Anda di halaman 1dari 14

Psikologi Forensik

Makalah ini diajukan dalam rangka untuk memenuhi tugas


Psikologi Klinis

Dosen Pengampu :
Widyastuti, M. Psi, Psikolog

Penyusun:
Badrus Sholeh Asmayana (J71214053)
Aini Rochmatus Sakinah

(J91214080)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA


FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
MARET 2016

PEMBAHASAN
1.1......................................................................
Pengertian Psikologi Forensik
Kata forensik (forensic) dalam ilmu sains maupun
pada praktik selalu dikaitkan segala hal dalam
mencari alat bukti kejahatan yang digunakan dalam
proses pengadilan. Salah satu bagian psikologi klinis
adalah psikologi forensik. Psikologi forensik telah
tumbuh sejak tahun 1970an dan terus berkembang
hingga

sekarang.

Dalam

kamus

besar

bahasa

Indonesia, forensik diartikan sebagai cabang ilmu


kedokteran yang berhubungan dengan penerapan
fakta-fakta medis pada masalah-masalah hukum.
Ilmu

bedah

identitas

yang

mayat

berkaitan

seseorang

dengan
yang

penentuan

ada

kaitannya

dengan kehakiman dan peradilan. Biasanya polisi


belum bisa menjelaskan identitas korban karena
masih menunggu hasil pemeriksaan yang diselidiki
oleh tim. Psikologi forensik merupakan penghubung
dari

Psikologi

merupakan
psikologi

dan

hukum.

Psikologi

forensik

penerapan metode, teori, dan konsep

terhadap

sistem

hukum

(Wrightsman,

Nietzel, dan Fortune, 1998).


Awal psikologi forensik dikembangkan berdasarkan
pemikiran seorang ahli, yang bisa disebut sebagai
Bapak

Psikologi

Industri

dan

Organisasi

yakni

Munsterberg. Ia menulis sebuah buku yang berjudul


on the Witness Stand (kesaksian) pada tahun 1908.
Namun

sebelumnya

sudah

ada

penelitian

yang

dilakukan oleh William Stern (1901) mengenai daya


ingat seseorang dalam masalah kesaksian atas suatu
peristiwa. Dalam bukunya, Munsterberg berpendapat
bahwa para pejabat di bidang peradilan tersebut
perlu bekerjasama dengan para ahli, bukan orangorang yang hanya menggunakan akal sehat saja.
Pernyataan itu dianggap sebagai suatu tindakan
arogan seorang psikolog, dan telah mencemarkan
nama baik pengadilan. Para pejabat pengadilan
beralasan

bahwa

segala

peristiwa

dipengadilan

adalah kenyataan, sedangkan yang diajukan oleh


Munsterberg

itu lebih sebgai gejalah laboraturium.

Hal tersebut dinyatakan oleh John Wigmore, pada


tahun 1909.
Bahkan masalah tersebut berlanjut di meja hijau
dengan kekalahan di pihak Munsterberg. Karena
peristiwa itulah mengakibatkan dalam jangka waktu
yang

panjang

psikologi

tidak

dapat

menyentuh

pengadilan. Namun, 30 tahun kemudian Wigmore


mengungkapkan

pendapatnya

bahwa

psikologi

dianggap perlu dalam dunia pengadilan. Hal tersebut


dengan harapan keterangan yang diberikan dalam
proses hukum lebih bersifat sehat, akurat, dan
praktis.
Pada tahun 1954 secara resmi psikologi mendapat
sedikit peluang untuk memasuki wilayah hukum. Hal
ini dapat dilihat pada 1962 seorang hakim Amerika
Serikat yakni Bazelon menulis buku yang menyatakan
bahwa seprang ahli psikologi dapat memberikan
kesaksian dipengadilan sebagai saksi ahli dalam

bidang gangguan mental. Kini psikologi forensik pun


terus berkembang.
1.2......................................................................
Ruang Lingkup Psikologi Forensik
Ruang Lingkup Psikologi Forensik
Ada 5 (lima) bidang yang sering ditawarkan Nietzel &
Bernstein (1998) :
1. Kompetensi

untuk

menjalani

pemeriksaan/persidangan dan tanggung jawab


2.
3.
4.
5.

criminal (Criminal responsibility).


