Anda di halaman 1dari 25

REFERAT

“PENCABULAN PADA ANAK”

Pembimbing:
dr. Suryo Wijoyo, Sp.KF, MH

Disusun oleh:
Khairifa Adlina Razie 1102015115
Muhammad Horman Latuconsina 1102015148

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN FORENSIK


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN BEKASI
PERIODE 11 JANUARI 2021 – 30 JANUARI 2021
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan referat
ini guna memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik di
RSUD Kabupaten Bekasi. Referat ini bertujuan untuk mengembangkan wawasan
penulis dan pembaca, serta melengkapi tugas Coass Ilmu Kedokteran Forensik dan
Medikolegal yang diberikan pembimbing. Dalam menyusun refarat ini, penulis banyak
memperoleh bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin
menyampaikan ucapan terima kasih kepada dr. Suryo Wijoyo, Sp.KF, MH, selaku
pembimbing dalam Kepanitraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal
dalam penyelesaian referat ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa referat ini masih
memiliki kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan saran yang membangun
dari semua pihak yang membaca referat ini. Harapan penulis semoga referat ini dapat
memberikan manfaat bagi semua pihak yang membacanya.

Bekasi, 17 Januari 2021

Penulis

1
BAB I
PENDAHULUAN

Setiap manusia normal yang tumbuh dewasa dalam dirinya pasti mempunyai
rasa tertarik pada lawan jenisnya untuk melakukan hubungan seks atau hubungan
kelamin. Jangankan orang dewasa bahkan anak yang masih di bawah umur telah
melakukan hubungan seks dengan pasangan atau pacarnya dikarenkan semakin
canggihnya teknologi untuk mengakses situs yang menggambarkan tentang
pencabulan. Apabila hubungan seks dilakukan di luar nikah, maka hubungan tersebut
yang banyak di dengar di masyarakat dilakukan dengan teman, dengan pacar, dengan
pelacur, bahkan dengan orang lain yang tidak dikenal.
Kejahatan seksual (sexual offences), sebagai salah satu bentuk dari kejahatan
yang menyangkut tubuh, kesehatan, dan nyawa manusia, mempunyai kaitan yang erat
dengan ilmu kedokteran forensik yaitu di dalam upaya pembuktian bahwasanya
kejahatan tersebut memang telah terjadi.
Kejahatan seksual adalah kepuasan seksual yang diperoleh melalui
persetubuhan. Salah satu bentuk kejahatan seksual adalah pelecehan seksual yang mana
didalamnya termasuk pemerkosaan dan pencabulan. Pemerkosaan merupakan kasus
kejahatan seksual yang sering terjadi di indonesia. Selain pemerkosaan, kejahatan yang
juga marak terjadi adalah pencabulan yang merupakan setiap penyerangan seksual
tanpa terjadi persetubuhan. Di Indonesia korban yang paling sering mengalami
kejahatan seksual adalah wanita dan anak-anak.
Pemerkosaan dan pencabulan merupakan kejahatan yang melanggar hak asasi
manusia (HAM). Adanya kaitan antara ilmu kedokteran dengan kejahatan seksual
dapat dipandang sebagai konsekuensi dari pasal-pasal di dalam kitab undang-undang
hukum pidana (KUHP) serta kitab undang-undang acara hukum pidana (KUHAP),
yang memuat ancaman hukuman serta tatacara pembuktian pada setiap kasus yang
termasuk di dalam pengertian kasus kejahatan seksual.
Di dalam upaya pembuktian secara kedokteran forensik, faktor keterbatasan di
dalam ilmu kedokteran itu sendiri dapat sangat berperan, demikian halnya dengan

2
faktor waktu serta faktor keaslian dari barang bukti (korban), maupun faktor-faktor dari
pelaku kejahatan seksual itu sendiri.
Pemeriksaan kasus-kasus persetubuhan yang merupakan tindak pidana ini,
hendaknya dilakukan dengan teliti dan waspada. Pemeriksa harus yakin akan semua
bukti-bukti yang ditemukannya karena tidak adanya kesempatan untuk melakukan
pemeriksaan ulang guna memperoleh lebih banyak bukti. Dalam melaksanakan
kewajiban tersebut, dokter hendaknya tidak meletakkan kepentingan korban di bawah
kepentingan pemeriksaan. Terutama bila korban adalah anak-anak pemeriksaan
sebaiknya tidak sampai menambah trauma psikis yang sudah dideritanya.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI

Pelecehan seksual adalah perilaku seksual yang tidak dikehendaki oleh korban
dan mengganggu diri korban pelecehan. Perilaku-perilaku yang digolongkan sebagai
tindakan pelecehan seksual antara lain pemaksaan tindakan seksual, sikap
merendahkan orientasi seksual, permintaan tindakan seksual yang disukai pelaku dan
ucapan atau perilaku yang bersifat seksual, tindakan tersebut dapat disampaikan secara
langsung maupun tidak langsung. Perilaku pelecehan seksual terhadap anak
sebenarnya tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa, tetapi juga dapat dilakukan oleh
anak terhadap anak. Anak-anak yang melakukan pelecehan seksual biasanya
mencontoh perbuatan yang mereka lihat ataupun dengar dari media, yang dapat diakses
dari perangkat elektronik seperti ponsel pintar dan komputer yang sudah dilengkapi
dengan koneksi internet sehingga mereka dapat memperoleh informasi seputar
kegiatan seksual dengan sangat mudah. Berdasarkan uraian tersebut, yang dimaksud
dengan pelecehan seksual pada anak adalah setiap perkataan ataupun pemaksaan
tindakan atau perilaku seksual terhadap anak yang menjadikan anak sebagai korban
pelecehan seksual sehingga korban merasa tidak nyaman, trauma, merasa ketakutan,
depresi ataupun mengalami luka secara fisik.

