Anggota :
Dosen Pengampu :
UNIVERSITAS JAMBI
KATA PENGANTAR
Segala puji Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberikan kami kemudahan
dan kelancaran sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu.
Tanpa petolongan-Nya, tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah
ini dengan baik. Shalawat serta salam selalu terlimpah curahkan kepada baginda tercinta
kita, yaitu Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam yang kita nantikan syafaatnya di
akhirat kelak. Kami mengucapkan syukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas
limpahan nikmat sehat-Nya, baik berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga kami
mampu untuk menyelesaikan makalah sebagai tugas dari mata kuliah Psikologi Lintas
Budaya yang berjudul “Emosi dalam Psikologi Lintas Budaya”.
Terima kasih pula kepada dosen pengampu yang begitu kami hormati karena telah
mendidik dan membimbing kami, dengan penuh kerelaan dan keikhlasan menguntaikan
ilmu-ilmu beliau kepada kami. Tak lupa terima kasih juga kami sampaikan pada teman-
teman yang kami banggakan dan semua pihak yang telah turut serta membantu
tersusunnya makalah ini. Tanpa uluran tangan mereka, mungkin makalah ini akan cacat
dan tidak akan pernah mencapai kata selesai.
Kami tentunya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu kami
mengharapkan kritik serta saran dari pembaca dari makalah ini, supaya makalah ini
nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Demikian dan apabila terdapat
banyak kesalahan dari makalah ini, kami mohon maaf sebesar-besarnya.
Salam kami,
Kelompok 5
DAFTAR ISI
Bab 2 : Pembahasan
2.1. Pengantar Emosi ..................................................................................... 6
2.2. Pendekatan Emosi .................................................................................... 8
2.3. Teori-Teori Emosi ................................................................................... 9
2.4. Persepsi Emosi ........................................................................................ 11
2.5. Pengalaman Emosi .................................................................................. 14
2.6. Kategorisasi Emosi ................................................................................. 15
2.7. Lokasi Emosi .......................................................................................... 16
2.8. Perbedaan Makna Emosi dalam Perilaku Lintas Budaya ....................... 17
2.9. Perbedaan Kultural dalam Mendefinisikan Emosi ................................. 18
2.10. Ekspresi Emosi ........................................................................................ 19
2.11. Penelitian Lintas Budaya Mengenai Emosi ............................................. 22
2.12. Pola Fisiologis Emosi .............................................................................. 24
Bab 3 : Penutup
2.1. Kesimpulan ............................................................................................. 25
2.2. Saran ....................................................................................................... 25
Daftar Pustaka........................................................................................................... 27
BAB I
PENDAHULUAN
Manusia adalah makhluk hidup yang selalu terkait dengan emosi dalam
kesehariannya dalam sepanjang rentang kehidupannya, yang bahkan dalam sikap, proses
mental, dan perilaku manusia, peran emosi ikut berkontribusi penting. Misalnya dalam
pembentukan persepsi seseorang mengenai suatu stimulus yang baru, apabila dalam
mendapatkan stimulus yang baru tersebut seseorang mengalami emosi positif, maka
persepsi yang mengikuti mengenai stimulus tersebut juga akan turut positif. Namun,
sebaliknya, jika dalam menerima stimulus baru seseorang justru diikuti pengalaman tidak
menyenangkan, maka persepsi yang diperoleh sangat berpotensi menjadi persepsi yang
negatif.
Adapun rumusan masalah dari makalah ini yaitu bagaimana dinamika emosi dalam
berbagai kebudayaan dan hal-hal apa saja yang melandasinya, termasuk di dalamnya
persepsi emosi, pengalaman, keterkaitan peran fisiologis, perilaku emosi, ekspresi emosi,
dan lainnya sebagai bagian perhatian dari psikologi lintas budaya.
1.3. TUJUAN
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk melihat, mengetahui serta
memahami dinamika emosi dalam berbagai kebudayaan dan hal-hal apa saja yang
melandasinya, termasuk di dalamnya persepsi emosi, pengalaman, keterkaitan peran
fisiologis, perilaku emosi, ekspresi emosi, dan lainnya sebagai bagian perhatian dari
psikologi lintas budaya.
