Anda di halaman 1dari 24

ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA KORBAN PEMERKOSAAN

KEPERAWATAN KESEHATAN JIWA II


DOSEN PENGAMPUH:
NS., M.KEP, SP KEP.J.
DISUSUN OLEH:
KELOMPOK IV
MILITIA SUNDALANGI 16011104018 OLVIA WOWOR 16011104004
EGA PAAT 16011104014 EKA PANE 16011104022
KURNIA MUNDUNG 16011104008 YESI SINGAL 16011104030
JEFERSON AREROS 16011104026

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH GORONTALO
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
rahmat dan kasih karuniaNya, kami dapat menyelesaikan Tugasmengenai “ASUHAN
KEPERAWATAN PADA KORBAN PEMERKOSAAN” dan semoga tugas ini dapat
bermanfaat dengan baik meskipun banyak kekurangan di dalamnya.
Kami sangat berharap hasil laporan ini dapat berguna dalam memenuhi tugas mata
kuliah Keperawatan Kesehatan Jiwa II. Kami juga menyadari bahwa di dalam hasil
laporan ini masih terdapat kekurangan dan masih jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu,
kami mengharapkan kritik, saran dan usulan yang membangun demi perbaikan hasil
laporan yang telah kami buat di masa mendatang.
Semoga hasil laporan ini dapat memberikan manfaat bagi dunia pendidikan pada
umumnya dan proses pembelajaran Keperawatan Kesehatan Jiwa II.

Gorontalo, November 2020

Kelompok I
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI............................................................ ............................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang………………………………………................. ...........………...1
1.2 Tujuan Penulisan………………………………………..……………............... ...2
BAB II KONSEP DASAR TEORI
2.1 Pengertian…………………………………………………….................…….3
2.2 Etiologi……….…………………………………………………………………....4
2.3 Klasifikasi ….……………………………………………………………...,,,,,,,…7
2.4 Patofisiologi………...…………………………………………………………..…9
2.5 Pathway……………………………………………………………………...…...13
2.6 Manifestasi Klinis………………………….…..……..…………………………..14
2.7 Penatalaksanaan…………………………………………….………………...….16
2.8 Pemeriksaan Penunjang……………………………………………….………….17
2.9 Pengkajian………………………………………………………………………..18
CONTOH KASUS ASKEP………………………………………………………………
37
NASKAH ROLEPLAY
HALUSINASI………………………………………………….61
BAB III : PENUTUP
A. Kesimpulan ……………………………………………………………...….........74
B. Saran …………………………………………………………………..................75

DaftarPustaka ……………..…………………………………………………….............76
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

Pelecehan yang berulang sering ditemui pada lebih dari setengah kasus
pelecehan seksual dikomunitas dan terdapat pada 75% kasus yang ditemukan di
klinik. Sexual buse (kekerasan seksual) dikenal pada tahun 70-an dan 80-an.
Penelitian lain telah mengarah pada perkiraan kekerasan pada anak yang lebih luas
di Inggris, seperti dari Childhood Matters (1996) : Sekitar 100000 anak
mengalami pengalaman seksual yang berpotensi mengarah keseksual abuse
(FKUI, 2006).
Banyak anak yang mendapat perlakuan kurang manusiawi, bahkan tidak
jarang dijadikan objek kesewenangan. Berdasarkan catatan Komisi Perlindungan
Anak Indonesia, ada 481 kasus kekerasan anak (2003). Jumlah ini menjadi 547
kasus pada tahun 2004. Dari situ, ada 140 kasus kekerasan fisik, 80 kasus
kekerasan psikis, 106 kasus kekerasan lainnya, dan 221 kasus kekerasan seksual.
Gambaran para dokter sebut memancing pertanyaan. Mengapa kekerasan seksual
sering menimpa diri anak dan siapa yang paling berpotensi sebagai pelakunya?
Disamping dapat menimbulkan dampak yang luar biasa pada diri sikorban, kasus
kekerasan seksual juga dapat menguji kebenaran dari pernyataan Singarimbun
(2004), bahwa modernisasi sering diasosiasikan sebagai keserbabolehan
melakukan hubungan seksual (Suda, 2006).
Kekerasan seksual (sexual abuse) merupakan kasus yang menonjol yang
terjadi pada anak-anak. Dalam catatan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia
(YKAI) pada tahun 1992-2002 terdapat 2.611 kasus (65,8 persen) dari 3.969
kasus kekerasan seksual dialami anak-anak dibawah usia 18 tahun. Dari jumlah
itu, 75 persen korbannya adalah anak perempuan. Kasus yang menonjol terutama
pemerkosaan (42,9 persen) dengan kejadian terjadi di rumah tinggal (35,7 persen)
(FKUI, 2006)

1
1.2 TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui tentang definisi dari seksual abuse.

