DISUSUN OLEH:
dari pembaca pada umumnya, guna terciptanya makalah yang lebih baik
lagi pada pembuatan makalah yang akan datang. Kurang dan lebihnya
Penulis
ii
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang .......................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ................................................................... 6
C. Rumusan Masalah .................................................................... 6
D. Tujuan Penulisan ...................................................................... 7
iii
1
BAB I
PENDAHULUAN
1
Kemendag, UU No.23 tahun 2002, 2002, diakses dari
http://riau.kemenag.go.id/file/dokumen/UUNo23tahun2003PERLINDUNGANANAK.pdf pada
tanggal 24 mei 2014 pada pukul 09.16
1
2
2
Wikipedia. Pelecehan Seksual Terhadap Anak.
http://id.wikipedia.org/wiki/Pelecehan_seksual_terhadap_anak
3
United Nations HIV/AIDS Fact Sheet, United Nations Development Programme, 2002.
3
4
Kompasiana. 2013. Darurat Nasional: Eksploitasi Seksual Anak. diakses pada
http://regional.kompasiana.com/2013/07/24/darurat-nasional-eksploitasi-seksual-anak--
579268.html (diakses pada tanggal 21 Mei 2014 pada pukul 11.21 WIB)
5
Kompas. 2014. Indonesia Darurat Kekerasan pada Anak. diakses pada
http://nasional.kompas.com/read/2014/05/07/0527140/Indonesia.Darurat.Kekerasan.pada.Anak
(diakses pada tanggal 21 Mei 2014 pada pukul 11.21 WIB)
6
Wikipedia, http://id.wikipedia.org/wiki/Pelecehan_seksual_terhadap_anak (diakses pada tanggal 21
Mei 2014 pada pukul 11.21 WIB)
4
7
Nurlaili Lisdiya, 2013, sex education untuk-anak-anak, why not? Diakses dari
http://sisimikro.blogspot.com/2013/01/sex-education-untuk-anak-anak-why-not.html pada tanggal
20 mei 2014 pada pukul 16.14 WIB
5
8
Laia Rahmawati, Nuh: Cegah Kekerasan Seksual, Kurikulum Ajarkan Kesadaran Soal Pakaian Dalam,
2014, Kompas, diakses dari
http://edukasi.kompas.com/read/2014/05/17/0745343/Nuh.Cegah.Kekerasan.Seksual.Kurikulum.2
014.Ajarkan.Kesadaran.soal.Pakaian.Dalam (pada tanggal 20 Mei 2014 pada pukul 16.16 WIB )
9
Levesque, Roger J. R. (1999). Sexual Abuse of Children: A Human Rights Perspective.
Indiana University Press. hlm. 1,5–6,176–180. ISBN 0253334713. (pada tanggal 20 Mei 2014
pada pukul 16.40 WIB )
10
United Nations Convention on the Rights of the Child.
11
United Nations Treaty Collection. Convention on the Rights of the Child . (Diakses 25 Mei 2014)
12
Child Rights Information Network (2008). Convention on the Rights of the Child. (Diakses 25 Mei
2014)
6
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat dikemukakan
indentifikasi masalah, sebagai berikut:
1. Perkembangan psikoseksual anak menurut Sigmund Freud dan
Erik Erikson.
2. Peran sekolah dalam membuat SOP (Standar Oprasional
Prosedur) keamanan pada anak.
3. Seks policy bagi pelanggar kebijakan
4. Analisis jurnal tentang kekerasan seks terhadap anak usia dini,
guna memberi wawasan dan mempertegas tentang dampak kasus
seks abuse serta cara penanganannya.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat kita tarik beberapa
pertanyaan sebagai rumusan masalah, yang akan dibahas secara lebih
mendalam dalam makalah ini. Adapun rumusan masalah tersebut adalah
sebagai berikut
1. Bagaimanakah perkembangan psikoseksual anak menurut
Sigmund Freud dan Erik Erikson?
2. Bagaimana Peran sekolah dalam membuat SOP keamanan pada
anak?
3. Bagaimana seks policy bagi pelanggar kebijakan?
4. Bagaimana kasus-kasus seks abuse terhadap anak yang ada di
dunia, diperoleh dari analisis jurnal?
