar 0,3 - 0,6 mm dan panjang 1 - 4 mm. Dinding
M.tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi (60%).5
Kuman TB ini sering ditemukan menginfeksi parenkim paru dan menyebabkan TB paru,
namun bakteri ini juga memiliki kemampuan menginfeksi organ tubuh lainnya (TB ekstra paru)
seperti pleura, kelenjar limfe, tulang, dan organ ekstra paru yang lain. 6,7

2.10 Patogenesis Tuberkulosis


Terdapat 5 macam bakteri yang berkaitan dengan infeksi TB, yaitu Mycobacterium
tuberculosis, Mycobacterium bovis, Mycobacterium africanum, Mycobacterium microti, dan
Mycobacterium cannettii. Bakteri M.tuberculosis merupakan bakteri yang paling sering
ditemukan, dan penularan antar manusia melalui udara.6,7
Agen penularan M.tuberculosis selain manusia, seperti hewan tidak ditemukan berperan
pada penyebaran TB, tetapi bakteri M.bovis dikatakan dapat ditermukan bertahan dalam susu
sapi yang terinfeksi dan melakukan penetrasi ke mukosa saluran cerna serta menginvasi jaringan
limfe orofaring saat seseorang mengonsumsi susu dari sapi yang terinfeksi tersebut. Angka
kejadian manusia yang terinfeksi oleh M.bovis sudah berkurang oleh karena sudah ada proses
pasteurisasi susu dan telah dilakukan strategi kontrol tuberkulosis yang efektif pada ternak.
Infeksi terhadap organisme lain relatif jarang ditemukan. 6
Tuberkulosis biasanya menular dari manusia ke manusia dengan cara udara melalui
percik renik atau droplet nucleus (<5 microns) yang keluar saat seseorang yang terinfeksi TB
paru atau TB laring ini batuk, bersin, atau berbicara. Selain itu, percik renik juga dapat
dikeluarkan saat pasien TB paru melakukan prosedur pemeriksaan yang menghasilkan produk
aerosol, seperti saat induksi sputum, bronkoskopi, dan saat dilakukannya manipulasi terhadap
lesi atau pengolahan jaringan di laboratorium. Percik renik merupakan partikel yang kecil
dengan diameter 1 sampai 5 micron dapat menampung 1 - 5 basili, dan bersifat sangat infeksius.
Bakteri ini dapat bertahan di dalam udara sampai 4 jam. 6
Setelah terjadi inhalasi nukleus percik renik kemudian menuju percabangan trakea-
bronkial dan dideposit di dalam bronkiolus respiratorik atau alveolus, di mana nukelus percik
renik tersebut akan dicerna oleh makrofag alveolus yang kemudian akan memproduksi sebuah
respon nonspesifik terhadap basilus. Infeksi bergantung pada kapasitas virulensi bakteri dan
kemampuan pada bakterisid makrofag alveolus mencernanya. Apabila basilus dapat bertahan
melewati mekanisme pertahanan awal, basilus dapat bermultiplikasi di dalam makrofag. 6
Tuberkel bakteri akan tumbuh perlahan dan membelah setiap 23 - 32 jam sekali di dalam
makrofag. Mycobacterium tidak memiliki endotoksin atau eksotoksin, sehingga tidak adanya
reaksi imun segera pada host yang terinfeksi. Bakteri akan bertumbuh dalam 2-12 minggu dan
jumlahnya akan mencapai 103 - 104, ini merupakan jumlah yang cukup untuk menyebabkan
respon imun seluler yang dapat dideteksi dalam reaksi uji tuberkulin skin test. Bakteri kemudian
akan merusak makrofag dan mengeluarkan produk berupa tuberkel basilus dan kemokin yang
akan menstimulasi respon imun.7
Sebelum imunitas seluler berkembang, tuberkel basili akan menyebar melalui sistem
limfatik menuju nodus limfe hilus, lalu masuk ke dalam aliran darah dan menyebar ke organ lain.
Beberapa organ dan jaringan memiliki resistensi terhadap replikasi basili ini. Sumsum tulang,
hepar, dan limpa ditemukan hampir selalu mudah terinfeksi oleh Mycobacteria. Organisme akan
dideposit di bagian atas (apeks) paru, ginjal, tulang, dan otak, dimana kondisi organ-organ
tersebut sangat menunjang pertumbuhan bakteri Mycobacteria. Pada beberapa kasus, bakteri
dapat berkembang dengan cepat sebelum terbentuknya respon imun seluler spesfik yang dapat
membatasi multiplikasinya. 6,7
Patogenesis tuberkulosis di bagi menjadi tuberkulosis primer dan tuberkulosis post
primer, ini di bagi berdasarkan oleh waktu terinfeksinya tuberkulosis. Pada tuberkulosis primer,
kuman masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan paru sehingga akan terbentuk
suatu sarang pneumoni, yang disebut sarang primer atau efek primer. Sarang primer dapat timbul
di bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan
kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan ini
diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional). Efek primer
bersama-sama dengan limfangitis regional dikenal dengan kompleks primer. Kompleks primer
ini akan mengalami salah satu kejadian berikut, yaitu : 6,7
