Anda di halaman 1dari 49

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN

KEKERASAN SEKSUAL (SEXSUAL ABUSE)

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Keperawatan Anak III


Dosen Pembimbing : Dr. Meri Neherta, S. Kep., M. Biomed

Disusun Oleh :
Kelompok 2
1. Monika Diara Putri (1911311014)
2. Apriannur (1911311017)
3. Herma Desmillenia Bintari Lijang (1911311020)
4. Westy Ayuningtyas (1911311023)

Kelas : A2 2019

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2021/2021
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah “Asuhan Keperawatan pada Anak dengan Kekerasan Seksual”
dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak bisa menyelesaikan
makalah ini dengan baik. Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas di mata kuliah
Keperawatan Anak III. Makalah ini tidak hanya diambil dari satu sumber saja, melainkan dari
berbagai sumber.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan didalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan
kritik dan saran dari pembaca untuk makalah ini supaya makalah ini nantinya dapat menjadi
makalah yang lebih baik lagi. Apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini, penulis
mohon maaf. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Dosen yang telah membimbing
kami dalam penulisan makalah ini. Semoga makalah ini bisa bermanfaat.

Padang, 30 September 2021

Kelompok 2

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................. ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang............................................................................................... 1
1.2 Tujuan Penulisan............................................................................................ 1
1.3 Manfaat........................................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................. 3
2.1 Konsep Dasar Kekerasan Seksual pada Anak................................................ 3
2.1.1 Definisi Kekerasan Seksual pada Anak................................................ 3
2.1.2 Etiologi Kekerasan Seksual pada Anak................................................ 4
2.1.3 Manifestasi Klinis Kekerasan Seksual pada Anak................................ 6
2.1.4 Patofisiologi.......................................................................................... 8
2.1.5 Pemeriksaan Diagnostik........................................................................ 11
2.1.6 Penatalaksanaan.................................................................................... 11
2.1.7 Komplikasi Kekerasan Seksual pada Anak.......................................... 12
2.1.8 Prognosis Kekerasan Seksual pada Anak............................................. 13
2.2 Askep Teoritis Kekerasan Seksual pada Anak............................................... 14
BAB III KASUS DAN PEMBAHASAN................................................................ 29
3.1 Pengkajian...................................................................................................... 29
3.2 Analisis Data.................................................................................................. 29
3.3 Diagnosa......................................................................................................... 31
3.4 Intervensi........................................................................................................ 33
3.5 Implementasi dan Evaluasi............................................................................. 37
BAB IV ANALISIS JURNAL................................................................................. 55
BAB V PENUTUP.................................................................................................... 44
5.1 Kesimpulan..................................................................................................... 44
5.2 Saran .............................................................................................................. 44
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 45

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Di Indonesia kasus kekerasan seksual setiap tahun mengalami peningkatan, korbannya
bukan hanya dari kalangan dewasa saja sekarang sudah merambah ke remaja, anak anak
bahkan balita. Fenomena kekerasan seksual terhadap anak semakin sering terjadi dan menjadi
global hampir di berbagai negara. Kasus kekerasan seksual terhadap anak terus meningkat
dari waktu ke waktu. Peningkatan tersebut tidak hanya dari segi kuantitas atau jumlah kasus
yang terjadi, bahkan juga dari kualitas. Dan yang lebih tragis lagi pelakunya adalah
kebanyakan dari lingkungan keluarga atau lingkungan sekitar anak itu berada, antara lain di
dalam rumahnya sendiri, sekolah, lembaga pendidikan, dan lingkungan sosial anak.
Menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia ( KPAI ) pada tahun 2011 saja telah
terjadi 2.275 kasus kekerasan terhadap anak, 887 kasus diantaranya merupakan kekerasan
seksual anak. Pada tahun 2012 kekerasan terhadap anak telah terjadi 3.871 kasus, 1.028 kasus
diantaranya merupakan kekerasan seksual terhadap anak. Tahun 2013, dari 2.637 kekerasan
terhadap anak, 48 persennya atau sekitar 1.266 merupakan kekerasan seksual pada anak.
Anak menjadi kelompok yang sangat rentan terhadap kekerasan seksual karena anak
selalu diposisikan sebagai sosok lemah atau yang tidak berdaya dan memiliki ketergantungan
yang tinggi dengan orang-orang dewasa di sekitarnya. Kekerasan seksual pada anak adalah
pelanggaran moral dan hukum, serta melukai secara fisik dan psikologis. Kekerasan seksual
terhadap anak dapat dilakukan dalam bentuk sodomi, pemerkosaan, pencabulan, serta incest.
Fenomena kekerasan seksual terhadap anak ini, menunjukkan betapa dunia yang aman bagi
anak semakin sempit dan sulit ditemukan. Bagaimana tidak, dunia anak-anak yang
seharusnya terisi dengan keceriaan, pembinaan dan penanaman kebaikan, harus berputar
balik menjadi sebuah gambaran buram dan potret ketakutan karena anak sekarang telah
menjadi subjek pelecehan seksual.

1.2 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui pengkajian yang didapat dari masalah kekerasan seksual pada
anak.
2. Untuk mengetahui diagnosa yang dapat diangkat dari pengkajian kekerasan seksual
pada anak.
4
3. Untuk mengetahui outcome dari diagnosa yang diangkat pada masalah kekerasan
seksual pada anak.
4. Untuk mengetahui intervensi beserta aktivitas-aktivitas dari diagnosa pada masalah
kekerasan seksual pada anak.
5. Untuk mengetahui cara mengimplementasikan intervensi dari diagnosa pada
masalah kekerasan seksual pada anak.
6. Untuk mengetahui evaluasi dari asuhan keperawatan pada masalah kekerasan
seksual pada anak.

1.3 Manfaat
Makalah ini dibuat dengan harapan bisa memberikan manfaat kepada para pembaca
khususnya mahasiswa keperawatan agar dapat memahami serta mempelajari lebih dalam
mengenai asuhan keperawatan pada anak dengan kekerasan seksual.

5
BAB II
TINJAUAN TEORITIS

2.1 Konsep Dasar Kekerasan Seksual pada Anak


2.1.1 Definisi Kekerasan Seksual pada Anak
Penyiksaan seksual (sexual abuse) terhadap anak disebut Pedofilian atau penyuka
anak-anak secara seksual. Seorang Pedofilia adalah orang yang melakukan aktivitas
seksual dengan korban anak usia 13 tahun ke bawah. Penyakit ini ada dalam kategori
Sadomasokisme : adalah suatu kecenderungan terhadap aktivitas seksual yang meliputi
pengikatan atau menimbulkan rasa sakit atau penghinaan (Pramono, 2009).
Kemudian klasifikasi kekerasan/penganiayaan seksual pada anak menurut Resna
dan Darmawan (dalam Huraerah, 2006:60) diklasifikasi menjadi tiga kategori, antara
lain: perkosaan, incest, dan eksploitasi. Perkosaan biasanya terjadi
pada saat pelaku terlebih dahulu mengancam dengan memperlihatkan
kekuatannya kepada anak. Incest, diartikan sebagai hubungan seksual atau aktivitas
seksual lainnya antarindividu yang mempunyai hubungan dekat, yang perkawinan di
antara mereka dilarang, baik oleh hukum, kultur, maupun agama. Eksploitasi seksual
meliputi prostitusi dan pornografi (Suda, 2006).
Kekerasan seksual (sexual abuse), dapat didefinisikan sebagai perilaku seksual
secara fisik maupun non fisik oleh orang yang lebih tua atau memiliki kekuasaan
terhadap korban, bertujuan untuk memuaskan hasrat seksual pelakunya. Korban
mungkin saja belum atau tidak memahami perlakuan yang dilakukan terhadap dirinya,
mereka hanya merasa tidak nyaman, sakit, takut, merasa bersalah, dan perasaan lain
yang tidak menyenangkan (FKUI, 2006).
Kekerasan seksual (sexual abuse) pada anak mencakup penganiayaan seksual
secara fisik dan non fisik. Kekerasan fisik antara lain menyentuh alat kelamin atau
bagian tubuh lain yang bersifat pribadi, seks oral, penetrasi vagina/anus menggunakan
penis atau benda lain, memaksa anak membuka pakaian, sampai tindak perkosaan.
Sedangkan penganiyaan non fisik diantaranya memperlihatkan benda-benda yang
bermuatan pornografi atau aktivitas seksual orang dewasa, eksploitasi anak dalam
pornografi (gambar, foto, film, slide, majalah, buku), exhibitionism, atau mengintip
kamar tidur/kamar mandi (voyeurism). (Suda, 2006).

6
2.1.2 Etiologi Kekerasan Seksual pada Anak
Faktor-fakor yang menyebabkan terjadinya tindakan kekerasan seksual pada anak
adalah sebagai berikut:
1. Faktor kelalaian orang tua.. Kelalaian orang tua yang tidak memperhatikan
tumbuh kembang dan pergaulan anak yang membuat anak menjadi korban
kekerasan seksual..
2. Faktor rendahnya moralitas dan mentalitas anak. Moralitas dan mentalitas
yang tidak dapat bertumbuh dengan baik, membuat anak tidak dapat
mengontrol nafsu atau perilakunya.
3. Faktor ekomoni. Faktor ekonomi membuat pelaku kekerasan dengan mudah
memuluskan rencananya dengan memberikan iming-iming kepada anak yang
menjadi target dari pelaku kekerasan.
Menurut Townsend (1998) factor yang predisposisi (yang berperan dalam pola
penganiayaan anak (seksual abuse) antara lain:
1. Teori biologis
a. Pengaruh neurofisiologis. Perubahan dalam system limbik otak dapat
mempengaruhi perilaku agresif pada beberapa individu
b. Pengaruh biokimia, bermacam-macam neurotransmitter (misalnya
epinefrin, norepinefrin, dopamine, asetilkolin dan serotonin) dapat
memainkan peranan dalam memudahkan dan menghambat impuls-impuls
agresif
c. Pengaruh genetika. Beberapa penyelidikan telah melibatkan herediter
sebagai komponen pada predisposisi untuk perilaku agresif seksual, baik
ikatan genetik langsung maupun karyotip genetik XYY telah diteliti sebagai
kemungkinan.
d. Kelainan otak. Berbagai kelainan otak mencakup tumor, trauma dan
penyakit-penyakit tertentu (misalnya ensefalitis dan epilepsy), telah
dilibatkan pada predisposisi pada perilaku agresif.
2. Teori psikologis
a. Teori psikoanalitik. Berbadai teori psikoanalitik telah membuat hipotesa
bahwa agresi dan kekerasan adalah ekspresi terbuka dari ketidakperdayaan
dan harga diri rendah, yang timbul bila kebutuhan masa anak terhadap
kepuasan dan keamanan tidak terpenuhi.

