Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Pelecehan yang berulang sering ditemui pada lebih dari setengah kasus pelecehan
seksual di komunitas dan terdapat pada 75% kasus yang ditemukan di klinik.sexual
abuse (kekerasan seksual) dikenal pada tahun 70-an dan 80-an. Penelitian lain telah
mengarah pada perkiraan kekerasan pada anak yang lebih luas di Inggris, seperti dari
Childhood Matters (1996): Sekitar 100 000 anak mengalami pengalaman seksual
yang berpotensi mengarah ke seksual abuse (FKUI, 2006). Banyak anak yang
mendapat perlakuan kurang manusiawi, bahkan tidak jarang dijadikan objek
kesewenangan.Berdasarkan catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia, ada 481
kasus kekerasan anak (2003).
Jumlah ini menjadi 547 kasus pada tahun 2004. Dari situ, ada 140 kasus kekerasan
fisik, 80 kasus kekerasan psikis, 106 kasus kekerasan lainnya, dan 221 kasus
kekerasan seksual. Gambaran paradoks tersebut memancing pertanyaan.Mengapa
kekerasan seksual sering menimpa diri anak dan siapa yang paling berpotensi sebagai
pelakunya? Di samping dapat menimbulkan dampak yang luar biasa pada diri si
korban, kasus kekerasan seksual juga dapat menguji kebenaran dari pernyataan
Singarimbun (2004), bahwa modernisasi sering diasosiasikan sebagai keserbabolehan
melakukan hubungan seksual (Suda, 2006).
Kekerasan seksual (sexual abuse) merupakan kasus yang menonjol yang terjadi
pada anak-anak. Dalam catatan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) pada
tahun 1992-2002 terdapat 2.611 kasus (65,8 persen) dari 3.969 kasus kekerasan
seksual dialami anak-anak di bawah usia 18 tahun. Dari jumlah itu, 75 persen
korbannya adalah anak perempuan. Kasus yang menonjol terutama pemerkosaan
(42,9 persen) dengan kejadian terjadi di rumah tinggal (35,7 persen) (FKUI, 2006).
B.Tujuan Penulisan
1. Melakukan pengkajian keperawatan pada pasien yang mengalami pelecehan
seksual
2. Menetapkan diagnosa keperawatan pada pasien yang mengalami pelecehan
seksual
3. Menyusun intervensi keperawatan pada pasien yang mengalami pelecehan
seksual

C.Manfaat Penulisan

Sebagai tolak ukur tingkat kemampuan mahasiswa dalam penguasaan materi


tentang asuhan keperawatan pelecehan seksual.Dan dapat digunakan sebagai acuan
dalam peningkatan kualitas asuhan keperawatan serta perkembangan ilmu praktek
keperawatan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.Definisi Kekerasan Seksual


Penyiksaan seksual (sexual abuse) terhadap anak disebut Pedofilian atau penyuka
anak-anak secara seksual. Seorang Pedofilia adalah orang yang melakukan aktivitas
seksual dengan korban anak usia 13 tahun ke bawah. Penyakit ini ada dalam kategori
Sadomasokisme : adalah suatu kecenderungan terhadap aktivitas seksual yang
meliputi pengikatan atau menimbulkan rasa sakit atau penghinaan (Pramono, 2009).
Kemudian klasifikasi kekerasan/penganiayaan seksual pada anak menurut Resna dan
Darmawan (dalam Huraerah, 2006:60) diklasifikasi menjadi tiga kategori, antara lain:
perkosaan, incest, dan eksploitasi.

Perkosaan biasanya terjadi pada saat pelaku terlebih dahulu mengancam dengan
memperlihatkan kekuatannya kepada anak. Incest, diartikan sebagai hubungan
seksual atau aktivitas seksual lainnya antarindividu yang mempunyai hubungan
dekat, yang perkawinan di antara mereka dilarang, baik oleh hukum, kultur, maupun
agama. Eksploitasi seksual meliputi prostitusi dan pornografi (Suda, 2006).
Kekerasan seksual (sexual abuse), dapat didefinisikan sebagai perilaku seksual secara
fisik maupun non fisik oleh orang yang lebih tua atau memiliki kekuasaan terhadap
korban, bertujuan untuk memuaskan hasrat seksual pelakunya. Korban mungkin saja
belum atau tidak memahami perlakuan yang dilakukan terhadap dirinya, mereka
hanya merasa tidak nyaman, sakit, takut, merasa bersalah, dan perasaan lain yang
tidak menyenangkan (FKUI, 2006).

Kekerasan seksual (sexual abuse) pada anak mencakup penganiayaan seksual


secara fisik dan non fisik. Kekerasan fisik antara lain menyentuh alat kelamin atau
bagian tubuh lain yang bersifat pribadi, seks oral, penetrasi vagina/anus
menggunakan penis atau benda lain, memaksa anak membuka pakaian, sampai tindak
perkosaan. Sedangkan penganiyaan non fisik diantaranya memperlihatkan benda-
benda yang bermuatan pornografi atau aktivitas seksual orang dewasa, eksploitasi
anak dalam pornografi (gambar, foto, film, slide, majalah, buku), exhibitionism, atau
mengintip kamar tidur/kamar mandi (voyeurism). (Suda, 2006).

