Oleh Kelompok 10 :
1. R. Muhammad Maulana Sageri 20170810050
2. Edwigar Annas Akbar 20170810049
3. Amelia Amanda D 20170810035
4. Annisa Diharja Akila 201708100--
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS HANG TUAH SURABAYA
2019
BAB 1
PENDAHULUAN
Dalam masyarakat maritim, termasuk di Indonesia, telah tumbuh berbagai sektor dan
subsektor ekonomi kemaritiman baru yang memunculkan segmen-segmen atau kategori-
kategori sosial seperti petambang, pekerja industri, pengelola dan karyawan wisata,
marinir,akademisi/peneliti, birokrat, dan lain-lain. Tumbuh kembangnya sektor-sektor
ekonomi dan jasa dengan segmen-segmen masyarakat maritim tersebut memerlukan dan
diikuti dengan perkembangan dan perubahan-perubahan kelembagaannya menjadi wadah
dan regulasinya. Tumbuhnya sektor-sektor ekonomi baru dan berkembangnya sektor-sektor
ekonomi kemaritiman lama, terutama perikanan dan pelayaran, tampak dalam perkembangan
dan perubahan-perubahan teknologi, perubahan struktural, dan sistem-sistem budaya
kemaritiman (pengetahuan, gagasan, kepercayaan, nilai, norma/aturan). Gambaran tentang
fenomena dinamika sosial budaya maritim berikut menggunakan kasus desa-desa Nelayan
Bugis, Bajo dan Makasar di Sulawesi Selatan (sumber data/informasidiperoleh dari berbagai
hasil penelitian lapangan).
BAB 2
PEMBAHASAN
Dalam masyarakat dimana terjadi suatu proses perubahan budaya, terdapat faktor-
faktor yang mendorong jalannya perubahan yang terjadi. Faktor- faktor tersebut
antara lain sebagai berikut : 1) Kontak dengan budaya lain 2) sistem pendidikan formal yang
maju 3) sikap menghargai hasil karya seseorang dan keinginan-keinginan untuk maju; 4)
toleransi terhadap perbuatan-perbuatan yang menyim pang (deviation), yang bukan
merupakan delik; 5) sistem terbuka lapisan; 6) penduduk yang heterogen; 7) ketidak puasan
masysarakat terhadap bidang- bidang kehidupan tertentu 8) orientasi ke masa depan; 9) nilai
bahwa manusia harus senantiasa berihtiar unntuk memperbaiki hidupnya (Soekanto, 2013 :
283-286).
Oleh karena sistem nilai budaya merupakan pedoman/acuan bagi sistem sosial
(berkehidupan bersama) dan sistem teknologi (rekayasa dan penggunaan alat peralatan),
maka dalam rangka pengembangan atau pembangunan kebudayaan maritim ke depan tentu
tepatnya dimulai dari sistem nilai budaya maritim itu sendiri. Dengan terbangunnya sistem
nilai budaya maritim yang ideal dan pragmatis, maka pembangunan dimensi kehidupan
bermasyarakat dan teknologinya akan terarahkan dan terkendali dengan baik dalam konteks
kristalisasi nilai dan moral budaya maritim yang mengakar dan rekayasa baru individu atau
kelompok potensial dari segmen-segmen masyarakat pemangku kepentingan (stakeholders).
Termasuk dalam segmen-segmen stakeholders yang kreatif-inovatif dalam merekayasa
unsur-unsur budaya maritim baru yang ideal, pragmatis, dan aplikatif ialah kalangan
akademisi, ahli dan pemerhati lingkungan, praktisi pembangunan, tokoh agama, LSM, dan
sebagainya.
