Kelompok I
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI............................................................ ............................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang………………………………………................. ...........………...1
1.2 Tujuan Penulisan………………………………………..……………............... ...2
BAB II KONSEP DASAR TEORI
2.1 Pengertian…………………………………………………….................…….3
2.2 Etiologi……….…………………………………………………………………....4
2.3 Klasifikasi ….……………………………………………………………...,,,,,,,…7
2.4 Patofisiologi………...…………………………………………………………..…9
2.5 Pathway……………………………………………………………………...…...13
2.6 Manifestasi Klinis………………………….…..……..…………………………..14
2.7 Penatalaksanaan…………………………………………….………………...….16
2.8 Pemeriksaan Penunjang……………………………………………….………….17
2.9 Pengkajian………………………………………………………………………..18
CONTOH KASUS ASKEP………………………………………………………………
37
NASKAH ROLEPLAY
HALUSINASI………………………………………………….61
BAB III : PENUTUP
A. Kesimpulan ……………………………………………………………...….........74
B. Saran …………………………………………………………………..................75
DaftarPustaka ……………..…………………………………………………….............76
BAB I
PENDAHULUAN
Pelecehan yang berulang sering ditemui pada lebih dari setengah kasus
pelecehan seksual dikomunitas dan terdapat pada 75% kasus yang ditemukan di
klinik. Sexual buse (kekerasan seksual) dikenal pada tahun 70-an dan 80-an.
Penelitian lain telah mengarah pada perkiraan kekerasan pada anak yang lebih luas
di Inggris, seperti dari Childhood Matters (1996) : Sekitar 100000 anak
mengalami pengalaman seksual yang berpotensi mengarah keseksual abuse
(FKUI, 2006).
Banyak anak yang mendapat perlakuan kurang manusiawi, bahkan tidak
jarang dijadikan objek kesewenangan. Berdasarkan catatan Komisi Perlindungan
Anak Indonesia, ada 481 kasus kekerasan anak (2003). Jumlah ini menjadi 547
kasus pada tahun 2004. Dari situ, ada 140 kasus kekerasan fisik, 80 kasus
kekerasan psikis, 106 kasus kekerasan lainnya, dan 221 kasus kekerasan seksual.
Gambaran para dokter sebut memancing pertanyaan. Mengapa kekerasan seksual
sering menimpa diri anak dan siapa yang paling berpotensi sebagai pelakunya?
Disamping dapat menimbulkan dampak yang luar biasa pada diri sikorban, kasus
kekerasan seksual juga dapat menguji kebenaran dari pernyataan Singarimbun
(2004), bahwa modernisasi sering diasosiasikan sebagai keserbabolehan
melakukan hubungan seksual (Suda, 2006).
Kekerasan seksual (sexual abuse) merupakan kasus yang menonjol yang
terjadi pada anak-anak. Dalam catatan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia
(YKAI) pada tahun 1992-2002 terdapat 2.611 kasus (65,8 persen) dari 3.969
kasus kekerasan seksual dialami anak-anak dibawah usia 18 tahun. Dari jumlah
itu, 75 persen korbannya adalah anak perempuan. Kasus yang menonjol terutama
pemerkosaan (42,9 persen) dengan kejadian terjadi di rumah tinggal (35,7 persen)
(FKUI, 2006)
1
1.2 TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui tentang definisi dari seksual abuse.
11. Untuk mengetahui tentang intervensi dan rasional dari seksual abuse.
2.1 PENGERTIAN
2006).
Menurut Town send (1998) factor yang predisposisi (yang berperan dalam
pola penganiayaan anak (seksuak abuse) antara lain:
1. Teori biologis
a. Teori psikoanalitik
Berbadai teori psikoanalitik telah membuat hipotesa bahwa agresidan
kekerasan adalah ekspresi terbuka dari ketidak perdayaan dan harga diri
rendah, yang timbul bila kebutuhan- kebutuhan masa anak terhadap
kepuasan dan keamanan tidak terpenuhi.
b. Teori pembelajaran
Teori ini mendalilkan bahwa perilaku agresif dan kekerasan dipelajari
dari model yang membawa dan berpengaruh.
Individu-individu yang dianiaya seperti anak-anak atau yang orang
tuanya mendisiplinkan dengan hukuman fisik lebih mungkin untuk
berperilaku kejam sebagai orang dewasa.
