PEMERKOSAAN
KEPERAWATAN KESEHATAN JIWA II
DOSEN PENGAMPUH:
NS., M.KEP, SP KEP.J.
DISUSUN OLEH:
KELOMPOK IV
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
rahmat dan kasih karuniaNya, kami dapat menyelesaikan Tugasmengenai “ASUHAN
KEPERAWATAN PADA KORBAN PEMERKOSAAN” dan semoga tugas ini dapat
bermanfaat dengan baik meskipun banyak kekurangan di dalamnya.
Kami sangat berharap hasil laporan ini dapat berguna dalam memenuhi tugas mata
kuliah Keperawatan Kesehatan Jiwa II. Kami juga menyadari bahwa di dalam hasil
laporan ini masih terdapat kekurangan dan masih jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu,
kami mengharapkan kritik, saran dan usulan yang membangun demi perbaikan hasil
laporan yang telah kami buat di masa mendatang.
Semoga hasil laporan ini dapat memberikan manfaat bagi dunia pendidikan pada
umumnya dan proses pembelajaran Keperawatan Kesehatan Jiwa II.
Kelompok I
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.........................................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................ ............................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang………………………………………................. ...........………...1
1.2 Tujuan Penulisan………………………………………..……………............... ...2
BAB II KONSEP DASAR TEORI
2.1 Pengertian…………………………………………………….................…….3
2.2 Etiologi……….…………………………………………………………………....4
2.3 Klasifikasi ….……………………………………………………………...,,,,,,,…7
2.4 Patofisiologi………...…………………………………………………………..…9
2.5 Pathway……………………………………………………………………...…...13
2.6 Manifestasi Klinis………………………….…..……..…………………………..14
2.7 Penatalaksanaan…………………………………………….………………...….16
2.8 Pemeriksaan Penunjang……………………………………………….………….17
2.9 Pengkajian………………………………………………………………………..18
CONTOH KASUS ASKEP………………………………………………………………
37
NASKAH ROLEPLAY
HALUSINASI………………………………………………….61
BAB III : PENUTUP
A. Kesimpulan ……………………………………………………………...….........74
B. Saran …………………………………………………………………..................75
DaftarPustaka ……………..…………………………………………………….............76
BAB I
PENDAHULUAN
Pelecehan yang berulang sering ditemui pada lebih dari setengah kasus
pelecehan seksual dikomunitas dan terdapat pada 75% kasus yang ditemukan di
klinik. Sexual buse (kekerasan seksual) dikenal pada tahun 70-an dan 80-an.
Penelitian lain telah mengarah pada perkiraan kekerasan pada anak yang lebih luas
di Inggris, seperti dari Childhood Matters (1996) : Sekitar 100000 anak
mengalami pengalaman seksual yang berpotensi mengarah keseksual abuse
(FKUI, 2006).
1
pemerkosaan (42,9 persen) dengan kejadian terjadi di rumah tinggal (35,7 persen)
(FKUI, 2006)
1.2 TUJUAN PENULISAN
11. Untuk mengetahui tentang intervensi dan rasional dari seksual abuse.
2.1 PENGERTIAN
2006).
Menurut Town send (1998) factor yang predisposisi (yang berperan dalam
pola penganiayaan anak (seksuak abuse) antara lain:
1. Teori biologis
a. Teori psikoanalitik
Berbadai teori psikoanalitik telah membuat hipotesa bahwa agresidan
kekerasan adalah ekspresi terbuka dari ketidak perdayaan dan harga diri
rendah, yang timbul bila kebutuhan- kebutuhan masa anak terhadap
kepuasan dan keamanan tidak terpenuhi.
b. Teori pembelajaran
Teori ini mendalilkan bahwa perilaku agresif dan kekerasan dipelajari
dari model yang membawa dan berpengaruh.
Individu-individu yang dianiaya seperti anak-anak atau yang orang
tuanya mendisiplinkan dengan hukuman fisik lebih mungkin untuk
berperilaku kejam sebagai orang dewasa.