B.Etiologi

Berdasarkan jurnal “Dinamika Psikologis Kekerasan Seksual: Sebuah Studi


Fenomenologi”, Faktor penyebab sexual abuse adalah : Faktor-fakor yang
menyebabkan terjadinya tindakan kekerasan seksual yang dialami oleh subyek adalah
sebagai berikut:

a. Faktor kelalaian orang tua.. Kelalaian orang tua yang tidak memperhatikan tumbuh
kembang dan pergaulan anak yang membuat subyek menjadi korban kekerasan
seksual..

b. Faktor rendahnya moralitas dan mentalitas pelaku. Moralitas dan mentalitas yang
tidak dapat bertumbuh dengan baik, membuat pelaku tidak dapat mengontrol nafsu
atau perilakunya.

c. Faktor ekomoni. Faktor ekonomi membuat pelaku dengan mudah memuluskan


rencananya dengan memberikan imingiming kepada korban yang menjadi target dari
pelaku. (Jurnal Terlampir)

Berdasarkan jurnal “play therapy dalam identifikasi kasus kekerasan seksual


terhadap anak”, dampak sexual abuse adalah :

Dampak kekerasan seksual terhadap anak diantaranya adanya perasaan bersalah


dan menyalahkan diri sendiri, bayangan kejadian dimana anak menerima kekerasan
seksual, mimpi buruk, insomnia, takut hal yang berhubungan dengan penyalahgunaan
(termasuk benda, bau, tempat, kunjungan dokter, dll), masalah harga diri, disfungsi
seksual, sakit kronis, kecanduan, keinginan bunuh diri cedera, bunuh diri, keluhan
somatik, depresi (Roosa, Reinholtz., Angelini, 1999). Selain 7 itu muncul gangguan-
gangguan psikologis seperti pasca-trauma stress disorder, kecemasan, jiwa penyakit
lain (termasuk gangguan kepribadian dan gangguan identitas disosiatif,
kecenderungan untuk reviktimisasi di masa dewasa, bulimia nervosa, cedera fisik
kepada anak, (Widom, 1999; Levitan, Rector, Sheldon, & Goering, 2003; Messman-
Moore, Terri Patricia, 2000; Dinwiddie , Heath , Dunne, Bucholz , Madden, Slutske,
Bierut, Statham et al, 2000) (Jurnal Terlampir)

Menurut Townsend (1998) factor yang predisposisi (yang berperan dalam pola
penganiayaan anak (seksuak abuse) antara lain:

1. Teori biologis

a. Pengaruh neurofisiologis. Perubahan dalam system limbik otak dapat


mempengaruhi perilaku agresif pada beberapa individu

b. Pengaruh biokimia, bermacam-macam neurotransmitter (misalnya epinefrin,


norepinefrin, dopamine, asetilkolin dan serotonin) dapat memainkan peranan dalam
memudahkan dan menghambat impulsimpuls agresif

c. Pengaruh genetika. Beberapa penyelidikan telah melibatkan herediter sebagai


komponen pada predisposisi untuk perilaku agresif seksual, baik ikatan genetik
langsung maupun karyotip genetik XYY telah diteliti sebagai kemungkinan.

d. Kelainan otak. Berbagai kelainan otak mencakup tumor, trauma dan penyakit-
penyakit tertentu (misalnya ensefalitis dan epilepsy), telah dilibatkan pada
predisposisi pada perilaku agresif.

2. Teori psikologis

a. Teori psikoanalitik. Berbadai teori psikoanalitik telah membuat hipotesa bahwa


agresi dan kekerasan adalah ekspresi terbuka dari ketidakperdayaan dan harga diri
rendah, yang timbul bila kebutuhan- kebutuhan masa anak terhadap kepuasan dan
keamanan tidak terpenuhi.

b. Teori pembelajaran. Teori ini mendalilkan bahwa perilaku agresif dan kekerasan
dipelajari dari model yang membawa dan berpengaruh. Individu-individu yang
dianiaya seperti anak-anak atau yang orang tuanya mendisiplinkan dengan hukuman
fisik lebih mungkin untuk berperilaku kejam sebagai orang dewasa.

3. Teori sosiokultural (pengaruh sosial)

Pengaruh sosial.Ilmuwan social yakin bahwa perilaku agresif terutama merupakan


hasil dari struktur budaya dan social seseorang. Pengaruh- pengaruh social dapat
berperan pada kekerasan saat individu menyadari bahwa kebutuhan dan hasrat
mereka tidak dapat dipenuhi melalui cara-cara yang lazim dan mereka mengusahakan
perilaku-perilaku kejahatan dalam suatu usaha untuk memperoleh akhir yang
diharapkan.

Menurut Freewebs (2006) kekerasan seksual (sexual abuse) pada anak sering
muncul dalam berbagai kondisi dan lingkup sosial.

1. Kekerasan seksual dalam keluarga (Intrafamilial abuse) Mencakup kekerasan


seksual yang dilakukan dalam keluarga inti atau majemuk, dan dapat melibatkan
teman dari anggota keluarga, atau orang yang tinggal bersama dengan keluarga
tersebut, atau kenalan dekat dengan sepengetahuan keluarga.Kekerasan pada anak
adopsi ataupun anak tiri juga termasuk dalam lingukup ini.

2. Kekerasan seksual di luar keluarga (Extrafamilial abuse) Mencakup kekerasan


yang dilakukan oleh orang dewasa yang kenal dengan anak tersebut dari berbagai
sumber, seperti tetangga, teman, orangtua dari teman sekolah.

3. Ritualistic abuse Mencakup kekerasan yang di lakukan oleh orang dewasa untuk
mendapatkan ilmu gaib atau ilmu hitam demi keperluan pribadinya.
4. Institutional abuse Mencakup kekerasan seksual dalam lingkup institusi tertentu
seperti sekolah, tempat penitipan anak, kamp berlibur, seperti kegiatan pramuka, dan
organisasi lainnya.

5. Kekerasan seksual oleh orang yang tidak dikenal (Street or stranger abuse)
Penyerangan pada anak-anak di tempat-tempat umum.

Ada beberapa pandangan berbeda penyebab kekerasan seksual yang menimpa


anak. Orang yang mencabuli anak-anak dianggap orang yang mengalami disfungsi
karena kecanduan alkohol, tidak memiliki pekerjaan tetap dan penghasilan yang
mapan, serta tingkat pendidikan yang rendah. Menurut Cok Gede Atmadja,
pencabulan terhadap anak terjadi karena himpitan ekonomi. Sementara Magdalena
Manik, aktivis Forum Sayang Anak, menyatakan pencabulan terhadap anak
disebabkan meluasnya budaya permisif, dan ketidakkonsistenan pihak kepolisian
dalam mengambil tindakan hukum terhadap pelaku incest (Suda, 2006).

