Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

ASKEP KORBAN PEMERKOSAAN PADA REMAJA

DISUSUN OLEH KELOMPOK 1

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

INSTITUT ILMU KESEHATAN DAN TEKNOLOGI MUHAMMADIYAH


PALEMBANG

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan
kasih karunianya kami dapat menyelesaikan tugas mengenai “ ASUHAN KEPERAWATAN
PADA KORBAN PEMERKOSAAN” dan semoga tugas ini dapat bermanfaat dengan baik
meskipun banyak kekurangan di dalamnya.

Kami sangat berharap laporan ini dapat berguna dalam memenuhi tugas mata kuliah
keperawatan jiwa II. Kami juga menyadari bahwa didalam hasil laporan masih jauh dari kata
sempurna. Oleh sebab itu, kami mengharapkan kritik dan saran dan usulan yang membangun
demi perbaikan hasil laporan yang telah kami buat di masa mendatang.

Semoga hasil laporan ini dapat memberikan manfaat bagi dunia pendidikan pada umunya
dan proses pembelajaran kesehatan jiwa II.

Palembang, 3 November 2021

Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pelecehan yang berulang sering ditemui pada lebih dari setengah kasus pelecehan seksual
di komunitas dan terdapat pada 75% kasus yang ditemukan di klinik. Seksual abuse (kekerasan
seksual) dikenal pada tahun 70-an dan 80-an. Peneliti lain telah mengarah pada perkiraan
kekerasan pada anak yang lebih luas di inggris, seperti dari childhood matters (1996) sekitar
100.000 anak mengalami pengalaman seksual yang berpotensi mengarah ke seksual abuse

Banyak anak yang mendapat perlakuan kurang manusiawi, bahkan tidak jarang dijadikan
objek kesewenangan. Berdasarkan catatan komisi perlindungan anak Indonesia, ada 481 kasus
kekerasan anak (2003). Jumblah ini menjadi 547 kasusu pada tahaun 2004. Dari situ ada 140
kasus kekerasan fisik, 80 kasus kekerasan psikis, 106 kasus kekerasan lainnya, dan 221 kasus
kekerasan seksual. Gambaran paradoks tersebut memancing pertanyaan. Mengapa kekerasan
seksual menimpa diri anak dan siapa yang paling berpotensi sebagai pelakunya? Disamping
dapat menimbulkan dampak yang luar biasa pada diri si korban, kasus ekerasan seksual juga
dapat menguji kebenaran dari pertanyaan singarimbun 2004, bahwa modernisasi sering
diasosiasikan sebagai keserbabolehan melakukan hubungan seksual (suda 2006).

Kekerasan seksual merupakan kasus yang menonjol yang terjadi pada anak-anak. Dalam
catatan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia pada tahun 1992-2002 terdapat 2.611 kaus
65,8% dari 3.969 kasus kekerasan seksual dialami anak-anak dibawah usia 18 tahun. Dari
jumblah itu, 75% korbannya adalah anak perempuan. Kasus yang menonjol terutama
pemerkosaan 42,9% dengan kejadian terjadi di rumah tinggal 35,7% (FKUI,2006)

B. TUJUAN PENULISAN

1. Untuk mengetahui tentang definisi dari seksual abuse


2. Untuk mengetahui tentang etiologi dari seksual abuse
3. Untuk mengetahui tentang klasifikasi abuse
4. Untuk mengetahui tentang patosiologi dari seksual abuse
5. Untuk mengetahui pathway dari seksual abuse
6. Untuk mengetahui tentang manifestasi klinis dari seksual abuse
7. Untuk mengetahui tentang penatalaksanaan dari seksual abuse
8. Untuk mengetahui tentang pemeriksaan penunjang dari seksual abuse
9. Untuk mengetahui tentang pengkajian dari seksual abuse
10. Untuk mengetahui tentang diagnose keperawatan dari seksual aabuse
11. Untuk mengetahui tentang intervestasi dan rasional dari seksual abuse
12. Untuk mengetahui tentang discharge planning dari seksual abuse
BAB II

KONSEP DASAR

A. PENGERTIAN

Penyiksaan seksual terhadap anak disebut pedofilian atau penyuka anak-anak secara
seksual. Seorang pedofilia adalah orang yang melakukan aktivitas seksual dengan korban anak
usia 13 tahun ke bawah. Penyakit ini ada dalam kategori sadomasokisme: adalah suatu
kecenderungan terhadapat aktivitas seksual yang meliputi pengikatan atau menimbulkan rasa
sakit atau penghinaan (pramono, 2009)

Kemudian klasifikasi kekerasan/ penganiayaan seksual pada anak menurut resna dan
darmawan (dalam huraerah, 2006:60) diklasifikasikan menjadi tiga kategori, anatar lain:
perkosaan, incest, dan eksploitasi. Perkosaan biasanya terjadi pada saat pelaku terlebih dahulu
mengancam dengan memperlihatkan kekuatannya kepada anak. Incest, diartikan sebagai
hubungan seksual atau aktivitas seksual lainnya anatar individu yang mempunyai hubungan
dekat, yang perkawinan diantar mereka dilarang, baik oelh hukum, kultur, maupu agama.

