Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

TREND DAN ISSUE LEGAL ETIK KEPERAWATAN ANAK


“KEKERASAN SEKSUAL PADA ANAK DALAM KELUARGA ”

BLOK KEPERAWATAN ANAK 1

DOSEN PENGAMPU : FADLIYANA EKAWATY, M.Kep., Ns.Sp.Kep.An

DISUSUN OLEH : KELOMPOK 6

Ismi Adisti : G1B118033


Eka Putri : G1B118034
Andi Riani Sapitri : G1B118035
Ayu Kurnia : G1B118036
Melati Octavianny S. : G1B118037
Anita Sari : G1B118038

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


PROGRAM STUDI KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JAMBI 2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat, karunia, serta taufik
dan hidayah-Nya kelompok kami dapat menyelesaikan makalah tentang “TREND DAN

1
ISSUE LEGAL ETIK KEPERAWATAN ANAK “KEKERASAN SEKSUAL PADA
ANAK DALAM KELUARGA ” ” ini dengan baik meskipun masih ada kekurangan
didalamnya. Kami mengucapkan terima kasih kepada dosen pemimbing yang telah
membantu kami, sehingga kami mengerjakan makalah ini dengan lebih mudah. Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang juga membantu kelompok kami dalam
penyelesaian makalah ini.

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan
serta pengetahuan kita mengenai “TREND DAN ISSUE LEGAL ETIK
KEPERAWATAN ANAK “KEKERASAN SEKSUAL PADA ANAK DALAM
KELUARGA ” ini. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat
kekurangan dan jauh dari kata sempurna.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi anggota kelompok kami sendiri
maupun orang yang membacanya. Kami juga mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-
kata yang kurang berkenan dan kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca demi perbaikan makalah ini di waktu yang akan datang.

Jambi, Maret 2020

Kelompok
6

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................
KATA PENGANTAR.......................................................... i

2
DAFTAR ISI.......................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang...............................................................1
1.2 Rumusan Masalah ..........................................................3
1.3 Tujuan..........................................................................4
1.4 Manfaat ......................................................................4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Definisi ...........................................................................7
2.2 Klasifikasi .....................................................................8
2.3 Faktor penyebab .............................................................8
2.4 Dampak kekerasan .......................................................10
2.5 Penanganan .................................................................11
2.6 Teori Ekologi Perkembangan.........................................12

BAB III TINJAUAN KASUS


3.1 Kasus......................................................................14
3.2 Dampak kekerasan .................................................15

3.3 Penanganan ................................................................16

BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan..................................................................20

4.2 Saran..........................................................................20
DAFTAR PUSTAKA.......................................................21

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Setiap tahun kasus kekerasan seksual mengalami peningkatan,
korbannya bukan hanya orang dewasa melainkan terdapat pula anak-
anak bahkan balita yang menjadi sasaran para pelaku kekerasan
seksual. Fenomena kekerasan seksual pada anak semakin sering

3
terjadi bukan hanya terjadi di dalam negeri tetapi terdapat pula di luar
negeri. Dari banyaknya kasus kekerasan seksual pada anak tragisnya
pelaku merupakan kebanyakan dari lingkungan keluarga atau
lingkungan sekitar anak itu berada, seperti di dalam rumahnya sendiri,
lingkungan sosial dan juga sekolah. Hal ini dapat dibuktikan dari
maraknya kasus kekerasan seksual dalam keluarga di media sosial.
Berdasarkan info dari KPAI, Dalam kurun waktu tiga tahun
terakhir bisa dikatakan menjadi tahun yang sangat memprihatinkan
bagi anak Indonesia. KPAI atau Komisi Perlindungan Anak Indonesia
menemukan ratusan kasus kekerasan seksual terhadap anak yang
diduga dilakukan oleh orang terdekat anak. Jasra Putra selaku
Komisioner KPAI mengungkapkan bahwa terdapat data yang
menunjukan bahwa terdapat 218 kasus kekrasan seksual anak pada
tahun 2015, 120 kasus kekerasan seksual pada anak di tahun 2016,
dan pada tahun 2017, terdapat 116 kasus. Dari data tersebut KPAI
menyatakan bahwa pelaku kekerasan seksual pada anak ialah orang
terdekat seperti orangtua korban/ayah tiri dan kandung, keluarga
terdekat dan teman korban.Dalam kasus kekerasan seksual yang
marak terjadi, anak menjadi kelompok yang sangat rentan terhadap
kekerasan seksual karena anak selalu diposisikan sebagai sosok yang
lemah dan tidak berdaya.
Secara umum, Kekerasan seksual terhadap anak menurut
ECPAT (End Chlid Prostitution In Asia Tourism) Internasional
merupakan suatu hubungan atau interaksi antar seorang anak dan
seorang yang lebih tua atau anak yang lebih banyak nalar atau orang
dewasa seperti orang asing, saudara sekandung atau orangtua dimana
anak tersebut dipergunakan sebagai objek pemuas untuk kebutuhan
seksual si pelaku.. Undang-Undang Perlindungan anak telah
memberikan batasan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang masih
dalam kandungan.
Maraknya kasus kekerasan seksual pada anak yang terdapat
di keluarga dapat menunjukkan bahwa betapa dunia yang aman bagi
anak semakin sempit dan sulit ditemukan. Dunia anak yang