3. Teori sosiokultural (pengaruh sosial)
Pengaruh sosial. Ilmuwan social yakin bahwa perilaku agresif terutama
merupakan hasil dari struktur budaya dan social seseorang. Pengaruh-
pengaruh social dapat berperan pada kekerasan saat individu menyadari
bahwa kebutuhan dan hasrat mereka tidak dapat dipenuhi melalui cara-cara
yang lazim dan mereka mengusahakan perilaku-perilaku kejahatan dalam
suatu usaha untuk memperoleh akhir yang diharapkan.
Menurut Freewebs (2006) kekerasan seksual (sexualabuse) pada anak
sering muncul dalam berbagai kondisi dan lingkup sosial.
1. Kekerasan seksual dalam keluarga(Intrafamilial abuse)
Mencakup kekerasan seksual yang dilakukan dalam keluarga inti atau
majemuk, dan dapat melibatkan teman dari anggota keluarga, atau
orang yang tinggal bersama dengan keluarga tersebut, atau kenalan
dekat dengan sepengetahuan keluarga. Kekerasan pada anak adopsi
ataupun anak tiri juga termasuk dalam lingukup ini.
2. Kekerasan seksual di luarkeluarga(Extrafamilial abuse)
Mencakup kekerasan yang dilakukan oleh orang dewasa yang kenal
dengan anak tersebut dari berbagai sumber, seperti tetangga, teman,
orangtua dari teman sekolah.
3. Ritualistic abuse
Mencakup kekerasan yang dilakukan oleh orang dewasa untuk
mendapatkan ilmu gaib atau ilmu hitam demi keperluan pribadinya.
4. Institutional abuse
Mencakupkekerasanseksualdalamlingkupinstitusi tertentuseperti sekolah,
tempat penitipan anak, kamp berlibur, seperti kegiatan pramuka,dan organisasi
lainnya.
5. Kekerasan seksual oleh orangyangtidak dikenal (Street or stranger abuse)
Penyerangan pada anak-anak di tempat-tempat umum.
Ada beberapa pandangan berbeda penyebab kekerasan seksual yang
menimpa anak. Orang yang mencabuli anak-anak dianggap orang yang
mengalami disfungsi karena kecanduan alkohol, tidak memiliki pekerjaan tetap
dan penghasilan yang mapan, serta tingkat pendidikan yang rendah. Menurut
Cok Gede Atmadja, pencabulan terhadap anak terjadi karena himpitan
ekonomi. Sementara Magdalena Manik, aktivis Forum Sayang Anak,
menyatakan pencabulan terhadap anak disebabkan meluasnya budaya
permisif, dan ketidakkonsistenan pihak kepolisian dalam mengambil tindakan
hokum terhadap pelaku incest (Suda, 2006).
Koran Tokoh(Edisi337/TahunVII, 5—11Juni 2005:14) menulis beberapa
pemicu terjadinya pencabulan terhadap anak, khususnya oleh orang tua.
a. Pertama, pelaku tidak bisa lagi melakukan hubungan dengan istri karena
alasan kesehatan atau telah lama menduda.
b. Kedua, pelaku ingin menyempurnakan ilmu kebatinan yang sedang
ditekuninya.
c. Ketiga, pelaku tidak tahan melihat kemontokan tubuh anak perempuannya,
atau melihat anak perempuannya keluar kamar mandi menggunakan
handuk. Bahkan,bisa pula pelaku melakukan pelecehan seksual terhadap
anak perempuan, karena terpengaruh filmporno (Atmadja, 2005:139 dalam
Suda, 2006).
2.3 KLASIFIKASI
Klasifikasi dari sexual abuse pada anak menurut (Suda, 2006) adalah :
1. Perkosaan
Perkosaan adalah jenis kekerasan yang paling mendapat sorotan. Diperkirakan
22% perempuan dan 2% laki-laki pernah menjadi korban perkosaan. Untuk di
Amerika saja, setiap 2 menit terjadi satu orang diperkosa. Hanya 1 dari 6
perkosaan yang dilaporkan kepolisi. Sebagian besar perkosaan dilakukan oleh
orang yang mengenal korban alias orang dekat korban.
2. Kekerasan seksual terhadap anak-anak.
Suatu tinjauan baru-baru ini terhadap 17 studi dari seluruh dunia menunjukkan
bahwa di manapun, sekitar 11% sampai dengan 32% perempuan dilaporkan
mendapat perlakuan atau mengalami kekerasan seksual pada masa kanak-
kanaknya. Umumnya pelaku kekerasan adalah anggota keluarga, orang-orang
yang memiliki hubungan dekat, atau teman. Mereka yang menjadi pelaku
kekerasan seksual terhadap anak biasanya adalah korban kekerasan seksual pada
masa kanak-kanak.