Kekerasan seksual dapat didefinisikan sebagai perilaku seksual secara fisik maupun nonfisik
oleh orang yang lebih tua atau memiliki kekuasaan terhadap korban, bertujun untuk memuaskan
hasrat seksual pelakunya. Korban mungkin saja belum atau tidak memahami perlakukan yang
dilakukan terhadap dirinya, mereka hanya merasa tidak nyaman, sakit, takut,merasa bersalah,
atau perasaan lain yang tidak menyenangkan.

Kekerasan seksual pad anak mencangkup penganiayaan seksual secara fisik dan non fisik.
Kekerasan fisik antara lain menyentuh alat kelamin atau bagian tubuh lain yang bersifat pribadi,
seks oral, penetrasi vagina/anus menggunakan penis atau benda lain, memaksa anak mebuka
pakaian, sampai tindak pemerkosaan. Sedangkan penganiayaan non fisik diantaranya
memperlihatkan benda-benda yang brmuatan pornografi atau aktivitas seksual orang dewasa,
eksploitasi anak dalam pornografi (gambar, foto, film, slide, majalah, buku, exhibitionism, atau
mengintip kamar tidur/kamar mandi).

B. ETIOLOGI

Berdasarkan jurnal “dinamika psikologis kekerasan: sebuah studi fenomenologi”.


Factor penyebab seksual abuse adalah:

a. Factor kelalaian orang tua. Kelalaian orang tua yang tidak memperlihatkan tumbuh
kembang dan pergauln anak yang membuat subyek yang menjadi korban kekerasan
seksual.
b. Factor rendahnya moralitas dan mentalitas pelaku. Moralitas dan mentalitas yang tidak
dapat bertumbuh dengan baik, membuat pelaku tidak dapat mengontrol nafsu atau
perilakunya.
c. Factor ekonomi. Factor ekonomi membuat pelaku dengan mudah memuluskan
rencananya dnegan memberikan iming-iming kepada kroban yang menjadi target dari
pelaku.

Berdasarkan jurnal “play therapy dalam identifikasi kasus kekerasan seksual terhadpat
anak”. Dampak seksual abuse adalah:

Dampak kekerasan seksual terhadap anak dianataranya adanya prasaan brsalah dan
menyalahkan diri sendiri. Bayangan kejadian dimana anak menerima kekerasan seksual, mimpi
buruk, insomnia, takut hal yang berhubungan dengan penyalahgunaan (termasuk benda, bau,
tempat, kunjungan dokter dll) masalah harga diri, disfungsi seksual, sakit kronis, kecanduan,
keinginan bunuh diri cedera, bunuh dirikeluhan somatic, depresi (rossa, reinhotz, angelini, 1999).
Selain itu mucu gangguan-gangguan psikologis seperti pasca-trauma stress disorder, kecemasan,
jiwa penyakit lain temasuk gangguan kepribadian dan gangguan indentitas disosiatif,
kecenderungan untuk reviktimisasi dimasa dewasa, bulimia nervosa, cedera fisik kepada anak,
(widom, 1999; levitan, rector, Sheldon, & georing, 2003; messman-moore, terri patricia, 2000;
Dinwiddie, heath, dunne, bucholz, madden, slutske, bierut, statham et al, 2000)

Menurut townsend (1998) factor yang predisposisi (yng berperan dalam pola
penganiyaan anak antara lain:

1. teori biologis

a. Pengaruh neurofisiologis. Perubahan dalam system limbic otak dapat mempengaruhi


perilaku agresif pada beberapa individu
b. Pengaruh biokimia, bermacam-macam neurotransmitter dapat memainkan peranan dalam
memudahkan dan menghambat implus-implus agresif
c. Pengaruh genetikn. Beberapa penyelidikan telah melibatkan herediter sebagai komponen
pada predisposisi untuk perilaku agresif skesual, baik ikatan gentik langsung maupun
karyotip genetic XYY telah diteliti sebagai kemungkinan
d. Kelainan otak. Berbagai kelainan otak mencangkup tumor, trauma dan penyalkit-
penyakit tertentu telah dilibatkan pada predisposisi pada perilaku agresif.

2. teori psikologis

a. Teori psikoanalitik. Berbagai teori psikoanalitik telah membuat hipotesa bahwa agresi
dan kekerasan adalah ekspresi terbuka dari ketidakperdayaan dan harga diri rendah yang
timbul bila kebutuhan-kebutuhan masa anak terhadap kepuasan dan keamanan tidak di
patuhi.
b. Teori pembelajaran. Teori ini mendalikan bahwa perilaku agresif dan kekerasan
dipelajari dari model yang membawa dan berpengaruh. Individu-individu yang dianiya
seperti anak-anak atau yang orang tuanya mendisiplinkan dengan hukuman fisik lebih
mungkin untuk berperilaku kejam sebagai orang dewasa.

