Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

TEORI KEPERIBADIAN “CARL ROGERS”

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah:


Teori Kepribadian

Dosen Pengampu:
Dr. Anwar Sutoyo, M.Pd.,
Dr. Awalya, M.Pd., Kons

Disusun oleh Kelompok III:


Burhanudin : 0106519019
Harry Nurawinata : 0106519025
Mar’ah Fitriana : 0106519001
Shella Yulia Rosalina : 0106519051

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING


PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2020

i
KATA PENGANTAR

Sebagai Kata Pengantar. Pertama, saya mengucapkam syukur


Alhamdulillah yang sedalam dalamnya kepada Allah SWT. Yang mana atas
berkah dan rahmatnya dapat memberikan tuntunan jalan dan kemudahan pada
kami untuk dapat menyusun dan menyelesaikan makalah ini.
Tak lupa juga saya ucapkan terima kasih yang sebesar besarnya kepada
dosen pengampu yang telah memberikan ilmu dan bimbingannya pada kami,
sehingga dapat mempermudah kami dalam memahami materi yang diberikan.
Makalah ini tersusun dengan berbagai keterbatasan. Oleh karena itu, kritik
dan saran yang kontruktif akan senantiasa kami nanti dalam upaya evaluasi diri
demi terciptanya makalah yang lebih baik kedepanya.
Dengan demikian saya berharap, bahwa dibalik ketidaksempurnaan kami
dan penyusunan makalah ini bisa ditemukan sesuatu yang dapat memberikan
manfaat atau bahkan hikmah bagi kami selaku penyusun dan para pembaca
lainnya. Amin ya Rabbal Alamin.

Mei, 2020

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN COVER .................................................................................... ii


KATA PENGANTAR................................................................................... ii
DAFTAR ISI ...............................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 4
A. Latar Belakang ......................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah .................................................................................... 5
C. Tujuan Kajian........................................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN............................................................................... 6
A. Tinjauan Sketsa Biografis......................................................................... 6
B. Konsep Dasar Pandangan Teori Carl Rogers .......................................... 10
C. Implikasi Person Centered dalam Konseling dan Psikoterapi ................. 19
D. Contoh Kasus ......................................................................................... 22
E. Kontribusi dan Kritik Teori Carl Rogers ................................................. 23
BAB III PENUTUP .................................................................................... 26
A. Kesimpulan ............................................................................................ 26
B. Saran ...................................................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 27

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Carl Rogers merupakan salah satu tokoh dari bidang psikologi humanistik,
dimana memiliki pandangan bahwa setiap orang bertanggung jawab atas kedewasaan
dan hidupnya sendiri. Carl Rogers berpendapat bahwa setiap orang bebas untuk melatih
dan mengatur diri mereka sendiri. Namun tetap setiap orang harus memiliki
tanggungjawab atas kontrol diri yang mereka lakukan.
Menurut Carl Rogers, semua manusia, seperti juga semua makhluk hidup lainnya,
memiliki kebutuhan bawaan untuk bertahan hidup, tumbuh dan mengembangkan diri.
'Dorongan menapaki maju di dalam hidup' ini terus muncul meski menghadapi banyak
rintangan. Contohnya, anak yang pertama kali belajar berjalan pasti sering kali jatuh.
Namun, tanpa memedulikan rasa sakit, mereka tetap berusaha untuk berjalan. Ada
banyak lagi jumlah contoh manusia yang, ketika berada di situasi yang menekan dan
membikin ciut nyali, bukan hanya bisa mereka bertahan, tetapi juga terus berusaha
mengembangkan kehidupan mereka.
Pandangan Rogers tentang hakikat manusia pada hakikatnya berkebalikan dari
yang diusulkan Freud. Freud memandang manusia punya kebutuhan, dorongan dan
motif yang sama seperti hewan lainnya. Karena itulah manusia yang cenderung
memiliki dorongan seks dan agresi tak terhambat harus dikontrol masyarakat.
Sebaliknya, Rogers melihat manusia pada dasar. nya baik dan karenanya tidak perlu
dikontrol. Faktanya, dia yakin kalau upaya mengontrol manusia lain hanya akan
membuat mereka berkelakuan makin buruk.
Teori yang dikemukakan oleh Carl Rogers ini menjadi salah satu teori yang
banyak digunakan di bidang konseling dan terapis, karena memang pada dasarnya Carl
Rogers ini bergerak di bidang psikoterapi. Oleh karena itu, guna menambah
pengetahuan mengenai kepribadian ini, khususnya untuk seorang guru dimana guru
juga berperan sebagai konselor untuk peserta didiknya yang bermasalah, makan
pembahasan makalah ini akan dikonsentrasikan membahas mengenai teori kepribadian
dari Carl Rogers.

4
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Tinjauan Sketsa Biografis Carl Rogers?
2. Bagaimana Pandangan dan Konsep Teori Kepribadian Carl Rogers?
3. Bagaiman Implikasi Person Centerd dalam Konseling dan Psikoterapiyang
ditawarkan Carl Rogers?
4. Bagaimana Contoh Kasus Analisis Kepribadian Carl Rogers?
5. Baimana Kontribusi dan Kritik terhadap Teori Carl Rogers

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk Menjelaskan Tinjauan Sketsa Biografis Carl Rogers
2. Untuk Menjelaskan Pandangan dan Konsep Teori Kepribadian Carl Rogers
3. Untuk Menjelaskan Implikasi Person Centerd dalam Konseling dan Psikoterapi
yang ditawarkan Carl Rogers
4. Untuk Menjelaskan Contoh Kasus Analisis Kepribadian Carl Rogers
5. Untuk Menjelaskan Kontribusi dan Kritik terhadap Teori Carl Rogers

5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tinjaun Sketsa Biografis
Carl Ranson Rogers lahir dari pasangan Walter dan Julia Cushing Rogers di
tanggal 8 Januari 1902 di Oak Park (wilayah pinggiran Chicago), anak keempat dari
enam bersaudara. Karena ayahnya seorang insinyur sipil dan kontraktor yang sukses,
tidak ada persoalan ekonomi di kehidupan awal Rogers. Dia sendiri menggambarkan
dirinya sebagai "anak tengah di sebuah keluarga besar namun sangat dekat, tempat
kerja keras dan kekristenan Protestan yang sangat konservatif (bahkan hampir
fundamental) dialami bersama-sama" (1959, hlm. 186). Rogers (1961) mengomentari
atmosfer religius dan etis yang mencirikan rumah di masa kanak-kanaknya ini sebagai
berikut: "Saya harus berusaha keras untuk meyakinkan anak-anak saya bahkan
minuman berkarbonat sudah punya aroma dosa yang samar-samar, dan saya ingat
perasaan ringan tentang betapa jahatnya saya ketika botol pertama saya yang dibuka
berbunyi 'pup" (hlm.5). Orangtua Rogers menghambat perkembangan persahabatan di
luar rumah mereka karena anggota yang bukan keluarga mereka dapat saja terlibat di
kegiatan yang patut dipertanyakan. Rogers mengomentari pengalamannya itu sebagai
berikut:
Saya kira sikap terhadap orang lain di luar keluarga besar kami bisa diringkas
secara skematis menjadi demikian: "Orang lain bersikap dengan cara mera- gukan
yang tidak selalu disetujui keluarga kami. Banyak dari mereka bermain kartu, pergi
nonton bioskop, merokok, minum-minum, dan terlibat di aktivitas lain – beberapa
tidak bisa disebutkan di sini. Jadi cara terbaik untuk mengatasi masalah ini adalah
bersikap toleran karena mungkin mereka tidak tahu hal yang lebih baik, dan
menjauhkan diri dari komunikasi akrab dengan mereka dan menjalani hidup di dalam
keluarga sendiri. (1973, hlm. 3)
Sebagai akibat dari sikap terhadap 'orang luar' yang dideskripsikannya ini,
Rogers menghabiskan banyak waktunya sendirian dengan membaca segala sesuatu
yang bisa dipegang tangannya, termasuk ensiklopedia dan kamus. Di Oak Park,
keluarga Rogers tinggal di lingkungan kelas menengah atas tempat Carl muda
menjalani pendidikan di sekolah dasar Holmes. Teman sekolahnya meliputi orang-
orang seperti Ernest Hemmingway (yang dua tahun lebih tua) dan putra-putri Frank
Lloyd Wright, arsitek terkenal Amerika saat itu.

