Anda di halaman 1dari 8

Journal Reading

Expert Reaction to Questions About COVID-19 and Viral Load

Disusun Oleh :
Hasna Luthfiah Fitriani
(1102015090)

Pembimbing :
dr. Ferryal Basbeth, Sp.F, DFM

TUGAS KEPANITERAAN KLINIK ILMU FORENSIK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

JAKARTA
Expert Reaction to Questions About COVID-19 and Viral Load

Jurnal ini memuat kumpulan tentang sejumlah pertanyaan yang disampaikan oleh beberapa

jurnalis serta penjelasan para ahli luar negeri tentang Viral load pada pandemi COVID-19.

Pernyataan pertama dijelaskan oleh Dr Michael Skinner yaitu seorang virologi

berasal dari Universitas Imperial London. Ia mengatakan bahwa virus bukan termasuk racun,

sampai partikel virus tersebut dapat masuk dan bereplikasi di dalam sel. Hal tersebut

menunjukkan bahwa suatu infeksi dapat dimulai dengan hanya sejumlah kecil partikel

(dosis). Jumlah minimum aktual bervariasi antara berbagai virus dan para ahli belum tahu

berapa dosis infeksi minimum untuk COVID-19, tetapi mereka memperkirakan sekitar

seratus partikel virus. Ketika dosis atau partikel virus tersebut mencapai saluran pernapasan

manusia, maka satu atau dua sel akan terinfeksi serta akan terjadi proses replikasi

menghasilkan banyak virus baru dalam 12-24 jam. Pada COVID-19, para ahli belum

mengetahui seberapa banyak dan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk infeksi. Virus-

virus baru akan menginfeksi lebih banyak sel di dekatnya yaitu yang dapat mencakup sel dari

sistem pertahanan tubuh kita juga dan seluruh proses tersebut terus berulang.

Pernyataan selanjutnya adalah pada saat infeksi awal, sistem kekebalan tubuh bawaan (innate

immune system) mendeteksi adanya tanda infeksi virus yang menyebabkan peningkatan

respons imun. Tanda tersebut bukan menunjukkan adanya respon kekebalan yang spesifik-

virus, atau umumnya disebut sebagai antibodi. Namun, karakteristik respon anti virus ini

lebih bersifat luas, tidak spesifik, dan ditandai dengan munculnya interferon dan sitokin,

protein kecil yang memiliki efek samping seperti gejala: demam, sakit kepala, nyeri otot.

Respon ini menghasilkan dua tujuan yaitu, 1). Memperlambat replikasi dan penyebaran virus,

2). Menjaga manusia tetap hidup sampai respon kekebalan didapat (Acquired Immune

System) muncul. Sistem kekebalan didapat ini muncul sekitar 2 hingga 3 minggu pada virus

yang baru terdeteksi dan berperan dalam menghentikan dan membersihkan infeksi, serta

2
meletakkan memori kekebalan untuk memungkinkan respon yang lebih cepat jika kita

terinfeksi lagi di masa depan. Hal ini adalah dasar dari kekebalan yang diharapkan pada

korban dan vaksinasi.

Selain itu, kedua sistem kekebalan ini (bawaan dan didapat) jelas bekerja dengan baik
pada 80% dari populasi masyarakat yang sembuh oleh penyakit yang mirip dengan influenza
ringan. Pada orang yang lebih tua, atau orang dengan defisiensi imun, aktivasi sistem
kekebalan yang didapat mungkin lebih lambat atau sedikit. Hal ini menandakan bahwa virus
dapat terus bereplikasi dan menyebar di dalam tubuh, sehingga menyebabkan kekacauan dan
kerusakan. Peran lain dari sistem kekebalan tubuh didapat adalah ikut serta atau membantu
sistem kekebalan tubuh bawaan dan menunjukkan bahwa respons imun bawaan akan terus
meningkat seiring virus bereplikasi dan menyebar. Bagian dari respon imun bawaan adalah
terjadinya peradangan. Proses tersebut berperan pada awal infeksi virus tetapi proses tersebut
mengakibatkan kerusakan luas pada jaringan yang tidak terinfeksi (bystander effect). Apabila
proses ini terlalu besar dan tidak terkendali disebut juga dengan “badai sitokin”. Skenario
yang dijelaskan di atas menggambarkan apa yang terjadi setelah infeksi dengan dosis virus
'normal', baik pada mereka yang sembuh, mereka yang membutuhkan perawatan intensif dan
mereka (terutama lansia dan / atau pasien immunosupresif) yang mungkin meninggal.
Mereka dengan komorbiditas lain mungkin meninggal karena stres tambahan dari berbagai
organ penting yang memberat oleh adanya virus dan / atau “badai sitokin”. Hal ini
merupakan fenomena yang terlihat pertama kali pada kasus SARS dan flu burung H5N1.
Secara klinis, keadaan ini sulit untuk dikendalikan dan membutuhkan perawatan yang intensif
serta menimbulkan risiko tinggi kematian.