1.4. MANFAAT
Makalah ini memiliki manfaat sebagai sumber referensi yang memuat wawasan
mengenai psikologi lintas budaya, khususnya pada aspek-aspek emosi, di mana para
pembaca akan disuguhi pengetahuan tentang emosi pada psikologi lintas budaya,
penelitian-penelitian khusus tentang emosi berbagai kebudayaan yang intens, bagaimana
pandangan masing-masing kultur mengenai emosi, dan sebagainya. Semuanya akan
dikupas lengkap dalam makalah ini.
Sebuah penelitian yang pernah diusung oleh Ekman dan Heider pada 1988 dengan
tujuan ingin melihat serta mengkomparasikan ekspresi emosi antara orang Jepang dan
orang Amerika dalam lingkup waktu yang kontras, yaitu kala mereka berada dalam
kesendirian dan berada di tengah-tengah kelompok, membuahkan dua hasil signifikan
sebagai berikut:
- Hasil pertama, dalam situasi sendiri, baik orang Jepang maupun orang Amerika
tidaklah menunjukkan disparitas ekspresi emosi, yang dengan kata lain, hal ini
berarti orang Jepang dan orang Amerika cenderung menunjukkan ekspresi yang
serupa dan senada dengan situasi mereka. Misalnya, ketika mereka merasa sedih
atau tertekan, mereka dapat mengekspresikannya dengan menangis.
- Hasil kedua, dalam situasi di tengah-tengah kelompok sosial, meski sedang dalam
keadaan yang menekan, orang Jepang didesak untuk tidak menampilkan ekspresi
emosi sebenarnya dan harus menebar senyum sekaligus tawa sepanjang ia bersama
orang lain, karena nilai kesopanan yang dijunjung di Jepang sangat-sangat tinggi
dan kompleks. Sedangkan di Amerika, orang-orang cenderung bebas menampilkan
ekspresi mereka pada orang lain, meski tentunya mereka juga harus dapat
menempatkan diri.
Dalam kultur di Nusantara sendiri, emosi dalam kebudayaan tiap-tiap daerah pun
memiliki karakteristik serta stereotipnya masing-masing. Contohnya seperti emosi pada
kebudayaan Jawa dan Sunda yang cenderung dianggap menampilkan sikap halus dan
santun, serta pada kebudayaan Batak yang cenderung dinilai acap kali menunjukkan raut
wajah yang keras dan berbicara dengan nada tinggi serta cenderung frontal dan berani.
Orang Batak mempersepsikan orang Jawa dan Sunda memang lembut dan spontan,
namun lemah dan enggan berterus terang. Jika orang Sunda menganggap orang Batak
keras dan kasar, orang Batak justru menilainya sebagai suatu kejujuran. Dan apa yang
bagi orang Jawa dan Sunda nilai sebagai kehalusan, ternyata dianggap orang Batak
sebagai kemunafikan dan kelemahan (Mulyana, 1999).
Masyarakat lokal dari budaya berbeda juga beragam dalam mengkategorikan atau
melabeli emosi. Beberapa kosakata Bahasa Inggris, seperti anger, joy, sadness, liking,
dan loving memiliki padanan dalam berbagai bahasa dan budaya. Ada pula kata-kata
emosi dalam bahasa lain yang tidak punya padanan persisnya dalam Bahasa Inggris, tapi
ada banyak kosakata dalam Bahasa Inggris yang tidak punya padanan dalam bahasa lain.
Misalnya, dalam Bahasa Jerman ada kata schadenfreude yang berati rasa senang yang
timbul karena kesialan orang lain. Dalam Bahasa Jepang ada kata-kata itoshii, ijirashii,
dan amae yang dapat diterjemahkan sebagai rasa rindu akan orang tercinta yang tak ada,
perasaan ketika melihat orang terpuji mengatasi suatu rintangan, dan perasaan
ketergantungan.
Ialah emosi yang berfokus pada pengalaman atau perasaan, yakni kondisi subjektif
yang masih berada dalam diri seseorang yang juga melibatkan bagaimana mekanisme
mental yang menjadikan hal tersebut dapat terlihat atau termanifestasikan dalam bentuk
raut wajah atau bahasa tubuh, baik verbal maupun nonverbal.