Koran Tokoh (Edisi 337/TahunVII, 5—11 Juni 2005:14) menulis beberapa


pemicu terjadinya pencabulan terhadap anak, khususnya oleh orangtua.

1. Pertama, pelaku tidak bisa lagi melakukan hubungan dengan istri karena alasan
kesehatan atau telah lama menduda.

2. Kedua, pelaku ingin menyempurnakan ilmu kebatinan yang sedang ditekuninya.

3. Ketiga, pelaku tidak tahan melihat kemontokan tubuh anak perempuannya, atau
melihat anak perempuannya ke luar kamar mandi menggunakan handuk. Bahkan,
bisa pula pelaku melakukan pelecehan seksual terhadap anak perempuan, karena
terpengaruh film porno (Atmadja, 2005:139 dalam Suda, 2006).
C. KLASIFIKASI

Klasifikasi dari sexual abuse pada anak menurut (Suda, 2006) adalah :

1. Perkosaan.
Perkosaan adalah jenis kekerasan yang paling mendapat sorotan. Diperkirakan
22% perempuan dan 2% laki-laki pernah menjadi korban perkosaan. Untuk di
Amerika saja, setiap 2 menit terjadi satu orang diperkosa. Hanya 1 dari 6 perkosaan
yang dilaporkan ke polisi. Sebagian besar perkosaan dilakukan oleh orang yang
mengenal korban alias orang dekat korban.
2. Kekerasan seksual terhadap anak-anak.
Suatu tinjauan baru-baru ini terhadap 17 studi dari seluruh dunia menunjukkan
bahwa di manapun, sekitar 11% sampai dengan 32% perempuan dilaporkan mendapat
perlakuan atau mengalami kekerasan seksual pada masa kanak-kanaknya. Umumnya
pelaku kekerasan adalah anggota keluarga, orang-orang yang memiliki hubungan
dekat, atau teman. Mereka yang menjadi pelaku kekerasan seksual terhadap anak
biasanya adalah korban kekerasan seksual pada masa kanak-kanak.
3. Kekerasan seksual terhadap pasangan.
Kekerasan ini mencakup segala jenis kekerasan seksual yang dilakukan seseorang
terhadap pasangan seksualnya. Sebesar 95% korban kekerasan adalah perempuan.
Temuan penelitian yang dilakukan Rifka Annisa bersama UGM, UMEA University,
dan Women’s Health Exchange USA di Purworejo, Jawa Tengah, Indonesia, pada
tahun 2000 menunjukkan bahwa 22% perempuan mengalami kekerasan seksual.
Sejumlah 1 dari 5 perempuan (19%) melaporkan bahwa biasanya mereka dipaksa
untuk melakukan hubungan seksual dengan pasangan mereka selama dipukuli.
Termasuk kekerasan seksual adalah kekerasan yang dilakukan seorang laki-laki
terhadap seorang perempuan, semata-mata karena sang korban adalah perempuan.
Istilah untuk ini adalah kekerasan berbasis gender. Berikut adalah kekerasan berbasis
gender:
4. Kekerasan fisik : Menampar, memukul, menendang, mendorong, mencambuk, dll.
5. Kekerasan emosional/ verbal
Mengkritik, membuat pasangan merasa bersalah, membuat permainan pikiran,
memaki, menghina, dll.
6. Ketergantungan finansial: Mencegah pasangan untuk mendapat pekerjaan,
membuat pasangan dipecat, membuat pasangan meminta uang, dll
7. Isolasi sosial: Mengontrol pasangan dengan siapa boleh bertemu dan di mana bisa
bertemu, membatasi gerak pasangan dalam pergaulan, dll
8. Kekerasan seksual: Memaksa seks, berselingkuh, sadomasokisme, dll.
9. Pengabaian/penolakan: Mengatakan kekerasan tidak pernah terjadi, menyalahkan
pasangan bila kekerasan terjadi, dll.
10. Koersi, ancaman, intimidasi: Membuat pasangan khawatir, memecahkan benda-
benda, mengancam akan meninggalkan, dll.

