Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

TEORI YANG BERPUSAT PADA PRIBADI CARL ROGERS DAN


TEORI EKSISTENSIAL ROLLO MAY

Dibuat guna memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Kepribadian

Mata Kuliah : Psikologi Kepribadian


Dosen Pengampu : Moniqa Siagawati, M.Psi., PSIKOLOG

Disusun Oleh:

Kelompok 4

1. Ica Erycha Wati 201141061


2. Dea Nofia Sulistyawati 201141065
3. Anggita Rismayasoka 201141072
4. Orchida Rifqia A. B 201141074

Program Studi : Psikologi Islam

Kelas : 2B

FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA

TAHUN 2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Teori Yang Berpusat Pada
Pribadi Carl Rogers Dan Teori Eksistensial Rollo May” ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Ibu Moniqa
Siagawati, M.Psi., PSIKOLOG pada mata kuliah Psikologi Kepribadian. Selain itu, makalah
ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang psikoanalisis bagi para pembaca dan
juga bagi penulis
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Moniqa Siagawati, M.Psi., PSIKOLOG,
selaku dosen Psikologi Kepribadian yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.
Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan
makalah ini.

Nganjuk, 21 Maret 2021

Tim Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I Teori Yang Berpusat Pada Pribadi Carl Rogers

1.1 Pengantar Teori

1.2 Biografi Tokoh

1.3 Konsep Teori Kepribadian

1.4 Struktur Kepribadian

1.5 Dinamika Kepribadian

1.6 Penyimpangan Perilaku

1.7 Perkembangan Kepribadian

1.8 Aplikasi Teori


BAB II Teori Eksistensial Rollo May
2.1 Pengantar Teori

2.2 Biografi Tokoh

2.3 Konsep Teori Kepribadian

2.4 Struktur Kepribadian

2.5 Dinamika Kepribadian

2.6 Penyimpangan Perilaku

2.7 Perkembangan Kepribadian

2.8 Aplikasi Teori

Bab III Penutup

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
Teori Yang Berpusat Pada Pribadi Carl Rogers

1.1 Pengantar Teori

Rogers adalah salah satu dari banyak ahli yang mengembangkan teori humanistic
dan menentang teori-teori sebelumnya yaitu psikoanalisis dan behavioristik, orang-orang
humanis memandang kedua teori sebelumnya bersifat “dehumanizing” (melecehkan
nilai-nilai manusia). Teori humanistik dipandang sebagai “third force” (kekuatan ketiga)
dalam psikologi, kekuatan humanistik ini memiliki minat yang eksklusif terhadap tingkah
laku manusia. Humanistik dapat diartikan sebagai “Orientasi teoritis yang menekankan
kualitas manusia yang unik, khususnya terkait dengan free will (kemauan bebas) dan
potensi untuk mengembangkan dirinya”. Para ahli humanistik memiliki pandangan yang
optimis terhadap hakikat manusia. Mereka meyakini bahwa :

• Manusia memiliki dorongan bawaan untuk mengembangkan diri

• Manusia memilki kebebasan untuk merancang atau mengembangkan tingkah


lakunya, dalam hal ini manusia bukan pion yang diatur sepenuhnya oleh lingkungan;
dan

• Manusia adalah makhluk rasional dan sadar, tidak dikuasai oleh ketidaksadaran,
kebutuhan irrasional, dan konflik

Fokus utama Rogers adalah proses psikoterapi dan teori kepribadiannya bersumber
dari teori terapi. Rogers secara berkesinambungan melakukan penelitian empiris untuk
mendukung teori perkembangannya maupun pendekatan terapinya. Teori Rogers yang
disebut dengan teori yang berpusat pada pribadi atau istilah yang lebih luas person-
centered. Berkaitan dengan teori, teori psikoanalitis menekankan dorongan biologis,
bawah sadar, peredaan ketegangan, dan perkembangan karakter di usia awal. Sebaliknya,
pendekatan fenomenologis Rogers menekankan persepsi sadar, perasaan berkaitan
dengan interaksi sosial, motif aktualisasi diri, dan proses perubahan. Berkaitan dengan
metode riset, psikoanalis percaya bahwa wawancara klinis atau tes proyektif harus
digunakan untuk menghalangi tindakan mekanisme pertahanan diri. Sebaliknya, Rogers
percaya bahwa orang memiliki kapasitas untuk melaporkan karakteristik pengalaman
psikologis mereka dengan cara yang amat bermanfaat; dengan demikian riset dapat
menggunakan metode self-report (evaluasi diri) yang sederhana.
1.2 Biografi Tokoh

Carl Ransom Rogers lahir pada 8 Januari 1902 di Oak Park,Illinois, Amerika
Serikat. Rogers merupakan anak keempat dari enam bersaudara dari pasangan Walter dan
Julia Cushing Rogers. Rogers lebih dekat kepada ibunya dibandingkan sang ayah. Hal ini
terjadi karenaprofesi ayahnya sebagai seorang insinyur dan kontraktor, membuatnya
sering bepergian meninggalkan rumah sejak Rogers masih kecil.Kesuksesan yang diraih
sang ayah membuat keluarga Rogers menikmatigaya hidup kelas menengah atas Amerika
kala itu. Rogers belajar darikedua orang tuanya tentang nilai-nilai yang mereka anut yaitu
religiusitasdan prinsip kerja keras.

Di sekolah, Rogers termasuk anak yang berprestasi. Ia jugaseorang pemimpi yang


sangat menyukai buku-buku dengan kisahpetualangan. Meskipun terlahir dalam keluarga
besar, Rogers kecil lebihsenang menyendiri di sekolah. Ia termasuk anak yang sensitif
dan perasadengan ejekan-ejekan yang dilontarkan oleh teman-temannya.

Ketika Rogers berusia 12 tahun, ayahnya membawa seluruh keluarga untuk pindah
ke sebuah peternakan yang jauhnya 25 mil darikota Chicago. Meskipun sang ayah
bukanlah petani dan masih menjadi seorang kontraktor yang sukses, namun keputusan ini
diambil oleh kedua orang tuanya dengan harapan dapat memberikan lingkungan yang
lebih kondusif dan relijius bagi perkembangan anak-anak mereka. Dilingkungan inilah
Rogers muda menemukan gairahnya terhadap ilmu pertanian. Ia seperti seorang ilmuwan
kecil yang bersikap ilmiah danmelakukan observasi dengan catatan-catatan detil tentang
tumbuh-tumbuhan dan hewan di sekitarnya.

Rasa tertariknya pada ilmu pertanian membawanya untuk mendalami ilmu alam
dan ilmu hayat di Universitas Wisconsin. Setelah lulus pada tahun 1924, ia melanjutkan
studinya ke Union Theological Seminary di New York City. Di tempat inilah ia
berkenalan dengan pandangan liberal dan filosofis mengenai agama dan merasa tergugah
untuk mempelajari dirinya sendiri. Minatnya pun berubah lagi ke psikologi pendidikan
dan psikologi klinis yang kemudian ditekuninya di Teachers College of Columbia
University dan mendapat gelar doktornya padatahun 1931. Di sanalah ia terpengaruh oleh
filsafat John Dewey dan diperkenalkan pada psikologi klinis oleh Leta Hollingworth.