7
D. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas tujuan umum penulisan
makalah ini adalah memberikan wawasan kepada pembaca tentang
kekerasan seksual terhadap anak usia dini, secara khusus tujuan
penulisan makalah ini yaitu agar pembaca memahami tentang
1. Untuk mengetahui perkembangan psikoseksual anak menurut para
ahli.
2. Untuk mengetahui peran sekolah dalam membuat sop keamanan
pada anak.
3. Untuk mengetahui seks policy bagi pelanggar kebijakan.
4. Untuk mengetahui dampak kasus seks abuse di dunia serta cara
penanganannya melalui analisis jurnal tentang kekerasan seks
terhadap anak usia dini.
8
BAB II
PEMBAHASAN
b) Tahap Anal
Selama tahun kedua atau ketiga kehidupan anak, wilayah anal
menjadi fokus ketertarikan seksual. Anak-anak jadi semakin sadar
akan sensasi-sensasi menyenangkan ketika sudah dapat mengontrol
otot-otot dubur ini, kadang-kadang mereka belajar untuk menahan
gerakan perut sampai detik terakhir untuk kemudian meningkatkan
tekanan di dubur yang membawa kesenangan tertinggi saat feses
akhirnya terlepas (Freud, 1905). Anak-anak juga sering tertarik untuk
11
Krisis odipal anak laki-laki. Krisis odipal dimulai saat anak laki-laki
mulai tertarik kepada penisnya. Organ ini yang begtitu mudah dibuat
senang dan berubah bentuk, dan begitu kaya akan sensasi (Freud
1923), anak lalu ingin membandingkan penisnya dengan penis anak
lain dan penis hewan, dan berusaha melihat organ seksual anak
perempuan dan wanita. Anak mungkin juga menikmati
memperlihatkan penisnya, dan yang lebih umum memainkan peran
yang bisa dmainkannya sebagai pria dewasa. Anak memulai
eksperimen dan memtar fantasi dimana dia menjadi pria heroik dan
agresif, seringkali mengarahkan intensinya menuju objek cinta
utamanya, sang ibu. Dia mulai menciumi ibu dengan agresif, atau
tidur bersamanya ketika malam, atau membayangkan menikahinya.
Namun anak akan segera menyadari jika tindakannya salah dengan
alasan sudah menjadi “anak besar”.
Krisis odipal anak perempuan, Pandangan Freud sendiri tentang
topik ini secara luas adalah mencatat bahwa anak perempuan di usia
5 tahun atau lebih menjadi kecewa dengan ibunya. Anak merasa
dicampakkkan karena ibunya tidak lagi memberi cinta yang dipeoleh
ketika dulu masih bayi. Lebih jauh lagi, dia semakin marah dengan
larangan ibu seperti masturbasi. Akhirnya, dan yang paling
mengecewakan, si anak menemukan bahwa dia tidak memiliki penis.
Denga kata lain anak perempuan merasakan yang disebut Feud
kecemburan akan penis, sebuah harapan memiliki penis seperti
dimiliki anak laki-laki. Namun akhirnya anak perempuan mulai bisa
memulihkan kebanggaan feminimnya, ketika dia mengapresiasi
perhatian sang ayah.
d) Tahap Latensi
Anak memasuki periode latensi sampai usia 11 tahun. seperti
ditunjukkan olehnya , fantasi-fantasi seksual dan agresivitas
sekarang tersembunyi dalam-dalam (laten) dijaga rapat-rapat
dibawah, di dalam ketidaksadaran. Anak sekarang bebas
mengarahkan kembali energinya pada pengejaran-pengejaran
13
mengandung dua bagian, salah satu bagiannya disebut suara hati. Ini
adalah bagian superego yang Yang bersifat menghukum, negatif dan
kritis yang mengatakan pada kita apa yang tidak boleh dilakukan dan
menghukum kita dengan rasa bersalah jika kita melanggar
tuntutannya. Hal ini yang menjadi standar anak pada krisis odiipal
agar krisis odipal tidak menjadi kompleks. Sedangkan bagian yang
lain disebutnya ego ideal, karena terdiri atas aspirasi-aspirasi positif,
berisi ide-ide positif seperti keinginn menjadi lebih murah hati, berani
atau berdedikasi tinggi.