3. Kekerasan seksual terhadap pasangan.
Kekerasan ini mencakup segala jenis kekerasan seksual yang dilakukan seseorang
terhadap pasangan seksualnya. Sebesar 95% korban kekerasan adalah perempuan.
Temuan penelitian yang dilakukan Rifka Annisa bersama UGM, UMEA
University, dan Women’s Health Exchange USA di Purworejo, Jawa
Tengah, Indonesia, pada tahun 2000 menunjukkan bahwa 22% perempuan
mengalami kekerasan seksual. Sejumlah 1 dari 5 perempuan (19%) melaporkan
bahwa biasanya mereka dipaksa untuk melakukan hubungan seksual dengan
pasangan mereka selama dipukuli. Termasuk kekerasan seksual adalah
kekerasan yang dilakukan seorang laki-laki terhadap seorang perempuan,
semata-mata karena sang korban adalah perempuan. Istilah untuk ini adalah
kekerasan berbasis gender. Berikut adalah kekerasan berbasis gender :
4. Kekerasan fisik : Menampar, memukul, menendang, mendorong, mencambuk,
dll.
5. Kekerasan emosional/verbal : Mengkritik, membuat pasangan merasa bersalah,
membuat permainan pikiran, memaki,menghina, dll.
6. Ketergantungan financial : Mencegah pasangan untuk mendapat pekerjaan,
membuat pasangan dipecat, membuat pasangan memintauang, dll
7. Isolasisosial : Mengontrol pasangan dengan siapa boleh bertemu dan dimana bias
bertemu, membatasi gerak pasangan dalam pergaulan, dll
8. Kekerasan seksual : Memaksa seks, berselingkuh, sadoma sokisme, dll.
9. Pengabaian/penolakan : Mengatakan kekerasan tidak pernah terjadi,
menyalahkan pasangan bila kekerasan terjadi, dll.
10. Koersi, ancaman, intimidasi : Membuat pasangan khawatir, memecahkan benda-
benda, mengancam akan meninggalkan, dll
2.4 PATOFISIOLOGI
Menurut Tower (2002) dalam Maria (2008) kekerasan seksual pada anak dapat
terjadi satu kali, beberapa kali dalam periode berdekatan, bahkan menahun.
Walaupun berbeda-beda pada setiap kasus, kekerasan seksual tidak terjadi begitu saja,
melainkan melalui beberapa tahapan antara lain :
1. Tahap awal, pelaku membuat korban merasa nyaman. Ia menyakinkan bahwa
apa yang dilakukannya "tidak salah" secara moral. Pelaku mencoba
menyentuh sisi kebutuhan anak - akan kasih sayang dan perhatian,
penerimaan dari orang lain, atau mencoba menyamakannya dengan permainan
dan menjanjikan imbalan material yang menyenangkan. Pelaku dapat
mengintimidasi secara halus ataupun bersikap memaksa secara kasar.
2. Tahap kedua, adalah interaksi seksual. Perilaku yang terjadi biasanya berupa
mengintip sampai perilaku yang intensitasnya berat, yaitu memakasa anak
untuk melakukan hubungan seksual. Setelah kejadian tersebut, pelaku
mengancam korban agar merahasiakan apa yang terjadi kepada orang lain.
3. Tahap berikutnya, adalah tahapan dimana korban mau menceritakan
pengalamannya kepada orang lain. Kemungkinan korban merahasiakan
pengalamannya sampai berusia dewasa, atau menceritakannya kepada orang
yang mempunyai kedekatan emosional dengannya, sehingga ia merasa aman.
