Anda di halaman 1dari 33

PEMERIKSAAN PSIKOLOGI INVESTIGASI

“ MAKALAH KEKERASAN SEKSUAL”

DOSEN PENGAMPU: Yuarini W. Pertiwi, M.Psi., Psikolog

OLEH

Eufrasia Sarce Suryati 201710525204

Ricky Yazidane Ardian 201710515188

Fenti Listiarum Juniar 201710515130

Vienna Diva Agnetha 201710515144

Yeyen Aggraeni 201710515165

Cindi Windiana 201710515170

Iklin Ma’rifatul 201710515090

Dika Siwa Nata 201710515201

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS BHAYANGKARA JAKARTA RAYA

2020
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, Karena atas segala rahmat dan berkatnya,
sehingga penulis dapat meyelesaikan Makalah dengan tema; “Kekerasan Seksual”

Penulis menyadari bahwa Tugas ini masih jauh dari kata sempurna, Oleh karena itu kritik yang
membangun dari semua pihak sangat di perlukan demi kesempurnaan Tugas ini.

Akhir kata, Penulis mohon maaf apabila masih terdapat banyak kesalahan. Semoga tugas ini
bermanfaat bagi penulis sendiri dan bagi pembaca.

Bekasi, 09 November 2020

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Kekerasan seksual marak terjadi di Indonesia, tidak hanya dialami oleh wanita dewasa,
tetapi hal yang sama juga dialami oleh anak-anak dan Remaja. berbagai bentuk
kekerasan Seksual hampir terjadi di sebagian besar wilayah Indonesia, dengan berbagai
motif dan korban dengan rentang usia yang muda hingga dewasa, tidak hanya itu,
beberapa waktu lalu pernah terjadi kekerasan seksual yang dilami oleh seorang wanita
lansia.
Hal ini membuktikan bahwa, kekerasan seksual tidak memandang usia. Dalam RUU
Penghapusan Kekerasan Seksual, BAB V, pasal 11 ayat 2 menyebutkan 10 jenis
kekerasan seksual dengan lanjutan pada BAB XIII tentang ketentuan pidana,
menerangkan dengan jelas berbagai bentuk hukuman bagi pelaku kekerasanb seksual
berdasarkan jenis kekerasan seksual yang dilakukan.

2. Rumusan Masalah
1. Apa Definsi kekerasan Seksual?
2. Faktor apa yang mempengaruhi terjadinya kekerasan seksual?
3. Apa Isi RUU Kekerasan Seksual?
4. Bagaiamana Bentuk kekerasan Seksual?
5. Apa Dampak Psikologis Bagi Korban Kekerasan Seksual?

3. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui Definisi Kekerasan Seksual
2. Untuk memahami Faktor yang mempengaruhi kekerasan Seksual
3. Memahami Isi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
4. Mengetahui Bentuk Kekerasan Seksual
5. Memahami Dampak Psikologis bagi Korban Kekerasan Seksual
BAB II
PEMBAHASAN

1. Definisi Kekerasan Seksual


Secara Umum, Kekerasan seksual merupakan setiap perbuatan merendahkan , menghina,
menyerang dan/atau tindakan lainnya, terhadap tubuh yang terkait dengan nafsu
perkelaminan, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa,
bertentangan dengan kehendak seseorang, dan/atau tindakan lain yang menyebabkan
seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena
ketimpanga relasi kuasa, relasi gender dan/atau sebab lain, yang berakibat atau dapat
berakibat penderitaan atau kesengsaraan terhadap secara fisik, psikis, seksual, kerugian
secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.
Poerwandari (2020) mendefiniskan kekerasan seksual sebagai tindakan yang mengarah
ke ajakan/desakan seksual seperti menyentuh, meraba, mencium, dan atau melakukan
tindakan-tindakan lain yag tidak dikehendaki oleh korban, memaksa korban menonton
produk pornografi, gurauan-gurauan seksual, ucapan-ucapan yang merendahkan dan
melecehkan dengan mengarah pada aspek jenis kelamin/seks korban, memaksa
berhubungan seks tanpa persetujua korban dengan kekerasan fisik maupun tidak,
memaksa melakukan aktivitas-aktivitas seksual yang tidak disukai, merendahkan,
menyakiti, atau melukai korban.
Mbojek (1992) dan Stanko (1996) mendefinikan kekerasan seksual adalah suatu
perbuatan yang biasaya dilakukan laki-laki dan ditujukan kepada perempuan dalam
bidang seksual yang tidak disukai oleh perempuan sebab ia merasa terhina, tetapi kalau
perbuatan itu ditolak ada kemungkinan ia menerima akibat buruk lainnya.

2. Faktor-Faktor yag Mempengaruhi Kekerasan Seksual


Faktor yang mempengaruhi Kekerasan Seksual Pada Anak
a. Faktor Keluarga
Hasil penelitian menunjukkan bahwa yang mengalami kekerasan seksual adalah anak
dari korban perceraian, atau berasal dari keluarga yang tidak utuh. Kondisi-kondisi
emosi timbul akibat rasa sakit yang timbul akibat perceraian. Rasa sakit yang ada
pada diri individulah yang kemudian menjadi pemicu ketidakstabilan emosi. Adanya
kemiskinan struktural dan disharmoni keluarga yang dapat memicu depresi dan
frustasi. Kondisi semacam ini dapat menyebabkan orang tua hanya hadir secara fisik,
namun tidak hadir secara emosional. Oleh karena itu anak merasa tidak betah di
rumah, sehingga dapat menyebabkan anak mencari orang untuk berlindung.
Anak akan mengembangkan kebencian pada kejadian, apapun pihak yang
menimbulkan rasa sakit tersebut. Perceraian tidak hanya akan menimbulkan
kebencian pada kedua orang tua, tapi juga pada dirinya sendiri. Sehingga, anak akan
berusaha “menjauhi” orang tua dan dirinya sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa
dengan adanya perceraian membentuk pola tingkah laku anak terhadap orang lain
dalam masyarakat yang meningkatkan resiko terjadinya kekerasan seksual pada anak.
b. Faktor Lingkungan
Menurut Retnowati (2007) kondisi lingkungan sosial yang tidak sehat atau rawan,
dapat merupakan faktor yang kondusif bagi anak/remaja untuk berperilaku tidak
wajar. Faktor kutub masyarakat ini dapat dibagi dalam 2 bagian, yaitu pertama, faktor
kerawanan masyarakat dan kedua, faktor daerah rawan (gangguan keamanan dan
ketertiban masyarakat). Kondisi lingkungan sosial yang buruk, pemukiman kumuh,
tergusurnya tempat bermain anak, sikap acuh tak acuh terhadap tindakan eksploitasi,
pandangan terhadap nilai anak yang terlalu rendah, meningkatnya paham ekonomi
upah, lemahnya perangkat hukum, tidak adanya mekanisme kontrol sosial yang stabil
memicu meningkatnya kejadian kekerasan seksual pada anak. Adanya kehamilan
tidak diinginkan yang hampir ada di setiap lingkungan masyarakat menggambarkan
lingkungan sosial yang tidak sehat.
c. Faktor Nilai
Pernikahan dini yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, telah berlangsung sejak
lama dan masih bertahan sampai sekarang. Menurut pengakuan sebagian masyarakat,
pernikahan usia dini terjadi tidak hanya karena faktor ekonomi semata, tetapi lebih
banyak disebabkan faktor pergaulan bebas yang berakibat terjadinya hamil di luar
nikah. Faktor penyebab remaja nikah dini adalah perilaku seksual dan kehamilan
yang tidak direncanakan, dorongan ingin menikah, ekonomi, dan rendahnya
pendidikan orang tua.
d. Faktor Individu
Menurut Suharto, kekerasan terhadap anak umumnya disebabkan oleh faktor internal
yang berasal dari anak sendiri maupun faktor eksternal yang berasal dari kondisi
keluarga dan masyarakat. Faktor internal seperti anak mengalami cacat tubuh,
retardasi mental, gangguan tingkah laku, autisme, anak terlalu lugu, memiliki
temperamen lemah, ketidaktahuan anak akan hak-haknya, anak terlalu bergantung
pada orang dewasa. Hal ini terjadi pada informan dua dan tiga , ketika anak tersebut
mengalami cacat tubuh dan anak terlalu bergantung pada orang dewasa (Solihin,
2004).