Pertemuannya dengan Alfred Adler telah mengubah orientasi Rogers dalam metode
psikoterapi dan mendorongnya untukmencetuskan teknik terapi yang berpusat pada klien
atau pribadi. Teknikini ia kembangkan secara terus menerus di berbagai tempat
kerjanyaseperti di Rochester Guidance Center (pusat bimbingan untuk anak terlantar). Ia
juga mendirikan Pusat Kajian Pribadi (The Center forStudies of The Person) di La Jolla
California. Selain itu, Rogers juga pernah menjadi presiden American Psychological
Association pada tahun 1946-1947.

1.3 Konsep Teori Kepribadian

Teori Rogers sangat bersifat klinis, karena didasarkan pada pengalaman bertahun-
tahun tentang bagaimana seharusnya seorang terapis menghadapi seorang kliennya.
Dalam dunia psikologi teori ini disebut dengan teori teori yang berpusat pada klien dalam
istilah carl rogers disebut sebagai “client centered theraphy” atau “person-centered
psychotherapy”.

Maksud dari berpusat pada klien adalah karena teori ini terapis harus mampu masuk
pada hubungan yang s angat pribadi dan subjektif dengan klien, yang hubungannya
tersebut bukan seperti ilmuan dengan objek penelitian namun lebih pada antara pribadi
dengan pribadi. Terapis memandang bahwa klien; memiliki pribadi, memiliki harga diri
tanpa sarat, memiliki nilai nilai tak peduli bagaimana keadaannya, tingkah lakunya atau
perasaannya.

1.4 Struktur Kepribadian

Dalam teorinya, Rogers lebih mementingkan dinamika dibandingkan dengan


struktur kepribadian. Dari awal, Rogers lebih memfokuskan diri pada cara bagaimana
kepribadian dapat berubah dan berkembang. Beliau tidak menekankan pada aspek
struktur kepribadian. Namun meskipun begitu, terdapat 19 rumusannya menjelaskan
mengenai hakikat kepribadian yang diperoleh 3 konstruk yang mana menjadi dasar
penting dalam teori Self.

Carl Rogers mendeskripsikan teori the self sebagai konstruk yang menjelaskan
bagaimana individu melihat dirinya sendiri. Konsep pokok teori kepribadian yang
dikemukakan oleh Rogers ini adalah self, yang mana menjadi struktur kepribadian itu
sendiri. Self terbagi menjadi dua, yaitu Real Self serta Ideal Self. Real self adalah kondisi
individu saat ini, sedangkan ideal self adalah kondisi individu yang mana ingin dilihat
dan dicapai oleh individu itu sendiri. Perhatian dna fokus Rogers lebih mengutamakan
pada cara organisme serta self itu sendiri dapat dibuat menjadi lebih kongruen.

Konsep self merupakan konsep menyeluruh yang mana tergorganisir dan tersusun
atas persepsi ciri-ciri mengenai “I” (aku sebagai subjek atau objek) serta persepsi
hubungan “I” dengan lainnya dalam berbagai aspek kehidupan beserta nilai-nilai yang
berkaitan di dalam persepsi tersebut. Konsep self lebih menggambarkan mengenai konsep
orang terhadap dirinya sendiri serta ciri-ciri yang dianggap dalam bagian dirinya. Selain
itu, konsep self juga menggambarkan mengenai pandangan dirinya yang berkaitan
dengan perannya yang ada di dalam kehidupan serta kaitannya dengan interpersonal.
• Asumsi Dasar
Rogers mengajukan dua asumsi umum, yaitu :
1. Kecenderungan Formatif
Feist (2013) yakin terdapat bahwa kecenderungan dari setiap hal, baik organik
maupun non-organik, untuk berevolusi dari bentuk yang sederhana menjadi
bentuk yang lebih kompleks.
2. Kecenderungan Aktualisasi
Asumsi yang saling berkaitan dan relevan adalah kecenderungan aktualisasi atau
kecenderungan setiap manusia (selain hewan lain dan tanaman) untuk bergerak
menuju keutuhan atau pemuasan dari potensi (Feist, 2013).
• Aspek-Aspek Kepribadian
Perhatian utama Rogers adalah kepada perkembangan atau perubahan, maka tidak
menekankan kepada struktur kepribadian, walaupunbegitu dia mengajukan dua
konstruk pokok dalam teorinya, yaitu organisme dan self.
1. Organism, yaitu keseluruhan individu (the total individual). Organisme memiliki
sifat-sifat berikut:
2. Organisme beraksi sebagai keseluruhan terhadap medan phenomenal dengan
maksud memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
3. Organisme mempunyai satu motif dasar yaitu: mengaktualisasikan,
mempertahankan dan mengembangkan diri.
4. Organisme mungkin melambangkan pengalamannya,sehingga hal itu disadari,
atau mungkin menolakpelambangan itu, sehingga pengalaman-pengalaman itu
takdisadari, atau mungkin juga organisme itu takmemperdulikan pengalaman-
pengalamannya.
• Self, yaitu bagian medan phenomenal yangterdiferensiasikan dan terdiri dari pola-
pola pengamatandan penilaian sadar daripada “I” atau “me”. Self mempunyai
bermacam-macam sifat:
1. Self berkembang dari interaksi organisme dengan lingkungan.
2. Self mungkin menginteraksikan nilai-nilai orang lain danmengamatinya dalam
cara (bentuk) yang tidak wajar.
3. Self mengejar(menginginkan)consistency(keutuhan/kesatuan, keselarasan).
4. Organisme bertingkah laku dalam cara yang selaras(consistent) dengan self.
5. Pengalaman-pengalaman yang tak selaras denganstuktur self diamati sebagai
ancaman.
6. Self mungkin berubah sebagai hasil dari pematangan(maturation) dan belajar.

1.5 Dinamika Kepribadian

Rogers meyakini bahwa manusia dimotivasi oleh kecenderungan atau kebutuhan


untuk mengaktualisasikan, memelihara, dan meningkatkan dirinya. Kebutuhan ini
bersifat bawaan sebagai kebutuhan dasar jiwa manusia, yang meliputi kebutuhan fisik
dan psikis. Manusia juga memiliki kebutuhan lainnya yaitu “positive regard of other” dan
“self regard”.

Dengan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan fisik seperti makan dan minum, serta


mempertahankan organism dari serangan luar, maka motif aktualisasi diri memelihara
organism agar tetap survive. Disamping itu juga motif aktualisasi diri ini berfungsi untuk
mendorong perkembangan manusia melalui diferensial organ-organ fisik, perkembangan
fungsi-fungsi psikis, dan pertumbuhan seksual masa remaja.

Aktualisasi diri (self-actualization) merupakan bagian dari kecenderungan


aktualisasi sehingga tidak sama dengan kecenderungan itu sendiri. Kecenderungan
aktualisasi merujuk pada pengalaman organisme dari individu; sehingga hal tersebut
merujuk pada manusia secara keseluruhan-kesadaran dan ketidaksadaran, fisiologis, dan
kognitif. Sebaliknya, aktualisasi diri adalah kecenderungan untuk mengaktualisasikan
diri bagaimana yang dirasakan dalam kesadaran. Saat organisme dan diri yang dirasakan
selaras, kedua kecenderungan aktualisasi hampir identik; namun apabila pengalaman
organisme seseorang tidak selaras dengan pandangan mereka terhadap diri, perbedaan
akan terjadi antara kecenderungan aktualisasi dan kecenderungan aktualisasi diri (Feist,
2013).