Pelaku "mencobai" korban sedikit demi sedikit, mulai dari :
a. Pelaku membuka pakaiannya sendiri
b. Pelaku meraba-raba bagian tubuhnya sendiri
c. Pelaku memperlihatkan alat kelaminnya
d. Pelaku mencium korban dengan pakaian lengkap
e. Pelaku meraba bagian-bagian tubuh korban: payudara, alatkelamin,
dan bagian lainnya.
f. Masturbasi, dilakukan oleh pelaku sendiri atau pelaku dan korban
saling menstimulasi.
g. Oral sex, dengan menstimilasi alat kelamin korban
h. Sodomi
i. Petting
j. Penetrasi alat kelamin pelaku
Anak yang memiliki resiko mengalami kekerasan seksual biasanya adalah anak-
anak yang biasa ditinggalkan sendiri dan tidak mendapat pengawasan dari orang yang
lebih dewasa, terutama ibu.Tidak hanya kehadiran secara fisik, kedekatan emosional
antara ibu dan anak pun merupakan factor yang penting (Maria, 2008).
Menurut Maria (2008) dampak kekerasan seksual pada anak adalah sebagai
berikut :
1. Stress: akut, traumatic–PTSD (post traumatik stress disorder)
2. Agresif, menjadi pelaku kekerasan, tidak percaya diri
3. Rasa takut, cemas
4. Perilaku seksual yang tidak wajar untuk anak seusianya
Menghadapi anak yang mengalami kekerasan seksual, kata Maria, hendaknya
tetap mempertimbangkan faktor psikologis. Tidak hanya pada posisi anak sebagai
korban, yang tentunya berisiko mengalami stress bahkan trauma, tapi juga perlu
penanganan yang baik pada anak sebagai pelaku kekerasan. Anak sebagai pelaku
kekerasan seksual, sangat mungkin sebelumnya adalah korban dari kekerasan seksual
yang dilakukan oleh pelaku lain. Kemungkinan motif kekerasan yang dilakukannya
adalah untuk eksploitasi-memuaskan rasa ingin tahu, atau menirukan kejadian yang
dialami sebelumnya, baik dari perlakuan langsung maupun dari media yang dilihatnya.
Dengan adanya azas praduga tak bersalah, hendaknya ditelusuri dengan mendalam factor
yang mendorong anak menjadi pelaku kekerasan seksual, agar anak tidak dua kali
menjadi korban (Maria, 2008).
Berbagai bentuk kekerasan seksual terhadap anak, khususnya anak perempuan di
masyarakat, selalu diwarnai kekerasan fisik atau psikologis. Jika meminjam gagasan
Giddens (2004) tentang kekerasan laki- laki dalam menyalurkan libidonya, tindakan
tersebut berkaitan dengan label yang diberikan masyarakat kepada laki-laki. Laki-laki
harus jantan menangani sector publik dan urusan seksual. Disisi lain, meluasnya sistem
ekonomi kapitalisme global mengakibatkan banyak orang termarjinal, bahkan
terhimpit, baik secara ekonomi maupun psikologis. Akibatnya, harga diri mereka dalam
keluarga dan masyarakat mengalami goncangan. Begitu pula hubungan seksual mereka
dengan istrinya bisa terganggu. Kondisi ini bisa diperparah lagi karena usia tua,
impotensi, ejakulasi dini, kekhawatiran ukuran dan fungsi penis, dan lainnya. Ini
menimbulkan rasa tidak aman dan kekawatiran yang mendalam (Suda, 2006).
Berikut ini jenis-jenis kekerasan seksual berdasarkan pelakunya (Tower, 2002
dalam Maria, 2008) :
1. Kekerasan yang dilakukan oleh anggota keluarga.
Dilakukan oleh ayah, ibu atau saudara kandung. Selain itu, kekerasan seksual
mungkin pula dilakukan oleh orang tua angkat/tiri, atau orang lain yang
tinggal serumah dengan korban.
2. Kekerasan yang dilakukan oleh orang lain di luar anggota keluarga Kekerasan
seksual dapat dilakukan oleh siapa saja, tidak dibatasi perbedaan jenis
kelamin, suku, agama, tingkat sosial ekonomi, dan sebagainya. Sebagian besar
pelaku adalah pria dan orang yang melakukan orang yang cukup dikenal oleh
korban, misalnya tetangga, guru, sopir, baby-sittte. Pelaku bisa saja
mengalami kelainan seperti paedophilia, pecandu seks, atau sangat mungkin
teman sebaya. Kemungkinan pelaku penah menjadi korban kekerasan seksual
sebelumnya, atau menirukan perilaku orang lain. salah satu penyebabnya
adalah untuk mengatasi trauma akibat kekesaran seksual yang dialaminya,
atau sekedar memenuhi rasa ingin tahu.
