Anda di halaman 1dari 59

TUGAS KEPERWATAN JIWA II

ASUHAN KEPERAWATAN SEXUAL ABUSE

Dosen Pengampu :

Di Susun Oleh Kel.I :

Cindy Claudya Annisa Khairani


1914201001 1914201010
Yeni Susanti Cindy Sonia Putri
1914201004 1914201011
Afriawatri Yodelvi Della Sepnita
1914201005 1914201012
Alivia Dafa Safitri Dhea Putri Azizah
1914201006 1914201013
Amelia Gustri Fadhila Putri
1914201007 1914201014
Ameyuza Mega Fadila Putri
1914201008 1914201015
Anggresya Putri Malini Febtry Indah Putry
1914201009 1914201016

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ALIFAH PADANG

PROGRAM STUDI S-1 Keperawatan

TP.2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat rahmat dan kasih karuniaNya, kami dapat menyelesaikan Tugas
mengenai “ASUHAN KEPERAWATAN PADA KORBAN
PEMERKOSAAN”  dan semoga tugas Inidapat bermanfaat dengan baik
meskipun banyak kekurangan di dalamnya.

Kami sangat berharap hasil laporan ini dapat berguna dalam memenuhi tugas
mata kuliah Keperawatan Kesehatan Jiwa II. Kami juga menyadari bahwa di
dalam hasil laporan ini masih terdapat kekurangan dan masih jauh dari kata
sempurna. Oleh sebab itu, kami mengharapkan kritik, saran dan usulan yang
membangun demi perbaikan hasil laporan yang telah kami buat di
masamendatang.
Semoga hasil laporan ini dapat memberikan manfaat bagi dunia
pendidikan pada umumnya dan proses pembelajaran Keperawatan Kesehatan
Jiwa II.

Padang, 11 Juni 2021

Kelompok I
DAFTAR ISI

KATAPENGANTAR.............................................................................................

DAFTAR ISI.....................................................................................................

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang........................................................................................

B. Tujuan Penulisan.....................................................................................

BAB II : KONSEP DASAR TEORI

A. Pengertian...............................................................................................

B. Etiologi...................................................................................................

C. Klasifikasi...............................................................................................

D. Patofisiologi............................................................................................

E. Pathway...................................................................................................

F. ManifestasiKlinis....................................................................................

G. Penatalaksanaan......................................................................................

H. Pemeriksaan Penunjang..........................................................................

I. Pengkajian..............................................................................................

CONTOH KASUS ASKEP.................................................................................................

NASKAH ROLEPLAY HALUSINASI.....................................................................

BAB III : PENUTUP


A. Kesimpulan...........................................................................................

B. Saran.....................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Pelecehan yang berulang sering ditemui pada lebih dari setengah kasus pelecehan
seksual di komunitas dan terdapat pada 75% kasus yang ditemukan di klinik.sexual
abuse (kekerasan seksual) dikenal pada tahun 70-an dan 80-an. Penelitian lain telah
mengarah pada perkiraan kekerasan pada anak yang lebih luas di Inggris, seperti dari
Childhood Matters (1996): Sekitar 100 000 anak mengalami pengalaman seksual yang
berpotensi mengarah ke seksual abuse (FKUI, 2006).
Banyak anak yang mendapat perlakuan kurang manusiawi, bahkan tidak jarang
dijadikan objek kesewenangan.Berdasarkan catatan Komisi Perlindungan Anak
Indonesia, ada 481 kasus kekerasan anak (2003).Jumlah ini menjadi 547 kasus pada
tahun 2004. Dari situ, ada 140 kasus kekerasan fisik, 80 kasus kekerasan psikis, 106
kasus kekerasan lainnya, dan 221 kasus kekerasan seksual. Gambaran paradoks
tersebut memancing pertanyaan.Mengapa kekerasan seksual sering menimpa diri anak
dan siapa yang paling berpotensi sebagai pelakunya? Di samping dapat
menimbulkan dampak yang luar biasa pada diri si korban, kasus kekerasan seksual
juga dapat menguji kebenaran dari pernyataan Singarimbun (2004), bahwa
modernisasi sering diasosiasikan sebagai keserbabolehan melakukan hubungan
seksual (Suda, 2006).
Kekerasan seksual (sexual abuse) merupakan kasus yang menonjol yang terjadi
pada anak-anak. Dalam catatan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) pada
tahun 1992-2002 terdapat 2.611 kasus (65,8 persen) dari 3.969 kasus kekerasan
seksual dialami anak-anak di bawah usia 18 tahun. Dari jumlah itu, 75 persen
korbannya adalah anak perempuan. Kasus yang menonjol terutama pemerkosaan
(42,9 persen) dengan kejadian terjadi di rumah tinggal (35,7 persen) (FKUI, 2006).
B. TUJUAN PENULISAN

1. Untuk mengetahui tentang definisi dari seksual abuse.


2. Untuk mengetahui tentang etiologi dari seksual abuse.
3. Untuk mengetahui tentang klasifikasi dari seksual abuse.
4. Untuk mengetahui tentang patofisiologi dari seksual abuse.
5. Untuk mengetahui tentang pathway dari seksual abuse.
6. Untuk mengetahui tentang manifestasi klinis dari seksual abuse.
7. Untuk mengetahui tentang penatalaksanaan dari seksual abuse.
8. Untuk mengetahui tentang pemeriksaan penunjang dari seksual abuse.
9. Untuk mengetahui tentang pengkajian dari seksual abuse.
10. Untuk mengetahui tentang diagnosa keperawatan dari seksual abuse.
11. Untuk mengetahui tentang intervensi dan rasional dari seksual abuse.
12. Untuk mengetahui tentang discharge planning dari seksual abuse.
BAB II

KONSEP DASAR

A. PENGERTIAN

Penyiksaan seksual (sexual abuse) terhadap anak disebut Pedofilian atau


penyuka anak-anak secara seksual. Seorang Pedofilia adalah orang yang
melakukan aktivitas seksual dengan korban anak usia 13 tahun ke bawah.
Penyakit ini ada dalam kategori Sadomasokisme : adalah suatu kecenderungan
terhadap aktivitas seksual yang meliputi pengikatan atau menimbulkan rasa sakit
atau penghinaan (Pramono, 2009).
Kemudian klasifikasi kekerasan/penganiayaan seksual pada anak menurut
Resna dan Darmawan (dalam Huraerah, 2006:60) diklasifikasi menjadi tiga
kategori, antara lain: perkosaan, incest, dan eksploitasi. Perkosaan biasanya terjadi
pada saat pelaku terlebih dahulu mengancam dengan memperlihatkan
kekuatannya kepada anak. Incest, diartikan sebagai hubungan seksual atau
aktivitas seksual lainnya antarindividu yang mempunyai hubungan dekat, yang
perkawinan di antara mereka dilarang, baik oleh hukum, kultur, maupun agama.
Eksploitasi seksual meliputi prostitusi dan pornografi (Suda, 2006).
Kekerasan seksual (sexual abuse), dapat didefinisikan sebagai perilaku
seksual secara fisik maupun non fisik oleh orang yang lebih tua atau memiliki
kekuasaan terhadap korban, bertujuan untuk memuaskan hasrat seksual
pelakunya. Korban mungkin saja belum atau tidak memahami perlakuan yang
dilakukan terhadap dirinya, mereka hanya merasa tidak nyaman, sakit, takut,
merasa bersalah, dan perasaan lain yang tidak menyenangkan (FKUI, 2006).
Kekerasan seksual (sexual abuse) pada anak mencakup penganiayaan seksual
secara fisik dan non fisik. Kekerasan fisik antara lain menyentuh alat kelamin atau
bagian tubuh lain yang bersifat pribadi, seks oral, penetrasi vagina/anus
menggunakan penis atau benda lain, memaksa anak membuka pakaian, sampai
tindak perkosaan. Sedangkan penganiyaan non fisik diantaranya memperlihatkan
benda-benda yang bermuatan pornografi atau aktivitas seksual orang dewasa,
eksploitasi anak dalam pornografi (gambar, foto, film, slide, majalah, buku),
exhibitionism, atau mengintip kamar tidur/kamar mandi (voyeurism). (Suda,
2006).

B. ETIOLOGI/ PREDISPOSISI

Berdasarkan jurnal “Dinamika Psikologis Kekerasan Seksual: Sebuah


Studi Fenomenologi”, Faktor penyebab sexual abuse adalah :

Faktor-fakor yang menyebabkan terjadinya tindakan kekerasan seksual yang


dialami oleh subyek adalah sebagai berikut:

a. Faktor kelalaian orang tua.. Kelalaian orang tua yang tidak memperhatikan
tumbuh kembang dan pergaulan anak yang membuat subyek menjadi
korban kekerasan seksual..
b. Faktor rendahnya moralitas dan mentalitas pelaku. Moralitas dan
mentalitas yang tidak dapat bertumbuh dengan baik, membuat pelaku tidak
dapat mengontrol nafsu atau perilakunya.
c. Faktor ekomoni. Faktor ekonomi membuat pelaku dengan mudah
memuluskan rencananya dengan memberikan imingiming kepada korban
yang menjadi target dari pelaku.
(Jurnal Terlampir)

Berdasarkan jurnal “play therapy dalam identifikasi kasus kekerasan


seksual terhadap anak”, dampak sexual abuse adalah :

Dampak kekerasan seksual terhadap anak diantaranya adanya perasaan


bersalah dan menyalahkan diri sendiri, bayangan kejadian dimana anak menerima
kekerasan seksual, mimpi buruk, insomnia, takut hal yang berhubungan dengan
penyalahgunaan (termasuk benda, bau, tempat, kunjungan dokter, dll), masalah
harga diri, disfungsi seksual, sakit kronis, kecanduan, keinginan bunuh diri cedera,
bunuh diri, keluhan somatik, depresi (Roosa, Reinholtz., Angelini, 1999). Selain
itu muncul gangguan-gangguan psikologis seperti pasca-trauma stress disorder,
kecemasan, jiwa penyakit lain (termasuk gangguan kepribadian dan gangguan
identitas disosiatif, kecenderungan untuk reviktimisasi di masa dewasa, bulimia
nervosa, cedera fisik kepada anak, (Widom, 1999; Levitan, Rector, Sheldon, &
Goering, 2003; Messman-Moore, Terri Patricia, 2000; Dinwiddie , Heath ,
Dunne, Bucholz , Madden, Slutske, Bierut, Statham et al, 2000)

(Jurnal Terlampir)

Menurut Townsend (1998) factor yang predisposisi (yang berperan dalam


pola penganiayaan anak (seksuak abuse) antara lain:
1. Teori biologis
a. Pengaruh neurofisiologis. Perubahan dalam system limbik otak dapat
mempengaruhi perilaku agresif pada beberapa individu
b. Pengaruh biokimia, bermacam-macam neurotransmitter (misalnya
epinefrin, norepinefrin, dopamine, asetilkolin dan serotonin) dapat
memainkan peranan dalam memudahkan dan menghambat impuls-
impuls agresif
c. Pengaruh genetika. Beberapa penyelidikan telah melibatkan herediter
sebagai komponen pada predisposisi untuk perilaku agresif seksual, baik
ikatan genetik langsung maupun karyotip genetik XYY telah diteliti
sebagai kemungkinan.
d. Kelainan otak. Berbagai kelainan otak mencakup tumor, trauma dan
penyakit-penyakit tertentu (misalnya ensefalitis dan epilepsy), telah
dilibatkan pada predisposisi pada perilaku agresif.
2. Teori psikologis
a. Teori psikoanalitik. Berbadai teori psikoanalitik telah membuat hipotesa
bahwa agresi dan kekerasan adalah ekspresi terbuka dari
ketidakperdayaan dan harga diri rendah, yang timbul bila kebutuhan-
kebutuhan masa anak terhadap kepuasan dan keamanan tidak terpenuhi.
b. Teori pembelajaran. Teori ini mendalilkan bahwa perilaku agresif dan
kekerasan dipelajari dari model yang membawa dan berpengaruh.
Individu-individu yang dianiaya seperti anak-anak atau yang orang
tuanya mendisiplinkan dengan hukuman fisik lebih mungkin untuk
berperilaku kejam sebagai orang dewasa.

3. Teori sosiokultural (pengaruh sosial)


Pengaruh sosial.Ilmuwan social yakin bahwa perilaku agresif terutama
merupakan hasil dari struktur budaya dan social seseorang.Pengaruh-
pengaruh social dapat berperan pada kekerasan saat individu menyadari
bahwa kebutuhan dan hasrat mereka tidak dapat dipenuhi melalui cara-cara
yang lazim dan mereka mengusahakan perilaku-perilaku kejahatan dalam
suatu usaha untuk memperoleh akhir yang diharapkan.