Kalimat selanjutnya menyatakan bahwa tidak mungkin dosis infeksi yang lebih tinggi
yang diperoleh dengan terpajan/terpapar oleh banyak sumber yang terinfeksi akan membuat
banyak perbedaan pada perjalanan penyakit atau hasil akhirnya. Sulit untuk dipercaya bahwa
dosis/partikel virus tersebut dapat bervariasi lebih dari 10 kali lipat. Meskipun perbedaan
telah terlihat pada infeksi hewan laboratorium dengan beberapa virus, namun hewan-hewan
itu secara genetis mirip dalam merespon dan dengan cara yang sama. Tidak mungkin terjadi
perbedaan secara statistik signifikan pada manusia. Selain itu, kita harus lebih khawatir
tentang situasi di mana seseorang menerima dosis besar virus (kita tidak memiliki data
tentang seberapa besar itu tetapi cairan tubuh dari mereka yang terinfeksi virus lain dapat

3
mengandung satu juta hingga seratus juta virus per ml), khususnya melalui inhalasi. Namun,
kami belum cukup tahu tentang distribusi virus COVID-19 di seluruh tubuh pasien yang
terinfeksi dalam keadaan normal dan tidak biasa.
Pada klinik COVID-19, tujuan APD adalah untuk mencegah pajanan besar yang
mengarah ke infeksi tinggi. Situasi yang harus kita perhatikan adalah potensi paparan dosis
tinggi dari staf klinis yang melakukan prosedur pada pasien yang tidak diketahui terinfeksi.
Dr Michael Skinner membaca suatu penjelasan oleh warga Cina mengenai infeksi COVID-19
tahap awal pada paru-paru, yang terjadi hanya karena pasien kanker paru-paru (tidak
diketahui terinfeksi) memiliki lobektemik. Ada saran bahwa situasi seperti itu berkontribusi
pada kematian petugas medis di Wuhan, yang melakukan prosedur normal (termasuk
beberapa yang dapat menghasilkan aerosol cairan yang terinfeksi) sebelum penyebaran dan
risiko telah diakui. Sangat Jelas terlihat, bahwa pengujian pasien untuk infeksi sekarang harus
menjadi prioritas dalam beberapa prosedur pemeriksaan. Beberapa prosedur elektif yang
relevan telah ditunda atau diperkecil untuk keselamatan pasien dan staf, tetapi para ahli tidak
dapat melakukan hal yang sama untuk prosedur non-elektif (terutama di departemen darurat
dan bersalin).

Pernyataan ahli selanjutnya yaitu oleh Prof Wendy Barclay yang merupakan seorang
aktivis penelitian virologi dan kepala departemen penyakit infeksi di universitas Imperial
London menyatakan, secara umum virus pernapasan, hasil akhir dari infeksi , derajat
keparahan penyakit, kadang dapat ditentukan oleh berapa banyak virus yang benar-benar
masuk ke dalam tubuh manusia dan memulai infeksi. Hal ini semua tentang ukuran pasukan
di setiap sisi pertempuran, pasukan virus yang sangat besar sulit untuk dilawan pasukan
sistem kekebalan kita. Penggunaan masker dalam kondisi pandemi ini menjadi hal yang
wajib dalam berbagai bidang terutama kesehatan. Hal ini dijelaskan bahwa jika kita berdiri
jauh dari seseorang bernapas atau batuk, menandakan lebih sedikit partikel virus yang
mencapai tubuh kita dan kejadian infeksi yang akan menimbulkan sakit menjadi lebih
rendah. Dokter yang sangat dekat dengan pasien untuk mengambil sampel dari mereka atau
untuk intubasi lebih tinggi berisiko sehingga perlu memakai masker.
Semakin sedikit seseorang di suatu ruangan, semakin kecil kemungkinannya untuk
penularan virus tersebut dari udara sekitar yang tercemar, jadi istilah social distancing adalah
cara yang paling aman. Tetapi tidak ada bukti bahwa jika semua orang dalam suatu keluarga
sudah sakit, maka mereka dapat saling menginfeksi ulang dengan lebih banyak virus.