6
Ketika berusia 12 tahun, Rogers dan keluarganya pindah ke sebuah pertanian
sekitar 30 mil dari Chicago. Meski pindah ke wilayah pertanian ini tidak serta-merta
membuat keluarga Rogers meninggalkan gaya hidup kelas menengah mereka: "Sudah
terkenal kalau Carl Rogers tumbuh di wilayah pertanian, namun yang tidak diketahui
banyak orang, rumah pertanian itu punya atap yang bertingkat, lantai dari keramik,
delapan kamar tidur, lima kamar mandi, dan lapangan tenis berlantai tanah liat di
belakang rumah" (Kirschenbaum, 1979, hlm. 10). Di rumah pertanian inilah Rogers
untuk pertama kalinya menaruh minat pada ilmu pengetahuan. Karena ayahnya
menekankan pertanian itu harus dijalankan dengan cara-cara yang ilmiah, Rogers pun
ikut membaca banyak eksperimen di bidang pertanian. Dari pembacaannya ini, ia
mengembangkan sebuah minat kepada spesies ngengat yang dia tangkap, pelihara dan
diberinya makan. Minat kepada sains inilah hal yang tidak pernah dia lepaskan seumur
hidupnya, meski akhirnya dia bekerja di wilayah psikologi paling subjektif di
sepanjang karier profesionalnya.
Kecenderungan Rogers terhadap kemenyendirian ini bertahan selama SMU, di
mana selama periode itu hanya dua kali saja dia pernah berkencan. Rogers adalah
siswa yang pandai dan meraih nilai hampir A semuanya. Minat utamanya adalah sastra
Inggris dan sains.
Di tahun 1919, Rogers mendaftar ke Universitas Wiscounsin, tempat
orangtuanya, dua saudara laki dan seorang saudara perempuannya juga mendaftar di
tempat itu, untuk belajar ilmu pertanian. Rogers sangat aktif dalam pelayanan gereja
pada tahun-tahun awalnya di universitas. Di tahun 1922 Rogers menjadi satu dari 10
mahasiswa yang terpilih untuk menghadiri konferensi Perkumpulan Mahasiswa
Kristen sedunia di Peking, China. Perjalanan 6 bulan itu memberikan efek yang
mendalam bagi Rogers. Setelah mengalami langsung interaksi dengan orang-orang
dari budaya dan agama yang berbeda, Rogers (1961) merenungkan sebuah
pemahaman baru yang diperolehnya saat ia berada di kapal dalam perjalanan pulang:
"Pemahaman itu menghantamku di suatu malam di kabinku, bahwa mungkin saja
Yesus itu hanyalah manusia seperti manusia pada umumnya-bukan Tuhan. Ketika ide
ini terbentuk dan mulai mengakar, menjadi jelas bagiku kenapa aku tidak pernah ingin
pulang ke rumah. Karena pemikiran ini mungkin saja benar" (hlm. 351). Rogers
menulis kepada orangtuanya yang menyatakan kebebasan-nya dari keyakinan
konservatif religius mereka. Rogers menemukan bahwa deklarasi independensinya ini
terasa menyegarkan secara intelektual, namun ia tetap harus membayar harga emosi

7
bagi kebebasan barunya itu. Tak lama sesudah kembali dari Timur, ia mengalami
gangguan perut hebat yang ternyata didiagnosis terkena radang usus buntu. Selama
beberapa minggu dia pun menginap di rumah sakit dan menerima perawatan intensif
selama 6 bulan.
Setelah lulus ia menikahi (meski orangtuanya tidak setuju) pacarnya saat
masih kecil dulu, Hellen Elliot, dan mereka kemudian memiliki dua anak (David lahir
tahun 1926 dan Natalie 1928). Menarik untuk dicatat bahwa ketika David lahir,
Rogers ingin membesarkannya sesuai prinsip-prinsip behaviorisme Watsonian.
Namun begitu, dia juga mencatat bahwa istrinya "punya cukup akal sehat untuk
menjadi ibu yang baik meski dikitari semua ‘'pengetahuan' psikologis yang merusak
ini" (1967, hlm. 358). Rogers mengatakan bahwa anaknya yang sedang tumbuh itu
mengajarkan dia "lebih banyak tentang individu, perkembangannya, dan hubungan
mereka ketimbang yang pernah saya pelajari secara profesional" (1961, hlm.12).
Selulusnya dari Universitas Wiscounsin, Rogers mendaftar ke Serikat Seminari
Teologi beraliran liberal di New York City. Meski sekarang Rogers tertarik membantu
individu yang bermasalah, namun dia semakin ragu bahwa kendaraan untuk menolong
bisa ditemukan di dalam doktrin agama. Setelah 2 tahun di seminari, psikologi
pendidikan. Ia menerima gelar masternya di tahun 1928 lalu PhD di tahun 1931.
Disertasinya membahas pengukuran terhadap penyesuaian kepribadian anak.
Saat menjalani pendidikan doktornya, Rogers menerima tawaran sebagai
Rogers pindah ke Universitas Columbia untuk belajar psikologi klinis dan psikolog di
Departemen Penelitian Anak milik Society for the Prevention of Cruelty to Children
di Rochester, New York, tempatnya bekerja sebagai internis.
Rogers menulis buku pertamanya, The Clinical Treatment of the Problem
Child (1939) saat masih bekerja di Departemen Penelitian Anak. Di tahun 1940
Rogers pindah dari lingkup klinis ke lingkup akademik dengan menerima posisi
mengajar psikologi klinis di Universitas Negeri Ohio. Di sinilah Rogers dan
pengetesan pendekatannya sendiri terhadap psikomemulai perumusan terapi. Di tahun
1942, Rogers menerbitkan bukunya yang sekarang terkenal, Counseling and
Psychotherapy: Newer Concepts in Practice, di mana ia mendeskripsikan alternatif
utama yang pertama terhadap psikoanalisis (untuk diskusi bagaimana revolusioner ide
Rogers saat itu, lihat Hergenhahn, 2009). Awalnya penerbit agak enggan
memublikasikan buku ini, yakin kalau tidak akan bisa terjual sampai 2 ribu cetak,