Menurut Freewebs (2006) kekerasan seksual (sexual abuse) pada anak sering
muncul dalam berbagai kondisi dan lingkup sosial.

1. Kekerasan seksual dalam keluarga (Intrafamilial abuse)


Mencakup kekerasan seksual yang dilakukan dalam keluarga inti atau
majemuk, dan dapat melibatkan teman dari anggota keluarga, atau orang yang
tinggal bersama dengan keluarga tersebut, atau kenalan dekat dengan
sepengetahuan keluarga.Kekerasan pada anak adopsi ataupun anak tiri juga
termasuk dalam lingukup ini.
2. Kekerasan seksual di luar keluarga (Extrafamilial abuse)
Mencakup kekerasan yang dilakukan oleh orang dewasa yang kenal
dengan anak tersebut dari berbagai sumber, seperti tetangga, teman, orangtua
dari teman sekolah.

3. Ritualistic abuse
Mencakup kekerasan yang di lakukan oleh orang dewasa untuk
mendapatkan ilmu gaib atau ilmu hitam demi keperluan pribadinya.
4. Institutional abuse
Mencakup kekerasan seksual dalam lingkup institusi tertentu seperti
sekolah, tempat penitipan anak, kamp berlibur, seperti kegiatan pramuka, dan
organisasi lainnya.

5. Kekerasan seksual oleh orang yang tidak dikenal (Street or stranger abuse)
Penyerangan pada anak-anak di tempat-tempat umum.

Ada beberapa pandangan berbeda penyebab kekerasan seksual yang menimpa


anak. Orang yang mencabuli anak-anak dianggap orang yang mengalami
disfungsi karena kecanduan alkohol, tidak memiliki pekerjaan tetap dan
penghasilan yang mapan, serta tingkat pendidikan yang rendah. Menurut Cok
Gede Atmadja, pencabulan terhadap anak terjadi karena himpitan ekonomi.
Sementara Magdalena Manik, aktivis Forum Sayang Anak, menyatakan
pencabulan terhadap anak disebabkan meluasnya budaya permisif, dan
ketidakkonsistenan pihak kepolisian dalam mengambil tindakan hukum terhadap
pelaku incest (Suda, 2006).

Koran Tokoh (Edisi 337/TahunVII, 5—11 Juni 2005:14) menulis beberapa


pemicu terjadinya pencabulan terhadap anak, khususnya oleh orangtua.

1. Pertama, pelaku tidak bisa lagi melakukan hubungan dengan istri karena
alasan kesehatan atau telah lama menduda.
2. Kedua, pelaku ingin menyempurnakan ilmu kebatinan yang sedang
ditekuninya.
3. Ketiga, pelaku tidak tahan melihat kemontokan tubuh anak perempuannya,
atau melihat anak perempuannya ke luar kamar mandi menggunakan handuk.
Bahkan, bisa pula pelaku melakukan pelecehan seksual terhadap anak
perempuan, karena terpengaruh film porno (Atmadja, 2005:139 dalam Suda,
2006).
C. KLASIFIKASI
Klasifikasi dari sexual abuse pada anak menurut (Suda, 2006) adalah :
1. Perkosaan
Perkosaan adalah jenis kekerasan yang paling mendapat sorotan.
Diperkirakan 22% perempuan dan 2% laki-laki pernah menjadi korban
perkosaan. Untuk di Amerika saja, setiap 2 menit terjadi satu orang
diperkosa. Hanya 1 dari 6 perkosaan yang dilaporkan ke polisi. Sebagian
besar perkosaan dilakukan oleh orang yang mengenal korban alias orang
dekat korban.
2. Kekerasan seksual terhadap anak-anak.
Suatu tinjauan baru-baru ini terhadap 17 studi dari seluruh dunia
menunjukkan bahwa di manapun, sekitar 11% sampai dengan 32%
perempuan dilaporkan mendapat perlakuan atau mengalami kekerasan
seksual pada masa kanak-kanaknya. Umumnya pelaku kekerasan adalah
anggota keluarga, orang-orang yang memiliki hubungan dekat, atau teman.
Mereka yang menjadi pelaku kekerasan seksual terhadap anak biasanya
adalah korban kekerasan seksual pada masa kanak-kanak.
3. Kekerasan seksual terhadap pasangan.
Kekerasan ini mencakup segala jenis kekerasan seksual yang dilakukan
seseorang terhadap pasangan seksualnya. Sebesar 95% korban kekerasan
adalah perempuan. Temuan penelitian yang dilakukan Rifka Annisa bersama
UGM, UMEA University, dan Women’s Health Exchange USA di
Purworejo, Jawa Tengah, Indonesia, pada tahun 2000 menunjukkan bahwa
22% perempuan mengalami kekerasan seksual. Sejumlah 1 dari 5 perempuan
(19%) melaporkan bahwa biasanya mereka dipaksa untuk melakukan
hubungan seksual dengan pasangan mereka selama dipukuli. Termasuk
kekerasan seksual adalah kekerasan yang dilakukan seorang laki-laki
terhadap seorang perempuan, semata-mata karena sang korban adalah
perempuan. Istilah untuk ini adalah kekerasan berbasis gender. Berikut adalah
kekerasan berbasis gender:
4. Kekerasan fisik : Menampar, memukul, menendang, mendorong,
mencambuk, dll.
5. Kekerasan emosional/ verbal: Mengkritik, membuat pasangan merasa
bersalah, membuat permainan pikiran, memaki, menghina, dll.

6. Ketergantungan finansial: Mencegah pasangan untuk mendapat pekerjaan,


membuat pasangan dipecat, membuat pasangan meminta uang, dll
7. Isolasi sosial: Mengontrol pasangan dengan siapa boleh bertemu dan di mana
bisa bertemu, membatasi gerak pasangan dalam pergaulan, dll
8. Kekerasan seksual: Memaksa seks, berselingkuh, sadomasokisme, dll.
9. Pengabaian/penolakan: Mengatakan kekerasan tidak pernah terjadi,
menyalahkan pasangan bila kekerasan terjadi, dll.
10. Koersi, ancaman, intimidasi: Membuat pasangan khawatir, memecahkan
benda-benda, mengancam akan meninggalkan, dll.
D. PATOFISIOLOGI

Menurut Tower (2002) dalam Maria (2008) kekerasan seksual pada anak
dapat terjadi satu kali, beberapa kali dalam periode berdekatan, bahkan menahun.
Walaupun berbeda-beda pada setiap kasus, kekerasan seksual tidak terjadi begitu
saja, melainkan melalui beberapa tahapan antara lain :
1. Tahap awal, pelaku membuat korban merasa nyaman. Ia menyakinkan bahwa
apa yang dilakukannya "tidak salah" secara moral. Pelaku mencoba
menyentuh sisi kbutuhan anak akan kasih saying dan perhhatian, penerimaan
dari orang lain, atau mencoba menyamakannya dengan permainan dan
menjanjikan imbalan material yang menyenangkan. Pelaku dapat
mengintimidasi secara halus ataupun bersikap memaksa secara kasar.
2. Tahap kedua, adalah interaksi seksual. Perilaku yang terjadi bisa saja hanya
berupa mengintip sampai perilaku yang intensitasnya berat, yaitu memakasa
anak untuk melakukan hubungan seksual. Setelah kejadian tersebut, pelaku
mengancam korban agar merahasiakan apa yang terjadi kepada orang lain.
3. Tahap berikutnya, adalah tahapan dimana korban mau menceritakan
pengalamannya kepada orang lain. Kemungkinan korban merahasiakan
pengalamannya sampai berusia dewasa, atau menceritakannya kepada orang
yang mempunyai kedekatan emosional dengannya, sehingga ia merasa aman.
Pelaku "mencobai" korban sedikit demi sedikit, mulai dari :
a. Pelaku membuka pakaiannya sendiri
b. Pelaku meraba-raba bagian tubuhnya sendiri
c. pelaku memperlihatkan alat kelaminnya
d. Pelaku mencium korban dengan pakaian lengkap
e. Pelaku meraba bagian-bagian tubuh korban : payudara, alat kelamin, dan
bagian lainnya.
f. Masturbasi, dilakukan oleh pelaku sendiri atau pelaku dan korban saling
menstimulasi.
g. Oral sex, dengan menstimilasi alat kelamin korban
h. Sodomi
i. Petting
j. Penetrasi alat kelamin pelaku

Anak yang memiliki resiko mengalami kekerasan seksual biasanya adalah


anak-anak yang biasa ditinggalkan sendiri dan tidak mendapat pengawasan
dari orang yanglebih dewasa, terutama ibu.Tidak hanya kehadiran secara
fisik, kedekatan emosional antara ibu dan anak pun merupakan faktor yang
penting (Maria, 2008).

Menurut Maria (2008) dampak kekerasan seksual pada anak adalah


sebagai berikut :

1. Stress: akut, traumatic – PTSD (post traumatik stress disorder)

2. Agresif, menjadi pelaku kekerasan, tidak percaya diri

3. Rasa takut, cemas

4. Perilaku seksual yang tidak wajar untuk anak seusianya

Tidak diragukan lagi bahwa kekerasan seksual dapat memberikan dampak


jangka pendek maupun jangka panjang bagi korbannya. Pada anak lainnya,
ada kemungkinan gangguan tersebut di 'tekan' sehingga tidak teramati dari
luar sampai ada pemicu yang menampilkan gejolak emosi mereka, misalnya
saat anak memasuki usia remaja dan mulai dekat dengan lawan jenis, atau
pada saat mereka akan menikah. selain itu, sangat mungkin anak yang
menjadi korban kekerasan seksual kemudian justru malah menjadi pelaku
kekerasan seksual terhadap anak lain (Maria, 2008).

Menghadapi anak yang mengalami kekerasan seksual, kata Maria,


hendaknya tetap mempertimbangkan faktor psikologis.Tidak hanya pada
posisi anak sebagai korban, yang tentunya berisiko mengalami stres bahkan
trauma, tapi juga perlu penanganan yang baik pada anak sebagai pelaku
kekerasan. Anak sebagai pelaku kekerasan seksual, sangat mungkin
sebelumnya adalah korban dari kekerasan seksual yang dilakukan oleh
pelaku lain. Kemungkinan motif kekerasan yang dilakukannya adalah untuk
eksploitasi-memuaskan rasa ingin tahu, atau menirukan kejadian yang
dialami sebelumnya, baik dari perlakuan langsung maupun dari media yang
dilihatnya.Dengan adanya azas praduga tak bersalah, hendaknya ditelusuri
dengan mendalam faktor yang mendorong anak menjadi pelakukekerasan
seksual, agar anak tidak dua kali menjadi korban (Maria, 2008).

Berbagai bentuk kekerasan seksual terhadap anak, khususnya anak


perempuan di masyarakat, selalu diwarnai kekerasan fisik atau
psikologis.Jika meminjam gagasan Giddens (2004) tentang kekerasan laki-
laki dalam menyalurkan libidonya, tindakan tersebut berkaitan dengan label
yang diberikan masyarakat kepada laki-laki.Laki-laki harus jantan
menangani sektor publik dan urusan seksual. Di sisi lain, meluasnya sistem
ekonomi kapitalisme global mengakibatkan banyak orang termarjinal,
bahkan terhimpit, baik secara ekonomi maupun psikologis. Akibatnya, harga
diri mereka dalam keluarga dan masyarakat mengalami goncangan.Begitu
pula hubungan seksual mereka dengan istrinya bisa terganggu. Kondisi ini
bisa diperparah lagi karena usia tua, impotensi, ejakulasi dini, kekhawatiran
ukuran dan fungsi penis, dan lainnya. Ini menimbulkan rasa tidak aman dan
kekawatiran yang mendalam (Suda, 2006).

Berikut ini jenis-jenis kekerasan seksual berdasarkan pelakunya (Tower,


2002 dalam Maria, 2008) :
1. Kekerasan yang dilakukan oleh anggota keluarga.
Dilakukan oleh ayah, ibu atau saudara kandung. Selain itu, kekerasan
seksual mungkin pula dilakukan oleh orang tua angkat/tiri, atau orang
lain yang tinggal serumah dengan korban.
2. Kekerasan yang dilakukan oleh orang lain di luar anggota keluarga
Kekerasan seksual dapat dilakukan oleh siapa saja, tidak dibatasi
perbedaan jenis kelamin, suku, agama, tingkat sosial ekonomi, dan
sebagainya.Sebagian besar pelaku adalah pria dan orang yang melakukan
orang yang cukup dikenal oleh korban, misalnya tetangga, guru, sopir,
baby-sittter.Pelaku bisa saja mengalami kelainan seperti paedophilia,
pecandu seks, atau sangat mungkin teman sebaya. Kemungkinan pelaku
penah menjadi korban kekerasan seksual sebelumnya,atau menirukan
perilaku orang lain. salah satu penyebabnya adalah untuk mengatasi
trauma akibat kekesaran seksual yang dialaminya, atau sekedar
memenuhi rasa ingin tahu.