Dari gambaran dan ilustrasi unsur-unsur budaya nelayan dan pelayar disajian
sebelumnya, dapat diramu dan diseleksi berbagai unsur nilai budaya maritim yang dianggap
potensial untuk direvitalisasi dan dikembangkan ke depan sebagai landasan bagi
pembangunan budaya maritim di Indonesia pada segala unsur atau aspeknya. Unsur-unsur
nilai dan norma budaya positif yang mengakar dalam berbagai kelompok nelayan dan pelayar
dari berbagai suku bangsa (ethnic groups) yaitu : Komunalisme, Arif lingkungan, Religius,
Berkehidupan bersama/kolektivitas, Egalitarian, Rukun dan setia kawan dalam kelompoknya,
Saling mempercayai, Patuh/taat norma, Bertanggung jawab, Disiplin, Kreatif-inovatif,
Teguh pendirian, Kepetualangan, Berani menanggung risiko, Adaptif dan kompetitif,
Berwawasan kelautan dan kepulauan, Multikulturalis, Nasionalis, Berpandangan
dunia/keterbukaan tentang nilai-nilai budaya maritim tersebut, tidak diasumsikan dianut dan
diaplikasikan oleh kelompok atau komunitas masyarakat nelayan pada umumnya dan berlaku
pada semua periode waktu atau masa.
Sebaliknya, keberadaan sebagian besar unsur nilai budaya maritim tersebut bersifat
kontekstual. Misalnya, keberanian dan kepetualangan, keketatan organisasi kerjasama, etos
ekonomi yang tinggi, wawasan kelautan, multikulturalisme, nasionalisme, dan sikap
keterbukaan, banyak dimiliki nelayan dan pelayar Bugis dan Makassar dengan
kelembagaan P-Sawi; sikap hemat/efisien dalam pemanfaatan uang dimiliki kebanyakan
dimiliki komunitas nelayan Dufadupa (Ternate) dengan kelembagaan arisan, menabung, ke-
Dibodibo-an; sikap tolong-menolong antaranggota kelompok nelayan dari unit-unit usaha
yang berbeda dimiliki komunitas nelayan Bonebone (Baubau --Buton) dengan kelembagaan
rektur Kuli Jala; sikap kebersamaan dengan dan melestarikan lingkungan ekosistem dan
sumberdaya perikanan laut, dan pemanfaatan hasil-hasil secara bersama dan adil dimiliki oleh
komunitas nelayan Maluku, Irian, dan Aceh dengan kelembagaan lokal Sasi, Tyatiki, dan
Panglima Laut); dan lain-lain.
Sistem nilai budaya, sikap kolektivitas, dan perilaku budaya kemaritiman tersebut
tumbuh berkembang sebagai reproduksi dari pengalaman berinteraksi dengan laut, pekerjaan
berat dan rumit, ancaman bahaya dan ketidakmenentuan, lingkungan sosial budaya
masyarakat pengguna sumberdaya dan jasa laut yang lain, pemerintah, pasar, dan sebagainya.
Karena motor sendiri adalah salah satu komponen modal vital yang membutuhkan
biaya operasioanl secara terus-menerus, maka ini harus difungsikan dengan penggunaan alat-
alat tangkap produktif. Di Sulawesi Selatan, di antara sekian banyak alat tangkap
tradisional yangmasih digunakan nelayan, terdapat beberapa di antaranya lebih berasosiasi
dengan motor seperti pukat gae (Bugis) atau rengge(Makasar), jala/panjak (payang), bagang,
pancing sunu (p.kerapu), pancing tongkol, bubu, kompresor (sarana selam), dan lain-
lain. Trawl (pukat harimau) termasuk alat tangkap baru dan modern yang kemudian dilarang
dan memang tidak pernah disukai olehnelayan lapisan bawah karena merugikan mereka,
merusak sumberdaya dan ekologi. Alat-alat tangkap tradisional tersebut di atas kemudian
menjadi lebih produktif berkat dioperasikan dengan perahu-perahu motor. Dapat dikatakan
bahwa adopsi inovasi motor dapat memberikan sumbangan kepada pengembangan dan
kontinyuitas teknologi tangkap tradisional tersebut, jadi bukannya memusnahkannya.
