PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Pelecehan yang berulang sering ditemui pada lebih dari setengah kasus pelecehan
seksual di komunitas dan terdapat pada 75% kasus yang ditemukan di klinik.sexual
abuse (kekerasan seksual) dikenal pada tahun 70-an dan 80-an. Penelitian lain telah
mengarah pada perkiraan kekerasan pada anak yang lebih luas di Inggris, seperti dari
Childhood Matters (1996): Sekitar 100 000 anak mengalami pengalaman seksual
yang berpotensi mengarah ke seksual abuse (FKUI, 2006). Banyak anak yang
mendapat perlakuan kurang manusiawi, bahkan tidak jarang dijadikan objek
kesewenangan.Berdasarkan catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia, ada 481
kasus kekerasan anak (2003).
Jumlah ini menjadi 547 kasus pada tahun 2004. Dari situ, ada 140 kasus kekerasan
fisik, 80 kasus kekerasan psikis, 106 kasus kekerasan lainnya, dan 221 kasus
kekerasan seksual. Gambaran paradoks tersebut memancing pertanyaan.Mengapa
kekerasan seksual sering menimpa diri anak dan siapa yang paling berpotensi sebagai
pelakunya? Di samping dapat menimbulkan dampak yang luar biasa pada diri si
korban, kasus kekerasan seksual juga dapat menguji kebenaran dari pernyataan
Singarimbun (2004), bahwa modernisasi sering diasosiasikan sebagai keserbabolehan
melakukan hubungan seksual (Suda, 2006).
Kekerasan seksual (sexual abuse) merupakan kasus yang menonjol yang terjadi
pada anak-anak. Dalam catatan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) pada
tahun 1992-2002 terdapat 2.611 kasus (65,8 persen) dari 3.969 kasus kekerasan
seksual dialami anak-anak di bawah usia 18 tahun. Dari jumlah itu, 75 persen
korbannya adalah anak perempuan. Kasus yang menonjol terutama pemerkosaan
(42,9 persen) dengan kejadian terjadi di rumah tinggal (35,7 persen) (FKUI, 2006).
B.Tujuan Penulisan
1. Melakukan pengkajian keperawatan pada pasien yang mengalami pelecehan
seksual
2. Menetapkan diagnosa keperawatan pada pasien yang mengalami pelecehan
seksual
3. Menyusun intervensi keperawatan pada pasien yang mengalami pelecehan
seksual
C.Manfaat Penulisan
Perkosaan biasanya terjadi pada saat pelaku terlebih dahulu mengancam dengan
memperlihatkan kekuatannya kepada anak. Incest, diartikan sebagai hubungan
seksual atau aktivitas seksual lainnya antarindividu yang mempunyai hubungan
dekat, yang perkawinan di antara mereka dilarang, baik oleh hukum, kultur, maupun
agama. Eksploitasi seksual meliputi prostitusi dan pornografi (Suda, 2006).
Kekerasan seksual (sexual abuse), dapat didefinisikan sebagai perilaku seksual secara
fisik maupun non fisik oleh orang yang lebih tua atau memiliki kekuasaan terhadap
korban, bertujuan untuk memuaskan hasrat seksual pelakunya. Korban mungkin saja
belum atau tidak memahami perlakuan yang dilakukan terhadap dirinya, mereka
hanya merasa tidak nyaman, sakit, takut, merasa bersalah, dan perasaan lain yang
tidak menyenangkan (FKUI, 2006).
B.Etiologi
a. Faktor kelalaian orang tua.. Kelalaian orang tua yang tidak memperhatikan tumbuh
kembang dan pergaulan anak yang membuat subyek menjadi korban kekerasan
seksual..
b. Faktor rendahnya moralitas dan mentalitas pelaku. Moralitas dan mentalitas yang
tidak dapat bertumbuh dengan baik, membuat pelaku tidak dapat mengontrol nafsu
atau perilakunya.