Cabul adalah keinginan atau perbuatan yang tidak senonoh menjurus kearah
perbuatan seksual yang dilakukan untuk meraih kepuasan diri dari luar ikatan
perkawinan. Pencabulan merupakan kecenderungan untuk melakukan aktivitas seksual
dengan orang yang tidak berdaya seperti anak, baik pria maupun wanita, dengan
kekerasan maupun tanpa kekerasan. Pengertian pencabulan atau cabul dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, diartikan sebagai berikut: pencabulan adalah kata dasar dari
cabul, yaitu kotor dan keji sifatnya tidak sesuai dengan sopan santun (tidak senonoh),
tidak susila, bercabul: berzinah, melakukan tindak pidana asusila, mencabul:

4
menzinahi, memperkosa, mencemari kehormatan perempuan, film cabul: film porno.
Keji dan kotor, tidak senonoh (melanggar kesusilaan, kesopanan). Termasuk kontak
fisik yang tidak pantas, membuat anak melihat tindakan seksual atau pornografi,
menggunakan seorang anak untuk membuat pornografi atau memperlihtakan alat
genital orang dewasa kepada anak. Bila di ambil dari beberapa buku kejahatan seks dan
aspek medikolegal gangguan psikoseksual, maka definisi pencabulan adalah semua
perbuatan yang dilakukan untuk mendapatkan kenikmatan seksual sekaligus
mengganggu kehormatan kesusilaan. R. Soesilo mengatakan bahwa Segala perbuatan
yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji semua itu dalam
lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya cium-ciuman meraba-raba anggota
kemaluan, meraba-raba buah dada, dan lain sebagainya. Pada umumnya yang menjadi
pencabulan ini adalah anak-anak.

Berikut ini merupakan pengertian anak menurut beberapa peraturan perundang-


undangan yang berlaku Di Indonesia antara lain:
1. Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Anak adalah
orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umum 8 (delapan) tahun
tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.
2. Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dinyatakan
bahwa anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas)
tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila
hal tersebut adalah demi kepentingannya.
3. Undang-Undang No 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan anak dinyatakan
bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang
masih dalam kandungan.
4. Convention On the Rights of Child (1989) yang telah diratifikasi pemerintah
Indonesia melalui Keppres Nomor 39 Tahun 1990 disebutkan bahwa anak
adalah mereka yang berusia 18 tahun kebawah.
5. UNICEF mendefinisikan anak sebagai penduduk yang berusia 0 sampai dengan
18 tahun.

5
Berdasarkan beberapa pendapat diatas, maka dapat dinyatakan bahwa anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 tahun (0-18 tahun).

JENIS PELECEHAN SEKSUAL


Berdasarkan bentuknya, pelecehan seksual dapat dibagi menjadi:
1. Pelecehan Seksual Verbal
Pelecehan seksual verbal seperti perkataan yang ditujukan kepada orang lain
namun berkaitan dengan seksual, pelecehan ini seperti:
a. Bercandaan, menggoda lawan jenis atau sejenis, ataupun membicarakan hal
mengenai seksualitas dalam diskusi atau obrolan yang tidak pada tempatnya
b. Bersiul yang bermaksud pada hal seksual
c. Memberitahukan pada orang lain tentang keinginan seksual ataupun kegiatan
seksual yang pernah dilakukan, yang membuat orang tidak nyaman(
d. Mengkritik bentuk fisik yang mengarah pada bagian seksualitas
2. Pelecehan Seksual Non-Verbal
Pelecehan non-verbal merupakan tindakan pelecehan seksual yang tidak
bersentuhan secara langsung antara pelaku dengan korbannya, seperti:
a. Memperlihatkan alat kelamin dihadapan banyak orang atau umum,
b. Melihat bagian seksual orang lain dengan tatapan yang menggoda,
c. Menggesek-gesekan alat kelamin ke orang lain.
3. Pelecehan Seksual Secara Fisik
Dalam katagori ini pelecehan seksual antara pelaku dan korban sudah melibatkan
kontak fisik, seperti:
a. Memegang tubuh seseorang yang tidak diinginkan oleh korban,
b. Perkosaan atau pemaksaan melakukan tindakan seksual,
c. Memeluk, mencium atau menyentuh seseorang yang berorientasi seksual.
Bentuk-bentuk pelecehan seksual pada anak yang dilakukan orang dewasa:
1. Inces
Perilaku seksual yang dilakukan oleh keluarga dekat dimana dalam keluarga
dekat tidak diperbolehkan hubungan perkawinan, misalnya ayah dengan anak, ibu