William James menyatakan bahwa stimulus emosional bermula dan diproses oleh
sensory relay centre atau biasa disebut talamus menuju ke sistem limbik, yang
memproduksi reaksi tubuh terhadap ketakutan atau kecemasan melalui hipotalamus dan
bagian simpatik di sistem saraf otonom. Sensasi dari reaksi tubuh ini kemudian dikirim
kembali ke cerebral cortex dan memproduksi apa yang kita rasakan di kesadaran, yaitu
emosi (Lahey, 2007).
Walter Cannon menyatakan teori tentang emosi yang kemudian direvisi oleh
Philip Bard (1934). Canon meyakini bahwa informasi dari stimulus pertama dihantarkan
ke thalamus, barulah kemudian sinyal-sinyal rangsangan dikirim sekaligus ke cerebral
cortex yang memproduksi perasaan atau emosi, serta menuju ke hipotalamus dan sistem
saraf otonom yang memproduksi perubahan fisiologis. Menurut teori ini, kesadaran
dalam merasakan emosi dan pengaruh fisiologis bukanlah hal yang saling berkaitan
(Lahey, 2007).
Misalnya pada saat melihat harimau, maka hipotalamus melakukan dua hal secara
stimulatif. Pertama, ia menstimulasi sistem saraf otonom untuk memproduksi atau
mengaktifkan perubahan–perubahan fisiologis, seperti meningkatnya degup jantung,
napas yang cepat, dan sebagainya. Kedua, hipotalamus mengirim pesan ke cerebral
cortex dimana pengalaman emosi dirasakan (Hude, 2006).
Schachter & Singer (1962) percaya bahwa perubahan emosi sangat tidak jelas dan
tidak spesifik untuk emosi yang berbeda. Hal ini disebabkan karena sistem saraf otonom
dan kelenjar endokrin aktif dengan cara yang sama dan tanpa memerhatikan emosi apa
yang sebenarnya dirasakan. Stimulus internal dari perubahan emosi yang disebabkan oleh
tubuh memainkan peran penting dalam proses merasakan emosi, tetapi hanya jika
interprestasi kognitif dianggap sebagai sumber dari perubahan itu. Contohnya, saat
seseorang merasa berdebar saat mendengar suara tembakan dari tetangga sebelah,
seseorang tersebut akan menginterprestasikan debaran itu sebagai rasa takut, tetapi jika
seseorang berdebar ketika mendapatkan kasih sayang, maka seseorang itu akan
menginterprestasikannya sebagai rasa cinta.
Dengan demikian, jelas bahwa sensasi otonom yang timbul dalam situasi
emosional tidak berbeda, itulah mengapa sering terjadi kesalahan dalam
menginterprestasikan sesuatu. Contohnya, keterbangkitan seksual diinterprestasikan
sebagai cinta.
Karena itu, Schachter dan Singer (1962) menyatakan bahwa perubahan otonom
yang menyertai seluruh emosi adalah sama, sehingga interprestasi kognitif yang
menyebabkan perubahan itulah yang penting. Perubahan otonom di dalam diri manusia
sebagai pola yang sedikit berbeda dapat diasosiasikan dengan beberapa emosi yang
berbeda pula, tetapi perbedaan itu sangatlah tipis (Lahey, 2007).
Menurut Matsumoto (2008), ada juga beberapa teori umum yang disampaikan
dalam pengantar psikologi, seperti teori Thomkins serta Ekman dan Izard. Teori
Thomkins menyatakan bahwa emosi bersifat adaptif secara evolusioner dan bahwa
ekspresi merupakan bawaan biologis dan bersifat universal pada semua orang di budaya
manapun. Penelitian Ekman dan Izard menunjukkan bahwa terdapat enam emosi yang
termanifestasikan pada ekspresi wajah secara pankultural atau universal, yaitu gembira,
marah, jijik, takut, sedih, dan terkejut.