Tingginya tingkat pelecehan seksual pada perempuan di sebabkan oleh beberapa faktor,
yaitu :

a. Faktor Natural Atau Biologis


Faktor natural atau biologis memiliki asumsi bahwa laki-laki memiliki dorongan
seksual yang lebih besar dibandingkan perempuan, sehingga laki-laki yang cenderung
melakukan tindakan terhadap perempuan. Pada faktor natural dan biologis ini
diasumsikan bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki rasa ketertarikan
yang besar satu sama lain. Oleh karena itu reaksi yang di harapkan muncul pada
perempuan adalah persaan tersanjung atau minimal tidak merasa terganggu oleh
tindakan tersebut. Namun pada kenyataanya, korban pelecehan seksual merasa
terganggu dan terhina karena di lecehkan oleh pelaku pelecehan seksual.
b. Faktor Sosial Budaya
Pada faktor ini di jelaskan bahwa pelecehan seksual adalah manifestasi dari sistem
patriakal dimana laki-laki dianggap lebih berkuasa dan dimana keyakinan dalam
masyarakat mendukung anggapan tersebut. Sehingga anggapan tersebut telah
tertanam dalam pikiran masyarakat. Selama ini masyarakat cenderung memberikan
reward kepada laki-laki untuk perilaku seksual yang bersifat agresif dan
mendominasi, sedangkan perempuan diharapkan untuk bertindak lebih pasif dan
pasrah. Akibat dari reward tersebut, masing-masing jenis kelamin baik laki-laki
maupun perempuan diharapkan untuk berperilaku sesuai dengan peran yang telah di
tentukan tersebut.