Pemikiran Freud tentang pendidikan tidaklah seradikal yang seperti
umumnya diduga. Dia percaya bahwa masyarakat akan selalu
membuat sejumlah penolakan instingtual, sehingga tidak adil jika
mengirim anak ke dunia dengan harapan mereka dapat melakukan
apa saja yang diinginkan (Freud, 1933). Di sisi lain Freud juga
melihat kalau disiplin biasanya bersifat memaksa, membuat anak jadi
merasa malu dan bersalah oleh karena hal yang tidak perlu
mengenai tubuh dan fungsi-fungsi alamiah mereka. Freud secara
khusus berempati terhadap kebutuhan akan pendidikan seks yang
benar dan merekomendasikan agar pendidikan seks dipegang
sekolah agar anak bisa mempelajari reproduksi di dalam pelajaran
tentang alam dan hewan, dari situ mereka dapat menarik kesimpulan
yang benar mengenai kondisi manusia.
2. Teori Perkembangangan Psikoseksual/ Psikososial Erik Erikson
Erikson memperdalam penggalian psikoanalisis Freud , karena itu,
di setiap tahapan Freudian dia mulai memperkenalkan sejumlah konsep
yang secara bertahap mengarah kepada hubungan paling umum
sekaligus krusial antara anak dan dunia sosial, berikut pembahasannya:
a) Tahap oral – Kepercayaan vs ketidakpercayaan (trust vs
mistrust)
Erikson memperluas deskripsi Freud mengenai tahapan oral. Erikson
menunjukkan bukan hanya zona oral yang penting, namun juga
mode-mode ego menghadapi dunia. Pertama-tama Erikson berusaha
15
16
William Crain, op.cit.,hh. 428
17 John W. Santrock, Life Span Development: Perkembangan Masa Hidup, Edisi XIII Jilid 1,
(Jakarta: Erlangga,2012), h. 26
16
21 Santrock, op.cit., h. 26
22 Willianm Crain. op.cit., h.438
23 Santrock, loc.cit. h. 27
24 William, Op.cit., h.440
18
25 Focusing Resources on Effective School Health. Core Intervention 1: Health Related School Policies.
http://www.freshschools.org/schoolpolicies-0.htm (diakses 27 Mei 2014)
23
f. Indikator emosional
Depresi
Fobia (ketakutan yang berlebihan, misalnya takut kegelapan,
takut toilet umum, dll.)
Melukai diri sendiri
Melukai atau membunuh binatang
Reaksi spontanitas dan kreatifitas berkurang
4. Tanda-tanda Peserta Didik yang Rentan Kekerasan
Di bawah ini beberapa karakteristik anak yang rentan dan apa yang
harus dilakukan untuk membantu peserta didik tersebut. Bagaimana
mengidentifikasi dan membantu anak yang rentan kekerasan?
Faktor
Pendukung
NO Bentuk Sikap Dan Perilaku
dan
Pencegah
1 Faktor yang Keluarga yang tidak harmonis
memungkinka Orang tua yang menyalahgunakan zat adiktif atau
n peserta didik menderita gangguan mental
rentan Pengabaian
terhadap Perilaku tak pantas atau agresif di kelas;
kekerasan Gagal atau kurang bertanggung jawab pada
sekolah
Kecakapan sosial yang terbatas
Ikut teman yang menggunakan alkohol atau
narkoba atau ikut serta dalam perilaku yang
beresiko lainnya
Status ekonomi yang rendah; atau Perilaku yang
menunjukkan pemakaian narkoba, alkohol atau
rokok pada usia dini.
2 Faktor positif Ikatan keluarga yang kuat, keterlibatan keluarga
yang dapat dalam kehidupan anak
membantu Sukses di sekolah
mengurangi Kecakapan sosial yang baik
resiko Aktif dalam kegiatan masyarakat
kekerasan setempatMembangun hubungan yang baik
terhadap setidaknya dengan satu orang dewasa seperti
peserta didik guru
31
lain. Belajar merupakan proses aktif dari peserta didik dalam membangun
pengetahuannnya , jika pembelajaran tidak memberikan kesempatam
kepada peserta didik untuk berperan aktif, maka pembelajaran tersebut
bertentangan dengan hakikat belajar. Peran aktif peserta didik sangat
penting dalam rangka pembentukan generasi yang kreatif, yang
mampumenghasilkan sesuatu untuk kepentingan drinya dan orang lain.