1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad integrum)
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis fibrotik,
sarang perkapuran di hilus)
3. Menyebar dengan cara :
a. Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya. Contohnya, epituberkulosis yaitu
penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang
membesar, sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas, dengan akibat
atelektasis. Kuman tuberkulosis akan menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat
ini ke lobus yang atelektasis dan menimbulkan peradangan pada lobus yang
atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis.
b. Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru
sebelahnya atau tertelan
c. Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan dengan
daya tahan tubuh, jumlah, dan virulensi kuman. Sarang yang ditimbulkan dapat
sembuh secara spontan, akan tetapi bila tidak terdapat imunitas yang adekuat,
penyebaran akan menimbulkan keadaan cukup gawat seperti tuberkulosis milier,
meningitis tuberkulosis, typhobacillosis Landouzy. Penyebara ini juga
menimbulkan tuberkulosis pada organ tubuh lain, seperti tulang, ginjal, genitalia,
dan organ lainnya. Komplikasi dan penyebaran ini, mungkin dapat terjadi :
i. Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan
terbelakang pada anak setelah ensefalomeningitis, tuberkuloma) atau
ii. Meninggal
Pada tuberkulosis post primer akan muncul bertahun-tahun setelah tuberkulosis primer,
biasanya terjadi pada usia 15 - 40 tahun. Bentuk tuberkulosis ini yang menjadi masalah
kesehatan masyarakat, karena dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis ini dimulai dengan
sarang dini, yang umumnya terletak di segmen apeks lobus superior maupun lobus inferior.
Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumoni kecil. Sarang pneumoni ini akan
berjalan mengikuti salah satu jalan, sebagai berikut : 6
1. Diresopsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat
2. Sarang akan meluas dan segera terjadi proses penyembuhan dengan penyebabkan
jaringan fibrosis. Selanjutnya akan terjadi pengapuran dan akan sembuh dalam bentuk
perkapuran. Sarang tersebut dapat menjadi aktif kembali dengan membentuk jaringan
keju dan menimbulkan kaviti bila jaringan keju dibatukkan keluar.
3. Sarang pneumoni meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kaviti akan
muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti awalnya berdinding tipis,
kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti sklerotik). Kaviti akan menjadi :
a. Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumoni baru. Sarang pneumoni ini
akan mengikuti pola perjalanan seperti yang disebutkan diatas.
b. Memadat dan membungkus diri (enkapsulasi), dan disebut tuberkuloma.
Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tetapi mungkin pula aktif
kembali, mencair lagidan menjadi kaviti lagi.
c. Bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity atau kaviti menyembuh
dengan membungkus diri dan akhirnya mengecil. Kemungkinan berakhir sebagai
kaviti yang terbungkus dan menciut sehingga keliatan seperti bintang (stellate
shaped)
2.11 Diagnosis Tuberkulosis
Diagnosis tuberculosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan bakteriologi, radiologi, dan pemeriksaan penunjang
lainnya.6
Gejala klinis tuberculosis dapat di bagi menjadi dua golongan, yaitu gejala local dan
gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru, maka gejala lokal berupa gejala respiratori.6
1. Gejala respiratori
a. Batuk ≥ 2 minggu
b. Batuk darah
c. Sesak napas
d. Nyeri dada
Gejala respiratori sangat bervariasi, mulai dari tidak tampak gejala sampai gejala yang cukup
berat, hal ini tergantung dari luas lesi. Terkadang pasien terdiagnosis saat melalukan
pemeriksaan medical check up. Bila bronkus belum terkena dalam proses penyakit, maka pasien
mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan
selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar.
2. Gejala sistemik
a. Demam
b. Gejala sistemik lain, seperti malaise, keringat malam, anoreksia, dan berat badan
menurun.
3. Gejala tuberculosis ekstra paru
Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terkena, misalnya pada
limfadenitis tuberculosis akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah
bening, pada meningitis tuberculosis akan terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis
tuberculosis terdapat gejala sesak napas dan kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya
terdapat cairan. 6