Efek klinis pencabulan berkisar dari pendarahan pada genital dan anus,
fisur pada anus, pembesaran liang vagina dan anus, dan penipisan/kerusakan
hymen pada vagina. Efek psikologis pencabulan terhadap anak umumnya
berjangka panjang, antara lain: kemarahan, kecemasan, mimpi buruk, rasa tak
Iman, kebingungan, ketakutan, kesedihan, dan perubahan perilaku baik
menjadi buruk
E. PATHWAYS KEPERAWATAN

Berdasarkan jurnal “Dinamika Psikologis Kekerasan Seksual: Sebuah


Studi Fenomenologi”, pathway sexual abuse adalah :
F. MANIFESTASI KLINIK

Berdasarkan jurnal “Dinamika Psikologis Kekerasan Seksual: Sebuah


Studi Fenomenologi”, Dampak psikologis sexual abuse adalah :

Dampak psikologis yang dialami oleh subyek dapat digolongkan menjadi tiga
bagian, yaitu gangguan perilaku, gangguan kognisi, gangguan emosional.

a. Gangguan Perilaku, ditandai dengan malas untuk melakukan aktifitas


sehari-hari.
b. Gangguan Kognisi, ditandai dengan sulit untuk berkonsentrasi, tidak fokus
ketika sedang belajar, sering melamun dan termenung sendiri.
c. Gangguan Emosional, ditandai dengan adanya gangguan mood dan
suasana hati serta menyalahkan diri sendiri.
(Jurnal Terlampir)

Patricia A Moran dalam buku Slayer of the Soul, 1991 dalam Minangsari
(2007), mengatakan, menurut riset, korban pelecehan seksual adalah anak laki-
laki dan perempuan berusia bayi sampai usia 18 tahun. Kebanyakan pelakunya
adalah orang yang mereka kenal dan percaya.

Gejala seorang anak yang mengalami pelecehan seksual tidak selalu jelas.
Ada anak-anak yang menyimpan rahasia pelecehan seksual yang dialaminya
dengan bersikap "manis" dan patuh, berusaha agar tidak menjadi pusat
perhatian.Meskipun pelecehan seksual terhadap anak tidak memperlihatkan bukti
mutlak, tetapi jika tanda-tanda di bawah ini tampak pada anak dan terlihat terus-
menerus dalam jangka waktu panjang, kiranya perlu segera mempertimbangkan
kemungkinan anak telah mengalami pelecehan seksual (minangsari, 2007)

Tanda dan indikasi ini diambil Jeanne Wess dari buku yang sama:

1. Balita
a. Tanda-tanda fisik, antara lain memar pada alat kelamin atau mulut, iritasi
kencing, penyakit kelamin, dan sakit kerongkongan tanpa penyebab jelas
bisa merupakan indikasi seks oral.
b. Tanda perilaku emosional dan sosial, antara lain sangat takut kepada siapa
saja atau pada tempat tertentu atau orang tertentu, perubahan kelakuan
yang tiba-tiba, gangguan tidur (susah tidur, mimpi buruk, dan ngompol),
menarik diri atau depresi, serta perkembangan terhambat.
2. Anak usia prasekolah
Gejalanya sama ditambah tanda-tanda berikut:
a. Tanda fisik: antara lain perilaku regresif, seperti mengisap jempol,
hiperaktif, keluhan somatik seperti sakit kepala yang terus-menerus, sakit
perut, sembelit.
b. Tanda pada perilaku emosional dan sosial: kelakuan yang tiba-tiba
berubah, anak mengeluh sakit karena perlakuan seksual.
c. Tanda pada perilaku seksual: masturbasi berlebihan, mencium secara
seksual, mendesakkan tubuh, melakukan aktivitas seksual terang-terangan
pada saudara atau teman sebaya, tahu banyak tentang aktivitas seksual, dan
rasa ingin tahu berlebihan tentang masalah seksual.
3. Anak usia sekolah
Memperlihatkan tanda-tanda di atas serta perubahan kemampuan belajar,
seperti susah konsentrasi, nilai turun, telat atau bolos, hubungan dengan
teman terganggu, tidak percaya kepada orang dewasa, depresi, menarik diri,
sedih, lesu, gangguan tidur, mimpi buruk, tak suka disentuh, serta
menghindari hal-hal sekitar buka pakaian.
4. Remaja
Tandanya sama dengan di atas dan kelakuan yang merusak diri sendiri,
pikiran bunuh diri, gangguan makan, melarikan din, berbagai kenakalan
remaja, penggunaan obat terlarang atau alkohol, kehamilan dini, melacur,
seks di luar nikah, atau kelakuan seksual lain yang tak biasa.

Sedangkan menurut Townsend (1998) simtomatologi dari


penganiayaan/kekerasan seksual pada anak (sexual abuse) antara lain :

1. Infeksi saluran kemih yang sering


2. Kesulitan atau nyeri saat berjalan atau duduk
3. Kemerahan atau gatal pada daerah genital, menggaruk daerah tersebut secara
sering atau gelisah saat duduk
4. Sering muntah
5. Perilaku menggairahkan, dorongan masturbasi, bermain seks dewasa sebelum
waktunya
6. Ansietas berlebihan dan tidak percaya kepada orang lain
7. Penganiyaan seksual pada anak yang lain

G. PENATALAKSANAAN

Berdasarkan jurnal “play therapy dalam identifikasi kasus kekerasan


seksual terhadap anak”, terapi sexual abuse adalah :

Cholidah (2005) menyatakan bahwa diantara tujuan terapi bermain adalah


mengurangi atau menghilangkan gangguan-gangguan perilaku, fisik, psikis,
social, sensori dan komunikasi dan mengembangkan kemampuan yang masih
dimiliki secara optimal. Terkait dengan kasus kekerasan seksual pada anak,
Jongsma, Peterson dan Mclnnis (2000) menyatakan bahwa terapi bermain (play
therapy) merupakan salah satu metode untuk mengidentifikasi dan menggalikan
perasaan anak korban kekerasan seksual. Melalui terapi bermain selain kasus
dapat diidentifikasi apa yang terjadi pada diri anak, anak juga dapat
mengekpresikan perasaan atas kasus yang terjadi pada dirinya.

(Jurnal Terlampir)

Menurut Suda (2006) ada beberapa model program counseling yang dapat
diberikan kepada anak yang mengalami sexual abuse, yaitu :

a. The dynamics of sexual abuse.


Artinya, terapi difokuskan pada pengambangan konsepsi. Pada kasus
tersebut kdsalahan dan tanggung jawa berada pada pelaku bukan pada korban.
Anak dijamin tidak disalahkan meskipun telah terjadi kontak seksual.
b. Protective behaviors counseling.
Artinya, anak-anak dilatih menguasai keterampilan mengurangi
kerentannya sesuai dengan usia. Pelatihan anak prasekolah dapat dibatasi;
berkata tidak terhadap sentuhan-sentuhan yang tidak diinginkan; menjauh
secepatnya dari orang yang kelihatan sebagai abusive person; melaporkan
pada orangtua atau orang dewasa yang dipercaya dapat membantu
menghentikan perlakuan salah.
c. Survivor/self-esteem counseling.
Artinya, menyadarkan anak-anak yang menjadi korban bahwa mereka
sebenarnya bukanlah korban, melainkan orang yang mampu bertahan
(survivor) dalam menghadapi masalah sexual abuse. Keempat, feeling
counseling. Artinya, terlebih dahulu harus diidentifikasi kemampuan anak
yang mengalami sexual abuse untuk mengenali berbagai perasaan. Kemudian
mereka didorong untuk mengekspresikan perasaan-perasaannya yang tidak
menyenangkan, baik pada saat mengalami sexual abuse maupun sesudahnya.
Selanjutnya mereka diberi kesempatan untuk secara tepat memfokuskan
perasaan marahnya terhadap pelaku yang telah menyakitinya, atau kepada
orang tua, polisi, pekerja sosial, atau lembaga peradilan yang tidak dapat
melindungi mereka.
d. Cognitif terapy.
Artinya, konsep dasar dalam teknik ini adalah perasaan-perasaan
seseorang mengenai beragam jenis dalam kehidupannya dipengaruhi oleh
pikiran-pikiran mengenai kejadian tersebut secara berulang-lingkar.

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Menurut Doenges et. al (2007) pemeriksaan diagnostic yang dilakukan pada


anak dengan sexual abuse bergantung pada situasi dan kebutuhan individu. Uji
skrining (misalnya Daftar Periksa Perilaku Anak), peningkatan nilai pada skala
internalisasi yang menggambarkan perilaku antara lain ketakutan, segan, depresi,
pengendalian berlebihan atau di bawah pengendalian, agresif dan antisosial.
I. PENGKAJIAN

Menurut Doenges et.al (2007) pengkajian anak yang mengalami


penganiayaan seksual (sexual abus) antara lain :

1. Aktivitas atau istirahat : Masalah tidur (misalnya tidak padat tidur atau tidur
berlebihan, mimpi burukm, berjalan saat tidur, tidur di tempat yang asing,
keletihan.
2. Integritas ego
a. Pencapaian diri negatif, menyalahkan diri sendiri/meminta ampun karena
tindakannya terhadap orang tua.
b. Harga diri rendah (pelaku/korban penganiayaan seksual yang selamat.)
c. Perasaan bersalah, marah, takut dan malu, putus asa dan atau tidak berdaya
d. Minimisasi atau penyangkalan signifikasi perilaku (mekanisme pertahanan
yang paling dominan/menonjol)
e. Penghindaran atau takut pada orang, tempat, objek tertentu, sikap
menunduk, takut (terutama jika ada pelaku)
f. Melaporkan faktor stres (misalnya keluarga tidak bekerja, perubahan
finansial, pola hidup, perselisihan dalam pernikahan)
g. Permusuhan terhadap/objek/tidak percaya pada orang lain
3. Eliminasi
a. Enuresisi, enkopresis.
b. Infeksi saluran kemih yang berulang
c. Perubahan tonus sfingter.
4. Makan dan minum : Muntah sering, perubahan selera makan (anoreksia),
makan berlebihan, perubahan berat badan, kegagalan memperoleh berat
badan yang sesuai .
5. Higiene
a. Mengenakan pakaian yang tidak sesuai dengan kondisi cuaca
(penganiayaan seksual) atau tidak adekuat memberi perlindungan.
b. Mandi berlebihan/ansietas (penganiayaan seksual), penampilan kotor/tidak
terpelihara.
6. Neurosensori
a. Perilaku ekstrem (tingkah laku sangat agresif/menuntut), sangat amuk atau
pasivitas dan menarik diri, perilaku tidak sesuai dengan usia
b. Status mental : memori tidak sadar, periode amnesia, lap[oran adanya
pengingatan kembali. Pikiran tidak terorganisasi, kesulitan
konsentrasi/membuat keputusan. Afek tidak sesuai, mungkin sangat
waspada, cemas dan depresi.
c. Perubahan alam perasaan, kepribadian ganda, cinta, kebaikan dan
penyesalan yang dalam setelah penganiayaan seksual terjadi.
d. Kecemburuan patologis, pengendalian impuls yang buruk, ketrampilan
koping terbatas, kurang empati terhadap orang lain.
e. Membantung. Menghisap jempol atau perilaku kebiasaan lain : gelisah
(korban selamat).
f. Manifestasi psikiatrik (misal : fenomena disosiatif meliputi kepribadian
ganda (penganiayaan seksual), gangguan kepribadian ambang (koeban
inses dewasa)
g. Adanya defisit neurologis/kerusakaan SSP tanpa tanda-tanda cedera
eksternal
7. Nyeri atau ketidaknyamanan
a. Bergantung pada cedera/bentuk penganiayaan seksual
b. Berbagai keluhan somatik (misalnya nyeri perut, nyeri panggul kronis,
spastik kolon, sakit kepala)
8. Keamanan
a. Memar, tanda bekas gigitan, bilur pada kulit, terbakar (tersiran air panas,
rokok) ada bagian botak di kepala, laserasi, perdarahan yang tidak wajar,
ruam/gatal di area genital, fisura anal, goresan kulit, hemoroid, jaringan
parut, perubahan tonus sfingter.
b. Cedera berulang, riwayat bermacam kecelakaan, fraktur/ cedera internal.
c. Perilaku mencederai diri sendiri (bunuh diri), keterlibatan dalam aktivitas
dengan risiko tinggi
d. Kurangnya pengawasan sesuai usia, tidak ada perhatian yang dapat
menghindari bahaya di dalam rumah
9. Seksualitas
a. Perubahan kewaspadaan/aktivitas seksual, meliputi masturbasi kompulsif,
permainan seks dewasa sebelum waktunya, kecenderungan mengulang
atau melakukan kembali pengalaman inses. Kecurigaan yang berlebihan
tentang seks, secara seksual menganiaya anak lain.
b. Perdarahan vagina , laserasi himen linier, bagian mukosa berlendir.
c. Adanya PMS, vaginitis, kutil genital atau kehamilan (terutama pada anak).
10. Interaksi sosial
Merikan diri dari rumah, pola interaksi dalam keluarga secara verbal
kurang responsif, peningkatan penggunaan perintah langsung dan pernyataan
kritik, penurunan penghargaan atau pengakuan verbal, merasa rendah diri.
Pencapaian restasi dis ekolah rendah atau prestasi di sekolah menurun.