6
dengan anak, saudara kandung, kakek atau nenek dengan cucu, paman dengan
keponakan atau bibi dengan keponakan. Selain hubungan darah hal ini berlaku
juga pada hubungan perkawinan misalnya anak dengan ayah atau ibu tiri.
Perilaku inces selain meninggalkan trauma, mengganggu perkembangan anak
karena belum waktunya melakukan aktifitas seksual juga akan merusak garis
keturunan apabila anak korban pelecehan seksual mengakibatkan hamil.
2. Pedofilia
Perbuatan seksual yang ditandai dengan rasa ketertarikan terhadap orang yang
telah masuk dalam usia dewasa terhadap anak, hal ini bisa diakibatkan pengalaman
masa kecil seseorang yang tidak mendukung tingkat perkembangannya atau
pengalaman seseorang yang pada masa kecilnya pernah menjadi korban pelecehan
oleh seorang pedofil.
3. Pornografi Anak
Pornografi yang menjadi objek atau subjek dari pornografi tersebut adalah
anak, seperti anak melihat atau mendengar gambar, video, atau tindakan seksual
bahkan termasuk membaca tulisan- tulisan yang mengarah pada aktivitas seksual,
hal ini diperkirakan bahwa anak belum sewajarnya menerima informasi seksual.
Pornografi di Indonesia terdapat dalam Undang- Undang No. 44 Tahun 2008
tentang pornografi yang dalam pasal 1 menyebutkan bahwa “Pornografi adalah
gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi,
kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai
bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang terdapat
maksud cabul atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam
masyarakat, oleh karena itu pornografi masuk dalam jajaran pelecehan seksual
anak apabila anak dipaksa melihat tersebut.
4. Extrafamilial Sexual Abuse
Berbeda dengan inces, perbedaan terletak pada pelaku kejahatannya.
Extrafamilial sexual abuse dilakukan bukan dalam lingkungan keluarga melainkan
dalam lingkungan umum seperti sekolah, penitipan anak, ataupun tempat bermain.

7
Pelecehan seksual berakibat tidak hanya pada anak yang menjadi korban
pelecehan seksual, akibatnya juga dialami oleh keluarga dekat bahkan
mengakibatkan ketakutan orang tua yang memiliki anak karena banyak terjadinya
pelecehan seksual anak di lingkungan keluarga, disekolah atau di tempat bermain
anak. Pelecehan seksual pada anak akan berdampak secara fisik dan psikis.

JENIS PENCABULAN
1. Acquaintence Molestation
Pencabulan yang dilakukan oleh orang yang dikenal oleh korban. Jenis ini
debedakan lagi dengan intrafami-lial molestation, pelaku adalah anggota keluarga
dan ektra-familial molestation, pelaku adalah orang dikenal di luar keluarga.
Realitanya, kasus acquaintence molestation paling banyak terjadi. Pelaku biasanya
ayah baik kandung atau tiri, paman, kakek, sepupu, tetangga, guru sekolah, guru
ngaji, pendeta/rohaniawan, pengasuh anak, penjual mainan/makanan di depan
sekolah hingga dukun.
2. Stranger Molestation
Pelaku adalah orang asing yang tidak dikenal oleh korban. Jumlahnya hanya
berkisar 1-5 % dari total kasus yang di laporkan. Namun, walaupun hanya sedikit,
pencabulan jenis jauh lebih berbahaya dari tipe yang pertama. Karena biasanya
tidak hanya pencabulan saja, namun diawali dengan penculikan dan akhirnya kor
ban di bunuh. Dan pelakunya sering menjadi residivis.

PANDANGAN HUKUM TERHADAP KASUS PELECEHAN SEKSUAL


TERHADAP ANAK
Pasal-pasal yang mengatur tentang kejahatan pencabulan dalam KUHP,
dijelaskan dalam Pasal 289, Pasal 290, Pasal 292, Pasal 293,Pasal 294, Pasal 295, dan
Pasal 296. Sedangkan Undang-undang no.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak di
jelaskan dalam Pasal 82. Adapun isi dari pasal-pasal yang mengatur tentang delik
pencabulan sebagai berikut:
Pasal 289 KUHP

8
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang
melakukan atau membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul, dihukum karena
merusakkan kesopanan dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun.
Pasal 290 KUHP
1e. “Barang siapa yang melakukan perbuatan cabul dengan seseorang, sedang
diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya” .
2e. “Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang, sedang diketahuinya
atau patut harus disangkanya, bahwa umur orang itu belum cukup 15 tahun atau kalau
tidak nyata berapa umurnya,bahwa orang itu belum belum masanya buat dikawin”.
3e. “Barang siapa membujuk (menggoda) seseorang yang diketahuinya atau patut harus
disangkanya, bahwa umur orang itu belum cukup 15 tahun atau kalau tidak nyata
berapa umurnya, bahwa ia belum masanya buat kawin, akan melakukan atau atau
membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul, atau akan bersetubuh dengan
orang lain dengan tiada kawin”.
Pasal 292 KUHP
Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang belum dewasa dari
jenis kelamin yang sama, sedang diketahuinya atau patut harus disangkanya hal belum
dewasa itu, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun.
Pasal 293 (1) KUHP
Barang siapa dengan mempergunakan hadiah atau perjanjian akan memberikan uang
atau barang, dengan salah mempergunakan pengaruh yang berkelebih- lebihan yang
ada disebabkan oleh perhubungan yang sesungguhnya ada atau dengan tipu, sengaja
membujuk orang yang belum dewasa yang tidak bercacat kelakuannya, yang
diketahuinya atau patut harus disangkanya belum dewasa, akan melakukan perbuatan
cabul dengan dia atau membiarkan dilakukan perbuatan yang demikian pada dirinya,
dihukum penjara selama-lamanya lima tahun.
Pasal 294 KUHP
Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya yang belum dewasa, anak
tiri atau anak pungutnya,anak peliharaannya, atau dengan seorang yang belum dewasa
yang di percajakan padanya untuk ditanggung, dididik atau dijaga, atau dengan bujang