4
seharusnya diisi dengan keceriaan yang ia dapatkan dari lingkungan
sosial dan keluarga justru memberikan gambaran buram dan potret
ketakutan karena pada saat ini anak telah banyak menjadi subjek
pelecehan seksual yang berasal dari keluarganya sendiri. Namun
kekerasan seksual anak yang terjadi di keluarga jarang sekali
terekspos masyarakat. Data yang terdapat pada KPAI hanya data yang
didapatkan dari masyarakat mengenai kekerasan seksual anak di
keluarga hanya dari beberapa korban yang melapor dan masih banyak
korban kekerasan seksual terutama anak yang tidak berani
melaporkan dan tidak tau harus melapor kepada siapa. Kasus ini
cenderung dirahasiakan oleh korban dan pelaku. Korban kekerasan
seksual pada keluarga cenderung merasa malu karena menganggap
hal tersebut sebagai aib yang harus disembunyikan rapat-rapat
terlebih lagi ia mendapatkan kekerasan tersebut dari keluarga mereka
sendiri, selain itu ancaman juga kerap korban dapatkan dari pelaku
kekerasan seksual.
Berdasarkan penjelasan mengenai isu kekerasan seksual di
keluarga yang marak terjadi dan anak sebagai korbannya, dan
menyimpulkan bahwa keluarga sudah tidak bisa lagi berfungsi
sebagaimana mestinya yaitu melindungi dan menjadikan keluarga
sebagai panutan untuk anaknya, membuat penulis ingin meneliti
dampak kekerasan seksual anak di keluarga terhadap perkembangan
anak.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas,kelompok mendapatkan
rumusan masalah sebagai berikut :
1.2.1 Apa definisi kekerasan seksual pada anak dalam keluarga ?
1.2.2 Apa klasifikasi dari kekeran seskual pada anak ?
1.2.3 Apa faktor penyebab kekerasan seksual pada anak ?
1.2.4 Apa dampak kekerasan seksual pada anak ?
1.2.5 Bagaimana penanganan kekerasan seksual pada anak ?
1.2.6 Contoh Penanganan Kasus kekerasan seksual pada anak ?

5
1.3 Tujuan
Mampu menerapkan kerangka berpikir ilmiah tentang kekerasan
seksual pada anak dalam keluarga
1.5 Manfaat studi kasus
1.4.1 Bagi penulis
Meningkatakan pengetahuan dan pengalaman dalam penyusunan
karya tulis khususnya tentang kekerasan seksual pada anak dalam
keluarga

1.4.2 Bagi Institusi

Bahan masukan dan tambahan bagi pengembangan ilmu tentang


kekerasan seksual pada anak dalam keluarga

BAB II
TINJUAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Kekerasan Seksual Anak


Peran keluarga Menurut Mubarak (2009) Keluarga merupakan
perkumpulan dua atau lebih individu yang terikat oleh hubungan
perkawinan, hubungan darah, ataupun adopsi, dan setiap anggota

6
keluarga saling berinteraksi satu dengan lainnya. Pendapat yang
sesuai juga dikemukakan oleh Coleman dan Cressey (dalam Muadz
dkk, 2010:205) keluarga adalah sekelompok orang yang dihubungkan
oleh pernikahan, keturunan, atau adopsi yang hidup bersama dalam
sebuah rumah tangga. Maka dapat disimpulkan bahwa keluarga
merupakan sekelompok orang yang hidup bersama dalam ikatan
perkawinan, keturunan dan juga adopsi
Kekerasan kepada anak menurut Richard J.G (Hurairah, 2012)
merupakan perbuatan yang disengaja dan dapat menimbulkan
kerugian bagi korbannya yang merupakan anak-anak baik secara fisik
dan juga secara emosional. Terdapat berbagai bentuk kekerasan
terhadap anak yaitu kekerasan fisik, psikologi, sosial dan juga
kekerasan secara seksual. Kekerasan seksual terhadap anak yaitu
setiap perbuatan yang cenderung memaksakan hubungan seksual
dengan tidak wajar dan tidak disukai. Menurut Mayer (Tower: 2002).
Kekerasan yang dilakukan seperti penganiayaan, pemerkosaan,
stimulasi oral pada penis, stimulasi oral pada klitoris, dan
pemekorsaan secara paksa. Sementara Lyness (Maslihah,2006)
kekerasan seksual terhadap anak meliputi tindakan menyentuh atau
mencium organ seksual anak, tindakan seksual atau pemerkosaan
terhadap anak, melihatkan media/benda porno, menunjukkan alat alat
kelamin pada anak dan sebagainya. Maka dapat ditarik kesimpulan
kekerasan seksual anak merupakan suatu hal atau tindakan yang
disengaja dan dapat memberikan dampak buruk pada kondisi fisik
dan psikologis anak.