Dalam Matsumoto (2008), dinyatakan bahwa ekspresi dari beberapa emosi bersifat
universal, maka pengenalan atau recognition dari emosi-emosi tersebut seharusnya juga
bersifat universal. Ekman, dkk (1987) melakukan penelitian perdana yang menunjukkan
bagaimana tiap budaya berbeda dalam mempersepsikan emosi. Mereka memperlihatkan
foto-foto keenam emosi universal (gembira, marah, jijik, takut, sedih, dan terkejut) pada
pengamat dari budaya-budaya yang berbeda. Selain memberi label pada masing-masing
foto emosi dengan memilih dari suatu daftar kata emosi pada subjek, para subjek juga
diminta untuk menilai seberapa kuat atau intens emosi yang diekspresikan, di mana foto-
foto ekspresi tersebut ditayangkan selama tiga puluh detik dan peserta dituntut untuk
merespon dengan cekatan sekaligus akurat untuk menunjukkan foto-foto mana yang
dinilai sebagai bentuk pengekspresian raut wajah dari enam emosi universal tadi. Para
subjek dari budaya beragam tersebut sepakat dalam hal emosi apa yang ditampilkan,
yang menunjukkan universalitas rekognisi emosi (Sabilla, dkk., 2019). Namun, terdapat
perbedaan antarbudaya dalam hal seberapa kuat mereka dapat mempersepsikan emosi.
Hasil penelitian berikutnya menunjukkan bahwa budaya-budaya Asia menilai intensitas
emosi-emosi tersebut lebih lemah dibandingkan budaya-budaya non Asia. Matsumoto
dan Ekman (1989) mereplikasi temuan ini, menunjukkan bahwa perbedaan kultural
dalam hal intensitas yang dipersepsikan tetap ada, baik ketika subjek menilai ekspresi
orang dari budayanya sendiri maupun dari budaya lain.
Perbedaan lintas budaya dalam hal atribusi intensitas terhadap stimulus emosi juga
menunjukkan eksistensinya. Menurut Matsumoto (2008), subjek-subjek ras Kaukasoid,
Negroid, Asia, Hispanik Amerika, serta Latino Amerika melihat contoh-contoh ekspresi
wajah emosi universal dan diminta untuk memberi penilaian tentang seberapa kuat
itensitas emosi menurut persepsi mereka. Hasil menunjukkan bahwa orang Negroid
mempersepsikan marah dan takut dengan intensitas lebih tinggi dari pada orang
Kaukasoid dan Asia, serta mepersepsikan ekspresi wanita dengan intensitas lebih tinggi
daripada orang Asia. Orang Hispanik juga mempersepsikan raut yang menunjukkan
perasaan takut lebih intens dibandingkan orang Asia.
Beberapa ahli psikologi percaya bahwa budaya memiliki aturan yang mengatur
persepsi emosi, seperti halnya aturan pengungkapan yang mengatur ekspresinya. Aturan
tentang interpretasi dan persepsi ini di sebut aturan “dekode” atau “decoding rules”
(Buck, 1984). Aturan ini adalah aturan kultural, sesuatu yang dipelajari, yang membentuk
bagaimana orang di suatu budaya memandang dan menginterpretasikan ekspresi-ekspresi
emosi orang lain. Seperti aturan pengungkapan, aturan dekode dipelajari pada masa-masa
awal kehidupan, serta dipahami sedemikian baik sehingga seseorang tidak benar-benar
menyadari pengaruhnya. Dengan demikian, aturan dekode adalah seperti saringan budaya
yang mempengaruhi bagaimana kita menangkap ekspresi emosi orang lain.
Saat ini, mulai banyak penelitian yang mempelajari bagaimana orang-orang dari
berbagai budaya mengalami emosi secara berbeda-beda. Salah satu penelitian tersebut
menguji kemungkinan perbedaan yang ada pada orang Eropa, Amerika, dan Jepang, yang
kemudian membuahkan hasil bahwa orang Jepang mengalami emosi senang, sedih, takut,
dan marah yang tidak sesering orang-orang Eropa serta Amerika. Sedangkan orang-orang
Amerika melaporkan bahawa mereka merasa lebih sering mengalami senang dan marah
daripada orang Eropa. Penelitian tersebut juga menunjukan hasil bahwa intensitas dan
durasi orang Amerika saat mengalami emosi lebih tinggi dari orang Eropa ataupun orang
Jepang.