9
atau orang sebawahnyayang belum dewasa, dihukum penjara selama-lamanya tujuh
tahun .
Pasal 295 KUHP
1e. “Dengan hukuman penjara selama-lamanyalima tahun, berang siapa yang dengan
sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul yang dikerjakan oleh
anaknya, anak tirinya atau anak angkatnya yang belum dewasa, oleh anak yang
dibawah pengawasannya, orang yang belum dewasa yang diserahkan kepadanya,
supaya dipeliharanya, dididiknya atau dijaganya atau bujangnya yang dibawah umur
atau orang yang dibawahnyadengan orang lain”.
2e. “Dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun, barang siapa yang dengan
sengaja, diluar hal-hal yang tersebut pada 1e, menyebabkan atau memudahkan
perbuatan cabul dengan orang lain yang dikerjakan oleh orang belum dewasa yang
diketahuinya atau patut disangkanya, bahwa ia ada belum dewasa.
Pasal 296 KUHP
Barang siapa yang pencahariannya atau kebiasaannya yaitu dengan sengaja
mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain dihukum penjara
selama-lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.15.000 (
lima belas ribu rupiah).
Pasal 82 Undang-undang No. 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak menegaskan
bahwa:
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan,memaksa melakukan tipu muslihat serangkaian kebohongan, atau
membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 5
(lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

10
PERAN DOKTER TERHADAP KASUS PELECEHAN SEKSUAL TERHADAP
ANAK
Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 133 ayat 1
dan 2:
1. Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban,
baik luka, keracunan, ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang
merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli
kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.
2. Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan
luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.
Berdasarkan KUHAP tersebut, setiap dokter wajib untuk dapat membuat
keterangan untuk keperluan peradilan jika diminta oleh penyidik. Keterangan tersebut
berupa visum et repertum. Secara definisi, visum et repertum merupakan keterangan
tertulis yang dibuat oleh dokter, berisi temuan dan pendapat berdasarkan keilmuannya
tentang hasil pemeriksaan medis terhadap manusia atau bagian tubuh manusia, baik
yang hidup maupun mati, atas permintaan tertulis (resmi) dari penyidik yang
berwenang yang dibuat atas sumpah atau dikuatkan dengan sumpah untuk kepentingan
peradilan.
Dalam penulisan visum et repertum, pada bagian pemberitaan berisi data
objektif/ temuan pada korban. Bagian ini memuat temuan dokter dalam anamnesis,
pemeriksaan fisis, pemeriksaan penunjang dan riwayat perawatan yang memiliki data
objektif. Dalam pembuatan visum et repertum kasus pelecehan seksual, pada bagian
kesimpulan berisi resume singkat kasus dengan interpretasi adanya tanda-tanda
persetubuhan pada korban.

PEMERIKSAAN FORENSIK PADA KASUS PELECEHAN SEKSUAL PADA


ANAK
Setiap pemeriksaan korban kekerasan seksual untuk kepentingan pengadilan
harus berdasarkan permintaan tertulis dari penyidik yang berwenang. Korban juga

11
harus diantar oleh polisi penyidik sehingga keutuhan dan originalitas barang bukti
dapat terjamin. Apabila korban tidak diantar oleh polisi penyidik, dokter harus
memastikan identitas korban yang diperiksa dengan mencocokkan antara identitas
korban yang tercantum dalam SPV dengan tanda identitas sah yang dimiliki korban,
seperti KTP, paspor, atau akta lahir. Catat pula dalam rekam medis bahwa korban tidak
diantar oleh polisi. Hal ini harus dilakukan untuk menghindari kemungkinan kesalahan
identifikasi dalam memeriksa korban.
Secara umum tujuan pemeriksaan korban kekerasan seksual adalah untuk :
• Melakukan identifikasi
• Menentukan adanya tanda-tanda persetubuhan, dan waktu terjadinya, bila
mungkin;
• Menentukan adanya tanda-tanda kekerasan, termasuk tanda intoksikasi narkotika,
psikotropika, dan zat adiktif lainnya (NAPZA);
• Menentukan pantas/tidaknya korban untuk dikawin, termasuk tingkat
perkembangan seksual; dan membantu identifikasi pelaku.
Beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan korban kekerasan
seksual:
• Lakukan pemeriksaan sedini mungkin setelah kejadian, jangan dibiarkan
menunggu terlalu lama.
• Pada saat pemeriksaan, dokter harus didampingi perawat yang sama jenis
kelaminnya dengan korban (biasanya wanita) atau bidan.
• Pemeriksaan harus dilakukan secara sistematis dan menyeluruh terhadap seluruh
bagian tubuh korban, tidak hanya terhadap daerah kelamin saja.
• Catat dan dokumentasikan semua temuan, termasuk temuan negatif
Anamnesis
Anamnesis perlu dilakukan dengan pendekatan-pendekatan yang disesuaikan
dengan usia korban. Saat melakukan anamnesis, dokter perlu menunjukkan rasa
empati, bersikap suportif, tidak menanyakan pertanyaan- pertanyaan yang sugestif,
menunjukkan emosi seperti kaget atau tidak percaya, dan lebih banyak mendengarkan
korban. Dokter tidak boleh memiliki penilaian sebelum dikonfirmasi oleh korban. Oleh