c. Dinamika Struktural
Gejala perubahan sruktural paling menyolok dan terasa ketika berlangsung adopsi
inovasi teknologi perikanan terutama motor/mesin,peningkatan volume perahu, beberapa
jenis alat tangkap baru skala besar, sarana pengawetan modern (penggunaan es balok). Untuk
merespons difusi inovasi teknologi eksploitasi dan sarana penggerak tersebut, para
P.Darat/P.Lompo/pengusaha lokal yang mempunyai kemampuan modal terbatas terpaksa
mengusahakan bagian besar dari modalnya ke pihak-pihak lain, yaitu pengusaha besar di
kota-kota besar, teurutama Makassar,dengan sistem kredit. Sudah menjadi pola umum dalam
masyarakat nelayan tradisional bahwa dari mana diperoleh pinjaman modal, ke situ pula
dipasarkan tangkapan. Pola ini sekaligus sudah menjadi norma pemasaran yang
mengakar. Cara seperti inilah memungkinkan para pengusaha modal dari luar secara
berangsur-angsur mengambil alih sebagian besar posisi dan peranan vital para pengusaha
lokal, yang lemah dalam faktor modal. Mula-mula mereka menuntut hasil tangkap dijual
kepada mereka, kemudian banyak menentukan spesis-spesis tangkapan nelayan dan tingkat
harga, dan jika ketentuan-ketentua kurang dipenuhi maka pinjaman (dalam bentuk perahu dan
mesin) ditarik kembali dari nelayan dan para ponggawa-nya.
Dalam perubahan struktural seperti ini, para pengusaha modal besar di Makasar dapat
diposisikan pada strata paling atas yang dikenal dengan istilah Bos, P.Pulau/P.Darat sebagai
peminjam pada posisi tengah (peranannya menyerupai makelar), sementara
para P.Laut/Juragang danSawi (nelayan) sebagai penyewa atau penyicil alat-alat
produksi semata dari Bos melalui P.Darat/P.Pulau/P.Lompo. Keterlibatan dan dominasi Bos
dalam hirarkis struktur hubungan kerjasama nelayan, menyebabkan hubungan patron-
client di antara P.Lompo/P.Darat dengan nelayan sebagian berubah menjadi hubungan
eksploitatif, sementara hubungan terpercaya cenderung dibangun dan dimantapkan antara
para P.Darat danBos. Tinggal P.Laut dengan Sawi-nya relatif masih mempertahankan
hubungan harmonis yang terbangun sejak dahulu kala.
Perlakuan para P.Darat/P.Lompo yang seringkali merugikanbagiP.Laut/Juragan,
yang menyebabkan mereka sulit meningkatkan penapatan dan bergeser naik ke status pemilik
alat-alat produksi/pengusaha, mendorong sebagian P.Laut/P.Caddi/Juragan mencoba
menempuh cara berisiko, yaitu meminjam modal langsung kepada Bos di Makasar. Hingga
sekarang, tidak sedikit Juragan telah mencapai idamannya dengan strategi seperti ini, yaitu
menjadi nelayan pemilik/pengusaha. Sebaliknya, mereka cenderung membangun kompetisi
dengan dan mempersempit peluang usaha para P.Darat/P.Lompo yang sudah kokoh sejak
lama. Demikianlah tercipta suatu struktur kerjasama baru
antara Bos dengan P.Laut/Juraganyang secara langsung memimpin kelompok-kelompok
nelayan yang jumlahnya kecil di laut.
Kelangkaan sumberdaya memang telah menjadi isu global, ketika sumberdaya ikan
dunia hanya tinggal 4% yang belum dieksploitasi, 21% dieskploitasi pada tingkat sedang,
65% dieskploitasi pada tingkat penuh dan berlebihan, 9% rusak, dan tidak lebih dari 1% yang
pulih (Garcia & Moreno, 2001). Intensifnya pemanfaatan sumberdaya ikan tidak hanya
meninggalkan permasalahan akut kelangkaan sumberdaya, tetapi juga krisis ekologi,
ekonomi, dan sosial terutama di daerah-daerah pantai.