Kreatif jiga dimaksudkan agar guru menciptakan kegiatan belajar yang
beragam sehingga berbagai tingkat kemampuan peserta didik.
Menyenangkan dimaksudkan sebagai suasana pembelajaran yang
menyenangkan, sehingga peserta didik memusatkan perhatiannya secara
penuh pada belajar. Keadaan aktif dan menyenangkan tidaklah cukup jika
proses pembelajaran tidak efektif, yaitu tidak menghasilkan apa yang
harus dikuasai peserta didik setelah proses pembelajaran berlangsung,
sebab pembelajaran memiliki sejumlah tujuan pembelajaran yng harus
dicapai. Jika pembelajaran tersebut tidak ubahnya seperti bermain biasa.
Pelaksanaan PAKEM di TK dapat digambarkan sebagai berikut 26:
1. Peserta didik terlibat dalam berbagai kegiatan yang
mengembangkan pemahaman dan kemampuan mereka dengan
penekanan pada prinsip bermain sambil belajar
2. Guru menggunakan berbagai alat bantu dengan berbagai cara
pembelajaran (multimedia- multimethdo), termasuk menggunakan
lingkungan sebagai sumber belajar untuk menjadikan pembelajaran
menarik, menyenangkan, dan sesuai dengan perkembangan
peserta didik.
3. Guru mengatur kelas seuai dengan kebutuhan pembelajaran
melalui sudut sentra dan area
4. Guru mendorong peserta didik untuk menemukan caranya sendiri
dalam pemecahan masalah, untuk mengungkapkan gagasan dan
melibatkan peserta didik melalui bimbingan guru.
26
I wayan AS, Konsep Pengembangan Kurikulum Pendidikan Anak Usia Dini Formal, (Jakarta: Az-
Zahra Book’s 8 , 2010) ., h. 376
38
sekolah hal ini menunjukkan bahwa masyarakta juga harus terlibat dalam
upaya melaksanakan pendidikan yang bermutu, karena pada dasarnya
antara sekolah dan masyarakat terjadi hubungan timbal balik yang tidak
dapat dipisahkan.
Dalam pasal 51 ayat 1 Undang- undang No 20 tahun 2003
dijelaskan bahwa “ pengelolaan suatu pendidikan anak usia dini,
pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan
standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah”.
Peningkatan mutu pendidikan dan pembelajaran melalui MBS dapat
dilakukan dengan 3 komponen (1) Melaksanakan menejemen yang
transparan, partisipatif dan akuntabel, (2) Melaksanakan pembelajaran
yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan, (3) Meningkatkan peran
serta masyarakat.
Pada usia dini anak sedang melakukan adaptasi dengan
lingkungan yang dialaminya dirumah dan lingkungan yang diikutinya
disekolah. Dalam proses adaptasi ini sering muncul adanya permasalahan
yang dapat mengganggu kelangsungan KBM. Karenanya diperlukan
perlakuan dan kebijakan tertentu sehingga proses adaptasi dan kegiatan
pembelajaran yang dilakukan dapat berjalan lancar. Kondisi tersebut
mengharuskan guru menciptakan suasana yang menyenangkan serta
lingkungan yang mirip dengan lingkungan yang sudah akrab dengan
anak. Hal tersebut menuntut guru untuk dapat memahami karakteristik
dan latar belakang dari masing- masing anak sehingga dapat memberikan
perlakuan yang tepat dan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan anak.