Menurut Townsend (1998) factor yang predisposisi (yang berperan dalam pola
penganiayaan anak (seksuak abuse) antara lain:
1. Teori biologis
d. Kelainan otak. Berbagai kelainan otak mencakup tumor, trauma dan penyakit-
penyakit tertentu (misalnya ensefalitis dan epilepsy), telah dilibatkan pada
predisposisi pada perilaku agresif.
2. Teori psikologis
b. Teori pembelajaran. Teori ini mendalilkan bahwa perilaku agresif dan kekerasan
dipelajari dari model yang membawa dan berpengaruh. Individu-individu yang
dianiaya seperti anak-anak atau yang orang tuanya mendisiplinkan dengan hukuman
fisik lebih mungkin untuk berperilaku kejam sebagai orang dewasa.
Menurut Freewebs (2006) kekerasan seksual (sexual abuse) pada anak sering
muncul dalam berbagai kondisi dan lingkup sosial.
3. Ritualistic abuse Mencakup kekerasan yang di lakukan oleh orang dewasa untuk
mendapatkan ilmu gaib atau ilmu hitam demi keperluan pribadinya.
4. Institutional abuse Mencakup kekerasan seksual dalam lingkup institusi tertentu
seperti sekolah, tempat penitipan anak, kamp berlibur, seperti kegiatan pramuka, dan
organisasi lainnya.
5. Kekerasan seksual oleh orang yang tidak dikenal (Street or stranger abuse)
Penyerangan pada anak-anak di tempat-tempat umum.
1. Pertama, pelaku tidak bisa lagi melakukan hubungan dengan istri karena alasan
kesehatan atau telah lama menduda.
3. Ketiga, pelaku tidak tahan melihat kemontokan tubuh anak perempuannya, atau
melihat anak perempuannya ke luar kamar mandi menggunakan handuk. Bahkan,
bisa pula pelaku melakukan pelecehan seksual terhadap anak perempuan, karena
terpengaruh film porno (Atmadja, 2005:139 dalam Suda, 2006).
C. KLASIFIKASI
Klasifikasi dari sexual abuse pada anak menurut (Suda, 2006) adalah :
1. Perkosaan.
Perkosaan adalah jenis kekerasan yang paling mendapat sorotan. Diperkirakan
22% perempuan dan 2% laki-laki pernah menjadi korban perkosaan. Untuk di
Amerika saja, setiap 2 menit terjadi satu orang diperkosa. Hanya 1 dari 6 perkosaan
yang dilaporkan ke polisi. Sebagian besar perkosaan dilakukan oleh orang yang
mengenal korban alias orang dekat korban.
2. Kekerasan seksual terhadap anak-anak.
Suatu tinjauan baru-baru ini terhadap 17 studi dari seluruh dunia menunjukkan
bahwa di manapun, sekitar 11% sampai dengan 32% perempuan dilaporkan mendapat
perlakuan atau mengalami kekerasan seksual pada masa kanak-kanaknya. Umumnya
pelaku kekerasan adalah anggota keluarga, orang-orang yang memiliki hubungan
dekat, atau teman. Mereka yang menjadi pelaku kekerasan seksual terhadap anak
biasanya adalah korban kekerasan seksual pada masa kanak-kanak.
3. Kekerasan seksual terhadap pasangan.
Kekerasan ini mencakup segala jenis kekerasan seksual yang dilakukan seseorang
terhadap pasangan seksualnya. Sebesar 95% korban kekerasan adalah perempuan.
Temuan penelitian yang dilakukan Rifka Annisa bersama UGM, UMEA University,
dan Women’s Health Exchange USA di Purworejo, Jawa Tengah, Indonesia, pada
tahun 2000 menunjukkan bahwa 22% perempuan mengalami kekerasan seksual.
Sejumlah 1 dari 5 perempuan (19%) melaporkan bahwa biasanya mereka dipaksa
untuk melakukan hubungan seksual dengan pasangan mereka selama dipukuli.