Konsep aktualisasi mencakup kecenderungan organisme untuk tumbuh dari sebuah


entitas sederhana menjadi kompleks, bergerak dari kebergantungan kepada kemandirian,
dari kekakuan ke proses perubahan, dan kebebasan ekspresi.
1.6 Penyimpangan Perilaku

Kongruensi dan Inkongruensi

Rogers mengatakan bahwa konsep diri manusia seringkali tidak tepat secara
sempurna dengan realitas yang ada. Misalnya, seseorang mungkin memandang dirinya
sebagai orang yang sangat jujur namun kenyataannya seringkali berbohong kepada
atasannya tentang alasan mengapa dia datang terlambat. Rogers menggunakan istilah
inkongruensi (ketidaksejajaran) untuk mengacu pada kesenjangan antara konsep diri
dengan realitas. Di sisi lain, kongruensi, merupakan kesesuaian yang sangat akurat antara
konsep diri dengan realitas.

Menurut Rogers, para orang tua akan memacu adanya inkongruensi ini ketika mereka
memberikan kasih sayang yang kondisional kepada anak-anaknya. Orang tua akan
menerima anaknya hanya jika anak tersebut berperilaku sebagaimana mestinya, anak
tersebut akan mencegah perbuatan yang dipandang tidak bisa diterima. Disisi lain, jika
orang tua menunjukkan kasih sayang yang tidak kondisional, maka si anak akan bisa
mengembangkan kongruensinya. Remaja yang orang tuanya memberikan rasa kasih
sayang kondisional akan meneruskan kebiasaan ini dalam masa remajanya untuk
mengubah perbuatan agar dia bisa diterima di lingkungan.

• Dampak dari Inkongruensi

Rogers berfikir bahwa manusia akan merasa gelisah ketika konsep diri mereka
terancam. Untuk melindungi diri mereka dari kegelisahan tersebut, manusia akan
mengubah perbuatannya sehingga mereka masih akan tetap mampu berpegang pada
konsep diri mereka. Manusia dengan tingkat inkongruensi yang lebih tinggi akan
merasa sangat gelisah karena realitas selalu mengancam konsep diri mereka secara
terus menerus.

• Contoh:

Erin yakin bahwa dia merupakan orang yang sangat dermawan, sekalipun dia
seringkali sangat pelit dengan uangnya dan biasanya hanya memberikan tips yang
sedikit atau bahkan tidak memberikan tips sama sekali saat di restauran. Ketika teman
makan malamnya memberikan komentar pada perilaku pemberian tipsnya, dia tetap
bersikukuh bahwa tips yang dia berikan itu sudah layak dibandingkan pelayanan yang
dia terima. Dengan memberikan atribusi perilaku pemberian tipsnya pada pelayanan
yang buruk, sehingga dia dapat terhindar dari kecemasan serta tetap menjaga konsep
dirinya yang katanya dermawan.
1.7 Perkembangan Kepribadian

Rogers tidak mengemukakan tahapan (stages) dalam perkembangan kepribadian.


Dia lebih tertarik pada cara-cara orang lain (orangtua) menilai anak. jika seorang
orangtua tidak mencurahkan “positive regard” (penerimaan dan cinta kasih) bahkan
menampilkan sikap penolakan terhadap anak, maka kecanderungan kecenderungan
bawaan anak untuk mengaktualisasikan dirinya menjadi terhambat. Anak mempersepsi
penolakan orangtua terhadap tingkah lakunya sebagai penolakan terhadap
perkembangan “self concept” nya yang baru. apabila hal itu sering terjadi, anak akan
mogok untuk berusaha mengaktualisasikan dirinya.

Secara ideal, anak mendapatkan kasih sayang dan penerimaan yang cukup pada
setiap saat dari orang lain (orang tua). Kondisi ini disebut “unconditional positive
regard”. Kondisi ini mengimplikasikan bahwa cinta kasih ibu kepada anak tidak
diberikan secara conditional, tetapi secara bebas dan penuh.

Mengingat pentingnya memperoleh kepuasan akan kebutuhan “positive regard”,


khususnya pada masa anak, maka seseorang akan menjadi sensitive akan sikap dan
tingkah laku orang lain. Melalui penafsiran terhadap reaksi yang diterima dari
oranglain, seseorang mungkin mengubah atau memperhalus onsep dirinya. Hal ini
menunjukan, bahwa perkembangan konsep diri seseorang dipengaruhi juga oleh
upayanya mengininternalisasikan sikap-sikap orang lain.

Secara berangsur-angsur “positive regard” akan menjadi lebih mempribadi


daripada yang berasal dari orang lain. Kondisi ini olrh Rogers dinamakan “positive self
regard” Jika orang tua tidak mencurahkan “positive regards” (penerimaan, dan cinta
kasih) bahkan menampilkan sikap penolakan terhadap anak, maka kecenderungan
bawaan anak untuk mengaktualisasikan dirinya menjadi terhambat. Secara Ideal ,anak
mendapatkan kasih sayang dan penerimaan yang cukup pada setiap saat dari orang lain
(orang tua). Kondisi ini disebut “unconditional Positive regard”. Kondisi ini
mengimplikasikan bahwa cinta kasih ibu kepada anak tidak diberikan secara
kondisional, tetapi secara bebas dan penuh. Perkembangan dari “positive regard” ke
“positive self regard” dipengaruhi oleh kondisi yang mengembangkan perasaan
berharga (conditions of worth). Menurut Rogers “fully functioning person” merupakan
tujuan dari seseorang.

Orang yang telah mencapai “fully functioning person” ini memiliki karakteristik
pribadi sebagai berikut :

• Memiliki kesadaran akan semua pengalaman. Tidak ada pengalaman yang ditolak,
semuanya disaring melalui self.

• Mengalami kehidupan secara penuh dan pantas pada setiap saat.berpartisipasi dalam
kehidupan bukan sebagai pengamat.

• Memiliki rasa percaya kepada dirinya sendiri,seperti dalam mereaksi atau merespon
sesuatu. Dalam arti, dia memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan sendiri
berdasarkan data pengalaman yang diperoleh.

• Memiliki perasaan bebas untuk memilih tanpa hambatan apapun.

• Menjalani kehidupan secara konstruktif dan adaptif terhadap perubahan yang terjadi
di lingkungan, serta berpikir kreatif

1.8 Aplikasi Teori

Contoh sederhana dapat dilihat sebagai berikut: seorang gadis kecil yang memiliki
konsep diri bahwa ia seorang gadis yang baik, sangat dicintai oleh orangtuanya, dan yang
terpesona dengan kereta api kemudian menungkapkan pada orang tuanya bahwa ia ingin
menjadi insinyur mesin dan akhirnya menjadi kepala stasiun kereta api. Orang tua gadis
tersebut sangat tradisional, bahkan tidak mengijikan ia untuk memilih pekerjaan yang
diperutukan laki-laki. Hasilnya gadis kecil itu mengubah konsep dirinya. Dia
memutuskan bahwa dia adalah gadis yang “tidak baik” karena tidak mau menuruti
keinginan orang tuanya. Dia berfikir bahwa orang tuanya tidak menyukainya atau
mungkin dia memutuskan bahwa dia tidak tertarik pada pekerjaan itu selamanya.