Dengan demikian pembelajaran yang dilakukan disekolah lebih bersifat
tidak formal sesuai dengan lingkungan alami, kekeluargaan,
menyenangkan, serta banyak bermain, beberapa hal tersebut diatas
dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Pertimbangan perlunya partisipasi masyarakat: partisipasi
masyarakat diperlukan di TK antara lain karena beberapa hal
berikut : a. pendidikan adalah tanggung jawab bersama baik
keluarga, masyarakat ,maupun pemerintah,b. Keluarga
40
dengan mudah melalui media baik cetak maupun elektronik, ketika anak
bertanya kepada orang tua atau guru tentang seks, dan ia tidak mendapat
jawaban maka dia akan mencari informasi sendiri melalui media, hal ini
sangat berbahaya.
Berbagai pertanyaan yang dikemukakan oleh anak berkaitan
dengan seksualitas biasanya dimulai dari perbedaan jenis kelamin antara
dirinya dengan teman sebayanya, dan dengan orang tua nya. Rasa ingin
tahu anak dan kebutuhan eksplorasi yang tinggi pada anak membuat
pertanyaan anak semakin bertambah kompleks. Anak mulai bertanya
tentang fungsi alat kelaminnya, proses kelahiran bayi, proses munculnya
bayi di dalam perut Ibu, mengapa laki-laki dan perempuan harus menikah,
dan apakah seorang Ibu dapat memiliki bayi apabila tidak menikah.
Pada saat anak memperoleh jawaban yang benar, ilmiah, dan
dapat memuaskan rasa ingin tahu anak, anak akan memiliki pijakan yang
benar untuk memilih tindakan yang benar nantinya, dan menyadari
konsekuensi dari tindakan yang ia pilih. Jawaban yang tidak realistis, dan
abstrak akan sulit dipahami anak. Anak tidak memperoleh kepuasan akan
rasa ingin tahu nya. Mereka akan berusaha mencari jawaban yang benar
melalui teman sebaya, melalui media, dan melalui tindakan eksplorasi
genital yang tidak terkontrol. Anak juga dapat melakukan berbagai tindak
eksperimen dengan dirinya sendiri ataupun teman sepermainannya, tanpa
sepengetahuan orangtua.
Sikap orangtua yang kaku menghadapi pertanyaan anak dan
perilaku seks anak di usia dini dapat membawa akibat yang buruk. Sikap
keras dan otoriter orangtua yang cenderung menghardik atau membentak
pada saat anak bertanya atau melakukan eksplorasi seksual dapat
membuat anak merasa malu dan merasa bersalah, sehingga anak
mengembangkan berbagai macam persepsi yang keliru tentang seks.
Dibutuhkan proses upaya penanganan yang serius dan
berkesinambungan, dan ini dapat dilakukan melalui penerapan pendidikan
seks bagi anak dalam Pendidikan Anak Usia Dini.
43
27
Yesmil Anwar Andang, Kriminologi, Refika Aditama, cetakan I, Bandung, 2010, h.318.
45
28
Andi Hamsah, Terminologi Hukum Pidana, Sinar Grafika, Cetakan I, Jakarta, 2008, h.32.
46
29
Lorem Ipsun et.all., Pedoman Rujukan Kasus Kekerasan Terhadap Anak Bagi Petugas Kesehatan,
(Jakarta: UNICEF & Departemen Kesehatan RI, 2007)., h. 15-16.
47
30
Lampiran Peraturan Menteri PPPA No. 11 Tahun 2011, Tentang Panduan PencegahanTerhadap
Anak di Lingkungan Keluarga, Masyarakat dan Lembaga Pendidikan. (Jakarta: Kementerian PPPA,
2011)., h. 3-4
48
31
Djoko Prakoso, Hukum Penitensier di Indonesia, Cetakan I, (Yogyakarta: Liberty, 1988)., h.105.
32
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
50
harus diduga, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau belum
kawin.”
Pasal 290 ayat 3 KUHP menyatakan: “bahwa barangsiapa
membujuk seseorang yang diketahui atau sepatutnya harus diduga
bahwa umurnya belum lima belas tahun atau ternyata belum kawin,
untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, atau
bersetubuh diluar pernikahan dengan orang lain.”
Pasal 292 KUHP menyatakan: “bahwa orang yang cukup umur,
yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sama kelamin,
yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa belum cukup
umur, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.”