3. Bentuk Kekerasan Seksual


dikutip dari Komnas Perempuan, terdapat 15 bentuk kekerasan seksual, yakni;
1. Perkosaan
Serangan dalam bentuk pemaksaan hubungan seksual dengan memakai penis ke arah
vagina, anus atau mulut korban. Bisa juga menggunakan jari tangan atau benda-benda
lainnya. Serangan dilakukan dengan kekerasan, ancaman kekerasan,
penahanan,tekanan psikologis, penyalahgunaan kekuasaan, atau dengan mengambil
kesempatan dari lingkungan yang penuh paksaan. Pencabulan adalah istilah lain dari
perkosaan yang dikenal dalam sistem hukum Indonesia. Istilah ini digunakan ketika
perkosaan dilakukan di luar pemaksaan penetrasi penis ke vagina dan ketika terjadi
hubungan seksual pada orang yang belum mampu memberikan persetujuan secara
utuh, misalnya terhadap anak atau seseorang di bawah 18 tahun.
2. Intimidasi Seksual termasuk Ancaman Atau Perkosaan
Tindakan yang menyerang seksualitas untuk menimbulkan rasa takut atau penderitaan
psikis pada perempuan korban. Intimidasi seksual bisa disampaikan secara langsung
maupun tidak langsung melalui surat, sms, email, dan lain-lain. Ancaman atau
percobaan perkosaan juga bagian dari intimidasi seksual.
3. Pelecehan Seksual
Tindakan seksual lewat sentuhan fisik maupun non-fisik dengan sasaranorgan seksua
atau seksualitas korban. Ia termasuk menggunakan siulan, main mata, ucapan
bernuansa seksual, mempertunjukan materi pornografi dan keinginan seksual, colekan
atau sentuhan di bagian tubuh, gerakan atau isyarat yang bersifat seksual sehingga
mengakibatkan rasa tidak nyaman, tersinggung, merasa direndahkan martabatnya,
dan mungkin sampai menyebabkan masalah kesehatan dan keselamatan.
4. Eksploitasi Seksual
Tindakan penyalahgunaan kekuasan yang timpang,atau penyalahgunaan kepercayaan,
untuk tujuan kepuasan seksual, maupun untuk memperoleh keuntungan dalam bentuk
uang, sosial, politik dan lainnya. Praktik eksploitasi seksual yang kerap ditemui
adalah menggunakan kemiskinan perempuan sehingga ia masuk dalam prostitusi atau
pornografi. Praktik lainnya adalah tindakan mengimingimingi perkawinan untuk
memperolehlayanan seksual dari perempuan, lalu ditelantarkankan. Situasi ini kerap
disebut juga sebagai kasus “ingkar janji”. menggunakan cara pikir dalam masyarakat,
yang mengaitkan posisi perempuan dengan status perkawinannya. Perempuan
menjadi merasa tak memiliki daya tawar, kecuali dengan mengikuti kehendak pelaku,
agar ia dinikahi
5. Perdagangan Perempuan Untuk Tujuan Seksual
Tindakan merekrut, mengangkut, menampung, mengirim, memindahkan, atau
menerima seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan,
penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atas posisi rentan,
penjeratan utang atau pemberian bayaran atau manfaat terhadap korban secara
langsung maupun orang lain yang menguasainya, untuk tujuan prostitusi ataupun
eksploitasi seksual lainnya. Perdagangan perempuan dapat terjadi di dalam negara
maupun antar negara.
6. Prostitusi Paksa
Situasi dimana perempuan mengalami tipu daya, ancaman maupun kekerasan untuk
menjadi pekerja seks. Keadaan ini dapat terjadi pada masa rekrutmen maupun untuk
membuat perempuan tersebut tidak berdaya untuk melepaskan dirinya dari prostitusi,
misalnya dengan penyekapan, penjeratan utang, atau ancaman kekerasan. Prostitusi
paksa memiliki beberapa kemiripan, namun tidak selalu sama dengan perbudakan
seksual atau dengan perdagangan orang untuk tujuan seksual.
7. Perbudakan Seksual
Situasi dimana pelaku merasa menjadi “pemilik” atas tubuh korban sehingga berhak
untuk melakukan apapun termasuk memperoleh kepuasan seksual melalui
pemerkosaan atau bentuk lain kekerasan seksual. Perbudakan ini mencakup situasi
dimana perempuan dewasa atau anak-anak dipaksa menikah, melayani rumah tangga
atau bentuk kerja paksa lainnya, serta berhubungan seksual dengan penyekapnya.
8. Pemaksaan Perceraian Termasuk Cerai Gantung
perkawinan dimasukkan sebagai jenis kekerasan seksual karena pemaksaan
hubungan seksual menjadi bagian tidak terpisahkan dari perkawinan yang tidak
diinginkan oleh perempuan tersebut. Ada beberapa praktik di mana perempuan terikat
perkawinan di luar kehendaknya sendiri. Pertama, ketika perempuan merasa tidak
memiliki pilihan lain kecuali mengikutikehendak orang tuanya agar dia menikah,
sekalipun bukan dengan orang yang dia inginkan atau bahkan dengan orang yang
tidak dia kenali. Situasi ini kerap disebut kawin paksa. Kedua, praktik memaks
korban perkosaan. menikahi pelaku. Pernikahan itu dianggap mengurangi aib akibat
perkosaan yang terjadi. Ketiga, praktik cerai gantung yaitu ketika perempuan dipaksa
untuk terus berada dalam ikatan perkawinan padahal ia ingin bercerai. Namun,
gugatan cerainya ditolak atau tidak diproses dengan berbagai alasan baik dari pihak
suami maupun otoritas lainnya. Keempat, praktik “Kawin Cina Buta”, yaitu
memaksakan perempuan untuk menikah dengan orang lain untuk satu malam dengan
tujuan rujuk dengan mantan suaminya setelah talak tiga (cerai untuk ketiga kalinya
dalam hukumIslam). Praktik ini dilarang oleh ajaranagama, namun masih ditemukan
diberbagai daerah.
9. Pemaksaan Kehamilan
Situasi ketika perempuan dipaksa, dengan kekerasan maupunancaman kekerasan,
untuk melanjutkan kehamilan yang tidakdia kehendaki. Kondisi ini misalnya
dialamoleh perempuan korban perkosaan yang tidak diberikan pilihan lain kecuali
melanjutkan kehamilannya. Juga, ketika suami menghalangi istrinya untuk
menggunakan kontrasepsi sehingga perempuan itu tidak dapat mengatur jarak
kehamilannya. Pemaksaan kehamilan ini berbeda dimensi dengan kehamilan paksa
dalam konteks kejahatan terhadap kemanusiaan dalam Statuta Roma, yaitu situasi
pembatasan secara melawan hukum terhadap seorang perempuan untuk hamil secara
paksa, dengan maksud untuk membuat komposisi etnis dari suatu populasi atau untuk
melakukan pelanggaran hukum internasional lainnya.
10. Pemaksaan Aborsi
Pengguguran kandungan yang dilakukan karena adanya tekanan, ancaman, maupun
paksaan dari pihak lain.
11. Pemaksaan Kontrasepsi dan Sterilisasi
Disebut pemaksaan ketika pemasangan alat kontrasepsi dan/atau pelaksanaan
sterilisasi tanpa persetujuan utuhdari perempuan karena ia tidak mendapat informasi
yang lengkap ataupun dianggap tidak cakap hukum untuk dapat memberikan
persetujuan. Pada masa Orde Baru, tindakan ini dilakukan untuk menekan laju
pertumbuhan penduduk, sebagai salah satui ndikator keberhasilan pembangunan.
Sekarang, kasus pemaksaan pemaksaan kontrasepsi/ sterilisasi biasa terjadi pada
perempuan dengan HIV/AIDS dengan alasan mencegah kelahiran anak dengan
HIV/AIDS. Pemaksaan ini juga dialami perempuan penyandang disabilitas, utamanya
tuna grahita, yang dianggap tidak mampu membuat keputusan bagi dirinya sendiri,
rentan perkosaan, dan karenanya mengurangi beban keluarga untuk mengurus
kehamilannya.
12. Penyiksaan Seksual
Tindakan khusus menyerang organ dan seksualitas perempuan, yang dilakukan
dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan hebat, baik
jasmani, rohani maupun seksual. Ini dilakukan untuk memperoleh pengakuan atau
keterangan darinya, atau dari orang ketiga, atau untuk menghukumnya atas suatu
perbuatan yang telah atau diduga telah dilakukan olehnya ataupun oleh orang ketiga.
Penyiksaan seksual juga bisa dilakukan untuk mengancam atau memaksanya, atau
orang ketiga, berdasarkan pada diskriminasi atas alasan apapun. Termasuk bentuk ini
apabila rasa sakit dan penderitaan tersebut ditimbulkan oleh hasutan, persetujuan,
atau sepengetahuan pejabat public atau aparat penegak hukum.
13. Penghukuman tidak Manusiawi bernuansa Seksual
Cara menghukum yang menyebabkan penderitaan,kesakitan, ketakutan, atau rasamalu
yang luar biasa yang tidak bisa tidak termasuk dalam penyiksaan. Ia termasuk
hukuman cambuk dan hukuman-hukuman yang mempermalukan atau untuk
merendahkan martabat manusia karena dituduh melanggar norma-norma kesusilaan.
14. Praktik Tradisi bernuansa Seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi
Perempuan
Kebiasaan masyarakat , kadang ditopang dengan alasan agama dan/atau budaya, yang
bernuansa seksual dan dapat menimbulkan cidera secara fisik, psikologis maupun
seksual pada perempuan. Kebiasaan ini dapat pula dilakukan untuk mengontrol
seksualitas perempuan dalam perspektif yang merendahkan perempuan. Sunat
perempuan adalah salah satu contohnya.
15. Kontrol Seksual termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan Agama
Cara pikir di dalam masyarakat yang menempatkan perempuan sebagai simbol
moralitas komunitas, membedakan antara “perempuan baik-baik” dan perempuan
“nakal”, dan menghakimi perempuan sebagai pemicu kekerasan seksual menjadi
landasan upaya mengontrol seksual (dan seksualitas) perempuan. Kontrol seksua
mencakup berbagai tindak kekerasan maupun ancaman kekerasan secara langsung
maupun tidak langsung, untuk mengancam atau memaksakan perempuan untuk
menginternalisasi simbolsimbol tertentu yang dianggap pantas bagi “perempuan baik-
baik’. Pemaksaan busana menjadi salah satu bentuk kontrol seksual yang paling
sering ditemui. Kontrol seksual juga dilakukan lewat aturan yang memuat kewajiban
busana, jam malam, larangan berada di tempat tertentu pada jam tertentu, larangan
berada di satu tempat bersama lawan jenis tanpa ikatan kerabat atau perkawinan, serta
aturan tentang pornografi yang melandaskan diri lebih pada persoalan moralitas
daripada kekerasan seksual. Aturan yang diskriminatif ini ada di tingkat nasional
maupun daerah dan dikokohkan dengan alasan moralitas dan agama. Pelanggar aturan
ini dikenai hukuman dalam bentuk peringatan, denda, penjara maupun hukuman
badan lainnya.