7
b. Teori pembelajaran. Teori ini mendalilkan bahwa perilaku agresif dan
kekerasan dipelajari dari model yang membawa dan berpengaruh. Individu-
individu yang dianiaya seperti anak-anak atau yang orang tuanya
mendisiplinkan dengan hukuman fisik lebih mungkin untuk berperilaku
kejam sebagai orang dewasa.
3. Teori sosiokultural (pengaruh sosial)
Pengaruh sosial.Ilmuwan social yakin bahwa perilaku agresif terutama
merupakan hasil dari struktur budaya dan social seseorang.Pengaruhpengaruh
social dapat berperan pada kekerasan saat individu menyadari bahwa
kebutuhan dan hasrat mereka tidak dapat dipenuhi melalui cara-cara yang
lazim dan mereka mengusahakan perilaku-perilaku kejahatan dalam suatu
usaha untuk memperoleh akhir yang diharapkan.
Menurut Freewebs (2006) kekerasan seksual (sexual abuse) pada anak sering
muncul dalam berbagai kondisi dan lingkup sosial.
1. Kekerasan seksual dalam keluarga (Intrafamilial abuse)
Mencakup kekerasan seksual yang dilakukan dalam keluarga inti atau
majemuk, dan dapat melibatkan teman dari anggota keluarga, atau orang yang
tinggal bersama dengan keluarga tersebut, atau kenalan dekat dengan
sepengetahuan keluarga.Kekerasan pada anak adopsi ataupun anak tiri juga
termasuk dalam lingukup ini.
2. Kekerasan seksual di luar keluarga (Extrafamilial abuse)
Mencakup kekerasan yang dilakukan oleh orang dewasa yang kenal dengan
anak tersebut dari berbagai sumber, seperti tetangga, teman, orangtua dari
teman sekolah.
3. Ritualistic abuse
Mencakup kekerasan yang di lakukan oleh orang dewasa untuk mendapatkan
ilmu gaib atau ilmu hitam demi keperluan pribadinya.
4. Institutional abuse
Mencakup kekerasan seksual dalam lingkup institusi tertentu seperti sekolah,
tempat penitipan anak, kamp berlibur, seperti kegiatan pramuka, dan
organisasi lainnya.
5. Kekerasan seksual oleh orang yang tidak dikenal (Street or stranger abuse)
Penyerangan pada anak-anak di tempat-tempat umum.

8
Ada beberapa pandangan berbeda penyebab kekerasan seksual yang menimpa
anak. Orang yang mencabuli anak-anak dianggap orang yang mengalami disfungsi
karena kecanduan alkohol, tidak memiliki pekerjaan tetap dan penghasilan yang mapan,
serta tingkat pendidikan yang rendah. Menurut Cok Gede Atmadja, pencabulan
terhadap anak terjadi karena himpitan ekonomi. Sementara Magdalena Manik, aktivis
Forum Sayang Anak, menyatakan pencabulan terhadap anak disebabkan meluasnya
budaya permisif, dan ketidakkonsistenan pihak kepolisian dalam mengambil tindakan
hukum terhadap pelaku incest (Suda, 2006).
Koran Tokoh (Edisi 337/TahunVII, 5—11 Juni 2005:14) menulis beberapa
pemicu terjadinya pencabulan terhadap anak, khususnya oleh orangtua.
1. Pertama, pelaku tidak bisa lagi melakukan hubungan dengan istri karena
alasan kesehatan atau telah lama menduda.
2. Kedua, pelaku ingin menyempurnakan ilmu kebatinan yang sedang
ditekuninya.
3. Ketiga, pelaku tidak tahan melihat kemontokan tubuh anak perempuannya,
atau melihat anak perempuannya ke luar kamar mandi menggunakan handuk.
Bahkan, bisa pula pelaku melakukan pelecehan seksual terhadap anak
perempuan, karena terpengaruh film porno (Atmadja, 2005:139 dalam Suda,
2006).

2.1.3 Manifestasi Klinis Kekerasan Seksual pada Anak


Gejala seorang anak yang mengalami pelecehan seksual tidak selalu jelas. Ada
anak-anak yang menyimpan rahasia pelecehan seksual yang dialaminya dengan
bersikap "manis" dan patuh, berusaha agar tidak menjadi pusat perhatian. Meskipun
pelecehan seksual terhadap anak tidak memperlihatkan bukti mutlak, tetapi jika tanda-
tanda di bawah ini tampak pada anak dan terlihat terus menerus dalam jangka waktu
panjang, kiranya perlu segera mempertimbangkan kemungkinan anak telah mengalami
pelecehan seksual (minangsari, 2007)
Tanda dan indikasi ini anak telah mengalami pelecehan seksual:
1. Balita
a. Tanda-tanda fisik, antara lain memar pada alat kelamin atau mulut, iritasi
kencing, penyakit kelamin, dan sakit kerongkongan tanpa penyebab jelas
bisa merupakan indikasi seks oral.

9
b. Tanda perilaku emosional dan sosial, antara lain sangat takut kepada siapa
saja atau pada tempat tertentu atau orang tertentu, perubahan kelakuan yang
tiba-tiba, gangguan tidur (susah tidur, mimpi buruk, dan ngompol), menarik
diri atau depresi, serta perkembangan terhambat.
2. Anak usia prasekolah
a. Tanda fisik: antara lain perilaku regresif, seperti mengisap jempol,
hiperaktif, keluhan somatik seperti sakit kepala yang terus-menerus, sakit
perut, sembelit.
b. Tanda pada perilaku emosional dan sosial: kelakuan yang tiba-tiba berubah,
anak mengeluh sakit karena perlakuan seksual.
c. Tanda pada perilaku seksual: masturbasi berlebihan, mencium secara
seksual, mendesakkan tubuh, melakukan aktivitas seksual terang-terangan
pada saudara atau teman sebaya, tahu banyak tentang aktivitas seksual, dan
rasa ingin tahu berlebihan tentang masalah seksual.
3. Anak usia sekolah
Memperlihatkan tanda-tanda di atas serta perubahan kemampuan belajar,
seperti susah konsentrasi, nilai turun, telat atau bolos, hubungan dengan teman
terganggu, tidak percaya kepada orang dewasa, depresi, menarik diri, sedih,
lesu, gangguan tidur, mimpi buruk, tak suka disentuh, serta menghindari hal-
hal sekitar buka pakaian.
4. Remaja
Tandanya sama dengan di atas dan kelakuan yang merusak diri sendiri, pikiran
bunuh diri, gangguan makan, melarikan din, berbagai kenakalan remaja,
penggunaan obat terlarang atau alkohol, kehamilan dini, melacur, seks di luar
nikah, atau kelakuan seksual lain yang tak biasa.
Sedangkan menurut Townsend (1998) simtomatologi dari
penganiayaan/kekerasan seksual pada anak (sexual abuse) antara lain :
1. Infeksi saluran kemih yang sering
2. Kesulitan atau nyeri saat berjalan atau duduk
3. Kemerahan atau gatal pada daerah genital, menggaruk daerah tersebut secara
sering atau gelisah saat duduk
4. Sering muntah
5. Perilaku menggairahkan, dorongan masturbasi, bermain seks dewasa sebelum
waktunya
10
6. Ansietas berlebihan dan tidak percaya kepada orang lain
7. Penganiyaan seksual pada anak yang lain