Pasal 293 ayat 1 KUHP menyatakan: “bahwa barangsiapa
dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang,
menyalahgunakan perbawa yang timbul dari hubungan penyesatan
sengaja menggerakan seorang belum cukup umur dan baik tingkah
lakunya, untuk melakukan atau membiarkan dilakukannya perbuatan
cabul dengan dia, padahal belum cukup umurnya itu diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun.”
Pasal 294 ayat 1 KUHP menyatakan: “bahwa barangsiapa
melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya, anak
angkatnya, anak dibawah pengawasannya yang belum cukup umur,
atau dengan orang yang belum cukup umur yang memeliharanya,
pendidikannya atau penjagaannya diserahkan kepadanya ataupun
dengan bujangnya atau bawahannya yang belum cukup umur,
diancam dengan pidana paling lama tujuh tahun.” Pengertian
perbuatan cabul ini adalah perbuatan dengan yang dilakukan dengan
cara melakukan perbuatan yang tidak senonoh yang berhubungan
dengan tubuh korban dalam hal menyerang kehormatan korban dalam
konteks perbuatan asusila, dan yang dilakukan oleh orang dewasa
kepada anak di bawah umur.
Pasal 295 KUHP menyatakan :1e. “Dengan hukuman penjara
selama-lamanya lima tahun, barang siapa yang dengan sengaja
52
33
Undang-Undang Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002
53
b. Perbuatan Cabul
D. ANALISIS JURNAL
Berikut di paparkan beberapa analisis jurnal ilmiah yang berkaitan
dengan kekerasan seksual terhadap anak usia dini, untuk jurnal
lengkapnya terlampir.
1. Judul jurnal: The Prevention of Childhood Sexual Abuse
Penulis : David Finkelhor
Penerbit : The Future of Children is a collaboration of the
Woodrow Wilson School of Public and
International Affairs at Princeton University and
the Brookings Institution.
http://futureofchildren.org
Tahun : 2009
Vol : VOL. 19 / NO. 2 / FALL 2009
Jumlah Halaman : 169-194 / 26 Lembar
Dasar pemikiran
David Finkelhor inisiatif mengkaji pencegahan pelecehan
seksual terhadap anak, yang memusatkan perhatian pada dua
strategi utama yaitu pelaku dan program pendidikan melalui
manajemen berbasis sekolah. Melalui strategi ini, pelaku utama
diperiksa, memberitahu masyarakat tentang kehadiran mereka,
melakukan pemeriksaan lapangan kerja, latar belakang,
kehidupan, dan memberikan hukuman. Pada kenyataannya
penduduk jauh lebih beragam. Pelaku seksual bukan hanya orang
asing atau pedophilia, orang-orang sekitar juga banyak. Oleh
karenanya, Finkelhor menyarankan menggunakan penegakan
hukum sumber daya untuk menangkap pelaku secara lebih
intensif dan memusatkan perhatian pada upaya manajemen risiko
tertinggi pada korban yang lain dan selanjutnya.
55
Hasil Analisis
Tulisan ini dibuat untuk menjawab keresahan orangtua sebagai
dampak dari berbagai kasus dan peristiwa berbau free seks yang
banyak terjadi di masyarakat. Berkembangnya tehologi yang masih
minim pengawasan memungkinkan tereksposnya berbagai hal,
termasuk didalam hal yang berbau pornografi, secara bebas tanpa
memikirnya dampak negatif yang mungkin akan muncul.
Jurnal yang ditulis ini merupakan deskripsi pentingnya pendidikan
seks sedini mungkin, mengingat makin maraknya kasus yang
berkaitan dengan atau disebabkan oleh kurangnya pemahaman
tentang seks itu sendiri. Pendidikan seks perlu dikenalkan dan
ditanamkan sedini mingkin pada anak mengingat anak adalah amanah
yang perlu dijaga dan diperhatikan perkembangannya. Fokus utama
pendidikan seks bagi anak adalah bagaimana membantu anak
mengetahui dan memahami berbagai topik biologis seperti
pertumbuhan, masa puber dan kemahamilan serta bagaimana
memahami dan menjaga dirinya sendiri.