2.5 PATHWAY KEPERAWATAN
Berdasarkan jurnal“Dinamika Psikologis Kekerasan Seksual: Sebuah
Studi Fenomenologi”, pathwaysexual abuseadalah :
2.6 MANIFESTASI KLINIK
Berdasarkan jurnal“Dinamika Psikologis Kekerasan Seksual: Sebuah Studi
Fenomenologi”, Dampak psikologis sexual abuse adalah :
Dampak psikologis yang dialami oleh subyek dapat digolongkan menjadi tiga
bagian,yaitu gangguan perilaku, gangguan kognisi, gangguan emosional.
1. Gangguan Perilaku, ditandai dengan malas untuk melakukan aktifitas
sehari-hari.
2. Gangguan Kognisi, ditandai dengan sulit untuk berkonsentrasi, tidak
fokus ketika sedang belajar, sering melamun dan termenung sendiri.
3. Gangguan Emosional, ditandai dengan adanya gangguan mood dan
suasana hati serta menyalah kan diri sendiri. (Jurnal Terlampir)
Patricia A Moran dalam buku Slayerofthe Soul, 1991 dalam Minangsari (2007),
mengatakan, menurutriset, korban pelecehan seksual adalah anak laki- laki dan
perempuan berusia bayi sampai usia 18 tahun. Kebanyakan pelakunya adalah orang yang
mereka kenal dan percaya.
Gejala seorang anak yang mengalami pelecehan seksual tidak selalu jelas. Ada
anak-anak yang menyimpan rahasia pelecehan seksual yang dialaminya dengan bersikap
"manis" dan patuh, berusaha agar tidak menjadi pusat perhatian. Meskipun pelecehan
seksual terhadap anak tidak memperlihatkan bukti mutlak, tetapi jika tanda-tanda
dibawah ini tampak pada anak dan terlihat terus- menerus dalam jangka waktu panjang,
kiranya perlu segera mempertimbangkan kemungkinan anak telah mengalami pelecehan
seksual (minangsari, 2007)
Tanda dan indikasi ini diambil Jeanne Wess dari buku yang sama:
1. Balita
a. Tanda-tanda fisik, antara lain memar pada alat kelamin atau mulut, iritasi
kencing, penyakit kelamin, dan sakit kerongkongan tanpa penyebab jelas
bias merupakan indikasi seks oral
b. Tanda perilaku emosional dan sosial, antara lain sangat takut kepada siapa
saja atau pada tempat tertentu atau orang tertentu, perubahan kelakuan
yang tiba-tiba, gangguan tidur (susah tidur, mimpi buruk, dan ngompol),
menarik diri atau depresi,serta perkembangan terhambat
.
2. Anak usia prasekolah
a. Tanda fisik : antara lain perilaku regresif, seperti mengisap jempol,
hiperaktif, keluhan somatik seperti sakit kepala yang terus-menerus, sakit
perut, sembelit.
b. Tanda pada perilaku emosional dan social : kelakuan yang tiba-tiba
berubah, anak mengeluh sakit karena perlakuan seksual.
c. Tanda pada perilaku seksual : masturbasi berlebihan, mencium secara
seksual, mendesakkan tubuh, melakukan aktivitas seksual terang-terangan
pada saudara atau teman sebaya, tahu banyak tentang aktivitas seksual, dan
rasa ingin tahu berlebihan tentang masalah seksual.
3. Anak usia sekolah
Memperlihatkan tanda-tanda diatas serta perubahan kemampuan belajar,
seperti susah konsentrasi, nilai turun, telat atau bolos, hubungan dengan teman
terganggu, tidak percaya kepada orang dewasa, depresi, menarik diri, sedih,
lesu, gangguan tidur, mimpi buruk, tak suka disentuh, serta menghindari
hal-hal sekitar buka pakaian.
4. Remaja
Tandanya sama dengan diatas dan kelakuan yang merusak diri sendiri, pikiran
bunuh diri, gangguan makan, melarikan din, berbagai kenakalan remaja,
penggunaan obat terlarang atau alkohol, kehamilan dini, melacur, seks di luar
nikah, atau kelakuan seksual lain yang tak biasa.