2.1.4 Patofisiologi (Patoflow)


Menurut Tower (2002) dalam Maria (2008) kekerasan seksual pada anak dapat
terjadi satu kali, beberapa kali dalam periode berdekatan, bahkan menahun. Walaupun
berbeda-beda pada setiap kasus, kekerasan seksual tidak terjadi begitu saja, melainkan
melalui beberapa tahapan antara lain :
1. Tahap awal, pelaku membuat korban merasa nyaman. Ia menyakinkan
bahwa apa yang dilakukannya "tidak salah" secara moral. Pelaku mencoba
menyentuh sisi kbutuhan anak akan kasih saying dan perhhatian,
penerimaan dari orang lain, atau mencoba menyamakannya dengan
permainan dan menjanjikan imbalan material yang menyenangkan. Pelaku
dapat mengintimidasi secara halus ataupun bersikap memaksa secara
kasar.
2. Tahap kedua, adalah interaksi seksual. Perilaku yang terjadi bisa saja hanya
berupa mengintip sampai perilaku yang intensitasnya berat, yaitu memakasa
anak untuk melakukan hubungan seksual. Setelah kejadian tersebut, pelaku
mengancam korban agar merahasiakan apa yang terjadi kepada orang lain.
3. Tahap berikutnya, adalah tahapan dimana korban mau menceritakan
pengalamannya kepada orang lain. Kemungkinan korban merahasiakan
pengalamannya sampai berusia dewasa, atau menceritakannya kepada orang
yang mempunyai kedekatan emosional dengannya, sehingga ia merasa aman.
Pelaku "mencobai" korban sedikit demi sedikit, mulai dari :
1. Pelaku membuka pakaiannya sendiri
2. Pelaku meraba-raba bagian tubuhnya sendiri
3. pelaku memperlihatkan alat kelaminnya
4. Pelaku mencium korban dengan pakaian lengkap
5. Pelaku meraba bagian-bagian tubuh korban : payudara, alat kelamin, dan
bagian lainnya.
6. Masturbasi, dilakukan oleh pelaku sendiri atau pelaku dan korban saling
menstimulasi.
7. Oral sex, dengan menstimilasi alat kelamin korban
8. Sodomi
11
9. Petting
10.Penetrasi alat kelamin pelaku
Anak yang memiliki resiko mengalami kekerasan seksual biasanya adalah anak-
anak yang biasa ditinggalkan sendiri dan tidak mendapat pengawasan dari orang yang
lebih dewasa, terutama ibu. Tidak hanya kehadiran secara fisik, kedekatan emosional
antara ibu dan anak pun merupakan faktor yang penting (Maria, 2008). Menurut Maria
(2008) dampak kekerasan seksual pada anak adalah sebagai berikut :
1. Stress: akut, traumatic – PTSD (post traumatik stress disorder)
2. Agresif, menjadi pelaku kekerasan, tidak percaya diri
3. Rasa takut, cemas
4. Perilaku seksual yang tidak wajar untuk anak seusianya
Tidak diragukan lagi bahwa kekerasan seksual dapat memberikan dampak jangka
pendek maupun jangka panjang bagi korbannya. Pada anak lainnya, ada kemungkinan
gangguan tersebut di 'tekan' sehingga tidak teramati dari luar sampai ada pemicu yang
menampilkan gejolak emosi mereka, misalnya saat anak memasuki usia remaja dan
mulai dekat dengan lawan jenis, atau pada saat mereka akan menikah. selain itu, sangat
mungkin anak yang menjadi korban kekerasan seksual kemudian justru malah menjadi
pelaku kekerasan seksual terhadap anak lain (Maria, 2008).
Menghadapi anak yang mengalami kekerasan seksual, kata Maria, hendaknya
tetap mempertimbangkan faktor psikologis.Tidak hanya pada posisi anak sebagai
korban, yang tentunya berisiko mengalami stres bahkan trauma, tapi juga perlu
penanganan yang baik pada anak sebagai pelaku kekerasan. Anak sebagai pelaku
kekerasan seksual, sangat mungkin sebelumnya adalah korban dari kekerasan seksual
yang dilakukan oleh pelaku lain. Kemungkinan motif kekerasan yang dilakukannya
adalah untuk eksploitasi-memuaskan rasa ingin tahu, atau menirukan kejadian yang
dialami sebelumnya, baik dari perlakuan langsung maupun dari media yang
dilihatnya.Dengan adanya azas praduga tak bersalah, hendaknya ditelusuri dengan
mendalam faktor yang mendorong anak menjadi pelakukekerasan seksual, agar anak
tidak dua kali menjadi korban (Maria, 2008).
Berbagai bentuk kekerasan seksual terhadap anak, khususnya anak perempuan di
masyarakat, selalu diwarnai kekerasan fisik atau psikologis.Jika meminjam gagasan
Giddens (2004) tentang kekerasan lakilaki dalam menyalurkan libidonya, tindakan
tersebut berkaitan dengan label yang diberikan masyarakat kepada laki-laki.Laki-laki
harus jantan menangani sektor publik dan urusan seksual. Di sisi lain, meluasnya sistem
12
ekonomi kapitalisme global mengakibatkan banyak orang termarjinal, bahkan
terhimpit, baik secara ekonomi maupun psikologis. Akibatnya, harga diri mereka dalam
keluarga dan masyarakat mengalami goncangan.Begitu pula hubungan seksual mereka
dengan istrinya bisa terganggu. Kondisi ini bisa diperparah lagi karena usia tua,
impotensi, ejakulasi dini, kekhawatiran ukuran dan fungsi penis, dan lainnya. Ini
menimbulkan rasa tidak aman dan kekawatiran yang mendalam (Suda, 2006).
Berikut ini jenis-jenis kekerasan seksual berdasarkan pelakunya (Tower, 2002
dalam Maria, 2008) :
1. Kekerasan yang dilakukan oleh anggota keluarga.
Dilakukan oleh ayah, ibu atau saudara kandung. Selain itu, kekerasan seksual
mungkin pula dilakukan oleh orang tua angkat/tiri, atau orang lain yang
tinggal serumah dengan korban.
2. Kekerasan yang dilakukan oleh orang lain di luar anggota keluarga.
Kekerasan seksual dapat dilakukan oleh siapa saja, tidak dibatasi perbedaan
jenis kelamin, suku, agama, tingkat sosial ekonomi, dan sebagainya.Sebagian
besar pelaku adalah pria dan orang yang melakukan orang yang cukup dikenal
oleh korban, misalnya tetangga, guru, sopir, baby-sittter.Pelaku bisa saja
mengalami kelainan seperti paedophilia, pecandu seks, atau sangat mungkin
teman sebaya. Kemungkinan pelaku penah menjadi korban kekerasan seksual
sebelumnya,atau menirukan perilaku orang lain. salah satu penyebabnya
adalah untuk mengatasi trauma akibat kekesaran seksual yang dialaminya, atau
sekedar memenuhi rasa ingin tahu.
Efek klinis pencabulan berkisar dari pendarahan pada genital dan anus, fisur pada
anus, pembesaran liang vagina dan anus, dan penipisan/kerusakan hymen pada vagina.
Efek psikologis pencabulan terhadap anak umumnya berjangka panjang, antara lain:
kemarahan, kecemasan, mimpi buruk, rasa tak Iman, kebingungan, ketakutan,
kesedihan, dan perubahan perilaku baik menjadi buruk.

13
2.1.5 Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Doenges et. al (2007) pemeriksaan diagnostic yang dilakukan pada anak
dengan sexual abuse bergantung pada situasi dan kebutuhan individu. Uji skrining
(misalnya Daftar Periksa Perilaku Anak), peningkatan nilai pada skala internalisasi
yang menggambarkan perilaku antara lain ketakutan, segan, depresi, pengendalian
berlebihan atau di bawah pengendalian, agresif dan antisosial.

2.1.6 Penatalaksanaan
Terkait dengan kasus kekerasan seksual pada anak, Jongsma, Peterson dan
Mclnnis (2000) menyatakan bahwa terapi bermain (play therapy) merupakan salah satu
metode untuk mengidentifikasi dan menggalikan perasaan anak korban kekerasan
seksual. Melalui terapi bermain selain kasus dapat diidentifikasi apa yang terjadi pada
diri anak, anak juga dapat mengekpresikan perasaan atas kasus yang terjadi pada
dirinya.
Menurut Suda (2006) ada beberapa model program counseling yang dapat
diberikan kepada anak yang mengalami sexual abuse, yaitu :
a. The dynamics of sexual abuse.
14
Artinya, terapi difokuskan pada pengambangan konsepsi. Pada kasus tersebut
kdsalahan dan tanggung jawa berada pada pelaku bukan pada korban. Anak
dijamin tidak disalahkan meskipun telah terjadi kontak seksual.
b. Protective behaviors counseling.
Artinya, anak-anak dilatih menguasai keterampilan mengurangi kerentannya
sesuai dengan usia. Pelatihan anak prasekolah dapat dibatasi; berkata tidak
terhadap sentuhan-sentuhan yang tidak diinginkan; menjauh secepatnya dari
orang yang kelihatan sebagai abusive person; melaporkan pada orangtua atau
orang dewasa yang dipercaya dapat membantu menghentikan perlakuan salah.
c. Survivor/self-esteem counseling.
Artinya, menyadarkan anak-anak yang menjadi korban bahwa mereka
sebenarnya bukanlah korban, melainkan orang yang mampu bertahan
(survivor) dalam menghadapi masalah sexual abuse. Keempat, feeling
counseling. Artinya, terlebih dahulu harus diidentifikasi kemampuan anak
yang mengalami sexual abuse untuk mengenali berbagai perasaan. Kemudian
mereka didorong untuk mengekspresikan perasaan-perasaannya yang tidak
menyenangkan, baik pada saat mengalami sexual abuse maupun sesudahnya.
Selanjutnya mereka diberi kesempatan untuk secara tepat memfokuskan
perasaan marahnya terhadap pelaku yang telah menyakitinya, atau kepada
orang tua, polisi, pekerja sosial, atau lembaga peradilan yang tidak dapat
melindungi mereka.
d. Cognitif terapy.
Artinya, konsep dasar dalam teknik ini adalah perasaan-perasaan seseorang
mengenai beragam jenis dalam kehidupannya dipengaruhi oleh pikiran-pikiran
mengenai kejadian tersebut secara berulang-lingkar.

2.1.7 Komplikasi Kekerasan Seksual pada Anak


Anak korban kekerasan seksual tidak hanya memiliki bekas luka pada tubuhnya,
namun juga luka emosional, perilaku menyimpang, dan penurunan fungsi otak. Berikut
beberapa efek kekerasan pada anak:
1. Emosi
Misalnya, anak menjadi lebih sering sedih atau marah, sulit tidur, bermimpi
buruk, memiliki rasa percaya diri yang rendah, ingin melukai diri sendiri, atau

15
bahkan keinginan untuk bunuh diri. Mereka juga menjadi sulit berinteraksi
dengan orang lain dan cenderung melakukan tindakan yang berbahaya.
2. Penurunan fungsi otak
Efek kekerasan seksual pada anak juga dapat memengaruhi struktur dan
perkembangan otak, hingga terjadi penurunan fungsi otak di bagian tertentu.
Hal tersebut berpotensi menimbulkan efek jangka panjang, mulai dari
penurunan prestasi akademik, hingga gangguan kesehatan mental pada saat
dewasa.
3. Tidak mudah memercayai orang lain
Anak korban kekerasan seksual merasakan pengalaman buruk dalam hal
penyalahgunaan rasa percaya dan rasa keamanan. Saat mereka dewasa nanti,
mereka akan kesulitan untuk memercayai orang lain.
4. Sulit mempertahankan hubungan pribadi
Pengalaman sebagai korban kekerasan seksual pada anak dapat membuat
mereka menjadi sulit memercayai orang lain, mudah cemburu, merasa curiga,
atau merasa kesulitan mempertahankan hubungan pribadi untuk jangka waktu
yang lama karena rasa takut. Kondisi ini berisiko membuat mereka merasa
kesepian. Penelitian menunjukkan, banyak korban kekerasan anak yang
mengalami kegagalan dalam membina hubungan asmara dan pernikahan pada
saat dewasa.
5. Memiliki risiko gangguan kesehatan yang lebih tinggi
Efek kekerasan seksual pada anak juga dapat memengaruhi kesehatan dan
tumbuh kembang anak. Korban kekerasan anak berisiko mengalami gangguan
kesehatan yang lebih tinggi, baik secara psikis maupun fisik, pada saat mereka
tumbuh dewasa.

