Anda di halaman 1dari 12

PSIKOPATOLOGI

Psikologi Forensik

Dosen pengampu : Fajar Kawuryan. Psi,M.Si

KELOMPOK 5 :

1. Didik Abdul Latif ( 201860063 )


2. Kafita Ma’iyuni ( 201860092 )
3. Pipit Windi Febriana ( 201860094 )
4. Amalia khoirun Nisa ( 201860100 )
5. Erlita Noor Safitri ( 201860105 )
6. Nur Anisa Fakhrana ( 201860106 )
7. Septinola Fatinah Fadhila Sari ( 201860109 )
8. Kurniadini Christyaputri ( 201860110 )
9. Muhammad fachrezy ( 201860088 )
10. Pandega tegar wicaksono ( 201860093 )

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS MURIA KUDUS

Tahun Akademik 2018/2018

KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT karena telah memberi rahmat serta
hidayat-Nya kepada kita semua, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dengan tepat
waktu dan makalah ini dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya.
Makalah ini kami susun dengan maksimal dengan bantuan dari berbagai pihak dan ber
bagai sumber, kami juga sangat berterima kasih untuk semua pihak yang telah membantu
dalam pembuatan makalah ini. Dari semua itu kami bukan manusia sempurna karenanya
kami menyadari bahwa pasti ada banyak kekurangan dalam pembuatan makalah ini dari segi
susunan bahasa ataupun penjelasan yang telah tertera. Oleh karena itu kami mohon maaf
setulus-tulusnya, jika kekurangan tersebut sangat mengganggu. Kami sangat senang jika
pembaca atau pengguna makalah ini bisa memberikan kritik dan saran untuk kami penyusun.

Kudus, 11 Maret 2019

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Psikologi adalah ilmu yang mempelajari jiwa/psikis manusia, sehingga dalam setiap
kehidupan manusia maka psikologi berusaha untuk menjelaskan masalah yang dihadapi. Tak
terkecuali dalam permasalahan hukum (HIMPSI, 2017).
Pesatnya diskusi tentang kebutuhan peran psikologi dalam konteks hukum di Indonesia
telah memacu perkembangan ilmu psikologi forensik. Ditambah lagi media internet dan film
menambahkan gambaran dan narasi yang menarik mengenai peran psikologi forensik pada
saat ini. psikologi forensik merupakan gambaran kegiatan penyidikan dengan cara
menganalisis tindakan-tindakan yang dilakukan oleh tersangka dari sisi psikologis untuk
membantu proses pembuktian tindak pidana dan berkontribusi dengan hukum. Psikologi
forensk dihadirkan untuk menanggulangi berapa akibat dari kekhilafan manusia yang
mempengaruhi berbagai aspek dalam bidang hukum adalah penilaian yang bias,

ketergantungan pada stereotip, ingatan yang keliru, dan keputusan yang salah atau tidak adil.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan psikologi forensik?
2. Bagaimana sejarah psikologi forensik dunia hingga masuk ke indonesia?
3. Apa kaitanya psikologi forensik dengan hukum?
4. Bagaimana aplikasi dari ilmu psikologi forensik?
5. Apasaja peran psikolog forensik?

C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui pengertian dari psikologi forensik
2. Mengetahui dan mempelajari sejarah psikologi forensik dunia hingga masuk ke
indonesia
3. Mengetahui dan mempelajari kaitanya psikologi forensik dengan hukum
4. Mengetahui dan mempelajari aplikasi dari ilmu psikologi forensik
5. Mengetahui dan mempelajari peran psikolog forensik
BAB II
PEMBAHASAN