2.2 Klasifikasi Kekerasan Seksual Pada Anak :


2.1.2 Familial Abuse (incest)
Merupakan kekerasan seksual yang dilakukan oleh
orang yang masih memiliki hubungan darah atau merupakan
bagian dari keluarga inti seperti orangtua pengganti atau
kekasih. Incest dalam keluarga dan mengaitkan dengan
kekerasan pada anak yaitu yang pertama ialah penganiayaan

7
yang melibatkan perbuatan untuk dapat menstimulasi pelaku
secara seksual. Yang kedua ialah pemerkosaan yang berupa
oral dan juga hubungan dengan alat kelamin. Yang terakhir
merupakan kekerasan seksual yang paling fatal dikarenakan
pemerkosaan secara paksa meliputi kontak seksual.
2.2.2 Extrafamilial Abuse
Merupakan kekerasan seksual yang dilakukan oleh
orang diluar lingkungan keluarga. Pelaku dari kategori ini
merupakan orang dewasa yang cukup dekat dan dikenal
dengan anak serta telah dibangun relasi antara pelaku dan sang
anak.

2.3 Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Seksual Pada Anak


Menurut Hari (1980 dalam Wickman dan West, 2002) jika
dilihat dari sudut pandang pelaku kekerasan seksual dapat dilihat
bahwa terdapat 2 bagian dari faktor penyebab terjadinya kekerasan
seksual pada anak yaitu faktor internal dan eksternal.
2.3.1 Faktor Internal
Faktor penyebab ini merupakan faktor yang terdapat dalam diri
individu. Faktor ini khusus dapat dilihat pada diri individu dan
hubungannya dengan kejahatan seksual.
2.3.1.1 Faktor Biologis
manusia pada dasarnya memiliki berbagai macam
kebutuhan yang harus dipenuhi. Kebutuhan tersebut
meliputi, kebutuhan akan makanan, seksual dan juga
proteksi. Masing-masing kebutuhan tersebut masing-
masing menuntut pemenuhan salah satunya kebutuhan
seksual.
2.3.1.2 Faktor Moral
faktor ini merupakan faktor penting untuk menentukan
timbulnya kejahatan karena merupakan filter terhadap
munculnya perilaku yang menyimpang.
2.3.1.3 Faktor Kejiwaan

8
kondisi kejiwaan dari seseorang yang tidak normal dapat
mendorong seorang individu melakukan kejahatan.
2.3.2 Faktor Eksternal
Faktor eksternal adalah faktor penyebab eksternal merupakan
faktor yang terdapat dari luar sisi pelaku.
2.3.2.1 Faktor Media Massa
Media massa yang merupakan sarana informasi dalam
kehidupan seksual. Banyaknya informasi yang dikabarkan
oleh media massa banyak yang diwarnai dramatisasi
umumnya digambarkan tentang kepuasan pelaku. Hal ini
pun dapat merangsang para pembaca yang bermental jahat
memperoleh ide untuk melakukan kejahatan seksual.
2.3.2.2 Faktor Ekonomi
Faktor ekonomi yang sulit dapat mempengaruhi seseorang
memperoleh pendidikan yang rendah. Secara umum,
seseorang yang berpendidikan rendah cenderung
mendapatkan pekerjaan yang tidak layak dan dengan
keadaan perekonomian yang semakin lama mempengaruhi
pokok-pokok kehidupan masyarakat dapat menimbulkan
peningkatan kriminalitas termasuk kasus kejahatan seksual
2.3.2.3 Faktor Sosial Budaya
Meningkatnya kasus kejahatan asusila atau
pemerkosaaan terkait dengan aspek sosial budaya. Akibat
dari modernisasi berkembanglah budaya yang semakin
terbuka dan pergaulan yang semakin bebas.

