Anda di halaman 1dari 7

Sejarah HIMPSI

HIMPSI ialah suatu organisasi dalam bidang profesi psikologi di Indonesia yang
didirikan bertepatan pada tanggal 11 Juli 1959. Sebelumnya organisasi ini mempunyai nama
Ikatan Sarjana Psikologi atau yang biasa disingkat ISPsi. Seiring pergantian sistem pembelajaran
pada pendidikan tinggi, lewat Kongres Luar Biasa pada tahun 1998 di Jakarta, organisasi
merubah namanya menjadi Himpunan Psikologi Indonesia, atau yang disingkat dengan HIMPSI.
Jumlah perguruan tinggi yang memiliki program studi atau pendidikan Psikologi sudah mencapai
93 fakultas, diantaranya yaitu 18 fakultas dalam Perguruan Tinggi Negeri dan 75 fakultas dalam
Perguruan Tinggi Swasta di seluruh Indonesia.

Kajian Teori
Kode Etik Psikologi Indonesia ialah syarat tertulis yang diharapkan sebagai pedoman
dalam bersikap dan berperilaku, dan juga pegangan teguh seluruh Psikolog serta kelompok
Ilmuwan Psikologi, dalam menjalankan kegiatan profesinya sesuai dengan kompetensi serta
kewenangan masing- masing, guna menghasilkan kehidupan publik yang lebih sejahtera.
Definisi dalam HIMPSI Kode Etik Psikologi adalah seperangkat nilai-nilai untuk ditaati dan
dijalankan dengan sebaik-baiknya dalam melaksanakan kegiatan sebagai psikolog dan ilmuwan
psikologi di Indonesia. Maksud dari pengertian diatas, seorang psikolog dan ilmuwan pasikologi
hendaknya mekalukan kegiatan-kegiatan saat pelayanan dengan menggunakan norma atau nilai-
nilai yang sudah tercantum dalam kode etik psikologi yang telah disahkan oleh Himpunan
Psikologi Indonesia atau HIMPSI.

Kode etik berperan sebagai landasan untuk perlindungan serta pengembangan suatu
profesi, melindungi suatu profesi, Menghindari perdebatan ataupun pertentangn internal dalam
profesi, serta melindungi pelaksana profesi dari kesalahan penerapan psikologi. Adapun tujuan
dari kode etik psikologi yaitu untuk menjamin kesejahteraan masyarakat dan memberikan
perlindungan terhadap layanan-layanan masyarakat terkait praktek dalam psikologi.

Sebelum membahas pasal 40 lebih dalam, kita akan membahas terlebih dahulu pengertian
dari pendidikan dan pelatihan menurut Kode Etik Psikologi. Pendidikan merupakan suatu proses
perubahan sikap serta perilaku suatu individu, kelompok maupun komunitas yang bertujuan
untuk membawa kearah yang lebih baik melalui suatu pengajaran atau pelatihan yang telah
diberikan. Seluruh peserta yang telah diberikan suatu pengajaran diharapkan bisa merubah
perilakunya agar mampu menjadikan dirinya lebih baik lagi. Contohnya yaitu guru dan murid,
seorang guru akan memberikan pendidikan berupa pengajaran mengenai materi-materi maupun
sikap yang baik terhadap muridnya yang diharapkan akan berpengaruh pada sikap serta perilaku
baik kepada murid setelah disampaikannya suatu pengajaran tersebut.

Pelatihan merupakan sebuah kegiatan yang bertujuan untuk membawa ke arah yang
lebih baik. Pelatihan ini dapat dilakukan oleh kelembagaan atau organisasi yang kegiatannya
telah mendapat pengakuan dari HIMPSI. Contohnya Pelatihan Penguji Kompetensi Profesi
Psikolog (KKP). Lalu apakah pendidikan dan pelatihan mempuanyai suatu perbedaan? Ya, tentu
saja. Perbedaan dari pendidikan dan pelatihan yaitu, pendidikan menghasilkan perubahan secara
kognitif dan emosional, bersifat mengajarkan, memberi pengetahuan, serta penyuluhan dan
waktu yang digunakan bersifat formal. Sedangkan penelitian yaitu, menghasilkan perubahan
dalam pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Bersifat interaktif dimana pelatih memegang peran
sebagai fasilitator dalam proses perubahan peserta dan waktu yang digunakan lebih fleksibel dan
singkat.