4. Dampak Psikologis Kekerasan Seksual pada Anak dan Perempuan


Akibat kekerasan yang diterima, sangat dimungkinkan korban mengalami
gangguan psikologis yang dapat berupa gangguan emosional, gangguan perilaku maupun
gangguan kognisi.
Gangguan emosional yang dimaksud yakni emosi yang tidak stabil dan berdampak pada
mood memburuk. Kemudian gangguan perilaku cenderung terlihat pada perubahan
perilaku korban ke hal yang lebih negatif seperti malas yang berlebihan. Terakhir
gangguan kognisi yakni gangguan yang mempengaruhi pola pikir korban sehingga sulit
untuk berkonsentrasi, sering melamun dan pikiran kosong atau hal sejenis lainnya.
Dampak psikologis dari tindak kekerasan tidak sesederhana pemikiran masyarakat
umum. Begitu psikologis korban terkena dampaknya, maka pola pikir korban perlahan-
lahan berubah dan mempengaruhi ke berbagai hal. Mulai dari cara berpikir terhadap
sesuatu, kestabilan emosi yang rentan, bahkan hingga depresi.

Dampak psikologis tersebut dapat dikatakan sebagai suatu jenis trauma pasca kejadian.
Dimana trauma ini cukup mempengaruhi korban, khususnya menyebabkan ketakutan dan
kecemasan berlebihan sebagai akibat dari otak yang tanpa sengaja flashback akan
kejadian kekerasan yang pernah dialami.
Sebagian orang yang mengalami trauma akan merasakan cemas, was-was bahkan
ketakutan yang sangat saat mengalami suatu kejadian yang mirip dengan tindak
kekerasan yang pernah dialami. Hal ini tidak dapat dihindari karena ini merupakan salah
satu dampak psikologis dari kekerasan seksual.
Guna mengurangi tekanan psikologis yang ia alami dari trauma itu, korban biasanya akan
meluapkan pemikiran atau perasaannya pada orang lain guna mendapat saran dan
menenangkan dirinya sendiri. Korban juga mengalami depresi akibat dari kejadian yang
menimpanya. Depresi tentunya tidak dapat diremehkan karena kemungkinan terburuk
dari orang depresi adalah keputusan untuk mengakhiri hidup sendiri. Kemungkinan
paling kecil dan paling ringan dari seorang yang depresi adalah tindak selfharm atau
menyakiti diri sendiri. Entah itu mengiris-iris bagian tubuh dengan cutter, gunting, dan
lain sebagainya yang bersifat melukai diri sendiri.

5. RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual


BAB V – Tindak Pidana Kekerasan Seksual
Pasal 11
(1) Setiap orang dilarang melakukan kekerasan Seksual
(2) Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayai (1) terdiri dari:
a. Pelecehan Seksual
b. Eksploitasi Seksualn
c. Pemaksaan Kontrasepsi
d. Pemaksaan Aborsi
e. Perkosaan
f. Pemaksaan Perkawinan
g. Perbudakan Seksual, dan/atau;
h. Penyiksaan Seksual

Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi peristiwa kekerasan
seksual dalam lingkup personal, rumah tangga, relasi kerja, public, dan situasi khusus
lainnya.