Pengertian Psikologi Forensik


Forensik berasal dari bahasa Latin yaitu forensis yang artinya debat atau perdebatan. Forensik
sendiri sendiri diartikan sebagai bidang ilmu pengetahuan yang digunakan untuk membantu
proses penegakan keadilan melalui proses penerapan ilmu/sains. Psikolog forensik adalah
ilmuwan dan praktisi yang berkecimpung pada psikologi hukum. Ilmuwan psikologi forensik
tugasnya melakukan kajian/ penelitian yang terkait dengan aspek-aspek perilaku manusia
dalam proses hukum: Reseacher, aktivis LSM, Dosen, Staff, LP, KEMENHUKHAM, BNN,
KPA, KPAN.
Tugasnya memberikan bantuan profesional berkaitan dengan permasalahan
hukum→Khususnya Hukum PIDANA. Mengaplikasikan ilmunya untuk membantu
penyelesaian masalah hukum. Di Indonesia, profesi psi. forensik masih kurang dikenal, baik
di kalangan ranah psikologi maupun di kalangan aparat hukum. Bartol & Bartol (dalam
Wrightsman, 2001) menyatakan psikologi Forensik dapat dibedakan menjadi:
Kajian/ penelitian yang terkait dengan aspek-aspek perilaku manusia dalam proses hukum
(seperti pengambilan keputusan pelaku kejahatan, ingatan saksi, pengambilan keputusan
juri/hakim, situasi psikologis saat sebuah kejadian berlangsung)
Profesi psikologi yang memberikan bantuan/dampingan berkaitan dengan hukum.
Aplikasi ilmu dan keahlian psikologi dalam kaitannya dengan individu yang terlibat dalam
masalah hukum. Psikolog forensik biasanya tidak dipanggil untuk mengumpulkan spesimen
DNA dan menganalisis sampel yang tertinggal di tempat perkara secara ilmiah. Psikolog
forensik bukan ahli biologi atau kimia, bukan peneliti TKP atau penegak hukum. Psikolog
forensik hanya mempelajari perilaku manusia dan mencoba menerapkan prinsip-prinsip
tersebut untuk digunakan dalam urusan hukum. Psikolog forensik diharapkan dapat
mengungkap hal-hal seperti:
1. Apakah individu ybs mengalami sakit mental sepenuhnya dan secara potensial
berbahaya untuk dirumah sakitkan?
2. Apakah seseorang yang dituduh melakukan tindak kriminal secara mental cukup
kompeten untuk menjalani pemeriksaan?
3. Apakah suatu hasil kecelakaan atau trauma menyebabkan luka psikologis bagi
seseorang, dan seberapa seriuskah?
4. Apakah seseorang memiliki kapasitas mental normal/sehat dalam memahami
keinginan/kehendaknya ?

Secara garis besar, psikologi forensik mengacu pada penerapan metode penelitian
dan teori psikologi pada suatu kasus yang ditangani hukum. Lebih spesifiknya, psikologi
forensik berfokus pada penerapan psikologi klinis terhadap sistem hukum (Huss &
Gonsalves, 2009). Praktek klinis ini umumnya berfokus pada penilaian dan pengobatan
individu dalam konteks hukum; melingkupi konsep-konsep seperti psikopati, kegilaan,
penilaian risiko, cedera, dan komitmen sipil (Huss & Gonsalves, 2009).

Sejarah Psikologi Forensik


Dibanding bidang kajian lain dari psikologi, psikologi forensik memiliki sejarah yang
relatif singkat. Dari sisi akademik, Hugo Münsterberg, seorang profesor dan direktur
Laboratorium Psikologi di Harvard pada awal abad ke-20, dari tahun 1900-1920, dikenal
sebagai pelopor psikologi forensik. Pada tahun 1908, beliau menerbitkan bukunya yang
berjudul On the Witness Stand yang isinya menguraikan topik-topik berikut: distorsi memori
atau ingatan (memory distortions), akurasi saksi mata (eyewitness accuracy), pengakuan
(confessions), sugestibilitas (suggestibility), hipnosis (hypnosis), deteksi kejahatan (crime
detection), dan pencegahan kejahatan (the prevention of crime). Ketujuh topik ini merupakan
hal yang dibicarakan dalam psikologi forensik.
Sedangkan, dari sisi penerapannya, Cesare Lombroso, seorang kriminolog dari Italia
(1836-1909), dikenal sebagai bapak kriminologi modern karena beliau mencari tahu dan
memahami sebab-sebab seseorang melakukan tindakan kriminal dari perspektif biologis. Di
Amerika Serikat, seorang dokter bernama William Healy dan stafnya seorang psikolog yang
bernama Grace M. Fernald, mendirikan Juvenile Psychopathic Institute pada tahun 1909 yang
kemudian menegaskan pentingnya sebab-sebab yang mendasari kriminalitas. Pada awal tahun
1900-an, Sigmund Freud sedang mengembangkan teorinya mengenai kepribadian dan
tulisan-tulisannya tentang psikopatologi memengaruhi pemikiran mengenai penyebab
perilaku kriminal.
Kemudian pada tahun 1964, Hans. J. Eysenck, seorang psikolog kepribadian yang
terkemuka, menerbitkan bukunya yang berjudul Crime and Personality, di mana beliau
mengusulkan teori biososial mengenai kejahatan, yang dipandang sebagai teori teruji pertama
tentang perilaku kriminal yang diusulkan oleh seorang psikolog. Empat tahun kemudian,
berdirilah American Psychology-Law Society (AP-LS), yang disusul penerbitan jurnal AP-
LS yang berjudul Law and Human Behavior. Tahun 1980, terbentuklah divisi baru American
Psychological Associaton (APA), yaitu Divisi 41 yang dikenal sebagai ‘Psychology and
Law’. Akhirnya pada tahun 2001, APA resmi menetapkan psikologi forensik sebagai suatu
disiplin ilmu dalam psikologi.