4
Faktanya untuk virus lain setelah Anda terinfeksi, maka sangat sulit untuk terinfeksi dengan
virus yang sama lagi.

Prof Jonathan Ball merupakan seorang professor virologi molecular dari universitas
Nottingham menyatakan bahwa kemungkinan penularan virus meningkat dengan durasi dan
frekuensi paparan pada orang yang tidak terinfeksi dengan seseorang yang terinfeksi virus.
Para ahli juga mencurigai bahwa jumlah virus yang diproduksi oleh individu yang terinfeksi,
atau disebut sebagai viral load dapat berpotensi untuk menularkan. Semakin tinggi viral load,
maka semakin besar kemungkinan seseorang akan terinfeksi. Ada juga kemungkinan bahwa
seseorang dengan pneumonia yang memiliki viral load lebih tinggi dapat menimbulkan
penyakit yang lebih serius, tetapi perkembangan penyakit ini bersifat kompleks dan faktor
lain dapat berperan dalam keadaan tersebut.

Professor Willem van Schaik yaitu seorang professor dalam infeksi dan mikrobiologi
di Universitas Birmingham menyatakan bahwa dosis infektif minimal didefinisikan sebagai
jumlah terendah partikel virus yang menyebabkan infeksi pada 50% orang. Terdapat
keterbatasan data dalam menentukan berapa dosis infektif minimal pada SARS-CoV-2 karena
pathogen ini baru. Untuk SARS, dosis infektif pada model tikus hanya beberapa ratus partikel
virus. Suatu hipotesis yang menyatakan bahwa kita bisa menjadi pasien bergejalan apabila
menghirup beberapa ratus atau ribuan partikel SARS-CoV-2. Ini akan menjadi dosis infektif
yang relatif rendah dan dapat menjelaskan mengapa virus menyebar relatif efisien.
Atas dasar penelitian sebelumnya tentang virus corona SARS dan MERS, kita tahu bahwa
paparan dosis yang lebih tinggi dikaitkan dengan hasil yang lebih buruk dan ini mungkin juga
terjadi pada kasus Covid-19. Hal ini menyatakan bahwa petugas layanan kesehatan yang
merawat pasien Covid-19 berada pada risiko yang sangat tinggi karena mereka lebih mungkin
terpajan pada jumlah partikel virus yang lebih tinggi, terutama ketika kekurangan alat
pelindung diri (APD) seperti halnya dilaporkan di beberapa rumah sakit di Inggris.

Tampaknya tidak mungkin bahwa seseorang dapat mengambil sejumlah kecil virus
dari orang lain contohnya dalam kerumunan orang banyak dan hal itu akan membuat
terjadinya infeksi yang gejala. Dalam situasi lockdown saat ini, tampaknya bahkan lebih kecil
kemungkinannya karena pertemuan lebih dari dua orang dilarang. Karena dosis infeksi sangat
rendah, kemungkinan besar seseorang akan terinfeksi oleh satu sumber daripada dari berbagai

5
sumber. Penularan dapat terjadi melalui tetesan kecil di udara (seperti yang diproduksi
setelah bersin dan yang tinggal di udara selama beberapa detik). Sayangnya, SARS-CoV-2
bertahan cukup baik di sebagian besar permukaan, jadi jika seseorang menyentuh suatu benda
ini dan kemudian menyentuh mulut atau hidung mereka, kemungkinan ada risiko yang sangat
nyata bahwa mereka akan terinfeksi virus. Hal ini adalah alasan utama mengapa mencuci
tangan dipromosikan sebagai tindakan pencegahan.