J. DIAGNOSA KEPERAWATAN

Menurut Townsend (1998), dan Doenges et.al (2007) diagnosa keperawatan


yang dapat dirumuskan pada anak yang mengalami sexual abuse antara lain :

1. Sindrom trauma perkosaan berhubungan dengan menjadi korban perkosaan


seksual yang dilakukan dengan menggunakan kekuatan dan berlawanan
dengan keinginan dan persetujuan pribadi seseorang
2. Ketidakberdayaan berhubungan dengan harga diri rendah
3. Perubahan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan pengasuhan
yang tidak adekuat dan penderitaan oleh pengasuh dari nyeri fisik atau cidera
dengan tujuan untuk menyebabkan bahaya, biasanya terjadi dalam waktu
lama.
4. Ansietas (sedang sampai berat) berhubungan dengan ancaman konsep diri,
rasa takut terhadap kegagalan, disfungsi system keluarga dan hubungan
antara orang tua dan anak yang tidak memuaskan
5. Gangguan harga diri rendah berhubungan dengan koping individu tidak
efektif
6. Gangguan pola tidur berhubungan dengan a nsietas dan hiperaktif
7. Koping defensif berhubungan dengan harga diri rendah, kurang umpan balik
atau umpan balik negatif yang berulang yang mengakibatkan penurunan
makna diri
8. Koping keluarga tidak efektif berhubungan dengan perasaan bersalah yang
berlebihan, marah atau saling menyalahkan diantara anggota keluarga
mengenai perilaku anak, kepenatan orang tua karena menghadapi anak
dengan gangguan dalam jengka waktu lama
9. Defisit pengetahuan tentang kondisi, prognosis, perawatan diri dan kebutuhan
terapi berhubungan dengan kurang sumber informasi, interpretasi yang salah
tentang informasi

K. INTERVENSI DAN RASIONAL

Menurut Videbeck (2008), Townsend (1998), dan Doenges et.al (2007)


intervensi keperawatan yang dapat dirumuskan untuk mengatasi diagnosa
keperawatan diatas antara lain :

1. Sindrom trauma perkosaan berhubungan dengan menjadi korban perkosaan


seksual yang dilakukan dengan menggunakan kekuatan dan berlawanan
dengan keinginan dan persetujuan pribadi seseorang

Tujuan :

a. Tujuan jangka pendek : Luka fisik anak akan sembuh tanpa komplikasi
b. Tujuan jangka panjang : anak akan mengalami resolusi berduka yang
sehat, memulai proses penyembuhan psikologis.
Intervensi:

a. Smith (1987) menghubungkan pentingnya mengkomunikasikan empat


ucapan berikut ini pada korban perkosaan : saya prihatin hal ini terjadi
padamu, anda aman disini, saya senang anda hidup, anda tidak bersalah.
Anda adalah korban. Ini bukan kesalahan anda. Apapun keputusan yang
Anda buat pada saat pengorbanan adalah hak seseorang karena anda hidup.
Rasional : Wanita tau anak yang telah diperkosa secara seksual takut
terhadap kehidupannya dan harus diyakinkan kembali keamanannya. Ia
mungkin juga sangat ragu-ragu dengan dirinya dan menyalahkan diri
sendiri dan pernyataan-pernyataan ini membangkitkan rasa percaya secara
bertahap dan memvalidasi harga diri anak
b. Jelaskan setiap prosedur pengkajian yang akan dilakukan dan mengapa
dilakukan. Pastikan bahwa pengumpulan data dilakukan dalam perawatan,
cara tidak menghakimi
Rasional : Untuk menurunkan ketakutan atau ansietas dan untuk
meningkaytkan rasa percaya
c. Pastikan bahwa anak memiliki privasi yang adekuat untuk semua
intervensi-intervensi segera pasca krisis. Cobaan sedikit mungkin orang
yang memberikan perawatan segera atau mengumpulkan bukti segera.
Atau mengumpulkan bukti segera
Rasional : Anak pasca trauma sangat rentan. Penambahan orang dalam
lingkungannya meningkatkan perasaan rentan ini dan bertindak
meningkatkan ansietas
d. Dorong anak untuk menghitung jumlahs erangan kekerasan seksual.
Dengarkan, tetapi tidak menyelidiki
Rasional : Mendengarkan dengan tidak menghakimi memberikan
kesempatan untuk katarsis bahwa anak perlu memulai pemulihan. Jumlah
yang rinci mungkin dibutuhkan untuk tindak lanjut secara legal, dan
seorang perawat sebagai pembela anak dapat menolong untuk mengurangi
trauma dari pengumpulan bukti
e. Diskusikan dengan anak siapa yang dapat dihubung untuk memberikan
dukungan atau bantuan. Berikan informasi tentang rujukan setelah
perawatan
Rasional : Karena ansietas berat dan rasa takut, anak mungkin
membutuhkan bantuan dari orang lain selama periode segera pasca-krisis.
Berikan informasi rujukan tertulis untuk referensi selanjutnya (misalnya
psikoterapi, klinik kesehatan jiwa, kelompok pembela masyarakat)

2. Ketidakberdayaan berhubungan dengan harga diri

rendah Tujuan :

a. Tujuan jangka pendek : Anak mengenali dan menyatakan secara verbal


pilihan-pilihan yang tersedia dengan demikian merasakan beberapa kontrol
terhadap situasi kehidupan (dimensi waktu ditentukan secara individu)
b. Tujuan jangka panjang : Anak memperlihatkan kontrol situasi kehidupan
dengan membuat keputusan tentang apa yang harus dilakukan berkenaan
dengan hidup bersama siklus penganiyaan seksual (dimensi waktu
ditentukan secara individual)

Intervensi :

a. Dalam berkolaburasi dengan tim medis, pastikan bahwa semua cedera


fisik, fraktur, luka bakar mendapatkan perhatian segera, mengambiul foto
jika anak mengijinkan merupakan ide yang baik
Rasional : Keamanan anak merupakan prioritas keperawatan. Foto dapat
digunakan sebagai bukti jika tuntutan dilakukan
b. Bawa anak wanita tersebut ke dalam area yang pribadi untuk melakukan
wawancara
Rasional : Jika anak disertai dengan pria yang melakukan pelecehan
seksual pada anak, kemungkinan besar ia tidak jujur sepenuhnya tentang
cederanya atau pengalaman seksualnya
c. Jika seorang anak wantia datang sendiri atau berserta dengan orang tuanya,
pastikan tentang keselamatannya. Dorong untuk mendiskusikan peristiwa
pemerkosaan yang telah dilakukan. Tanyakan pertanyaan tentang apakah
hal ini telah terjadi sebelumnya. Jika pelaku kekerasan seksual minum obat
bius, jika anak tersebut memiliki tempat yang aman untuk pergi dan
apakah ia berminat dalam tuntutan yang mendesak
Rasional : Beberapa anak wanita berusaha untuk menyimpan rahasia
tentang bagimana cedera seksual yang dideritanya terjadi dalam usaha
untuk melindungi orang tuanya atau saudaranya atau karena mereka takut
bahwa orang tuanya atau saudaranya akan membunuh mereka jika
menceritakan hal tersebut
d. Pastikan bahwa usaha-usaha menyelamatkan tidak diusahakan oleh
perawat. Berikan dukungan, tetapi ingat bahwa keputusan akhir harus
dibuat oleh anak
Rasional : Membuat keputusan untuk dirinya sendiri memberikan rasa
kontrol situasi kehidupannya sendiri. Memberikan penilaian dan nasehat
adalah tidak terapeutik
e. Tekankan pentingnya keamanan, smith (1987) menyarankan suatu
pernyataan seperti, ya itu telah terjadi. Sekarang ke mana anda ingin pergi
dari sini ?. Burgess (1990) menyatakan "Korban perlu dibuat sadar tentang
berbagai sumber yang tersedia untuk dirinya. Hal ini dapat mencakup
hotline krisis, kelompok-kelompok masyarakat untuk wanita dan anak
yang pernah dianiaya secara seksual, tempat perlindungan, berbagai
tempat konseling.
Rasional : Pengetahuan tentang pilihan-pilihan yang tersedia dapat
membantu menurunkan rasa tidak berdaya dari korban, tetapi kewenangan
yang sesungguhnya datang hanya saat ia memilih untuk menggunakan
pengetahuan itu bagi keuntungannya sendiri.

3. Perubahan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan pengasuhan


yang tidak adekuat dan penderitaan oleh pengasuh dari nyeri fisik atau cidera
dengan tujuan untuk menyebabkan bahaya, biasanya terjadi dalam waktu
lama.

Tujuan :

a. Tujuan jangka pendek : Anak akan mengembangkan hubungan saling


percaya dengan perawat dan melaporkan bagaimana tanda cedera terjadi
(dimensi waktu ditentukan secara individu)
b. Tujuan jangka panjang : Anak akan mendemonstrasikan perilaku yang
konsisten dengan usia tumbuh dan kembangnya.

Intervensi :

a. Lakukan pemeriksaan fisik secara menyeluruh pada anak. Buat catatab


yang teliti dari luka memarnya (dalam berbagai tahap penyembuhan),
laserasi, dan keluhan anak tentang area nyeri pada derah yang spesifik,
misalnya kemaluan. Jangan mengabaikan atau melalaikan kemungkinan
penganiayaan seksual. Kaji tanda nonverbal penganiayaan, perilaku
agresif, rasa takut yang berlebihan, hiperaktivitas hebat, apatis, menarik
diri, perilaku yang tidaks esuai dengan usianya
Rasional : Suatu pemeriksaan fisik yang akurat dan seksama dibutuhkan
agar perawatan yang tepat dapat diberikan untuk pasien
b. Adakan wawancara yang dalam dengan orang tua atau orang dekat yang
menyertai anak. Pertimbangkan jika cidera dilaporkan sebagai suatu
kecelakaan, apakah penjelasan ini berlasan? Apakah cedera tersebut
konsisten dengan penjelasan yang diberikan? Apakah cedera tersebut
konsisten dengan kemampuan perkembangan anak ?
Rasional : Ketakutan terhadap hukuman penjara atau kehilangan
kesempatan memelihara anak mungkin menempatkan orang tua penyiksa
pada sikap membela diri. Ketidaksesuaian dapat ditandai dalam deskripsi
kejadian, dan adanya usaha untuk menutupu keterlibatan merupakan suatu
pertahanan diri yang umum yang dapat dilepaskan dalam suatu wawancara
yang dalam.
c. Gunakan pertandingan atau terapi bermain untuk memperoleh rasa percaya
anak. Gunakan teknik-teknik ini untuk membantu dalam menjelaskan sisi
lain dari cerita anak tersebut
Rasional : Menetapkan hubungan saling percaya dengans eorang anak
yang teraniaya sangatlah sukar. Mereka mungkin tidak ingin untuk
disentuh. Jenis-jenis aktivitas bermain ini dapat memberikan suatu
lingkungan yang tidak mengancam yang dapat meningkatkan usaha anak
untuk mendiskusikan masalah-masalah yang menyakitkan ini
d. Tentukan apakah cedera yang dialami dibenarkan untuk dilaporkan kepada
yang berwenang. Undang-Undang negara yang spesifik harus masuk ke
dalam keputusan apakah ya atau tidak untuk melaporkan dugaan
penganiayaan seksual anak.
Rasional : Suatu laporan (umumhya dibuat) jika ada alasan untuk
mencurigai bahwa seseorang anak telah dicederai sebagai suatu akibat
penganiayaan seksual. Alasan untuk mencirugai ditetapkan saat ada tanda-
tanda ketidaksesuaian atau ketidakkonsistenan dalam menjelaskan cedera
pada anak. Kebanayakan negara membutuhkan individu-individu berikut
melaporkan kasus dari anak yang dicurigai dianiaya seksual : semua
pekerja kesehatan, semau terapis kesehatan jiwa, guru-guru, pengasuh-
pengasuh anak, pemadam kebakaran, anggota medis gawat darurat dan
anggota penyelenggara hukum. Laporan dibuat oleh Departemen
Pelayanan Sosial dan rehabiulitasi atau Badan penyelenggara Hukum.