D. PATOFISIOLOGI
Menurut Tower (2002) dalam Maria (2008) kekerasan seksual pada anak dapat
terjadi satu kali, beberapa kali dalam periode berdekatan, bahkan menahun.
Walaupun berbeda-beda pada setiap kasus, kekerasan seksual tidak terjadi begitu
saja, melainkan melalui beberapa tahapan antara lain :
1. Tahap awal, pelaku membuat korban merasa nyaman. Ia menyakinkan bahwa apa
yang dilakukannya "tidak salah" secara moral. Pelaku mencoba menyentuh sisi
kbutuhan anak akan kasih saying dan perhhatian, penerimaan dari orang lain, atau
mencoba menyamakannya dengan permainan dan menjanjikan imbalan material
yang menyenangkan. Pelaku dapat mengintimidasi secara halus ataupun bersikap
memaksa secara kasar.
2. Tahap kedua, adalah interaksi seksual. Perilaku yang terjadi bisa saja hanya berupa
mengintip sampai perilaku yang intensitasnya berat, yaitu memakasa anak untuk
melakukan hubungan seksual. Setelah kejadian tersebut, pelaku mengancam
korban agar merahasiakan apa yang terjadi kepada orang lain.
3. Tahap berikutnya, adalah tahapan dimana korban mau menceritakan
pengalamannya kepada orang lain. Kemungkinan korban merahasiakan
pengalamannya sampai berusia dewasa, atau menceritakannya kepada orang yang
mempunyai kedekatan emosional dengannya, sehingga ia merasa aman. Pelaku
"mencobai" korban sedikit demi sedikit, mulai dari :
a. Pelaku membuka pakaiannya sendiri
b. Pelaku meraba-raba bagian tubuhnya sendiri
c. pelaku memperlihatkan alat kelaminnya
d. Pelaku mencium korban dengan pakaian lengkap
e. Pelaku meraba bagian-bagian tubuh korban : payudara, alat kelamin, dan bagian
lainnya.
f. Masturbasi, dilakukan oleh pelaku sendiri atau pelaku dan korban saling
menstimulasi.
g. Oral sex, dengan menstimilasi alat kelamin korban
h. Sodomi
i. Petting
j. Penetrasi alat kelamin pelaku
Anak yang memiliki resiko mengalami kekerasan seksual biasanya adalah anak-
anak yang biasa ditinggalkan sendiri dan tidak mendapat pengawasan dari orang
yanglebih dewasa, terutama ibu.Tidak hanya kehadiran secara fisik, kedekatan
emosional antara ibu dan anak pun merupakan faktor yang penting (Maria, 2008).
Menurut Maria (2008) dampak kekerasan seksual pada anak adalah sebagai
berikut :
1. Stress: akut, traumatic – PTSD (post traumatik stress disorder)
2. Agresif, menjadi pelaku kekerasan, tidak percaya diri
3. Rasa takut, cemas
4. Perilaku seksual yang tidak wajar untuk anak seusianya
Tidak diragukan lagi bahwa kekerasan seksual dapat memberikan dampak jangka
pendek maupun jangka panjang bagi korbannya. Pada anak lainnya, ada
kemungkinan gangguan tersebut di 'tekan' sehingga tidak teramati dari luar sampai
ada pemicu yang menampilkan gejolak emosi mereka, misalnya saat anak memasuki
usia remaja dan mulai dekat dengan lawan jenis, atau pada saat mereka akan
menikah. selain itu, sangat mungkin anak yang 13 menjadi korban kekerasan seksual
kemudian justru malah menjadi pelaku kekerasan seksual terhadap anak lain (Maria,
2008).
Menghadapi anak yang mengalami kekerasan seksual, kata Maria, hendaknya
tetap mempertimbangkan faktor psikologis.Tidak hanya pada posisi anak sebagai
korban, yang tentunya berisiko mengalami stres bahkan trauma, tapi juga perlu
penanganan yang baik pada anak sebagai pelaku kekerasan. Anak sebagai pelaku
kekerasan seksual, sangat mungkin sebelumnya adalah korban dari kekerasan seksual
yang dilakukan oleh pelaku lain. Kemungkinan motif kekerasan yang dilakukannya
adalah untuk eksploitasi-memuaskan rasa ingin tahu, atau menirukan kejadian yang
dialami sebelumnya, baik dari perlakuan langsung maupun dari media yang
dilihatnya.Dengan adanya azas praduga tak bersalah, hendaknya ditelusuri dengan
mendalam faktor yang mendorong anak menjadi pelakukekerasan seksual, agar anak
tidak dua kali menjadi korban (Maria, 2008).
Berbagai bentuk kekerasan seksual terhadap anak, khususnya anak perempuan di
masyarakat, selalu diwarnai kekerasan fisik atau psikologis.Jika meminjam gagasan
Giddens (2004) tentang kekerasan lakilaki dalam menyalurkan libidonya, tindakan
tersebut berkaitan dengan label yang diberikan masyarakat kepada laki-laki.Laki-laki
harus jantan menangani sektor publik dan urusan seksual. Di sisi lain, meluasnya
sistem ekonomi kapitalisme global mengakibatkan banyak orang termarjinal, bahkan
terhimpit, baik secara ekonomi maupun psikologis. Akibatnya, harga diri mereka
dalam keluarga dan masyarakat mengalami goncangan.Begitu pula hubungan seksual
mereka dengan istrinya bisa terganggu. Kondisi ini bisa diperparah lagi karena usia
tua, impotensi, ejakulasi dini, kekhawatiran ukuran dan fungsi penis, dan lainnya. Ini
menimbulkan rasa tidak aman dan kekawatiran yang mendalam (Suda, 2006).
Berikut ini jenis-jenis kekerasan seksual berdasarkan pelakunya (Tower, 2002
dalam Maria, 2008) :
a. Kekerasan yang dilakukan oleh anggota keluarga.

Dilakukan oleh ayah, ibu atau saudara kandung. Selain itu, kekerasan seksual
mungkin pula dilakukan oleh orang tua angkat/tiri, atau orang lain yang tinggal
serumah dengan korban.

b. Kekerasan yang dilakukan oleh orang lain di luar anggota keluarga

Kekerasan seksual dapat dilakukan oleh siapa saja, tidak dibatasi perbedaan jenis
kelamin, suku, agama, tingkat sosial ekonomi, dan sebagainya.Sebagian besar
pelaku adalah pria dan orang yang melakukan orang yang cukup dikenal oleh
korban, misalnya tetangga, guru, sopir, baby-sittter. Pelaku bisa saja mengalami
kelainan seperti paedophilia, pecandu seks, atau sangat mungkin teman sebaya.
Kemungkinan pelaku penah menjadi korban kekerasan seksual sebelumnya,atau
menirukan perilaku orang lain. salah satu penyebabnya adalah untuk mengatasi
trauma akibat kekesaran seksual yang dialaminya, atau sekedar memenuhi rasa
ingin tahu.

Efek klinis pencabulan berkisar dari pendarahan pada genital dan anus, fisur pada
anus, pembesaran liang vagina dan anus, dan penipisan/kerusakan hymen pada
vagina. Efek psikologis pencabulan terhadap anak umumnya berjangka panjang,
antara lain: kemarahan, kecemasan, mimpi buruk, rasa tak Iman, kebingungan,
ketakutan, kesedihan, dan perubahan perilaku baik menjadi buruk
F. MANIFESTASI KLINIK

Berdasarkan jurnal “Dinamika Psikologis Kekerasan Seksual: Sebuah Studi


Fenomenologi”, Dampak psikologis sexual abuse adalah :

Dampak psikologis yang dialami oleh subyek dapat digolongkan menjadi tiga
bagian, yaitu gangguan perilaku, gangguan kognisi, gangguan emosional.

a. Gangguan Perilaku, ditandai dengan malas untuk melakukan aktifitas sehari-hari.

b. Gangguan Kognisi, ditandai dengan sulit untuk berkonsentrasi, tidak fokus ketika
sedang belajar, sering melamun dan termenung sendiri.

c. Gangguan Emosional, ditandai dengan adanya gangguan mood dan suasana hati
serta menyalahkan diri sendiri. (Jurnal Terlampir)

Patricia A Moran dalam buku Slayer of the Soul, 1991 dalam Minangsari (2007),
mengatakan, menurut riset, korban pelecehan seksual adalah anak lakilaki dan
perempuan berusia bayi sampai usia 18 tahun. Kebanyakan pelakunya adalah orang
yang mereka kenal dan percaya.