Pendapat lain juga diperoleh dari Dr Edward Parker seorang peneliti sistem biologi
di London School of Hygiene and Tropical Medicine yang menyatakan bahwa setelah
seseorang terinfeksi virus, virus itu akan bereplikasi di sel-sel tubuh kita. Jumlah total virus
yang dimiliki seseorang di dalamnya disebut viral load. Pada COVID-19, laporan awal dari
China yang memberi kesan bahwa viral load lebih tinggi pada pasien dengan penyakit parah,
yang juga merupakan kasus untuk Sars dan influenza. Jumlah virus yang terpapar pada awal
infeksi disebut sebagai dosis infeksius. Pada kasus influenza, diketahui bahwa paparan awal
terhadap lebih banyak virus atau dosis infeksi yang lebih tinggi, memberikan efek
peningkatan kemungkinan infeksi dan terjadinya penyakit. Penelitian pada tikus juga
menunjukkan bahwa paparan berulang dengan dosis rendah sama menularnya dengan dosis
tinggi tunggal. Jadi secara keseluruhan, penting bagi kita untuk membatasi semua
kemungkinan pajanan pada COVID-19, apakah kuantitas virus yang besar ada pada individu
yang bergejala batuk atau individu tanpa gejala yang menularkan virus dalam kuantitas yang
kecil. Apabila kita merasa tidak sehat, kita perlu mengamati tindakan isolasi diri yang ketat
untuk membatasi kesempatan kita menulari orang lain.

Penyataan dari Profesor Richard Tedder yang menjelaskan pertanyaan mengenai viral
load, yaitu adalah istilah khusus yang digunakan dalam virologi medis yang biasanya
merujuk pada jumlah virus dan dapat diukur dalam standar volume, biasanya pada darah atau
plasma. Hal ini sangat umum digunakan untuk menentukan bagaimana respon pasien HIV
terhadap obat antivirus, sehingga pasien tersebut akan merasa puas bahwa viral load mereka
berkurang. Terdapat makna viral load untuk Sars CoV 2 (alias virus Covid19), yaitu mungkin
lebih baik menggunakan istilah “Viral Shedding” atau disebut juga dengan penularan virus
yang sebenarnya dipengaruhi oleh jumlah virus dalam materi yang ditularkan oleh pasien
yang terinfeksi. Dalam suatu praktik dikatakan bahwa viral load yang dihasilkan oleh pasien
dalam bentuk ekskresi apa pun dan mereka mendefinisikan itu sebagai penularan dan yang
berisiko.
6
Dengan melihat keseluruhan data pada suatu bahan yang berasal dari usap hidung,

ternyata jumlah virus bervariasi pada kisaran 1 juta kali. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh

stadium penyakit, infeksi yang telah berkolonisasi pada saat pengambilan sampel, dan jumlah

sampel usap hidung. Jumlah virus yang berasal dari orang yang terinfeksi dipengaruhi oleh

dua faktor yaitu ekskresi muatan (load) dan volume. Terdapat beberapa alasan yang

menjelaskan tentang virus ini dapat ditularkan yaitu :

1. Dosis virus yang menginfeksi lebih cenderung menyebabkan infeksi pada penerima

yang memiliki jumlah virus yang tinggi pada ekskresinya.

2. Virus akan bertahan dan tetap menular di luar tubuh, seperti virus pada umumya,

tetapi infektivitas virus akan hilang bersama dengan berjalannya waktu. Seberapa

cepat penurunan ini terjadi diukur sebagai waktu yang dibutuhkan untuk mengurangi

infeksi hingga setengahnya. Ini disebut 'waktu paruh' atau T1 / 2 dan untuk virus ini

dapat terukur dalam hitungan jam. Sebenarnya ini dianggap sebagai 'tingkat

kematian'.

3. Tingkat waktu kematian tercepat ada pada tembaga dengan T1 / 2 sekitar 1 jam, di

udara sebagai aerosol T1 / 2 juga sekitar 1 jam, kardus 3 dan 1/2 jam, plastik dan baja

T1 / 2 sekitar 6 jam

Sebagai contoh, jika satu juta virus ditempatkan pada berbagai permukaan benda, dibutuhkan

waktu paruh 20 agar tidak terdeteksi dan tidak menular, jadi 20 jam jika di dalam aerosol, 20

jam pada tembaga, 60-70 jam pada karton dan akhirnya 120- 130 jam pada plastik dan baja.

Tentu saja, ketika seseorang lebih setuju dengan kadar infektivitas daripada kemampuan

deteksi, menyebabkan penumpasan infektivitas jauh lebih cepat. Suatu penelitian dengan

virus yang dikultur mulai pada tingkat yang relatif tinggi telah menunjukkan hilangnya

infektivitas dalam waktu sekitar 12-15 jam pada tembaga, di bawah 10 jam pada karton,

7
sekitar 50 jam pada baja dan 70 jam pada plastik. Data untuk infektivitas aerosol tidak

sebanding dan tentu saja waktunya berbeda.

Anda mungkin juga menyukai