Beberapa pilihan sebelumnya akan mengubah realitas seorang anak karena ia tidak
buruk dan orangtuanya sangat menyukai dia dan dia ingin menjadi insinyur. Self image
dia akan keluar dari tahapan pengalaman aktualnya. Rogers berkata jika gadis tersebut
menyangkal nilai-nilai kebenarannya dengan membuat pilihan yang ketiga – menyerah
dari ketertarikannya – dan jika ia meneruskan sesuatu sebagai nilai yang di tolak oleh
orang lain, dirinya akan berakhir dengan melawan dirinya sendiri. Dia akan merasa
seolah-olah dirinya tidak mengetahui dengan jelas siapa dirinya sendiri dan apa yang dia
inginkan, maka ia akan berkepribadian keras, tidak nyaman,

Jika penolakan menjadi style, dan orang tidak menyadari ketidaksesuaian dalam
dirinya maka kecemasan dan ancaman muncul akibat dari orang yang sangat sadar dengan
ketidaksesuaian itu. Sedikit saja seseorang menyadari bahwa perbedaan antara
pengalaman organismik dengan konsep diri yang tidak muncul ke kesadaran telah
membuatnya merasakan kecemasan. Rogers mendefinisikan kecemasan sebagai keadaan
ketidaknyamanan atau ketegangan yang sebabnya tidak diketahui. Ketika orang semakin
menyadari ketidaksesuaian antara pengalaman dengan persepsi dirinya, kecemasan
berubah menjadi ancaman terhadap konsep diri yang sesuai. Kecemasan dan ancaman
yang menjadi indikasi adanya ketidaksesuaian diri dengan pengalaman membuat orang
berada dalam perasaan tegang yang tidak menyenangkan namun pada tingkat tertentu
kecemasan dan ancaman itu dibutuhkan untuk mengembangkan diri memperoleh jiwa
yang sehat.

Bila seseorang, antara “self concept”nya dengan organisme mengalami keterpaduan,


maka hubungan itu disebut kongruen (cocok) tapi bila sebaliknya maka disebut
Inkongruen (tidak cocok) yang bisa menyebabkan orang mengalami sakit mental, seperti
merasa terancam, cemas, defensive dan berpikir kaku serta picik. Sedangkan ciri-ciri
orang yang mengalami sehat secara psikologis (kongruen), dalam Syamsu dan Juntika
(2010:145) disebutkan sebagai berikut :
1. Seseorang mampu mempersepsi dirinya, orang lain dan berbagai peristiwa yang
terjadi di lingkungannya secara objektif
2. Terbuka terhadap semua pengalaman, karena tidak mengancam konsep dirinya
3. Mampu menggunakan semua pengalaman
4. Mampu mengembangkan diri ke arah aktualisasi diri (fully functioning person).
BAB II
Teori Eksistensial Rollo May
2.1 Pengantar Teori
Di dalam bukunya Love and Will (1969), May berbicara tentang intensionalitas
sebagai cara dimana dikotomi antara subjek dan objek diatasi sebagian. Meskipun
tindakan-tindakan mental murni subjektif, mereka selalu memaksudkan atau
berhubungan dengan kejadian-kejadian diluar diri mereka sendiri. Contohnya, cinta
adalah pengalaman subjektif, namun kita harus mencintai seseorang atau sesuatu. Dengan
cara yang sama, persepsi adalah pengalaman subjektif namun ia harus mencerap sesuatu.
Jadi, lewat semua pengalaman mental dan emosi mereka harus berhubungan dengan
objek atau kejadian diluar diri mereka sendiri.
Intensionalitas adalah kapasitas manusia untuk mencerap secara selektif dan
menyepakati makna terkait objek dan kejadian di dunia. Jadi, peristiwa lingkungan yang
sama akan direspons secara berbeda tergantung apa makna yang dilekatkan seseorang
kepada dirinya. Contohnya, rumah yang sama berada diatas gunung namun kegunaannya
berbeda, apakah ia dipahami sebagai tempat peristirahatan sementara atau liburan, tempat
tinggal permanen, atau tempat tinggal teman.
Menurut May, intensionalitas mengelaborasikan aspek penting Dasein. Sebagai
sebuah mengada di dunia, interaksi kita dengan dunia fisik sangat pribadi dan dinamis
sifatnya. Setiap individu merspons dunia berdasarkan struktur makna pribadinya
(keyakinan, nilai, dan harapannya).
Kehendak dan keinginan sangat erat kaitannya dengan intensionalitas. May
mendefinisikan kehendak sebagai “kapasitas untuk mengorganisasikan diri sendiri
sehingga gerakan di arah tertentu atau menuju tujuan tertentu dapat berlangsung”. May
mendefinisikan keinginan sebagai “permainan imajinasi dengan kemungkinan sejumlah
tindakan atau kondisi yang muncul”. Keinginan itulah yang menyediakan vitalitas,
imajinasi, dan inovasi terhadap kepribadian.
Intensionalitas, keinginan dan kehendak adalah tiga konsep terpenting bagi teori
May karena ketiganya berkaitan dengan sejumlah atribut manusia yang lain. Menurut
Reeves (1977), “tuga May di dalam intensionalita dan kehendak inilah di dalam
jangkauan luas orientasi manusia terhadap makna, keputusan dan tindakan, penaksiran,
pengambilan keputusan dan menindak lanjuti kemungkinan yang di indra, sehingga
individu mengalami secara pribadi identitasnya, latihan kebebasannya, dan pengindraan
kemakhlukannya.
2.2 Biografi Tokoh

Rollo Reese May lahir tanggal 21 April 1909 di Ohio dan merupakan anak laki-laki
pertama pasangan Earl Tittle May dan Matie Boughton May. Keluarga May bukanlah
keluarga dengan tingkat pendidikan dan intelektual tinggi, ayahnya bekerja sebagai
sekretaris di Young Men’s Christian Association dan ibunya sibuk merawat dirinya
sendiri. Saat May masih kecil, keluarganya pindah ke Marine City, Michigan dan
ditempat inilah May menghabiskan masa kecilnya. Selama di Marine City, May banyak
menghabiskan waktu di pinggiran sungai St. Claire untuk menghilangkan rasa sepi dan
melarikan diri dari konflik keluarganya.

May melanjutkan studi di Michigan State University jurusan bahasa Inggris tetapi
May dikeluarkan dari kampus karena menjadi editor di sebuah majalah radikal.
Kemudian, May pindah ke Oberlin College di Ohio dan mendapatkan gelar sarjana tahun
1930. Tiga tahun berikutnya, May berkerja sebagai tutor bahasa Inggris di Anantolia
College, Saloniki dan menjadi seniman jalanan di daerah Eropa Timur dan Selatan.
Setahun kemudian, May mulai merasa bosan dan memutuskan untuk menjadi guru namun
tak lama kemudian May berhenti. Selama di Eropa, May mengikuti seminar yang
diadakan oleh Adler di penginapan di atas pegunungan Viena pada tahun 1932. Semenjak
itu, May mengagumi Adler dan belajar tentang perilaku manusia dan dirinya sendiri.