2.4 Dampak Kekerasan Seksual


Kekerasan seksual cenderung menimbulkan dampak traumatis
baik pada anak maupun pada orang dewasa. Finkelhor dan Browne
(Tower, 2002) mengkategorikan 4 jenis dampak trauma akibat
kekerasan seksual yang dialami oleh anak-anak, yaitu :
2.4.1 Pengkhianatan (Betrayal)

9
Kepercayaan merupakan dasar utama bagi korban kekerasan
seksual. Seorang anak tentunya mempunya kepercayaan yang sangat
besar kepada kedua orangtuanya dan kepercayaan itu dimengerti dan
dipahami. Dengan adanya kekerasan yang menimpa dirinya dan
berasal dari orangtuanya sendiri membuat seorang anak merasa
dikhianati.
2.4.2 Trauma secara seksual (Traumatic sexualization)
Russel (Tower, 2002) menemukan bahwa perempuan yang
mengalami kekerasan seksual cenderung menolak hubungan seksual,
dan sebagai konsekuensinya menjadi korban kekerasan seksual dalam
rumah tangga. Finkelhor (Tower, 2002) mencatat bahwa korban lebih
memiliki pasangan sesame jenis karena menganggap laki-laki tidak
dapat dipercaya.
2.4.3 Rasa tidak berdaya (Powerlessness)
Rasa tidak berdaya muncul dikarenakan adanya rasa takut di
kehidupan korban. Mimpi buruk, fobia, dan kecemasan dialami oleh
korban disertai dengan rasa sakit. Perasaan tidak berdaya
mengakibatkan individu merasa lemah dan merasa kurang efektif
dalam bekerja. Sebaliknya juga terdapat korban yang terdapat
dorongan yang berlebihan dalam dirinya (Finkelhor dan Browne,
Briere dalam Tower, 2002)
2.4.4 Stigmatization
Kekerasan seksual dapat membuat korban merasa bersalah,
malu, memiliki gambaran diri yang buruk. Rasa bersalah dan malu
terbentuk akibat ketidakberdayaan dan merasa bahwa mereka tidak
memiliki kekuatan untuk mengontrol dirnya. Anak yang merupakan
korban kekerasan sering merasa bahwa mereka berbeda dengan orang
lain, terdapat beberapa korban yang marah oada tubuhnya akibat
penganiayaan yang dialami. Korban lainnya menggunakan obat-
obatan dan minuman beralkohol untuk menghukum tubuhnya dan
berusaha untuk berusaha menghindaro memori tentang kejadian
kekerasan yang pernah menimpa dirinya.

10
2.5 Penanganan Kekerasan Seksual
Bersandar pada Basic Principles and Guidelines on the Right to a
Remedy and Reparation for Victims of Gross Violations of International
Human Rights Law and Serious Violations of International Humanitarian
Law, yang diadopsi Majelis Umum PBB, menyebutkan bahwa bentuk
penanganan pemulihan dan penanganan kekerasan seksual yaitu meliputi
sejumlah hak:
2.5.1 Restitusi
menegakkan kembali sejauh mungkin situasi yang ada bagi
korban sebelum terjadi pelanggaran terhadap hak asasi
manusia dan mengharuskan pemulihan.
2.5.2 Kompensasi
Diberikan untuk setiap kerusakan yang secara ekonomis
dapat diperkirakan nilainya yang timbul dari pelanggaran
hak asasi manusia, seperti Kerusakan fisik dan
mental,Kesakitan penderitaan dan tekanan batin
,Kesempatan yang hilang termasuk pendidikan , Biaya
medis dan biaya rehabilitasi.
2.5.3 Rehabilitasi
Disediakan pelayanan hukum, psikologi, perawatan medis,
dan pelayanan atau perawatan lainnya seta tindakan untuk
memulihkan martabat dan reputasi sang korban.
2.5.4 Jaminan kepuasan dan ketidakberulangan atas pelanggaran
yang menimpanya.

2.6 Teori Ekologi Perkembangan


Teori ekologi perkembangan anak diperkenalkan oleh Uri
Bronfenbrenner , seorang ahli psikologi dari Cornell University di
Amerika Serikat. Teori ekologi memandang bahwa perkembangan
manusia dipengaruhi oleh konteks lingkungan. Hubungan timbal
balik antara individu dengan lingkungan yang akan membentuk
tingkah laku individu tersebut. Informasi lingkungan tempat tinggal
anak untuk menggambarkan, mengorganisasikan dan mengklarifikasi