Psikologi dan Dunia Hukum


Psychology and Law adalah hubungan dimana riset-riset psikologi dapat dikembangkan
dan hasilnya diterapkan pada bidang hukum. Dalam hal ini, hubungan antara psikologi dan
hukum dianggap setara, sehingga masing-masing punya kemampuan untuk memberikan dan
menerima. Psikologi bisa menawarkan berbagai riset terkait dengan hukum, untuk
memberikan masukan pada bidang hukum untuk mengoptimalkan prosesnya. Hubungan ini
sering dilihat sebagai riset psiko-legal. Beberapa contoh risetnya adalah:
1. penelitian tentang berbagai orang dan perannya terlibat dalam proses hukum, seperti:
hakim, pengacara, penuntut umum, terdakwa, saksi, dan korban.
2. karakter dan peran persepsi, atensi dan memori pada kesaksian
3. faktor-faktor yang mempengaruhi keakuratan kesaksian oleh saksi mata
4. cara-cara mengidentifikasi kebohongan
5. koreksi dan rehabilitasi bagi pelaku pedofilia
Perkembangan ilmu psikologi forensik sangat berkaitan erat dengan motor risetnya.
Semakin banyak riset psikologi forensik maka semakin banyak pemahaman forensik yang
dimiliki oleh psikologi forensik, dan pada akhirnya semakin berkembang pemahaman dan
terapan psikologi forensik yang dapat digunakan di konteks hukum dan peradilan. Semakin
kuat riset psikologi forensik maka semakin kuat posisi psikologi forensik berhadapan dengan
hukum. Contoh: di Lapas, dibutuhkan kemampuan terapi (psikologi klinis) yang khusus
permasalahan kriminal. Di kepolisian dibutuhkan asesmen yang khusus pada individu pelaku
kriminal. Di kepolisian dibutuhkan HRD/Asesor untuk mengkaji kenaikan pangkat Polisi
(PIO).
Pada penanganan pelaku, korban, saksi anak-anak dibutuhkan pemahaman dari
seorang yang ahli (psikologi perkembangan). Begitu juga pada lapas anak-anak. Dalam
menjelaskan relasi sosial antara hakim, pengacara, ingatan saksi, terdakwa (psikologi sosial).
Dalam penggalian kesaksian dibutuhkan keahlian dan kecakapan dalam menggunakan
teknik-teknik wawancara.
Ketika ahli psikologi dan hukum bekerja bersama, maka dapat muncul kerjasama,
yang didasari oleh kesepakatan dan kesamaan tujuan; namun juga dapat terjadi konflik, yaitu
ketika tujuan dan cara pandang berbeda. Berikut adalah beberapa perbedaan psikologi dan
hukum.
Perbedaan antara psikologi dan hukum.

Dengan perbedaan cara pandang ini, maka ahli psikologi forensik perlu berusaha
untuk memahami dan menyesuaikan diri sebagai psikolog di konteks di hukum. Psikologi
berjuang untuk mendapatkan kebenaran yang berdasarkan prinsip ilmiah psikologi, namun
perlu dipahami juga dari perspektif hukum melihat semua orang adalah sama di depan
hukum, maka tujuannya lebih ke penegakan aturan yang telah dipahami semua orang.
Pemahaman perbedaan inilah yang nantinya akan mengarahkan poses masing-masing dan
diterapkan sesuai dengan konteks hubungannya. Ahli psikologi forensik yang terampil adalah
mereka yang selain menguasai keahlian forensik, dan juga mampu memposisikan diri sesuai
dengan konteks bentuk hubungan psikologi-hukum yang dibutuhkan di hadapannya.