Tahun 1933, May kembali ke Amerika dan bergabung dengan seminary Union
Theological New York. Salah satu peserta seminari ini adalah Rogers tetapi berbeda
dengan Rogers yang ingin menjadi pastor, May mengikuti seminari ini karena ingin
mencari tahu tentang sifat alamiah manusia. Selama mengikuti seminari, May bertemu
dengan Paul Tillich yaitu seorang filsuf dan teolog eksistensial Jerman. Dari Tillich-lah
May belajar tentang filsafat dan berteman selama lebih dari 30 tahun. Pada tahun 1938,
May mendapat gelar master dibidang teologi dan menjadi pastor selama dua tahun
meskipun awalnya May tidak berniat menjadi pastor. Selanjutnya May belajar tentang
psikologi terutama tentang psikoanalisa di William Alanson White Institute of
Psychoanalysis and Psychology. Pada saat yang sama May menjadi konselor di City
College of New York dan berteman dengan Sullivan dan Fromm.

Pada tahun 1939, May menderita penyakit tuberculosis dan menghabiskan 3 tahun
di Saranae Sanitarium, New York. Pada saat inilah, May mengembangkan suatu
pandangan tentang sifat alami dari penyakit dimana suatu penyakit mengambil
keuntungan dari perasaan tidak berdaya dan sikap positif manusia. Artinya individu yang
menerima secara pasrah penyakitnya memiliki kecenderungan untuk meninggal
sedangkan individu yang berjuang melawan penyakitnya cenderung mampu bertahan
hidup. Maka untuk bisa sembuh maka manusia harus menjadi partisipan aktif dalam
pengobatannya.

Tahun 1946, May membuka praktik sendiri dan bergabung dengan William
Alanson White Institute pada tahun 1948. Selama masa pemulihan yaitu sekitar tahun
1949, May mendapatkan gelar Ph.D., bidang psikologi klinis dari Colombia University
dari hasil tulisannya tentang kecemasan yang diilhami dari karya Freud dan Soren
Kierkegaad (teolog dan filsuf eksistensial Denmark). Dalam disertasinya yang berjudul
‘The Meaning of Anxiety’ menjelaskan bahwa kecemasan merupakan suatu usaha untuk
menghadapi non-being atau kehilangan kesadaran. Setelah itu, May bekerja sebagai
asisten psikiatri di William Alanson White Institute dan menjadi seorang penulis buku.
Buku keduanya dipublikasikan pada tahun 1953 dengan judul ‘Man’s Search for
Himself’’ kemudian May berkolaborasi dengan Ernest Angel dan Hendri Ellenberger
dalam menerbitkan ‘Existence: A New Dimension of Psychiatry and Psychology’ yang
menjelaskan tentang konsep terapi eksistensial.

Pada tahun 1969, May bercerai dengan istri pertamanya yaitu Florence DeFrees
setelah 30 tahun menikah dan mempunyai 3 anak yaitu Robert dan putri kembarnya
Allegra dan Carolyn. Selanjutnya, May menikah dengan Inggrid Kepler Scholl yang
diakhiri dengan perceraian. May meninggal pada tanggal 22 Oktober 1994 di Tiburon,
California dan meninggalkan istri ketiganya yaitu Gergia Lee Miller Johnson dan 3
anaknya dari istri pertamanya. Selama karirnya, May telah bekerja sebagai professor tamu
di berbagai institusi seperti Harvard, Princenton, dan lain-lain. Selain itu, May juga
menjadi professor pembantu di New York University.

2.3 Konsep Teori Kepribadian

Konsep dasar dari teori eksistensial merupakan konsep yang mendasari semua
konsep-konsep eksistensial berikutnya. Dalam konsep dasar ini terdapat dua hal yaitu:
• Being In The World
Istilah Being In The World dalam bahasa Indonesia lebih tepat dimaknai sebagai hadir
dalam dunia karena makna “being” dalam tata bahasa Inggris berarti present atau yang
sekarang. Being in the world bisa dikatakan jugaDasein(bahasa Jerman), diartikan
sebagai ‘ada di sana’ (Da + di sana; sein = ada) (Olson, 2013:889). Seacar bebas
diartikan persatuan dasar dari manusia dan lingkungannya atau kesatuan antara subjek
dan objek. Banyak individu yang merasa sedih dan cemas disebakan adanya alienasi
dari dalam diri atau dunia mereka. Sehingga mereka tidak memiliki gambaran yang
jelas akan dirinya dan merasa terisolasi dari dunianya. Alienasi dimanifestasikan
dalam tiga area yaitu a) keterpisahan dari alam; b) kurangnya hubungan interpersonal
yang bermakna; dan c) keterasingan dari diri yang autentik. Ada tiga bentuk Being In
The World yaitu Umwelt, Mitmel, dan Eigenwelt yang akan dijelaskan pada konsep
berikutnya. Individu dikatakan sehat apabila hidup dalam ketiga bentuk Being In The
World yang ditandai dengan kemampuan beradaptasi dengan dunia alam,
berhubungan dengan orang lain sebagai manusia, dan kesadarran akan antusia atas
apa arti dari semua pengalaman.
• Non Being
Non Being merupakan kebalikan dari Being In The World dimana Non Being
merupakan kehampaan atau ketakutan akan ketiadaan yang diakibatkan oleh
kesadaran manusia. Bentuk dari Non Being adalah kematian, kecanduan alcohol dan
obat-obatan, aktivitas seksual yang bebas, perilaku kompulsif, konformitas buta atas
ekspektasi masyarakat, sikap permusuhan, perilaku merusak, dan sebagainya. Non
Being menyebabkan individu hidup secara defensive dan menerima sedikit kehidupan
dan untuk mengatasi Non Being, individu dapat meredupkan kesadaran diri dan
menyangkal individualitasnya yang berarti akan membuat individu sedih dan kosong.
Alternatif lainnya adalah menghadapi kematian sebagai hal yang tidak dapat dihindari
dan menyadari bahwa Non Being merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari
keberadaan manusia.

2.4 Struktur Kepribadian

• Konsep Kecemasan

Dalam The Meaning of Anxiety, May menyatakan bahwa banyak perilaku


manusia memiliki motivasi dari landasan rasa takut dan kecemasan. Manusia
mengalami kecemasan saat mereka sadar bahwa eksistensinya atau beberapa nilai
yang mereka anut terancam hancur atau rusak. May mendefinisikan kecemasan
sebagai “kondisi subjektif ketika seseorang menyadari bahwa eksistensinya dapat
dihancurkan dan ia dapat menjadi ‘bukan apa-apa’ (nothing)”.

Kecemasan kemudian dapat muncul dari kesadaran atas nonbeing seseorang atau
dari ancaman atas nilai-nilai yang dianggap penting untuk eksistensi seseorang.
Sehingga, kecemasan ada saat seseorang menghadapi masalah pemenuhan potensi
dan hal tersebut dapat berakibat stagnasi dan kehancuran, namun juga dapat berakibat
pada pertumbuhan dan perubahan. Dan kecemasan, dapat dibagi menjadi 2, yaitu
kecemasan normal dan kecemasan neurotik.

a. Kecemasan normal

Kecemasan konstruktif atau kecemasan normal akan dialami oleh seseorang


agar nilai-nilai seseorang dapat tumbuh dan berubah. Hal ini karena semua
pertumbuhan selalu meliputi pelepasan nilai-nilai lama yang dapat menyebabkan
kecemasan, dan tidak ada satu orang pun yang dapat menghindari dampak dari
kecemasan yang timbul. Sehingga, kecemasan normal dapat dialami pada
momen-momen kreatif saat seniman, ilmuwan atau filsuf yang tiba-tiba
mendapatkan penmahaman yang berujung pada kesadaran bahwa kehidupan
seseorang dan mungkin kehidupan dari orang-orang lain yang tidak terhitung akan
berubah secara permanen.