3. teori sosiokultural (pengaruh social)

Pengaruh social. Ilmuan social yakin bahwa perilaku agresif terutama merupakan hasil
dari struktur budaya dan social seseorang. Pengaruh-pengaruh social dapat berperan pada
kekerasan saat individu menyadari bahwa ebutuhan dan hasrat mereka tidak dapat dipenuhi
melalui cara-cara yang lazim dan mereka mengusahakan perilaku-perilaku kejahatan dalam suatu
usaha untuk memperoleh akhir yang diharapkan

Menurut freewebs (2006) kekerasan seksual pada anak yang sering muncul dalam
berbagai kondisi dan lingkup social.

1. kekerasan seksual dalam keluarga

Mencangkup kekerasan seksual yang dilakukan dalam keluarga init atau majemuk, dan
dapat melibatkan teman dari anggota keluarga, atau orang yang tinggal bersama dengan keluarga
tersebut, atau kenal dekat dengan sepengetahuan keluarga, kekerasan pada anak ataupun anak tiri
juga termasuk dalam lingkup ini.

2. kekerasan seksual diluar keluarga (extrafamilial abuse)

Mencangkup kekerasan yang dilakukan oleh orang dewasa yang kenal dnegan anak
tersebut dari berbagai sumber, seperti tetangga, teman, orang tua dari teman sekolah.

3. ritualistic abuse

Mencangkup kekerasan yang dilakukan oleh orang dewasa untuk mendapatkan ilmu gaib
atau ilmu demi keperluan pribadinya

4. institutional abuse

Mencangkup kekerasan seksual dalam lingkup institusi tertentu seperti sekolah, tempat
penitipan anak, kamp berlibur, seperti kegiatan pramuka, dan organisasi lainnya.

5. kekerasan seksual oleh orang yang tidak dikenal, penyerangan anak-anak di tempat-tempat
umum.

Ada beberapa pandangan berbeda penyebab kekerasan seksual yang menimpa anak.
Orang yang mencabuli anak-anak dianggap orang yang mengalami disfungsi karena kecanduan
alcohol, tidak memiliki pekerjaan yang tetap dan pengahsilan yang mapan, serta tingkat
pendidikan yang rendah. Menurut cok gede atmadja, pencabulan terhadap anak terjadi karena
himpitan ekonomi. Sementara Magdalena manik, aktivis forum sayang anak, menyatakan
pencabulan terhadap anak disebabkan meluasnya budaya permisif, dan ketidakkonsistenan pihak
kepolisian dalam mengambil tindakan hukum terhadap pelaku incest (_suda, 2006).

1. pelaku tidak bisa lagi melakukan hubungan dengan istri karena alasan kesehatan atau telah
lama menduda

2. pelaku ingin menyempurnakan ilmu kebatnan yang sedang ditekuninya.

3. pelaku tidak tahan melihat kemontokan tubuh anak perempuannya. Atau melihat anak
perempuannya ke luar kamar mandi menggunakan handuk. Bahkan bisa pula pelaku melakukan
pelecehan seksual terhadap anak perempuan karena tepengaruh fm porno.

C. KLASIFIKASI

Klasifikasi dari seksual abuse pada anak menurut (suda, 2006) adalah:

1. perkosaan

Perkosan adalah jenis kekerasan yang paling mendapat sorotan. Diperkirakan 22%
perempuan dan 2% laki-laki pernah menajdi korban perkosaan. Hanya 1 dari 6 perkosaan yang
dilaporkan ke polisi. Sebagaian besar perkosaan dilakukan oleh orang yang mengenal korban
alias orang dekat korban.

2. kekerasan social terhadap anak-anak.

Suatu tinjauan baru-baru ini terhadap 17 studi seluruh dunia menunjukkan bahwa
dimanapun, sekitar 11% sampai 32% perempuan dilaporkan mendapat perlakukan atau
mengalami kekerasan seksual pada masa anak-anaknya. Umunya pelaku kekerasan adalah
anggota keluarga, orang-orang yang memiliki hubungan dekat, atau teman, mereka yang menjadi
pelaku kekeasan seksual terhadap anak biasanya adalah korban kekerasan seksual pada masa
kanak-kanak.

3. kekerasan seksual pada pasangan.

Kekerasan ini mencangkup segala jenis kekerasan seksual yang dilakukan seseorang
terhadap pasangan seksualnya. Sebesar 95% korban kekerasan adalah perempuan. Temuan
penelitian ini yang dilakukan Rifka Annisa bersama UGM, UMEA University, dan Women’s
Health Exchage USA di purwerejo, jawa tengah, Indonesia, pada tahun 2000 menunjukkan
bahwa 22% perempuan menglami kekerasan seksual. Sejumblah 1 dari 5 perempuan (19%)
melaporkan bahwa biasanya mereka dipaksa untuk melakukan hubungan seksual dengan
pasangan mereka selama dipukuli. Termasuk kekerasan seksual kekerasan yang dilakukan
seorang laki-laki terhadap seorang perempuan, semata-mata karena sang korba adalah kekerasan
berbasis gender.