2. Untuk mengetahui tentang etiologi dari seksual abuse.

3. Untuk mengetahui tentang klasifikasi dari seksualabuse.

4. Untuk mengetahui tentang patofisiologi dari seksual abuse.

5. Untuk mengetahui tentang pathwaydari seksual abuse.

6. Untuk mengetahui tentang manifestasi klinis dari seksual abuse.

7. Untuk mengetahui tentang penatalaksanaan dari seksual abuse.

8. Untuk mengetahui tentang pemeriksaan penunjang dari seksual abuse.

9. Untuk mengetahui tentang pengkajian dari seksualabuse.

10. Untuk mengetahui tentang diagnosakeperawatandari seksual abuse.

11. Untuk mengetahui tentang intervensi dan rasional dari seksual abuse.

12. Untuk mengetahui tentang discharge planning dari seksual abuse.


BAB II
KONSEPDASAR

2.1 PENGERTIAN

Penyiksaan seksual (sexual abuse) terhadap anak disebut Pedofilian atau


penyuka anak-anak secara seksual. Seorang Pedofilia adalah orang yang
melakukan aktivitas seksual dengan korban anak usia 13 tahun ke bawah.
Penyakit ini ada dalam kategori Sadomasokisme : adalah suatu kecenderungan
terhadap aktivitas seksual yang meliputi pengikatan atau menimbulkan rasa sakit
atau penghinaan (Pramono, 2009).
Kemudian klasifikasi kekerasan/penganiayaan seksual pada anak menurut
Resna dan Darmawan (dalam Huraerah, 2006:60) diklasifikasi menjadi tiga
kategori, antara lain: perkosaan, incest, dan eksploitasi. Perkosaan biasanya terjadi
pada saat pelaku terlebih dahulu mengancam dengan memperlihatkan
kekuatannya kepada anak. Incest, diartikan sebagai hubungan seksual atau
aktivitas seksual lainnya antar individu yang mempunyai hubungan dekat, yang
perkawinan diantara mereka dilarang, baik oleh hukum, kultur, maupun agama.
Eksploitasi seksual meliputi prostitusi dan pornografi (Suda, 2006).
Kekerasan seksual (sexual abuse), dapat didefinisikan sebagai perilaku
seksual secara fisik maupun non fisik oleh orang yang lebih tua atau memiki
kekuasaan terhadap korban, bertujuan untuk memuaskan hasrat seksual
pelakunya.Korban mungkin saja belum atau tidak memahami perlakuan yang
dilakukan terhadap dirinya, mereka hanya merasa tidaknyaman, sakit, takut,
merasa bersalah, dan perasaan lain yang tidak menyenangkan (FKUI, 2006).
Kekerasan seksual (sexualabuse) pada anak mencakup penganiayaan seksual
secara fisik dan nonfisik. Kekerasan fisik antara lain menyentuh alat kelamin atau
bagian tubuh lain yang bersifat pribadi, seksoral, penetrasi vagina/anus
menggunakan penis atau benda lain, memaksa anak membuka pakaian, sampai
tindak perkosaan. Sedangkan penganiyaan nonfisik diantaranya memperlihatkan
benda-benda yang bermuatan pornografi atau aktivitas seksual orang dewasa,
eksploitasi anak dalam pornografi (gambar, foto, film, slide, majalah, buku),

exhibitionism, atau mengintip kamar tidur/kamar mandi (voyeurism). (Suda,

2006).