Termasuk kekerasan seksual adalah kekerasan yang dilakukan seorang laki-laki
terhadap seorang perempuan, semata-mata karena sang korban adalah perempuan.
Istilah untuk ini adalah kekerasan berbasis gender. Berikut adalah kekerasan berbasis
gender:
4. Kekerasan fisik : Menampar, memukul, menendang, mendorong, mencambuk, dll.
5. Kekerasan emosional/ verbal
Mengkritik, membuat pasangan merasa bersalah, membuat permainan pikiran,
memaki, menghina, dll.
6. Ketergantungan finansial: Mencegah pasangan untuk mendapat pekerjaan,
membuat pasangan dipecat, membuat pasangan meminta uang, dll
7. Isolasi sosial: Mengontrol pasangan dengan siapa boleh bertemu dan di mana bisa
bertemu, membatasi gerak pasangan dalam pergaulan, dll
8. Kekerasan seksual: Memaksa seks, berselingkuh, sadomasokisme, dll.
9. Pengabaian/penolakan: Mengatakan kekerasan tidak pernah terjadi, menyalahkan
pasangan bila kekerasan terjadi, dll.
10. Koersi, ancaman, intimidasi: Membuat pasangan khawatir, memecahkan benda-
benda, mengancam akan meninggalkan, dll.
D. PATOFISIOLOGI
Menurut Tower (2002) dalam Maria (2008) kekerasan seksual pada anak dapat
terjadi satu kali, beberapa kali dalam periode berdekatan, bahkan menahun.
Walaupun berbeda-beda pada setiap kasus, kekerasan seksual tidak terjadi begitu
saja, melainkan melalui beberapa tahapan antara lain :
1. Tahap awal, pelaku membuat korban merasa nyaman. Ia menyakinkan bahwa apa
yang dilakukannya "tidak salah" secara moral. Pelaku mencoba menyentuh sisi
kbutuhan anak akan kasih saying dan perhhatian, penerimaan dari orang lain, atau
mencoba menyamakannya dengan permainan dan menjanjikan imbalan material
yang menyenangkan. Pelaku dapat mengintimidasi secara halus ataupun bersikap
memaksa secara kasar.
2. Tahap kedua, adalah interaksi seksual. Perilaku yang terjadi bisa saja hanya berupa
mengintip sampai perilaku yang intensitasnya berat, yaitu memakasa anak untuk
melakukan hubungan seksual. Setelah kejadian tersebut, pelaku mengancam
korban agar merahasiakan apa yang terjadi kepada orang lain.
3. Tahap berikutnya, adalah tahapan dimana korban mau menceritakan
pengalamannya kepada orang lain. Kemungkinan korban merahasiakan
pengalamannya sampai berusia dewasa, atau menceritakannya kepada orang yang
mempunyai kedekatan emosional dengannya, sehingga ia merasa aman. Pelaku
"mencobai" korban sedikit demi sedikit, mulai dari :
a. Pelaku membuka pakaiannya sendiri
b. Pelaku meraba-raba bagian tubuhnya sendiri
c. pelaku memperlihatkan alat kelaminnya
d. Pelaku mencium korban dengan pakaian lengkap
e. Pelaku meraba bagian-bagian tubuh korban : payudara, alat kelamin, dan bagian
lainnya.
f. Masturbasi, dilakukan oleh pelaku sendiri atau pelaku dan korban saling
menstimulasi.
g. Oral sex, dengan menstimilasi alat kelamin korban
h. Sodomi
i. Petting
j. Penetrasi alat kelamin pelaku
Anak yang memiliki resiko mengalami kekerasan seksual biasanya adalah anak-
anak yang biasa ditinggalkan sendiri dan tidak mendapat pengawasan dari orang
yanglebih dewasa, terutama ibu.Tidak hanya kehadiran secara fisik, kedekatan
emosional antara ibu dan anak pun merupakan faktor yang penting (Maria, 2008).