3. Teori sosiokultural (pengaruh sosial)
Pengaruh sosial. Ilmuwan social yakin bahwa perilaku agresif terutama
merupakan hasil dari struktur budaya dan social seseorang. Pengaruh-
pengaruh social dapat berperan pada kekerasan saat individu menyadari
bahwa kebutuhan dan hasrat mereka tidak dapat dipenuhi melalui cara-cara
yang lazim dan mereka mengusahakan perilaku-perilaku kejahatan dalam
suatu usaha untuk memperoleh akhir yang diharapkan.
Menurut Freewebs (2006) kekerasan seksual (sexualabuse) pada anak
sering muncul dalam berbagai kondisi dan lingkup sosial.
1. Kekerasan seksual dalam keluarga(Intrafamilial abuse)
Mencakup kekerasan seksual yang dilakukan dalam keluarga inti atau
majemuk, dan dapat melibatkan teman dari anggota keluarga, atau
orang yang tinggal bersama dengan keluarga tersebut, atau kenalan
dekat dengan sepengetahuan keluarga. Kekerasan pada anak adopsi
ataupun anak tiri juga termasuk dalam lingukup ini.
2. Kekerasan seksual di luarkeluarga(Extrafamilial abuse)
Mencakup kekerasan yang dilakukan oleh orang dewasa yang kenal
dengan anak tersebut dari berbagai sumber, seperti tetangga, teman,
orangtua dari teman sekolah.
3. Ritualistic abuse
Mencakup kekerasan yang dilakukan oleh orang dewasa untuk
mendapatkan ilmu gaib atau ilmu hitam demi keperluan pribadinya.
4. Institutional abuse
Mencakupkekerasanseksualdalamlingkupinstitusi tertentuseperti sekolah,
tempat penitipan anak, kamp berlibur, seperti kegiatan pramuka,dan organisasi
lainnya.
5. Kekerasan seksual oleh orangyangtidak dikenal (Street or stranger abuse)
Penyerangan pada anak-anak di tempat-tempat umum.
Ada beberapa pandangan berbeda penyebab kekerasan seksual yang
menimpa anak. Orang yang mencabuli anak-anak dianggap orang yang
mengalami disfungsi karena kecanduan alkohol, tidak memiliki pekerjaan tetap
dan penghasilan yang mapan, serta tingkat pendidikan yang rendah. Menurut
Cok Gede Atmadja, pencabulan terhadap anak terjadi karena himpitan
ekonomi. Sementara Magdalena Manik, aktivis Forum Sayang Anak,
menyatakan pencabulan terhadap anak disebabkan meluasnya budaya
permisif, dan ketidakkonsistenan pihak kepolisian dalam mengambil tindakan
hokum terhadap pelaku incest (Suda, 2006).
Koran Tokoh(Edisi337/TahunVII, 5—11Juni 2005:14) menulis beberapa
pemicu terjadinya pencabulan terhadap anak, khususnya oleh orang tua.
a. Pertama, pelaku tidak bisa lagi melakukan hubungan dengan istri karena
alasan kesehatan atau telah lama menduda.
b. Kedua, pelaku ingin menyempurnakan ilmu kebatinan yang sedang
ditekuninya.
c. Ketiga, pelaku tidak tahan melihat kemontokan tubuh anak perempuannya,
atau melihat anak perempuannya keluar kamar mandi menggunakan
handuk. Bahkan,bisa pula pelaku melakukan pelecehan seksual terhadap
anak perempuan, karena terpengaruh filmporno (Atmadja, 2005:139 dalam
Suda, 2006).
2.3 KLASIFIKASI
Klasifikasi dari sexual abuse pada anak menurut (Suda, 2006) adalah :
1. Perkosaan
Perkosaan adalah jenis kekerasan yang paling mendapat sorotan. Diperkirakan
22% perempuan dan 2% laki-laki pernah menjadi korban perkosaan. Untuk di
Amerika saja, setiap 2 menit terjadi satu orang diperkosa. Hanya 1 dari 6
perkosaan yang dilaporkan kepolisi. Sebagian besar perkosaan dilakukan oleh
orang yang mengenal korban alias orang dekat korban.
2. Kekerasan seksual terhadap anak-anak.
Suatu tinjauan baru-baru ini terhadap 17 studi dari seluruh dunia menunjukkan
bahwa di manapun, sekitar 11% sampai dengan 32% perempuan dilaporkan
mendapat perlakuan atau mengalami kekerasan seksual pada masa kanak-
kanaknya. Umumnya pelaku kekerasan adalah anggota keluarga, orang-orang
yang memiliki hubungan dekat, atau teman. Mereka yang menjadi pelaku
kekerasan seksual terhadap anak biasanya adalah korban kekerasan seksual pada
masa kanak-kanak.