2.1.8 Prognosis Kekerasan Seksual pada Anak


Prognosis kekerasan seksual pada anak tergantung pada frekuensi dan durasi
kekerasan yang telah mereka terima. Semakin sering kekerasan yang diterima, maka
trauma yang timbul juga akan semakin besar dan membutuhkan pemulihan jangka
panjang. Untuk mencegah hal-hal mengerikan terjadi pada anak, keluarga terutama
orang tua harus berperan aktif dalam mengawasi dan mendidik anak. Anak harus
diajarkan batasan-batasan mengenai dirinya. Pemerintah juga memiliki peran untuk
melindungi hak-hak anak dan berkewajiban menghukum pelaku dengan hukuman
16
maksimal. Mungkin luka fisik dapat sembuh dalam waktu yang tidak lama, namun luka
psikis akan terekam oleh anak dalam waktu yang sangat lama. Perkembangan fisik dan
mental anak juga akan ikut terluka.

2.2 Askep Teoritis Kekerasan Seksual pada Anak


2.2.1 Pengkajian
1. Identitas
a. Pasien
Nama pasien, jenis kelamin, tanggal lahir, umur, suku, alamat, tanggal
masuk rs, diagnosa medis.
b. Penanggung Jawab
Nama , umur, pekerjaan, pendidikan, alamat, hubungan.
2. Menurut Doenges Et.Al (2007) Pengkajian Anak yang Mengalami
Penganiayaan Seksual ( Sexual Abus ) antara lain :
a. Aktivitas atau Istirahat
Masalah tidur (misalnya tidak padat tidur atau tidur berlebihan, mimpi
buruk, berjalan saat tidur, tidur di tempat yang asing, keletihan.
b. Integritas Ego
 Pencapaian diri negatif, menyalahkan diri sendiri / meminta ampun
karena tindakannya terhadap orang tua.
 Harga diri rendah ( pelaku / korban penganiayaan seksual yang selamat )
 Perasaan bersalah, marah, takut dan malu, putus asa dan tidak berdaya
 Minimisasi atau penyangkalan signifikasi perilaku ( mekanisme
pertahanan yang paling dominan / menonjol )
 Penghindaran atau takut pada orang, tempat, objek tertentu, sikap
menunduk, takut ( terutama jika ada pelaku )
 Melaporkan faktor stres ( misalnya keluarga tidak bekerja, perubahan
finansial, pola hidup, perselisihan dalam pernikahan )
 Permusuhan terhadap /objek / tidak percaya pada orang lain.
c. Eliminasi
 Enuresisi, enkopresis
 Infeksi saluran kemih yang berulang
 Perubahan tonus sfingter.

17
d. Makan Dan Minum
Muntah sering, perubahan selera makan ( anoreksia ), makan berlebihan,
perubahan berat badan, kegagalan memperoleh berat badan yang sesuai .
e. Higiene
 Mengenakan pakaian yang tidak sesuai dengan kondisi cuaca
( penganiayaan seksual ) atau tidak adekuat memberi perlindungan.
 Mandi berlebihan / ansietas ( penganiayaan seksual ), penampilan
kotor/tidak terpelihara.
f. Neurosensori
 Perilaku ekstrem ( tingkah laku sangat agresif / menuntut ), sangat amuk
atau pasivitas dan menarik diri, perilaku tidak sesuai dengan usia
 Status mental : memori tidak sadar, periode amnesia, laporan adanya
pengingatan kembali. Pikiran tidak terorganisasi, kesulitan konsentrasi /
membuat keputusan. Afek tidak sesuai, mungkin sangat waspada, cemas
dan depresi.
 Perubahan alam perasaan, kepribadian ganda, cinta, kebaikan dan
penyesalan yang dalam setelah penganiayaan seksual terjadi.
 Kecemburuan patologis, pengendalian impuls yang buruk, ketrampilan
koping terbatas, kurang empati terhadap orang lain.
 Membantung. Menghisap jempol atau perilaku kebiasaan lain : gelisah
( korban selamat ).
 Manifestasi psikiatrik ( misal : fenomena disosiatif meliputi kepribadian
ganda ( penganiayaan seksual ), gangguan kepribadian ambang
( koebaninses dewasa ). Adanya defisit neurologis / kerusakaan SSP
tanpa tanda-tanda cedera eksternal
g. Nyeri atau Ketidaknyamanana
Bergantung pada cedera / bentuk penganiayaan seksual. Berbagai keluhan
somatik ( misalnya nyeri perut, nyeri panggul kronis, spastik kolon, sakit
kepala )
h. Keamanan
 Memar, tanda bekas gigitan, bilur pada kulit, terbakar ( tersiram air
panas ,rokok) ada bagian botak di kepala, laserasi, perdarahan yang tidak

18
wajar, ruam / gatal di area genital, fisura anal, goresan kulit, hemoroid,
jaringan parut, perubahan tonus sfingter.
 Cedera berulang, riwayat bermacam kecelakaan, fraktur/ cedera internal.
 Perilaku mencederai diri sendiri ( bunuh diri ), keterlibatan dalam
aktivitas dengan risiko tinggi. Kurangnya pengawasan sesuai usia, tidak
ada perhatian yang dapat menghindari bahaya di dalam rumah
i. Seksualitas
 Perubahan kewaspadaan / aktivitas seksual, meliputi masturbasi
kompulsif, permainan seks dewasa sebelum waktunya, kecenderungan
mengulang atau melakukan kembali pengalaman inses. Kecurigaan yang
berlebihan tentang seks, secara seksual menganiaya anak lain.
 Perdarahan vagina , laserasi himen linier, bagian mukosa berlendir.
 Adanya PMS, vaginitis, kutil genital atau kehamilan (terutama pada
anak).
j. Interaksi Sosial
Menarik diri dari rumah, pola interaksi dalam keluarga secara verbal kurang
responsif, peningkatan penggunaan perintah langsung dan pernyataan kritik,
penurunan penghargaan atau pengakuan verbal, merasa rendah
diri.Pencapaian restasi disekolah rendah atau prestasi di sekolah menurun.

3. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaaan Umum
Tingkat kesadaran, tanda vital ( nadi, suhu, respirasi ), status gizi ( BB, TB,
IMT )
b. Pemeriksaan Cephalo Caudal
 Kulit
Memar, tanda bekas gigitan, bilur pada kulit, terbakar ( tersiram air
panas, rokok), goresan kulit, jaringan parut, perubahan tonus sfingter.
 Kepala
Ada bagian botak di kepala, laserasi.
 Mata
Mata pasien tampak sembab, conjungtiva tidak anemis, refleks terhadap
cahaya baik, tidak terdapat udem palpebral, tidak ada ikterik.

19
 Telinga
Bentuk normal, daun dan lubang telinga pasien bersih, tidak keluar
cairan, fungsi pendengaran pasien baik.
 Hidung
Pernapasan cuping hidung tidak ada, posisi septum simetris, tidak ada
sekret yang keluar dari hidung.
 Mulut
Mulut utuh, tidak ada bentuk bibir sumbing, palatum utuh. Tidak ada
sariawan, membran mukosa bibir lembab.
 Leher
Bentuk leher pasien simetris,tidak ada penggunaan otot bantu pernafasan
tambahan. JVP tidak meningkat. Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid.
 Dada ( Paru dan Jantung )
 Inspeksi
Dada simetris, tidak ada retraksi, diameter anteroposterior : lateral
1:1. Saat bernapas pergerakan sama dan tidak ada bagian yang
tertinggal pergerakannya. Tidak ada lesi, ikterik, keloid, warna kulit
merata. Iktus kordis tidak terlihat.
 Palpasi
Tidak terdapat nyeri tekan. Iktus kordis teraba normal
 Perkusi
Suara sonor pada paru kanan dan kiri. Suara IC 4-5 sinistra redup
 Auskultasi
Seluruh lapang dada terdengar suara vesikuler. Tidak ada murmur dan
gallop.
 Abdomen
Nyeri perut, nyeri panggul kronis , spastik kolon.
 Genetalia
Ruam / gatal di area genital, adanya PMS, vaginitis, kutil genital.
 Eksremitas
 Ekstremitas atas :anggota gerak lengkap tidak ada kelainan. Capillary
refill < 2 detik. Kulit bewarna putih. Akral teraba hangat (+/+).
Terpasang infus pada tangan kiri.