2.2 ETIOLOGI/ PREDISPOSISI

Berdasarkan jurnal “Dinamika Psikologis Kekerasan Seksual: Sebuah

Studi Fenomenologi”, Faktor penyebab sexual abuse adalah :

Faktor-fakor yang menyebabkan terjadinya tindakan kekerasan seksual yang


dialami oleh subyek adalah sebagai berikut:

a. Faktor kelalaian orangtua


Kelalaian orang tua yang tidak memperhatikan tumbuh kembang dan
pergaulan anak yang membuat subyek menjadi korban kekerasan seksual.
b. Faktor rendahnya moralitas dan mentalitas pelaku. Moralitas dan
mentalitas yang tidak dapat bertumbuh dengan baik, membuat pelaku tidak
dapat mengontrol nafsu atau perilakunya
c. Faktor ekomoni
Faktor ekonomi membuat pelaku dengan mudah memuluskan rencananya
dengan memberikan iming-iming kepada korban yang menjadi target dari
pelaku. (Jurnal Terlampir)
Berdasarkan jurnal “play therapy dalam identifikasi kasus kekerasan
seksual terhadapanak”, dampak sexual abuse adalah :

Dampak kekerasan seksual terhadap anak diantaranya adanya perasaan


bersalah dan menyalahkan diri sendiri, bayangan kejadian dimana anak menerima
kekerasan seksual, mimpi buruk, insomnia, takut hal yang berhubungan dengan
penyalahgunaan (termasuk benda, bau, tempat, kunjungan dokter, dll), masalah
harga diri, disfungsi seksual, sakit kronis, kecanduan, keinginan bunuh diri cedera,
bunuh diri,keluhan somatik, depresi (Roosa,Reinholtz.,Angelini,1999). Selain
Itu muncul gangguan-gangguan psikologis seperti pasca-trauma stress disorder,
kecemasan, jiwa penyakit lain (termasuk gangguan kepribadian dan gangguan
identitas disosiatif, kecenderungan untuk reviktimisasi dimasa dewasa, bulimia
nervosa, cedera fisik kepada anak, (Widom, 1999; Levitan, Rector, Sheldon, &
Goering, 2003; Messman-Moore, Terri Patricia, 2000; Dinwiddie , Heath ,
Dunne, Bucholz, Madden, Slutske, Bierut, Statham et al, 2000)
(Jurnal Terlampir)

Menurut Town send (1998) factor yang predisposisi (yang berperan dalam
pola penganiayaan anak (seksuak abuse) antara lain:
1. Teori biologis

a. Pengaruh neuro fisiologis. Perubahan dalam system limbik otak dapat


mempengaruhi perilaku agresif pada beberapa individu
b. Pengaruh biokimia, bermacam-macam neuro transmitter (misalnya
epinefrin, norepinefrin, dopamine, asetilkolin dan serotonin) dapat
memainkan peranan dalam memudahkan dan menghambat impuls-
impuls agresif
c. Pengaruh genetika. Beberapa penyelidikan telah melibatkan herediter
sebagai komponen pada predisposisi untuk perilaku agresif seksual, baik
ikatan genetik langsung maupun karyotip genetik XYY telah diteliti
sebagai kemungkinan.
d. Kelainan otak. Berbagai kelainan otak mencakup tumor, trauma dan
penyakit-penyakit tertentu (misalnya ensefalitis dan epilepsy), telah
dilibatkan pada predisposisi pada perilaku agresif.
2. Teori psikologis