4. kekerasan fisik : menampar, memukul, menendang, mendorong, mencambuk, dll

5. kekerasan emosional/verbal: mengkritik, membuat pasangan merasa bersalah, memuat


peermainan pikiran, memaki, menghina, dll

6. ketergantungan finansial : mencegah pasangan untuk mendapat pekerjaan, membuat pasangan


dipecat, membuat pasangan meminta uang, dll

7. isolasi social : mengontrol pasangan dengan siapa boleh bertemu dan dimana bisa bertemu,
membatasi gerak pasangan dalam pergaulan, dll

8. kekerasan seksual : memaksa seks, berselingkuh, sadomasokisme, dll

9. pengabaian/penolakan : mengatakan kekerasan tidak pernah terjadi, menyalahkan pasangan


bila kekerasan terjadi, dll

10. koersi, ancaman, intimidasi : membuat pasangan khawatir, memecahkan benda-benda,


mengancam akan meninggalkan, dll

D. PATOFISIOLOGI

Menurut tower (2002) dalam maria (2008) kekerasan seksual pada anak dapat terjadi satu
kali, beberapa kali dalam periode berdekatan, bahkan menahun. Walaupun berbeda-beda pada
setiap kasus, kekerasan seksual tidak terjadi begitu saja, melainkan melalui beebrpa tahapan
antara lain:

1. Pelaku membuat korban merasa nyaman. Ia meyakinkan bahwa apa yang dilakukan “tidak
salah” secara moral. Pelaku mencoba menyentuh sisi kebutuha anakakan kasih sayang dan
perhatian, penerimaan dari orang lain, atau mencoba menyamakannya dengan permainan dan
menjanjikan imbalan material yang menyanagkan. Pelaku dapat mengintimidasi secara halus
ataupun bersikap memaksa secara kasar.

2. Tahap kedua dalah interaksi seksual. Perilaku yang terjadi bisa saja hanya berupa mengintip
sampai perilaku yang intensitasnya berat, yaitu memaksa anak untuk melakukan hubungan
seksual. Setelah kejadian tersebut, pelaku mengancam korban agar merahasiakan apa yang
terjadi kepada orang lain.

3. Tahap berikutnya adalah tahap diaman si korban mau menceritakan pengalamannya kepada
ornag lain. Kemungkinana korban merhasiakan penglamannya sampai berusia dewasa, atau
menceritakannya kepada orang yang mempunyai kedekatan emosional dengannya, sehingga ia
merasa aman. Pelaku “mencoba” korban sedikit demi sedikit, mulai dari :

a. pelaku membuka pakaiannya sendiri

b. pelaku meraba-raba bagian tubuhnya sendiri

c. pelaku memperlihatkan alat kelaminnya

d. pelaku mencium korban dengan pakaian lengkap

e. pelaku meraba bagian-bagaian tubuh korban : payudara, alat kelamin, dan bagian lainnya

f. mastrubasi, dilakukan oleh pelaku sendiri atau pelaku dan korban saling menstimulasi.

g. oral sex, dengan menstimilasi alat kelamin korban

h. sodomi

i. petting

j. penetrasi alat kelamin pelaku

anak yang memiliki resiko mengalami kekerasan seksual biasanya adalah anak-anak yang
boasa ditinggalkan sendiri dan tidak mendapat pengawasan dari orang yang lebih dewasa,
terutama ibu. Tidak hanya kehadiran secara fisik, kedekatan emosional antara ibu dan anak pun
merupakan factor yang penting (maria, 2008).

Menurut maria (2008) dampak kekerasan seksual pada anak s]adalah ssebagai berikut:

1. stress : akut, traumatic-PTSD (post traumatic stress disorder)

2. agresif, menjadi pelaku kekerasan, tidak percaya diri

3. rasa takut, cemas

4. perilaku seksual yang tidak wajar untuk anak seusianya

Tidak diragukan lagi bahwa kekerasan seksual dapat memberikan dampak jangka pendek
maupun jangka panjang bagi korbannya. Pada anak lainnya, ada kemungkinan gangguan
tersebut di tekan sehingga tidak teramati dari luar sampai ada pemicu yang menampilkan gejolak
emosi mereka, misalnya saat anak memasuki usia remaja dan mulai dekat lawan jenis, atau pada
saat mereka akan menikah. Selain itu, sangat mungkin anak yang menajdi korban kekerasan
seksual kemudian justru malah menajdi pelaku kekerasan seksual terhadap anak lain
(maria,2008).
Menghadapi anak yang mengalami kekerasan seksual, kata maria, hendaknya
mempertimbangkan factor psikologis. Tidak hanya pada posisi anak sebagai korban, yang
tentunya berisiko mengalmi stress bahkan trauma, tapi juga perlu penanganan yang baik pada
anak sebagai pelaku kekerasan. Anak sebagai pelaku kekerasan seksual, sangat mungkin
sebelumnya adalah korban dari kekerasan seksual yang dilakukan oleh pelaku lain.
Kemungkinan motif kekerasan yang dilakukannya adalah untuk eksploitasi memuaskan rasa
ingin tau, atau menirukan kejadian yang dialami sebelumnya, baik itu dari perlakuan langsung
maupun dimedia yang dilihatnya. Dengan adanya azas praduga yang tak bersalah, hendaknya
ditelussuri dengan mendalam factor yang mendorong anak menajdi pelaku kekerasan seksual,
agar anak tidak dua kali menajdi korban (maria 2008).