Pemeriksaan fisik pada tuberkulosis paru akan dijumpai, tergantung dari organ yang
terlibat. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit, umumnya tidak (atau sulit sekali)
menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior, terutama
daerah apeks dan segmen posterior (S1 dan S2), serta daerah apeks lobus inferior (S6). Pada
pemeriksaan dapat ditemukan suara napas bronkial, amforik, suara nafas melemah, ronki basah,
tanda-tanda penarikan paru, diafragma, dan mediastinum.6
Pada kasus pleuritis tuberkulosis, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari banyaknya
cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas melemah
sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan.6
Pada pemeriksaan bakteriologi, bertujuan untuk menemukan kuman tuberkulosis. Bahan
untuk pemeriksaan bakteriologi ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal,
bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar, urin, feses, dan jaringan biopsy. Cara
pengumpulan bahan pemeriksaan :6
 Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS) :
o Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
o Pagi (keesokan harinya)
o Sewaktu / spot (pada saat mengantarkan dahak pagi)
 Atau 3 hari berturut – turut.
Interpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah bila :
 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negative : BTA positif
 1 kali positif, 2 kali negative : ulang BTA 3 kali, kemudian
 Bila 1 kali positif, 2 kali negative : BTA positif
 Bila 3 kali negative : BTA negatif

Pemeriksaan penunjang lainnya untuk mendukung diagnosis tuberkulosis, dengan


pemeriksaan radiologi, berupa foto thoraks PA. Pemeriksaan lain dengan indikasi, seperti foto
lateral, top-lordotik, oblik, atau CT-Scan. Pada pemeriksaan foto thoraks, tuberculosis dapat
memberi gambaran bermacam-macam (multiform). Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai
lesi TB aktif :6
 Bayangan berawan / nodular di segmen apical dan posterior lobus atas paru dan
segmen superior lobus bawah
 Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular
 Bayangan bercak milier
 Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
Gambaran radiologi yang dicurigai lesi TB inaktif :
 Fibrotik
 Kalsifikasi
 Schwarte atau penebalan pleura
Luluh paru (destroyed lung) :
 Gambaran menunjukan kerusakan jaringan paru yang berat, biasanya secara klinis
disebut luluh paru. Gambarannya berupa atelektasis, ektasis atau multikaviti, dan fibrosis
parenkim paru. Sulit untuk menilai aktiviti lesi atau penyakit hanya berdasarkan
gambaran radiologi tersebut.
Luas lesi yang tampak pada foto thoraks untuk kepentingan pengobatan (terutama pada kasus
BTA negatif) :
 Lesi minimal, bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas tidak
lebih dari sela iga 2 depan (volume paru yang terletak di atas chondrosternal junction
dari iga kedua depan dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra
torakalis 5), serta tidak dijumpai kaviti
 Lesi luas, bila proses lebih luas dari lesi minimal.