8
namun jumlah itu terpecahkan. Di tahun 1961, buku tersebut sudah terjual sampai 70
ribu cetak dan masih terus meningkat hingga bertahun-tahun mendatang.
Di tahun 1944, sebagai bagian dari wamil Perang Dunia II, Rogers
meninggalkan Ohio menuju New York sebagai Direktur Layanan Konseling bagi
USO (United Service Organization). Setelah setahun melayani, ia pun pindah ke
Universitas Chicago sebagai profesor psikologi dan direktur konseling. Selama
menetap di Universitas Chicago ini, Rogers menerbitkan buku yang dianggap terbaik
dari yang pernah ditulisnya: Client-Centered Therapy: Its Current Practice,
Implications, and Theory (1951).
Di tahun 1957 Rogers meninggalkan Universitas Chicago dan kembak ke
Universitas Wisconsin tempatnya memegang dua tugas, sebagai profesor psikologi
dan profesor psikiatri. Di Wisconsin, Rogers menemukan atmosfer yang terlalu
kompetitif dan tidak mendukung. Utamanya dia menyoroti perlakuan yang
dianggapnya tidak manusiawi terhadap para mahasiswa pascasarjana (Kirschenbaum,
1979, hlm. 291-292). Karena merasa gagal memperbaiki situasi itu, ia mundur dari
posisinya di Universitas Wisconsin dan menjadi anggota Western Behavioral Sciences
Institute (WBSI) di La Jolla California. Di tahun 1968, Rogers dan beberapa anggota
WBSI yang berorientasi humanistik meninggalkan organisasi itu dan membentuk
Center for Studies of the Person, yang juga bermarkas di La Jolla.
Kebanyakan perpindahan Rogers ini disertai oleh pergeseran di dalam
minatnya, teknik-tekniknya atau filsafat yang dipegangnya. Di perpindahan yang
terakhir ini ia menekankan minatnya kepada individu seperti adanya mereka
mengalami dunia. Rogers menjelaskan, "Kami sangat tertarik pada pribadi-pribadi,
namun sering kali 'terganjal' oleh metode lama yang mempelajari mereka sebagai
'objek' riset" (1972b, hlm.67). Di tahun-tahun berikutnya, Rogers bekerja dengan
kelompok-kelompok pertemuan dan mengajar pelatihan kepekaan. Utamanya dia
tertarik untuk menemukan kondisi-kondisi bagaimana yang bisa membuat seseorang
bisa mengembangkan potensinya secara utuh. Juga di penghujung usianya Rogers
menjadi tertarik untuk mempromosikan perdamaian dunia. Ia mengorganisasikan
Proyek Damai Wina yang berhasil mengumpuIkan 13 pemimpin negara di dunia pada
1985, dan mengerjakan sejumlah lokakarya perdamaian di Moskow tahun 1986.
Rogers terus mengerjakan proyeknya ini dan proyek-proyek lain sampai meninggal di
tanggal 4 Februari 1987 karena serangan jantung setelah menjalani operasi bedah
untuk tulang panggulnya yang patah, dalam usia 85 tahun.

9
Dia juga presiden pertama untuk American Academy of Psychotherapists yang
didirikan tahun 1956. Di tahun itu juga ia menerima Distinguished Scientific
Contribution Award (bersama dua psikolog kenamaan lainnya, Kenneth W. Spence
dan Wolfgang Kohler) dari APA. Kemudian di tahun 1972 Rogers menerima
Distinguished Professional Contribution Award dari APA, menjadikan dia psikolog
pertama dalam sejarah organisasi itu yang menerima dua jenis penghargaan tersebut.
Di tahun 1964, dia mendapat kehormatan sebagai "Humanis Tahun Ini' dari American
Humanist Association. Di tahun 1986 Rogers mendapat Lifetime Achievement Award
dari American Association of Counseling and Development (AACD). Di hari ia
meninggal, sepucuk surat datang yang memberitahukan bahwa Rogers dinominasikan
untuk Hadiah Nobel Perdamaian (Dreher, 1995).
Lebih dari 20 tahun sesudah kematiannya, Carl Rogers masih terus menjadi
tokoh dominan di psikologi. Cook, Biyanova dan Coyne (2009) melakukan survei
lewat internet terhadap lebih dari 2400 konselor, terapis, pekerja sosial dan psikolog,
dan Rogers dirangking sebagai yang pertama paling besar pengaruhnya bagi praktik-
praktik profesional saat ini. Selama bertahun-tahun Rogers yakin kalau sumber daya
terpenting yang dimiliki manusia adalah kecenderungan mereka mengaktualisasikan
diri.
B. Konsep Dasar Pandangan Teori Kepribadian
1. Kecenderungan Mengaktualisasi
Rogers mempostulasikan adanya satu motif utama pada manusia yang
disebutnya aktualisasi-diri, "Organisme punya satu kecenderungan dasar dan
perjuangan -mengaktualisasi, mempertahankan, dan mengembangkan organisme
yang mengalami" (1951, hlm. 487). Selain itu Rogers mempostulasikan adanya satu
sumber sentral energi dalam diri organisme manusia; yaitu fungsi dari keseluruhan
organisme lebih daripada sejumlah porsinya saja; dan terkonsepkan paling baik
sebagai sebuah kecenderungan terhadap pemenuhan, terhadap aktualisasi terhadap
pemeliharaan dan perluasan organisme (1963, hlm. 6).
Kecenderungan mengaktualisasi, merupakan daya pendorong dalam hidup
setiap orang, menyebabkan kita menjadi lebih terbedakan (kompleks), lebih
independen, dan lebih bertanggung jawab secara sosial. Kita akan membahas lebih
banyak kecenderungan mengaktualisasi ini ketika mendeskripsikan 'pribadi yang
berfungsi penuh' nanti.

10
2. Proses Penilaian Organismik
Semua pengalaman organisme dapat dievaluasi dengan menggunakan
kecenderungan mengaktualisasi sebagai kerangka acuan. Rogers menyebut
metode pengevaluasian pengalaman individu ini sebagai proses penilaian
organismik. Pengalaman-pengalaman yang cocok dengan kecenderungan
mengaktualisasi terasa memuaskan dan karenanya didekati dan dipertahankan.
Sebaliknya, pengalaman yang tidak cocok dengan kecenderungan mengaktualisasi
terasa tidak memauaskan dan karenanya dihindari atau dihilangkan. Proses
penilaian organismik, kalau begitu, menciptakan sebuah sistem umpan balik yang
memampukan organisme mengoordinasikan pengalaman-pengalamannya dengan
kecenderungannya menuju aktualisasi-diri. Ini artinya manusia bisa memercayai
perasaan-perasaan mereka. Rogers yakin bahkan bayi, jika diberi kesempatan,
akan memilih apa yang terbaik untuk mereka:
Contoh paling sederhana adalah bayi yang di suatu momen menilai tinggi
makanan, namun ketika sudah kenyang, merasa muak dengannya; di satu momen
stimulasi dinilai tinggi, dan tak lama kemudian penilaian tinggi diberikan ke
stimulasi yang lain; siapa pun anak yang menemukan kepuasan dari pola makan
yang baik, maka di jangka panjang akan menghasilkan sebuah perkembangan yang
baik. (1959, hlm. 210)
Di dalam hidupnya sendiri, Rogers belajar nilai dari bertindak berdasarkan
perasaannya sendiri:
Satu hal yang mendasar yang perlu waktu lama bagi saya untuk menyadari,
di mana saya masih terus belajar, adalah ketika sebuah aktivitas terasa bernilai
tinggi untuk dikerjakan, maka itu memang bernilai untuk dilakukan. Dengan kata
lain, saya belajar bahwa perasaan organismik total saya tentang suatu situasi lebih
bisa dipercaya ketimbang akal saya. Seluruh hidup profesional saya telah berjalan
ke arah yang dianggap orang lain bodoh, dan tentang saya meragukan diri sendiri.
Namun, saya tidak pernah menyesali menjalani apa yang 'saya rasa benar', meski
saya sering merasa sendiri atau bodoh di waktu-waktu yang seperti itu.
Pengalaman, bagi saya, adalah otoritas yang paling tinggi... Bukan Alkitab atau
nabi-nabi -bukan Freud atau riset- bukan pewahyuan dari Tuhan maupun
pencerahan dari manusia - yang lebih diutamakan adalah pengalaman saya sendiri.
(1961, hlm. 22-24)