Sedangkan menurut Townsend (1998) simtomatologi dari
penganiayaan/kekerasan seksual pada anak (sexual abuse) antara lain :
a. Infeksi saluran kemih yang sering
b. Kesulitan atau nyeri saat berjalan atau duduk
c. Kemerahan atau gatal pada daerah genital, menggaruk daerah
tersebut secara sering atau gelisah saat duduk
d. Sering muntah
e. Perilaku menggairahkan, dorongan masturbasi, bermain seks dewasa
sebelum waktunya
f. Ansietas berlebihan dan tidak percaya kepada orang lain
g. Penganiyaan seksual pada anak yang lain
2.7 PENATALAKSAN
Berdasarkan jurnal “play therapy dalam identifikasi kasus kekerasan seksual
terhadap anak”, terapi sexual abuse adalah :
Cholidah (2005) menyatakan bahwa diantara tujuan terapi bermain adalah
mengurangi atau menghilangkan gangguan-gangguan perilaku, fisik, psikis, social,
sensori dan komunikasi dan mengembangkan kemampuan yang masih dimiliki secara
optimal. Terkait dengan kasus kekerasan seksual pada anak, Jongsma, Peterson dan
Mclnnis (2000) menyatakan bahwa terapi bermain (play therapy) merupakan salah satu
metode untuk mengidentifikasi dan menggalikan perasaan anak korban kekerasan
seksual. Melalui terapi bermain selain kasus dapat diidentifikasi apa yang terjadi pada
diri anak,anak juga dapat mengekpresikan perasaan atas kasus yang terjadi pada dirinya.
Menurut Suda(2006)ada beberapa model program counseling yang dapat
diberikan kepada anak yang mengalami sexual abuse,yaitu :
a. Thedynamics of sexual abuse.
Artinya, terapi difokuskan pada pengambangankonsepsi.Pada kasus tersebut
kdsalahan dan tanggungjawaberadapadapelaku bukan padakorban. Anak
dijamin tidak disalahkan meskipun telah terjadi kontak seksual.
b. Protectivebehaviors counseling.
16
Artinya,anak-anak dilatih menguasai keterampilan mengurangi
kerentannya sesuai dengan usia. Pelatihan anak prasekolah dapat dibatasi;
berkatatidak terhadap sentuhan-sentuhan yang tidak diinginkan; menjauh
secepatnya dari orang yang kelihatan sebagaia busiveperson;melaporkan pada
orang tua atau orang dewasa yang dipercaya dapat membantu menghentikan
perlakuan salah.
c. Survivor/self-esteem counseling.
17
I. PENGKAJIAN
1. Aktivitas atau istirahat:Masalah tidur (misalnya tidak padat tidur atau tidur
berlebihan, mimpi burukm, berjalan saat tidur, tidur di tempat yang asing,
keletihan.
2. Integritas ego
c. Perasaan bersalah, marah, takut dan malu, putus asa dan atau tidak berdaya
d. Minimisasi atau penyangkalan signifikasi perilaku (mekanisme pertahanan
yang paling dominan/menonjol)
3. Eliminasi
a. Enuresisi,enkopresis.
18
b. Mandi berlebihan/ansieta s(penganiayaan seksual),penampilan kotor/tidak
terpelihara.
6. Neurosensori
(korban selamat).
19
c. Perilaku mencederai diri sendiri(bunuhdiri),keterlibatan dalam aktivitas
dengan risiko tinggi
d.Kurangnya pengawasan sesuai usia,tidakada perhatian yang dapat
menghindari bahayadi dalam rumah
9. Seksualitas
c. Adanya PMS, vaginitis, kutil genital atau kehamilan (terutama pada anak).
Merikan diri dari rumah, pola interaksi dalam keluarga secara verbal
kurang responsif, peningkatan penggunaan perintah langsung dan pernyataan
kritik, penurunan penghargaanatau pengakuan verbal, merasa rendah diri.
Pencapaianrestasi dis ekolah rendahatau prestasi di sekolah menurun.
J. DIAGNOSA KEPERAWATAN
20
dengan tujuanuntuk menyebabkan bahaya, biasanya terjadi dalam waktu
lama.