2.12 Tatalaksana Tuberkulosis


Pengobatan tuberkulosis bertujuan untuk menyembuhkan, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, mengurangi penularan ke orang lain, dan mencegah perkembangan dan
penularan resisten obat. Pengobatannya terbagi menjadi 2 fase, yaitu fase intensif (2 - 3 bulan)
dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Panduan obat yang digunakan terdiri dari panduan obat utama
dan tambahan.
Obat anti tuberkulosis (OAT) yang dipakai terdiri dari :
1. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah
a. Isoniazid (INH)
b. Rifampisin
c. Pirazinamid
d. Streptomisin
e. Etambutol
2. Jenis obat tambahan lain nya (lini 2)
a. Kanamisin
b. Amikasin
c. Kuinolon
d. Obat yang masih dalam penelitian yaitu makrolid dan amoksisilin + asam
klavulanat
e. Beberapa obat lain yang belum tersedia di Indonesia : kapreomisin, sikloserino,
PAS (dulu tersedia), derivat rifampisin dan INH, dan thioamides (ethionamide
dan prothionamide)
Obat anti tuberkulosis di bagi berdasarkan kemasan :
1. Obat tunggal yaitu disajikan secara terpisah, masing-masing INH, rifampisin,
pirazinamid, dan etambutol.
2. Obat kombinasi dosis tetap (Fixed Dose Combination - FDC), kombinasi dosis tetap ini
terdiri ri 3 atau 4 obat dalam satu tablet.

Tabel 3. Dosis Rekomendasi OAT Lini Pertama untuk Dewasa

Dosis rekomendasi harian 3 kali per minggu

dosis maksimum (mg) dosis maksimum (mg)


(mg/kgBB) (mg/kgBB)

Isoniazid (H) 5 (4 - 6) 300 10 (8 - 12) 900

Rifampisin (R ) 10 (8 - 12) 600 10 (8 - 12) 600

Pirazinamid (Z) 25 (20 - 30) - 35 (30 - 40) -


Etambutol (E) 15 (15 - 20) - 30 (25 - 35) -

Streptomisin (S) 15 (12 - 18) - 15 (12 - 18) -

Panduan obat standar untuk pasien dengan kasus baru diasumsikan peka terhadap OAT,
kecuali :
1. Pasien tinggal di daerah dengan prevalensi tinggi resistensi isoniazid ATAU
2. Terdapat riwayat kontak dengan pasien TB resistan obat. Pasien kasus baru seperti ini
cenderung memiliki pola resistensi obat yang sama dengan kasus sumber. Pada kasus ini
sebaiknya dilakukan uji kepekaan obat sejak awal pengobatan dan sementara menunggu
hasil uji kepakaan obat maka panduan obat yang berdasarkan uji kepekaan obat kasus
sumber sebaiknya dimulai.

Tabel 4. Panduan Obat Standar Pasien TB Kasus Baru (dengan asumsi atau diketahui peka OAT)

Fase Intensif Fase Lanjutan

RHZE 2 bulan RH 4 bulan

Berdasarkan hasil penelitian meta analisis WHO merekomendasikan panduan standar untuk
TB paru kasus baru adalah 2RHZE / 4RH
Rekomendasi A

Jika tidak tersedia panduan dosis harian, dapat dipakai panduan 2RHZE/4R3H3 dengan
syarat harus disertai pengawasaan yang lebih ketat secara langsung untuk setiap dosis obat
Rekomendasi B

Pada akhir fase intensif, bila hasil apusan dahak tetap positif maka fase sisipantidak lagi
direkomendasikan namun dievaluasi untuk TB-RO (uji kepekaan), sementara pengobatan
diteruskan sebagai fase lanjutan
Rekomendasi A

Pasien TB paru sebaiknya mendapat panduan obat : 2RHZE / 4RH, selama 6 bulan. Untuk
TB ekstra paru biasanya diperlukan durasi pengobatan yang lebih dari 6 bulan.
Semua pemberian layanan harus memastikan pemantauan pengobatan dan dukungan untuk
semua pasien TB agar dapat menjalankan pengobatan hingga selesai.