11
Menilai tinggi perasaan (emosi) lebih daripada akal dan meyakini kebaikan
inheren manusia menempatkan Rogers di dalam tradisi filosofis romantisisme
(Hergenhahn, 2009). Dan memang terdapat hubungan sangat kuat antara
romantitisme dan psikologi humanistik.
3. Bidang Fenomenologis
Kutipan berikut mengidentifikasikan Rogers sebagai fenomenolog dan
memperlihatkan kedekatan pandangannya dengan Kelly:
Satu-satunya realitas yang bisa saya ketahui adalah dunia seperti yang saya
cerap dan alami di momen ini. Satu-satunya realitas yang bisa Anda ketahui
hanyalah dunia seperti yang Anda cerap dan alami di momen ini. Dan satu- satunya
kepastian dari pencerapan realitas itu adalah perbedaan-perbedaan antarindividu.
Ada banyak 'dunia riil' sebanyak jumlah manusia di bumi!(Rogers, 1980, hlm. 102)
Menurut Rogers, semua orang tinggal di dunia subjektif, yang dapat
diketahui dalam pengertian sekomplet mungkin hanya oleh diri sendiri. Adalah
realitas fenomenologis dan bukanya dunia fisik yang menentukan prilaku manusia.
Dengan kata lain, bagaimana seseorang menginterpretasikan hal-hal maka itulah
satu-satunya realitas baginya. Realitas pribadi ini berkorelasi dengan realitas
objektif hanya saja jenis dan tingkatnya berbeda-beda sesuai individu yang
mengalaminya. Realitas subjektif fenomenologis inilah yang menurut Rogers harus
diupayakan terapis untuk terpahami.
Sekali lagi, sejumlah besar kemiripan muncul di titik ini antara teori Rogers
dan teori Kelly. Keduanya sama-sama menekankan interpretasi subjektif tunggal
terhadap pengalaman, dan itulah sebabnya kenapa mereka sama-sama dilabeli
banyak orang sebagai fenomenolog. Namun begitu, ada perbedaan besar antara
Rogers dan Kelly, yaitu terkait kecenderungan mengaktualisasi. Fokus utama Kelly
adalah manusia terus mencoba konstruk baru untuk menemukan perangkat yang
terbaik bisa mengantisipasi masa depan. Karena itu, bagi Kelly tidak ada kondisi
yang sudah ditentukan secara bawaan yang kepadanya manusia mengembangkan
diri. Dengan kata lain, setiap individu menemukan kepribadiannya sendiri dan
bukannya bertindak sesuai fitur utama yang sudah ditentukan secara genetik.
Pandangan para teorisi sosial-kognitif juga mirip dengan perspektif Kelly ini.
Rogers membedakan pengalaman dari kesadaran. Pengalaman adalah
semua yang terjadi dalam diri dan lingkungan organisme di momen tertentu yang
berpotensi untuk tersedia bagi kesadaran. Ketika pengalaman potensial ini jadi

12
tersimbolkan, mereka pun memasuki kesadaran kita dan menjadi bertindak bagian
dari bidang fenomenologis individu. Simbol-simbol sebagai wahana bagi
pengalaman yang memasuki kesadaran biasanya adalah kata-kata, namun tidak
mesti demikian. Rogers yakin bahwa simbol-simbol yang bisa juga berupa imaji
visual dan auditoris. Pemilahan pengalaman dari kesadaran ini sangat penting bagi
Rogers karena, seperti yang akan kita lihat nanti, kondisi tertentu telah
menyebabkan seseorang menyangkal atau mendistorsi pengalaman-pengalaman
tertentu dan karenanya mencegah pengalaman memasuki kesadaran.
4. Munculnya Diri
Awalnya, bayi tidak bisa membedakan kejadian-kejadian di bidang
fenomenologis mereka; semua kejadian bercampur-aduk ke dalam satu konfigurasi
saja. Namun secara bertahap, lewat pengalaman dengan label-label verbal seperti
'saya' dan 'aku', seporsi bidang fenomenologis mulai terpilah sebagai diri. Di titik
ini, seseorang bisa saja berefleksi tentang dirinya sebagai objek berbeda di mana ia
menjadi sadar.
Perkembangan diri adalah manifestasi utama kecenderungan
mengaktualisasi yang, seperti sudah dikatakan sebelumnya, mendorong organisme
menuju pemilahan dan kompleksitas lebih besar. Kecenderungan mengaktualisasi-
pemicu perkembangan diri-yang mencirikan organisme secara keseluruhan,
sekarang mencirikan diri juga. Dengan kata lain, pengalaman-pengalaman itu
dilihat sebagai pengembang konsep-diri yang dinilai positif; sedangkan yang dilihat
merusak konsep-diri dinilai negatif.
5. Kebutuhan akan Penghargaan Positif
Dengan munculnya diri, muncul pula kebutuhan akan penghargaan positif
yang diyakini Rogers universal meski tidak selalu bersifat bawaan (entah bentukan
atau bawaan tidaklah penting bagi Rogers). Penghargaan positif berarti menerima
kehangatan, cinta, simpati, perhatian, penghargaan dan penerimaan dari individu
yang relevan di hidup seseorang. Dengan kata lain, perasaan ini muncul saat
terhargai oleh individu-individu yang penting di hidup kita.
Sebagai bagian yang tipikal dari proses sosialisasi, anak belajar ada hal-hal
mereka bisa dan tidak bisa lakukan. Terlalu sering orangtua yang memberikan
penghargaan positif terhadap perilaku anak yang diinginkán. Maksudnya, jika anak
melakukan hal tertentu akan menerima penghargaan positif, namun jika tidak, anak
tidak akan menerimanya. Ini menciptakan kondisi yang disebut Rogers kondisi

13
keberhargaan yang menspesifikkan situasi di mana anak menerima penghargaan
positif. Melalui perulangan pengalaman bagi kondisi yang berharga ini, anak
menginternalisasinya, menjadikannya bagian dari struktur-dirinya. Sekali
terinternalisasi akan menjadi suatu kesadaran, hal ini akan tumbuh menjadi suara
hati, atau superego yang memandu perilaku anak bahkan ketika orangtua tidak
hadir.
Dari kebutuhan akan penghargaan positif, muncullah kebutuhan akan
penghargaan-diri. Artinya, anak mulai mengembangkan kebutuhan untuk
memandang dirinya secara positif. Dengan kata lain, pertama, anak-anak ingin
orang lain merasa baik tentang diri mereka, dan mereka ingin merasa baik tentang
diri mereka sendiri. Kondisi-kondisi yang membuat individu yang penting di hidup
mereka menghargai mereka secara positif ini terintroyeksikan ke dalam struktur-
diri mereka, dan karenanya mereka harus bertindak sesuai dengan kondisi-kondisi
tersebut agar bisa menghargai dirinya secara positif. Anak-anak sekarang bisa
disebut meraih kondisi keberhargaan. Sayang, ketika kondisi keberhargaan ini
sudah dibentuk, satu-satunya cara anak bisa melihat dirinya secara positif adalah
dengan bertindak sesuai nilai-nilai orang lain yang sudah mereka internalisasikan.
Sekarang perilaku anak tidak lagi dipandu proses penilaian organismik mereka
selain oleh kondisi-kondisi di lingkungan mereka yang berkaitan dengan
penghargaan positif.
Kapan pun terdapat kondisi keberhargaan dalam hidup anak-anak, mereka
dapat dipaksa untuk menyangkali evaluasi mereka sendiri tentang pegalaman
mereka itu demi mendukung evaluasi orang lain, dan ini menyebabkan sebuah
alienasi antara pengalaman orang lain dan diri mereka.
Satu-satunya cara yang tidak mengintervensi kecenderungan aktualisasi
anak adalah memberi mereka penghargaan positif tanpa syarat yang memampukan
mereka mengalami penghargaan positif tak peduli apa pun yang mereka lakukan:
Jika seorang individu harus mengalami hanya penghargaan positif tanpa
syarat, maka tidak ada kondisi keberhargaan yang akan muncul, penghargaan-
dirinya akan tanpa syarat, kebutuhan akan penghargaan positif dan penghargaan-
diri tidak akan pernah bertentangan dengan evaluasi organismik, dan individu akan
terus menyesuaikan diri secara psikologis, dan akan berfungsi sepenulnya. (Rogers,
1959, hlm. 224)