Aplikasi Psikologi Forensik


Amerika
Tiap-tiap Departemen di kepolisian AS memiliki psikolog yang merupakan konsultan
Kepolisian. Tugasnya adalah menentukan penyebab kematian seseorang karena dibunuh atau
bunuh diri.
Setiap pengacara memiliki rekanan seorang psikolog. Tugasnya adalah sebagai konsultan
peradilan, psikolog akan merancang hal-hal yang akan dilakukan pengacara maupun kliennya
agar dapat memenangkan perkara.
Tiap-tiap Lapas memiliki terapis dengan spesialisasi keahlian merehabilitasi narapidana (Cth
Film Good Will Hunting)
Indonesia
Psikologi forensik di Indonesia mulai tampak penerapannya di Indonesia pada awal tahun
2000 ketika pada tahun 2003, dalam kasus Sumanto pemakan mayat asal Purbalingga.
Psikolog menyatakan bahwa Sumanto menderita gangguan jiwa sehingga ditempatkan di
bangsal khusus penderita penyakit jiwa, yaitu Bangsal Sakura Kelas III. Namun demikian, ia
tetap diajukan ke sidang pengadilan dan dinyatakan bersalah.
Pada 3 November 2007, terbentuklah Asosiasi Psikologi Forensik (APSIFOR) di Jakarta,
yang merupakan asosiasi ke-13 di HIMPSI (Himpunan Psikologi Indonesia). Karena
psikologi forensik di Indonesia masih relatif baru, maka sangat diperlukan sosialisasi untuk
meningkatkan peran bidang psikologi ini dalam proses hukum di Indonesia.

Peran Psikolog Forensik


Dalam praktik psikologi forensik dibutuhkan spesialisasi dalam tiga bidang ilmu, yaitu:
1. Klinis (misalnya: dalam diagnosis, pengobatan, tes psikologi, epidemiologi
kesehatan mental).
2. Forensik (misalnya: gaya respon, etika forensik, alat dan teknik untuk menilai
gejala-gejala yang berhubungan dengan hukum).
3. Hukum (misalnya: pengetahuan tentang hukum dan sistem hukum, pengetahuan
tentang di mana dan bagaimana untuk mendapatkan informasi hukum yang relevan).
Psikolog forensik mengkaji masalah psikologis dan pertanyaan yang timbul dalam proses
hukum. Masalah hukum ini dapat dibagi menjadi dua kategori utama, yaitu:
1. Sipil: berkaitan dengan litigasi sipil, misalnya gugatan pribadi antara dua pihak,
kompensasi pekerja, komitmen sipil, penentuan hak asuh anak.
2. Pidana/Kriminal: berkaitan dengan kriminalitas dan kenakalan, misalnya
kewarasan pada saat pelanggaran, kompetensi untuk diadili, pelepasan tuntutan
remaja dalam pengadilan dewasa.
Psikologi forensik berkaitan dengan sub disiplin ilmu psikologi lain, seperti, psikologi
kognitif, psikologi fisiologi, psikologi sosial, dan psikologi perkembangan. Psikolog forensik
dapat bekerja di penjara, pusat rehabilitasi, departemen kepolisian, gedung pengadilan, firma
hukum, instansi pemerintah atau praktik swasta.
Beberapa tugas psikolog forensik:
1. Pada Pelaku kejahatan
a. Interogasi, bertujuan agar pelaku mengakui kesalahannya (Sarjana Psikologi
yg di rekrut oleh kepolisian, polisi yg mendapat pelatihan dari psikolog
forensik, atau psikolog yang diundang oleh kepolisian).

b. Criminal profiling, Psikolog forensik dapat membantu polisi melacak pelaku


dengan menyusun profil kriminal pelaku.. Cth: pelaku sodomi, yang 85%
diprofiling sbg korban dimasa kecilnya.

c. Psikolog forensik juga dapat melakukan asesmen untuk memberikan


gambaran tentang kondisi mental pelaku.

2. Pada korban
Kasus dengan trauma yang berat menolak untuk menceritakan kejadian yang dialaminya.
Psikolog forensik dapat membantu polisi dalam melakukan penggalian informasi. Cth: Pada
anak-anak/wanita korban kekerasan dibutuhkan pendekatan khusus agar korban merasa
nyaman dan terbuka.

3. Psikolog forensik dapat melakukan otopsi psikologi


Contoh: kasus-kasus pembunuhan yang diikuti bunuh diri oleh pelaku, atau pelaku
bunuh diri yang meninggalkan pesan, membutuhkan pengumpulan data yang lebih rumit dan
banyak pertimbangan Seorang psikolog dapat menyusun otopsi psikologis berdasarkan
sumber bukti tidak langsung yaitu catatan yang ditinggalkan oleh almarhum, data yang
diperoleh dari teman, keluarga korban atau teman kerja. Tujuan otopsi psikologi adalah
merekonstruksi keadaan emosional, kepribadian, pikiran, dan gaya hidup almarhum. Otopsi
psikologi akan membantu polisi dalam menyimpulkan kemungkinan korban dibunuh atau
bunuh diri.