Kecemasan normal adalah tipe kecemasan yang dialami selam periode


pertumbuhan atau ketika nilai-nilai seseorang terancam dan yang pasti dialami
oleh semua orang, namun hal ini apabila kecemasan selalu proposional dengan
ancaman. Apabila kecemasan tersebut tidak proposional dengan ancaman yang
ada terjadi adalah neurotik.

b. Kecemasan neurotic

May (dalam Feist&Feist, 2011: 53) mendefinisikan bahwa kecemasan


neurotik sebagai reaksi yang tidak proposional atas suatu ancaman yang meliputi
represi dan bentuk-bentuk lain dari konflik intrapsikis yang dikelola oleh berbagai
macam bentuk pemblokiran aktivitas dan kesadaran. Sehingga, apabila
kecemasan normal dirasakan saat nilai-nilai terancam, kecemasan neurotik
dialami saat nilai mulai diubah menjadi sebuah dogma.

Dogma tersebut dilakukan agar menjadi sangat benar dalam keyakinan


seseorang, memberikan rasa aman yang sementara namun rasa aman tersebut
“dibeli” dengan melepaskan kesempatan (seseorang) untuk belajar hal baru dan
perkembangan yang juga baru.
• Konsep Rasa Bersalah
Kecemasan mulai muncul dan bangkit saat manusia dihadapkan dengan masalah
pemenuhan potensi mereka, dan rasa bersalah muncul saat manusia menyangkal
potensinya, gagal melihat secara akurat kebutuhan dari sesamanya atau lupa akan
ketergantungan dengan alam. Kecemasan dan rasa bersalah bersifat ontologis yaitu
merujuk pada sifat alamiah dari suatu keadaan dan bukan perasaan yang muncul dari
situasi atau pelanggaran yang spesifik.
Secara keseluruhan, May mengidentifikasikan tiga bentuk perasaan ontologis
yang masing-masing berkorelasi dengan tiap bentuk being-in-the world, yaitu
Umwelt adalah rasa bersalah karena hasil keterpisahan dengan alam, dalam konsep
ini sama dengan gagasan Fromm mengenai dilemma manusia.
Mitwelt muncul karena ketidakmampuan untuk secara akurat melihat dunia
orang lain. Hal ini tentunya muncul karena diri kita hanya melihat dari sudut pandang
diri kita tanpa melihat kebutuhan orang lain, tentunya hal ini akan berdampak pada
rasa bersalah yang berujung pada hubungan yang tidak baik dengan orang lain, namun
menurut May hal ini bukan suatu masalah kegagalan moral, karena hal ini adalah hasil
yang tidak dapat dihindari dari kenyataan masing-masing orang adalah individu yang
berbeda dan terpisah serta tidak mempunyai pilihan selain melihat dunia melalui
sudut pandang masing-masing.
Eigewelt yaitu tasa bersalah berdasarkan dengan hubungan dengan diri kita
sendiri, karena hal ini diasosiasikan dengan penyangkalan atas potensi yang dimiliki
dan kegagalan untuk memenuhinya. Seperti kecemasan, rasa bersalah ontologis juga
memiliki dampak negative maupun positif pada kepribadian. Jika mampu untuk
mengembangkan secara positif, maka dapat mengembangkan rasa rendah hati yang
sehat, dan meningkatkan hubungan dengan orang lain dan menggunakan secara
kreatif potensi-potensi yang dimiliki, namun jika tidak akan berdampak gejala-gejala
non-produktif atau neurotik seperti impotensi seksual, depresi, kekejaman pada orang
lain atau ketidakmampuan untuk membuat pilihan.
• Konsep Perhatian, Cinta dan Kehendak
Untuk peduli pada seseorang berarti untuk menganggap orang tersebut sebagai
sesama manusia dengan mengidentifikasi diri dengan rasa sakit dan kesenangan serta
rasa bersalah atau rasa kasihan orang tersebut hal ini karena kepeduliaan merupakan
suatu proses aktif, kebalikan dari rasa apatis. Sehingga, kepeduliaan merupakan
kondisi ketika sesuatu benar-benar berarti.
Kepeduliaan tidak sama dengan cinta, namun bersumber dari cinta. Karena
untuk mencintai, seseorang harus perduli untuk menyadari kemanusiaan esensial dari
orang lain untuk menghormati perkembangan orang tersebut dengan aktif. Selain itu,
May mendefinisikan cinta sebagai perasaan bahagia terhadap kebahagiaan orang lain
dan menegaskan nilai serta perkembangan (dari orang lain tersebut) seperti miliki kita
sendiri. Tanpa kepedulian tidak mungkin ada cinta, yang ada sentimental kosong atau
rangsangan seksual yang sementara, dan kepedulian juga merupakan sumber dari
keinginan.
May menyebutkan keinginan sebagai kapasitas untuk mengatur diri seseorang
supaya pergerakan dalam arah tertentu atau menuju suatu sasaran tertentu dapat
terjadi. Namun pada masyarakat modern mulai menderita suatu perpisahan antara
cinta dan keinginan yang tidak sehat. Cinta telah diasosiasikan dengan cinta yang
sensual atau seks, sedangkan keinginan telah berubah arti menjadi tekad yang mantap
atau kekuatan dari kemauan. Padahal, terdapat alasan-alasan biologis mengapa cinta
dan keinginan berbeda. Contohnya adalah saat anak manusia hadir di dunia dimana
mereka menjadi satu dengan semesta (umwelt), ibu mereka (mitwelt), dan diri mereka
sendiri (Eigenwelt).
Menurut May, tugas seseorang adalah untuk mempersatukan cinta dan
keinginan, namun hal ini tentunya tidaklah mudah. Untuk seseorang yang dewasa,
baik cinta dan keinginan berarti berusaha menggapai terhadap orang lain, keduanya
meliputi kepedulian, menuntut pilihan, mengimplikasi tindakan dan membutuhkan
tanggung jawab. Sehingga, May mengidentifikasi empat macam cinta dalam tradisi
Barat, yaitu:
a. Seks
Seks adalah fungsi biologis yang dapat dipuaskan melalui hubungan seksual atau
cara melepaskan tekanan seksual lainnya. May (dalam Feist&FEist) percaya
bahwa pada zaman dahulu seks sering diabaikan namun pada masyarakat Barat
modern sekarang seks telah menjadi suatu permasalahan dimana pada zaman
dahulu ketika melakukan hubungan seks membuat seseorang penuh dengan rasa
bersalah dan kecemasan namun pada saat sekarang ketika tidak melakukan
hubungan seks akan mengakibatkan perasaan bersalah dan kecemasan.
b. Eros
Di Amerika Serikat, seks sering tidak dapat dibedakan dengan Eros. Seks adalah
kebutuhan psikologis yang mencari kepuasan dengan pelepasan tekanan
sedangkan eros adalah hasrat psikologis yang mencari untuk menghasilkan
keturunan atau kreasi lewat persatuan dengan orang lain yang dicintai. Eros
dibangun dengan kepedulian dan kelembutan karena eros mendambakan untuk
membangun suatu persatuan yang bertahan dengan orang lain yaitu ketika kedua
partner mengalami kebahagiaan dan hasrat yang mendalam serta keduanya
merasa diperluas dan diperdalam oleh pengalaman tersebut. Oleh karena itu, Eros
dianggap sebagai penyelamat dari seks karena spesies manusia tidak mampu
untuk bertahan tanpa adanya hasrat untuk suatu persatuan yang bertahan lama.
c. Philia
Eros sebagai penyelamat dari seks dibangun dengan landasan Philia yaitu
hubungan pertemanan yang intim di antara dua orang namun nonseksual,
sehingga philia tidak dapat diburu-buru, membutuhkan waktu untuk tumbuh dan
berkembang dan mengakar. Philia tidak menuntut untuk berbuat apa-apa pada
orang yang kita cintai selain menerimanya, mendampinginya dan menimati
bersamanya, karena hal ini merupakan pertemanan dalam bentuk yang paling
sederhana dan paling langsung. Philia merupakan prasyarat penting untuk menuju
hubungan erotis yang sehat selama masa remaja awal dan remaja akhir, karena
philia menjalani persatuan antara dua manusia dengan perkembangan yang
bertahan dan tidak terburu-buru.
d. Agape
Sebagaimana eros bergantung pada philia, seperti itulah philia membutuhkan
agape. May (dalam Feist&Feist, 2011: 59) mendefinisikan agape sebagai
penghargaan untuk orang lain, kepeduliaan atas kesejahteraan orang lain yang
melebihi keuntungan apapun yang dapat diperoleh seseorang dari hal tersebut,
cinta yang tidak terkecuali seperti cinta Tuhan pada manusia. Agape adalah cinta
yang altruis yaitu bentuk cinta spiritual yang membawa risiko seseorang bertindak
seolah-olah ia adalah Tuhan. Cinta ini tidak memedulikan perilaku atau
karakteristik dari orang lain sehingga dalam hal ini agape seakan terasa berlebih
dan tidak bersyarat.
• Konsep Kebebasan dan Takdir
Campuran dari keempat bentuk cinta membutuhkan penegasan diri dan afirmasi
dari orang lain. Selain itu, membutuhkan pula penegasan atas kebebasan seseorang
dan konfrontasi atas takdir seseorang. Kebebasan didefinisikan sebagai kapasitas
seseorang untuk mengetahui bahwa ia adalah orang yang menentukan, kata
“menentukan” ini bersinonim dengan apa yang nantinya disebut sebagai takdir.
Kebebasan datang dari pemahaman akan takdir kita. Sehingga, kebebasan dibagi
dengan dua bentuk, yaitu:
a. Kebebasan untuk melakukan (freedom of doing) yang dapat disebut dengan
kebebasan eksistensial dimana merupakan suatu kebebasan untuk bertindak atas
pilihan yang dibuat oleh seseorang.
b. Kebebasan untuk menjadi (freedom of being) juga dapat disebut sebagai
kebebasan esensial. Hal ini karena kebebasan untuk bertindak, untuk bergerak
tidak selalu menjamin untuk mencapai kebebasan untuk menjadi, ini disebabkan
seseorang terkadang lebih berkonsentrasi dan terfokus pada kebebasan esensial
dibandingkan dengan kebebasan untuk melakukan sesuatu.