14
Tidak berarti Rogers yakin anak mestinya diperbolehkan melakukan apa
pun yang mereka mau. Dia yakin kalau pendekatan rasional dan demokratis untuk
mengatasi persoalan perilaku adalah yang terbaik. Karena, menurut Rogers, kondisi
keberhargaan ada di jantung persoalan penyesuaian diri semua manusia, mereka
mestinya menghindari bagaimanapun juga. Rogers menyatakan strategi berikut
untuk mengatasi anak yang keliru bersikap:
Jika bayi selalu merasa dihargai, jika perasaannya sendiri selalu diterima
bahkan meski beberapa perilaku dihambat, tidak akan ada kondisi keberhargaan
muncul. Minimal secara teoretis ini dapat tercapai jika sikap orangtua berbentuk
demikian: "Kami bisa mengerti betapa memuaskan rasanya jika kamu bisa
memukul adikmu, atau buang air sembarangan kapan pun dan di mana pun, dan
kami tetap mencintaimu dan tetap ingin kamu memiliki perasaan dicintai begitu.
Namun kami juga ingin kamu mengerti perasaan kami, bahwa kami merasa sedih
jika adikmu menangis kesakitan, jadi bisakah kamu tidak lagi memukul adikmu.
Perasaanmu dan perasaan kami sama pentingnya, dan kita masing-masing dapat
memilikinya dan menggunakannya dengan bebas." (1959, hlm. 225)
Dengan kata lain, Rogers yakin pesan berikut inilah yang mestinya
disampaikan kepada anak: Kami mencintaimu sedalam kamu mencintai kami,
tetapi yang kamu lakukan mengecewakan dan karenanya kami lebih berbahagia
jika kamu mau menghentikannya. Anak mestinya selalu dicintai, namun beberapa
perilakunya tidak.
6. Individu yang Tidak Kongruen
Ketidak-kongruenan muncul ketika manusia tidak lagi menggunakan
proses penilaian organismik mereka sebagai cara untuk menentukan apakah pe-
ngalaman mereka sudah bersesuaian dengan kecenderungan mereka
mengaktualisasi. Jika manusia tidak menggunakan proses penilaian mereka
sendiri untuk mengevaluasi pengalaman, maka mereka biasanya menggunakan
nilai terintroyeksi milik orang lain. Artinya, kondisi keberhargaan telah tikan
proses penilaian organismik mereka sebagai kerangka acuan untuk mengevaluasi
pengalaman tersebut. Ini menghasilkan sebuah alienasi antara diri dan pengalaman
karena di bawah situasi-situasi ini, apa yang sungguh memuaskan baginya
disangkal kesadaran karena tidak sesuai dengan kondisi keberhargaan yang
terintroyeksikan itu.

15
Rogers melihat ketidak-kongruenan adalah penyebab semua masalah
penyesuaian diri manusia. Saat terjadi ketidak-kongruenan antara diri dan
pengalaman yang dimiliki kekeliruan penyesuaian diri dan kerapuhan terhadap
kecemasan dan ancaman lah yang muncul sehingga perilakunya menjadi defensif.
Kecemasan muncul ketika manusia 'mensubsepsi' pengalaman sebagai seseorang,
sesuatu yang tidak cocok dengan struktur-diri dan kondisi keberhargaan yang
terintroyeksi. Dengan kata lain, kecemasan dialami ketika suatu kejadian ditemui
mengancam struktur-diri yang ada. Perhatikan kalau Rogers mengatakan bahwa
kejadian 'disubsepsi' bukannya 'dipersepsi'. Subsepsi adalah pendeteksian sebuah
pengalaman sebelum ia masuk ke dalam kesadaran yang sepenuhnya. Kejadian
yang secara potensial mengancam ini dapat saja disangkal atau didistorsi sebelum
ia menyebabkan kecemasan. Menurut Rogers, proses pertahanan yang dilakukan
manusia terhadap kecemasan ini utamanya terdiri atas pengeditan pengalaman
dengan menggunakan mekanisme penyangkalan dan distorsi, membuat mereka
tetap bersesuaian dengan struktur-diri. Penting untuk dicatat bahwa menurut
Rogers pengalaman tidak menolak simbolisasi karena dianggap berdosa' atau
'nakal' atau berlawanan dari norma moral seperti yang diyakini Freud, melainkan
karena berlawanan dari struktur-diri. Contohnya, jika kondisi keberhargaan yang
terintroyeksikan meliputi 'murid bodoh', maka menerima nilai tinggi di sebuah tes
justru akan terasa mengancam baginya, dan pengalaman ini akan cenderung
ditolak atau didistorsi. Orang yang seperti itu mungkin akan berkata, contohnya,
dia hanya beruntung, atau guru melakukan kesalahan.
Menurut Rogers, hampir semua individu mengalami ketidak-kongruenan
dan karenanya mempertahankan diri terhadap simbolisasi pengalaman tertentu
terhadap kesadaran. Hanya ketika ketidak-kongruenan sangat berat barulah
masalah penyesuaian muncul.
7. Pribadi yang Berfungsi Penuh (Fully Functioning Person)
Di banyak hal, pribadi yang berfungsi penuh mirip bayi kecil karena hidup sesuai
proses penilaian organismiknya sendiri lebih daripada mengejar kondisi
keberhargaan. Rogers menyamakan 'menjadi benar bagi diri sendiri' dengan
kehidupan yang baik. Kebahagiaan bukanlah kedamaian yang datang ketika semua
kebutuhan biologis pribadi terpuaskan, atau ketika ia meraih tujuan yang sudah
lama dicari seperti rumah, uang atau gelar jabatan. Kebahagiaan datang dari
partisipasi aktif di dalam kecenderungan mengaktualisasi yang merupakan sebuah

16
proses berkesinambungan. Penting untuk dicatat bahwa Rogers menekankan
kecenderungan mengaktualisasi, bukannya kondisi aktualisasi-diri.
Kita sudah melihat bahwa untuk menggunakan proses penilaian organismik sebagai
pemandu hidup, dibutuhkan suatu lingkungan yang mengandung kondisi tanpa
syarat. Rogers yakin penghargaan positif tanpa syarat adalah racikan esensial
psikoterapi, namun tidak perlu kita semua menjalani psi-koterapi hanya untuk
mengalami kondisi positif tanpa syarat ini. Beberapa orang bisa mengalaminya di
rumah masing-masing, di dalam pernikahan mereka, atau dari sahabat dekat
mereka, selama konsep ini dipahami dan digunakan.
Di tahun 1980 Rogers mengembangkan konsep tentang kondisi tanpa syarat
ini yang diyakini harus hadir dalam setiap hubungan manusia apapun jika ingin
pertumbuhan lah yang terjadi:
Ada tiga kondisi yang harus hadir di dalam iklim yang ingin memajukan
sebuah pertumbuhan. Kondisi-kondisi ini teraplikasikan entah di dalam hubungan
terapis dan klien, orangtua dan anak, pemimpin dan kelompok, guru dan murid,
atau pejabat dan stafnya. Kondisi-kondisi ini sebenarnya teraplikasikan bahkan di
situasi apa pun di mana perkembangan pribadi menjadi tujuannya kongruensi.
Sikap kedua yang penting untuk menciptakan iklim bagi perubahan adalah
penerimaan, atau kepedulian, atau penghadiahan – yang saya sebut 'penghargaan
positif tanpa syarat'. Aspek fasilitatif hubungan yang ketiga adalah pemahaman
empatik dan penuh kepekaan ini jarang bisa diperoleh dalam hidup kita. Kita
berpikir sudah mendengarkan, namun jarang kita sungguh mendengarkan dengan
Elemen pertama bisa disebut ketulusan, keriilan, atau Jenis mendengarkan secara
aktif pemahaman yang riil, empati yang sesungguhnya. Jadi mendengarkan yang
seperti ini adalah jenis yang sangat khusus, salah satu daya terkuat untuk mengubah
yang saya ketahui. (hlm. 115-116, cetak miring ditambahkan).
Bagi Rogers, penting bagi kita untuk tidak mencampuradukkan empati
dengan mendengarkan secara pasif, atau dengan simpati. Empati digambarkannya
sebagai suatu kondisi yang mengandung "Cara hidup sementara waktu dalam
kehidupan orang lain, bergerak di dalamnya sepeka mungkin tanpa membuat
penilaian" (1980, hlm. 142). Di sebuah artikel yang diterbitkan setelah meninggal,
Rogers menjelaskan lebih jauh sebagai berikut:
Menjadi empatik sesungguhnya adalah pengalaman paling aktif yang
pernah saya ketahui. Anda harus sungguh memahami apa yang dirasakan seseorang