Berikutnya kita akan masuk pada pembahasan dalam pasal 40 diatas, dijelaskan bahwa
psikolog dan/atau ilmuwan psikologi harus memperoleh persetujuan untuk melaksanakan
kegiatan dalam pelatiahan misalnya dalam bidang organisasi atau pendidikan sebagaimana
dinyatakan dalam standar informed consent. Pengertian dan standar Informed consent tercantum
pada pasal 20 tentang Informed Consent. Dapat disimpulkan bahwa informed Consent berarti
persetujuan antara partisipan untuk ikut serta memberikan partisipasi dalam suatu penelitian dan
pendidikan oleh individu untuk mempertimbangkan suatu keputusan bersedia untuk mengikuti
penelitian tersebut atau tidak tanpa adanya sebuah paksaan. Jadi, setiap melakukan sebuah
penelitian atau pemeriksaan psikologi harus disertakan informed consent. Dalam pelaksanaan
penelitian tertentu harus diperlukan informed consent yang telah disepakati dan dinyatakan
formal. Pada umumnya informed consent dibuat dengan cara tertulis. Namun, dalam keadaan
tertentu informed consent dapat dilakukan secara lisan dan direkam serta diadakannya saksi yang
bersangkutan bersedia. Aspek-aspek dalam informed consent adalah sebagai berikut :
1. Kesediaan para partisipan untuk ikut serta dalam penelitian atau praktik psikologi
tanpa adanya paksaan
2. Perkiraan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk melakukan penelitian atau
praktik tersebut
3. Gambaran tentang apa yang akan dilakukan dalam proses penelitian atau praktik
tersebut
4. Memberikan jaminan tentang kerahasiaan data klien selama proses penelitian atau
praktik tersebut
5. Pihak yang bertanggung jawab jika terjadi efek samping yang merugikan klien
selama proses penelitian atau praktik tersebut

Pengaplikasian Teori dalam Kehidupan Nyata


Dalam pasal 40 ini terdapat pengecualian yaitu poin a dan b. Penjelasan mengenai
pengecualian tersebut ialah jika melakukan suatu penelitian atau pelatihan psikologi tidak
diperlukan suatu persetujuan dari pihak yang terkait atau klien jika pelaksanaan tersebut telah
diatur pada undang-undang seperti yang terdapat dalam poin a. Mengapa demikian? Karena
undang-undang merupakan ketentuan tertulis yang sudah disah kan oleh negara dan diakui oleh
pemerintah, jadi ketentuannya tidak bisa diganggu gugat lagi. Misalnya seorang Psikolog yang
ingin melakukan penelitian wawancara terhadap seorang narapidana pada kasus pembunuhan.
Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui menganalisis baik kasus ataupun jiwa narapidana
tersebut. Psikolog tidak perlu melakukan atau memberikan surat persetujuan atau informed
consent kepada narapidana tersebut, karena hal tersebut sudah termasuk ke dalam pelatihan yang
diatur dalam hukum.

Selanjutnya pada poin kedua yaitu poin b, maksud dari kalimat tersebut jika suatu
kegiatan pendidikan atau kelembagaan ingin mengadakan sebuah penelitian secara rutin itu tidak
diperlukan surat perjanjian atau informed consent antara psikolog dan para pesertanya. Hal
tersebut dikarenakan sudah menjadi sebuah kegiatan yang bersifat wajib guna mensejahterakan
kelangsungan suatu pendidikan atau pekerjaan dalam kelembagaan. Contohnya, Andi merupakan
siswa yang sudah lulus di bangku SMA. Ia ingin sekali menjadi seorang abdi negara yaitu di
salah satu instansi Akademi Kepolisian. Salah satu syarat untuk mengikuti seleksi penerimaan
calon taruna yaitu dengan di adakannya tes psikologi dibawah naungan seorang psikolog ahli
dari luar kepolisian. Kegiatan tersebut merupakan persyaratan wajib yang harus diikuti oleh
seluruh peserta atau calon taruna tersebut. Hal ini tidak memerlukan surat persetujuan antara
psikolog dan pesertanya, karena kegiatan tes psikologi dalam penerimaan calon taruna tersebut
bersifat wajib dan sudah merupakan aturan yang telah ditentukan. Contoh lainnya yaitu Rudi
merupakan seorang karyawan di salah satu lembaga perkantoran, ia ingin menaikan jabatannya.
Ia mengetahui bahwa jika ingin naik jabatan ia harus mengikuti pelatihan karyawan karena
merupakan syarat wajib yang harus diikuti oleh para karyawan jika ingin menaikan jabatannya.