Kerusakan psikologis dalam pemeriksaan sipil
Kompetensi sipil
Otopsi psikologi dan Criminal Profilling
Child Custody (hak asuh anak) dan Parental
Fitness (kelayakan sebagai orangtua)

Ruang lingkup cakupan area bidang kerja psikologi


forensik juga diantaranya:
Assesmen kompetensi mental
Assesmen keadaan mental

pada

saat

kejadian
Evaluasi hak asuh anak
Asesmen terhadap cedera atau disabilitas

mental
Psikologi Forensik preventif:
Rekomendasi penetapan hukuman
kekerasan di sekolah
kekerasan di tempat kerja
penganiayaan seksual anak
Terorisme
Tindak kejahatan

1.3......................................................................
Peran Psikologi Forensik
Peranan psikologi forensik adalah sebagai :

Ahli judisial yang menelaah variabel variabel yang


berperan dalam tindak kejahatan
1. Evaluasi mental korban kecelakaan kerja
2. Edukasi kepada penuntut dan pembela hukum
tentang aspek aspek psikologis penganiayaan
seksual pada anak
3. Fungsi utama dalam setting hukum adalah
membantu para administrator, hakim, anggota
juri

dan

pengacara

dalam

mengambil

keputusan hukum yang lebih didasari informasi


yang cukup.

Masalah masalah yang dieksplorasi:


1. Kajian psikologis tentang kriminal (psichology
of criminal conduct, psychology of criminal
behavior, criminal psychology)
2. Forensic clinical psychology and correctional
psychologicy -> konsentrasi pada assesment
dan penanganan / rehabilitasi perilaku yang
tidak diinginkan secara sosial
3. Police psychology, investigative psychology,
behavioral science -> mempelajari metode
metode yang digunakan lembaga kepolisian
4. Psychology and law -> fokus pada proses
persidangan hukum, sikap serta keyakinan
keyakinan para partisipan

1.4......................................................................
Kegiatan Psikolog dalam Bidang Psikologi Forensik
Bidang
yang
dinamakan
Psikologi
forensik
mencakup

peran

psikolog

dalam

menentukan

beberapa hal penting yaitu (Phares, 1992):


1. Psikolog dapat menjadi saksi ahli. Seorang saksi
ahli harus mempunyai kualifikasi yakni clinical
expertise,

melipiti

pendidikan,

lisensi,

pengalaman, kedudukan, pengetahuan, aplikasi


prinsisp-prinsip ilmiah, serta penggunaan alat
tes khusus.
2. Psikolog dapat menjadi penilai dalam kasuskasus krimilnal, misalnya dalam menentukan
waras/tidaknya pelaku kriminal.
3. Psikolog dapat memperjuangkan hak untuk
memberi/menolak pengobatan bagi seseorang.
4. Psikolog
diharapkan
dapat
memberikan
treatmen sesuai dengan kebutuhan.
5. Psikolog diharapkan dapat menjalankan fungsi
sebagai konsultan dan melakukan penelitian di
bidang psikologi forensik.
6. Psikolog diharapkan dapat memprediksi bahaya
yang

kemungkinan

seseorang.

yang

Misalnya

mempersenjatai

dapak

seseorang,

lakukan

oleh

baik/buruknya
motivasi,

dan

sebagainya.
7. Psikolog melakukan otopsi psikologis, yakni
suatu

penyelidikan

korban/saksi/pelaku
artinya

bahwa

yang

dilakukan

mangalami

keterangan

apabila

bias-bias,

mereka

masih

samar-samar. Penyelidikan tersebut dilakukan


dengan

cara

mengumpulkan

sumber

bukti

melalui data dari orang terdekat, guna untuk


disimpulkan mengenai kondisi emosional dan
sebagainya.
1.5......................................................................
Kasus-Kasus dalam Psikologi Forensik
Kata Pakar Psikologi Forensik, Hafitd dan Syifa Tak Sengaja
Bunuh Ade Sara
Sangat besar kemungkinan, pengakuan yang dibuat Hafitd dan
Assyifa atau Syifa kepada penyidik adalah pengakuan keliru.

Tersangka Hafidt mengucapkan duka cita di akun Twitter.


(Twitter)
Berdasarkan pengakuan kedua tersangka, polisi menetapkan
pembunuhan yang dilakukan Ahmad Imam Al Hafitd (19) dan
kekasih barunya Assyifa Ramadhani (18), terhadap mantan kekasih
Hafitd, Ade Sara Angelina (18), adalah dilakukan secara
berencana.
Namun, Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel menilai
sangat besar kemungkinan, pengakuan yang dibuat Hafitd dan
Assyifa atau Syifa kepada penyidik adalah false confession atau
pengakuan keliru.