4. Koping individu tidak efektif berhubungan dengankelainan fungsi dari system


keluarga dan perkembangan ego yang terlambat, serta penganiayaan dan
pengabaian anak

Tujuan :

a. Anak mengembangkan dan menggunakan keterampilan koping yang


sesuai dengan umur dan dapat diterima sosial dengan kriteria hasil :
b. Anak mampu menundakan pemuasan terhadap keinginannya, tanpa
terpaksa untuk menipulasi orang lain
c. Anak mampu mengekspresikan kemarahan dengan cara yang dapat
diterima secara sosial
d. Anak mampu mengungkapkan kemampuan-kemampuan koping alternatif
yang dapat diterima secara sosial sesuai dengan gaya hidup dari yang ia
rencanakan untuk menggunakannya sebagai respons terhadap rasa
frustasi

Intervensi:

a. Pastikan bahwa sasaran-sasarannya adalah realistis


Rasional : penting bagi anak untuk nmencapai sesuatu, maka rencana
untuk aktivitas-aktivitas di mana kemungkinan untuk sukses adalah
mungkin. Sukses meningkatkan harga diri
b. Sampaikan perhatian tanpa syarat pada anak
Rasional : Komunikasi dari pada penerimaan anda terhadapnya sebagai
makhluk hidup yang berguna dapat meningkatkan harga diri
c. Sediakan waktu bersama anak, keduanya pada saty ke satu basis dan pada
aktivitas-aktivitas kelompok
Rasional : Hal ini untuk menyampaikan pada anak bahwa anda merasa
bahwa dia berharga bagi waktu anda
d. Menemani anak dalam mengidentifikasi aspek-aspek positif dari dan
dalam mengembangkan rencana-rencana untuk merubah karakteristik yang
lihatnya sebagai negatif
Rasional : identifikasi aspek-aspek positif anak dapat membantu
mengembangkan aspek positif sehingga mempunyai koping individu yang
efektif
e. Bantu anak mengurangi penggunaan penyangkalan sebagai suatu
mekanisme sikap defensif. Memberikan bantuan yang positif bagi
identifikasi masalah dan pengembangan dari perilaku-perilaku koping
yang lebih adaptif
Rasional : Penguatan positif membantu meningkatkan harga diri dan
meningkatkan penggunaan perilaku-perilaku yang dapat diterima oleh
anak
f. Memberi dorongan dan dukungan kepada anak dalam menghadapi rasa
takut terhadap kegagalan dengan mengikuti aktivitas-aktivitas terapi dan
melaksanakan tugas-tugas baru. Beri pangakuan tentang kerja keras yang
berhasil dan penguatan positif bagi usaha-usaha yang dilakukan
Rasional : Pengakuan dan penguatan positif meningkatkan harga diri

5. Ansietas (sedang sampai berat) berhubungan dengan ancaman konsep diri,


rasa takut terhadap kegagalan, disfungsi system keluarga dan hubungan
antara orang tua dan anak yang tidak memuaskan

Tujuan :

Anak mampu mempertahankan ansietas di bawah tingkat sedang,


sebagaimana yang ditandai oleh tidak adanya perilaku-perilaku yang tidak
perilaku yang tidak mampu dalam memberi respons terhadap stres .

Intervensi :

a. Bentuk hubungan kepercayaan dengan anak. Bersikap jujur, konsisten di


dalam berespons dan bersedia. Tunjukkan rasa hormat yang positif dan
tulus
Rasional : Kejujuran, ketersediaan dan penerimaan meningkatkan
kepercayaan pada hubungan anak dengan staf atau perawat
b. Sediakan aktivitas-aktivitas yang diarahkan pada penurunan tegangan dan
pengurangan ansietas (misalnya berjalan atau joging, bola voli, latihan
dengan musik, pekerjaan rumah tangga, permainan-permainan kelompok
Rasional : tegangan dan ansietas dilepaskan dengan aman dan dengan
manfaat bagi anak melalui aktivitas-aktivitas fisik
c. Anjurkan anak untuk mengidentifikasi perasaan-perasaan yang sebenarnya
dan untuk mengenali sensiri perasaan-perasaan tersebut padanya
Rasional : Anak-anak vemas sering menolak hubungan antara masalah-
masalah emosi dengan ansietas mereka. Gunakan mekanisme-mekanisme
pertahanan projeksi dan pemibdahan yang dilebih-lebihkan
d. Perawat harus mempertahankan suasana tentang
Rasional : Ansietas dengan mudah dapat menular pada orang lain
e. Tawarkan bantuan pada wajtu-waktu terjadi peningkatan ansietas. Pastikan
kembali akan keselamatan fisik dan fisiologis
Rasional : Keamanan anak adalah prioritas keperawatan
f. Penggunaan sentuhan menyenangkan bagi beberaoa anak. Bagaimanapun
juga anak harus berhati-hati terhadap penggunaannya
Rasional : sebagaimana ansietas dapat membantu mengembangkan
kecurigaan pada beberapa individu yang dapat salah menafsirkan sentuhan
sebagai suatu agresi
g. Dengan berkurangnta ansietas, temani anak untuk mengetahui peristiwa-
peristiwa tertentu yang mendahului serangannya. Berhasil pada respons-
respons alternatif pada kejadian selanjutnyta
Rasional : Rencana tindakan memberikan anak perasaan aman untuk
penanganan yang lebih berhasil terhadap kondisi yang sulit jika terjadi lagi
h. Berikan obat-obatan dengan obat penenang sesuai dengan yang
diperintahkan. Kaji untuk keefektifitasannya, dan beri petunjukkepada
anak mengenai kemungkinan efek-efek samping yang memberi penharuh
berlawanan
Rasional : Obat-obatan terhadap ansietas (misalnya diazepam,
klordiasepoksida, alprazolam) memberikan perasaan lega terhadap efek-
efek yang tidak berjalan dari ansietas dan mempermudah kerjasama anak
dengan terapi

6. Gangguan pola tidur berhubungan dengan ansietas dan hiperaktif

Tujuan :
a. Anak mampu untuk mencapai tidur tidak terganggu selama 6 sampai 7
jamn setiap malam dengan kriteria hasil:
b. Anak mengungkapkan tidak adanya gangguan-gangguan pada waktu tidur
c. Tidak ada gangguan-gangguan yang dialamti oleh perawat
d. Anak mampu untuk mulai tidur dalam 30 menit dan tidur selama 6 sampai
7 jam tanpa terbangun

Intervensi :

a. Amati pola tidur anak, catat keadaan-keadaan yang menganggu tidur


Rasional : Masalah harus diidentifikasi sebelum bantuan dapat diberikan
b. Kaji gangguan-gangguan pola tidur yang berlangsung berhubungan
dengan rasa takut dan ansietas-ansietas tertentu
Rasional : Ansietas yang dirasakan oleh anak dapat mengganggu pola tidur
anak sehingfga perlu diidentifikasi penyebabnya
c. Duduk dengan anak sampai dia tertidur
Rasional : kehadiran seseorang yang dipercaya memberikan rasa aman
d. Pastikan bahwa makanan dan minuman yang mengandung kafein
dihilangkan dari diet anak
Rasional : Kafein adalah stimulan SSP yang dapat mengganggu tidur
e. Berikan sarana perawatan yang membantu tidur (misalnya : gosok
punggung, latihan gerak relaksasi dengan musik lembut, susu hangat dan
mandi air hangat)
Rasional : Sarana-sarana ini meningkatkan relaksasi dan membuat bisa
tidur
f. Buat jam-jam tidur yang rutin, hindari terjadinya deviasi dari jadwal ini
Rasional : Tubuh memberikan reaksi menyesuaikan kepada suatu siklus
rutin dari istirahat dan aktivitas
g. Beri jaminan ketersediaan kepada anak jika dia terbangun pada malam hari
dan dalam keadaan ketakutan
Rasional : Kehadiran seseorang yang dipercaya memberikan rasa aman
7. Koping defensif berhubungan dengan harga diri rendah, kurang umpan balik
atau umpan balik negatif yang berulang yang mengakibatkan penurunan
makna diri

Tujuan :

a. Anak akan mendemonstrasikan kemampuan untuk berinteraksi dengan


orang lain tanpa menjadi defensif, perilaku merasionalisasi atau
mengekspresikan pikiran waham kebesaran dengan kriteria hasil :
b. Anak mengungkapkan dan menerima tanggung jawab terhadap
perilakunya sendiri
c. Anak mengungkapkan korelasi antara perasaan-perasaan
ketidakseimbangan dan keperluan untuk mempertahankan ego melalui
rasionalisasi dan kemuliaan
d. Anak tidak menertawakan atau mengkritik orang lain
e. Anak berinteraksi dengan orang lain dengan situasi-situasi kelompok tanpa
bersikap defensif

Intervensi :

a. Kenali dan dukung kekuatan-kekuatan ego dasar


Rasional : memfokuskan pada spek-aspek positif dari kepribadian dapat
membantu untuk memperbaiki konsep diri
b. Beri semangat kepada anak untuk menteahui dan mengungkapkan dan
bagaimana perasaan ini menimbulkan perilaku defensif, seperti
menyalahkan oprang lain karena prilakunya sendiri
Rasional : Pengenalan masalah adalah langkah pertama pada proses
perubahan ke arah resolusi
c. Berikan segera sebenarnya umpan balik yang tidaj mengancam untuk
perilaku-perilaku yang tidak dapat diterima
Rasional : Anak mungkin kurang pengetahuan tentang bagaiamna dia
diterima oleh orang lain. Berikan informasi ini dengan cara yang tidak
mengancam dapat membantu untuk mengeliminasi perilaku yang tidak
diinginkan
d. Bantu anak untuk mengidentifikasi situasi-situasi yang menimbulkan sifat
defensif dan praktik bermain peran dengan respons-respons yang lebih
sesuai
Rasional : Bermain peran memberikan percaya diri untuk menghadapi
situasi-situasi yang sulit jika hal-hal tersebut benar-benar terjadi
e. Berikan dengans egera umpan balik positif bagi perilaku-perilaku yang
dapat diterima
Rasional : Umpan balik positif meningkatkan harga diri dan memberi
semangat untuk mengulangi perilaku-perilaku yang diinginkan
f. Membantu anak untu menetapkan sasaran-sasaran yang realistis, konkret
dan memerlukan tindakan-tindakan yang cocok untuk mencapai sasaran-
sasaran ini
Rasional : Keberhasilan akan meningkatkan harga diri
g. Evaluasi dengan anak keefektifan perilaku-perilaku yang baru dan
diskusikan adanya perubahan untuk perbaikan
Rasional : Karena keterbatasan kemampuan untuk memecahkan masalah,
bantuan mungkin diperlukan untuk menetapkan kembali dan
mengembangkan strategi baru, pada keadaan di mana metode-metode
koping baru tertentu terbukti tidak efektif

8. Koping keluarga tidak efektif berhubungan dengan perasaan bersalah yang


berlebihan, marah atau saling menyalahkan diantara anggota keluarga
mengenai perilaku anak, kepenatan orang tua karena menghadapi anak
dengan gangguan dalam jangka waktu lama

Tujuan :

a. Orang tua mendemonstrasikan metode intervensi yang lebih konsisten dan


efektif dalam berespons perilaku anak dengan kriteria hasil :
b. Mengungkatkan dan mengatasi perilaku negatif pada anak
c. Mengidentifikasi dan menggunakan sistem pendukung yang diperlukan