a. Teori psikoanalitik
Berbadai teori psikoanalitik telah membuat hipotesa bahwa agresidan
kekerasan adalah ekspresi terbuka dari ketidak perdayaan dan harga diri
rendah, yang timbul bila kebutuhan- kebutuhan masa anak terhadap
kepuasan dan keamanan tidak terpenuhi.
b. Teori pembelajaran
Teori ini mendalilkan bahwa perilaku agresif dan kekerasan dipelajari
dari model yang membawa dan berpengaruh.
Individu-individu yang dianiaya seperti anak-anak atau yang orang
tuanya mendisiplinkan dengan hukuman fisik lebih mungkin untuk
berperilaku kejam sebagai orang dewasa.
3. Teori sosiokultural (pengaruh sosial)
Pengaruh sosial. Ilmuwan social yakin bahwa perilaku agresif terutama
merupakan hasil dari struktur budaya dan social seseorang. Pengaruh-
pengaruh social dapat berperan pada kekerasan saat individu menyadari
bahwa kebutuhan dan hasrat mereka tidak dapat dipenuhi melalui cara-cara
yang lazim dan mereka mengusahakan perilaku-perilaku kejahatan dalam
suatu usaha untuk memperoleh akhir yang diharapkan.
Menurut Freewebs (2006) kekerasan seksual (sexualabuse) pada anak
sering muncul dalam berbagai kondisi dan lingkup sosial.
1. Kekerasan seksual dalam keluarga(Intrafamilial abuse)
Mencakup kekerasan seksual yang dilakukan dalam keluarga inti atau
majemuk, dan dapat melibatkan teman dari anggota keluarga, atau
orang yang tinggal bersama dengan keluarga tersebut, atau kenalan
dekat dengan sepengetahuan keluarga. Kekerasan pada anak adopsi
ataupun anak tiri juga termasuk dalam lingukup ini.
2. Kekerasan seksual di luarkeluarga(Extrafamilial abuse)
Mencakup kekerasan yang dilakukan oleh orang dewasa yang kenal
dengan anak tersebut dari berbagai sumber, seperti tetangga, teman,
orangtua dari teman sekolah.
3. Ritualistic abuse
Mencakup kekerasan yang dilakukan oleh orang dewasa untuk
mendapatkan ilmu gaib atau ilmu hitam demi keperluan pribadinya.
4. Institutional abuse
Mencakupkekerasanseksualdalamlingkupinstitusi tertentuseperti sekolah,
tempat penitipan anak, kamp berlibur, seperti kegiatan pramuka,dan organisasi
lainnya.
5. Kekerasan seksual oleh orangyangtidak dikenal (Street or stranger abuse)
Penyerangan pada anak-anak di tempat-tempat umum.
Ada beberapa pandangan berbeda penyebab kekerasan seksual yang
menimpa anak. Orang yang mencabuli anak-anak dianggap orang yang
mengalami disfungsi karena kecanduan alkohol, tidak memiliki pekerjaan tetap
dan penghasilan yang mapan, serta tingkat pendidikan yang rendah. Menurut
Cok Gede Atmadja, pencabulan terhadap anak terjadi karena himpitan
ekonomi. Sementara Magdalena Manik, aktivis Forum Sayang Anak,
menyatakan pencabulan terhadap anak disebabkan meluasnya budaya
permisif, dan ketidakkonsistenan pihak kepolisian dalam mengambil tindakan
hokum terhadap pelaku incest (Suda, 2006).
Koran Tokoh(Edisi337/TahunVII, 5—11Juni 2005:14) menulis beberapa
pemicu terjadinya pencabulan terhadap anak, khususnya oleh orang tua.
a. Pertama, pelaku tidak bisa lagi melakukan hubungan dengan istri karena
alasan kesehatan atau telah lama menduda.
b. Kedua, pelaku ingin menyempurnakan ilmu kebatinan yang sedang
ditekuninya.
c. Ketiga, pelaku tidak tahan melihat kemontokan tubuh anak perempuannya,
atau melihat anak perempuannya keluar kamar mandi menggunakan
handuk. Bahkan,bisa pula pelaku melakukan pelecehan seksual terhadap
anak perempuan, karena terpengaruh filmporno (Atmadja, 2005:139 dalam