BAB XIII Tentang KETENTUAN PIDANA


Bagian kedua – Pidana
Paragraf 1
Pidana Pokok dan Pidana Tambahan
Pasal 87
(1) Pidana pokok bagi pelaku tindak pidana Kekerasan Seksual terdiri atas:
a. pidana penjara;
b. rehabilitasi khusus;
(2) Pidana tambahan bagi pelaku tindak pidana Kekerasan Seksual terdiri atas:
a. Ganti Kerugian;
b. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;
c. kerja sosial;
d. pembinaan khusus;
e. pencabutan hak asuh;
f. pencabutan hak politik; dan/atau
g. pencabutan jabatan atau profesi.
Paragraf 2
Rehabilitasi Khusus
Pasal 88
(1) Rehabilitasi khusus diselenggarakan dengan cara konseling, terapi, dan tindakan
intervensi lainnya.
(2) Rehabilitasi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh
unit yang berada dibawah kementerian yang membidangi urusan hukum dan hak asasi
manusia yang menyelenggarakan rehabilitasi khusus.
(3) Rehabilitasi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dijatuhkan
kepada:
a. terpidana anak yang berusia di bawah 14 (empat belas) tahun; atau
b. terpidana pada perkara pelecehan seksual.
Paragraf 3
Pidana Tambahan Kerja Sosial
Pasal 89
(1) Dalam menentukan bentuk dan tempat pelaksanaan pidana tambahan kerja sosial,
hakim wajib mempertimbangkan:
a. tindak pidana Kekerasan Seksual;
b. pidana pokok yang dijatuhkan hakim;
c. kondisi psikologis pelaku; dan
2) Lembaga pemasyarakatan mengawasi pelaksanaan pidana tambahan kerja sosial.d.
identifikasi tingkat resiko yang membahayakan.
Paragraf 4
Pembinaan Khusus
Pasal 90
(1) Pidana tambahan pembinaan khusus meliputi hal-hal yang berkaitan dengan:
a. perawatan di bawah psikolog dan/atau psikiater;
b. peningkatan kesadaran hukum;
c. pendidikan intelektual;
d. pengubahan sikap dan perilaku;
e. perawatan kesehatan jasmani dan rohani; dan
f. reintegrasi perilaku tanpa Kekerasan Seksual.
(2) Ketentuan mengenai pelaksanaan pidana tambahan pembinaan khusus diatur lebih
lanjut dalam peraturan pemerintah.
Bagian Ketiga
Pidana Pelecehan Seksual
Pasal 91
(1) Setiap orang yang melakukan pelecehan seksual non-fisik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (2) huruf a yang mengakibatkan seseorang merasa terhina,
direndahkan atau dipermalukan dipidana rehabilitasi khusus paling lama 1 (satu)
bulan.
(2) Apabila pelecehan seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh:
a. orang tua atau keluarga;
b. seseorang yang berperan, bertugas atau bertanggungjawab memelihara,
mengawasi, atau membina di lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, lembaga
sosial, tempat penitipan anak, atau tempat-tempat lain dimana anak berada dan
seharusnya terlindungi keamanannya;
c. atasan, pemberi kerja atau majikan;
d. seseorang yang memiliki posisi sebagai tokoh agama, tokoh adat, tokoh
masyarakat, atau pejabat;
maka ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah dengan pidana
tambahan kerja sosial.
Pasal 92
(1) Setiap orang yang melakukan pelecehan seksual fisik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (2) huruf a kepada seseorang yang mengakibatkan seseorang itu
merasa terhina, direndahkan atau dipermalukan, dipidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun dan pidana tambahan pembinaan khusus.
(2) Setiap orang yang melakukan pelecehan seksual fisik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (2) huruf a kepada anak, dipidana penjara paling lama 4 (empat)
tahun dan pidana tambahan pembinaan khusus.
(3) Setiap orang yang melakukan pelecehan seksual fisik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (2) huruf a kepada orang dengan disabilitas, dipidana penjara
paling lama 4 (empat) tahun dan pidana tambahan pembinaan khusus.
(4) Setiap orang yang melakukan pelecehan seksual fisik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (2) huruf a kepada anak dengan disabilitas, dipidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan pidana tambahan pembinaan khusus
Pasal 93
Apabila pelecehan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf a
disertai dengan ancaman kepada Korban, mengakibatkan seseorang mengalami
kegoncangan jiwa, dan/atau mengakibatkan seseorang itu mengalami luka berat
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 8
(delapan) tahun dan pidana tambahan pembinaan khusus.
Pasal 94
(1) Apabila pelecehan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf a
dilakukan oleh:
a. atasan, pemberi kerja atau majikan; atau
b. tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat, atau pejabat;
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 10
(sepuluh) tahun dan ditambah pidana tambahan pembinaan khusus.
(2) Apabila pelecehan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf a
dilakukan oleh:
a. orangtua atau keluarga; atau
b. seseorang yang bertanggung jawab memelihara, mengawasi, atau membina di
lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, lembaga sosial, tempat penitipan anak,
atau tempat lain di mana anak berada dan seharusnya terlindungi keamanannya;
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 12 (dua
belas) tahun dan ditambah pidana tambahan pembinaan khusus.
Bagian Keempat
Pidana Eksploitasi Seksual
Pasal 95
(1) Setiap orang yang melakukan eksploitasi seksual sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (2) huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana tambahan Ganti Kerugian.
(2) Setiap orang yang melakukan eksploitasi seksual sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (2) huruf b terhadap:
a. anak, atau
b. orang dengan disabilitas;
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15
(lima belas) tahun dan pidana tambahan Ganti Kerugian.
(3) Setiap orang yang melakukan eksploitasi seksual sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (2) huruf b terhadap anak dengan disabilitas, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 18 (delapan belas) tahun dan
pidana tambahan Ganti Kerugian.
Pasal 96
(1) Apabila eksploitasi seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf
b mengakibatkan seseorang mengalami kegoncangan jiwa, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 8 (delapan) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, pidana
tambahan Ganti Kerugian, dan pidana tambahan pembinaan khusus.
(2) Apabila eksploitasi seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf
b mengakibatkan seseorang mengalami kehamilan, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, pidana
tambahan Ganti Kerugian, dan pidana tambahan pembinaan khusus.
(3) Apabila eksploitasi seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf
b mengakibatkan seseorang mengalami luka berat atau mengalami gangguan
kesehatan yang berkepanjangan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12
(dua belas) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, pidana tambahan Ganti
Kerugian, dan pidana tambahan pembinaan khusus.
(4) Apabila eksploitasi seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf
b mengakibatkan seseorang meninggal, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 20 (dua puluh) tahun dan paling lama seumur hidup, dan pidana tambahan
Ganti Kerugian.
Pasal 97
Apabila eksploitasi seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf b
dilakukan terhadap seseorang yang sedang hamil, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana
tambahan Ganti Kerugian.
Pasal 98
Apabila eksploitasi seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf b
dilakukan oleh:
a. atasan, pemberi kerja atau majikan; atau
b. seseorang yang berperan, bertugas atau bertanggungjawab memelihara,
mengawasi, membina yang terjadi di lembaga pendidikan, lembaga keagamaan,
lembaga sosial, tempat penitipan anak, atau tempat-tempat lain dimana anak berada
dan seharusnya terlindungi keamanannya;
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) tahun dan paling lama
20 (dua puluh) tahun, pidana tambahan Ganti Kerugian, dan pidana tambahan
pembinaan khusus.
Pasal 99
Apabila eksploitasi seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf b
dilakukan oleh orang tua atau keluarga, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 15 (lima belas) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, pidana tambahan
Ganti Kerugian, pidana tambahan pencabutan hak asuh, dan pidana tambahan
pembinaan khusus.
Pasal 100
Apabila eksploitasi seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf b
dilakukan dalam situasi bencana alam, perang, konflik senjata, atau konflik sosial,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 15 (lima belas) tahun dan paling lama
20 (dua puluh) tahun, pidana tambahan Ganti Kerugian, dan pidana tambahan
pembinaan khusus.
Bagian Kelima
Pidana Pemaksaan Kontrasepsi

Pasal 101

(1) Setiap orang yang melakukan pemaksaan kontrasepsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
ayat (2) huruf c, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3
(tiga) tahun dan pidana tambahan Ganti Kerugian.
(2) Setiap orang yang melakukan pemaksaan kontrasepsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
ayat (2) huruf c kepada anak, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan
paling lama 6 (enam) tahun dan pidana tambahan Ganti Kerugian.