20
 Ekstremitas bawah : anggota gerak lengkap tidak ada kelainan.
Capillary refill <2 detik. Kulit bewarna putih. Akral teraba hangat
(+/+)
 Anus
 Lubang anus (+)
 Fisura anal dan hemoroid,

2.2.2 Diagnosa dan Intervensi


Diagnosa SLKI SIKI
Isolasi Sosial Keterlibatan Sosial (L.13116) Terapi Aktivitas
b.d gangguan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Aktivitas aktivitas :
psikiatrik ; selama …x24 jam diharapkan Keterlibatan  Obsevasi
perubahan Sosial pasien Meningkat, dengan kriteria  Identifikasi defisit
status mental hasil : tingkat aktivitas
d.d menarik diri  Meningkat :  Identifikasi
(D.0121)  Minat Interaksi (5) kemampuan
 Minat terhadap aktivitas (5) berpartisipasi dalam
 Menurun : aktivitas tertentu
 Verbalisasi isolasi (5)  Monitor respon
 Verbalisasi ketidakamanan emosional, fisik,
ditempat umum (5) sosial, danspiritual
 Perilaku menarik diri (5) terhadap aktivitas
 Efek murung/sedih (5)  Terapeutik
 Membaik :  Fasilitasi fokus pada
 Perilaku bertujuan (5) kemampuan, bukan
 Kontak mata (5) defisit yang dialami
 Tugas perkembangan sesuai  Koordinasikan
usia (5) pemilihan aktivitas
sesuai aktivitas
 Fasilitasi makna
aktivitas yang dipilih
 Fasilitasi pasien dan
keluarga dalam

21
menyesuaikan
lingkungan untuk
mengakomodasi
aktivitas yang dipilih
 Fasilitasi aktivitas
fisik rutin
 Fasilitasi aktivitas
pengganti saat
mengalami
keterbatasan waktu,
energi atau gerak
 Libatkan keluarga
dalam aktivitas jika
perlu
 Berikan penguatan
positif atas partisipasi
dalama ktivitas
 Edukasi
 Jelaskan metode
aktivitas fisik sehari-
hari
 Ajarkan cara
melakukan aktivitas
yang dipilih
 Aajrkan terlibat dalam
aktivitas kelompok
atau terapi, jika sesuai
 Ajarkan keluarga
untuk memberikan
penguatan positif atau
partisipasi dalam
aktivitas
 Kolaborasi

22
 Kolaborasi dengan
terapis okupasi dalam
merencanakan dan
memonitor program
aktivitas
 Rujuk pada pusat atau
program aktivitas
komunitas, jika perlu
Risiko Cedera Tingkat cedera (L.14136) Terapi Trauma Anak
d.d perubahan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Aktivitas aktivitas :
orientasi afektif selama …x24 jam diharapkan Tingkat  Obsevasi
(D.0136) Cedera pasien Menurun, dengan kriteria  Identifikasi trauma
hasil : dan maknanya pada
 Meningkat : anak
 Nafsu makan (5)  Terapeutik
 Menurun :  Gunakan bahasa yang
 Kejadian Cedera (5) sesuai perkembangan
 Luka/lecet (5) untuk bertanya tentang
 Fraktur (5) trauma
 Gangguan kognitif (5)  Gunakan prosedur
 Membaik : relaksasi dan
 Tekanan darah (5) desentisisasi untuk
 Frekuensi Nadi (5) memfasilitasi anak
 Frekuensi napas (5) menggambarkan
 Denyut jantung (5 kejadian
 Pola istirahat/tidur (5)  Bangun kepercayaan,
keamanan dan hak
untuk mendapatkan
akses dengan hati-hati
 Gunakan seni dan
bermain untukm
endukung ekspresi
perasaan

23
 Libatkan keluarga atau
pengasuh dalam terapi
 Fasilitasi orang tua
mengatasi tekanan
emosional mereka
sendiri terhadap
trauma
 Hindari melibatkan
orang tua atau
pengasuh jika mereka
menjadi penyebab
trauma
 Edukasi
 Jelaskan tujuan dari
prosedur terapi
 Jelaskan respon anak
terhadap trauma
Sindrome Ketahanan Personal (L.09073) Manajemen Trauma
Pasca Trauma Setelah dilakukan tindakan keperawatan Perkosaan
b.d riwayat selama …x24 jam diharapkan Ketahanan Aktivitas aktivitas :
korban perilaku Personal pasien Meningkat, dengan  Obsevasi
kekerasan d.d kriteria hasil :  Identifikasi apakah
merasa cemas,  Meningkat : sudah membersihkan
mengungkapkan  Verbalisasi harapan yang diri setelah
secara positif (5) pemerkosaan
berlebihan  Verbalisasi perasaan (5)  Identifikasi status
untuk  Menunjukkan harga diri positif mental,kondisi fisik,
menghindari (5) bukti kekerasan, dan
pembicaraan  Mencari dukungan emosional riwayat ginekologis.
kejadian trauma (5)  Identifikasi adanya
(D.0104)  Menghindari penyalahgunaan luka, memar,
obat (5) pendarahan,
 Menggunakan strategi untuk laserasi,atau tanda

24
meningkatkan keamanan dan cedera fisik lain
menghindari bahaya (5)  Terapeutik
 Verbalisasi kesiapan untuk  Berikan
belajar (5) pendampingan selama
perawatan
 Lakukan prosedur
pemeriksaan
pemerkosaan
 Amankan sampel
sebagai bukti proses
hukum, jikaperlu
 Lakukan intervensi
krisis, jika perlu
 Tawarkan pengobatan
pencegahan kehamilan
dan antibiotik
profilaksis
 Rujuk ke program
advokasi pemrkosaan
 Dokumentasikan
sesuai dengan
protokol
 Edukasi
 Jelaskan proses
hukum
 Jelaskan prosedur
pemeriksaan
pemerkosaan dan
informed consent
tindakan
 Kolaborasi
 Kolaborasi
pemeriksaan HIV,

25
jika diindikasikan
Anxiety / Tingkat Ansietas (L.09093) Terapi Relaksasi
Kecemasan b.d Setelah dilakukan tindakan keperawatan Aktivitas aktivitas :
ancaman selama …x24 jam diharapkan Tingkat  Obsevasi
terhadap konsep Ansietas pasien Menurun, dengan kriteria  Identifikasi penurunan
diri d.d sulit hasil : tingkat energi,
berkonsentrasi ,  Menurun : ketidakmampuan
khawatir,  Verbalisasi kebingungan (5 berkonsentrasi, atau
tampak gelisah  Verbalisasi khawatir akibat gejala lain yang
dan merasa kondisi yang dihadapi (5 mengganggu
tidak berdaya  Perilaku gelisah (5) kemampuan kognitif
(D.0080)  Perilaku tegang (5)  Identifikasi teknik
 Keluhan pusing (5) relaksasi yang pernah
 Frekuensi pernapasan (5) efektif digunakan
 Frekuensi Nadi (5)  Identifikasi kesediaan,
 Tekanan darah (5) kemampuan, dan
 Pucat (5) penggunaan teknik
 Membaik : sebelumnya
 Konsentrasi (5)  Periksa ketegangan
 Pola tidur (5) otot, frekuensi nadi,
 Perasaan keberdayaan (5) tekanan darah, dan
 Kontak mata (5) suhu sebelum dan
 Orientasi (5) sesudah latihan
 Monitor respon terapi
relaksasi
 Terapeutik
 Ciptakan lingkungan
tenang dantanpa
gangguan dengan
pencahayaan dan suhu
ruang nyaman
 Berikan informasi
tertulis tentang

26
persiapan dan
prosedur teknik
relaksasi
 Gunakan pakaian
longgar
 Gunakan nada suara
lembut, dengan irama
lambat dan berirama
 Gunakan relaksasi
sebagai strategi
penunjang dengan
analgetik atau
tindakan medis lain
jika sesuai
 Edukasi
 Jelaskan tujuan,
manfaat, batasan, dan
jenis relaksasi yang
tersedia
 Jelaskan secara rinci
intervensi relaksasi
yang dipilih
 Anjurkan mengambil
posisi nyaman
 Anjurkan rileks dan
merasakan sensasi
relaksasi
 Anjurkan sering
mengulangi atau
melatih teknik
relaksasi
 Demonstrasikan dan
latih teknik relaksasi

27
Risiko Status Perkembangan (L.10101) Promosi Perkembangan
Gangguan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Anak
Perkembangan selama …x24 jam diharapkan Status Aktivitas aktivitas :
/ Risiko Perkembangan pasien Membaik, dengan  Obsevasi
Keterlambatan kriteria hasil :  Identifikasi
Perkembangan  Meningkat : kebutuhan khusus
d.d  Keterampilan/perilaku sesuai anak dan kemampuan
penganiayaan ; usia (5) adaptasi anak
seksual  Kemampuan melakukan  Terapeutik
(D.0107) perawatan diri (5)  Fasilitasi hubungan
 Respon social (5) anak dengan
 Kontak mata (5) temansebaya
 Menurun :  Dukung anak
 Kemarahan (5) berinteraksi dengan
 Regresi (5) anak lain
 Membaik :  Dukung anak
 Afek (5) mengekspresikan
 Pola tidur (5) perasaannya secara
positif
 Dukung anak dalam
bermimpi atau
berfantasi sewajarnya
 Diskusikan bersama
remaja tujuan dan
harapannya
 Berikan mainan sesuai
dengan usia anak
 Edukasi
 Ajarkan teknik asertif
pada anak dan remaja
 Demonstrasikan
kegiatan yang
meningkatkan