Dengan menganalisa sejumlah keterangan dan fakta yang


diungkap polisi, Reza justru menduga, pembunuhan yang
dilakukan

Hafitd

dan

Syifa

terhadap

Ade

Sara

adalah

ketidaksengajaan semata.
Awalnya, duga Reza, mereka berdua, hanya berniat ingin
menyakiti

dan

menyiksa

Sara

saja,

dan

bukan

membunuhnya. "Saya masih belum yakin Hafitd dan Syifa benarbenar berencana membunuh Sara. Yang mereka sampaikan ke
polisi, dugaan saya adalah false confession, atau pengakuan keliru,"
papar Reza kepada Warta Kota, Minggu (9/3).
Reza menuturkan pascaperistiwa tewasnya Sara, kondisi jiwa
kedua tersangka yakni Hafitd dan Syifa dipastikan terguncang.
Sebab keduanya tidak menyangka bahwa tindakan mereka
berakibat sedemikian fatal.
"Fisik mereka letih, psikis terguncang, lalu mereka dicecar
polisi. Mereka belum berada dalam kondisi yang cukup bugar atau
fit untuk menjalani interogasi. Lantas keluarlah pengakuan keliru
atau false confession dari mereka tersebut. Sehingga polisi
menganggap mereka merencanakan pembunuhan ini dengan
matang," papar Reza.
Menurut Reza dalam catatannya di banyak negara, baik negara
maju atau berkembang, false confession atau pengakuan keliru dari
tersangka cukup sering terjadi.
"False confession adalah fenomena yang sangat sering terjadi
dalam ranah interogasi di semua negara. Kadang polisi sendiri tidak
sadar bahwa pendekatan kerja yang mereka lakukan, juga turut

memicu keluarnya false confession dari orang yang diinterogasi


tersebut," papar Reza.
Dari semua analisa itu, Reza menduga apa yang dilakukan
Hafitd dan Syifa kepada Ade Sara, adalah sebatas accidental
murder,

atau

pembunuhan

yang

tidak

disengaja

dan

bukan intentional murder atau pembunuhan yang disengaja atau


pembunuhan yang direncanakan dan menjadi fokus utama mereka.
"Dugaan saya yang mereka lakukan adalah sebatas accidental
murder. Namun dengan false confession atau pengakuan keliru
mereka, polisi akhirnya menyimpulkan aksi mereka sebagai
intentional murder, atau pembunuhan yang disengaja dan
direncanakan," ujar Reza.
Ke depan, kata Reza, polisi harus bisa menguji kembali dan
memastikan adanya perencanaan yang dilakukan kedua tersangka
untuk membunuh Ade Sara. "Sebab saya menduga, keduanya
hanya berencana menyakiti Sara saja dan bukan berencana
membunuhnya," tutur Reza.
(Sumber: Tribunnews.com, Warta Kot)

Jakarta - Selain gembong narkoba, hukuman


mati juga dijatuhkan kepada pembunuh berantai,
berencana dan sadis. Seperti yang dilakukan oleh
Ryan, pria asal Jombang ini menghabisi nyawa 11
orang secara sadis dan terencana.
Dalam catatan detikcom, Minggu (18/1/2015),
kejahatan Ryan bermula dari penemuan 7 potongan
tubuh di Jalan Kebagusan Raya, Jakarta Selatan pada
12 Juli 2008. 7 Potongan tubuh tersebut dibuang di
tempat berbeda namun masih di wilayah Kebagusan.
Belakangan diketahui mayat korban mutilasi tersebut
bernama Heri Santoso.
Dari

penelusuran

polisi,

akhirnya

diketahui

pembunuh Heri ternyata Ryan. Ryan ditangkap di

10

salah satu rumah di Pesona Khayangan, Depok, Jawa


Barat,

15

Margonda

Juli

2008.

Garden

Ryan

Residence,

membunuh
kamar

Heri

309,

di

Jalan

Margonda Raya, Depok. Ryan tega membunuh Heri


dan memutilasinya karena cemburu.
Menurut pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel,
pembunuhan berantai atau sadis(mutilasi), bagi pelakunya adalah
untuk mendapatkan fantasi atau sensasi yang luar biasadengan
melihat korbannya meninggal atau detik-detik terakhir korban
mengembuskannafasnya (mati perlahan-lahan). Bila dikaitkan
dengan ilmu psikologi forensik, kasus mutilasidengan tersangka
Ryan —menurut Reza— tidak ada kaitannya dengan
orientasiseksual. Masyarakat awam dianggap terlalu berlebihan
dalam menilai bila mengaitkan pelakudengan homoseksual seorang
Ryan. Psikopat, adalah sebutan dari masyarakat awam untuk pelaku
mutilasi seperti Ryan itu. Dari segi fisik, memang sosok Ryan
tidak terlihat psikopat,karena