17
di situasi yang diceritakannya. .. Membiarkan diri kita memasuki dunia batin orang
lain termasuk hal paling aktif, sulit dan menuntut yang pernah saya ketahui. (1987,
hlm. 45)
Jika manusia cukup beruntung untuk memiliki suatu porsi yang murah hati
terkait pengalaman yang baru saja dideskripsikan, mereka akan bebas untuk
bertindak sesuai perasaan mereka-yaitu, sesuai dengan proses penilaian organismik
mereka. Individu yang seperti ini disebut berfungsi penuh, dan menurut Rogers
(1959, hlm.234-235), mereka akan memiliki sekurangnya 6 karakteristik berikut:
1. Mereka akan terbuka kepada pengalaman - artinya, mereka tidak akan
menampilkan sikap defensif. Karenanya, pengalaman mereka akan bisa
tersimbolkan secara akurat dan karenanya tersedia bagi kesadaran.
2. Struktur-diri mereka akan kongruen dengan pengalaman mereka dan akan
sanggup berubah sejauh terkait pengasimilasian pengalaman-pengalaman baru.
3. Mereka akan memahami dirinya sebagai lokus dari pengevaluasian
pengalaman-pengalaman mereka. Dengan kata lain, proses penilaian
organismik mereka digunakan untuk mengevaluasi pengalaman-pengalaman
mereka tak peduli kondisi keberhargaan mereka.
4. Mereka akan mengalami penghargaan-diri tanpa syarat.
5. Mereka akan menemui setiap situasi dengan perilaku yang merupakan sebuah
adaptasi unik dan kreatif bagi kebaruan momen tersebut. Dengan kata lain,
mereka menemui setiap pengalaman baru dengan spontanitas kejujuran tak
peduli apa makna yang mestinya diberikan kepada pengalaman-pengalaman
itu. Di tahun 1961 Rogers menyebut karakteristik pribadi yang berfungsi
sepenuhnya ini sebagai 'makhluk eksistensial', yang dideskripsikannya sebagai
berikut: “Menjadi apa saya di momen berikutnya, dan apa yang akan saya
lakukan, semata-mata muncul dari momen tersebut, tidak bisa diprediksi entah
olehku atau orang lain" (hlm. 188).
6. Mereka akan hidup dalam harmoni dengan orang lain karena sifat menghargai
dari resiprositas penghargaan positif tanpa syarat.
Di tahun 1961 Rogers menambahkan 2 lagi karakteristik terhadap
deskripsinya di atas tentang pribadi yang berfungsi sepenuhnya. Yang pertama
adalah pengalaman kebebasan subjektif:
Dia bebas - ketika menjadi dirinya atau bersembunyi di balik suatu samran:
untuk bergerak maju atau mundur; untuk bersikap dengan cara-cara yang destruktif

18
bagi diri dan orang lain, atau lewat cara-cara yang memperkembangkan; secara
harfiah bebas untuk hidup atau mati, entah dalam pengertian fisiologis maupun
psikologis untuk hal-hal tersebut. (hlm. 192)Yang lain adalah kreativitas: Terkait
keterbukaannya yang sensitif terhadap dunianya, kepercayaannya akan
kemampuan dirinya membentuk hubungan baru dengan lingkungannya, dia akan
menjadi sejenis pribadi di mana produk-produk kreatif dan kehidupan kreatif
muncul. Dia tidak serta-merta merasa harus 'tersesuaikan' dengan budayanya, dan
dia hampir tidak akan menjadi seorang konformis sedikit pun. (hlm. 193)
C. Implikasi Person-Centered dalam Konseling dan Psikoterapi
Client-Centered Therapy atau juga disebut Person Centered atau Psikoterapi Non
Directive adalah suatu Metode Perawatan Psikis yang dilakukan dengan cara berdialog
antara konselor dan klien agar tercapai gambaran yang serasi antara ideal self (diri klien
yang ideal) dengan Actual Self (diri klien yang sesuai kenyataan sebenarnya
1. Teknik Konseling
Pendekatan masalah ini dalam hal filosofis dan sikap konselor ketimbang Teknik,
dan mengutamakan hubungan konseling ketimbangn perkataan dan perbuatan
konselor.
Implementasi Teknik konseling didasari atas paham filsafat serta sikap konselor.
Karena itu penggunaan Teknik seperti pertanyaan, dorongan, interpretasi dan
sugesti dipakai dalam frekuensi yang rendah. Yang lebih utama ialah pemakaian
Teknik konseling bervariasi dengan tujuan pelaksanaan filosofi dan sikap tadi.
Karena itu Teknik konseling Rogers berkisar antara lain pada cara-cara penerimaan
pertanyaan dan komunikasi, menghargai orang lain pada cara-cara penerimaan
pertanyaan dan komunikasi, menghargai orang lain dan memahami klien, karena
itudalam pelaksanaan Teknik konseling amat diutamakan sifat-sifat konselor
berikut:
a) Acceptene Artinya konselor menerima klien sebagaimana adanya dengan
segala masalaahnya. Jadi sikap konselor adalah menerima secara mental.
b) Congruence artinya karakteristik konselor adalah terpadu, sesuai kata dengan
perbuatan dan konsisten
c) Understanding artinya konselor harus dapat secara akurat dan memahami
secara empati dunia klien sebagaimana dilihat dari dalam diri klien itu
d) Nonjudgmental artinya tidak memveri penilaian terhadap klien akan tetapi
konselor selalu objektif

19
2. Tujuan Terapi person centered yang dikembangkan oleh Carl Rogers pada tahun
1942 bertujuan untuk membina kepribadian klien secara integral, berdiri sendiri
dan mempunyai kemampuan untuk memecahkan masalah sendiri
Kepribadian yang integral adalah struktur kepribadiannya tidak terpecah artinya
sesuai antara gambaran tentang diri yang ideal (ideal self) dengan kenyataan diri
sebenarnya (actual self). Keperibadian yang berdiri sendiri adalah yang mampu
menentukan pilihan sendiri atas dasar tanggung jawab dan kemampuan. Tidak
tergantung pada orang lain sebelum menentukan pilihan tentu individu harus
memahami dirinya (kekuatan dan kelemahan diri ) dan kemudian keadaaan diri
tersebut harus ia terima.
Untuk mencapai tujuan itu diperlukan beberapa syarat:
a. Kemampuan dan keterampilan Teknik konselor
b. Kesiapan klien menerima bimbingan
c. Taraf intelegensi klien yang memadai
Selama bertahun-tahun deskripsi Rogers tentang proses terapeutik berubah-
ubah (Holdstock & Rogers, 1977). Pertama dia menyebut pendekatan- nya itu terapi
non-direktif yang menekankan kemampuan klien menyelesaikan sendiri masalah
mereka jika diberi atmosfer yang tepat untuk melaku kannya. Berikutnya Rogers
menyebut tekniknya itu terapi berpusat-klien Sekarang terapi dianggap sebagai
upaya bersama secara mendalam antara terapis dan klien. Lebih dari sekadar
menyediakan atmosfer yang di dalamnya klien dapat memahami secara bertahap
hakikat persoalan mereka seperti yang ditekankan istilah sebelumnya, tugas terapis
sekarang ditambah dengan berupaya aktif memahami bidang fenomenologis klien,
atau kerangka acuan internal klien. Tahap berikut yang dideskripsikan label terapi
berpusat-klien ini adalah tahap mengalami. Selama tahap ini, di dalam evolusi
pemikiran Rogers, terapis menjadi sebebas klien. Sekarang perasaan pribadi yang
mendalam antara terapis dan klien sama pentingnya, dan proses terapeutik
dianggap sebagai perjuangan untuk meletakkan perasaan-perasaan ini ke dalam
kata-kata.
Tahap terakhir yang dipikirkan Rogers di dalam terapi berpusat-klien
adalah tahap berpusat-pribadi. Selama tahap ini teori Rogers diluaskan ke banyak
bidang yang melampaui proses terapeutik. Sampel area-area di mana teori sudah
diaplikasikan meliputi pendidikan, pernikahan dan keluarga, kelompok pertemuan,
masalah kelompok minoritas, dan hubungan internasional. Namun, Rogers yakin