Gejala seorang anak yang mengalami pelecehan seksual tidak selalu jelas. Ada
anak-anak yang menyimpan rahasia pelecehan seksual yang dialaminya dengan
bersikap "manis" dan patuh, berusaha ‘agar tidak menjadi pusat perhatian.Meskipun
pelecehan seksual terhadap anak tidak memperlihatkan bukti mutlak, tetapi jika
tanda-tanda di bawah ini tampak pada anak dan terlihat terus- menerus dalam jangka
waktu panjang, kiranya perlu segera mempertimbangkan kemungkinan anak telah
mengalami pelecehan seksual (minangsari, 2007)
Tanda dan indikasi ini diambil Jeanne Wess dari buku yang sama:

1. Balita

a. Tanda-tanda fisik, antara lain memar pada alat kelamin atau mulut, iritasi kencing,
penyakit kelamin, dan sakit kerongkongan tanpa penyebab jelas bisa merupakan
indikasi seks oral.

b. Tanda perilaku emosional dan sosial, antara lain sangat takut kepada siapa saja atau
pada tempat tertentu atau orang tertentu, perubahan kelakuan yang tiba-tiba,
gangguan tidur (susah tidur, mimpi buruk, dan ngompol), menarik diri atau
depresi, serta perkembangan terhambat.

2. Anak usia prasekolah Gejalanya sama ditambah tanda-tanda berikut:

a. Tanda fisik: antara lain perilaku regresif, seperti mengisap jempol, hiperaktif,
keluhan somatik seperti sakit kepala yang terus-menerus, sakit perut, sembelit.

b. Tanda pada perilaku emosional dan sosial: kelakuan yang tiba-tiba berubah, anak
mengeluh sakit karena perlakuan seksual.

c. Tanda pada perilaku seksual: masturbasi berlebihan, mencium secara seksual,


mendesakkan tubuh, melakukan aktivitas seksual terang-terangan pada saudara
atau teman sebaya, tahu banyak tentang aktivitas seksual, dan rasa ingin tahu
berlebihan tentang masalah seksual.

3. Anak usia sekolah Memperlihatkan tanda-tanda di atas serta perubahan


kemampuan belajar, seperti susah konsentrasi, nilai turun, telat atau bolos,
hubungan dengan teman terganggu, tidak percaya kepada orang dewasa, depresi,
menarik diri, sedih, lesu, gangguan tidur, mimpi buruk, tak suka disentuh, serta
menghindari hal-hal sekitar buka pakaian.
4. Remaja Tandanya sama dengan di atas dan kelakuan yang merusak diri sendiri,
pikiran bunuh diri, gangguan makan, melarikan din, berbagai kenakalan remaja,
penggunaan obat terlarang atau alkohol, kehamilan dini, melacur, seks di luar
nikah, atau kelakuan seksual lain yang tak biasa.

Sedangkan menurut Townsend (1998) simtomatologi dari penganiayaan/kekerasan


seksual pada anak (sexual abuse) antara lain :

1. Infeksi saluran kemih yang sering

2. Kesulitan atau nyeri saat berjalan atau duduk

3. Kemerahan atau gatal pada daerah genital, menggaruk daerah tersebut secara
sering atau gelisah saat duduk

4. Sering muntah

5. Perilaku menggairahkan, dorongan masturbasi, bermain seks dewasa sebelum


waktunya

6. Ansietas berlebihan dan tidak percaya kepada orang lain

7. Penganiyaan seksual pada anak yang lain


G. PENATALAKSANAAN

Berdasarkan jurnal “play therapy dalam identifikasi kasus kekerasan seksual


terhadap anak”, terapi sexual abuse adalah :

Cholidah (2005) menyatakan bahwa diantara tujuan terapi bermain adalah


mengurangi atau menghilangkan gangguan-gangguan perilaku, fisik, psikis, social,
sensori dan komunikasi dan mengembangkan kemampuan yang masih dimiliki secara
optimal. Terkait dengan kasus kekerasan seksual pada anak, Jongsma, Peterson dan
Mclnnis (2000) menyatakan bahwa terapi bermain (play therapy) merupakan salah
satu metode untuk mengidentifikasi dan menggalikan perasaan anak korban
kekerasan seksual. Melalui terapi bermain selain kasus dapat diidentifikasi apa yang
terjadi pada diri anak, anak juga dapat mengekpresikan perasaan atas kasus yang
terjadi pada dirinya.

Menurut Suda (2006) ada beberapa model program counseling yang dapat
diberikan kepada anak yang mengalami sexual abuse, yaitu :

a. The dynamics of sexual abuse. Artinya, terapi difokuskan pada pengambangan


konsepsi. Pada kasus tersebut kdsalahan dan tanggung jawa berada pada pelaku
bukan pada korban. Anak dijamin tidak disalahkan meskipun telah terjadi kontak
seksual.

b. Protective behaviors counseling Artinya, anak-anak dilatih menguasai


keterampilan mengurangi kerentannya sesuai dengan usia. Pelatihan anak
prasekolah dapat dibatasi berkata tidak terhadap sentuhan-sentuhan yang tidak
diinginkan; menjauh secepatnya dari orang yang kelihatan sebagai abusive person;
melaporkan pada orangtua atau orang dewasa yang dipercaya dapat membantu
menghentikan perlakuan salah.

c. Survivor/self-esteem counseling. Artinya, menyadarkan anak-anak yang menjadi


korban bahwa mereka sebenarnya bukanlah korban, melainkan orang yang mampu
bertahan (survivor) dalam menghadapi masalah sexual abuse. Keempat, feeling
counseling. Artinya, terlebih dahulu harus diidentifikasi kemampuan anak yang
mengalami sexual abuse untuk mengenali berbagai perasaan. Kemudian mereka
didorong untuk mengekspresikan perasaan-perasaannya yang tidak
menyenangkan, baik pada saat mengalami sexual abuse maupun sesudahnya.
Selanjutnya mereka diberi kesempatan untuk secara tepat memfokuskan perasaan
marahnya terhadap pelaku yang telah menyakitinya, atau kepada orang tua, polisi,
pekerja sosial, atau lembaga peradilan yang tidak dapat melindungi mereka.

d. Cognitif terapy. Artinya, konsep dasar dalam teknik ini adalah perasaan-perasaan
seseorang mengenai beragam jenis dalam kehidupannya dipengaruhi oleh pikiran-
pikiran mengenai kejadian tersebut secara berulang-lingkar.