(3) Setiap orang yang melakukan pemaksaan kontrasepsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
ayat (2) huruf c kepada orang dengan disabilitas, dipidana dengan pidana penjara paling singkat
2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan pidana tambahan Ganti Kerugian.

(4) Setiap orang yang melakukan pemaksaan kontrasepsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
ayat (2) huruf c kepada anak dengan disabilitas, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3
(tiga) tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun dan pidana tambahan Ganti Kerugian.

Pasal 102

(1) Apabila pemaksaan kontrasepsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf c
dilakukan dengan pengangkatan bagian organ reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 3 (delapan) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana tambahan Ganti
Kerugian.

(2) Apabila pemaksaan kontrasepsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf c
mengakibatkan seseorang mengalami keguncangan jiwa, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana tambahan Ganti
Kerugian.

(3) Apabila pemaksaan kontrasepsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf c
mengakibatkan seseorang mengalami disabilitas permanen, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat singkat 7 (tujuh) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana
tambahan Ganti Kerugian.

(4) Apabila pemaksaan kontrasepsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf c
mengakibatkan seseorang mengalami luka berat dan gangguan kesehatan yang berkepanjangan,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat singkat 8 (delapan) tahun dan paling lama 18
(delapan belas) tahun dan pidana tambahan Ganti Kerugian.
(5) Apabila pemaksaan kontrasepsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf c,
mengakibatkan seseorang meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat
singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) dan pidana tambahan Ganti Kerugian.

Pasal 103

Apabila pemaksaan kontrasepsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf c
dilakukan dalam situasi bencana alam, perang, konflik senjata, atau konflik sosial, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 8 (delapan) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun,
pidana tambahan Ganti Kerugian, dan pidana tambahan pembinaan khusus.

Pasal 104

Dalam hal pemasangan kontrasepsi terhadap orang dengan disabilitas mental yang dilakukan atas
permintaan keluarga berdasarkan pertimbangan ahli untuk melindungi keberlangsungan
kehidupan orang tersebut bukan merupakan tindak pidana.

Bagian Keenam

Pidana Pemaksaan Aborsi

Pasal 105

(1) Setiap orang yang melakukan pemaksaan aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat
(2) huruf d, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima
tahun) tahun dan pidana tambahan Ganti Kerugian.

(2) Setiap orang yang melakukan pemaksaan aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat
(2) huruf d terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama 6 (enam) tahun dan pidana tambahan Ganti Kerugian.

(3) Setiap orang yang melakukan pemaksaan aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat
(2) huruf d terhadap orang dengan disabilitas, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana tambahan Ganti Kerugian.
(4) Setiap orang yang melakukan pemaksaan aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat
(2) huruf d terhadap anak dengan disabilitas, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana tambahan Ganti Kerugian.

Pasal 106

(1) Apabila pemaksaan aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf d
mengakibatkan seseorang mengalami kegoncangan jiwa, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun dan pidana tambahan Ganti Kerugian.

(2) Apabila pemaksaan aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf d
mengakibatkan seseorang mengalami disabilitas permanen, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana tambahan Ganti
Kerugian.

(3) Apabila pemaksaan aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf d
mengakibatkan seseorang mengalami luka berat dan gangguan kesehatan yang berkepanjangan,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 7 (tujuh) tahun dan paling lama 18 (delapan belas)
tahun dan pidana tambahan Ganti Kerugian.

(4) Apabila pemaksaan aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf d
mengakibatkan seseorang meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara 10 (sepuluh) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) dan pidana tambahan Ganti Kerugian.

Pasal 107

Apabila pemaksaan aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf d dilakukan
dalam situasi bencana alam, perang, konflik senjata, atau konflik sosial, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 8 (delapan) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun, pidana tambahan
Ganti Kerugian, dan pidana tambahan pembinaan khusus.

Bagian Ketujuh
Pidana Perkosaan
Pasal 108
(1) Setiap orang yang melakukan perkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2)
huruf e, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 (dua belas
tahun) tahun dan pidana tambahan Ganti Kerugian.

(2) Setiap orang yang melakukan perkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2)
huruf e terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling
lama 13 (tiga belas) tahun dan pidana tambahan Ganti Kerugian.

(3) Setiap orang yang melakukan perkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2)
huruf e terhadap orang dengan disabilitas, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6
(enam) tahun dan paling lama 14 (empat belas) tahun dan pidana tambahan Ganti Kerugian.

(4) Setiap orang yang melakukan perkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2)
huruf e terhadap anak dengan disabilitas, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 7 (tujuh)
tahun dan paling lama 15 (lima belas) dan pidana tambahan Ganti Kerugian.

Pasal 109

Setiap orang yang melakukan perkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf e
terhadap Korban:

a. dalam keadaan tidak sadar atau tidak berdaya; atau

b. diketahui sedang hamil;

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 8 (delapan) tahun dan paling lama 16 (enam
belas) dan pidana tambahan Ganti Kerugian.

Pasal 110

(1) Apabila perkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf e mengakibatkan
seseorang mengalami kegoncangan jiwa, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 9
(sembilan) tahun dan paling lama 17 (tujuh belas) tahun dan pidana tambahan Ganti Kerugian.
(2) Apabila perkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf e mengakibatkan
seseorang mengalami luka berat atau gangguan kesehatan yang berkepanjangan, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 18 (delapan belas) tahun dan
pidana tambahan Ganti Kerugian.

(3) Apabila perkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf e mengakibatkan
seseorang meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 11 (sebelas) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana tambahan Ganti Kerugian.

Pasal 111

Setiap orang yang melakukan perkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf e
dilakukan lebih dari 1 (satu) orang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 8 (delapan)
tahun dan paling lama 16 (enam belas), pidana tambahan Ganti Kerugian, dan pidana tambahan
kerja sosial.

Pasal 112

(1) Apabila perkosaan sebagaimana dimaksud Pasal 11 ayat (2) huruf e dilakukan oleh atasan
atau pemberi kerja, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun, pidana tambahan Ganti Kerugian, dan pidana tambahan
pembinaan khusus.

(2) Apabila perkosaan sebagaimana Pasal 11 ayat (2) huruf e dilakukan oleh tokoh agama, tokoh
masyarakat, tokoh adat, atau pejabat, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua
belas) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, pidana tambahan Ganti Kerugian, pidana
tambahan kerja sosial, dan pidana tambahan pembinaan khusus.