11
efek dari lingkungan yang bervariasi. Teori ekologi memandang
perkembangan anak dari tiga sistem lingkungan yaitu mikrosistem,
ekosistem dan makrosistem. Ketiga sistem tersebut membantu
perkembangan individu dalam membentuk ciri-ciri fisik dan mental
tertentu.
Mikrosistem adalah lingkungan dimana individu tinggal, konteks
ini meliputi keluarga individu, teman sebaya, sekolah dan lingkungan
tempat tinggal. Dalam sistem mikro terjadi banyak interaksi secara
langsung dengan agen sosial, yaitu orang tua, teman dan guru. Dalam
proses interaksi tersebut individu bukan sebagai penerima pasif, tetapi
turut aktif membentuk dan membangun setting mikrosistem. Setiap
individu mendapatkan pengalaman dari setiap aktivitas, dan memiliki
peranan dalam membangun hubungan interpersonal dengan
lingkungan mikrosistemnya. Lingkungan mikrosistem yang dimaksud
adalah lingkungan sosial yang terdiri dari orang tua, adik-kakak, guru,
teman-teman dan guru. Lingkungan tersebut sangat mempengaruhi
perkembangan individu terutama pada anak usia dini sampai remaja.
Subsistem keluarga khususnya orangtua dalam mikrosistem dianggap
agen sosialisasi paling penting dalam kehidupan seorang anak
sehingga keluarga berpengaruh besar dalam membentuk karakter
anak-anak. Dampaknya, setiap masalah yang terjadi dalam sebuah sub
sistem mikrosistem akan berpengaruh pada sub sistem mikrosistem
yang lain.
Ekosistem adalah sistem sosial yang lebih besar dimana anak
tidak terlibat interaksi secara langsung, tetapi begitu berpengaruh
terhadap perkembangan karakter anak. Sub sistemnya terdiri dari
lingkungan tempat kerja orang tua, kenalan saudara baik adik, kakak,
atau saudara lainnya,dan peraturan dari pihak sekolah. Sebagai
contoh, pengalaman kerja dapat mempengaruhi hubungan seorang
perempuan dengan suami dan anaknya. Seorang ibu dapat menerima
promosi yang menuntutnya melakukan lebih banyak perjalanan yang
dapat meningkatkan konflik perkawinan dan perubahan pola interaksi
orang tua dan anak. Sub sistem eksosistem lain yang tidak langsung

12
menyentuh pribadi anak akan tetapi besar pengaruhnya adalah koran,
televisi, dokter, keluarga besar, dan lain-lain.
Makrosistem adalah sistem lapisan terluar dari lingkungan anak.
Sub sistem makrosistem terdiri dari ideologi negara, pemerintah,
tradisi, agama, hukum, adat istiadat, budaya, dan lain sebagainya,
dimana semua sub sistem tersebut akan memberikan pengaruh pada
perkembangan karakter anak. Menurut Berk budaya yang dimaksud
dalam sub sistem ini adalah pola tingkah laku, kepercayaan dan
semua produk dari sekelompok manusia yang diwariskan dari
generasi ke generasi.

BAB III
TINJAUAN KASUS

3. 1 Kasus Kekerasan Seksual Anak dan Teori Ekologi


Perkembangan
Pada awal tahun 2019 banyak terdapat berita yang sangat membuat
masyarakat yang mendengarnya heran dan tidak percaya dikarenakan
terdapat kasus seorang ayah kandung yang tega melakukan kekerasan
seksual kepada anak kandungnya yang masih duduk di sekolah dasar
hingga hamil. Berikut merupakan kasus yang dilansir dari inews.id :
ACEH TENGGARA, iNews.id - Perilaku bejat seorang ayah di Kabupaten Aceh Tenggara,
Provinsi Aceh, sudah sangat keterlaluan. Dia tega memperkosa anak kandungnya yang masih
berusia 13 tahun hingga harus menanggung malu karena hamil 7 bulan. Korban yang masih
duduk di sekolah kelas 6 SD, kini enggan melanjutkan pendidikannya. Dia cuma mau
berdiam diri di rumah karena merasa malu untuk bertemu dengan teman-temannya lagi.
13
Kapolres Aceh Tenggara, AKBP Rahmad Har Denny Yanto mengatakan, tersangka
berinisial S (35) diamankan polisi di Desa Tanjung Lama, Kecamatan Darul Hasanah,
Kabupaten Aceh
Jika dilihat dari kasus kekerasan seksual anak di keluarga yang
terjadi di Aceh Tenggara maka jika dianalisis menggunakan teori
ekologi perkembangan dan difokuskan pada bagian dari mikrosistem
yang berisi sub sistem individu, sub sistem keluarga, teman sebaya
dan masyarakat. Dalam kasus ini kekerasan seksual yang terjadi
termasuk dalam familial abuse yaitu kekerasan seksual yang mana
korban dan pelaku masih memiliki hubungan darah dan menjadi
bagian dalam keluarga inti. Hal tersebut sesuai dengan deskripsi kasus
bahwa ayah kandung yang melakukan kekerasan seksual kepada
anaknya hingga hamil. Dengan kasus tersebut maka anak yang
merupakan korban dalam masa perkembangannya mendapatkan
perilaku yang tidak seharusnya ia terima jika melihat statusnya yang
merupakan anak dari pelaku dan dapat memberikan dampak negatif
bagi masa perkembangannya.
Subsistem keluarga yang merupakan bagian dari mikrosistem
berperan besar dalam pengembangan karakter anak. Apabila keluarga
mempunyai struktur yang kokoh dan menjalankan fungsinya dengan