4. Ansietas (sedangsampaiberat) berhubungan dengan ancaman konsep diri, rasa
takut terhadap kegagalan, disfungsi system keluarga dan hubungan antara
orang tua dan anak yang tidak memuaskan
5. Gangguan hargadiri rendah berhubungan dengan koping individu tidak efektif
6. Gangguan pola tidur berhubungan denganansietas dan hiperaktif
K. INTERVENSIDAN RASIONAL
Tujuan :
21
Intervensi:
22
e. Diskusikan dengan anak siapa yang dapat dihubung untuk memberikan
dukungan atau bantuan. Berikan informasi tentang rujukan setelah
perawatan
Rasional : Karena ansietas berat dan rasa takut, anak mungkin
membutuhkan bantuan dari orang lain selama periode segera pasca-krisis.
Berikan informasi rujukan tertulis untuk referensi selanjutnya(misalnya
psikoterapi, klinik kesehatan jiwa, kelompok pembelamasyarakat)
Tujuan :
Intervensi :
23
c. Jika seorang anak wantia dating sendiri atau berserta dengan orangtuanya,
pastikan tentang keselamatannya. Dorong untuk mendiskusikan peristiwa
pemerkosaan yang telah dilakukan. Tanyakan pertanyaan tentang apakah
hal ini telah terjadi sebelumnya. Jika pelaku kekerasan seksual minum obat
bius, jika anak tersebut memiliki tempat yang aman untuk pergi dan
apakah ia berminat dalam tuntutan yang mendesak
Rasional:Beberapaanak wanita berusaha untuk menyimpan rahasia tentang
bagimana cedera seksual yang dideritanya terjadi dalam usaha untuk
melindungi orangtuanya atau saudaranya atau karena mereka takut bahwa
orang tuanya atau saudaranya akan membunuh mereka jika menceritakan
hal tersebut
d. Pastikan bahwa usaha-usaha menyelamatkan tidak diusahakan oleh
perawat. Berikan dukungan,tetapi ingat bahwa keputusan akhir harus
dibuat oleh anak
Rasional : Membuat keputusan untuk dirinya sendiri memberikan rasa
kontrol situasi kehidupannya sendiri. Memberikan penilaian dan nasehat
adalah tidak terapeutik
e. Tekankan pentingnya keamanan ,smith(1987)menyarankansuatu pernyataan
seperti,yaitu telah terjadi. Sekarang kemana anda ingin pergi dari sini ?.
Burgess(1990) menyatakan"Korbanperlu dibuat sadartentang berbagai
sumber yang tersedia untuk dirinya. Hal ini dapat mencakup hotline
krisis, kelompok-kelompok masyarakat untuk wanita dan anak yang
pernah dianiaya secara seksual, tempat perlindungan, berbagai tempat
konseling.
Rasional:Pengetahuan tentang pilihan-pilihan yang tersedia dapat
membantu menurunkan rasa tidak berdaya dari korban,tetapi kewenangan
yang sesungguhnya datang hanya saat ia memilih untuk menggunakan
pengetahuan itu bagi keuntungannya sendiri.
24
dengan tujuan untuk menyebabkan bahaya, biasanya terjadi dalam waktu
lama.
Tujuan :
Intervensi :
25
c. Gunakan pertandingan atau terapi bermain untuk memperoleh rasa percaya
anak. Gunakan teknik-teknik ini untuk membantu dalam menjelaskan sisi
lain dari cerita anak tersebut
Rasional : Menetapkan hubungan saling percaya dengan seorang anak
yang teraniaya sangatlah sukar. Mereka mungkin tidak ingin untuk
disentuh. Jenis-jenis aktivitas bermain ini dapat memberikan suatu
lingkungan yang tidak mengancam yang dapat meningkatkan usaha anak
untuk mendiskusikan masalah-masalah yang menyakitkan ini
d. Tentukan apakah cedera yang dialami dibenarkan untuk dilaporkan kepada
yang berwenang. Undang-Undang negara yang spesifik harus masuk ke
dalam keputusan apakah ya atau tidak untuk melaporkan dugaan
penganiayaan seksual anak.