Pasal 113

Apabila perkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf e dilakukan oleh orang
tua atau keluarga Korban, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 15 (lima belas) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, pidana tambahan Ganti Kerugian, pidana tambahan
pencabutan hak asuh, dan pidana tambahan pembinaan khusus.
Pasal 114

Setiap orang yang menyuruh dan/atau memudahkan orang lain melakukan perkosaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf e dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun, dan pidana tambahan Ganti
Kerugian.

Pasal 115

Setiap orang yang melakukan percobaan perkosaan dipidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun
dan paling lama 15 (lima belas) tahun, dan ditambah pidana tambahan Ganti Kerugian

Bagian Kedelapan
Pidana Pemaksaan Perkawinan
Pasal 116
(1) Setiap orang yang melakukan pemaksaan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
ayat (2) huruf f, dengan tujuan mendapatkan:

a. keuntungan materil, termasuk membayar pinjaman atau hutang;

b. imbalan jasa berupa uang atau harta benda lainnya; atau

c. keuntungan jabatan atau posisi tertentu;

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan pidana tambahan Ganti Kerugian.

(2) Setiap orang yang melakukan pemaksaan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
ayat (2) huruf f, dengan tujuan:

a. menutup sesuatu kejadian yang dianggap menimbulkan aib keluarga atau masyarakat; atau

b. menyembuhkan penyakit seseorang;

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas)
tahun dan pidana tambahan pembinaan khusus.

Pasal 117
(1) Apabila pemaksaan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf f
dilakukan oleh tokoh adat, tokoh masyarakat atau tokoh agama, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan pidana tambahan Ganti
Kerugian.

(2) Apabila pemaksaan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf f
dilakukan oleh aparat penegak hukum atau Pejabat Publik, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 3 (dua) tahun dan paling lama 9 (enam) tahun dan pidana tambahan Ganti
Kerugian.

Pasal 118

(1) Apabila pemaksaan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf f
dilakukan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan
paling lama 13 (tiga belas) tahun dan pidana tambahan pembinaan khusus.

(2) Apabila pemaksaan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf f
mengakibatkan anak tidak melanjutkan pendidikannya, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 14 (sepuluh) tahun dan pidana tambahan pembinaan
khusus

(3) Apabila pemaksaan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf f
mengakibatkan anak mengalami kegoncangan jiwa, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana tambahan pembinaan
khusus.

Pasal 119

Petugas pencatat perkawinan yang mengetahui atau patut diduga mengetahui terjadi pemaksaan
perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf f, namun tidak mencegah
berlangsungnya perkawinan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua)
tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana tambahan pembinaan khusus.

Bagian Kesembilan
Pidana Pemaksaan Pelacuran
Pasal 120
(1) Setiap orang yang melakukan, memudahkan orang lain, dan/atau menyuruh orang lain untuk
melakukan pemaksaan pelacuran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf g,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima) tahun,
pidana tambahan Ganti Kerugian, dan pidana tambahan perampasan keuntungan yang diperoleh
dari tindak pidana.

(2) Setiap orang yang melakukan, memudahkan orang lain, dan/atau menyuruh orang lain untuk
melakukan pemaksaan pelacuran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf g
terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 17
(tujuh belas) tahun, pidana tambahan Ganti Kerugian, dan pidana tambahan perampasan
keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana.

(3) Setiap orang yang melakukan, memudahkan orang lain, dan/atau menyuruh orang lain untuk
melakukan pemaksaan pelacuran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf g
terhadap penyandang disabilitas, diancam pidana penjara paling singkat 6 (enam) tahun dan
paling lama 18 (delapan belas) tahun, pidana tambahan Ganti Kerugian, dan pidana tambahan
perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana.

(4) Setiap orang yang melakukan, memudahkan orang lain, dan/atau menyuruh orang lain untuk
melakukan pemaksaan pelacuran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf g
terhadap anak penyandang disabilitas, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 7 (tujuh)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, pidana tambahan Ganti Kerugian, dan pidana
tambahan perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana.

Pasal 121

(1) Pejabat Publik dan aparat penegak hukum yang melakukan, memudahkan orang lain,
dan/atau menyuruh orang lain untuk melakukan pemaksaan pelacuran sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (2) huruf g, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 8 (delapan) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, pidana tambahan Ganti Kerugian, dan pidana tambahan
perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana.
(2) Apabila pemaksaan pelacuran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf g
dilakukan oleh:

a. atasan, pemberi kerja atau majikan;

b. seseorang yang berperan, bertugas atau bertanggungjawab memelihara, mengawasi, membina


yang terjadi di lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, lembaga sosial, tempat penitipan anak,
atau tempat-tempat lain dimana anak berada dan seharusnya terlindungi keamanannya;

c. tokoh agama;

d. tokoh masyarakat; atau

e. tokoh adat;

dipidana dengan pidana penjara paling singkat (dua belas) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun, pidana tambahan Ganti Kerugian, dan pidana tambahan perampasan keuntungan yang
diperoleh dari tindak pidana.

Pasal 122

Apabila pemaksaan pelacuran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf g dilakukan
terhadap seseorang:

a. dalam keadaan tidak berdaya; atau

b. diketahui atau patut diduga sedang hamil;

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun, pidana Ganti Kerugian, dan pidana tambahan perampasan keuntungan yang
diperoleh dari tindak pidana.

Pasal 123

(1) Apabila pemaksaan pelacuran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf g
mengakibatkan seseorang:

a. kehilangan fungsi tubuh sementara;


b. kecacatan permanen;

c. kegoncangan jiwa yang hebat;

d. luka berat atau gangguan kesehatan yang berkepanjangan; atau

e. mengalami kehamilan.

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun, pidana tambahan Ganti Kerugian, dan pidana tambahan perampasan keuntungan
yang diperoleh dari tindak pidana.

(2) Apabila pemaksaan pelacuran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf g
mengakibatkan seseorang meninggal, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 15 (lima
belas) tahun dan paling lama seumur hidup, pidana tambahan Ganti Kerugian, dan pidana
tambahan perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana.

Pasal 124

Apabila pemaksaan pelacuran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf g dilakukan
oleh:

a. pasangan;

b. orangtua; atau

c. keluarga;

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 14 (empat belas) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun, pidana tambahan Ganti Kerugian, pidana tambahan pencabutan hak asuh, pidana
tambahan pembinaan khusus, dan pidana tambahan perampasan keuntungan yang diperoleh dari
tindak pidana.