Tabel 5. Dosis Obat Antituberkulosis Kombinasi Dosis Tetap

Fase Intensif Fase Lanjutan

2 bulan 4 bulan

BB Harian Harian 3x/minggu Harian 3x/minggu

RHZE RHZ RHZ RH RH

150/75/400/2 150/75/400 150/150/500 150/75 150/150


75

30 - 37 2 2 2 2 2

38 - 54 3 3 3 3 3

55 - 70 4 4 4 4 4

> 71 5 5 5 5 5

Penentuan dosis obat terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan rentang dosis yang
telah ditentukan oleh WHO merupakan dosis efektif atau masih termasuk dalam batas dosis
terapi dan non toksik. Pada kasus yang mendapat obat kombinasi dosis tetap tersebut, bila
mengalami efek samping serius harus dirujuk ke rumah sakit / dokter spesialis paru / fasilitas
yang mampu menanganinya.
Panduan pengobatan anti tuberkulosis di bagi menjadi :
● TB paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto thoraks : lesi luas
○ 2RHZE / 4RH atau 2RHZE / 6RHE atau 2 RHZE / 4R3H3
● TB paru kasus kambuh, sebelum ada hasil uji resistensi dapat diberikan 2 RHZES / 1
RHZE. Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi. Bila tidak terdapat hasil uji
resistensi dapat diberikan obat RHE selama 5 bulan.
● TB paru kasus gagal pengobatan, sebelum ada hasil uji resistensi, seharusnya diberikan
obat lini 2 (contoh panduan : 3-6 bulan kanamisin, ofloksasin, etionamid, sikloserin
dilanjutkan 15 - 18 bulan ofloksasin, etionamid, sikloserin). Dalam keadaan tidak
memungkinkan pada fase awal dapat diberikan 2 RHZES / 1 RHZE. Fase lanjutan sesuai
dengan hasil uji resistensi. Bila tidak terdapat hasil uji resistensi dapat diberikan obat
RHE selama 5 bulan.
○ Dapat pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan hasil yang
optimal.
○ Sebaiknya kasus gagal pengobatan di rujuk ke dokter spesialis paru.
● TB paru kasus putus berobat
○ Berobat ≥ 4 bulan
■ BTA saat ini negatif, klinis dan radiologi tidak aktif atau ada perbaikan
maka pengobatan OAT dihentikan. Bila gambaran radiologi aktif, lakukan
analisa lebih lanjut untuk memastikan diagosis TB dengan
mempertimbangkan juga kemungkinan penyakit paru lain. Bila terbukti
TB maka pengobatan dimulai dari awal dengan panduan obat yang lebih
kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama.
■ BTA saat ini positif, pengobatan dimulai dari awal dengan panduan obat
yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama
○ Berobat < 4 bulan
■ Bila BTA positif, pengobatan dimulai dari awal dengan panduan obat
yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan lebih lama
■ Bila BTA negatif, gambaran foto thoraks positif TB aktif pengobatan
diteruskan. Jika memungkinkan sebaiknya dilakukan uji resistensi
terhadap OAT.
● TB paru kasus kronik
○ Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi, berikan
RHZES. Jika telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan hasilnya. (Minimal
terdapat 4 macam OAT yang masih sensitif, ditambah obat lini 2 seperti kuinolon,
betalaktam, makrolid,dll) pengobatan minimal 18 bulan.
○ Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup.
○ Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan penyembuhan.
○ Kasus TB paru kronik perlu di rujuk ke dokter spesialis paru

Tabel 6. Ringkasan Panduan Obat

Kategori Kasus Panduan obat yang Keterangan


dianjurkan

I - TB paru BTA 2RHZE / 4RH atau


+, 2RHZE / 6HE
- BTA -, lesi *2RHZE/4R3H3
luas

II - Kambuh - RHZE / Bila streptomisin


- Gagal 1RHZE / alergi, dapat diganti
pengobatan sesuai hasil kanamisin
uji resistensi
atau
2RHZES /
1RHZE / 5
RHE
- 3-6
kanamisin,
ofloksasin,
etionamid,
sikloserin /
15 - 18
ofloksasin,
etionamid,
sikloserin
atau
2RHZES /
1RHZE /
5RHE

III TB paru putus Sesuai lama


berobat pengobatan
sebelumnya, lama
berhenti minum obat
dan keadaan klinis,
bakteriologi dan
radiologi saat ini
(lihat uraiannya) atau
*2RHZES/1RHZE /
5R3H3E3