28
perkembangan pada
pengasuh
 Kolaborasi
 Rujuk untuk konseling
jika perlu
Defisit Nutrisi / Status Nutrisi (L.03030) Manajemen Nurtisi
Nutrisi Kurang Setelah dilakukan tindakan keperawatan Aktivitas aktivitas :
dari selama …x24 jam diharapkan Status  Obsevasi
Kebutuhan Nutrisi pasien Membaik, dengan kriteria  Identifikasi status
Tubuh b.d hasil : nutris
factor  Meningkat :  Identifikasi alergi
psikologis ;  Porsi makanan yang  Identifikasi makanan
keengganan dihabiskan (5) yang disukai
untuk makan  Verbalisasi keinginan untuk  Identifikasi kebutuhan
dan stress d.d meningkatkan nutrisi (5) kalori danjenis nutrien
nafsu makan  Pengetahuan tentang pilihan  Monitor asupan
menurun, berat makanan dan minuman sehat makanan
badan menurun (5)  Monitor berat badan
minimal 10%  Sikap terhadap  Terapeutik
dibawah makanan/minuman sesuai  Fasilitasi menentukan
rentang ideal dengan tujuan kesehatan pedoman diet
(D.0019)  Menurun :  Sajikan makanan
 Perasaan cepat kenyang (5) secara menarik dan
 Membaik : suhu yang sesuai
 Berat badan Indeks Massa  Berikan makanan
Tubuh (IMT) (5) tinggi serat untuk
 Frekuensi makan (5) mencegah konstipasi
 Nafsu makan (5)  Berikan makanan
tinggi kalori dan
tinggi protein
 Berikan suplemen
makanan
 Edukasi

29
 Anjurkan diet yang
diprogramkan
 Kolaborasi
 Kolaborasi dengan
ahli gizi untuk
menentukan jumlah
kalori dan jenis
nutrien yang
diperlukan

2.2.3 Implementasi
Pelaksanaan keperawatan merupakan kegiatan yang dilakukan sesuai dengan
rencana yang telah ditetapkan. Selama pelaksanaan kegiatan dapat bersifat mandiri dan
kolaboratif. Selama melaksanakan kegiatan perlu diawasi dan dimonitor kemajuan
kesehatan klien.
2.2.4 Evaluasi
1. Diagnosa 1
Isolasi Sosial b.d gangguan psikiatrik ; perubahan status mental d.d menarik
diri (D.0121)
S : Klien mengatakan sudah mau berbicara dengan teman dan keluarga
O : Klien sudah terlihat berbicara dengan keluarga dan teman
A : Intervensi Berhasil
P : Intervensi Diberhentikan
2. Diagnosa 2
Risiko Cedera d.d perubahan orientasi afektif (D.0136)
S : Klien mengatakan sudah mampu mengatasi cedera dan cedera yang dialami
sudah mulai berkurang.
O : Cedera yang dialami klien terlihat sudah mulai berkurang
A : Intervensi Berhasil
P : Intervensi Diberhentikan
3. Diagnosa 3

30
Sindrome Pasca Trauma b.d riwayat korban perilaku kekerasan d.d merasa
cemas, mengungkapkan secara berlebihan untuk menghindari pembicaraan
kejadian trauma (D.0104)
S : Klien mengatakan sudah mampu mengatasi sindrome pasca trauma dan
menghindari pembicaraan kejadian trauma
O : Klien terlihat tidak cemas lagi
A : Intervensi Berhasil
P : Intervensi Diberhentikan
4. Diagnosa 4
Anxiety / Kecemasan b.d ancaman terhadap konsep diri d.d sulit
berkonsentrasi , khawatir, tampak gelisah dan merasa tidak berdaya (D.0080)
S : Klien mengatakan tidak cemas lagi
O : Klien terlihat sudah bisa berkonsentrasi, tidak khawatir, tidak gelisah dan
sudah berdaya.
A : Intervensi Berhasil
P : Intervensi Diberhentikan

5. Diagnosa 5
Risiko Gangguan Perkembangan / Risiko Keterlambatan Perkembangan
d.d penganiayaan ; seksual (D.0107)
S : Klien mengatakan sudah mengalami perkembangan
O : Klien sudah terlihat berkembang dan tumbuh seperti anak yang lainnya.
A : Intervensi Berhasil
P : Intervensi Diberhentikan

6. Diagnosa 6
Defisit Nutrisi / Nutrisi Kurang dari Kebutuhan Tubuh b.d factor
psikologis ; keengganan untuk makan dan stress d.d nafsu makan menurun,
berat badan menurun minimal 10% dibawah rentang ideal (D.0019)
S : Klien mengatakan sudah tidak merasa lemas dan sudah mau makan.
O : Klien sudah mampu duduk agak lama dan sudah menghabiskan beberapa
makanan yang diberikan.
A : Intervensi Berhasil
P : Intervensi Diberhentikan
31
BAB III
KASUS DAN PEMBAHASAN

Seorang anak yang berumur 5 tahun bernama An. E dibawa oleh orang tuanya ke
Rumah Sakit M. Djamil Padang. Klien terus mengeluh sakit pada daerah genitalianya, hal ini
terjadi dikarena 1 hari yang lalu An. E baru saja mengalami kejadian yang tidak diinginkan,
saat An. E bermain bersama teman-temannya di taman di dekat rumahnya, An. E dibawa oleh
orang yang tidak dikenal dan kemudian mengalami tindakan sexual abuse. Hal ini membuat
An. E mengalami trauma, An. E selalu meminta ditemani oleh ibunya dan mengatakan
merasa cemas dan takut. Melihat hal ini ibu klien langsung membawa An. E untuk diperiksa,
saat dilakukan pemeriksaan klien tampak terus meringis dan menangis, bersikap protektif,
nafsu makan berubah, menarik diri, proses berpikir terganggu. Juga didapatkan Rectal
toucher : Ruptur hymen, robekan pada fourchette posterior, serta perdarahan di genitalia.
Pemeriksaan TTV didapatkan N : 90 x/menit, RR : 17 x/menit, Suhu : 37oC, dan TD : 130/90 mmHg.

3.1 Pengkajian
1) Identitas Klien
Nama : An. E
Usia : 5 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pendidikan : Paud
2) Keluhan Utama
Sakit dan perdarahan pada alat genitalia
 Provoking & palliative incident :(P) mengalami sexsual abuse dari orang yang
tidak dikenal
 Quality & Quantity : (Q) nyeri menetap seperti ditusuk-tusuk
 Region & Radiation : (R) di lubang vagina
 Severity & Scale : (S) skala nyeri 4
 Time (T) onset, duration &frequency : nyeri dirasakan hilang timbul, terjadi
selama 20 menit
3) Riwayat Kesehatan
 Sekarang : Klien mengeluh sakit dan perdarahan pada daerah alat genitalianya

32
 Masa Lalu : 1 hari yang lalu klien mengalami sexual abuse. Klien mengalami
keluar darah dari kemaluan disertai rasa nyeri yang melilit pada perutnya.
 Keluarga : -
4) Keadaan Umum
 N : 90 x/menit
 RR : 17 x/menit
 Suhu : 37oC
 TD : 130/90 mmHG
5) Pola Gaya Hidup
 Pola nutrisi :
- Sebelum sakit: Nutrisi klien baik dan terpenuhi
- Sesudah sakit: Klien tidak nafsu makan
 Pola tidur/istirahat :
- Sebelum sakit: Klien tidur dengan baik dan normal
- Setelah sakit: Klien sering terbangun pada malam hari disertai meringis dan
menangis
 Konsumsi alkohol, nikotine dan obat-obatan terlarang : (-)
6) Pola olahraga dan rekreasi :
- Sebelum sakit: Klien selalu dibawa rekreasi oleh keluarganya 1 kali dalam
seminggu
- Setelah sakit: Klien hanya dirumah saja, karena takut dan cemas bertemu
orang lain
7) Konsep diri :
- Sebelum sakit: Klien memiliki konsep diri yang baik, yaitu seperti anak
kecil pada umumnya
- Setelah sakit: klien lebih bersikap protektif, tidak mau bertemu orang lain,
merasa takut dan cemas, hanya mau bersam ibunya.
8) Seksualitas : tidak terkaji
9) Respons stress dan koping :
- Sebelum sakit: Respon koping klien baik
- Setelah sakit: Klien diberikan pemeriksaan pada fisik dan psikologisnya
pasca trauma Sexual Abuse
10) Sistem pendukung :

33
- Sebelum sakit: Klien mendapat dukungan dari keluarga dan teman
- Setelah sakit: Klien mendapat dukungan dari keluarga dan teman
11) Pemeriksaan Fisik 
Pemeriksaan fisik pada An. E difokuskan pada pemeriksaan genitalia. Pada
genitalia klien ditemukan adanya robekan di fourchette posterior dan perdarahan
daerah genital.
12) Pemeriksaan Diagnostik yang dilakukan
 Pemeriksaan sitologi atau kultur yaitu dengan cara mengambil specimen dari
area yang mengalami penetrasiseperti vagina, serviks, anal, dan faring.
Tujuannya untuk melihat adanya infeksi oleh gonorrhea,chlamydia, candidiasis,
trichomoniasis, grup B streptokokus, herpessimplex virus sehingga pengobatan
dapat segera dimulai jika perlu.
 Serum test untuk syphilis, hepatitis B, dan HIV (sebaiknya diulang 12 minggu
setelah penganiayaan dan pemerkosaan)
 Laboratorium criminal local:
1) Pakaian korban diambil dengan membuka pakaian anak sewaktu berdiri di
ataskain steril dan meletakkan semua pakaian ke dalam tas kertas.
2) Asupan semen, asam phosphate, analisis P30 sedikit apusan di mulut
(faring,garis gusi), vagina, rectum diambil menggunakan apusan yang tidak
lembab dan dibiarkan kering oleh udara sebelum disimpan.
3) Kerokan kuku untuk debris benda asing. Ambil kerokan kuku dan
letakkanspecimen kedalam amplop kertas.
4) Pengambilan rambut pubis yang disisir ke dalam amplop kertas. Cabut 5- 10
helai dan masukkan ke dalam amplop kertas yang terpisah.
5) Debris asing. Kumpulkan setiap debris asing yang dicurigai yang
ditemukanpada tubuh korban ke dalam amplop kertas.
6) Identifikasi korban. Ambil sample saliva dan sample darah dari korban
untuk mengidentifikasi status sekretonik klien atau untuk analisis DNA
kemudian.