Suda, 2006).
2.3 KLASIFIKASI
Klasifikasi dari sexual abuse pada anak menurut (Suda, 2006) adalah :
1. Perkosaan
Perkosaan adalah jenis kekerasan yang paling mendapat sorotan. Diperkirakan
22% perempuan dan 2% laki-laki pernah menjadi korban perkosaan. Untuk di
Amerika saja, setiap 2 menit terjadi satu orang diperkosa. Hanya 1 dari 6
perkosaan yang dilaporkan kepolisi. Sebagian besar perkosaan dilakukan oleh
orang yang mengenal korban alias orang dekat korban.
2. Kekerasan seksual terhadap anak-anak.
Suatu tinjauan baru-baru ini terhadap 17 studi dari seluruh dunia menunjukkan
bahwa di manapun, sekitar 11% sampai dengan 32% perempuan dilaporkan
mendapat perlakuan atau mengalami kekerasan seksual pada masa kanak-
kanaknya. Umumnya pelaku kekerasan adalah anggota keluarga, orang-orang
yang memiliki hubungan dekat, atau teman. Mereka yang menjadi pelaku
kekerasan seksual terhadap anak biasanya adalah korban kekerasan seksual pada
masa kanak-kanak.
3. Kekerasan seksual terhadap pasangan.
Kekerasan ini mencakup segala jenis kekerasan seksual yang dilakukan seseorang
terhadap pasangan seksualnya. Sebesar 95% korban kekerasan adalah perempuan.
Temuan penelitian yang dilakukan Rifka Annisa bersama UGM, UMEA
University, dan Women’s Health Exchange USA di Purworejo, Jawa
Tengah, Indonesia, pada tahun 2000 menunjukkan bahwa 22% perempuan
mengalami kekerasan seksual. Sejumlah 1 dari 5 perempuan (19%) melaporkan
bahwa biasanya mereka dipaksa untuk melakukan hubungan seksual dengan
pasangan mereka selama dipukuli. Termasuk kekerasan seksual adalah
kekerasan yang dilakukan seorang laki-laki terhadap seorang perempuan,
semata-mata karena sang korban adalah perempuan. Istilah untuk ini adalah
kekerasan berbasis gender. Berikut adalah kekerasan berbasis gender :
4. Kekerasan fisik : Menampar, memukul, menendang, mendorong, mencambuk,
dll.
5. Kekerasan emosional/verbal : Mengkritik, membuat pasangan merasa bersalah,
membuat permainan pikiran, memaki,menghina, dll.
6. Ketergantungan financial : Mencegah pasangan untuk mendapat pekerjaan,
membuat pasangan dipecat, membuat pasangan memintauang, dll
7. Isolasisosial : Mengontrol pasangan dengan siapa boleh bertemu dan dimana bias
bertemu, membatasi gerak pasangan dalam pergaulan, dll
8. Kekerasan seksual : Memaksa seks, berselingkuh, sadoma sokisme, dll.
9. Pengabaian/penolakan : Mengatakan kekerasan tidak pernah terjadi,
menyalahkan pasangan bila kekerasan terjadi, dll.
10. Koersi, ancaman, intimidasi : Membuat pasangan khawatir, memecahkan benda-
benda, mengancam akan meninggalkan, dll
2.4 PATOFISIOLOGI
Menurut Tower (2002) dalam Maria (2008) kekerasan seksual pada anak dapat
terjadi satu kali, beberapa kali dalam periode berdekatan, bahkan menahun.
Walaupun berbeda-beda pada setiap kasus, kekerasan seksual tidak terjadi begitu saja,
melainkan melalui beberapa tahapan antara lain :
1. Tahap awal, pelaku membuat korban merasa nyaman. Ia menyakinkan bahwa
apa yang dilakukannya "tidak salah" secara moral. Pelaku mencoba
menyentuh sisi kebutuhan anak - akan kasih sayang dan perhatian,
penerimaan dari orang lain, atau mencoba menyamakannya dengan permainan
dan menjanjikan imbalan material yang menyenangkan. Pelaku dapat
mengintimidasi secara halus ataupun bersikap memaksa secara kasar.
2. Tahap kedua, adalah interaksi seksual. Perilaku yang terjadi biasanya berupa