Menurut Maria (2008) dampak kekerasan seksual pada anak adalah sebagai
berikut :
1. Stress: akut, traumatic – PTSD (post traumatik stress disorder)
2. Agresif, menjadi pelaku kekerasan, tidak percaya diri
3. Rasa takut, cemas
4. Perilaku seksual yang tidak wajar untuk anak seusianya
Tidak diragukan lagi bahwa kekerasan seksual dapat memberikan dampak jangka
pendek maupun jangka panjang bagi korbannya. Pada anak lainnya, ada
kemungkinan gangguan tersebut di 'tekan' sehingga tidak teramati dari luar sampai
ada pemicu yang menampilkan gejolak emosi mereka, misalnya saat anak memasuki
usia remaja dan mulai dekat dengan lawan jenis, atau pada saat mereka akan
menikah. selain itu, sangat mungkin anak yang 13 menjadi korban kekerasan seksual
kemudian justru malah menjadi pelaku kekerasan seksual terhadap anak lain (Maria,
2008).
Menghadapi anak yang mengalami kekerasan seksual, kata Maria, hendaknya
tetap mempertimbangkan faktor psikologis.Tidak hanya pada posisi anak sebagai
korban, yang tentunya berisiko mengalami stres bahkan trauma, tapi juga perlu
penanganan yang baik pada anak sebagai pelaku kekerasan. Anak sebagai pelaku
kekerasan seksual, sangat mungkin sebelumnya adalah korban dari kekerasan seksual
yang dilakukan oleh pelaku lain. Kemungkinan motif kekerasan yang dilakukannya
adalah untuk eksploitasi-memuaskan rasa ingin tahu, atau menirukan kejadian yang
dialami sebelumnya, baik dari perlakuan langsung maupun dari media yang
dilihatnya.Dengan adanya azas praduga tak bersalah, hendaknya ditelusuri dengan
mendalam faktor yang mendorong anak menjadi pelakukekerasan seksual, agar anak
tidak dua kali menjadi korban (Maria, 2008).
Berbagai bentuk kekerasan seksual terhadap anak, khususnya anak perempuan di
masyarakat, selalu diwarnai kekerasan fisik atau psikologis.Jika meminjam gagasan
Giddens (2004) tentang kekerasan lakilaki dalam menyalurkan libidonya, tindakan
tersebut berkaitan dengan label yang diberikan masyarakat kepada laki-laki.Laki-laki
harus jantan menangani sektor publik dan urusan seksual. Di sisi lain, meluasnya
sistem ekonomi kapitalisme global mengakibatkan banyak orang termarjinal, bahkan
terhimpit, baik secara ekonomi maupun psikologis. Akibatnya, harga diri mereka
dalam keluarga dan masyarakat mengalami goncangan.Begitu pula hubungan seksual
mereka dengan istrinya bisa terganggu. Kondisi ini bisa diperparah lagi karena usia
tua, impotensi, ejakulasi dini, kekhawatiran ukuran dan fungsi penis, dan lainnya. Ini
menimbulkan rasa tidak aman dan kekawatiran yang mendalam (Suda, 2006).
Berikut ini jenis-jenis kekerasan seksual berdasarkan pelakunya (Tower, 2002
dalam Maria, 2008) :
a. Kekerasan yang dilakukan oleh anggota keluarga.
Dilakukan oleh ayah, ibu atau saudara kandung. Selain itu, kekerasan seksual
mungkin pula dilakukan oleh orang tua angkat/tiri, atau orang lain yang tinggal
serumah dengan korban.
Kekerasan seksual dapat dilakukan oleh siapa saja, tidak dibatasi perbedaan jenis
kelamin, suku, agama, tingkat sosial ekonomi, dan sebagainya.Sebagian besar
pelaku adalah pria dan orang yang melakukan orang yang cukup dikenal oleh
korban, misalnya tetangga, guru, sopir, baby-sittter. Pelaku bisa saja mengalami
kelainan seperti paedophilia, pecandu seks, atau sangat mungkin teman sebaya.