Sikap Pelaksanaan dalam Dunia Nyata


Dalam kehidupan nyata seorang psikolog atau ilmuwan psikologi harus mempunyai sikap
profesional, yang dimaksud dengan sikap profesional ialah sikap dimana seorang psikolog atau
ilmuwan psikologi harus sesuai dengan keahlian atau kewenangannya dan harus bersikap atau
melakukan praktiknya sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam Kode Etik Psikologi. Yang
perlu diperhatikan disini adalah sikap-sikap berikut :
 Mengutamakan dasar-dasar profesional
 Tidak pemilih jika akan menangani seorang klien
 Melindungi kerahasiaan data klien
 Melindungi pemakaian layanan psikologi dari akibat merugikan atau dampak dari
layanan yang diberikan oleh psikolog tersebut
 Tidak berpihak dalam pemakai layanan psikologi serta pihak yang terkait dalam
pemberian layanan tersebut

Dari pernyataan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa seorang psikolog atau ilmuwan
psikologi harus bersikap profesional dalam memberikan suatu layanan psikologi kepada
masyarakat dan hendaknya seorang psikolog atau ilmuwan psikologi mengutamakan nilai
manfaat dalam memberikan suatu layanan psikologi, bersikap adil serta mengutamakan
kesejahteraan klien atau masyarakat.

Apabila suatu penelitian atau praktik baik individual maupun kelompok merupakan
persyaratan dalam suatu program pengajaran baik pendidikan maupun pelatihan dalam suatu
kelembagaan atau organisasi pendidikan, seorang psikolog harus bertanggung jawab bahwa
program penelitian atau praktik terserbut tersedia. Pengajar yang bertanggung jawab terhadap
hasil prestasi akademik para peserta tidak boleh memberikan penelitian atau praktik yang
disyaratkan.

Pelanggaran dan Penanganan Suatu Kasus


A. Kasus Pelanggaran
Pada suatu hari Indra melihat sebuah brosur bahwa terdapat psikolog handal yang mampu
menyelesaikan segala sesuatu masalah yang dihadapi oleh kehidupan baik secara pribadi maupun
kelompok. Indra tertarik untuk mengunjungi psikolog tersebut, sebelumnya Indra mengalami
masalah dalam hidupnya. Sesampainya Indra di alamat psikolog tersebut, Indra diperkenankan
untuk masuk dan menceritakan apa permasalahan yang sedang Indra hadapi. Indra menceritakan
masalah yang ia hadapi yaitu selalu merasa kurang percaya diri padahal dalam gaya berpakaian
Indra sudah terlihat kekinian, namun masih banyak orang-orang yang memangdang bahwa Indra
itu seseorang yang aneh. Hal itu merupakan suatu inti dari masalah Indra yang jadi kurang
percaya diri. Setelah itu, psikolog tersebut langsung memberikan Informed Consent kepada Indra
tanpa diberitahu terlebih dahulu tentang terapi apa yang akan dilakukan, waktu pelaksanaannya
berapa lama, konsekuensi atau efek sampng dari dilakukannya terapi tersebut, jaminan
kerahasiaan data selama proses tersebut, dan tidak dijelaskan siapa yang akan bertanggung jawab
jika terjadi efek samping yang merugikan Indra selama proses terapi tersebut. Psikolog itu hanya
menanyakan apakah saudara Indra bersedia untuk mengikuti terapi yang akan diberikan atau
tidaknya saja tanpa aja penjelasan mengenai informed consent tersebut. Indra dan Psikolog
melakukan perjanjian akan dimulainya terapi pada keesokan harinya.

Pada keesokan harinya, Indra mengunjungi psikolog lagi dan melakukan sebuah terapi.
Tanpa pemikiran panjang dan ketidaktahuan Indra mengenai adanya kode etik psikologi, tanpa
basa basi terlebih dahulu Indra melakukan terapi tersebut. Psikolog memberikan suatu
pertanyaan-pertanyaan kepada Indra guna untuk mengetahui latar belakang masalah yang Indra
hadapi. Selagi Indra menceritakan masalahnya tersebut, psikolog menuliskan data-data masalah
dalam sebuah catatan dan psikolog memberikan saran agar Indra tidak mementingkan omongan
orang lain dan harus lebih tampil untuk percaya diri. Pada akhir terapi tersebut, Indra berterima
kasih kepada psikolog tersebut dan membayar tanpa adanya perjanjian terlebih dahulu.