20
bukan pengaplikasian lebih besar yang paling penting untuk tahap perkembangan
ini, melainkan penitikberatan pada kepribadian total dan bukan melihat individu
berdasarkan peran tertentu saja:
Pergeseran penekanan kepada poin-poin yang berpusat-pribadi lebih dari
sekadar bisa diaplikasikannya teori ini. Ia berusaha menekankan bahwa sebagai
pribadi itulah, sebagai aku, sebagai mengada, dan bukannya berdasarkan sejumlah
identitas peran sebagai klien, murid, guru atau terapis, maka individu bisa menjadi
unit dari semua interaksi. Perubahan nama ini menyingkapkan kompleksitas
sepenuhnya setiap pribadi; perubahan ini mengindikasikan bahwa setiap individu
lebih dari sekadar bagian-bagian yang membentuk pribadinya. (Holdstock &
Rogers, 1977, hlm. 129)
Di tahun 1980 Rogers mendeskripsikan pendekatan berpusat-pribadi
miliknya ini sebagai berikut:
Saya tidak lagi sekadar berbicara tentang psikoterapi, melainkan tentang
suatu perspektif, sebuah filsafat, sebuah pendekatan untuk hidup, sebuah cara untuk
mengada, yang mencocokkan diri dengan situasi apa pun di mana pertumbuhan -
pribadi, kelompok, komunitas- menjadi salah satu bagian dari tujuannya. (hlm. ix)
Meski banyak perubahan terjadi di dalam pemikiran Rogers selama dua dekade itu,
sejumlah komponen dasar teorinya semakin terbentuk dan sesungguhnya tidak
pernah berubah. Komponen-komponen inilah yang penting bagi kecenderungan
mengaktualisasi, pentingnya proses penilaian organismik sebagai kerangka acuan
dalam hidup manusia, dan pentingnya penghargaan positif tanpa syarat yang
memampukan manusia menjalani hidup yang kaya dan penuh.
Rogers (1959, hlm.213) meringkas 6 kondisi berikut yang dianggapnya
penting bagi terapi yang efektif:
1. Klien dan terapis harus berada di dalam kontak psikologis; artinya, keduanya
harus bisa menemukan perbedaan di dalam bidang fenomenologis satu terhadap
yang lain.
2. Klien harus berada di dalam kondisi tidak kongruen sehingga karenanya rapuh
atau penuh kecemasan.
3. Terapis harus berada di dalam kondisi kongruen terhadap klien.
4. Terapis harus memberikan klien penghargaan positif tanpa syarat.
5. Terapis harus mencari suatu pemahaman empatik tentang kerangka acuan
internal klien.

21
6. Klien harus memahami fakta bahwa terapis sedang memberinya penghargaan
positif tanpa syarat, dan berusaha memahami secara empatik kerangka acuan
internalnya.
Jika 6 kondisi yang dibutuhkan bagi terapi efektif ini terpenuhi, maka
menurut Rogers (1959, hlm.216), perubahan berikut yang bisa diamati dari klien:
1. Klien mengekspresikan perasaan mereka dengan kebebasan yang semakin besar.
2. Klien menjadi lebih akurat di dalam pendeskripsian mereka terhadap
pengalaman dan kejadian di sekitar dirinya.
3. Klien mulai mendeteksi ketidak-kongruenan antara konsep diri dan pengalaman-
pengalaman tertentu mereka.
4. Klien merasa terancam ketika ketidak-kongruenan dialami, namun penghargaan
positif tanpa syarat terapis memampukan mereka terus mengalami pengalaman
tidak kongruen tanpa harus mendistorsi atau menyangkalnya.
5. Klien akhirnya sanggup menyimbolkan secara akurat, dan karenanya menyadari,
perasaan-perasaan yang di masa lalu telah disangkal atau terdistorsi.
6. Konsep klien tentang dirinya menjadi terorganisasikan kembali dan karenanya
sanggup memasukkan pengalaman-pengalaman yang sebelumnya sudah ditolak
oleh kesadaran.
7. Ketika terapi berlanjut, konsep klien tentang diri menjadi semakin kongruen
dengan pengalaman mereka; artinya, mereka sekarang dapat memasukkan
banyak pengalaman yang sebelumnya terasa mengancam. Ketika klien merasa
kurang terancam oleh pengalaman, mereka semakin tidak lagi defensif.
8. Klien menjadi semakin mampu untuk mengalami, tanpa harus merasa terancam,
penghargaan positif tanpa syarat terapis.
9. Klien merasakan jumlah penghargaan positif tanpa syarat kian bertambah.
10. Terapi sukses jika pada akhirnya pengalaman klien dievaluasi berdaproses
penilaian organismik mereka dan bukannya berdasarkan kondisi keberhargaan.
D. Contoh Kasus
Seorang mahasiswi mengira bahwa dia adalah seorang mahasiswi yang pintar dan tidak
pernah menyontek, tetapi pada suatu saat dia mulai sadar akan tingkah lakunya yang
bertentangan dengan fikiran itu, karena ternyata dia berkali-kali mencoba menyontek
dan jarang mengerjakan tugas-tugas kuliah. Padahal, seharusnya sebagai mahasiswa ia
tidak boleh bertindak begitu. Pengalaman yang nyata ini menunjuk pada suatu
pertentangan antara siapa saya ini sebenarnya dan seharusnya menjadi orang yang

22
bagaimana. Bilamana mahasiswi mulai menyadari kesenjangan dan mengakui
pertentangan itu, dia menghadapi keadaan dirinya sebagaimana adanya. Kesadaran
yang masih samar-samar akan kesenjangan itu menggejala dalam perasaan kurang
tenang dan cemas serta dalam evaluasi diri sebagai orang yang tidak pantas (worthless).
Mahasiswi datang ke konselor dalam keadaan incongruence; ada perbedaan antara
persepsi dirinya dan pengalaman mereka dalam kenyataan. Sebagai perbedaan antara
bagaimana klien melihat dirinya (self concept) atau bagaimana ia melihat realita dirinya
(ideal self concept).Salah satu alasan klien mencari konselor adalah rasa
ketidakberdayaan dan ketidakmampuan untuk membuat keputusan efektif pada
kehidupan mereka sendiri. Klien mungkin berharap untuk menemukan "jalan" melalui
bimbingan terapis. Dalam kerangka teori Rogers, bagaimanapun, klien akan segera
mengetahui bahwa mereka dapat bertanggung jawab untuk diri mereka sendiri dan
mereka dapat belajar untuk memahami diri yang lebih besar.
E. Kontribusi dan Kritik terhadap Teori Carl Rogers
Kontribusi
Sekurangnya ada 3 kontribusi yang diberikan teori Rogers bagi pemahaman kita
akan kepribadian, berikut penjelasannya.
1. Perspektif Alternatif dan Positif tentang Manusia. Banyak yang dilakukan Rogers
untuk menjelaskan faset hakikat manusia yang sebelumnya buram. Ia
berkontribusi bagi pengembangan 'mazhab ketiga' di dalam psikologi yang sukses
menantang dua mazhab dominan lainnya, psikoanalisis dan behaviorisme. Mazhab
ketiga di dalam psikologi dinamai psikologi humanistik karena menekankan
kebaikan hakikat manusia dan berfokus pada kondisi-kondisi yang memungkinkan
manusia meraih potensi penuh mereka. Hal-hal inilah yang memenuhi setiap aspek
tulisan Rogers.
2. Merintis Bentuk Baru Terapi. Tak seorang pun sejak Freud yang memiliki pengaruh
lebih besar di dalam psikoterapi ketimbang Rogers. Pendekatannya yang positif dan
humanistik terhadap konseling dan terapi telah menjadi sangat populer. Tiga alasan
penyebab popularitas ini adalah: (1) efektivitasnya, (2) pendekatannya tidak butuh
pelatihan lama dan ketat seperti yang disyaratkan psikoanalisis, dan (3)
pendekatannya positif dan optimistik tentang hakikat manusia. Bukan hanya
Rogers menciptakan sebentuk terapi baru, namun ia juga menciptakan metode
untuk mengevaluasi efektivitas terapi. Dengan merekam sesi-sesi terapeutik secara
audio dan/atau visual lalu mentranskripnya ke bentuk teks agar bisa dipelajari