IV TB paru BTA - , lesi 2RHZE / 4RH atau


minimal 6RHE atau
*2RHZE / 4R3H3

V Kronik RHZES / sesuai hasil


uji resistensi
(minimal OAT yang
sensitif) + obat lini 2
(pengobatan minimal
18 bulan)

VI MDR TB Sesuai uji resisteni +


OAT lini 2 atau H
seumur hidup
Pengobatan tambahan pada kasus TB paru :
1. Apabila terdapat proses lain di paru, maka pengobatan tambahan ditujukan terhadap
penyebabnya. Misalnya : terhadap proses TB paru diberi OAT, terhadap bronkitis dengan
obstruksi saluran napas diberi antibiotik dan bronkodilator.4
2. Istirahat total untuk menghindari kerja paru yang berat.4
3. Pemberian antibiotik profilaksis setelah tindakan bedah dapat dipertimbangkan untuk
mengurangi insiden komplikasi, seperti emfisema.3

2.13 Mekanisme Tuberkulosis Paru disertai Pneumothoraks


Pada pasien tuberkulosis (TB) paru dapat terjadi beberapa komplikasi, baik sebelum
pengobatan TB atau dalam masa pengobatan maupun setelah selesai pengobatan. Komplikasi
yang dapat timbul, seperti batuk darah, pneumothoraks, gagal napas, gagal jantung, dan efusi
pleura.5
Pneumothoraks pada pasien TB paru adalah termasuk pneumothoraks spontan sekunder,
dimana terjadi ruptur pada lesi paru yang terletak dekat permukaan pleura sehingga udara
inspirasi memperoleh akses ke rongga pleura. Lesi pleura ini juga dapat terjadi pada penyakit
emfisema, abses paru, karsinoma, dan banyak proses lainnya. Pneumotoraks spontan sekunder
ditemukan di daerah apeks lobus superior dan inferior. Terbentuknya bleb akibat perembesan
udara melalui alveoli yang didindingnya ruptur kemudian melalui jaringan interstisial ke lapisan
jaringan ikat yang berada di subpleura viseralis. Sebab pecahnya dinding alveolus ini belum
diketahui dengan pasti, diduga ada dua faktor yaitu penyakit paru dan peningkatan tekanan
intraalveolar akibat batuk.5
Alveoli disanggah oleh kapiler yang mempunyai dinding lemah dan mudah robek,
apabila alveoli tersebut melebar dan tekanan di dalam alveoli meningkat maka udara masuk
dengan mudah menuju ke jaringan peribronkovaskular. Gerakan napas yang kuat, infeksi, dan
obstruksi endobronkial merupakan beberapa faktor prepitasi yang memudahkan terjadinya
robekan, selanjutnya udara yang terbebas dari alveoli dapat mengoyak jaringan fibrotik
peribronkovaskular. Robekan pleura ke arah yang berlawanan dengan hilus akan menimbulkan
pneumotoraks sedangkan robekan yang mengarah ke hilus dapat menimbulkan
pneumomediastinum. 5
DAFTAR PUSTAKA

1. Guyton, Arthur,C.Hall, John, E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta : EGC;
2012. P 598.
2. Hisyam B, Budiono E. Pneumothoraks Spontan. Dalam : Setiadi S, Alwi I, Sudoyo AW,
Simadibrata MK, Setiyohadi B, Syam AF. Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 6. Jakarta : Interna
Publishing. 2014. h. 1063 – 1068.
3. Sudoyo, Aru, W. Setiyohadi, Bambang, Alwi, Idrus. K, Marcellus, Simadibrata. Setiati,
Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakulta Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. P.
1063.
4. Bowman, Jeffrey, Glenn. Pneumothorax, Tension and Traumatic. Updated: 2010 May 27;
cited 2011 January 10. Available from http://emedicine.medscape.com/article/827551
5. Freixnet JR, Caminero JA. Marchena, J, Rodriguet PM, Casimiro JM, Hussein M.
Spontaneous Pneumothorax and Tuberculosis : long term follow up. Eur Respir. 2011;
126 – 131.
6. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2006
7. Burhan E. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tatalaksana Tuberkulosis. Jakarta :
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2020

Anda mungkin juga menyukai