Kemungkinan pelaku penah menjadi korban kekerasan seksual sebelumnya,atau
menirukan perilaku orang lain. salah satu penyebabnya adalah untuk mengatasi
trauma akibat kekesaran seksual yang dialaminya, atau sekedar memenuhi rasa
ingin tahu.
Efek klinis pencabulan berkisar dari pendarahan pada genital dan anus, fisur pada
anus, pembesaran liang vagina dan anus, dan penipisan/kerusakan hymen pada
vagina. Efek psikologis pencabulan terhadap anak umumnya berjangka panjang,
antara lain: kemarahan, kecemasan, mimpi buruk, rasa tak Iman, kebingungan,
ketakutan, kesedihan, dan perubahan perilaku baik menjadi buruk
F. MANIFESTASI KLINIK
Dampak psikologis yang dialami oleh subyek dapat digolongkan menjadi tiga
bagian, yaitu gangguan perilaku, gangguan kognisi, gangguan emosional.
b. Gangguan Kognisi, ditandai dengan sulit untuk berkonsentrasi, tidak fokus ketika
sedang belajar, sering melamun dan termenung sendiri.
c. Gangguan Emosional, ditandai dengan adanya gangguan mood dan suasana hati
serta menyalahkan diri sendiri. (Jurnal Terlampir)
Patricia A Moran dalam buku Slayer of the Soul, 1991 dalam Minangsari (2007),
mengatakan, menurut riset, korban pelecehan seksual adalah anak lakilaki dan
perempuan berusia bayi sampai usia 18 tahun. Kebanyakan pelakunya adalah orang
yang mereka kenal dan percaya.
Gejala seorang anak yang mengalami pelecehan seksual tidak selalu jelas. Ada
anak-anak yang menyimpan rahasia pelecehan seksual yang dialaminya dengan
bersikap "manis" dan patuh, berusaha ‘agar tidak menjadi pusat perhatian.Meskipun
pelecehan seksual terhadap anak tidak memperlihatkan bukti mutlak, tetapi jika
tanda-tanda di bawah ini tampak pada anak dan terlihat terus- menerus dalam jangka
waktu panjang, kiranya perlu segera mempertimbangkan kemungkinan anak telah
mengalami pelecehan seksual (minangsari, 2007)
Tanda dan indikasi ini diambil Jeanne Wess dari buku yang sama:
1. Balita
a. Tanda-tanda fisik, antara lain memar pada alat kelamin atau mulut, iritasi kencing,
penyakit kelamin, dan sakit kerongkongan tanpa penyebab jelas bisa merupakan
indikasi seks oral.
b. Tanda perilaku emosional dan sosial, antara lain sangat takut kepada siapa saja atau
pada tempat tertentu atau orang tertentu, perubahan kelakuan yang tiba-tiba,
gangguan tidur (susah tidur, mimpi buruk, dan ngompol), menarik diri atau
depresi, serta perkembangan terhambat.
a. Tanda fisik: antara lain perilaku regresif, seperti mengisap jempol, hiperaktif,
keluhan somatik seperti sakit kepala yang terus-menerus, sakit perut, sembelit.
b. Tanda pada perilaku emosional dan sosial: kelakuan yang tiba-tiba berubah, anak
mengeluh sakit karena perlakuan seksual.
3. Kemerahan atau gatal pada daerah genital, menggaruk daerah tersebut secara
sering atau gelisah saat duduk
4. Sering muntah
Menurut Suda (2006) ada beberapa model program counseling yang dapat
diberikan kepada anak yang mengalami sexual abuse, yaitu :
d. Cognitif terapy. Artinya, konsep dasar dalam teknik ini adalah perasaan-perasaan
seseorang mengenai beragam jenis dalam kehidupannya dipengaruhi oleh pikiran-
pikiran mengenai kejadian tersebut secara berulang-lingkar.