sikap/tingkah

laku

yang

ditampilkannya di masyarakat menunjukkan pribadi yangsantun,


biasa, dan cerdas. Hal tersebut membuat masyarakat terkecoh.
Menurut hipotesis atau dugaan Reza, tindakan sadis dengan
mutilasi tersebut dilakukandengan tahapan-tahapan untuk mencari
tingkat fantasi yang maksimal (terpuaskan). Kalaumerasa belum
puas dengan tindakannya, pelaku akan mencari cara yang lebih
sadis danspektakuler (canggih). Memang, kalau berbicara masalah
faktor penyebab pelaku melakukantindakan abnormal tersebut tidak
terlepas

dari

beberapa

faktor

lain;

di

antaranya

faktor pemicu (terjadinya sesaat, sebelum mutilasi tersebut dilakuk


an) dan faktor trauma yangmendalam atau peristiwa luar biasa
(kekerasan) yang dialami pelaku semasa kecil dalamkeluarga dan

11

lingkungan. Trauma mendalam yang terjadi secara berulangulang,menyebabkan

penumpukan

beban,

sehingga

pelaku

mempunyai sifat benci, keras, dan mudahtersinggung. Akibatnya,


mudah melakukn tindakan sadis (mutilasi).
Menurut pakar psikologi forensik dari AS, Dr Heirr,
penelitian tentang sifat psikopat yangada sangat minim sekali,
sangat sulit, dan mustahil, karena pengidap psikopat dapat
memilikisifat itu dengan tindakan hubungan yang manipulatif dan
tidak mudah dideteksi. Hal tersebutdisebabkan oleh karena sifat
pengidap psikopat secara lahiriah atau fisik tidak tampak darisikap
yang hangat, cerdas, dan biasa tersebut. Indonesia sebagai negara
yang mengalamikrisis di semua bidang kehidupan, sangat kondusif
memunculkan

pemain-pemain

tunggal pelaku psikopat,

baik

dengan kadar rendah maupun dengan kadar yang tinggi.Dalam


kaitan itu, pihak kepolisian dalam menangani kasus mutilasi yang
dilakukan olehRyan disarankan oleh pakar psikologi forensik Reza
Indargiri Amriel melakukan beberapatindakan.
Di antaranya, dari kacamata psikologi, pihak kepolisian
hendaknyameminta bantuan psikiater atau psikolog untuk mediagn
osis secara mendalam dan komprehensifkejiwaan

dari

pelaku.

Psikologi sebagai suatu seni dapat menggunakan proffiling


(jatidiri pelaku)

dalam menyibak

latar belakang

pembunuhan pelaku dari sisi kejiwaan atau penyakityang diderita.


Lalu, polisi mencermati keterangan pelaku yang selalu berubah
dengan kondisi psikologis seperti yang ada pada diri Ryan sekarang
ini.Selain itu, mencermati apakah pelaku sadar atau tidak saat
membunuh korban. Mengecekkondisi psikologis pelaku, apakah
memiliki kepribadian ganda dan gangguan kepribadiandisosiatif
atau tidak. Mencermati modus operandi yang sama, yang dilakukan

12

pelaku dalammenghabisi korban lainnya dan motif dari aksinya


tersebut. Lalu juga lebih mencermati tandatangan (signature)
pelaku.
Tugas

psikologi

forensik

mengungkap

suatu

kasus

dalam penyelidikan dan penyidikan, tidak bisa dipisahkan. Berkait


dengan kasus mutilasi tersebut,dapat kita identifikasi pelakunya:
apakah mengidap kelainan kepribadian (psikopat) atautidak. Juga
memberikan gambaran tentang profil pelaku kejahatan sadis
(mutilasi) yangterjadi di Bekasi Timur, yang belum terungkap,
sehingga polisi dapat lebih memfokuskanusaha pencarian pelaku
tindak kejahatan tersebut.

(Sumber: detik.com ,news)

13

DAFTAR PUSTAKA

Akhdiat Hendra dan Marliani Rosleni (2011).Psikologi


Hukum. Bandung : Pustaka Setia

Ardian, T. Ardi, dkk. 2007. Psikologi Klinis. Yogyakarta:


Graha Ilmu

Muluk, Hamdi. 2013. Kajian dan Aplikasi Forensik


dalam Perspektif Psikologi. Jurnal Sosioteknologi Edisi 29
Tahun 12, Agestus

Slamet I.S., Suprapti, & Markam, Sumarmo. 2007.


Pengantar Psikologi Klinis. Jakarta: Penerbit Universitas
Indoensia (UI-Press)

Sutardjo, & Wiramihardja, A. 2004. Pengantar Psikologi


Klinis Edisi Ketiga. Badung: PT Refika Aditama

14

Anda mungkin juga menyukai