mengintip sampai perilaku yang intensitasnya berat, yaitu memakasa anak
untuk melakukan hubungan seksual. Setelah kejadian tersebut, pelaku
mengancam korban agar merahasiakan apa yang terjadi kepada orang lain.
3. Tahap berikutnya, adalah tahapan dimana korban mau menceritakan
pengalamannya kepada orang lain. Kemungkinan korban merahasiakan
pengalamannya sampai berusia dewasa, atau menceritakannya kepada orang
yang mempunyai kedekatan emosional dengannya, sehingga ia merasa aman.
Pelaku "mencobai" korban sedikit demi sedikit, mulai dari :
a. Pelaku membuka pakaiannya sendiri
b. Pelaku meraba-raba bagian tubuhnya sendiri
c. Pelaku memperlihatkan alat kelaminnya
d. Pelaku mencium korban dengan pakaian lengkap
e. Pelaku meraba bagian-bagian tubuh korban: payudara, alatkelamin,
dan bagian lainnya.
f. Masturbasi, dilakukan oleh pelaku sendiri atau pelaku dan korban
saling menstimulasi.
g. Oral sex, dengan menstimilasi alat kelamin korban
h. Sodomi
i. Petting
j. Penetrasi alat kelamin pelaku
Anak yang memiliki resiko mengalami kekerasan seksual biasanya adalah
anak-anak yang biasa ditinggalkan sendiri dan tidak mendapat pengawasan dari
orang yang lebih dewasa, terutama ibu.Tidak hanya kehadiran secara fisik,
kedekatan emosional antara ibu dan anak pun merupakan factor yang penting
(Maria, 2008).
Menurut Maria (2008) dampak kekerasan seksual pada anak adalah
sebagai berikut :
1. Stress: akut, traumatic–PTSD (post traumatik stress disorder)
2. Agresif, menjadi pelaku kekerasan, tidak percaya diri
3. Rasa takut, cemas
4. Perilaku seksual yang tidak wajar untuk anak seusianya
Menghadapi anak yang mengalami kekerasan seksual, kata Maria,
hendaknya tetap mempertimbangkan faktor psikologis. Tidak hanya pada posisi
anak sebagai korban, yang tentunya berisiko mengalami stress bahkan trauma,
tapi juga perlu penanganan yang baik pada anak sebagai pelaku kekerasan. Anak
sebagai pelaku kekerasan seksual, sangat mungkin sebelumnya adalah korban dari
kekerasan seksual yang dilakukan oleh pelaku lain. Kemungkinan motif
kekerasan yang dilakukannya adalah untuk eksploitasi-memuaskan rasa ingin
tahu, atau menirukan kejadian yang dialami sebelumnya, baik dari perlakuan
langsung maupun dari media yang dilihatnya. Dengan adanya azas praduga tak
bersalah, hendaknya ditelusuri dengan mendalam factor yang mendorong anak
menjadi pelaku kekerasan seksual, agar anak tidak dua kali menjadi korban
(Maria, 2008).
Berbagai bentuk kekerasan seksual terhadap anak, khususnya anak
perempuan di masyarakat, selalu diwarnai kekerasan fisik atau psikologis. Jika
meminjam gagasan Giddens (2004) tentang kekerasan laki- laki dalam
menyalurkan libidonya, tindakan tersebut berkaitan dengan label yang diberikan
masyarakat kepada laki-laki. Laki-laki harus jantan menangani sector publik dan
urusan seksual. Disisi lain, meluasnya sistem ekonomi kapitalisme global
mengakibatkan banyak orang termarjinal, bahkan terhimpit, baik secara
ekonomi maupun psikologis. Akibatnya, harga diri mereka dalam keluarga dan
masyarakat mengalami goncangan. Begitu pula hubungan seksual mereka dengan
istrinya bisa terganggu. Kondisi ini bisa diperparah lagi karena usia tua,
impotensi, ejakulasi dini, kekhawatiran ukuran dan fungsi penis, dan lainnya. Ini
menimbulkan rasa tidak aman dan kekawatiran yang mendalam (Suda, 2006).