3. Kekerasan seksual terhadap pasangan.
Kekerasan ini mencakup segala jenis kekerasan seksual yang dilakukan seseorang
terhadap pasangan seksualnya. Sebesar 95% korban kekerasan adalah perempuan.
Temuan penelitian yang dilakukan Rifka Annisa bersama UGM, UMEA
University, dan Women’s Health Exchange USA di Purworejo, Jawa
Tengah, Indonesia, pada tahun 2000 menunjukkan bahwa 22% perempuan
mengalami kekerasan seksual. Sejumlah 1 dari 5 perempuan (19%) melaporkan
bahwa biasanya mereka dipaksa untuk melakukan hubungan seksual dengan
pasangan mereka selama dipukuli. Termasuk kekerasan seksual adalah
kekerasan yang dilakukan seorang laki-laki terhadap seorang perempuan,
semata-mata karena sang korban adalah perempuan. Istilah untuk ini adalah
kekerasan berbasis gender. Berikut adalah kekerasan berbasis gender :
4. Kekerasan fisik : Menampar, memukul, menendang, mendorong, mencambuk,
dll.
5. Kekerasan emosional/verbal : Mengkritik, membuat pasangan merasa bersalah,
membuat permainan pikiran, memaki,menghina, dll.
6. Ketergantungan financial : Mencegah pasangan untuk mendapat pekerjaan,
membuat pasangan dipecat, membuat pasangan memintauang, dll
7. Isolasisosial : Mengontrol pasangan dengan siapa boleh bertemu dan dimana bias
bertemu, membatasi gerak pasangan dalam pergaulan, dll
8. Kekerasan seksual : Memaksa seks, berselingkuh, sadoma sokisme, dll.
9. Pengabaian/penolakan : Mengatakan kekerasan tidak pernah terjadi,
menyalahkan pasangan bila kekerasan terjadi, dll.
10. Koersi, ancaman, intimidasi : Membuat pasangan khawatir, memecahkan benda-
benda, mengancam akan meninggalkan, dll
2.4 PATOFISIOLOGI
Menurut Tower (2002) dalam Maria (2008) kekerasan seksual pada anak dapat
terjadi satu kali, beberapa kali dalam periode berdekatan, bahkan menahun.
Walaupun berbeda-beda pada setiap kasus, kekerasan seksual tidak terjadi begitu saja,
melainkan melalui beberapa tahapan antara lain :
1. Tahap awal, pelaku membuat korban merasa nyaman. Ia menyakinkan bahwa
apa yang dilakukannya "tidak salah" secara moral. Pelaku mencoba
menyentuh sisi kebutuhan anak - akan kasih sayang dan perhatian,
penerimaan dari orang lain, atau mencoba menyamakannya dengan permainan
dan menjanjikan imbalan material yang menyenangkan. Pelaku dapat
mengintimidasi secara halus ataupun bersikap memaksa secara kasar.
2. Tahap kedua, adalah interaksi seksual. Perilaku yang terjadi biasanya berupa
mengintip sampai perilaku yang intensitasnya berat, yaitu memakasa anak
untuk melakukan hubungan seksual. Setelah kejadian tersebut, pelaku
mengancam korban agar merahasiakan apa yang terjadi kepada orang lain.
3. Tahap berikutnya, adalah tahapan dimana korban mau menceritakan
pengalamannya kepada orang lain. Kemungkinan korban merahasiakan
pengalamannya sampai berusia dewasa, atau menceritakannya kepada orang
yang mempunyai kedekatan emosional dengannya, sehingga ia merasa aman.
Pelaku "mencobai" korban sedikit demi sedikit, mulai dari :
a. Pelaku membuka pakaiannya sendiri
b. Pelaku meraba-raba bagian tubuhnya sendiri
c. Pelaku memperlihatkan alat kelaminnya
d. Pelaku mencium korban dengan pakaian lengkap
e. Pelaku meraba bagian-bagian tubuh korban: payudara, alatkelamin,
dan bagian lainnya.
f. Masturbasi, dilakukan oleh pelaku sendiri atau pelaku dan korban
saling menstimulasi.
g. Oral sex, dengan menstimilasi alat kelamin korban
h. Sodomi
i. Petting
j. Penetrasi alat kelamin pelaku
Anak yang memiliki resiko mengalami kekerasan seksual biasanya adalah
anak-anak yang biasa ditinggalkan sendiri dan tidak mendapat pengawasan dari
orang yang lebih dewasa, terutama ibu.Tidak hanya kehadiran secara fisik,
kedekatan emosional antara ibu dan anak pun merupakan factor yang penting
(Maria, 2008).