Intervensi :

a. Berikan informasi dan material yang berhubungan dengan gangguan anak


dan teknik menjadi orang tua yang efektif
Rasional : Pengetahuan dan ketrampilan yang tepat dapat meningkatkan
keefektifan peran orang tua
b. Dorong individu untuk mengungkapkan perasaan secara verbal dan
menggali alternatif cara berhubungan dengan anak
Rasional : Konseling suportif dapat membantu keluarga dalam
mengembangkan strategi koping
c. Beri umpan balik positif dan dorong metode menjadi orang tua yang
efektif
Rasional : Penguatan positif dapat meningkatkan harga diri dan
mendorong kontinuitas upaya
d. Libatkan saudara kandung dalam diskusi keluarga dan perencanaan
interaksi keluarga yang lebih efektif
Rasional : Masalah keluarga mempengaruhi semua anggota keluarga dan
tindakan lebih efektif bila setiap orang terlibat dalam terapi tersebut
e. Libatkan dalam konseling keluarga
Rasional : terapi keluarga dapat membantu mengatasi masalah global yang
mempengaruhi seluruh struktur keluarga. Gangguan pada salah satu
anggota keluarga akan mempengaruhi seluruh anggota keluarga
f. Rujuk pada sumber komunitas esuai indikasi, termasuk kelompok
pendukung orang tua, kelas menjadi orang tua
Rasional : mengembangkan sistem pendukung dapat meningkatkan
kepercayaan diri dan keefektifan orang tua. Pemberian model peran atau
harapan untuk masa depan
9. Defisit pengetahuan tentang kondisi, prognosis, perawatan diri dan kebutuhan
terapi berhubungan dengan kurang sumber informasi, interpretasi yang salah
tentang informasi

Tujuan :

a. Mengungkapkan secara verbal pemahaman tentang penyebab masalah


perilaku, perlunya terapi dalam kemampuan perkembangan dengan kriteria
hasil :
b. Berpartisipasi dalam pembelajaran dan m,ulai bertanya dan mencari
informasi secara mandiri
c. Mencapai tujuan kognitive yang konsisten sesuai tingkat

temperamen Intervensi :

a. Berikan lingkungan yang tenang, ruang kelas berisi dirinya sendiri,


aktivitas kelompok kecil. Hindari tempat yang terlalu banyak stimulasi,
seperti bus sekolah, kafetaria yang ramai, aula yang ramai
Rasional : Peredaan dalam stimulasi lingkungan dapat menurunkan
distraktibilitas. Kelompok kecil dapat meningkatkan kemampuan untuk
tepat pada tugas dan membantu klien mempelajari interaksi yang tepat
dengan orang lain, menghindari rasa terisolasi
b. Beri materi petunjuk format tertulis dan lisan dengan penjelasan langkah
demi langkah
Rasional : Keterampilan belajar yang terurut akan meningkat.
Mengajarkan anak keterampilan pemecahan masalah, mempraktikkan
contoh situasional. Keterampilan efektif dapat meningkatkan tingkat
prestasi
c. Ajarkan anak dan keluarga tentang penggunaan psikostimulan dan
antisipasi respons perilaku
Rasional : penggunaan psikostimulan mungkin tidak mengakibatkan
perbaikan kenaikan kelas tanpa perubahan pada ketrampilan studi anak
d. Koordinasi seluruh rencana terapi dengan sekolah personel sederajat, anak,
dan keluarga
Rasional : keefektifan kognitif paling mungkin meningkat ketika terapi
tidak terfragmentasi, juga tidak terlewatkannya intervensi signifikan
karena kurangnya komunikasi interdisiplin.

L. DISCHARGE PLANNING

Hasil yang diharapkan dari pemberian asuhan keperawatan pada anak dengan
penganiayaan seksual (sexual abuse) antara lain :

1. Anak tidak mengalami ansietas panik lagi


2. Anak mendemonstrasikan derajat percaya kepada perawat primer
3. Anak menerima perhatian dengan segera terhadap cedera fisiknya
4. Anak memulai perilaku yang konsisten terhadap respons berduka
5. Anak mendapatkan perhatian segera untuk cedera fisiknya jika ada
6. Anak menyatakan secara verbal jaminan keamanannya dengan segera
7. Anak mendiskusikan situasi kehidupannya dengan perawat primer
8. Anak mampu menyatakan secara verbal pilihan –pilihan yang tersedia untuk
dirinya yang dari hal ini ia menerima bantuan
9. Anak mendemosntrasikan rasa percaya kepada perawat utama melalui
mendiskusikan perlakuan penganiayaan melalui penggunaan terapi bermain
10. Anak mendemonstrasikan suatu penurunan dalam perilaku agresif
KASUS ISOLASI SOSIAL AKIBAT KORBAN PEMERKOSAAN
(SEXUALABUSE)

A. KASUS

 Nn. S 15 tahun, klien datang diantar oleh keluarganya


pada tanggal 17 September 2018, dengan keluhan tidak mau
bergaul dengan orang lain, tidak banyak bercakap-cakap, banyak
melamun, mengurung diri dan sering menyendiri. Menurut
keluarga, klien pernah mengalami gangguan jiwa sebelumnya
sejak 1 tahun yang lalu dan di rawat di RSJ Ratumbuysang
Manado yang pertama pada tanggal 12 Juni 2017 dikarenakan
klien apatis, diam di kamar (mengurung diri), menolak
berhubungan dengan orang lain karena mngalami keekrasan
sexual lagidari tetangganya. Dari pengkajian, didapatkan: klien
tidak minum obat secara teratur sehingga pengobatan kurang
berhasil. Keluarga klien tidak ada yang mengalami gangguan jiwa
seperti yang dialami oleh klien. Klien mengatakanpunya
pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan karena klien
mengalami kekerasan sexual oleh pamannya sendiri dulu. Klien
juga merasa malu karena sampai sekarang dia merasa dirinya
sudah kotor akibat kejadian waktu itu. Dari hasil pemeriksaan
fisik didapatkan TD : 120/ 80 mmHg, N: 86X/mnt, S:37,4°C,
P:20X/mnt, TB:160cm, BB:50kg. Hasil pengkajian juga
didapatkan klien tidak mengeluh terhadap keadaan fisiknya dan
pada tubuh klien tidak menunjukkan adanya kelainan ataupun
gangguan fisik lainnya.
B. PENGKAJIAN

1. Identitas Klien:
 Nama : Nn.S
Umur : 19 tahun
Agama : Islam
Alamat : Tuminting Link
Pekerjaan :-
Tanggalmasuk RS : 17 September 2018
Tanggalpengkajian : 19 September2018
 No.RM :67.95

2. Alasan masuk :
Klien datang diantar oleh keluarganya pada tanggal 17 September
2018, dengan keluhan:

a. Tidak mau bergaul dengan orang lain

b. Tidak banyak bercakap-cakap

c. Banyak melamun

d. Mengurung diri

e. Sering menyendiri

3. Faktor Predisposisi

a. Klien pernah mengalami gangguan jiwa sebelumnya sejak 1


tahun yang lalu dan di rawat di RSJ Ratumbuysang Manado
yang pertama pada tanggal 12 juni 2017 dikarenakan klien
apatis, diam di kamar (mengurung diri), menolak berhubungan
dengan orang lain.

b. Klien tidak minum obat secara teratur sehingga pengobatan


kurang berhasil.

c. Klien pernah mengalami,seksual


d. Keluargaklientidakadayangmengalamigangguanjiwasepertiyang
dialamiolehklien.

e. Klienmengatakanpunyapengalamanmasalaluyangtidakmenyenan
gkan.

f. Klien mengatakan pernah mengalami tindakan kekerasan sexual


oleh pamannya

g. Klien mengatakan malu karena sampai sekarang klien merasa


dirinya kotor karena kejadian itu
4. Faktor Presipitasi
Pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan:
a. Masa anak-anak
Klien tidak pernah mengalami hal yang tidak
menyenangkan.
b. Masa remaja
Klien mengatakan punya pengalaman masa lalu yang tidak
menyenangkan sesuai pernyataan klien “saya dulu pernah di
perkosa oleh paman saya”.
c. Masa Sekarang
Klien mengatakan “ malu karena sampai sekarang merasa
dirinya kotor karena telah diperkosa”.
5. PemeriksaanFisik
Tanda- tanda vital
TD : 120/ 80 mmHg
N : 84x/ menit
R : 20x/menit
S : 37,9 ºC

Maladaptif: Klien mengatakan jika ia mempunyai masalah, klien senang


memendamnyadan tidak mau menceritakannya kepada orang lain.
6. Masalah Psikososial dan Lingkungan
Klien mengatakan tidak mengenal semua teman dan jarang
berinteraksi dengan lingkungan.
7. Pengetahuan
Keluarga klien mengerti bahwa klien mengalami gangguan jiwa,
oleh sebab itu keluargamembawanya ke RSJ.
8. Aspek Medik 
Terapi medis:
a. Clarpramazine (cpz)
Warna obat : orange.
Dosis yg diberikan : 10mg/hari.
Indikasi :
Untuk penanganan psikotik seperti skizopenia bisa menimbulkan
efek seperti :ansietas dan agitasi,cegukkan yang sulit diatasi .anak
hiperaktif yang menunjukkan aktifitas motorik yang
berlebihan,masalah perilaku berat pada anak yang dikaitkan
dengan perilaku hiperaktif lagi atau menyerang mual dan muntah
berat.
Mekanisme kerja:
mungkin berhubungan dengan antiodapaminergik, antipsikotik
dapat menyeliat reseptor domain post maps pada ganglia
basal,hipotalamus,sistem umbila batang ptak dan medula.
Efek samping :
Seperti sedasi,sakit kepala, kejang, insomnia, pusing, keletihan,
penglihatan kabur, kegelisahan, ansietas dan depresi.
Kontraindikasi :
Penyakit hati, penyakit ginjal, kelainan jantung, ketergantungan
obat, penyakit ssp, gangguan kesadaran disebabkan oleh depresi
ssp.
Manfaat:
Memberikan pikiran tenang,perilaku jadi lebih adaktif.
 b. Haloperidol (HPD)

Warna obat : pink .

Dosis yang diberikan : 3- 5 mg/hari


Indikasi:

Penatalaksanaan sikopsus kronik dan akut, pengendalian TIK dan


pengucapan vokal pada gangguan jiwa . penanggulangan dimensia pada
lansia, pengendalian hiperaktivitas dan masalah perilaku berat pada anak-
anak

Kontraindikasi:

Penyakit hati, penyakit darah tinggi, epilepsi, kelainan jantung,


ketergantungan obat, gangguan kesadaran, penyakit sindrom saraf pusat.

Efek samping:

Mengantuk, penglihatan kabur, mulut kering, kelemahan otot, konstipasi.

Manfaat:

Memberikan pikiran tenang, perilaku menjadi lebih adaftif.

c. Trihexypenidil (THP)

Warna obat : putih.

Dosis yang diberikan : 2 mg/hari.

Indikasi:

Segala jenis penyakit parkinson, gejala ekstra piramida, berkaitan


dengan obat- obat psikotik

Kontraindikasi:

Hipersensitivitas terhadap obat ini atau pada anti polinergik lain


glaukoma sudut tertutup.
Efek samping:

Mulut kering, penglihatan kabur, pusing, mual, muntah, bingung,


agitasi, konstipasi, dilatasi ginjal, retensiurin.

Manfaat: Anti depresi, menetralkan dan menghilangkan efek


samping dari anti spikasi seperti mual.

C. ANALISA DATA

Data Etiologi Masalah keperawatan

Data Objektif: Isolasi sosial

1.Tidak mau bergaul Monitor pernyataan tentang harga


dengan orang lain. diri  pasien.