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menurut Doenges et. al (2007) pemeriksaan diagnostic yang dilakukan pada anak
dengan sexual abuse bergantung pada situasi dan kebutuhan individu. Uji skrining
(misalnya Daftar Periksa Perilaku Anak), peningkatan nilai pada skala internalisasi
yang menggambarkan perilaku antara lain ketakutan, segan, depresi, pengendalian
berlebihan atau di bawah pengendalian, agresif dan antisosial.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
B. Diagnosa Keperawatan
1. Sindrom trauma perkosaan berhubungan dengan menjadi korban perkosaan
seksualyang dilakukan dengan menggunakan kekuatan dan berlawanan dengan
keinginan dan persetujuan pribadi seseorang.
2. Ketidakberdayaan berhubungan dengan harga diri rendah.
3. Perubahan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan pengasuhan
yang tidak adekuat dan penderitaan oleh pengasuh dari nyeri fisik atau cidera
dengan tujuan untuk menyebabkan bahaya, biasanya terjadi dalam waktu lama.
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
prosedur untuk
pengkajian meningkaytkan
bahwa rentan.
pengumpulan Penambahan
dalam Lingkungannya
perawatan,cara meningkatkan
tidak perasaan
3. Pastikan bertindak
yang adekuat
untuk semua 4. Mendengarkan
dengan tidak
intervensi-
menghakimi
intervensi segera
memberikan
pasca krisis.
kesempatan
Cobaan sedikit
untuk katarsis
mungkin orang
bahwa anak perlu
yang memulai
memberikan pemulihan.
perawatan Jumlah yang rinci
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Kasus kekerasan seksual yang dialami oleh anak dibawah umur belakangan ini
semakin banyak muncul dipermukaan.Hal ini belum tentu merupakan indicator
meningkatnya jumlah kasus, karena fenomena yang terjadi adalah fenomena gunung
es, jumlah yang terlihat belum tentu menunjukkan fakta yang sesungguhnya.
Meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap penegakan hukum merupakan salah
satu faktor meningkatnya pelaporan kasus kekerasan seksual. Penganiayaan seksual
pada anak didefinisikan sebagai adanya tindakan seksual yang mencakup tetapi tidak
dibatas pada insiden membuka pakaian, menyentuh dengan cara yang tidak pantas
dan penetrasi (koitus seksual), yang dilakukan dengan seorang anak untuk
kesenangan seksual orang dewasa.
B. SARAN
Berdasarkan asuhan keperawatan anak pada retardasi mental maka disarankan :
1. Perawat
Perawat dalam memberikan asuhan keperawatan pada anak dengan seksual abuse
dapat melibatkan anak dalam brain Gym untuk memfokuskan perhatian anak dan
melupakan peristiwa trauma akibat penganiayaan seksual.
2. Sekolah
Sekolah dapat bekerja sama dengan keluarga dan para dokter untuk membantu
anak korban aniaya seksual di sekolah.
3. Keluarga/Orang tua
Keluarga atau orang tua dalam membantu anak yang mengalami seksual abuse
harus memberikan perawatan anak dengan metode yang berbeda dengan anak yang
normal.
DAFTAR PUSTAKA
Doengoes, M.E. Townsend, M.C. Moorhouse, M.F. (2007). Rencana asuhan
keperawatan Psikiatri (terjemahan).Edisi 3.Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
Elia, H. (2003). Korban Pelecehan Seksual Usia Muda
Townsend, M.C. (1998). Buku Saku Diagnosa Keperawatan pada Keperawatan
pedoman Untuk Pembuatan rencana Perawatan
(terjemahan).Edisi 3.Jakarta : penerbit Buku Kedokteran EGC
Suda, I.K, (2006). Topik Interaktif: "Membedah Penyebab Kekerasan Seksual
terhadap Anak"Penyebab Kekerasan Seksual terhadap Anak