Berikut ini jenis-jenis kekerasan seksual berdasarkan pelakunya (Tower,


2002 dalam Maria, 2008) :
1. Kekerasan yang dilakukan oleh anggota keluarga.
Dilakukan oleh ayah, ibu atau saudara kandung. Selain itu, kekerasan seksual
mungkin pula dilakukan oleh orang tua angkat/tiri, atau orang lain yang
tinggal serumah dengan korban.
2. Kekerasan yang dilakukan oleh orang lain di luar anggota keluarga Kekerasan
seksual dapat dilakukan oleh siapa saja, tidak dibatasi perbedaan jenis
kelamin, suku, agama, tingkat sosial ekonomi, dan sebagainya. Sebagian besar
pelaku adalah pria dan orang yang melakukan orang yang cukup dikenal oleh
korban, misalnya tetangga, guru, sopir, baby-sittte. Pelaku bisa saja
mengalami kelainan seperti paedophilia, pecandu seks, atau sangat mungkin
teman sebaya. Kemungkinan pelaku penah menjadi korban kekerasan seksual
sebelumnya, atau menirukan perilaku orang lain. salah satu penyebabnya
adalah untuk mengatasi trauma akibat kekesaran seksual yang dialaminya,
atau sekedar memenuhi rasa ingin tahu.
2.5 PATHWAY KEPERAWATAN
Berdasarkan jurnal“Dinamika Psikologis Kekerasan Seksual: Sebuah
Studi Fenomenologi”, pathwaysexual abuseadalah :
2.6 MANIFESTASI KLINIK
Berdasarkan jurnal“Dinamika Psikologis Kekerasan Seksual: Sebuah Studi
Fenomenologi”, Dampak psikologis sexual abuse adalah :
Dampak psikologis yang dialami oleh subyek dapat digolongkan menjadi tiga
bagian,yaitu gangguan perilaku, gangguan kognisi, gangguan emosional.
1. Gangguan Perilaku, ditandai dengan malas untuk melakukan aktifitas
sehari-hari.
2. Gangguan Kognisi, ditandai dengan sulit untuk berkonsentrasi, tidak
fokus ketika sedang belajar, sering melamun dan termenung sendiri.
3. Gangguan Emosional, ditandai dengan adanya gangguan mood dan
suasana hati serta menyalah kan diri sendiri. (Jurnal Terlampir)
Patricia A Moran dalam buku Slayerofthe Soul, 1991 dalam Minangsari (2007),
mengatakan, menurutriset, korban pelecehan seksual adalah anak laki- laki dan
perempuan berusia bayi sampai usia 18 tahun. Kebanyakan pelakunya adalah orang yang
mereka kenal dan percaya.
Gejala seorang anak yang mengalami pelecehan seksual tidak selalu jelas. Ada
anak-anak yang menyimpan rahasia pelecehan seksual yang dialaminya dengan bersikap
"manis" dan patuh, berusaha agar tidak menjadi pusat perhatian. Meskipun pelecehan
seksual terhadap anak tidak memperlihatkan bukti mutlak, tetapi jika tanda-tanda
dibawah ini tampak pada anak dan terlihat terus- menerus dalam jangka waktu panjang,
kiranya perlu segera mempertimbangkan kemungkinan anak telah mengalami pelecehan
seksual (minangsari, 2007)
Tanda dan indikasi ini diambil Jeanne Wess dari buku yang sama:
1. Balita
a. Tanda-tanda fisik, antara lain memar pada alat kelamin atau mulut, iritasi
kencing, penyakit kelamin, dan sakit kerongkongan tanpa penyebab jelas
bias merupakan indikasi seks oral
b. Tanda perilaku emosional dan sosial, antara lain sangat takut kepada siapa
saja atau pada tempat tertentu atau orang tertentu, perubahan kelakuan
yang tiba-tiba, gangguan tidur (susah tidur, mimpi buruk, dan ngompol),
menarik diri atau depresi,serta perkembangan terhambat
.
2. Anak usia prasekolah
a. Tanda fisik : antara lain perilaku regresif, seperti mengisap jempol,
hiperaktif, keluhan somatik seperti sakit kepala yang terus-menerus, sakit
perut, sembelit.
b. Tanda pada perilaku emosional dan social : kelakuan yang tiba-tiba
berubah, anak mengeluh sakit karena perlakuan seksual.
c. Tanda pada perilaku seksual : masturbasi berlebihan, mencium secara
seksual, mendesakkan tubuh, melakukan aktivitas seksual terang-terangan
pada saudara atau teman sebaya, tahu banyak tentang aktivitas seksual, dan
rasa ingin tahu berlebihan tentang masalah seksual.
3. Anak usia sekolah
Memperlihatkan tanda-tanda diatas serta perubahan kemampuan belajar,
seperti susah konsentrasi, nilai turun, telat atau bolos, hubungan dengan teman
terganggu, tidak percaya kepada orang dewasa, depresi, menarik diri, sedih,
lesu, gangguan tidur, mimpi buruk, tak suka disentuh, serta menghindari
hal-hal sekitar buka pakaian.
4. Remaja
Tandanya sama dengan diatas dan kelakuan yang merusak diri sendiri, pikiran
bunuh diri, gangguan makan, melarikan din, berbagai kenakalan remaja,
penggunaan obat terlarang atau alkohol, kehamilan dini, melacur, seks di luar
nikah, atau kelakuan seksual lain yang tak biasa.
Sedangkan menurut Townsend (1998) simtomatologi dari
penganiayaan/kekerasan seksual pada anak (sexual abuse) antara lain :
a. Infeksi saluran kemih yang sering
b. Kesulitan atau nyeri saat berjalan atau duduk
c. Kemerahan atau gatal pada daerah genital, menggaruk daerah
tersebut secara sering atau gelisah saat duduk
d. Sering muntah
e. Perilaku menggairahkan, dorongan masturbasi, bermain seks dewasa
sebelum waktunya
f. Ansietas berlebihan dan tidak percaya kepada orang lain
g. Penganiyaan seksual pada anak yang lain
2.7 PENATALAKSAN
Berdasarkan jurnal “play therapy dalam identifikasi kasus kekerasan seksual
terhadap anak”, terapi sexual abuse adalah :
Cholidah (2005) menyatakan bahwa diantara tujuan terapi bermain adalah
mengurangi atau menghilangkan gangguan-gangguan perilaku, fisik, psikis, social,
sensori dan komunikasi dan mengembangkan kemampuan yang masih dimiliki secara
optimal. Terkait dengan kasus kekerasan seksual pada anak, Jongsma, Peterson dan
Mclnnis (2000) menyatakan bahwa terapi bermain (play therapy) merupakan salah satu
metode untuk mengidentifikasi dan menggalikan perasaan anak korban kekerasan
seksual. Melalui terapi bermain selain kasus dapat diidentifikasi apa yang terjadi pada
diri anak,anak juga dapat mengekpresikan perasaan atas kasus yang terjadi pada dirinya.
Menurut Suda(2006)ada beberapa model program counseling yang dapat
diberikan kepada anak yang mengalami sexual abuse,yaitu :
a. Thedynamics of sexual abuse.
Artinya, terapi difokuskan pada pengambangankonsepsi.Pada kasus tersebut
kdsalahan dan tanggungjawaberadapadapelaku bukan padakorban. Anak
dijamin tidak disalahkan meskipun telah terjadi kontak seksual.
b. Protectivebehaviors counseling.