Perikanan Indonesia juga sedang mengalami nasib yang serupa. Secara nasional, hasil
pengkajian stok ikan oleh Pusat Riset Perikanan Tangkap dan Pusat Penelitian Oseanologi
tahun 2001 menunjukkan 65% sumberdaya dieksploitasi secara penuh atau berlebihan dan
sumberdaya ikan di kawasan barat mendapat tekanan yang paling berat. Dari aspek produksi,
pertumbuhan yang tinggi terjadi pada dekade 1970an akibat pesatnya laju motorisasi
perikanan yang mencapai lebih dari 10% per tahun. Sayangnya, motorisasi ini menghasilkan
dualisme industri perikanan. Keberpihakan berlebihan pada perikanan skala besar (trawl dan
purse-seine) melahirkan berbagai konflik dan menjadi catatan buruk pengelolaan perikanan
Indonesia. Saat ini, perikanan cenderung tumbuh semakin terbatas dan berdasarkan data
FAOSTAT (2005) pertumbuhan produksi tidak lebih dari 2% per tahun selama periode 1999-
2001. Dalam periode yang sama, berdasarkan data DKP (2003) nelayan tumbuh di atas 2%
per tahun dan melebihi laju pertumbuhan kapal ikan. Indikasi ini tidak hanya menunjukkan
sumberdaya ikan semakin terbatas mendukung ekonomi nelayan, tetapi juga menjadikan
perikanan sebagai pelabuhan terakhir masyarakat yang tidak memiliki akses terhadap
lapangan kerja lainnya. Tidaklah mengherankan jika Béné dalam Jurnal World Development
(2003) menyebut perikanan yang sedang berjalan seirama dengan kemiskinan.
b. Kemiskinan
Tekanan terhadap sumber daya pesisir sering diperberat oleh tingginya angka
kemiskinan di wilayah tersebut. Kemiskinan sering pula menjadi lingkaran karena penduduk
yang miskin sering menjadi sebab rusaknya lingkungan pesisir, namun penduduk miskin pula
yang akan menanggung dampak dari kerusakan lingkungan. Dengan kondisi tersebut, tidak
mengherankan jika praktik perikanan yang merusak masih sering terjadi di wilayah pesisir.
Pendapatan mereka dari kegiatan pengeboman dan penangkapan ikan karang dengan
cyanide masih jauh lebih besar dari pendapatan mereka sebagai nelayan. Sebagai contoh,
pendapatan dari penjualan ikan karang berkisar antara Rp 500.000 sampai Rp 700.000 per
bulan (Erdman dan Pet, 2000). Dengan besarnya perbedaan pendapatan tersebut di atas, sulit
untuk mengatasi masalah kerusakan ekosistem pesisir tanpa memecahkan masalah
kemiskinan yang terjadi di wilayah pesisir itu sendiri.
c. Faktor Penyebab
Secara garis besar ada dua cara memandang kemiskinan. Sebagian orang berpendapat,
kemiskinan adalah suatu proses, sedangkan sebagian lagi memandang kemiskinan sebagai
suatu akibat atau fenomena dalam masyarakat. Sebagai suatu proses, kemiskinan
mencerminkan kegagalan suatu sistem masyarakat dalam mengalokasikan sumber daya dan
dana secara adil kepada anggota masyarakat (Pakpahan dan Hermanto, 1992). Dari hasil
kajian mereka di 14 kecamatan daerah pantai yang tersebar di beberapa provinsi diketahui,
nelayan yang miskin umumnya belum banyak tersentuh teknologi modern, kualitas sumber
daya manusia rendah dan tingkat produktivitas hasil tangkapannya juga sangat rendah.
Faktor utama bukan karena kekuatan modal untuk mengakses teknologi, namun
ternyata lebih banyak disebabkan oleh kurangnya aktivitas penyuluhan atau teknologi dan
rendahnya lembaga penyedia teknologi. Yang menarik dari hasil penelitian mereka adalah
ditemukannya korelasi positif antara tingkat kemiskinan dengan perkembangan sistem ijon.
Para nelayan miskin umumnya, kehidupan ekonomi mereka sangat tergantung kepada para
pemilik modal, yaitu pemilik perahu atau alat tangkap serta juragan yang siap menyediakan
keperluan perahu untuk berlayar.
1) Pertama, konflik kelas, yaitu konflik yang terjadi antarkelas sosial nelayan dalam
memperebutkan wilayah penangkapan (fishing ground), yang mirip dengan kategori
gearwar conflict-nya Charles (2001). Ini terjadi karena nelayan tradisional merasakan
ketidakadilan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan akibat perbedaan tingkat
penguasaan kapital. Seperti, konflik yang terjadi akibat beroperasinya kapal trawl
pada perairan pesisir yang sebenarnya merupakan wilayah penangkapan nelayan
tradisional.