12
karena itu, dokter tidak perlu ragu untuk menanyakan kejadian pelecehan secara detail,
misalnya menanyakan apakah pelaku memegang-megang kemaluan korban, dihisap,
dijilat, atau digigit, atau apa yang telah korban lakukan atas permintaan pelaku. Dokter
dapat membina hubungan dengan anak sebelum menanyakan hal-hal mengenai
pelecehan seksual dengan cara membicarakan hal-hal yang disukai anak, seperti
binatang peliharaan, hobi, atau teman. Jika memungkinkan, saat dilakukan anamne- sis
dengan korban, orang tua tidak dilibatkan agar penuturan korban tidak terpengaruh atau
terganggu dengan kehadiran orang tua. Pada korban kekerasan seksual, anamnesis
harus dilakukan dengan bahasa awam yang mudah dimengerti oleh korban.Anamnesis
dapat dibagi dalam anamnesis umum dan khusus. Pada anamnesis umum dapat
ditanyakan:
• Umur atau tanggal lahir
• Status pernikahan
• Riwayat paritas dan/atau abortus
• Riwayat haid (menarche, hari pertama haid terakhir, siklus haid)
• Riwayat koitus (sudah pernah atau belum, riwayat koitus sebelum dan/atau setelah
kejadian kekerasan seksual, dengan siapa, penggunaan kondom atau alat
kontrasepsi lainnya)
• Penggunaan obat-obatan (termasuk NAPZA)
• Riwayat penyakit (sekarang dan dahulu)
• Keluhan atau gejala yang dirasakan pada saat pemeriksaan
Pada anamnesis khusus mencakup keterangan yang terkait kejadian kekerasan
seksual yang dilaporkan dan dapat menuntun pemeriksaan fisik, seperti:
Ø What & How:
• Jenis tindakan (pemerkosaan, persetubuhan, pencabulan, dan sebagainya)
• Adanya kekerasan dan/atau ancaman kekerasan, serta jenisnya
• Adanya upaya perlawanan
• Apakah korban sadar atau tidak pada saat atau setelah kejadian
• Adanya pemberian minuman, makanan, atau obat oleh pelaku sebelum atau
setelah kejadian

13
• Adanya penetrasi dan sampai mana (parsial atau komplit)
• Apakah ada nyeri di daerah kemaluan
• Apakah ada nyeri saat buang air kecil/besar
• Adanya perdarahan dari daerah kemaluan
• Adanya ejakulasi dan apakah terjadi di luar atau di dalam vagina, penggunaan
kondom, dan tindakan yang dilakukan korban setelah kejadian, misalnya
apakah korban sudah buang air, tindakan membasuh/douching, mandi, ganti
baju, dan sebagainya
Ø When:
• Tanggal dan jam kejadian, bandingkan dengan tanggal dan jam melapor
• Apakah tindakan tersebut baru satu kali terjadi atau sudah berulang
Ø Where:
• Tempat kejadian
• Jenis tempat kejadian (untuk mencari kemungkinan trace evidence dari tempat
kejadian yang melekat pada tubuh dan/atau pakaian korban)
Ø Who:
• Apakah pelaku dikenal oleh korban atau tidak
• Jumlah pelaku
• Usia pelaku
• Hubungan antara pelaku dengan korban
Pemeriksaan Fisik
Saat melakukan pemeriksaan fisik, gunakan prinsip “top-to-toe”. Artinya,
pemeriksaan fisik harus dilakukan secara sistematis dari ujung kepala sampai ke ujung
kaki. Pelaksanaan pemeriksaan fisik juga harus memperhatikan keadaan umum korban.
Apabila korban tidak sadar atau keadaan umumnya buruk, maka pemeriksaan untuk
pembuatan visum dapat ditunda dan dokter fokus untuk “life-saving” terlebih dahulu.
Pemeriksaan fisik berupa pemeriksaan fisik umum dan khusus, pemeriksaan umum
meliputi :
• Keadaan Umum: Tingkat kesadaran, penampilan secara keseluruhan, keadaan
emosional (tenang, sedih / gelisah)

14
• Tanda vital
• Periksa gigi-geligi (pertumbuhan gigi ke 7 & 8)
• Pada persetubuhn oral, periksa lecet, bintik perdarahan /memar pada palatum,
lakukan swab pada laring dan tonsil
• Perkembangan seks sekunder (pertumbuhan mammae, rambut axilla dan rambut
pubis)
• Jika pada baju ada bercak mani (kaku), bila mungkin pakaian diminta, masukkan
dalam amplop
• Tanda-tanda intoksikasi NAPZA, serta status lokalis dari luka-luka yang terdapat
pada bagian tubuh selain daerah kemaluan.
Untuk mempermudah pencatatan luka-luka, dapat digunakan diagram tubuh seperti
pada gambar:

Pemeriksaan fisik khusus bertujuan mencari bukti-bukti fisik yang terkait dengan
tindakan kekerasan seksual yang diakui korban, prosedurnya meliputi:
• Posisi litotomi

15
• Periksa daerah pubis (kemaluan bagian luar), yaitu adanya perlukaan pada jaringan
lunak atau bercak cairan mani
• Periksa luka-luka sekitar vulva, perineum dan paha (adanya perlukaan pada
jaringan lunak, bercak cairan mani)
• Jika ada bercak, kerok dengan skalpel dan masukkan dalam amplop
• Rambut pubis disisir, rambut yang lepas dimasukkan dalam amplop
• Jika ada rambut pubis yang menggumpal, gunting dan masukkan dalam amplop,
cabut 3-10 lembar rambut dan masukkan dalam amplop lain
• Labia mayora dan minora (bibir kemaluan besar dan kecil), apakah ada perlukaan
pada jaringan lunak atau bercak cairan mani
• Vestibulum dan fourchette posterior (pertemuan bibir kemaluan bagian bawah),
apakah ada perlukaan
• Hymen (selaput dara), catat bentuk, diameter ostium, elastisitas atau ketebalan,
adanya perlukaan seperti robekan, memar, lecet, atau hiperemi). Apabila
ditemukan robekan hymen, catat jumlah robekan, lokasi dan arah robekan (sesuai
arah pada jarum jam, dengan korban dalam posisi litotomi), apakah robekan
mencapai dasar (insersio) atau tidak, dan adanya perdarahan atau tanda
penyembuhan pada tepi robekan
• Swab daerah vestibulum, buat sediaan hapus
• Vagina (liang senggama), cari perlukaan dan adanya cairan atau lendir
• Serviks dan portio (mulut leher rahim), cari tanda-tanda pernah melahirkan dan
adanya cairan atau lendir
• Uterus (rahim), periksa apakah ada tanda kehamilan
• Anus (lubang dubur) dan daerah perianal, apabila ada indikasi berdasarkan
anamnesis
• Mulut, apabila ada indikasi berdasarkan anamnesis
• Daerah-daerah erogen (leher, payudara, paha, dan lain-lain), untuk mencari bercak
mani atau air liur dari pelaku
• Tanda-tanda kehamilan pada payudara dan perut