2. Tidak banyak Bantu pasien meningkatkan atau


bercakapcakap. Banyak mengidentifikasi kemampuannya.
melamun. Mengurung
Tingkatkan kontak mata paien
diri. Sering menyendiri.
dalam komunikasi dengan orang
3. klien tidak minum obat lain.
secara teratur sehingga
Tingkatkan kemampuan pasien
pengobatan kurang
untuk mengevaluasi tingkah
berhasil.
lakunya.
4. Klien tampak sedih.
Tingkatkan kemampuan pasien
Kontak mata kurang
untuk menerima kesempatan baru.
selama komunikasi,
berbicara seperlunya,
Fasilitasi lingkungan dan aktifitas
yang dapat meningkatkan harga
5. klien tampak tidak
diri.
mampu memulai
pembicaraan, cenderung
Monitor tingkat harga diri tiap
menolak untuk diajak
waktu Buat pernyataan  positif
berkomunikasi. Tidak
tentang pasien.
ada perubahan roman
muka pada saat Therapy group
diceritakan cerita lucu Definisi:
yang membuat tertawa,
Mengaplikasikan tekhnik
6. klien tampak biasa psikoterapeutik51 ke kelompok
saja, hanya bereaksi bila termasuk kesatuan dalam interaksi
ada stimulus emosi yang diantara anggota kelompok.
kuat (afek tumpul).
Aktifitas:
7. Klien mengalami
Tentukan tujuan kelompok
depersonalisasi (perasaan
(kominikasi, dukungan). Bentuk
klien yang asing terhadap
kelompok maksimal 5-12
diri sendiri, orang atau
anggota.
lingkungan), sehingga50

Pilih anggota yang aktif dari


8. klien tampak biasa
kelompok untuk membuat respon
saja, hanya bereaksi bila
yang baik.
ada stimulus emosi yang
kuat (afek tumpul).
Tentukan motivasi yang akan
didapat dari kelompok terapi.
9. Klien mengatakan
Gunakan ketua kelompok jika
punya  pengalaman masa
memungkinkan. Bertemu tiap 1-2
lalu yang tidak
jam setiap sesi.
menyenangkan dan dulu
pernah dikucilkan oleh
Mulai dan akhiri dengan
temantemannya waktu
mempertahankan  partisipasi
SMA.
pasien dan  beri kesimpulan.
Susun kursi secara melingkar
10. Klien merasa malu
Tingkatkan diskusi.52 Gunakan
karena sampai sekarang
role play dan menyelesaikan
belum mendapatkan
masalah Ambil anggota baru
pekerjaan.
untuk mempertahankan integritas
11. Klien mengatakan kelompok.
tidak memiliki orang
yang  berarti dalam
hidup, bila  punya
masalah,hanya
memendam masalah
sendiri.

12. Klien mengatakan


tidak mengenal semua
teman dan jarang
berinteraksi dengan
lingkungan.

D. STRATEGI PELAKSANAAN
SP 1 Pasien: Membina hubungan saling percaya, membantu pasien mengenal
penyebab isolasi sosial, membantu pasien mengenal keuntungan berhubungan dan
kerugian tidak berhubungan dengan orang lain, dan mengajarkan pasien
berkenalan
SP 2 Pasien : Mengajarkan pasien berinteraksi secara bertahap (berkenalan
dengan orang pertama-seorang perawat-)
SP 2 Pasien : Mengajarkan pasien berinteraksi secara bertahap (berkenalan
dengan orang pertama -seorang perawat-)
SP 1 Keluarga : Memberikan penyuluhan kepada keluarga tentang masalah isolasi
sosial,penyebab isolasi sosial, dan cara merawat pasien dengan isolasi sosial
SP 2 Keluarga : Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat pasien dengan
masalah isolasi sosial langsung dihadapan pasien 1.
SP 3 Keluarga : Membuat perencanaan pulang bersama keluarga

E. IMPLEMENTASI
1.Tindakan Keperawatan Untuk Klien
SP 1 Pasien: Membina hubungan saling percaya, membantu pasien mengenal
penyebab isolasi sosial, membantu pasien mengenal keuntungan berhubungan dan
kerugian tidak berhubungan dengan orang lain, dan mengajarkan pasien
berkenalan.

Orientasi (Perkenalan):
“Assalammu’alaikum ”
“Saya Perawat Mili ……….., Saya senang dipanggil  Ses Mili …………, Saya
perawat di  Ruang Mawar ini… yang akan merawat Ibu.”
“Siapa nama Ibu? Senang dipanggil siapa?”
“Apa keluhan S hari ini?” Bagaimana kalau kita bercakap -cakap tentang keluarga
dan teman-teman S? Mau dimana kita bercakap-cakap? Bagaimana kalau di ruang
tamu? Mau berapa lama, S? Bagaimana kalau 15 menit”
Kerja:
”Siapa saja yang tinggal serumah? Siapa yang  paling dekat dengan S? Siapa yang
jarang bercakap-cakap dengan S? Apa yang membuat S jarang bercakap- cakap
dengannya?” (Jika pasien sudah lama dirawat) ”Apa yang S rasakan selama S
dirawat disini? O.. S merasa sendirian? Siapa saja yang S kenal di ruangan ini”
“Apa saja kegiatan yang biasa S lakukan dengan teman yang S kenal?”
“Apa yang menghambat S dalam berteman atau bercakap -cakap dengan pasien
yang lain?” ” Menurut S apa saja keuntungannya kalau kita mempunyai teman ?
Wah benar, ada teman bercakap-cakap. Apa lagi ? (sampai pasien dapat
menyebutkan beberapa) Nah kalau kerugiannya tidak mampunyai teman apa ya
S ? Ya, apa lagi ? (sampai pasien dapat menyebutkan beberapa) Jadi banyak juga
ruginya tidak punya teman ya. Kalau begitu inginkah S belajar bergaul dengan
orang lain ? « Bagus. Bagaimana k alau sekarang kita belajar berkenalan dengan
orang lain” “Begini lho S, untuk berkenalan dengan orang lain kita sebutkan dulu
nama kita dan nama  panggilan yang kita suka asal kita dan hobi. Contoh: Nama
Saya S, senang dipanggil Si.  Asal saya dari Tumnting, hobi saya memasak”
“Selanjutnya S menanyakan nama orang yang diajak berkenalan. Contohnya
begini: Nama  Kamu siapa? Senang dipanggil apa? Asalnya dari mana/ Hobinya
apa?”
“Ayo S dicoba! Misalnya saya belum kenal dengan S. Coba berkenalan dengan
saya!”
“Ya bagus sekali! Coba sekali lagi. Bagus sekali”
“Setelah S berkenalan dengan orang tersebut S bisa melanjutkan percakapan
tentang hal - hal yang menyenangkan S bicarakan. Misalnya tentang cuaca,
tentang hobi, tentang keluarga, pekerjaan dan sebagainya.”

Terminasi:
”Bagaimana perasaan S setelah kita latihan berkenalan?”
”S tadi sudah mempraktekkan cara berkenalan dengan baik sekali”
”Selanjutnya S dapat mengingat -ingat apa yang kita pelajari tadi selama saya
tidak ada. Sehingga S lebih siap untuk berkenalan dengan orang lain. S mau
praktekkan ke pasien lain. Mau jam berapa mencobanya. Mari kita masukkan
pada jadwal kegiatan hariannya.”
”Besok pagi jam 10 saya akan datang kesini untuk mengajak S berkenalan
den gan teman  saya, perawat N. Bagaimana, S mau kan?”
”Baiklah, sampai jumpa. Assalamu’alaiku

SP 2 Pasien : Mengajarkan pasien berinteraksi secara bertahap (berkenalan


dengan orang pertama -seorang perawat-)
Orientasi :
“Assalammualaikum S! ”
“Bagaimana perasaan S hari ini?
« Sudah dingat-ingat lagi pelajaran kita tetang berkenalan
»Coba sebutkan lagi sambil bersalaman dengan Suster ! »
« Bagus sekali, S masih ingat. Nah seperti janji saya, saya akan mengajak S
mencoba berkenalan dengan teman saya perawat N. Tidak lama kok, sekitar 10
menit »
« Ayo kita temui perawat N disana »

Kerja :
( Bersama-sama S saudara mendekati perawat N)
« Selamat pagi perawat N, ini ingin berkenalan dengan N »
« Baiklah S, S bisa berkenalan dengan perawat N seperti yang kita praktekkan
kemarin
« (pasien mendemontrasikan cara berkenalan dengan perawat N : memberi salam,
menyebutkan nama, menanyakan nama perawat, dan seterusnya)
« Ada lagi yang S ingin tanyakan kepada perawat N . coba tanyakan tentang
keluarga  perawat N
« Kalau tidak ada lagi yang ingin dibicarakan, S bisa sudahi perkenalan ini. Lalu
S bisa buat janji bertemu lagi dengan perawat N, misalnya jam 1 siang nanti »
« Baiklah perawat N, karena S sudah selesai berkenalan, saya dan S akan kembali
ke ruangan S. Selamat pagi » (Bersama-sama pasien saudara meninggalkan
perawat N untuk melakukan terminasi dengan S di tempat lain)
Terminasi:
“Bagaimana perasaan S setelah berkenalan dengan perawat N”
”S tampak bagus sekali saat berkenalan tadi”
”Pertahankan terus apa yang sudah S lakukan tadi. Jangan lupa untuk
menanyakan topik lain supaya perkenalan berjalan lancar. Misalnya menanyakan
keluarga, hobi, dan  sebagainya. Bagaimana, mau coba dengan perawat lain. Mari
kita masukkan pada  jadwalnya. Mau berapa kali sehari? Bagaimana kalau 2 kali.
Baik nanti S coba sendiri.  Besok kita latihan lagi ya, mau jam berapa? Jam 10?
Sampai besok.”

SP 3 Pasien : Melatih Pasien Berinteraksi Secara Bertahap (berkenalan dengan


orang kedua-seorang pasien)
Orientasi:
“Assalammu’alaikum S! Bagaimana perasaan hari ini? ”Apakah S bercakap-
cakap dengan perawat N kemarin siang” (jika jawaban pasien: ya, saudara bisa
lanjutkan komunikasi berikutnya orang lain ”Bagaimana perasaan S setelah
bercakap-cakap dengan perawat N kemarin siang” ”Bagus sekali S menjadi
senang karena punya teman lagi”
”Kalau begitu S ingin punya banyak teman lagi?”
”Bagaimana kalau sekarang kita berkenalan lagi dengan orang lain, yaitu pasien
O”
”seperti biasa kira-kira 10 menit”
”Mari kita temui dia di ruang makan”

Kerja:
( Bersama-sama S saudara mendekati pasien )
« Selamat pagi , ini ada pasien saya yang ingin berkenalan. »
« Baiklah S, S sekarang bisa berkenalan dengannya seperti yang telah S lakukan
sebelumnya. »55 (pasien mendemontrasikan cara berkenalan: memberi salam,
menyebutkan nama, nama  panggilan, asal dan hobi dan menanyakan hal yang
sama). »
« Ada lagi yang S ingin tanyakan kepada O»
« Kalau tidak ada lagi yang ingin dibicarakan, S bisa sudahi perkenalan ini. Lalu
S bisa buat janji bertemu lagi, misalnya bertemu lagi jam 4 sore nanti » (S
membuat janji untuk bertemu kembali dengan O) « B aiklah O, karena S sudah
selesai berkenalan, saya dan S akan kembali ke ruangan S. Selamat pagi »
(Bersama-sama pasien saudara meninggalkan perawat O untuk melakukan
terminasi dengan S di tempat lain)

Terminasi:
“Bagaimana perasaan S setelah berkenalan dengan O”
”Dibandingkan kemarin pagi, N tampak lebih baik saat berkenalan dengan O”
”pertahankan apa yang sudah S lakukan tadi. Jangan lupa untuk bertemu kembali
dengan O jam 4 sore nanti”
”Selanjutnya, bagaimana jika kegiatan berkenalan dan bercakap-cakap dengan
orang lain kita tambahkan lagi di jadwal harian. Jadi satu hari S dapat berbincang-
bincang dengan orang lain sebanyak tiga kali, jam 10 pagi, jam 1 siang dan jam 8
malam, S bisa bertemu dengan N, dan tambah dengan pasien yang baru dikenal.
Selanjutnya S bisa berkenalan dengan orang lain lagi secara bertahap.
Bagaimana S, setuju kan?”
”Baiklah, besok kita ketemu lagi untuk membicarakan pengalaman S.
Pada jam yang sama dan tempat yang sama ya. Sampai besok..
Assalamu’alaikum”