3.2 Analisis data


No Data Etiologi Masalah
1. DS: Seksual abuse (pemerkosaan) Nyeri akut

34
 Kilen mengeluh sakit
pada daerah
genitalianya Dilakukannya intercourse pada
DO: lawan jenis
 Klien tampak
meringis
 Bersikap protektif Penetrasi penis ke vagina

 Frekuensi nadi
meningkat
 Tekanan darah Tekanan terhadap hymen

meningkat
 Nafsu makan berubah
Rupture hymen, merusak
 Menarik diri
fourchette posterior
 Proses berpikir
terganggu
 Rectal toucher :
Iritasi daerah coitus vagina
Ruptur hymen
 Robekan pada
fourchetteposterior
Perdarahan
 Perdarahan di
genitalia

Merangsang syaraf nyeri

Persepsi nyeri

Nyeri
2. DS: Seksual abuse Trauma
 Kilen selalu meminta
ditemani oleh ibunya
 Klien mengatakan Persepsi korban terhadap

35
merasa cemas stressor
DO:
 Klien tidak mau
berkomunikasi Stress pasca pemerkosaan
dengan orang lain
kecuali dengan ibunya
 Sulit berkonsentrasi Trauma
 Klien tampak selalu
waspada kepada
semua orang
 Pola tidur klien
terganggu

3.3 Diagnosa
1) Nyeri akut b.d cedera (inflamasi atau kerusakan jaringan genitalia) d.d sakit dan
perdarahan di daerah genitalianya, adanya robekan di fourchette posterior dan saat
rectal toucher terdapat rupture hymen.
2) Trauma b.d riwayat sexual abuse d.d klien selalu minta ditemani oleh Ibunya dan
hanya mau berkomunikasi dengan Ibunya.

3.4 Intervensi
Diagnosa
No SLKI SIKI
Keperawatan

36
1. Nyeri akut b.d cedera Tingkat Cedera Manajemen Nyeri
(inflamasi atau Tujuan : setelah dilakukan Tindakan :
kerusakan jaringan tindakan keperawatan a. Observasi
genitalia) d.d sakit dan selama 3 x 24 jam, tingkat 1. Identifikasi lokasi,
perdarahan di daerah cedera dapat teratasi karakteristik,
genitalianya, adanya Kriteria hasil : durasi, frekuensi,
robekan di 1. Nafsu makan kualitas, intensitas
fourchetteposterior, meningkat nyeri
dan saat rectal toucher 2. Luka/lecet menurun 2. Identifikasi skala
terdapat rupture 3. Ketegangan otot nyeri
hymen. menurun 3. Identifikasi respon

4. Perdarahan menurun nyeri non verbal

5. Ekspresi wajah 4. Identifikasi factor

kesakitan menurun yang memperberat

6. Agitasi (gelisah) atau memperingan

menurun nyeri
5. Identifikasi
7. Tekanan darah
pengeruh nyeri
membaik
pada kualitas hidup
8. Frekuensi nadi
6. Monitor
membaik
keberhasilan terapi
9. Pola istirahat/tidur
komplementer yang
membaik
sudah diberikan
7. Monitor efek
samping
penggunaan
analgetik
b. Terapeutik
1. Berikan teknik
nonfarmakologis
untuk mengurangi
nyeri
2. Control lingkungan
yang memperberat
37
rasa nyeri
3. Fasilitasi tidur dan
istirahat
c. Edukasi
1. Jelaskan penyebab,
periode dan pemicu
nyeri
2. Jelaskan strategi
meredakan nyeri
3. Anjurkan
memonitor nyeri
secara mandiri
4. Anjurkan
menggunakan
analgetik secara
tepat
5. Ajarkan teknik
nonfarmakologis
untuk mengurangi
rasa nyeri
d. Kolaborasi
1. Kolaborasi
pemberian
analgetik jika perlu.

38
2. Sindrom pasca trauma Status Kenyaman Manajemen Trauma
b.d riwayat sexual Tujuan : setelah dilakukan Perkosaan
abuse d.d klien selalu tindakan keperawatan Tindakan :
minta ditemani oleh selama 3 x 24 jam, a. Observasi
Ibunya dan hanya mau intoleransi aktivitas dapat 1. Identifikasi apakah
berkomunikasi dengan teratasi sudah
Ibunya. Kriteria hasil : memberishkan diri
1. Kesejakteraan fisik setelah
meningkat pemerkosaan
2. Kesejahteraan 2. Identifikasi status
psikologis meningkat mental, kondisi
3. Dukungan sosial dari fisik, kejadian,
keluarga meningkat bukti kekerasan dan
4. Rileks meningkat riwayat ginekologis
5. Keluhan tidak 3. Identifikasi adanya
nyaman menurun luka, memar,
6. Gelisah menurun perdarahan, laserasi
7. Keluhan suilt tidur atau tanda cedera
menurun fisik lainnya
8. Memori masa lalu b. Terapeutik
membaik 1. Berikan
9. Kewaspadaan pendampingan
menurun selama perawatan
10. Pola tidur membaik 2. Lakukan prosedur
pemeriksaan
pemerkosaan
3. Amankan sampel
sebagai bukti proses
hokum jika perlu
4. Tawarkan
pengobatan
pencegahan
kehamilan dan
antibiotic
39
profilaksis
5. Rujuk ke program
advokasi
pemerkosaan
c. Edukasi
1. Jelaskan proses
hokum yang
tersedia
2. Jelaskan prosedur
pemeriksaan
pemerkosaan dan
informed consent
tindakan
d. Kolaborasi
1. Kolaborasi
pemeriksaan HIV
jika diindikasikan

3.5 Implementasi dan Evaluasi


Diagnosa
No Implementasi Evaluasi
Keperawatan
1. Nyeri akut b.d cedera 1. Mengidentifikasi S :Klien mengatakan sakit
(inflamasi atau lokasi, karakteristik, pada genitalianya sudah
kerusakan jaringan durasi, frekuensi, berkurang
genitalia) d.d sakit dan kualitas, intensitas O :Klien tampak tenang
perdarahan di daerah nyeri daripada sebelumnya
genitalianya, adanya 2. Mengidentifikasi A :Masalah teratasi
robekan di skala nyeri P :Intervensi dihentikan
fourchetteposterior, 3. Mengidentifikasi
dan saat rectal toucher respon nyeri non
terdapat rupture verbal
hymen. 4. Mengidentifikasi
factor yang

40
memperberat atau
memperingan nyeri
5. Mengidentifikasi
pengeruh nyeri pada
kualitas hidup
6. Memonitor
keberhasilan terapi
komplementer yang
sudah diberikan
7. Monitor efek samping
penggunaan analgetik
8. Memberikan teknik
nonfarmakologis
untuk mengurangi
nyeri
9. Mengontrol
lingkungan yang
memperberat rasa
nyeri
10. Memfasilitasi tidur
dan istirahat
11. Menjelaskan
penyebab, periode dan
pemicu nyeri
12. Menjelaskan strategi
meredakan nyeri
13. Menganjurkan
memonitor nyeri
secara mandiri
14. Menganjurkan
menggunakan
analgetik secara tepat
15. Mengajarkan teknik
nonfarmakologis
41
untuk mengurangi
rasa nyeri
16. Mengkolaborasi
pemberian analgetik
jika perlu.
2. Sindrom pasca trauma 1. Mengidentifikasi S : Klien merasa lebih baik
b.d riwayat sexual apakah sudah dari sebelumnya dan
abuse d.d klien selalu memberishkan diri perasaan cemas sudah
minta ditemani oleh setelah pemerkosaan berkurang
Ibunya dan hanya mau 2. Mengidentifikasi O : Klien telah bisa diajak
berkomunikasi dengan status mental, kondisi berkomunikasi kembali
Ibunya. fisik, kejadian, bukti A : Masalah teratsi
kekerasan dan riwayat P : Intervensi dihentikan
ginekologis
3. Mengidentifikasi
adanya luka, memar,
perdarahan, laserasi
atau tanda cedera fisik
lainnya
4. Memberikan
pendampingan selama
perawatan
5. Melakukan prosedur
pemeriksaan
pemerkosaan
6. Mengamankan sampel
sebagai bukti proses
hokum jika perlu
7. Menawarkan
pengobatan
pencegahan
kehamilan dan
antibiotic profilaksis

42
8. Merujuk ke program
advokasi
pemerkosaan
9. Menjelaskan proses
hokum yang tersedia
10. Menjelaskan prosedur
pemeriksaan
pemerkosaan dan
informed consent
tindakan
11. Mengkolaborasi
pemeriksaan HIV jika
diindikasikan

43
BAB IV
ANALISIS JURNAL

1. Deskripsi umum
a. Judul : Psikoedukasi Pendidikan Seks Kepada Guru dan Orang Tua Sebagai
Upaya Pencegahan Kekerasan Seksual Pada Anak
b. Penulis : Dewa Ayu Maythalia Joni dan Endang R. Surjaningrum
c. Publikasi : Jurnal Diversita, 2020, Vol: 6, Issue: 1, Pages: 20 – 27
d. Tanggal telaah : 30 September 2021
e. Penelaah : Kelompok 2

2. Hasil Penelaahan
a. Gaya dan sistematika penulisan
 Kelebihan
- Sistematika dalam penulisan jurnal ini sudah disusun rapi dan sesuai
dengan Ejaan Bahasa Indonesia (EBI) dan istilah asing serta kata-kata
ilmiah dicetak miring.
- Pada penulisan judul jurnal sudah dalam bahasa Indonesia dan bahasa
Inggris
- Abstrak yang ditulis sudah memuat latar belakang, tujuan, metode
penelitian yang digunakan, dan hasil
- Untuk nama penulis dari jurnal ini sudah ada dicantumkan alamat instansi
dan email..
- Abstrak yang ditulis sudah mengunakan bahasa Indonesia dan bahasa
Inggris, serta tidak lebih dari batas maksimal 250 kata, yaitu sebanyak
kata 173 kata dalam bahasa Indonesia dan 165 kata dalam bahasa Inggris.
- Pada bagian abstrak kata kunci yang digunakan sudah sesuai yaitu tidak
lebih dari 5 kata kunci
- Pada penulisan pendahuluan, sudah memuat latar belakang penelitian
yang dibuat secara ringkas dan padat.
- Pada penulisan metode penelitian, pembahasan sudah baik, yaitu ditulis
dengan hasil analisis yang sesuai, serta sudah menggunakan kaidah dan
teknik dalam penulisan jurnal