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Menurut Doenges et. al (2007) pemeriksaan diagnostic yang dilakukan pada anak
dengan sexual abuse bergantung pada situasi dan kebutuhan individu. Uji skrining
(misalnya Daftar Periksa Perilaku Anak), peningkatan nilai pada skala internalisasi
yang menggambarkan perilaku antara lain ketakutan, segan, depresi, pengendalian
berlebihan atau di bawah pengendalian, agresif dan antisosial.
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN

Menurut Doenges et.al (2007) pengkajian anak yang mengalami penganiayaan


seksual (sexual abus) antara lain :
1. Aktivitas atau istirahat : Masalah tidur (misalnya tidak padat tidur atau tidur
berlebihan, mimpi burukm, berjalan saat tidur, tidur di tempat yang asing,
keletihan.
2. Integritas ego
a. Pencapaian diri negatif, menyalahkan diri sendiri/meminta ampun karena
tindakannya terhadap orang tua.
b. Harga diri rendah (pelaku/korban penganiayaan seksual yang selamat.)
c. Perasaan bersalah, marah, takut dan malu, putus asa dan atau tidak berdaya
d. Minimisasi atau penyangkalan signifikasi perilaku (mekanisme pertahanan yang
paling dominan/menonjol)
e. Penghindaran atau takut pada orang, tempat, objek tertentu, sikap menunduk,
takut (terutama jika ada pelaku)
f. Melaporkan faktor stres (misalnya keluarga tidak bekerja, perubahan finansial,
pola hidup, perselisihan dalam pernikahan)
g. Permusuhan terhadap/objek/tidak percaya pada orang lain
3. Eliminasi
a. Enuresisi, enkopresis.
b. Infeksi saluran kemih yang berulang
c. Perubahan tonus sfingter.
4. Makan dan minum : Muntah sering, perubahan selera makan (anoreksia), makan
berlebihan, perubahan berat badan, kegagalan memperoleh berat badan yang
sesuai
5. Higiene
a. Mengenakan pakaian yang tidak sesuai dengan kondisi cuaca (penganiayaan
seksual) atau tidak adekuat memberi perlindungan.
b. Mandi berlebihan/ansietas (penganiayaan seksual), penampilan kotor/tidak
terpelihara.
6. Neurosensori
a. Perilaku ekstrem (tingkah laku sangat agresif/menuntut), sangat amuk atau
pasivitas dan menarik diri, perilaku tidak sesuai dengan usia
b. Status mental : memori tidak sadar, periode amnesia, lap[oran adanya
pengingatan kembali. Pikiran tidak terorganisasi, kesulitan
konsentrasi/membuat keputusan. Afek tidak sesuai, mungkin sangat waspada,
cemas dan depresi.
c. Perubahan alam perasaan, kepribadian ganda, cinta, kebaikan dan penyesalan
yang dalam setelah penganiayaan seksual terjadi.
d. Kecemburuan patologis, pengendalian impuls yang buruk, ketrampilan koping
terbatas, kurang empati terhadap orang lain.
e. Membantung. Menghisap jempol atau perilaku kebiasaan lain : gelisah (korban
selamat).
f. Manifestasi psikiatrik (misal : fenomena disosiatif meliputi kepribadian ganda
(penganiayaan seksual), gangguan kepribadian ambang (koeban inses dewasa)
g. Adanya defisit neurologis/kerusakaan SSP tanpa tanda-tanda cedera eksternal
7. Nyeri atau ketidaknyamanan
a. Bergantung pada cedera/bentuk penganiayaan seksual
b. Berbagai keluhan somatik (misalnya nyeri perut, nyeri panggul kronis, spastik
kolon, sakit kepala)
8. Keamanan
a. Memar, tanda bekas gigitan, bilur pada kulit, terbakar (tersiran air panas, rokok)
ada bagian botak di kepala, laserasi, perdarahan yang tidak wajar, ruam/gatal di
area genital, fisura anal, goresan kulit, hemoroid, jaringan parut, perubahan
tonus sfingter.
b. Cedera berulang, riwayat bermacam kecelakaan, fraktur/ cedera internal.
c. Perilaku mencederai diri sendiri (bunuh diri), keterlibatan dalam aktivitas
dengan risiko tinggi
d. Kurangnya pengawasan sesuai usia, tidak ada perhatian yang dapat menghindari
bahaya di dalam rumah
9. Seksualitas
a. Perubahan kewaspadaan/aktivitas seksual, meliputi masturbasi kompulsif,
permainan seks dewasa sebelum waktunya, kecenderungan mengulang atau
melakukan kembali pengalaman inses. Kecurigaan yang berlebihan tentang
seks, secara seksual menganiaya anak lain.
b. Perdarahan vagina , laserasi himen linier, bagian mukosa berlendir.
c. Adanya PMS, vaginitis, kutil genital atau kehamilan (terutama pada anak).
10. Interaksi sosial Merikan diri dari rumah, pola interaksi dalam keluarga secara
verbal kurang responsif, peningkatan penggunaan perintah langsung dan pernyataan
kritik, penurunan penghargaan atau pengakuan verbal, merasa rendah diri.
Pencapaian restasi dis ekolah rendah atau prestasi di sekolah menurun.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Sindrom trauma perkosaan berhubungan dengan menjadi korban perkosaan
seksualyang dilakukan dengan menggunakan kekuatan dan berlawanan dengan
keinginan dan persetujuan pribadi seseorang.
2. Ketidakberdayaan berhubungan dengan harga diri rendah.
3. Perubahan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan pengasuhan
yang tidak adekuat dan penderitaan oleh pengasuh dari nyeri fisik atau cidera
dengan tujuan untuk menyebabkan bahaya, biasanya terjadi dalam waktu lama.
C. INTERVENSI KEPERAWATAN