2.Tindakan Keperawatan untuk Keluarga


SP 1 Keluarga : Memberikan penyuluhan kepada keluarga tentang masalah isolasi
sosial, penyebab isolasi sosial, dan cara merawat pasien dengan isolasi sosial
Orientasi:
“Assalamu’alaikum Pak”
”Perkenalkan saya perawat H, saya yang merawat, anak bapak, S, di ruang Mawar
ini”
”Nama Bapak siapa? Senang dipanggil apa?”
” Bagaimana perasaan Bapak hari ini? Bagaimana keadaan anak S sekarang?”
“Bagaimana kalau kita berbincang -bincang tentang masalah anak Bapak dan cara
perawatannya” ”Kita diskusi di sini saja ya? Berapa lama Bapak punya waktu?
Bagaimana kalau  setengah jam?”
Kerja:
”Apa masalah yang Bp/Ibu hadapi dalam merawat S? Apa yang sudah
dilakukan?”
“Masalah yang dialami oleh anak S disebut isolasi sosial. Ini a dalah salah satu
gejala  penyakit yang juga dialami oleh pasien- pasien gangguan jiwa yang lain”.
” Tanda-tandanya antara lain tidak mau bergaul dengan orang lain, mengurung
diri, kalaupun berbicara hanya sebentar dengan wajah menunduk”
”Biasanya masalah ini muncul karena memiliki pengalaman yang mengecewakan
saat berhubungan dengan orang lain, seperti sering ditolak, tidak dihargai atau
berpisah dengan orang  –orang terdekat”
“Apabila masalah isolasi sosial ini tidak diatasi maka seseorang bisa mengalami
halusinasi, yaitu mendengar suara atau melihat bayangan yang sebetulnya tidak
ada.”
“Untuk menghadapi keadaan yang demikian Bapak dan anggota keluarga lainnya
harus  sabar menghadapi S. Dan untuk merawat S, keluarga perlu melakukan
beberapa hal.  
Pertama keluarga harus membina hubungan saling percaya dengan S yang
caranya adalah bersikap peduli dengan S dan jangan ingkar janji.
Kedua, keluarga perlu memberikan semangat dan dorongan kepada S untuk bisa
melakukan kegiatan bersama-  sama dengan orang lain. Berilah pujian yang wajar
dan jangan mencela kondisi pasien.”
« Selanjutnya jangan biarkan S sendiri. Buat rencana atau jadwal bercakap-cakap
dengan S. Misalnya sholat bersama, makan bersama, rekreasi bersama, melakukan
kegiatan rumah tangga bersama.”
”Nah bagaimana kalau sekarang kita latihan untuk melakukan semua cara itu”
” Begini contoh komunikasinya, Pak: S, bapak lihat sekarang kamu sudah bisa
bercakap-cakap dengan orang lain.Perbincangannya juga lumayan lama. Bapak
senang sekali melihat perkembangan kamu, Nak. Coba kamu bincang-bincang
dengan saudara yang lain. Lalu bagaimana kalau mulai sekarang kamu sholat
berjamaah. Kalau di rumah sakit ini, kamu sholat di mana? Kalau nanti di rumah,
kamu sholat bersana-sama keluarga atau di mushola kampung. Bagiamana S,
kamu mau coba kan, nak ?”
”Nah coba sekarang Bapak peragakan cara komunikasi seperti yang saya
contohkan”
”Bagus, Pak. Bapak telah memperagakan dengan baik sekali”
”Sampai sini ada yang ditanyakan Pak”

Terminasi:
“Baiklah waktunya sudah habis. Bagaimana perasaan Bapak setelah kita latihan
tadi?”
“Coba Bapak ulangi lagi apa yang dimaksud dengan isolasi sosial dan tanda
-tanda orang  yang mengalami isolasi sosial » « Selanjutnya bisa Bapak sebutkan
kembali cara-cara merawat anak bapak yang mengalami masalah isolasi sosial » «
Bagus sekali Pak, Bapak bisa menyebutkan kembali cara-cara perawatan tersebut
» «Nanti kalau ketemu S coba Bp/Ibu lakukan. Dan tolong ceritakan kepada
semua keluarga agar mereka juga melakukan hal yang sama. » « Bagaimana kalau
kita betemu tiga hari lagi untuk latihan langsung kepada S ? » « Kita ketemu
disini saja ya Pak, pada jam yang sama » « Assalamu’alaikum »

SP 2 Keluarga : Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat pasien dengan


masalah isolasi sosial langsung dihadapan pasien
Orientasi:
“Assalamu’alaikum Pak/Bu”
” Bagaimana perasaan Bpk/Ibu hari ini?”
”Bapak masih ingat latihan merawat anak Bapak seperti yang kita pelajari
berberapa hari yang lalu?”
“Mari praktekkan langsung ke S ! Berapa lama waktu Bapak/Ibu Baik kita akan
coba 30 menit.” ”Sekarang mari kita temui S”

Kerja:
”Assalamu’alaikum S. Bagaimana perasaan S hari ini?”
”Bpk/Ibu S datang besuk. Beri salam! Bagus. Tolong S tunjukkan jadwal
kegiatannya!” (kemudian saudara berbicara kepada keluarga sebagai berikut)
”Nah Pak, sekarang Bapak bisa mempraktekkan apa yang sudah kita latihkan
beberapa hari lalu” (Saudara mengobservasi keluarga mempraktekkan cara
merawat pasien seper ti yang telah dilatihkan pada pertemuan sebelumnya).
”Bagaimana perasaan S setelah berbincang -bincang dengan Orang tua S?”
”Baiklah, sekarang saya dan orang tua ke ruang perawat dulu” (Saudara dan
keluarga meninggalkan pasien untuk melakukan terminasi dengan keluarga)

Terminasi:
“ Bagaimana perasaan Bapak/Ibu setelah kita latihan tadi? Bapak/Ibu sudah
bagus.” « «Mulai sekarang Bapak sudah bisa melakukan cara merawat tadi
kepada S » « Tiga hari lagi kita akan bertemu untuk mendiskusikan pengalaman
Bapak melakukan cara merawat yang sudah kita pelajari. Waktu dan tempatnya
sama seperti sekarang Pak » « Assalamu’alaikum »

SP 3 Keluarga : Membuat perencanaan pulang bersama keluarga


Orientasi:
“Assalamu’alaikum Pak/Bu”
”Karena besok S sudah boleh pulang, maka perlu kita bicarakan perawatan di
rumah.” ”Bagaimana kalau kita membicarakan jadwal S tersebut disini saja”
”Berapa lama kita bisa bicara? Bagaimana kalau 30 menit?”

Kerja:
”Bpk/Ibu, ini jadwal S selama di rumah sakit. Coba dilihat, mungkinkah
dilanjutkan di rumah? Di rumah Bpk/Ibu yang menggantikan perawat. Lanjutkan
jadwal ini di rumah, baik jadwal kegiatan maupun jadwal minum obatnya”
”Hal -hal yang perlu diperhatikan lebih lanjut adalah perilaku yang ditampilkan
oleh anak  Bapak selama di rumah. Misalnya kalau S terus menerus tidak mau
bergaul dengan orang lain, menolak minum obat atau memperlihatkan perilaku
membahayakan orang lain. Jika hal ini terjadi segera hubungi perawat K di
puskemas Indara Puri, Puskesmas terdekat dari rumah Bapak, ini nomor telepon
puskesmasnya: (0651) 554xxx ”Selanjutnya perawat K tersebut yang akan
memantau perkembangan S selama di rumah

Terminasi:
”Bagaimana Pak/Bu? Ada yang belum jelas? Ini jadwal kegiatan harian S untuk
dibawa  pulang. Ini surat rujukan untuk perawat K di PKM Inderapuri. Jangan
lupa kontrol ke  PKM sebelum obat habis atau ada gejala yang tampak.
Silakan selesaikan administrasinya!”
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Kasus kekerasan seksual yang dialami oleh anak dibawah umur belakangan
ini semakin banyak muncul dipermukaan.Hal ini belum tentu merupakan indikator
meningkatnya jumlah kasus, karena fenomena yang terjadi adalah fenomena
gunung es, jumlah yang terlihat belum tentu menunjukkan fakta yang
sesungguhnya.Meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap penegakan hukum
merupakan salah satu faktor meningkatnya pelaporan kasus kekerasan seksual.
Penganiayaan seksual pada anak didefinisikan sebagai adanya tindakan seksual
yang mencakup tetapi tidak dibatas pada insiden membuka pakaian, menyentuh
dengan cara yang tidak pantas dan penetrasi (koitus seksual), yang dilakukan
dengan seorang anak untuk kesenangan seksual orang dewasa. Insest telah
didefinisikan sebagai eksploitasi seksual pada seorang anak di bawah usia 18
tahun oleh kerabat atau buka kerabat yang merupakan orang dipercaya dalam
keluarga (Townsend, 1998).
Anak sebagai pelaku kekerasan seksual, sangat mungkin sebelumnya adalah
korban dari kekerasan seksual yang dilakukan oleh pelaku lain. Kemungkinan
motif kekerasan yang dilakukannya adalah untuk eksploitasi-memuaskan rasa
ingin tahu, atau menirukan kejadian yang dialami sebelumnya, baik dari perlakuan
langsung maupun dari media yang dilihatnya.Dengan adanya azas praduga tak
bersalah, hendaknya ditelusuri dengan mendalam faktor yang mendorong anak
menjadi pelakukekerasan seksual, agar anak tidak dua kali menjadi korban
(Maria, 2008).
Efek klinis pencabulan berkisar dari pendarahan pada genital dan anus, fisur
pada anus, pembesaran liang vagina dan anus, dan penipisan/kerusakan hymen
pada vagina. Efek psikologis pencabulan terhadap anak umumnya berjangka
panjang, antara lain: kemarahan, kecemasan, mimpi buruk, rasa tak Iman,
kebingungan, ketakutan, kesedihan, dan perubahan perilaku baik menjadi buruk
B. SARAN

Berdasarkan asuhan keperawatan anak pada retardasi mental maka disarankan :


1. Perawat
Perawat dalam memberikan asuhan keperawatan pada anak dengan seksual
abuse dapat melibatkan anak dalam brain Gym untuk memfokuskan perhatian
anak dan melupakan peristiwa trauma akibat penganiayaan seksual.
2. Sekolah
Sekolah dapat bekerja sama dengan keluarga dan para dokter untuk
membantu anak korban aniaya seksual di sekolah. Komunikasi terbuka antara
orangtua dan staf sekolah dapat merupakan kunci keberhasilan anak dalam
menyesuaikan diri di sekolah.
3. Keluarga/Orang tua
Keluarga atau orang tua dalam membantu anak yang mengalami seksual
abuse harus memberikan perawatan anak dengan metode yang berbeda
dengan anak yang normal. Oleh karena itu hendaknya orang tua atau keluarga
menyusun kegiatan sehingga anak mempunyai rutinitas yang sama tiap hari,
mengatur kegiatan harian, menggunakan jadwal untuk pekerjaan rumah, dan
memperpertahankan aturan secara konsisten dan berimbang.
DAFTAR PUSTAKA

Doengoes, M.E. Townsend, M.C. Moorhouse, M.F. (2007). Rencana asuhan


keperawatan Psikiatri (terjemahan).Edisi 3.Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC

Elia, H. (2003). Korban Pelecehan Seksual Usia Muda ..!.


http://64.203.71.11/kesehatan/news/0307/21/103523.htm. Diakses
tanggal 28 Februari 2015

FKUI.(2006). Pendahuluan Sebuah Tinjauan


.http://www.freewebs.com/ childabusea1/.htm. Diakses tanggal
28 Februari 2015

Freewebs, (2006).Pola Child Sexual Abuse. http://www.freewebs.com/


forensik_sexual_abuse/.htm. Diakses tanggal 28 Februari 2015

Jeanne Wess, and Videbeck (2008) Metode Penelitian Pengetahuan Sosial.


Alih bahasa: Sulistia, Mujianto, Sofwan, Ahmad, dan
Suhardjito. Semarang: IKIP Semarang Press.

Maria. (2008). Hadapi Kekerasan Seksual Pada Anak Hendaknya Tetap


Mempertimbangkan Faktor Psikologis
http://apindonesia.com/new/index.php?option=com_content&task
=view&id=1656&Itemid=62. Diakses 28 Februari 2015

Minangsari, D. (2007. Merespons Anak yang Mengalami Pelecehan Seksual!.


http://www.kesrepro.info/?q=node/194. Diakses tanggal 28
Februari 2015

Pramono, B. (2009). Penyiksaan Anak. http://groups.yahoo.com/group/ urantia-


indonesia/message/1516. Diakses tanggal 28 Februari 2015
Smith, M.S. (1998). Sexual harassment in the Workplace: Perspectives,
Frontiers and Response Strategies. Vol 5 Women & Work,
Sage Publications, New Delhi.

Suda, I.K, (2006). Topik Interaktif: "Membedah Penyebab Kekerasan Seksual


terhadap Anak"Penyebab Kekerasan Seksual terhadap Anak
http://www.dradio1034fm.or.id/detail.php?id=4269. Diakses 28
Februari 2015

Townsend, M.C. (1998). Buku Saku Diagnosa Keperawatan pada Keperawatan


Psikiatri pedoman Untuk Pembuatan rencana Perawatan
(terjemahan).Edisi 3.Jakarta : penerbit Buku Kedokteran EGC.

Anda mungkin juga menyukai