14
optimal maka akan menghasilkan outcome yang baik kepada seluruh
anggota keluarganya.
Dalam kasus ini peran keluarga dalam melindungi salah satu
bagiannya yaitu anak tidak dipenuhi dalam kasus tersebut, kekerasan
seksual yang terjadi pada anak dikeluarga dapat memberikan dampak
negative jangka panjang bagi korban, seperti yang disampaikan pada
kasus tersebut bahwa korban hanya mau berdiam diri dirumah karena
merasa malu untuk dapat bersosialisasi dengan teman-temannya lagi.
Karena teori ekologi ini memandang bahwa perkembangan manusia
dipengaruhi oleh konteks lingkungan, maka hubungan timbal balik
antara individu dengan lingkungan yang akan membentuk tingkah
laku individu tersebut, dengan perlakuan yang korban terima dari
orang terdekatnya yaitu ayahnya sendiri dapat mempengaruhi
karakteristik tingkah laku anak tersebut.

3.2 Dampak Kekerasan Seksual Pada Anak


Berdasarkan penjelasan kasus kekerasan seksual yang terjadi
di Aceh Tenggara dan melibatkan anak sebagai korbannya,
menyebabkan anak yang menjadi korban enggan melanjutkan
pendidikannya dan dia hanya mau berdiam diri di rumah karena
merasa malu untuk bertemu dengan teman-temannya lagi. Hal ini
sesuai dengan dampak kekerasan seksual menurut Finkelhor dan
Browne (Tower, 2002) mengenai stigmatization yaitu kekerasan
seksual dapat membuat korban merasa bersalah, malu dan memiliki
gambaran diri yang buruk dan merasa bahwa mereka berbeda dengan
orang lain. Korban yang masih berusia 13 tahun dan masih duduk di
sekolah dasar kelas 6 sewajarnya masih memiliki hak untuk
melanjutkan sekolahnya dan mendapatkan kasih sayang dan
perlindungan dari orang disekitarnya terutama orangtuanya. Dalam
kasus ini korban merasa berbeda dengan teman sebayanya karena
diumur yang masih sangat dini ia sudah mengandung terlebih lagi
kondisi fisik yang menggambarkan bahwa dirinya sedang hamil 7

15
bulan yang merupakan perbuatan ayah kandungnya sendiri. Korban
cenderung mengurung diri dirumah dan membatasi hubungan sosial
dengan lingkungan sekitar sehingga mengganggu keberfungsian
sosial anak tersebut.

3.2 Penanganan Kekerasan Seksual pada Anak


Berdasarkan penjelasan kasus tersebut anak yang merupakan
korban kekerasan mendapatkan penanganan khusus seperti layanan
rehabilitasi oleh professional seperti psikolog dan juga dijauhkan
oleh ayah kandungnya, hal tersebut dapat dilihat saat ini dan
seterusnya anak tersebut hanya diperbolehkan tinggal dengan ibu
kandungnya untuk menghindari adanya trauma pada korban.
Penanganan kasus kekerasan tersebut sesuai dengan salah satu poin
yang bersandar pada Basic Principles and Guidelines on the Right to
a Remedy and Reparation for Victims of Gross Violations of
International Human Rights Law and Serious Violations of
International Humanitarian Law, yang diadopsi Majelis Umum PBB
yakni penanganan berupa rehabilitasi yang tujuannya untuk
memulihkan martabat dan reputasi sang korban.
Rehabilitasi sangat dibutuhkan bagi korban kekerasan seksual
terutama korbannya merupakan korban yang masih dibawah umur
yang dapat memberikan efek negatif bagi perkembangan anak dalam
menuju masa dewasanya. Tetapi akan lebih efektif jika penanganan
yang dilakukan dengan melakukan semua poin yang terdapat pada
Basic Principles and Guidelines on the Right to a Remedy and
Reparation for Victims of Gross Violations of International Human
Rights Law and Serious Violations of International Humanitarian
Law yaitu restitusi yang tujuannya untuk mengembalikan kembali
kondisi korban menjadi seperti semula pada saat belum terjadinya
permasalahan. Kompensasi juga bisa dilakukan pada korban yang
banyak menerima kerugian baik fisik dan juga masa depan korban
karena harus putus sekolah karena kondisi fisiknya yang sedang
mengandung.