NO. DIAGNOSA TUJUAN INTERVENSI RASIONAL


KEPERAWATAN
1. Sindrom trauma 1. Tujuan jangka 1.Menghubungk 1.Wanita tau
perkosaan pendek: an pentingnya anak yang telah
berhubungan Luka fisik anak mengkomunik diperkosa secara
dengan menjadi akan sembuh asikan empat seksual takut
korban perkosaan tanpa ucapan berikut terhadap
seksualyang komplikasi ini pada kehidupannya
dilakukan dengan 2. Tujuan jangka korbanperkosa dan harus
menggunakan panjang : an: saya diyakinkan
kekuatan dan Anak akan prihatin hal kembali
berlawanan mengalami initerjadi keamanannya.
dengan keinginan resolusi berduka padamu, anda Ia mungkin juga
dan persetujuan yang sehat, aman disini, sangat ragu-ragu
pribadi seseorang memulai proses saya senang dengan dirinya
penyembuhan anda hidup, dan
psikologis. anda tidak menyalahkan
bersalah.Anda diri sendiri dan
adalah korban. pernyataan-
Ini bukan pernyataan ini
kesalahan membangkitkan
anda.Apapun rasa percaya
keputusan secara bertahap
yang Anda dan
buat pada saat memvalidasi
pengorbanan harga diri anak
adalah hak
seseorang 2.Untuk
karena anda menurunkan
hidup ketakutan atau

2.Jelaskan setiap ansietas dan

prosedur untuk

pengkajian meningkaytkan

yang akan rasa percaya


dilakukan dan
mengapa
dilakukan. 3. Anak pasca

Pastikan trauma sangat

bahwa rentan.

pengumpulan Penambahan

data dilakukan sorang dalam

dalam Lingkungannya

perawatan,cara meningkatkan

tidak perasaan

menghakimi rentan ini dan

3. Pastikan bertindak

bahwa anak meningkatkan

memiliki privasi ansietas

yang adekuat
untuk semua 4. Mendengarkan
dengan tidak
intervensi-
menghakimi
intervensi segera
memberikan
pasca krisis.
kesempatan
Cobaan sedikit
untuk katarsis
mungkin orang
bahwa anak perlu
yang memulai
memberikan pemulihan.
perawatan Jumlah yang rinci

segera atau mungkin


mengumpulkan dibutuhkan untuk

bukti segera. tindak lanjut

Atau secara legal, dan

mengumpulkan seorang perawat

bukti segera. sebagai pembela

4. Dorong anak anak dapat


menolong untuk
untuk
mengurangi
menghitung
trauma dari
jumlahs erangan
pengumpulan
kekerasan
bukti
seksual.
Dengarkan,
tetapi tidak
menyelidiki
2. Ketidakberdaya 1. Tujuan jangka 1.Dalam 1. Rasional :
an pendek: Anak berkolaburasi Keamanan anak
berhubungan mengenali dan dengan tim merupakan
dengan harga menyatakan medis, pastikan prioritas
diri rendah secara verbal bahwa semua keperawatan.
pilihan-pilihan cedera fisik, Foto dapat
yang tersedia fraktur, luka digunakan
dengan bakar sebagai bukti jika

demikian mendapatkan tuntutan

merasakan perhatian segera, dilakukan


beberapa mengambiul foto 2.Rasional : Jika
kontrol terhadap jika anak anak disertai
situasi mengijinkan dengan pria
kehidupan merupakan ide yang melakukan
(dimensi waktu yang baik pelecehan
ditentukan seksual pada
secara individu) anak,kemungkin
2. Tujuan 2. Bawa anak an besar ia tidak
jangka panjang : wanita tersebut jujursepenuhnya
Anak ke dalam area tentang
memperlihatkan yang pribadi cederanya atau
kontrol situasi untuk pengalaman
kehidupan melakukan seksualnya
dengan Wawancara 3. Rasional :
membuat Beberapa anak
keputusan 3. Jika seorang wanita
tentang apa anak wantia berusaha untuk
yang harus datang sendiri menyimpan
dilakukan atau berserta rahasia tentang
berkenaan dengan orang bagimana
dengan hidup tuanya, cedera seksual
bersama siklus pastikan tentang yang
penganiyaan keselamatannya. dideritanya
seksual Dorong untuk terjadi dalam
(dimensi waktu mendiskusikan usaha untuk
ditentukan peristiwa melindungi
secara individu) pemerkosaan orang tuanya
yang telah atau
dilakukan. saudaranya
Tanyakan atau karena
pertanyaan mereka takut
tentang apakah bahwa orang
hal ini telah tuanya atau
terjadi saudaranya
sebelumnya. Jika akan
pelaku kekerasan membunuh
seksual minum mereka jika
obat menceritakan
bius, jika anak hal tersebut
tersebut
memiliki tempat 4.Rasional :
yang aman Membuat
untuk pergi dan keputusan untuk
apakah ia dirinya sendiri
berminat dalam memberikan
tuntutan yang rasa
mendesak. kontrol situasi
4. Pastikan kehidupannya
bahwa usaha- sendiri.
usaha Memberikan
menyelamatkan penilaian dan
tidak diusahakan nasehat
oleh adalah tidak
perawat. Berikan terapeutik
dukungan, tetapi
ingat bahwa
keputusan akhir
harus
dibuat oleh anak