16
• Tanda kehilangan kesadaran (pemberian obat tidur / bius) needle marks indikasi
pemeriksaan darah dan urin
Kesulitan utama yang umumnya dihadapi oleh dokter pemeriksa adalah
pemeriksaan selaput dara. Bentuk dan karakteristik selaput dara sangat bervariasi. Pada
jenis-jenis selaput dara tertentu, adanya lipatan-lipatan dapat menyerupai robekan.
Karena itu, pemeriksaan selaput dara dilakukan dengan traksi lateral dari labia minora
secara perlahan, yang diikuti dengan penelusuran tepi selaput dara dengan lidi kapas
yang kecil untuk membedakan lipatan dengan robekan. Pada penelusuran tersebut,
umumnya lipatan akan menghilang, sedangkan robekan tetap tampak dengan tepi yang
tajam.
Penetrasi penis ke dalam vagina dapat mengakibatkan robekan selaput dara atau
bila dilakukan dengan kasar dapat merusak selaput lendir daerah vulva dan vagina
ataupun laserasi, terutama daerah posterior fourchette. Robekan selaput dara akan
bermakna jika masih baru, masih menunjukan adanya tanda kemerahan disekitar
robekan. Pada beberapa korban ada yang memiliki selaput dara yang elastis sehingga
tidak mudah robek. Pembuktian persetubuhan akan menghadapi kendala jika : korban
dengan selaput dara yang sebelumnya telah robek lama, korban diperiksa sudah lama,
korban yang memiliki selaput dara elastis, penetrasi yang tidak lengkap.
Pada pemeriksaan fisis, dilakukan pemeriksaan secara menyeluruh untuk melihat
adanya tanda-tanda kekerasan fisik, selain dari kekerasan seksual. Pemeriksaan
anogenital dilakukan setelah adanya penjelasan terhadap anak mengenai apa yang akan
dilakukan dan alasan perlunya dilakukan pemeriksaan tersebut yang dijelaskan dengan
cara yang mudah dimengerti oleh anak. Saat dilakukan pemeriksaan, sebaiknya anak
laki-laki didampingi oleh ayahnya dan anak perempuan ditemani oleh ibunya untuk
lebih menenangkan anak. Jika tidak ada orang tuanya, sebaiknya ada petugas kesehatan
dengan jenis kelamin yang sama dengan anak untuk membantu menenangkan anak dan
memastikan pemeriksaan dilakukan dengan lege artis.
Pemeriksaan fisis terhadap anak dengan dugaan pelecehan seksual sebaiknya
dilakukan oleh tenaga medis yang terlatih untuk menangani kasus seperti ini.
Pemeriksaan anogenital terhadap anak sebaiknya tidak dilakukan berulang-ulang untuk

17
menghindari ketidaknyamanan dan trauma psikis pada anak. Oleh karena itu, bila
dokter tidak merasa yakin akan kemampuannya dalam memeriksa anogenital anak,
disarankan untuk merujuk kepada dokter spesialis atau dokter yang lebih kompeten
dalam memeriksa anogenital anak.
Pemeriksaan genitalia dan anus biasanya tidak memerlukan instrumen khusus.
Pada anak perempuan, pemisahan labia dan traksi genital yang dilakukan secara hati-
hati dalam posisi supine dengan lutut menekuk dan abduksi pinggul (posisi frog-leg)
sudah cukup untuk memeriksa struktur genitalia anak perempuan. Pemeriksaan
genitalia dengan speculum dikontraindikasikan pada anak perempuan yang belum
dalam masa pubertas di poliklinik. Jika ada kecurigaan terhadap trauma intravagina,
sebaiknya dilakukan pemeriksaan vaginoskopi dengan anestesi.
Pada anak laki-laki, pemeriksaan dilakukan dengan melakukan inspeksi genitalia
eksterna meliputi penis dan skrotum untuk mencari tanda-tanda adanya trauma atau
luka. Pemeriksaan anus dilakukan dengan inspeksi eksterna dan inspeksi sfingter anal
dengan posisi anak supine dan lutut pada dada (posisi cannon-ball). Pemeriksaan
anoskopi atau colok dubur tidak rutin dilakukan.
Saat melakukan pemeriksaan fisik, dokumentasi yang baik sangat penting. Selain
melakukan pencatatan dalam rekam medis, perlu dilakukan pemotretan bukti-bukti
fisik yang ditemukan. Foto-foto dapat membantu dokter membuat visum et repertum.
Dengan pemotretan, korban juga tidak perlu diperiksa terlalu lama karena foto-foto
tersebut dapat membantu dokter mendeskripsi temuan secara detil setelah pemeriksaan
selesai.
Pemeriksaan Penunjang
Pada kasus kekerasan seksual, perlu dilakukan pemeriksaan penunjang sesuai indikasi
untuk mencari bukti-bukti yang terdapat pada tubuh korban. Pembuktian persetubuhan
yang lain adalah dengan memeriksa cairan mani di dalam liang vagina korban. Dari
pemeriksaan cairan mani akan diperiksa sel spermatozoa dan cairan mani sendiri.
1. Menentukan cairan mani