Di lain sisi, takdir dapat didefinisikan sebagai rancangan dari alam semesta yang
berbicara lewat rancangan dari masing-masing kita. Takdir kita yang utama adalah
kematian, namun dalam skala yang lebih kecil, takdir mencakup karakteristik biologis
lainnya seperti intelegensi, gender, ukuran dan kekuatan serta predisposisi genetic atas
kecenderungan dari beberapa penyakit.

Takdir tidak berarti telah ditentukan sebelumnya atau dituliskan sebelumnya,


namun takdir menurut May merupakan tujuan kita, terminal kita, dan target kita. Di
dalam batasan takdir, kita memiliki kekuatan untuk memilih serta kekuatan ini
membuat kita mampu untuk menghadapi dan menantang takdir kita, namun tidak
berarti semua yang kita perubahan yang kita inginkan dapat terjadi. Sehingga, kita
tidak dapat menghapus takdir kita tetapi kita dapat memilih bagaimana kita akan
beraksi dan menghidupkan bakat yang ada di hadapan kita. Oleh karena itu, keinginan
dan takdir saling terikat dengan sangat kuat dimana yang satu tidak aka nada tanpa
yang lain.

• Konsep Kekuatan Mitos


May selama bertahun-tahun memperhatikan kekuatan dari mitos pada individu
dan budaya, namun pada peradaban orang-orang di Barat mempunyai kebutuhan yang
mendesak oleh mitos karena kekurangan mitos kurang dapat dipercaya sehingga
mereka berpaling pada kultus agama, ketergantungan obat-obatan dan budaya popular
dalam usaha yang sia-sia untuk menemukan arti dalam hidup mereka. Mitos bukanlah
hal yang salah, namun merupakan system kepercayaan yang disadari dan tidak
disadari yang memberikan penjelasan atas permasalahan sosial dan pribadi.
Mitos adalah cerita-cerita yang menyatukan masyarakat karena dari sini manusia
menemukan arti dari hidup mereka dengan manusia lain dalam kebudayaan yang
sama. Karena May percaya bahwa manusia berkomunikasi satu sama yang lain
dengan dua level, yaitu melalu bahasa rasionalisme dan melalui mitos. Manusia
menggunakan mitos dan symbol untuk melihat lebih jauh daripada situasi konkret
yang baru terjadi, memperluas kesadaran diri dan mencari identitas.
May percaya bahwa mitos yang sangat kuat dalam budaya kita adalah Oedipus
karena mengandung elemen-elemen dari krisis eksistensial yang umum meliputi (1)
kelahiran, (2) perpisahan atau pengasingan dari orangtua dan rumah, (3) persatuan
seksual dengan salah satu orangtua dan permusuhan dengan yang lainnya, (4)
penegasan dari kemandirian dan pencarian identitas, serta (5) kematian. Sehingga,
seperti arketipe dalam gambaran Carl Jung, mitos dapat berkontribusi dalam
pertumbuhan psikologis apabila seseorang menerima dan membiarkan mitos
membuka kenyataan yang baru. Namun, banyak orang yang menyangkal mitos yang
beresiko psikopatologi yang merupakan komposisi utama.

2.5 Dinamika Kepribadian

Konsep Kepribadian Psikologi Eksistensial May terdiri dari tiga bagian yaitu
Umwelt, Mitwelt, dan Eigenwelt:
c. Umwelt (lingkungan disekitar kita)
Adalah dunia objek dan benda, akan tetap ada walaupun manusia tidak memiliki
kesadaran. Umwelt adalah dunia alam dan hukum alam, termasuk dorongan biologis
(lapar) dan fenomena alami (kelahiran dan kematian). Teori Freud banyak berkutat
dengan Umwelt.
d. Mitwelt (hubungan kita dengan orang lain)
Kita harus berhubungan dengan manusia sebagai manusia, bukan sebagai benda.
Kriteria yang paling penting adalah bahwa dasein orang lain dihargai. Teori Sullivan
dan Rogers banyakberkutatdenganMitwelt.
e. Eigenwelt (hubungan kita dengan diri sendiri)
Sadar atas dirinya sendiri sebagai manusia dan memahami siapa diri kita saat
berhubungan dengan dunia kebendaan dan dunia manusia. Orang yang sehat hidup
dalam Umwelt, Mitwelt dan Eigenwelt secara bersamaan.