16
Artinya,anak-anakdilatih menguasai keterampilan mengurangi kerentannya
sesuaidenganusia. Pelatihananakprasekolahdapatdibatasi; berkatatidak
terhadapsentuhan-sentuhanyang tidak diinginkan; menjauh
secepatnyadariorangyangkelihatansebagaiabusiveperson;melaporkan
padaorangtuaatauorang dewasayang dipercayadapatmembantu menghentikan
perlakuansalah.
c. Survivor/self-esteem counseling.

Artinya,menyadarkananak-anakyang menjadikorbanbahwamereka
sebenarnyabukanlahkorban,melainkanorangyang mampubertahan (survivor)
dalam menghadapi masalah sexual abuse. Keempat, feeling counseling.
Artinya, terlebih dahulu harus diidentifikasikemampuan anak yang
mengalamisexual abuseuntukmengenaliberbagaiperasaan.Kemudian
merekadidorong untukmengekspresikanperasaan-perasaannyayang tidak
menyenangkan,baikpada saatmengalamisexualabuse maupunsesudahnya.
Selanjutnya mereka diberikesempatanuntuksecara tepatmemfokuskan
perasaanmarahnyaterhadappelakuyang telahmenyakitinya,ataukepada orang
tua,polisi,pekerjasosial,ataulembagaperadilanyang tidakdapat melindungi
mereka.
d. Cognitif terapy.

Artinya, konsep dasar dalam teknik ini adalah perasaan-perasaan


seseorang mengenai beragam jenis dalam kehidupannyadipengaruhi oleh
pikiran-pikiran mengenaikejadian tersebut secaraberulang-lingkar.
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG

MenurutDoengeset.al(2007)pemeriksaandiagnosticyang dilakukanpada
anakdengansexualabusebergantung padasituasidankebutuhanindividu.Uji skrining
(misalnyaDaftar Periksa PerilakuAnak),peningkatannilaipadaskala
internalisasiyang menggambarkanperilakuantaralainketakutan,segan,depresi,
pengendalian berlebihanatau di bawah pengendalian, agresifdan antisosial.

17

Anda mungkin juga menyukai