Berbagai bentuk kekerasan seksual terhadap anak, khususnya anak perempuan


dimasyarakat, selalu di warnai kekerasan fisik atau psikologis. Jika meminjam gagasan giddens
(2004) tentang kekerasan laki-laki dalam menyalurkan libidionya, tindakan tersebut berkaitan
dengan lebel yang diberikan masyarakt kepada laki-laki. Laki-laki harus jantan menangani sector
public dan urusan seksual. Disisi lain, meluasnya system ekonomi kapatisme global
mengakibatkan banyak orang termarjinal, bahkan terhimpit, baik secara ekonomi maupun
psikologis. Akibatnya, harga diri mereka dalam kelaurga dan masyarakat mengalami goncangan.
Begitu pula hubungan seksual mereka dengan istrinya bisa terganggu. Kondisi ini bisa
diperparah lagi karena usia tua, impotensi, ejakulasi dini, kekhawatiran ukuran dan fungsi penis,
dan lainnya. Ini meimbulkan rasa tidak aman dan kekhawatiran yang mendalam (suda, 2006).

Berikut ini jenis-jenis kekerasan seksual berdasarkan pelakunya (tower, 2002 dalam
maria 2008)

1. kekerasan yang dilakukan oelh anggota keluarga.

Dilakukan oleh ayah, ibu atau saudara kandung. Selain itu, kekerasan seksual mungkin pula
dilakukan oleh orang tua angkat/tiri, atau orang tua lain yang tinggal serumah dengan korban.

2. kekerasan yang dilakukan oleh orang lain diluar anggota kelaurga, kekerasan seksual dapat
dilakukan oeh siapa saja, tiak dibatasi perbedaan jenis kelamin, suku, agama, tingkat social
tingkat ekonomi, dan sebagainya. Sebagian besar pelaku adalah pria dan orang yang melakukan
orang yang cukup dikenal oleh korban, misalnya tetangga, guru, sopir, baby-sitter. Pelaku bisa
saja mengalami kelainan seperti paedophilia, pecandu seks, atau sanagt mungkin teman sebaya.
Kemungkinan pelaku pernah menajdi korban keekrasan seksual sebelumnya, atau menirukan
perilaku orang lain. Salah satu penyebabnya adalah untuk mengatasi trauma akibat kekerasan
seksual ang dialaminya, atau sekedar memenuhi rasa ingin tahu.

Efek klinis pencabulan berkisar dari pendarahan pada genital dan anus, fisur pada anus,
pembesaran liang vagina dan anus, dan penipisan/ kerusakan hymen pada vagina. Efek
psikologis pencabulan terhadap anak umunya berjangka panjang antara lain : kemarahan,
kecemasan, mimpi buruk, rasa tak iman, kebingungan, kesedihan, dan perubahan perilaku baik
menjadi buruk.

E. PATHWAY

F. MANIFESTASI KLINIK

Berdasarkan jurnal “dinamika psikologis kekerasan seksual: sebuah studi fenomenologi”,


dampak psikologis seksual abuse adalah:

Dampak psikologis yang dialami oleh subyek dapat digolongkan menjadi tiga bagian,
yaitu gangguan perilaku, gangguan kognisi, gangguan emosional.

a. gangguan perilaku, ditandai dengan malas untuk melakukan aktifitas sehari-hari

b. gangguan kognisi, ditandai dengan sulit untuk berkonsentrasi, tidak focus ketika sedang
belajar, sering melamun dan termenung sendiri.

c. gangguan emosional, ditandai dengan adanya gangguan mood dan suasana hati serta
menyalahkan diri sendiri.

Gangguan anak yang mengalami pelecehan seksual tidak selalu jelas. Ada anak-anak
yang menyimpan rahasia pelecehan seksual yang dialaminya dengan bersikap manis dan patuh,
berusaha agar tidak menjadi pusat perhatian. Meskipun pelecehan seksual terhadap anak tidak
memperlihatkan bukti mutlak, tetapi jika tanda-tanda dibawah ini tampak pada anak dan terlihat
terus menerus dalam jangka waktu panjang, kiranya pelu segera mempertimbangkan
kemungkinan anak telah mengalami pelecehan seksual.