Strategi pendidikan seks bagi anak harus disesuaikan dengan
tujuan, usia anak, tingkat pengetahuan kedewasaan anak serta
kebudayaan setempat. Tugas mendidik anak pada dasarnya adalah
tugas orangtua, tapi karena berbagai kendala dan keterbatasana maka
57
Hasil Analisis
Penelitian ini di latarbelakangi oleh ketidak adilan dalam
penuntutan pelaku kekerasan terhadap anak. Apakah telah
menerapkan UUPA No. 23 tahun 2003 dalam mempidana pelaku
kekerasan terhadap anak. Seharusnya pelaku kekerasan seksual
terhadap anak di tuntut dengan UUPA karena disamping memuat
tentang ancaman pidana badan juga tentang denda bagi pelaku.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memahami
penerapan ancaman sanksi maksimal terhadap pelaku kekerasan
anak dan juga menganalisis hakikat penerapan sanksi menurut
undang-undang No. 23 tahun 2003 tentang perlindungan anak.
Penelitian ini adalah penelitian normatif yaitu penelitian yang
menitik beratkan pada penelitan pustaka di mana mengkaji teori-teori
serta peraturan perundang-undangan yang ada kaitannya dengan
penerapan sanksi terhadap pelaku kekerasan pada anak. Subjek
penelitian adalah adalah para jaksa di kejaksaan Negeri Makasar,
sampel sebanyak 4 jaksa.
Metode pengumpulan data dalam penelitian normatif ini adalah
bahan hukum, terdiri bahan hukum primer dan sekunder yang
dikelompokan agar lebih mudah dianalisis, serta dilengkapi dengan
hasil wawancara dengan jaksa yang menjadi subjek penelitian.
Hasil penelitian menunjukan bahwa sebagian besar aparat
hukum di kejaksaan negeri Makasar menggunakan UUPA no. 23
Tahun 2002, untuk kasus kekerasan pada anak dan jarang
menggunakan KUHP tanpa memperhatikan berat ringannya ancaman
sanksi di kedua peraturan perundang-undangan tersebut, yang
seharusnya dipakai aturan yang ancaman sanksinya lebih berat,
utamanya untuk kasus kekerasan pada anak yang dilakukan secara
sadis.
Dari penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa antara
Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan
KUHP ancaman sanksi terhadap pelaku kekerasan ada yang lebih
59
berat dan ada yang lebih ringan, tetapi pada UUPA disamping
ancaman fisik (kurungan) juga ada ancaman denda dan ancaman
sanksi minimum.
4. Judul Jurnal: Intention, Behavior, and Sex Education in Early
Childhood (Intensi dan Perilaku Orang Tua Dalam
Memberikan Pendidikan Seks Pada Anak Usia Dini)
Hasil Analisis
Latar belakang penelitian ini adalah pemahaman orang tua yang
sangat kurang tentang kesadaran bahwa anak memiliki hak untuk
mendapatkan akses informasi yang benar tentang seksualitas sesuai
dengan kebutuhan dan tahap perkembangan usianya dengan
menggunakan bahasa dan metodologi yang tepat untuk anak usia
dini. Anak juga berhak untuk dilindungi dari resiko pelecehan dan
kekerasan seksual. Data dari Biro Pusat Statistik tahun 2006,
berdasarkan kasus yang dilaporkan terdapat 99.377 kasus kekerasan
seksual yang korbannya anak di bawah usia 19 tahun. Terdapat
51.676 (51%) dari total jumlah tersebut adalah anak usia dibawah 9
tahun. Hal ini menunjukkan bahwa anak-anak termasuk anak usia
balita belum terlindungi sehingga sangat rentan terhadap resiko
kekerasan seksual.
Pelaksanaan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
gambaran deskriptif intensi dan perilaku orang tua dalam
memberikan pendidikan seks pada anak usia dini di Kelurahan
Sekaran Kecamatan Gunungpati Kota Semarang. Penelitian ini
60
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Banyak pihak, terutama para orang tua meyakini bahwa insting
seksual tidak dijumpai pada masa anak-anak, dan baru akan muncul pada
masa pubertas. Pendapat seperti ini merupakan kekeliruan yang sudah
mengakar kuat di masyarakat kita. Ketidaktahuan mengenai prinsip-
prinsip kehidupan seksual pada anak dapat berakibat negatif terhadap
perkembangan peran seks anak, dan terhadap sikap perilaku anak usia
dini. Kajian mendalam mengenai kehidupan seksual selama masa anak-
anak akan mampu menunjukan kepada kita bagaimana proses
pendampingan yang tepat bagi anak terkait perkembangan peran seks
nya.