3. Perubahan 1. Tujuan jangka 1.Lakukan 1.Suatu


pertumbuhan dan pendek : pemeriksaan pemeriksaan
perkembangan Anak akan fisik secara fisik yang
berhubungan mengembangka menyeluruh akurat dan
dengan n hubungan pada anak. Buat seksama
pengasuhan yang saling percaya catatab yang dibutuhkan
tidak adekuat dan dengan perawat teliti dari luka agar perawatan
penderitaan oleh dan melaporkan memarnya yang tepat dapat
pengasuh dari bagaimana tanda (dalam berbagai diberikan untuk
nyeri fisik atau cedera terjadi tahap pasien
cidera dengan (dimensi waktu penyembuhan), 2.Rasional :
tujuan untuk ditentukan laserasi, dan Ketakutan
menyebabkan secara individu) keluhan anak terhadap
bahaya, biasanya 2.Tujuan jangka tentang area hukuman
terjadi dalam panjang : Anak nyeri pada derah penjara atau
waktu lama. akan yang spesifik, kehilangan
mendemonstrasi misalnya kesempatan
kan perilaku kemaluan. memelihara
yang konsisten Jangan anak mungkin
dengan usia mengabaikan menempatkan
tumbuh dan atau melalaikan orang tua
kembangnya. kemungkinan penyiksa pada
penganiayaan sikap membela
seksual. Kaji diri.
tanda nonverbal Ketidaksesuaian
penganiayaan, dapat ditandai
perilaku agresif, dalam deskripsi
rasa takut yang kejadian, dan
berlebihan, adanya usaha
hiperaktivitas untuk menutupu
hebat, apatis, keterlibatan
menarik diri, merupakan
perilaku yang suatu
tidaks esuai pertahanan diri
dengan usianya yang umum
yang dapat
2.Adakan dilepaskan
wawancara yang dalam suatu
dalam dengan wawancara
orang tua atau yang dalam.
orang dekat
yang menyertai
anak 3.Rasional :
Pertimbangkan Menetapkan
jika cidera hubungan
dilaporkan saling percaya
sebagai suatu dengans
kecelakaan, eorang anak
apakah yang teraniaya
penjelasan ini sangatlah
berlasan? sukar. Mereka
Apakah cedera mungkin tidak
tersebut ingin untuk
konsisten disentuh. Jenis-
dengan jenis aktivitas
penjelasan yang bermain ini
diberikan? dapat
Apakah cedera memberikan
tersebut suatu
konsisten lingkungan
dengan yang tidak
kemampuan mengancam
perkembangan yang dapat
anak ? meningkatkan
usaha anak
3.Gunakan untuk
pertandingan mendiskusikan
atau terapi masalah-
bermain untuk masalah yang
memperoleh menyakitkan
rasa percaya ini
anak. Gunakan
teknik-teknik 4.Rasional :
ini untuk Suatu laporan
membantu (umumhya
dalam dibuat) jika ada
menjelaskan alasan untuk
sisi lain dari Mencurigai
cerita anak Bahwa
tersebut seseorang anak
4.Tentukan telah dicederai
apakah cedera sebagai suatu
yang dialami akibat
dibenarkan penganiayaan
untuk seksual. Alasan
dilaporkan untuk
kepada yang mencirugai
berwenang. ditetapkan saat
Undang- ada tanda tanda
Undang negara ketidaksesuaian
yang spesifik atau
harus masuk ketidakkonsiste
ke dalam nan dalam
keputusan menjelaskan
apakah ya atau cedera
tidak untuk pada anak.
melaporkan Kebanayakan
dugaan negara
penganiayaan membutuhkan
seksual anak. individu-
individu berikut
melaporkan
kasus dari anak
yang dicurigai
dianiaya seksual
: semua
pekerja
kesehatan,
semau terapis
kesehatan
jiwa, guru-
guru, pengasuh
pengasuh anak,
pemadam
kebakaran,
anggota medis
gawat darurat
dan
anggota
penyelenggara
hukum.
Laporan dibuat
oleh
Departemen
Pelayanan
Sosial dan
rehabiulitasi
atau Badan
penyelenggara
Hukum.

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Kasus kekerasan seksual yang dialami oleh anak dibawah umur belakangan ini
semakin banyak muncul dipermukaan.Hal ini belum tentu merupakan indicator
meningkatnya jumlah kasus, karena fenomena yang terjadi adalah fenomena gunung
es, jumlah yang terlihat belum tentu menunjukkan fakta yang sesungguhnya.
Meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap penegakan hukum merupakan salah
satu faktor meningkatnya pelaporan kasus kekerasan seksual. Penganiayaan seksual
pada anak didefinisikan sebagai adanya tindakan seksual yang mencakup tetapi tidak
dibatas pada insiden membuka pakaian, menyentuh dengan cara yang tidak pantas
dan penetrasi (koitus seksual), yang dilakukan dengan seorang anak untuk
kesenangan seksual orang dewasa.

B. SARAN
Berdasarkan asuhan keperawatan anak pada retardasi mental maka disarankan :
1. Perawat
Perawat dalam memberikan asuhan keperawatan pada anak dengan seksual abuse
dapat melibatkan anak dalam brain Gym untuk memfokuskan perhatian anak dan
melupakan peristiwa trauma akibat penganiayaan seksual.
2. Sekolah
Sekolah dapat bekerja sama dengan keluarga dan para dokter untuk membantu
anak korban aniaya seksual di sekolah.
3. Keluarga/Orang tua
Keluarga atau orang tua dalam membantu anak yang mengalami seksual abuse
harus memberikan perawatan anak dengan metode yang berbeda dengan anak yang
normal.

DAFTAR PUSTAKA
Doengoes, M.E. Townsend, M.C. Moorhouse, M.F. (2007). Rencana asuhan
keperawatan Psikiatri (terjemahan).Edisi 3.Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
Elia, H. (2003). Korban Pelecehan Seksual Usia Muda
Townsend, M.C. (1998). Buku Saku Diagnosa Keperawatan pada Keperawatan
pedoman Untuk Pembuatan rencana Perawatan
(terjemahan).Edisi 3.Jakarta : penerbit Buku Kedokteran EGC
Suda, I.K, (2006). Topik Interaktif: "Membedah Penyebab Kekerasan Seksual
terhadap Anak"Penyebab Kekerasan Seksual terhadap Anak

Anda mungkin juga menyukai