Contoh lainnya, terdapat ciri yang menonjol pada orang Batak yang bersifat berani
dan kasar. Mereka tidak takut menuai konflik dengan seseorang yang mempunyai
kedudukan lebih tinggi. Orang Batak dianggap sebagaiorang-orang yang agresif dan
kasar karena banyak menimbulkan konflik terhadap masyarakat yang memiliki
kebudayaan yang berbeda (Harahap & Siahaan, 1987). Kajian lain menunjukkan pula
bahwa komunikasi yang melibatkan emosi dan kultur juga memberikan makna dalam
berkomunikasi. Kasus pertikaian antara Dayak dan Madura Sambas di Kalimantan adalah
cermin dari gagalnya proses komunikasi emosi. Seperti yang dikemukakan Rachbini
dalam Mulyana (1999), bahwa dalam berinteraksi sehari-hari suku Madura dipandang
warga setempat berkarakter kasar dan tidak mudah beradaptasi dengan Iingkungan. Di
sini semakin dapat dilihat bahwa orang-orang dari berbagai budaya mengalami emosi
secara berbeda-beda.
Kategorisasi dan penggolongan emosi pada setiap budaya memiliki kerangka yang
berbeda-beda. Setiap orang dari budaya yang berbeda juga akan beragam dalam hal
mengategorikan atau melabeli emosi. Beberapa kosakata bahasa Inggris seperti anger,
joy, sadness, dan loving memiliki persamaan kata dalam berbagai bahasa dan budaya.
Tetapi ada kosakata bahasa Inggris yang tidak memiliki persamaan dengan budaya
lainnya dan ada pula kata-kata emosi yang punya persamaan dalam bahasa Inggris
dengan budaya lainnya. Perbedaan bahasa dalam lintas budaya yang terjadi di berbagai
Negara ini menunjukkan bahwasanya masing masing budaya memilah-milah dunia emosi
dengan cara yang berbeda-beda.
2.7. LOKASI EMOSI
Emosi adalah perasaan intens yang disampaikan kepada seseorang atau kepada
suatu hal yang bisa berupa kata-kata, tulisan, ataupun perbuatan, baik itu negatif maupun
positif. Emosi menjadi gambaran dari karakter dan dapat dijadikan sebagai tolak ukur
karakter seseorang yang berkaitan dengan pengendalian diri dan kesabaran. Seringkali
dipertanyakan apakah emosi berhubungan dengan budaya atau kebiasaan yang berkaitan
dengan adat istiadat di mana orang tersebut tinggal, atau apakah emosi yang ditunjukkan
akan memiliki perbedaan ketika menghadapi permasalahan dan kasus yang sama.
Tiap budaya mengajarkan dari mana emosi itu berasal, yakni berdasarkan apa
yang diajarkan oleh pendahulu mereka dan diteruskan hingga generasi selanjutnya. Salah
satu contohnya ialah ada yang menganggap bahwa emosi berasal dari jantung manusia,
sehingga ketika emosi jantung akan terasa sakit dan berdetak lebih cepat yang akan
berdampak pada kesehatan jantung. Dalam kebudayaan tersebut orang yang memiliki
penyakit jantung dianggap terjadi karena emosi yang berlebihan.
Ada juga yang menganggap pada budayanya bahwa emosi berasal dari hati atau
dari otak yang juga akan berpengaruh pada kedua organ tersebut. Dari mana lokasi emosi
itu dianggap berasal, akan dihubungkan dengan cara penenangan diri ketika emosi dan
kemungkinan dampak buruk yang ditimbulkan jika terjadi emosi dalam diri.
Oleh karena itu, sering ditemui dalam budaya tertentu orang yang sedang emosi
lebih banyak menunjuk pada sesuatu seperti menunjuk pada kalimat yang berhubungan
dengan otak atau dari mana emosi itu dianggap, hal tersebut akan mempengaruhi pola
pikirnya sendiri, yang di mana jika terjadi sesuatu di organ yang berhubungan ia akan
menganggapnya sebagai bagian dampak dari emosi. Beberapa negara tertentu
menempatkan perkara emosi kebanyakan pada berlokasi pada area tubuh. Orang Jepang
misalnya, mengidentifikasi banyak emosi mereka pada hara alias abdomen atau perut.
Orang Chewong dari Malay mengelompokkan perasaan dan pikiran di hati atau liver,
sedang orang Tahiti percaya bahwa emosi muncul dari usus atau intestine (Matsumoto,
2008). Perbedaan kultural dalam konsep, definisi, pelabelan, dan lokasi emosi membuat
makna emosi menjadi berbeda bagi orang dari budaya yang berbeda serta dalam perilaku
mereka.