Tanda dan gejala ini di ambil Jeanne wess dari buku yang sama:

1. balita

a. tanda-tanda fisik, antara lain memar pada alat kelamin atau mulut, iritasi kencing, penyakit
kelamin, dan sakit kerongkongan tanpa penyebab jelas bisa merupakan indikasi skes oral.

b. tanda perilaku emosional dan social, antara lain sangat takut kepada siapa saja atau pada
tempat tertentu atau orang tertentu, perubahan kelakukan ang tiba-tiba, gangguan tidur (susah
tidur, mimpi buruk, dan ngompol), menarik diri atau depresi, serta perkembangan terhambat.

2. anak usia prasekolah

Gejalanya sama ditambah tanda-tanda berikut:


a. tanda fisik: amtara lain perilaku regresif, seperti mengisap jempol, hiperaktif, keluhan somatic
seperti sakit kepala yang terus menerus, sakit perut, sembelit.

b. tanda pada perilaku emosional dan social: kelakuan yang tiba-tiba berubah, anak mengeluh
sakit karena perlakukan seksual.

c. tanda dan perilaku seksual: mastrubasi berlebihan, mencium secara seksual, mendesakkan
tubuh, melakukan aktivitas seksual terang-terangan pada saudara atau teman sebaya, tahu banyak
tentang aktivitas seksual, dan rasa ingin tahu berlebihan tentang masalah seksual.

3. anak usia sekolah

Memperliahtkan tanda-tanda di atas serta perubahan kemampuan belajar, seperti susah


konsentarsi, nilai turun, telat atau bolos, hubungan dengan teman terganggu, tidak percaya
kepada orang dewasa, depresi, menarik diri, sedih, lesu, gangguan tidur, mimpi buruk, tak suka
disentuh, serta menghindari sekitar buka pakaian.

4. remaja

Tandanya sama dengan di atas dan kelakuan yang merusak diri sendiri, pikiran bunuh
diri, gangguan makan, melarikan diri, berbagai kenakalan remaja, penggunaan obat terlarang
atau alcohol, kehamilan dini, melacur, seks di luar nikah atau kelakuan seksual lain yang tak
biasa.

Sedangkan menurut towsend (1998) sintomatologi dari penganiayaan kekerasan seksual


pada anak antara lain:

1. infeksi saluran kemih yang kering

2. kesulitan atau nyeri saat berjalan atau duduk

3. kemerahan atau gatal pada daerah genital, menggaruk daerah tersebut secara sering atau
gelisah saat duduk

4. sering muntah

5. perilaku menggairahkan, dorongan mastrubasi, bermain skes dewasa sebelum waktunya

6. ansietas berlebihan dan tidak percaya kepada orang lain

7. penganiayaan seksual pada anak yang lain


G. PENATALAKSANAAN

Cholidah (2005) menyatakan bahwa diantara tujuan terapi bermain adalah mengurangi
atau mengihilangkan gangguan-gangguan perilaku, fisik, psikis, social, sensori, dan komunikasi
dan mengembangkan kemampuan yang masih dimiliki secara optimal. Terkait dengan kasus
kekerasan seksual pada anak, jongsma, Peterson dan melnnis (2000) menyatakan bahwa terapi
bermian merupakan salah satu metode untuk mengidentifikasi dan menggalikan perasaan anak
korban kekerasan seksual. Melaluinterapi bermain selian kasus dapat diindentifikasi apa yang
terjadi pada diri anak, anak juga dapat mengekpresikan perasaan atau kasus yang terjadi pada
dirinya.

Menurut suda (2006) ada beberapa model program counseling yang dapat diberikan
kepada anak yang mengalami seksual abuse yaitu:

a. the dynamicsof sexual abuse

artinya terapi difokuskan pada pengembangan konsepsi. Pada kasus tersebut kesalahan
dan tanggung jawab berada pada pelaku bukan pada korban. Anak dijamin tidak disalahkan
meskipun telah terjadi kontak seksual.

b. protective behaviors counseling

artinya, anak-anak dilatih menguasi keterampilan mengurangi kerentananya sesuai


dengan usia. Pelatihan anak prasekolah dapat dibatasi; berkata tidak terhadap sentuhan-sentuhan
yang tidak diinginkan; menjauh secepatnya dari orang yang kelihatan sebagi abusive person;
meloprkan pada orang tua atau orang dewasa yang dipercaya dapat membantu menghentikan
perlakuan salah.

c. survivor/self-esteem counseling

artinya, menyadarkan anak-anak yang menajdi korban bahwa mereka sebenarnya


bukanlah korban, melainkan orang yang mmapu bertahan (survivor) dalam menghadapi seksual
abuse. Keempat, feeling counseling, artinya, terlebih dahulu harus diidentifikasi kemampuan
anak yang mengalami seksual absue untuk mengenali berbagai perasaan. Kemudian mereka
didorong untuk mengekspresikan perasaan-perasaan yang tidak menyenagkan, baik pada saat
mengalami seksual abuse maupun sesudahnya. Selanjutnya mereka diberi kesempatan untuk
secara tepat memfokuskan perasaan marahnya terhadap perilaku yang menyakitinya, atau kepada
orang tua, polisi, pekerja social, atau lembaga yang tidak dapat melindungi mereka.

d. cognitive terapy

artinya, konsep dasar pada teknk ini adalah perasaan-perasaan seseorang mengenai
beragam jenis dalam kehidupan di pengaruhi oleh pikiran-pikiran mengenai kejadian tersebut
secara berulang-ulang.
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG

menurut doenges et al (2007) pemeriksaan diagnostic yang dilakukan pada anak dengan
seksual abuse tergantung pada situasi dan kebutuhan individu. Uji skring , peningkatan pada
skala internalisasi yang menggambarkan perilaku antara lain ketakutan, segan, depresi,
pengendalian berlebihan atau dibawah pengendalian, agresif dan antisosial.