44
- Pada bagian simpulan dan saran yang dibuat oleh penulis sangat mudah
di mengerti karena sangat jelas dan padat.
- Dalam pembuatan daftar pustaka pada jurnal ini sudah baik, karena
dalam penulisan sudah sesuai abjad dan penulisan judul buku sudah
dicetak miring
 Kekurangan
- Pada penulisan judul jurnal, tidak mengerucut kebawah dan juga tidak
menggunakan huruf kapital.
- Pada penulisan judul jurnal dalam bahasa Indonesia tidak sesuai karena
lebih dari 12 kata, yaitu 15 kata, dan penulisan dalam bahasa Inggris,
yaitu 15 kata

b. Pendahuluan
Komisioner KPAI bidang pendidikan Jawa Timur menyatakan bahwa
pada akhir bulan Februari 2018 jumlah anak sebagai korban kekerasan seksual
mencapai 117 anak, sedangkan jumlah kasus anak sebagai pelaku kejahatan
seksual mencapai 22 anak (Idhom, 2018).
Tidak hanya berdampak pada permasalahan fisik seperti kehamilan
yang tidak diinginkan, terinfeksi penyakit menular seksual, gangguan organ
reproduksi, namun dapat juga mempengaruhi anak secara psikis seperti konsep
diri, gangguan emosi, relasi interpersonal anak dengan lingkungan sosialnya,
perubahan perilaku, hingga trauma yang mendalam pada anak (IDAI, 2014).
Menurut Vireo (2005) dampak yang dialami oleh anak yang menjadi
korban kekerasan seksual dapat digolongan menjadi tiga, yaitu dampak fisik,
dampak psikologis dan dampak sosial.
O’ Barnett (dalam Matlin, 2008) mengemukakan bahwa kekerasan
seksual pada anak merupakan suatu bentuk kekerasan di mana anak dilibatkan
dalam kegiatan yang bertujuan untuk memenuhi gairah seksual pelaku yang
biasanya disertai dengan tekanan psikologis atau fisik.
Bentuk kekerasan seksual dapat dibagi menjadi dua, yaitu kontak fisik
dan tanpa kontak fisik. Kontak fisik dapat berupa pencabulan atau meraba-raba
tubuh anak, meminta anak memegang atau meraba bagian tubuh pelaku.
Melakukan sodomi hingga pemerkosaan. Jenis kekerasan seksual tanpa kontak
fisik, yaitu kekerasan yang termasuk dalam kategori tanpa kontak fisik seperti
45
mempertontonkan alat kelamin pada anak, mempertontonkan gambar atau video
yang menayangkan seksualitas, mengambil foto atau video anak dalam keadaan
tidak memakai pakaian (tidak senonoh), mengucapkan istilah yang mengandung
unsur seksual maupun pornografi, hingga memperjualbelikan foto atau video
yang mengandung unsur pornografi pada anak (Maharani, 2015).
Berdasarkan rangkuman wawancara peneliti dengan kepala sekolah
dan guru pada tiga Taman Kanak-Kanak (TK) yang terdapat di daerah Ploso,
terjadinya kekerasan seksual pada anak dapat disebabkan oleh perubahan jaman
teknologi yang semakin canggih.
Oleh karena itu, kerentanan anak usia dini menjadi korban kekerasan
seksual disebabkan oleh pemahaman yang kurang terkait seksualitas serta orang-
orang sekitar yang memiliki tendensi untuk melakukan kekerasan seksual pada
anak.

c. Metode penelitian
Jurnal ini menggunakan metode penelitian dengan metode kuantitatif
dengan tipe penelitian eksperimen. Penelitian eksperimen ini dilakukan
sebanyak 4 sesi. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 25 orang yang
merupakan guru dan orang tua dari tiga taman kanak-kanak berbeda yang berada
pada wilayah Rangkah. Pengukuran dalam penelitian ini menggunakan
kuisioner pemahaman kekerasan seksual yang dirancang oleh Dina Setya
Rahaman (2015), berjumlah 31 aitem dengan reliabilitas sebesar 0.61. Peneliti
menganalisis data menggunakan teknik paired samples statistics melalui aplikasi
SPSS 21 for windows.

d. Hasil penelitian dan pembahasan


Salah satu penyebab tingginya angka kekerasan seksual adalah
kurangnya pemahaman masyarakat terkait pentingnya pendidikan seksual pada
anak. Orang tua menganggap topik mengenai seksualitas merupakan topik yang
dianggap tidak layak untuk diketahui oleh anak. Namun pada dasarnya, anak
yang memiliki usia di bawah 6 tahun sudah mampu memahami pendidikan
seksual karenapada usia ini terjadi perkembangan fisik, motorik, intelektual,
bahasa, emosi maupun moral yang berada pada proses penyempurnaan sehingga
wawasan dan sikap mereka terkait seks masih mudah dibentuk (Listyana, 2012).
46
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa psikoedukasi pendidikan
seks dapat meningkatkan pemahaman orang tua untuk mencegah terjadinya
kekerasan seksual pada anak yang mana berarti bahwa responden penelitian
berhasil memahami materi pendidikan seks. Secara garis besar, guru dan orang
tua memiliki kesadaran bawha mereka memiliki peran yang besar dalam
melindungi anak-anak dari kekerasan seksual. Meningkatnya pemahaman guru
dan orang tua ditandai dengan meningkatnya pemahaman orang tua dan guru
terkait jenis-jenis kekerasan seksual, potensi terjadinya kekerasan seksual,
dampak terjadinya kekerasan seksual, materi yang dapat diberikan pada anak
terkait seksualitas serta penanggulangan utama apabila terjadi kekerasan
seksual. Selain itu orang tua dan guru mampu merancang kegiatan dengan anak
terkait pemberian psikoedukasi langsung pada anak tentang pendidikan seksual.
Melalui rancangan tersebut, orang tua dan guru dapat mendiskusikan kelanjutan
dari rancangan program yang telah disusun serta menyesuaikan dengan kondisi
anak. Dilaksanakannya psikoedukasi terkait pendidikan seks untuk mencegah
terjadinya kekerasan seksual pada anak kepada guru dan orang tua siswa karena
orang tua dan guru merupakan kelompok masyarakat yang paling dekat dengan
lingkungan mikrosistem anak dan penyebaran informasi yang didapatkan
menjadi lebih luas serta efektif dalam mencegah terjadinya kekerasan seksual
pada anak.

e. Tujuan Jurnal
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengukur efektivitas pendidikan
seks terhadap pengetahuan guru dan orang tua sebagai upaya pencegahan
kekerasan seksual pada anak. Dengan demikian, dapat memberikan kontribusi
dalam dunia psikologi klinis serta pendidikan untuk mencegah terjadinya
kekerasan seksual pada anak.

f. Daftar Pustaka
Joni, I. D. A. M., & Surjaningrum, E. R. (2020). Psikoedukasi
Pendidikan Seks Kepada Guru dan Orang Tua Sebagai Upaya Pencegahan
Kekerasan Seksual Pada Anak. Jurnal Diversita, 6(1), 20–27.
https://doi.org/10.31289/diversita.v6i1.3582

47
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Banyaknya persoalan-persoalan ataupun permasalahan tentang kekerasan seksual
terhadap anak yang terjadi di lingkungan keluarga perlu mendapat perhatian khusus dari
Lembaga Perlindungan Anak.
Dalam rangka memberikan perlindungan terhadap anak korban kekerasanseksual,
Lembaga Perlindungan Anak menemukan kendala seperti sikap keluarga yang tidak
mengetahui atau memahami hak-hak anak, tingkat pendidikan masyarakat yang masih
rendah, sehingga mereka masih beranggapan apabila kasus kekerasan seksual ini terungkap
akan menjadi aib, dan orang tua yang enggan mengadu ke Lembaga Perlindungan Anak.
Peran aparat penegak hukum, masyarakat dan orang tua adalah memberikan
perlindungan terhadap korban, mengungkap kekerasan seksual dan memberikan perhatian
lebih, dukungan kepada anak korban kekerasan seksual.

5.2 Saran
Bertitik tolak dari kesimpulan diatas maka penulis menyarankan hal-hal berikut :
1. Dalam memberikan sosialisasi Lembaga Perlindungan Anak sebaiknya lebih banyak
memberikan pengertian kepada keluarga dan masyarakat mengenai pentingnya hak
anak, agar keluarga dan masyarakat mau mengadukan adanya kekerasan seksual
terhadap anak ke pihak yang berwenang.
2. Kerjasama antara aparat penegak hukum, orang tua dan masyarakat harus lebih
ditingkatkan di berbagai bidang hukum untuk tercapainya tujuan perlindungan
hukum terhadap anak, agar tidak terjadi lagi korban kekerasan seksual
yangdilakukan oleh orang tua.

48
DAFTAR PUSTAKA

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Edisi 1.
Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawatan Nasional Indonesia.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia
Edisi 1. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawatan Nasional
Indonesia.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Edisi 1.
Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawatan Nasional Indonesia.
Soekresno. 2007. Mengenali Dan Mencegah Terjadinya Tindak Kekerasan Terhadap Anak.
UU PA No. 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak
Abu Huraerah. (2006). Kekerasan Terhadap Anak Jakarta:Penerbit Nuansa,Emmy Soekresno
S. Pd.(2007)..
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. Pelecehan Seksual dan Kekerasan Seksual.
2002.

49

Anda mungkin juga menyukai