Budaya dapat mempengaruhi persepsi seseorang terhadap emosi, hal itu akan
menentukan tingkah laku seseorang mengenai penerimaan atau penolakan yang akhirnya
akan menjadikan emosi yang negatif atau emosi yang positif, misalnya ialah budaya di
jaman dahulu di mana perempuan diwajibkan terus menerus di dalam rumah, tidak
diperbolehkan untuk bisa membaca, dan tidak diperbolehkan melawan lelaki. Budaya
tersebut akhirnya menimbulkan rasa pertentangan dan menimbulkan luapan emosi hingga
budaya tersebut mulai dihilangkan dengan emansipasi dan kini menjadi lebih terbuka,
setiap lelaki dan wanita berhak menyampaikan emosi dengan cara yang benar dan cara
yang sama, perempuan tidak menjadi sosok yang selalu di bawah dan sosok yang selalu
menurut.
Terdapat sebuah penelitian tentang ekspresi emosi lintas budaya yang pernah
dilakukan oleh Safdar, dkk (2009) yang bertujuan untuk membandingkan ekspresi emosi
antara orang Amerika Serikat dan Kanada yang individualis dengan orang Jepang yang
kolektif, yang mana pada akhirnya membuahkan hasil bahwa budaya individualis lebih
terbuka dalam mengekspresikan emosi marah yang meraka rasakan dibandingkan dengan
orang Jepang.
Menurut Navis (1986), orang Minang memiliki motivasi tinggi untuk hidup
bersaing secara kontinu dalam pencapaian kemuliaan, kecerdasan, dan kekayaan,
sehingga orang Minang cenderung lebih berani dan terbuka. Berbeda dengan etnis
Minang, menurut Suciati dan Agung (2017), orang Melayu memiliki karakteristik khas,
yaitu bersikap fungsional dalam mengakomodasi perbedaan-perbedaan, Nilai-nilai emosi
dalam kebudayaan Melayu mampu diterima oleh seluruh golongan masyarakat
dikarenakan ekspresi emosi orang Melayu yang lebih netral daripada bentuk ekspresi
emosi antara buadaya Jawa yang tidak ekspresif dengan budaya Batak serta Minangkabau
yang lebih ekspresif.
Ekman dan Izard (dalam Matsumoto, 2008) mendapatkan bukti pertama yang
sistematis dan konklusif tentang keuniversalan ekspresi anger atau marah, disgust atau
jijik, fear atau takut, happiness atau senang, sadness atau sedih, dan suprise atau terkejut.
Keuniversalan ini bermakna bahwa konfigurasi mimik muka masing-masing emosi
tersebut secara biologis bersifat bawaan atau innate, serupa untuk semua orang dari
segala budaya atau etnisitas. Dengan demikian, siapapun dan dari budaya manapun yang
mengalami dari salah satu emosi ini seharusnya mengekspresikannya secara sama persis.
Akan tetapi, secara intuitif, sering ditemukan adanya perbedaan budaya dalam ekspresi
emosi, seperti misalnya orang dari suku Batak tampak berbeda dengan suku Sunda dalam
mengespresikan kemarahan atau kesedihan. Menurut Ekman (dalam Matsumoto, 2008),
masing-masing kebudayaan memiliki perangkat aturan sendiri yang mengatur cara emosi
universal tersebut diekspresikan. Aturan ini mengatur kecocokan kapan ditampilkannya
masing masing emosi tersebut, tergantung pada situasi sosial.
Takut Merasakan bahaya yang disebabkan oleh hal yang tak terduga,
kejadian yang baru, dan benar benar tidak ada harapan untuk
melakukan sesuatu
c. Pengenalan emosi
Ada pula penelitian yang dilakuakan oleh Ima Ni’mah Chudari (2013) mengenai
perbandingan ekspresi emosi pada mahasiswa yang berasal dari pesisir pantai dengan
yang berasal dari pegunungan di Banten Barat dengan subjek mahasiswa PGSD
Univesitas Pendidikan Indonesia, tepatnya di Kampus Serang yang tergabung dalam tiga
kelas, menempuh pendidikan di semester dua, dalam rentang tahun akademik 2011
hingga 2012 dengan klasifikasi mahasiswa yang berasal dari pegunungan berjumlah 18
orang dan dari daerah pantai yang berjumlah 13 orang.