I. PENGKAJIAN

Menurut Doenges et.al (2007) pengkajian anak yang mengalami penganiayaan seksual
anatar lain:

1. aktivitas atau istirahat : masalah tidur misalnya tidak dapat tidur atau tidur berlebihan, mimpi
buruk, berjalan saat tidur, tidur di tempat yang asing, keletihan.

2. integritas ego

a. pencapaian diri negative, menyalahkan diri sendiri/atau minta ampun karena tindakanya
terhadap orang tua

b. harga diri rendah (pelaku/korban pengaiayaan seksual yang selamat).

c. perasaan bersalah, marah, takut dan malu, putus asa dan atau tidak berdaya

d. minimisasi atau penyangkalan signifikasi perilaku (mekanisme pertahanan yang paling


dominan/menonjol)

e. penghindaran atau takut pada orang, tempat, objek tertentu, sikap menunduk, takut (trauma
jika ada pelaku)

f. melaporkan factor stress

g. permusuhan terhadap objek/ tidak percaya pada orang lain

3. eliminasi

a. enuresisi, enkopresis

b. infeksi saluran kemih yang berulang

c. perubahan tonus sfingter

4. makan dan minum : muntah sering, perubahan selera makan (anoreksia), makan berlebihan,
perubahan berat badan, kegagalan memperoleh berat badan yang sesuai.

5. hygiene
a. mengenakan pakaian yang tidak sesuai dengan kondisi cuaca atau tidak adekurat memberi
perlindungan.

b. mandi berlebihan/ansietas, penampilan kotor/tidak terpelihara

6. neurosensory

a. perilaku ekstrem (tingkah laku sangat agresif), sangat amuk atau pasitivitas dan menarik diri,
perilaku tidak sesuai dengan usia

b. status mental : memori tidak sadar, periode amnesia, laporan adanya pengingatan kembali.
Pikiran tidak terorganisasi, kesulitan konsentrasi/membuat keputusan. Afek tidak sesuai,
mungkin sangat waspada, cemas dan depresi.

c. perubahan alam perasaan, kepribadian ganda, cinta, kebaikan dan penyesalan yang dalam
setelah pengaiayaan seksual terjadi.

d. kecemburuan patologis, pengendalian implus yang buruk, keterampilan koping terbatas,


kurang empati terhadap orang lain.

e. membantung. Menghisap jempol atau perilaku kebiasaan lain : gelisah

f. manifestasi psikiatrik : fenomena disosiatif meliputi kepribadian ganda (penganiayaan


seksual), gangguan kepribadian ambang

g. ganda deficit neurologis/kerusakan ssp tanpa tanda-tanda cedar eksternal

7.nyeri atau ketidaknyamanan

a. bergantung pada cedera/bentuk penganiayaan seksual

b. berbagai keluhan somatic (nyeri perut, nyeri panggul, spastik kolon, akit kepala)

8. keamanan

a. emar, tanda bekas gigitan, bilur pada kulit, terbakar, ada bagian botak di kepala, laserasi,
perdarahan yang tidak wajar, ruam/gatal di area genitsl, fisura anal, goresan kulit, hemoroid,
jaringan perut, perubahan tonus sfingter

b. cedera berulang, riwayat bermacam kecelakaan, fraktur/cedera internal

c. perilaku mencederai diri sendiri, keterlibatan dalam aktivitas dengan resiko tinggi

d. kurangnya pengawasan sesuai usia, tidak ada perhatian yang dapat menghindari bahaya di
dalam rumah

9. seksualitas
a. perubahan kewaspadaan/aktivitas seksual, meliputi mastrubasi kompulsif, permainan seks
dewasa sebelum waktunya, kecenderungan mengulang atau melakukan kembali pengalaman
inses. Kecurigaan yang berlebihan tentang seks, secara seksual menganiaya anak lain.

b. perdarahan vagina, laserasi hymen linier, bagian mukosa berlendir

c. adanya pms, vaginitis, kulit genital atau kehamilan

10. interaksi social

Melarikan diri dari rumah, pola interaksi dalam keluarga secara verbal kurang responsive,
peningkatan penggunaan perintah langsung dan pernyataan kritik, penurunan penghargaan atau
pengakuan verbal, merasa rendah diri, pencapaian restasi disekolah rendah prestasi di sekolah
menurun.