2.6 Penyimpangan Perilaku

Kasus philip

Philip adalah seorang arsitek, mempunyai istri bernama Nicole dengan tingkah yang tidak
dapat diprediksi dan “gila”. Nicole pernah berkata pada philip bahwa ia tidak akan
meninggalkannya setelah perselingkuhan yang pertama, philip kaget dan bingung namun
ia menerimanya. Setahun kemudian Nicole kembali melakukan perselingkuhan kedua
dan ketiga, namun Nicole meyakinkan philip bahwa selingkuhannya tidak berarti baginya
dan hanya mencintai philip saja. Philip marah dan cemburu namun ia tidak bisa
meninggalkan Nicole. Philip seperti lumpuh, ia tidak bisa mengubah hubungannya atau
memutuskan hubungan dengan Nicole. Philip mencari bantuan melalui terapi pada Rollo
May.

2.7 Perkembangan Kepribadian


Tahapan-tahapan dalam perkembangan kepribadian adalah:

1. Tahap kepolosan adalah tahap yang merupakan tahap pra-kesadaran diri yang ada
pada bayi.Kepolosan adalah tahap pra-moral, artinya perilaku yang dilakukan bayi
tidak bisa dianggap baik ataupun jelek.
2. Tahap Pemberontakan adalah tahap di mana kesadaran diri anak-anak dan remaja
mengalami perkembangan ke arah perlawanan dengan orang dewasa. Pribadi
pemberontak menginginkan kebebasan tanpa memahami apa tanggung jawab di balik
kebebasan tersebut.
3. Tahap Awam adalah tahap kesadaran diri orang dewasa yang normal. Pribadi tahap
ini belajar bertanggungjawab namun merasakan beban yang terlalu berat sehingga
berusaha berontak dari nilai-nilai tradisional.

2.8 Aplikasi Teori

• Konseling

Konseling merupakan suatu proses pemberian bantuan yang dilakukan konselor


kepada klien untuk dapat mengatasi permasalahan yang ada pada diri klien titik tujuan
konseling untuk menghapus pola tingkah laku maladaptif, mempelajari pola tingkah
laku konstruktif, dan mengubah tingkah laku.

Konseling eksistensial humanistik bertujuan agar klien mengalami


keberadaannya secara otentik dengan menjadi sadar atas keberadaan dan potensi
potensi serta sadar bahwa ia dapat membuka diri dan bertindak sesuai
kemampuannya.

• Psikoterapi

May yakin bahwa tujuan psikoterapi adalah membuat manusia bebas. Dia
berpendapat bahwa terapis yang berkonsentrasi kepada simtom-simtom pasien akan
kehilangan gambar yang lebih penting. Simtom-simtom neurosis hanyalah cara
melarikan diri dari kebebasan dan indikasi bahwa potensi batiniah pasien tidak
digunakan. Ketika pasien menjadi lebih bebas dan lebih manusiawi, simtom-simtom
neurosis mereka biasanya akan hilang dengan sendirinya, kecemasan mereka yang
nerurotik akan menjadi kecemasan yang normal, dan rasa bersalah neurotik akan
diganti dengan rasa bersalah yang normal. Namun keberhasilan seperti ini hanya
sekunder saja dan tidak menjadi tujuan utama terapi. May mengatakan bahwa
psikoterapi mestinya lebih difokuskan membantu manusia untuk eksis (mengada),
sedangkan simtom-simtom yang menghilang itu hanyalah efek samping dari
pengalaman tersebut.
BAB III

Kesimpulan

Carl Rogers mendeskripsikan the self atau self-structure sebagai sebuah konstruk yang
menunjukan bagaimana setiap individu melihat dirinya sendiri. Self ini dibagi 2 yaitu : Real
Self dan Ideal Self. Real Self adalah keadaan diri individu saat ini, sementara Ideal Self adalah
keadaan diri individu yang ingin dilihat oleh individu itu sendiri atau apa yang ingin dicapai
oleh individu tersebut
Bila seseorang, antara “self concept”nya dengan organisme mengalami keterpaduan,
maka hubungan itu disebut kongruen (cocok) tapi bila sebaliknya maka disebut Inkongruen
(tidak cocok) yang bisa menyebabkan orang mengalami sakit mental, seperti merasa terancam,
cemas, defensive dan berpikir kaku serta picik.
Rogers juga mengabaikan aspek-aspek tidak sadar dalam tingkah laku manusia karena
ia lebih melihat pada pengalaman masa sekarang dan masa depan, bukannya pada masa lampau
yang biasanya penuh dengan pengalaman traumatik yang menyebabkan seseorang mengalami
suatu penyakit psikologis.
Kecemasan menurut Rollo May dibagi menjadi dua, yaitu kecemasan normal yang
dialami oleh semua orang sebagai bentuk pertumbuhan dan perubahan dari diri seseorang, dan
kecemasan neurotik yang merupakan reaksi yang tidak proposional dengan sebuah ancaman.
Kecemasan mulai muncul dan bangkit saat manusia dihadapkan dengan masalah
pemenuhan potensi mereka, dan rasa bersalah muncul saat manusia menyangkal potensinya,
gagal melihat secara akurat kebutuhan dari sesamanya atau lupa akan ketergantungan dengan
alam. Kecemasan dan rasa bersalah bersifat ontologis yaitu merujuk pada sifat alamiah dari
suatu keadaan dan bukan perasaan yang muncul dari situasi atau pelanggaran yang spesifik.
Secara keseluruhan, May mengidentifikasikan tiga bentuk perasaan ontologis yang masing-
masing berkorelasi dengan tiap bentuk being-in-the world, yaitu Umwelt, Mitwelt, dan
Eigenwelt
May mengidentifikasi empat macam cinta dalam tradisi Barat, yaitu: (1) Seks, (2) Eros,
(3) Philia dan (4) Agape. Dan Kebebasan datang dari pemahaman akan takdir kita. Sehingga,
kebebasan dibagi dengan dua bentuk, yaitu: (1) Kebebasan untuk melakukan (freedom of
doing) yang dapat disebut dengan kebebasan eksistensial, dan (2) Kebebasan untuk menjadi
(freedom of being) juga dapat disebut sebagai kebebasan esensial.
DAFTAR PUSTAKA

Alwisol. 2009. Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press


Feist, Jess dan Gregory J. Feist. 2010. Teori Kepribadian (Edisi 7). Jakarta: Salemba
Humanika

Olson, Matthew H. B.R Hergenhahn. 2013. Pengantar Teori-Teori Kepribadian (Edisi


Kedelapan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar

https://justalittlescience.wordpress.com/2016/06/23/teori-kepribadian-menurut-carl-roger/
https://bkpemula.wordpress.com/2011/12/12/teori-kepribadian-rogers/

https://www.bimkar.com/teori-eksistensialisme-teori-kepribadian-rollo-may/

http://vnalyliana.blogspot.com/2011/03/pendapat-rogers-mengenai-kepribadian.html

https://fitrinsnewblog.blogspot.com/2019/05/psikologi-eksistensial-rollo-may.html

http://www.psikogenesis.com/2017/12/konsep-dasar-kepribadian-rollo-
may.html#:~:text=Menurut%20May%2C%20jika%20individu%20merasa,hanya%20memilik
i%20arti%20yang%20sedikit.

https://dosenpsikologi.com/teori-kepribadian-carl-rogers

Anda mungkin juga menyukai