Menurut Maria (2008) dampak kekerasan seksual pada anak adalah
sebagai berikut :
1. Stress: akut, traumatic–PTSD (post traumatik stress disorder)
2. Agresif, menjadi pelaku kekerasan, tidak percaya diri
3. Rasa takut, cemas
4. Perilaku seksual yang tidak wajar untuk anak seusianya
Menghadapi anak yang mengalami kekerasan seksual, kata Maria,
hendaknya tetap mempertimbangkan faktor psikologis. Tidak hanya pada posisi
anak sebagai korban, yang tentunya berisiko mengalami stress bahkan trauma,
tapi juga perlu penanganan yang baik pada anak sebagai pelaku kekerasan. Anak
sebagai pelaku kekerasan seksual, sangat mungkin sebelumnya adalah korban dari
kekerasan seksual yang dilakukan oleh pelaku lain. Kemungkinan motif
kekerasan yang dilakukannya adalah untuk eksploitasi-memuaskan rasa ingin
tahu, atau menirukan kejadian yang dialami sebelumnya, baik dari perlakuan
langsung maupun dari media yang dilihatnya. Dengan adanya azas praduga tak
bersalah, hendaknya ditelusuri dengan mendalam factor yang mendorong anak
menjadi pelaku kekerasan seksual, agar anak tidak dua kali menjadi korban
(Maria, 2008).
Berbagai bentuk kekerasan seksual terhadap anak, khususnya anak
perempuan di masyarakat, selalu diwarnai kekerasan fisik atau psikologis. Jika
meminjam gagasan Giddens (2004) tentang kekerasan laki- laki dalam
menyalurkan libidonya, tindakan tersebut berkaitan dengan label yang diberikan
masyarakat kepada laki-laki. Laki-laki harus jantan menangani sector publik dan
urusan seksual. Disisi lain, meluasnya sistem ekonomi kapitalisme global
mengakibatkan banyak orang termarjinal, bahkan terhimpit, baik secara
ekonomi maupun psikologis. Akibatnya, harga diri mereka dalam keluarga dan
masyarakat mengalami goncangan. Begitu pula hubungan seksual mereka dengan
istrinya bisa terganggu. Kondisi ini bisa diperparah lagi karena usia tua,
impotensi, ejakulasi dini, kekhawatiran ukuran dan fungsi penis, dan lainnya. Ini
menimbulkan rasa tidak aman dan kekawatiran yang mendalam (Suda, 2006).
16
Artinya,anak-anakdilatih menguasai keterampilan mengurangi kerentannya
sesuaidenganusia. Pelatihananakprasekolahdapatdibatasi; berkatatidak
terhadapsentuhan-sentuhanyang tidak diinginkan; menjauh
secepatnyadariorangyangkelihatansebagaiabusiveperson;melaporkan
padaorangtuaatauorang dewasayang dipercayadapatmembantu menghentikan
perlakuansalah.
c. Survivor/self-esteem counseling.
Artinya,menyadarkananak-anakyang menjadikorbanbahwamereka
sebenarnyabukanlahkorban,melainkanorangyang mampubertahan (survivor)
dalam menghadapi masalah sexual abuse. Keempat, feeling counseling.
Artinya, terlebih dahulu harus diidentifikasikemampuan anak yang
mengalamisexual abuseuntukmengenaliberbagaiperasaan.Kemudian
merekadidorong untukmengekspresikanperasaan-perasaannyayang tidak
menyenangkan,baikpada saatmengalamisexualabuse maupunsesudahnya.
Selanjutnya mereka diberikesempatanuntuksecara tepatmemfokuskan
perasaanmarahnyaterhadappelakuyang telahmenyakitinya,ataukepada orang
tua,polisi,pekerjasosial,ataulembagaperadilanyang tidakdapat melindungi
mereka.
d. Cognitif terapy.
MenurutDoengeset.al(2007)pemeriksaandiagnosticyang dilakukanpada
anakdengansexualabusebergantung padasituasidankebutuhanindividu.Uji skrining
(misalnyaDaftar Periksa PerilakuAnak),peningkatannilaipadaskala
internalisasiyang menggambarkanperilakuantaralainketakutan,segan,depresi,
pengendalian berlebihanatau di bawah pengendalian, agresifdan antisosial.
17