2) Kedua, konflik orientasi, adalah konflik yang terjadi antar nelayan yang memiliki
perbedaan orientasi dalam pemanfaatan sumberdaya, yaitu antara nelayan yang
memiliki kepedulian terhadap cara-cara pemanfaatan sumberdaya yang ramah
lingkungan (orientasi jangka panjang) dengan nelayan yang melakukan kegiatan
pemanfaatan yang bersifat merusak lingkungan, seperti penggunaan bom, potasium,
dan lain sebagainya (orientasi jangka pendek).
3) Ketiga, konflik agraria, merupakan konflik yang terjadi akibat perebutan fishing
ground, yang bisa terjadi antar kelas nelayan, maupun inter-kelas nelayan. Ini juga
bisa terjadi antara nelayan dengan pihak lain non-nelayan, seperti antara nelayan
dengan pelaku usaha lain, seperti akuakultur, wisata, pertambangan, yang oleh
Charles (2001) diistilahkan sebagai external allocation conflict.
4) Keempat, konflik primordial, merupakan konflik yang terjadi akibat perbedaan
identitas, seperti etnik, asal daerah, dan seterusnya. Anatomi konflik di atas
menggambarkan betapa kompleksnya konflik nelayan. Keempat tipe tersebut terjadi
baik sebelum maupun sesudah otonomi daerah. Perebutan sumberdaya ikan yang
semakin langka menjadi salah satu akar konflik perikanan saat ini, sehingga menuntut
kita untuk bepikir ulang tentang cara mengelola sumberdaya ini. Banyak kepentingan
nelayan terkalahkan oleh kepentingan non nelayan karena nelayan tidak memiliki
organisasi dengan posisi tawar yang kuat. Di era otonomi daerah ini lebih-lebih
adanya kecenderungan Pemda mengejar kepentingan jangka pendek dengan
mengedepankan proyek-proyek yang quick yielding yang seringkali bersebarangan
dengan kepentingan nelayan, kehadiran organisasi nelayan yang solid menjadi kian
mendesak.
Terakhir, dalam jangka panjang pemberdayaan nelayan sangat penting dalam
mengantisipasi konflik. Pemberdayaan tentu utamanya diarahkan pada peningkatan
ketahanan ekonomi rumah tangga nelayan. Berbagai bentuk praktek penangkapan ikan
secara destruktif ternyata tidak bisa lepas dari perspektif ekonomi. Ketika nelayan dengan
alat tangkap yang sangat terbatas dan menghasilkan tangkapan ikan yang secara minimal,
maka dorongan untuk melakukan praktik penangkapan secara destruktif menjadi besar.
Akibatnya konflik orientasi pun sering terjadi. Tentu aspek ekonomi ini juga mesti diiringi
dengan aspek sosial budaya yaitu dengan melakukan pengkayaan pengetahuan dan pola sikap
para nelayan terhadap sumberdaya laut yang di beberapa tempat sudah mulai bergeser.
Saat ini banyak program pemberdayaan yang menklaim sebagai program yang
berdasar kepada keinginan dan kebutuhan masyarakat (bottom up), tapi ironisnya masyarakat
tetap saja tidak merasa memiliki akan program-program tersebut sehingga tidak aneh banyak
program yang hanya seumur masa proyek dan berakhir tanpa dampak berarti bagi kehidupan
masyarakat. Memberdayakan masyarakat pesisir berarti menciptakan peluang bagi
masyarakat pesisir untuk menentukan kebutuhannya, merencanakan dan melaksanakan
kegiatannya, yang akhirnya menciptakan kemandirian permanen dalam kehidupan
masyarakat itu sendiri. Memberdayakan masyarakat pesisir tidaklah seperti memberdayakan
kelompok-kelompok masyarakat lainnya, karena didalam habitat pesisir terdapat banyak
kelompok kehidupan masayarakat yaitu : Masyarakat nelayan tangkap, Masyarakat nelayan
pengumpul/bakul, Masayarakat nelayan buruh, dan Masyarakat nelayan tambak, masyarakat
nelayan pengolah, dan kelompok masyarakat nelayan buruh.
DAFTAR PUSTAKA