4. Pada Saksi
Proses peradilan pidana tergantung pada hasil investigasi terhadap saksi, karena baik polisi,
jaksa dan hakim tidak melihat langsung kejadian perkara.
Penelitian menemukan hakim dan juri di Amerika menaruh kepercayaan 90% terhadap
pernyataan saksi, padahal banyak penelitian yang membuktikan bahwa kesaksian yang
diberikan saksi banyak yang bias.

5. Restukturisasi kognitif
Kesalahan berpikir merupakan penyebab tindakan kejahatan. Pemikiran yang irrasional dan
desktruktif dapat mendorong timbulnya gangguan emosi dan tingkah laku. Sehingga program
psikologi diharapkan lebih diarahkan pada pendekatan berbasis perspektif kognitif.

6. Wawancara dengan pendekatan kognitif


Bertujuan meningkatkan proses retrieval yg akan meningkatkan kuantitas-kualitas informasi
dgn cara membuat saksi/korban relaks- kooperatif. Hasil: Teknik wawancara kognitif
menghasilkan 25-35% lebih banyak dan akurat dibanding teknik wawancara standar
kepolisian. Psikolog forensik dapat melakukan pelatihan teknik investigasi saksi pada polisi.

7. Pada pengadilan
Peran psikolog forensik dalam peradilan pidana di pengadilan, dapat sebagai saksi ahli, bagi
korban (misal kasus KDRT, kasus dengan korban anak-anak seperti perkosaan, dan
penculikan anak), dan bagi pelaku dengan permasalahan psikologis. Cth: Mental retarded,
pedophilia, dan psikopat.

8. Pada pengadilan
Ada beberapa faktor diluar kepribadian yang turut mempengaruhi putusan hakim terkait latar
belakang terdakwa dan juga saksi: Suku bangsa, jenis kelamin, kecantikan/ketampanan, usia,
status sosial/ekonomi, dan religiusitas.
Psikolog forensik juga dapat bekerja untuk pengacara dalam memberikan masukan terkait
dengan jawaban-jawaban yang harus diberikan kliennya agar tampak meyakinkan. Sebelum
persidangan yang sesungguhnya, psikolog merancang kalimat, ekspresi dan gaya yang akan
ditampilkan terdakwa agar ybs tidak mendapat hukuman yang berat. Cth: Angelina Sondakh.

9. Pada Lapas
Banyak kasus psikologi yang terjadi pada narapidana maupun petugas LP. Misal pada kasus
percobaan bunuh diri narapidana tidak tertangani scra baik krna tidak setiap lapas memiliki
psikolog (minimnya pengetahuan sipir thd kondisi psikis warga napi).
Pemahaman petugas lapas kurang baik terkait dengan rehabilitasi psikologis sehingga mereka
seringkali memberikan hukuman dengan tujuan dapat mengurangi perilaku negatif
narapidana (seperti berkelahi, berbohong). Psikolog forensik dibutuhkan dalam rangka
melakukan asesmen-intervensi pada narapidana.

10. Kepolisian
Psikolog forensik dapat memberi pelatihan kepada polisi tentang teknik interogasi yang
menggunakan prinsip psikologi. Teknik lama yang digunakan polisi adalah dengan
melakukan kekerasan fisik, banyak mendapatkan kecaman karena orang yang tidak bersalah
dapat mengakui kesalahan akibat tidak tahan akan kekerasan fisik yang diterimanya.
Melakukan asesmen terhadap kepangkatan polisi. Asesmen terhadap polisi yang akan
diturunkan ke lapangan (daerah konflik, meredam aksi demonstrasi). Asesmen terhadap
kesiapan seorang polisi yang akan dilengkapi dengan senjata, kaitannya dengan
kejiwaaannya.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Psikologi forensik adalah bidang ilmu yang digunakan untuk membantu proses penegakan keadilan
melalui proses penerapan ilmu/sains. Dimana mengacu pada penerapan metode penelitian dan
teori psikologi pada suatu kasus yang ditangani hukum. Lebih spesifiknya, psikologi forensik
berfokus pada penerapan psikologi klinis terhadap sistem hukum, melingkupi konsep-konsep
seperti psikopati, kegilaan, penilaian risiko, cedera, dan komitmen sipil.

Daftar pustaka
Jack Kitaeff, Psikologi forensik, 2011, Yogyakarta : Pustaka pelajar
“Psikologi forensik” fakultas kedokteran universitas udayana 2016
Dent, H. and Flin, R. (eds.) (1992) Children as Witnesses. Chichester: Wiley.Farrington, D.
(1999) 21 years of the DCLP. Forensic Update, hal. 56, 21-37.
Jurnal peran psikologi dalam tindak pidana oleh Dr. Rusti Probowati

Anda mungkin juga menyukai