J. DIAGNOSA KEPERAWATAN

Diagnose yang dapat dirumuskan pada anak yang mengalami seksual abuse adalah:

1. sindrom pemerkosaan berhubungan dengan menjadi korban perkosaan seksual yang dilakukan
dengan menggunakan kekuatan dan berlawanan dengan keingin dan persetujuan pribadi
seseorang

2. ketidakberdayaan berhubungan dengan harga diri rendah

3. perubahan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan pengasuh yang tidak


adekurat dan penderitaan oleh pengasuh dari nyeri fisik atau cidera dengan tujuan untuk
menyebabkan bahaya, biasanya terjadi dalam waktu lama.

4. ansietas berhubungan dengan ancaman konsep diri, rasa takut terhadap kegagalan, disfungsi
system keluarga dan berhubungan antara orang tua dan anak yang tidak memuaskan

5. gangguan pola tidur berhubungan dengan ansietas dan hiperaktif

6. gangguan harga diri rendah berhubungan dengan koping individutidak efektif

7. koping defensive berhubungan dengan harga diri rendah, kurang umpan balik atau umpan
balik negative yang berulang yang mengakibatkan penurunan makna diri

8. koping keluarga tidak efektif berhubungan dengan perasaan bersalah yang berlebihan, marah
atau saling menyalahkan diantara anggota keluarga mengenai perilaku anak, kepenatan orang tua
karena menghadapi anak dengan gangguan dalam jangka waktu lama.
9. deficit pengetahuan tentang kondisi, prognosis, perawatan diri dan kebutuhan terapi
berhubungan dengan kurang sumber informasi, interprestasi yang salah tentang informasi

K. INTERVENSI

Menurut videbeck (2008), townsend (1998), dan doenges et.al (2007) intervensi
keperawatan yang dapat dirumuskan untuk mengatasi diagnose keperawatan diatas antara lain:

1. sindrom trauma perkosaan berhubungan dengan menjadinkorban perkosaan seksual yang


dilakukan dengan menggunakan kekuatan dan berlawanan dengan keinginan dan persetujuan
pribadi seseorang

Tujuan :

a. tujuan jangka pendek : luka fisik anak akan sembuh tanpa komunikasi

b. tujuan jangka panjang : anak akan mengalami resolusi berduka yang sehat, memulai proses
penyembuhan psikologis.

Intervensi :

a. Smith (1987) menghubungkan pentingnya mengkomunikasikan empat ucapan berikut ini pada
korban perkosaan : saya prihatin hal ini terjadi padamu, anda aman disini, saya sengan anda
hidup, anda tidak bersalah. Anda adalah korban. Ini bukan kesalhan anda. Apapun keputusan
yang anda buat pada saat pengorbanan andalah hak seseorang karena anda hidup. Rasional :
wanita tau anak yang telah diperkosa secara seksual takut terhadap kehidupannya dan harus
diyakinkan kembali kemauannya. Ia mungkin juga sangat ragu-ragu dengan dirinya dan
menyalahkan diri sendiri dan pertanyaan-pertanyaan ini membangkitkan rasa percaya secara
bertahap dan menvalidasi harga diri anak

b. jelaskan setiap prosedur pengkajian yang akan dilakukan dan mengapa dilakukan. Pastikan
bahwa pengumpulan data dilakukan dan perawatan, cara tidak menghakimi. Rasional : untuk
menurunkan ketakutan atau ansietas dan untuk meningkatkan rasa percaya

c. pastikan bahwa anak memiliki privasi yang adekurat untuk semua intervensi-intervensi segera
pasca kritis. Cobaan sedikit mungkin orang memberikan perawatan segera atau mengumpulkan
butki segera. Rasional : anak pasca trauma sangat rentan. Penambahan orang dalam
lingkungannya meningkat perasaan rentan ini dan bertindak meningkatkan ansietas

d. dorong anak untuk menghitung jumblah serangan kekerasan seksual. Dengarkan tetapi tidak
menyelidiki. Rasional : mendengarkan dengan tidak menghakimi memberikan kesempatan untuk
katarsis bahwa anak perlu memulai pemulihan. Jimblah yang rinci mungkin dibuthkan untuk
tidak lanjut secara legal, dan seorang perawat sebagai pembela anak dapat menolong unutk
mengurangi trauma diri pengumpul bukti.

e. diskusikan dengan anak siapa yang dapat dihubung untuk memberikan dukungan atau bantuan.
Berikan informasi tentang rujukan setelah perawatan. Rasional: karena berat rasa takut, anak
mungkin membutuhkan bantuan dari orang lain selama periode segera pasca-kritis. Berikan
informasi rujukan tertulis untuk referensi selanjutnya (psikoterapi, klinik kesehatan jiwa,
kelompok pembela masyrakat).

2. ketidakberdayaan berhubungan dengan harga diri rendah

Tujuan :

a. tujuan jangka pendek

Anda mungkin juga menyukai