18
Untuk menentukan adanya cairan mani dalam secret vagina perlu dideteksi adanya
zat-zat yang banyak terdapat dalam cairan mani, beberapa pemeriksaan yang dapat
dilakukan untuk membuktikan hal tersebut adalah:
a. Reaksi Fosfatase Asam
Fosfatase asam adalah enzim yang dikeluarkan oleh kelenjar prostat di dalam
cairan semen/mani dan didapatkan pada konsentrasi tertinggi di atas 400 kali
dalam mani dibandingkan yang mengalir dalam tubuh lain. Dengan
menentukan secara kuantitatif aktifitas fosfatase asam per 2 cm2 bercak, dapat
ditentukan apakah bercak tersebut mani atau bukan. Aktifitas 25 U.K.A per 1cc
ekstrak yang diperoleh 1 cm2 bercak dianggap spesifik sebagai bercak mani.
b. Reaksi Berberio
Prinsip reaksi ini adalah menentukan adanya spermin dalam semen. Spermin
yang terkandung pada cairan mani akan beraksi dengan larutan asam pikrat
jenuh membentuk kristal spermin pikrat. Bercak diekstraksi dengan sedikit
aquades. Ekstrak diletakkan pada kaca objek, biarkan mengering, tutup dengan
kaca penutup. Reagen diteteskan dengan pipet di bawah kaca penutup.
Interpretasi: hasil positif memperlihatkan adanya kristal spermin pikrat yang
kekuning-kuningan atau coklat berbentuk jarum dengan ujung tumpul.
c. Reaksi Florence
Dasar reaksi adalah untuk menemukan adanya kholin. Bila terdapat bercak
mani, tampak kristal kholin-peryodida berwarna coklat, berbentuk jarum
dengan ujung terbelah.
2. Pemeriksaan Spermatozoa
a. Tanpa pewarnaan / pemeriksaan langsung
Pemeriksaan ini berguna untuk melihat apakah terdapat spermatozoa yang
bergerak. Pemeriksaan motilitas spermatozoa ini paling bermakna untuk
memperkirakan saat terjadinya persetubuhan. Umumnya disepakati bahwa
dalam 2-3 jam setelah persetubuhan, masih dapat ditemukan spermatozoa yang
bergerak dalam vagina. Bila tidak ditemukan lagi, belum tentu dalam vagina
tidak ada ejakulat.

19
b. Dengan pewarnaan (pulasan Malachite green 1 %)
Interpretasi: pada pengamatan di bawah mikroskop akan terlihat gambaran
sperma dengan kepala sperma tampak berwarna ungu menyala dan lehernya
merah muda, sedangkan ekornya berwarna hijau.
c. Pewarnaan Baecchi
Prinsip kerja nya yaitu asam fukhsin dan metilen biru merupakan zat warna
dasar dengan kromogen bermuatan positif. Asam nukleat pada kepala
spermatozoa dan komponen sel tertentu pada ekor membawa muatan negatif,
maka akan berikatan secara kuat dengan kromogen kationik tadi. Sehingga
terjadi pewarnaan pada kepala spermatozoa.
Interpretasi: Kepala spermatozoa berwarna merah, ekor merah muda,
menempel pada serabut benang
3. Pemeriksaan pria tersangka, meliputi:
• Pemeriksaan golongan darah
• Menentukan adanya sel epitel vagina pada glans penis, menggunakan larutan
lugol
• Pemeriksaan sekret uretra
• Dalam populasi 85% à golongan sekretor yang dalam cairan tubuh (cairan
mani, keringat,liur) mengandung golongan darah. Jika bersetubuh dan
ejakulasi maka golongan darah ada pada tubuh korban
• Dalam kepala sel sperma terdapat DNA inti (c-DNA) dan dalam leher sel
sperma ada DNA mitochondria (mt-DNA). Ketika ejakulasi yang
mengandung sel sperma,akan meninggalkan jejak DNA pelaku. Dengan
pemeriksaan DNA akan diketahui siapa dan berapa orang pelaku.

DAMPAK BAGI KORBAN PENCABULAN TERHADAP ANAK


Pelecehan seksual berakibat tidak hanya pada anak yang menjadi korban pelecehan
seksual, akibatnya juga dialami oleh keluarga dekat bahkan mengakibatkan ketakutan
orang tua yang memiliki anak karena banyak terjadinya pelecehan seksual anak di