Perkembangan peran seks telah banyak dikaji dalam berbagai sudut
pandang keilmuan dan berbagai teori psikologi. Sigmund Freud dalam
teori psikoanalisanya menjelaskan bahwa perkembangan gender dan
perkembangan peran seks dibagi ke dalam lima fase yaitu fase oral, fase
anal, fase phallic, fase latent, dan fase genital. Sedangankan Erik Erikson
mengembangkan teori psikososial yang masih dipengaruhi oleh teori
psikoanalisis Sigmund Freud, akan tetapi teori ini memberikan wawasan
yang lebih luas tentang perkembangan kesadaran diri dan lingkungannya
yaitu dikelompokkan ke dalam delapan fase perkembangan yaitu fase
trust vs mistrust, fase autonomy vs same & doubt, fase initiative vs guilt,
fase industry vs inferiority, fase identity vs role confusion, fase intimary vs
isolation, fase generativity vs stagnation, fase integrity vs despair.
Perbedaan yang mendasar antara teori Freud dan teori Erikson adalah
pada penekanannya, teori Erikson, penekanannya diberikan pada aspek
budaya, sedangkan teori Freud, penekanannya diletakkan aspek biologis
dan orientasi seksual.
61
62
B. SARAN
Diharapkan kepada mahasiswa/praktisi untuk dapat memahami
tentang teori perkembangan psikoseksual anak, penyusunan SOP
keamanan di sekolah dan sanksi pada pelaku kekerasan terhadap anak.
Dengan memahami ketiga aspek tersebut maka makhasiswa/praktisi
dapat memberikan kontribusi nyata dalam penanggulangan kekerasan
terhadap anak. Ketika menemukan kasus kekerasan terhadap anak dapat
memberikan masukan, solusi atau pendampingan kepada korban agar
diperlakukan secara adil.
63
DAFTAR PUSTAKA
Lorem Ipsun et.all, Pedoman Rujukan Kasus Kekerasan Terhadap Anak Bagi
Petugas Kesehatan, (Jakarta: UNICEF & Departemen Kesehatan RI,
2007)
Wikipedia, http://id.wikipedia.org/wiki/Pelecehan_seksual_terhadap_anak
(diakses pada tanggal 21 Mei 2014 pada pukul 11.21 WIB)
64
LAMPIRAN
65
Lampiran 1
Contoh Kegiatan: Monitoring dan Evaluasi Kebijakan Sekolah
Ceklis di bawah ini masih bisa dikembangkan sesuai kebutuhan.
Apakah sekolah memiliki kebijakan menentang diskriminasi? (beri tanda √
jika ya)
o WC terpisah untuk guru pria dan wanita dan juga peserta didik
perempuan dan laki-laki.
o Jumlah WC memadai
Lampiran 2
Contoh Refleksi Guru dan Kecakapan Hidup
Memberikan kecakapan hidup kepada peserta didik memerlukan contoh
orang dewasa. Untuk kegiatan ini, tanyakan pada diri sendiri, “Bagaimana
saya menghargai diri, percaya diri, menghormati dan peduli kepada orang
lain?.
Isilah tabel berikut dan identifikasi tindakan apa yang mencerminkan
perilaku diri sendiri dan untuk kebaikan peserta didik. Cobalah beberapa
perilaku ini selama dua atau empat minggu. Apakah terjadi perubahan dari
sisi perasaan kita atau perlakuan orang lain kepada kita?
Apa yang saya Apa yang juga dadpat
lakukan saya lakukan
Perilaku
sekarang (perilaku
baru)
Hormati diri (seperti cara
memperbaiki diri)
Penghargaan diri, percaya
diri (seperti cara yang
menunjukkan diri sendiri
bahwa saya seseorang
yang berharga)
Menghormati orang
lain (seperti cara
menunjukkan kekaguman
kepada orang lain atau
mempertimbangkan
perasaan orang lain)