16
Selain itu korban lebih baik juga mendapatkan
jaminan kepuasan dan ketidakberulangan atas pelanggaran
yang menimpanya yaitu kekerasan seksual. Sehingga korban
merasa aman dan tidak takut kejahatan tersebut dapat menimpanya
lagi

3.3 Peran Pekerja Sosial Dalam Menangani Kekerasan Seksual Pada


Anak (untuk anak dan keluarganya )
Selain mendapatkan penanganan dari pihak berwajib dan juga
professionalitas dalam kasus ini pekerja sosial juga mampu
menanganai kasus kekerasan seksual yang terjadi kepada anak.
Pekerja sosial merupakan suatu bidang keahlian yang memilik
ikewenangan dalam melakukan berbagai macam upaya untuk dapat
memaksimalkan kemampuan individu maupun kelompok untuk dapat
memaksimalkan fungsi sosialnya melalui proses interaksi agar orang
dapat menyesuaikan diri dengan situasi kehidupan secara memuaskan
(Wibhawa, Raharjo & Santoso, 2015:48).
Dengan banyaknya dampak yang diterima oleh korban kekerasan
seksual pada anak maka diperlukannya pengantisipasian dampak
kepada anak korban kekerasan seksual. Menurut Faller (2017), dalam
bekerja dengan anak korban tindak kekerasan seksual dan fisik
termasuk yang terjadi di dalam rumah tangga, pekerja sosial dapat
terlibat dalam case management maupun pelaksana treatment bagi
anak dan keluarga. Berikut merupakan peran pekerja sosial dalam
mengantisipasi dampak kekerasan seksual pada anak :
3.3.1 Pekerja sosial sebagai broker Pekerja sosial sebagai broker
Yaitu dengan menghubungkan anak korban kekerasan seksual
di keluarga dan juga pelaku yang merupakan ayah kandung korban
untuk menuju ke sumber daya ataupun sistem sumber yang
dibutuhkan. Pada umunya klien harus diijinkan untuk menentukan
sumber daya ataupun sistem sumber yang mereka inginkan.
Karena ada baiknya jika pekerja sosial juga mengembangkan
jaringan dengan orangorang yang direferensikan oleh klien. Peran

17
ini sangat penting dalam bekerja dengan klien karena masih
banyak klien yang tidak tau mereka harus ke kelompok pemberian
pelayanan seperti apa dalam kasus yang mereka hadapi. Dalam
kasus ini pekerja sosial dapat menghubungkan korban dengan
lembaga sosial yang bergerak dibidang penanggulangan anak
korban kekerasan dengan mengikuti berbagai treatment yang
ditawarkan agar memperbaiki kondisi fisik dan sosial anak yang
mendapatkan kekerasan seksual dalam keluarga. Selain tu pekerja
sosial juga dapat bekerja sama dengan sistem pengadilan dan
sistem kesejahteraan anak lainnya turut terlibat dalam
pengambilan keputusan apakah akan memindahkan anak dari
orangtuanya dan menempatkannya pada pengasuhan alternative
atau tidak.
3.3.2 Pekerja sosial sebagai educator
Dalam hal ini pekerja sosial diberikan kesempatan untuk
mempelajari keterampilan sosial dan penawaran informasi yang
spesifik untuk kinerja peran yang lebih efektif. Dalam kasus ini
pekerja sosial dapat memberikan informasi apa yang harus
dilakukan dan yang harus dihindari dan informasi yang mendorong
anak korban kekerasan seksual keluarga agar tidak terus
mengurung diri dari lingkungan sekitarnya. Informasi terkait
perubahan perbaikan diri korban sangat diperlukan dalam
memperbaiki kondisi korban dalam kasus kekerasan ini. Dalam
konteks pelaku pekerja sosial dapat memberikan edukasi berupa
fungsi ayah dalam keluarga dan fungsi keluarga dalam melindungi
satu sama lain. Individu, keluarga atau orangtua juga mendapatkan
terapi untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mereka
untuk menerapkan hubungan interpersonal atau pengasuhan efektif
tanpa kekerasan, mencegah berulangnya kekerasan dan membantu
anak mengurangi trauma akibat kekerasan (Messing, 2014; Feller,
2017). Hal ini digunakan agar pelaku yang merupakan ayah
korban dapat mengenali peran dan kewajiban yang harus ia
lakukan sebagai kepala rumah tangga. Pekerja sosial sebagai