20
lingkungan keluarga, disekolah atau di tempat bermain anak. Pelecehan seksual pada
anak akan berdampak secara fisik dan psikis.
1. Dampak fisik
Kekerasan seksual dapat mengakibatkan gangguan fisik pada anak dari yang
ringan hingga berat, saat alat kelamin atau penis masuk pada vagina, mulut atau
anus seorang anak perempuan hal ini dapat mengakibatkan luka seperti robekan
hymen, pen- darahan, luka permanen pada tubuh anak.
Dampak secara fisik, korban mengalami depresi, penurunan nafsu makan,
susah tidur, sakit kepala, tidak nyaman di area alat kelamin, berisiko tertular
penyakit menular seksual.
2. Dampak psikis
Psikis anak berbeda dengan orang dewasa, anak memiliki keterbatasan
pengetahuan seksual tidak mengetahui dengan apa yang dialami bahkan tidak tahu
dirinya menjadi korban pelecehan seksual.
Dampak psikis ini dapat diketahui dan dipahami oleh orang-orang yang dekat
dengan anak, karena anak akan menunjukan sikap yang aneh. Sikap yang tidak
biasa ini seperti tidak mau makan, cenderung murung hingga tidak mau sekolah,
menutup diri, menjadi pendiam, takut dengan orang-orang baru di sekitar hingga
trauma dengan suatu benda atau tempat yang berhubungan dengan kejadian
kekerasan seksual.
Pelecehan seksual pada anak bukanlah suatu hal yang baru, melainkan kejadian
yang sering terjadi dan sudah menurun. Saat ini, pelecehan seksual mengalami
perkembangan mulai dari usia, pelaku dan korban, modus-modus pelaku hingga
jenis kelamin para korbannya yang dulunya anak perempuan sekarang mulai ke
jenis kelamin laki-laki.
Perlindungan terhadap pelecehan seksual pada anak juga dilakukan dengan
melakukan pencegahan perbuatan tersebut, tidak hanya dengan menghukum
pelaku, tetapi juga perlu memberikan arahan tentang pelecehan seksual tersebut
untuk mencegah anak menjadi korban pelecehan seksual, antara lain:
a. Lingkungan keluarga

21
• Pengawasan dari orangtua, dengan membiasakan anak selalu terbuka
pada orang tua
• Pemantauan lingkungan bermain dan sosialisasi anak, baik di dalam
rumah, di luar rumah seperti lingkungan rumah, sekolah, tempat les atau
lingkungan pergaulannya
• Memberikan pengetahuan dan pendidikan anak terhadap seksual
• Pemberian pengetahuan pada anak apabila mendapatkan perlakuan tidak
wajar dari orang lain, teman, orang tidak dikenal ataupun orang yang ada
dalam lingkungan keluarga.
b. Lingkungan sekolah
• Sekolah melakukan pengawasan terhadap guru, petugas kebersihan, tamu
sekolah atau sesama anak didik
• Memberikan pengetahuan seksual yang berguna bagi anak agar tidak
terpengaruh dalam kegiatan yang tidak terdidik
• Memberikan pendikan keagamaan
• Memberikan kemampuan untuk membela diri
c. Pemerintah
• Adanya peraturan yang tegas agar dapat memberikan pencegahan dan
efek jera, dengan adanya hukuman yang berat ataupun denda tinggi
• Mengadakan sistem pendidikan yang ramah pada anak dan keselamatan
anak guna menjunjung tinggi hak-hak anak

22
BAB III
KESIMPULAN

Tindak pidana pencabulan adalah suatu tindak pidana yang bertentangan dan
melanggar kesopanan dan kesusilaan seseorang yang semuanya dalam lingkungan
nafsu birahi kelamin, misalnya seorang laki-laki meraba kelamin seorang perempuan.
Perbuatan cabul yakni semua perbuatan yang dilakukan untuk mendapatkan
kenikmatan seksual sekaligus menganggu kehormatan kesusilaan dijelaskan dalam
KUHP 289. Sedangkan dalam konsep KUHP yang baru ditambahkan kata
“persetubuhan” disamping pencabulan, sehingga pencabulan dan persetubuhan
dibedakan. Pemeriksaan forensik pada kasus kejahatan seksual meliputi anamnesis
mengenai kronologi kejadian, pemeriksaan fisik umum dan pemeriksaan fisik khusus
untuk mencari bukti-bukti fisik kekerasan, serta pemeriksaan penunjang untuk
pembuktian persetubuhan dan membuktikan kejahatan seksual tersebut termasuk
dalam pemerkosaan atau pencabulan.

23
BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

1. Burgess AW, Marchetti CH. Contemporary issues. In: Hazelwood RR, Burgess
AW, editors. Practical aspects of rape investigation: A multidisiplinary approach.
4th ed. Boca Raton (FL): CRC Press; 2014. h. 3-23.
2. Komnas Perempuan. Kekerasan seksual: Kenali dan tangani. Komnas Perempuan;
2015. h. 1-5.
3. Meilia, Putri Dianita Ika. Prinsip Pemeriksaan dan Penatalaksanaan Korban (P3K)
Kekerasan Seksual. Cermin Dunia Kedokteran-196. 2015; 39(8); 579-583.
4. Syamsuddin, Rahman. Peranan Visum et Repertum di Pengadilan. Al-Risalah.
2016; 11(1); 187-200.
5. Dahlan S. Ilmu kedokteran forensik. Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Semarang. 2014: 130-131.
6. Departermen Pendidikan dan Kebudayaan, op.cit, h. 142.
7. Moeljatno. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Jakarta: Bumi Aksara.
2013.h. 106.
8. R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta komentar-
komentarnya lengkap pasal demi pasal.1996. Bogor: Politeia. h. 212.
9. Susanti, Rika. Paradigma Baru Peran Dokter Dalam Pelayanan Kedokteran
Forensik. Majalah Kedokteran Andalas.2017; 36 (2); 146-152.
10. Ocviyanti, Dwiyana; Budiningsih, Yuli; Khusen, Denny; Dorothea, Maya. 2019.
Peran Dokter dalam Menangani Pelecehan Seksual pada Anak di Indonesia (IDI).
J Indon Med Assoc, Volume: 69, Nomor: 2, h. 90 – 93.

24

Anda mungkin juga menyukai