Seminggu Indra melakukan saran yang diberi oleh sang psikolog, namun tidak ada hasil
yang terlihat pada diri Indra. Pada saat itu juga Indra segera mendatangi Psikolog tersebut namun
keadaan rumah itu kosong. Terdapat stiker dalam pagar rumah psikolog tersebut yang
bertuliskan “PINDAH RUMAH”. Saat itu Indra langsung mencari informasi mengenai apakah
ada pasal-pasal yang mengatur jalannya sebuah terapi atau penelitian dalam layanan psikologi.
Setelah mengetahui informasi tersebut terkandung dalam buku HIMPSI yaitu Kode Etik
Psikologi, Indra merasa dikecewakan oleh psikolog tersebut dan pada akhirnya Indra pun lebih
berhati-hati dalam memilih psikolog untuk melakukan konseling tersebut.

Dalam kasus Indra, disini psikolog tersebut sudah melanggar Kode Etik Psikologi yaitu
pasal 4 mengenai Penyalahgunaan di bidang Psikologi, pasal 20 mengenai Informed Consent,
pasal 13 mengenai Sikap Profesional, pasal 18 mengenai Eksploitasi, dan pasal 40 mengenai
Informed Consent dalam Pendidikan dan/atau Pelatihan. Dalam kasus ini psikolog wajib
memberikan surat perjanjian antara klien dengan konselor karena penelitian ini bersifat pribadi

B. Penanganan Kasus
Kasus diatas sering sekali terjadi dalam kehidupan di masyarakat, tidak dapat terpungkiri,
masih banyak oknum ilegal yang berpura-pura menjadi seorang psikolog. Seorang psikolog
wajib hukumnya memiliki suatu sertifikat SSP atau Sertifikat Sebutan Psikolog serta
mempunyai SIPP atau Surat Izin Praktik Psikologi. Dalam kasus diatas, psikolog tidak
mempunyai Surat Izin Praktik Psikologi. Psikolog tersebut bisa diartikan sebagai psikolog
gadungan atau abal-abal. Jika psikolog mengambil profesi sebagai psikolog klinis, ia juga
harus memiliki SSP, STRPK atau Surat Tanda Registrasi Psikolog Klinis dan SIPPK atau
Surat Izin Praktik Psikolog Klinis.

Dalam Kode Etik Psikologi, seorang Psikolog atau Ilmuwan Psikolog wajib untuk
memberikan informed consent terlebih dahulu sebelum dilakukannya terapi. Dan wajib
menjelaskan mengenai kegiatan, waktu, gambaran, serta kesepakatan pembayaran yang
terdapat dalam informed consent tersebut. Jika seperti kasus diatas, psikolog sudah
melanggar ketentuan yang tertulis dalam Kode Etik Psikologi. Penangannya yaitu seorang
psikolog atau ilmuwan psikologi hendaknya perlu mengerti betul isi dan maksud seluruh
pasal yang tertulis di Kode Etik Psikologi. Selanjutnya mengenai penyebaran brosur psikolog
tersebut juga sudah melanggar Kode Etik Psikologi. Mengapa? Seorang psikolog atau
ilmuwan psikolog tidak boleh mempromosikan dirinya secara terang-terangan apalagi
memakai brosur yang disebarluaskan. Lalu bagaimana jika ingin di ketahui oleh masyarakat
kalau kita membuka biro atau praktik psikologi? Pada umumnya masyarakat mengetahui dari
mulut ke mulut, atau mereka akan membandingkan, misalnya Reni mendatangi psikolog A
setelah berkonsultasi Reni merasa kurang nyaman dan akhirnya Reni mendatangi psikolog B
dan Reni merasa nyaman. Atau bisa juga dengan cara pengalihan layanan jika seorang
psikolog tidak dapat menangani atau merasa sulit dengan suatu permasalahan pada kliennya.
Kemudian kasus diatas juga bersangkutan pada pasal 18 yaitu tentang eksploitasi yang
berhubungan dengan ayat 1 bagian a serta ayat 2. Psikolog tersebut telah memanfaatkan
kepentingan pribadinya yaitu hanya mendapatkan uang dari klien sementara terapi yang ia
berikan kepada klien itu bohong. Selanjutnya pada ayat 2 dalam kasus diatas, psikolog
tersebut mengeksploitasi data kliennya dengan mengguna-guna dalam hal pembayaran untuk
kepentingan pribadi. Selain itu psikolog tersebut juga tidak menunjukan sikap profesional
dalam melakukan layanan psikologi tersebut. Ia tidak menjaga data kliennya dengan baik dan
melakukan terapi tidak sesuai dengan tata cara yang seharusnya.

Anda mungkin juga menyukai