23
profesional lain, dan mengembangkan pengukuran objektif terhadap perubahan
kepribadian sebagai fungsi dari pengalaman terapeutik, Rogers, untuk pertama
kalinya di dalam sejarah psikologi, membuat riset terhadap psikoterani legitim
secara ilmiah.
3. Nilai Terapan. Sekali lagi, tak seorang pun sejak Freud memiliki pengaruh lebih
besar ketimbang Rogers terhadap psikologi maupun disiplin ilmu yang lain.
Psikologi berpusat-pribadi Rogers telah diaplikasikan ke banyak wilayah seperti
agama, keperawatan, kedokteran, penguatan hukum, kerja sosial, hubungan ras dan
budaya, industri, politik dan perkembangan keorganisasian (untuk berbagai aplikasi
psikologi berpusat-pribadi, lihat contohnya Levant & Schlien, 1984). Di sebuah
makalah yang menarik, Rogers dan Ryback (1984) memperlihatkan bagaimana
psikologi berpusat-pribadi dapat digunakan di tingkat global untuk mereduksi atau
menghindari konflik internasional dan mereduksi konflik di antara bangsa-bangsa
yang berlawanan faksinya (McGaw, Rice & Rogers, 1973). Untuk meraih tujuan
ini, Rogers di tahun-tahun terakhir hidupnya menyelenggarakan banyak lokakarya
di negeri-negeri seperti Brazilia, Inggris, Jerman, Hungaria, Irlandia, Jepang,
Afrika Selatan, eks Uni Soviet dan Swiss (Gendlin, 1988; Heppner, Rogers & Lee,
1984). Akhirnya, Rogers (1969, 1983) memperlihatkan bagaimana prinsip-prinsip
berpusat-pribadi dapat digunakan untuk memperbaiki pendidikan di semua jenjang.
Kritik
Sekurangnya ada 3 kritik yang dilontarkan terhadap teori kepribadian
Rogers, berikut penjelasannya.
1. Pendekatannya Terlalu Sederhana dan Terlalu Optimis. Banyak yang percaya
jika asumsi Rogers bahwa manusia pada dasarnya baik dan lahir dengan
kecenderungan menuju aktualisasi-diri tak lebih dari sekadar khayalan. Carl
Rogers dapat disamakan dengan Fred Rogers, tokoh drama anak-anak di
televisi, seorang tetangga yang baik hati dan peka (Palmer & Carr,1991).
Manusia yang sesungguhnya, ujar beberapa kritikus, mengalami kebencian
sebanyak cinta, dan sering termotivasikan oleh hasrat sekekuat. Lebih jauh lagi,
kecuali subsepsi, pentingnya motivasi bawah sadar ditolak Rogers. Namun,
bagi siapa pun yang pernah mengalami mimpi aneh, konflik berat, depresi
mendalam, rasa amarah yang kuat, atau sakit psikosmatik, pandangan Rogerian
tentang manusia tidak terdengar benar. Yang juga dianggap simplistik adalah
terlalu besarnya Rogers mengandalkan laporan-diri yang dianggap banyak ahli

24
tidak bisa diandalkan. Banyak pihak mengkritik Rogers lantaran kesederhanaan
teorinya, hal serupa dialami juga oleh Kelly meski aspeknya beda. Rogers
menekankan aspek emosi kepribadian dengan menyatakan bahwa yang
sungguh-sungguh dirasakan baik adalah pemandu terbaik untuk tindakan,
membuatnya menempatkan emosi lebih yang penting ketimbang
intelektualitas; Kellly sebaliknya.
2. Kegagalan Mengakui Siapa Saja yang Sudah Memberikan Pengaruh bagi
Teorinya. Banyak elemen mirip bisa ditemukan dari teori Rogers dan teori
Adler. Keduanya sama-sama menekankan keutuhan individu, pengalaman
sadar dan dorongan bawaan terhadap hubungan harmonis dengan sesama
manusia. Sebuah hubungan yang kuat juga eksis antara teori Rogers dan teori
Horney. Di dalam teori Horney, persoalan psikologis dimulai ketika diri riil
yang sehat digantikan oleh diri ideal yang tidak sehat dan asosiasinya, tirani
seharusnya. Bagi Horney, cara untuk membuat individu tidak sehat menjadi
sehat adalah dengan membawa mereka kembali bersentuhan dengan diri riil
mereka agar diri riil itulah, dan bukannya diri ideal, yang digunakan sebagai
pemandu untuk menjalani hidup. Kecuali untuk perbedaan kecil di dalam
terminologi yang digunakan, Rogers dan Horney mengatakan hal yang sama.
Ada juga kemiripan antara teori Rogers dan Allport. Contoh, keduanya
mendeskripsikan karakteristik individu yang sehat, menekankan kebaikan
bawaan manusia, dan menitikberatkan kesadaran lebih daripada motivasi
bawah sadar. Meski Rogers memang mengakui pengaruh Adler bagi pemikiran
awalnya tentang proses terapeutik, namun ia tidak mengatakan apa pun tentang
pengaruh Horney atau Allport bagi teorinya.
3. Aspek-aspek Penting Kepribadian Diabaikan atau Ditolak. Kita sudah melihat
bahwa Rogers mengabaikan sisi hakikat manusia yang lebih gelap (seperti
agresivitas, permusuhan, egoisme dan motif-motif seksual). la juga tidak
banyak membahas perkembangan kepribadian. Kecuali fakta bahwa untuk
beberapa individu proses penilaian organismik sudah digantikan oleh kondisi
keberhargaan di masa kanak-kanak, Rogers sedikit saja membahas pengalaman
perkembangan yang kondusif bagi pertumbuhan kepribadian yang sehat.

25
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Carl Rogers mendeskripsikan the self (diri) atau self-structure sebagai sebuah
konstruk yang menunjukan bagaimana setiap individu melihat dirinya sendiri.
Self ini dibagi 2 yaitu : Real Self dan Ideal Self. Real Self adalah keadaan diri
individu saat ini, sementara Ideal Self adalah keadaan diri individu yang ingin dilihat oleh
individu itu sendiri atau apa yang ingin dicapai oleh individu tersebut
Bila seseorang, antara “self concept” nya dengan organisme mengalami
keterpaduan, maka hubungan itu disebut kongruen (cocok) tapi bila sebaliknya maka
disebut Inkongruen (tidak cocok) yang bisa menyebabkan orang mengalami sakit mental,
seperti merasa terancam, cemas, defensive dan berpikir kaku serta picik.
Rogers juga mengabaikan aspek-aspek tidak sadar dalam tingkah laku manusia
karena ia lebih melihat pada pengalaman masa sekarang dan masa depan, bukannya pada
masa lampau yang biasanya penuh dengan pengalaman traumatik yang menyebabkan
seseorang mengalami suatu penyakit psikologis

B. Saran
Dengan adanya makalah ini kami berharap calon konselor maupun mahasiswa
bimbingan dan konseling dapat mengetahui paling tidak sedikit memahami tentang Teori
Kepribadian Menurut Carl Rogers.

26
DAFTAR PUSTAKA

Olson, M.H & Hergenhem, B. R (2013) Pengantar Teori-Teori Keperibadian Edisi


ke Delapan (Terjemahan). Yogyakarta. Pustaka Pelajar

Wilis, Sofyan S. (2014) Konseling Individual Teori dan Praktek. Bandung Alfabeta

27

Anda mungkin juga menyukai