Rasional: Suatu laporan (umumhya dibuat) jika ada alasan untuk
mencurigai bahwa seseorang anak telah dicederai sebagai suatu akibat
penganiayaan seksual. Alasan untuk mencirugai ditetapkan saat ada tanda-
tanda ketidak sesuaian atau ketidak konsistenan dalam menjelaskan cedera
pada anak.Kebanayakan negara membutuhkan individu-individu berikut
melaporkan kasus dari anak yang dicurigai dianiaya seksual : semua
pekerja kesehatan, semau terapis kesehatan jiwa, guru-guru,pengasuh-
pengasuh anak,pemadam kebakaran, anggota medis gawat darurat dan
anggota penyelenggara hukum. Laporan dibuat oleh Departemen
Pelayanan Sosial dan rehabiulitasi atau Badan penyelenggara Hukum.
Tujuan :
26
b.Anak mampu menundakan pemuasan terhadap keinginannya, tanpa
terpaksa untuk menipulasi orang lain
c. Anak mampu mengekspresikan kemarahan dengan cara yang dapat
diterima secara sosial
d. Anak mampu mengungkapkan kemampuan-kemampuan koping alternatif
yang dapat diterima secara sosial sesuai dengan gaya hidup dari yang ia
rencanakan untuk menggunakannya sebagai respons terhadap rasa
frustasi
Intervensi:
27
Rasional: Penguatanpositif membantumeningkatkanharga diridan
meningkatkan penggunaan perilaku-perilaku yang dapat diterima oleh
anak
f. Memberi dorongan dan dukungan kepada anak dalam menghad apirasa
takut terhadap kegagalan dengan mengikuti aktivitas-aktivitas terapi dan
melaksanakan tugas-tugas baru.Beri pangakuan tentang kerja keras yang
berhasil dan penguatan positif bagi usaha-usaha yang dilakukan
Rasional : Pengakuan dan penguatan positif meningkatkan harga diri
Tujuan :
Intervensi :
28
Rasional : Anak-anak vemas sering menolak hubungan antara masalah-
masalah emosi dengan ansietas mereka. Gunakan mekanisme-mekanisme
pertahanan projeksi dan pemibdahan yang dilebih-lebihkan
d. Perawat harus mempertahankan suasana tentang
Tujuan :
29
a. Anak mampu untuk mencapai tidur tidak terganggu selama 6 sampai 7 jamn
setiap malam dengan kriteria hasil:
b. Anak mengungkapkan tidak adanya gangguan-gangguan pada waktu tidur
c. Tidak ada gangguan-gangguan yang dialamti oleh perawat
d. Anak mampu untuk mulai tidur dalam 30 menit dan tidur selama 6 sampai
Intervensi :
Tujuan :
Intervensi :
31
mengancam dapat membantu untuk mengeliminasi perilaku yang tidak
diinginkan
d. Bantu anak untuk mengidentifikasi situasi-situasi yang menimbulkan sifat
defensif dan praktik bermain peran dengan respons-respons yang lebih
sesuai
Rasional : Bermain peran memberikan percaya diri untuk menghadapi
situasi-situasi yang sulit jikahal-hal tersebut benar-benar terjadi
e. Berikan dengan segera umpan balik positif bagi perilaku-perilaku yang
dapat diterima
Rasional : Umpan balik positif meningkatkan harga diri dan memberi
semangat untuk mengulangi perilaku-perilaku yang diinginkan
f. Membantu anak untu menetapkan sasaran-sasaran yang realistis,konkret dan
memerlukan tindakan-tindakan yang cocok untuk mencapai sasaran-
sasaran ini
Rasional : Keberhasilan akan meningkatkan harga diri
Tujuan :
32
c. Mengidentifikasi dan menggunakan sistem pendukungyangdiperlukan
Intervensi :
33
9. Defisit pengetahuan tentang kondisi,prognosis,perawatan diri dan kebutuhan
terapi berhubungan dengan kurang sumber informasi, interpretasi yang salah
tentang informasi
Tujuan :
Intervensi :
34
d. Koordinasi seluruh rencana terapi dengan sekolah personel sederajat, anak, dan
keluarga
Rasional:keefektifan kognitif paling mungkin meningkat ketika terapi tidak
terfragmentasi, juga tidak terlewatkannya intervensi signifikan karena
kurangnya komunikasi interdisiplin.
L. DISCHARGE PLANNING
Hasil yang diharapkan dari pemberian asuhan keperawatan pada anak dengan
penganiayaan seksual (sexual abuse) antara lain :