Pasal 125

Apabila pemaksaan pelacuran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf g dilakukan
dalam situasi bencana alam, perang, konflik senjata, atau konflik sosial, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 15 (lima belas) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, pidana
tambahan Ganti Kerugian, pidana tambahan pencabutan hak asuh, pidana tambahan pembinaan
khusus, dan pidana tambahan perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana.

Bagian Kesepuluh

Pidana Perbudakan Seksual

Pasal 126

(1) Setiap orang yang melakukan perbudakan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
ayat (2) huruf h, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana tambahan Ganti Kerugian.

(2) Setiap orang yang melakukan perbudakan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
ayat (2) huruf h terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 13 (tiga belas)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan ditambah pidana tambahan Ganti Kerugian.

(3) Setiap orang yang melakukan perbudakan seksual sebagaimana dimaksud Pasal 11 ayat (2)
huruf h terhadap penyandang disabilitas, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 15 (lima
belas) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan ditambah pidana tambahan Ganti
Kerugian.

(4) Setiap orang yang melakukan perbudakan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
ayat (2) huruf h anak dengan disabilitas, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 17 (tujuh
belas) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan ditambah pidana tambahan Ganti
Kerugian.

Pasal 127

(1) Apabila perbudakan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf h
mengakibatkan seseorang mengalami kegoncangan jiwa, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 13 (tiga belas) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana tambahan Ganti
Kerugian.

(2) Apabila perbudakan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf h
mengakibatkan seseorang mengalami luka berat atau gangguan kesehatan yang berkepanjangan,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 15 (lima belas) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan pidana tambahan Ganti Kerugian.

(3) Apabila perbudakan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf h
mengakibatkan kehamilan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 17 (tujuh belas) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana tambahan Ganti Kerugian.

(4) Apabila perbudakan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf h
mengakibatkan seseorang meninggal, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 20 (dua
puluh) tahun dan paling lama seumur hidup dan pidana tambahan Ganti Kerugian.

Pasal 128

Pejabat Publik dan aparat penegak hukum yang melakukan, memudahkan orang lain, dan/atau
menyuruh orang lain untuk melakukan pemaksaan pelacuran sebagaimana dimaksud dalam Pasal
11 ayat (2) huruf h, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 13 (tiga belas) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana tambahan Ganti Kerugian.

Pasal 129

Apabila perbudakan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf h dilakukan
dalam situasi bencana alam, perang, konflik senjata, atau konflik sosial, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 15 (lima belas) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana
tambahan Ganti Kerugian.

Bagian Kesebelas

Pidana Penyiksaan Seksual

Pasal 130

(1) Setiap orang yang melakukan, memudahkan orang lain, membiarkan orang lain, dan/atau
menyuruh orang lain melakukan penyiksaan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat
(2) huruf i, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) tahun dan paling lama
20 (dua puluh) tahun, dan pidana tambahan Ganti Kerugian.
(2) Setiap orang yang melakukan, memudahkan orang lain, membiarkan orang lain, dan/atau
menyuruh orang lain melakukan penyiksaan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat
(2) huruf i terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 15 (lima belas) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana tambahan Ganti Kerugian.

(3) Setiap orang yang melakukan, memudahkan orang lain, membiarkan orang lain, dan/atau
menyuruh orang lain melakukan penyiksaan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat
(2) huruf i terhadap penyandang disabilitas, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 15
(lima belas) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana tambahan Ganti Kerugian.

(4) Setiap orang yang melakukan, memudahkan orang lain, membiarkan orang lain, dan/atau
menyuruh orang lain melakukan penyiksaan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat
(2) huruf i terhadap anak dengan disabilitas, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 18
(delapan belas) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana tambahan Ganti
Kerugian.

Pasal 131

Setiap orang yang melakukan penyiksaan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2)
huruf i terhadap Korban yang diketahui sedang hamil, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 13 (tiga belas) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana tambahan Ganti
Kerugian.

Pasal 132

(1) Apabila penyiksaan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf i
mengakibatkan seseorang:

a. seseorang tidak dapat melakukan kerja sehari-hari di dalam rumah ataupun kerja untuk
mencari nafkah;

b. seseorang kehilangan fungsi tubuh sementara;

c. seseorang mengalami kecacatan permanen;

d. seseorang mengalami luka berat atau gangguan kesehatan yang berkepanjangan; atau
e. seseorang mengalami kerusakan organ seksual dan/atau reproduksi;

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 15 (lima belas) tahun dan paling lama seumur
hidup, pidana tambahan Ganti Kerugian, dan pidana tambahan kerja sosial.

(2) Apabila penyiksaan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf i
mengakibatkan seseorang meninggal, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 20 (dua
puluh) tahun dan paling lama seumur hidup, pidana tambahan Ganti Kerugian, dan pidana
tambahan kerja sosial.

Pasal 133

Pejabat Publik dan aparat penegak hukum yang melakukan, memudahkan orang lain, dan/atau
menyuruh orang lain untuk melakukan penyiksaan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal
11 ayat (2) huruf i, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana tambahan pencabutan hak politik.

Pasal 134

Apabila penyiksaan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf 1 dilakukan
dalam situasi bencana alam, perang, konflik senjata, atau konflik sosial, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 17 (tujuh belas) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana
tambahan Ganti Kerugian.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Kekerasan Seksual merupakan kejahatan yang mengarah pada aspek kelamin, yang dilakukan
secara terpaksa dan merugikan korban baik fisik, maupun paran

sikis. Kekerasan seksual terjadi berdasarkan beberapa bentuk, dimana terdapat 15 bentuk
kekerasan seksual dan setiap bentuk kekerasan yang terjadia akan dipidanakan. Kekerasan
seksual tidak hanya berdampak pada fisik, namun juga dari segi Psikologis korban sangat
berpegaruh mulai dari emosi hingga kognitif. Hal-hal yang mempengaruhi kekerasan seksual,
bisa saja terjadi karena faktor keluarga, sosial dan budaya.

Saran

Setiap Orang sebaiknya menyadari bahaya kekerasan seksual secara psikologis dan peka untuk
menangani nya dalam ranah hukum maupun psikologis. Mengingat kekurangan yang ada dalam
makalah ini, maka penulis mengharapkan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah
ini.

Daftar Pustaka

Fuadi M.Anwar. 2011. Dinamika Psikologis Kekerasan Seksual: Sebuah Studi Fenomenologi.
Vol. 8, no.2, januari 2011 191-208. 10 November 2020

Anda mungkin juga menyukai