18
educator juga dapat berperan untuk melakukan psikoedukasi untuk
membantu anak dalam memahami apa yang dialaminya,
mengurangi trauma dan kesedihan anak, mengajari anak mengatur
emosi dan juga membantu anak menerapkan rutinitas yang adaptif
serta turut memberikan edukasi mengenai keterampilan
perlindungan diri.
3.3.3 Pekerja sosial sebagai fasilitator
Dalam hal ini pekerja sosial berkaitan dengan menstimulasi
atau mendukung pengembangan klien. Peran ini dilakukan untuk
mempermudah anak korban kekerasan untuk berubah menjadi
kearah yang lebih baik agar memperbaiki perkembangannya untuk
masa depan korban. Dalam kasus ini pekerja sosial menstimulus
korban dan juga pelaku untuk dapat keluar dari permasalahannya
berdasar kemauannya sendiri dan disini fasilitator memfasilitasi
dan memungkinkan agar klien dapat berubah menjadi lebih baik.

BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Semakin banyaknya kasus-kasus kekerasan pada anak terutama
kasus kekerasan seksual (sexual violence againts) dan menjadi
fenomena tersendiri pada masyarakat modern saat ini. Anak-anak
rentan untuk menjadi korban kekerasan seksual karena tingkat
ketergantungan mereka yang tinggi. Sementara kemampuan untuk
melindungi diri sendiri terbatas. Berbagai faktor penyebab sehingga
terjadinya kasus kekerasan seksual terhadap anak dan dampak yang
dirasakan oleh anak sebagai korban baik secara fisik, psikologis dan
sosial. Berdasarkan kajian literature yang menjelaskan dampak dan
penanganan dari kasus kekerasan seksual pada anak di keluarga, maka
kekerasan seksual pada anak dapat memberikan dampak yang luas
bagi kondisi fisik, emosi dan juga psikisnya. Melihat dampak yang

19
diakibatkan oleh kekerasan seksual yang dialami oleh anakanak yang
menjadi korban maka dalam penanganannya sangat diperlukan
penanganan yang tepat kepada korban seperti restitusi, kompensasi,
rehabilitasi dan juga jaminan kepuasan dan ketidakberulangan atas
pelanggaran yang menimpanya.

4.2 Saran

Tetap berusaha untuk meningkatkan pengetahuan tentang


trend dan issue kekerasan seksual pada anak dalam keluarga
kepada seluruh masyarakat

DAFTAR PUSTAKA

1. Gosita, Arif. (1989). Masalah Perlindungan Anak. Jakarta: Akademika


Pressindo.
2. Hurairah, Abu. (2012). Kekerasan Terhadap Anak. Bandung: Nuasa Press.
3. IASC. (2005). Panduan Pencegahan Kekerasan Berbasis Gender,
Masa Keadaan Kedaruratan Kemanusiaan: Berfokus pada Pencegahan dan
Penanganan Kekerasan Seksual dalam Masa Darurat. Jakarta: IASC.
4. Kristiani, Renata. (2010). “Haruskah Anak Kita Menjadi Korban?”
Newsletter Pulih, Volume 15 tahun 2010, hal. 4. Jakarta: Yayasan Pulih.
5. Levitan, R. D., N. A. Rector, Sheldon, T., & Goering, P. (2003). Childhood
Adversities Associated with Major Depression and/or Anxiety Disorders
Incommunity Sample of Ontario Issues of Co-Morbidity and Speci ty.
Depression & Anxiety (online); 17, 34-42.
6. Luhulima, Achie Sudiarti. (2000). Pemahaman Bentuk-bentuk Tindak
Kekerasan Terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahannya. Jakarta:
Alumni.

20
7. Maslihah, Sri. (2006). “Kekerasan Terhadap Anak: Model Transisional dan
Dampak Jangka Panjang”. Edukid: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini.I
(1).25-33.
8. Nainggolan, Lukman Hakim. (2008). “Bentuk- bentuk Kekerasan Seksual Terhadap Anak
di Bawah Umur”. Jurnal Equality, Vol. 13 No. 1 Februari 2008.
9. Suradi. (2013). “Problema dan Solusi Strategis kekerasan Terhadap Anak”. Informasi
Kajian
10. Permasalahan Sosial dan Usaha Kesejahteraan Sosial Volume 18 No. 02 tahun
2013.
11. Wibhawa, B., Raharjo, ST., & Santoso, MB. (2017). Pengantar Pekerjaan Sosial.
Bandung: Unpad Press.

21

Anda mungkin juga menyukai