Namun, pada saat pelaksanaan observasi hanya hadir 21 orang, yang terdiri dari
sembilan orang dari pegunungan dan dua belas orang dari pesisir, dengan komposisi lima
belas orang wanita dan enam orang laki-laki. Hasil penelitiannya terbukti bahwa tidak
terdapat perbedaan ekspresi emosi marah, gembira, takut atau ngeri, dan sedih yang
mencolok di antara mahasiswa yang berasal dari daerah pegunungan dan daerah pesisir
pantai di Banten Barat. Hal ini memperlihatkan budaya antara kedua daerah di Banten
Barat tidak berbeda dalam mengatur ekspresi emosi.
Menurut Wade & Tavris (2008), emosi memiliki pola fisiologis yang berbeda-
beda dan menghasilkan gurat ekspresi raut wajah yang berbeda-beda pula.
Secara fisiologis, emosi dikawal oleh sistem saraf. Sistem saraf terbagi atas saraf
pusat dan saraf periferi. Saraf pusat adalah otak dan saraf tunjang, sedangkan saraf
periferi terbagi pada sistem saraf otonom dan somatik. Sistem saraf somatik mengawal
aktivitas otot rangka, sedangkan sistem saraf otonom mengawal aktivitas organ visera
seperti jantung, perut, usus, saluran darah kecil pada kulit, otot, dan aktivitas kelenjar
keringat. Jika sistem saraf terangsang oleh stimulus luar yang membuat seseorang merasa
takut, maka akan terlihat tangannya dingin, berpeluh, merasa ingin membuang air kecil
atau air besar, dan seterusnya. Jika merasa malu, maka muka akan terlihat kemerah-
merahan. Jika merasa senang, maka muka akan terlihat berseri-seri, dan lain sebagainya.
Hal ini karena sistem saraf otonom telah terangsang (Goleman, 1995).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa orang dari budaya yang berbeda setuju
terhadap pesan emosi yang paling menonjol yang disampaikan dalam ekspresi wajah
universal. Yrizarry, Matsumoto, dan Wilson-Cohn (dalam Matsumoto & Juang, 2013)
melaporkan bahwa ketika menilai ekspresi marah, orang Amerika dan Jepang sepakat
bahwa kemarahan adalah emosi yang paling menonjol yang digambarkan dalam ekspresi
wajah. Namun, orang Amerika lebih menunjukkan ekspresi marah bila sedang merasa
jijik dan mengalami penghinaan, sedangkan orang Jepang lebih menunjukkan ekspresi
marah jika sedang mengalami kesedihan. Senyum adalah tanda umum dari ucapan,
pengakuan atau penerimaan, yang mana secara general, senyuman dapat diartikan
bermacam-macam. Senyum dapat digunakan untuk menutupi emosi dan masing-masing
budaya memiliki perbedaan dalam menggunakan senyuman. Misalnya ketika individu
sedang mengalami kegelisahan atau kesedihan, maka ketika sedang berkomunikasi
sedikit mungkin akan menyembunyikan perasaan aslinya dengan tetap menampilkan
senyum (Asri & Chusniah, 2016).
BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
Masing-masing kebudayaan memiliki ciri, identitas, dan karakteristiknya sendiri,
termasuk dalam perihal emosi. Nilai-nilai emosi, baik dari persepsi, ekspresi yang
ditampilkan, perilaku emosi, dan interpretasi itu sendiri amatlah beragam, didasarkan
pada tiap-tiap budaya dan tidak bisa disamaratakan. Munculnya nilai-nilai emosi yang
berbeda-beda pada budaya-budaya tertentu, merupakan internalisasi yang dilatar-
belakangi oleh sejarah yang pernah dialami bangsa dengan kebudayaan tersebut,
akulturasi budaya, globalisasi, dan faktor-faktor lainnya, sehingga lahirlah persepsi,
stereotip, dan interpretasi mengenai emosi-emosi yang tak pernah terlepas dari segi-segi
kehidupan manusia sebagai makhluk yang mengalami proses mental kompleks.
3.2. SARAN
Demikianlah materi yang menjadi pembahasan dalam makalah ini penulis
sampaikan. Emosi dalam psikologi lintas budaya merupakan suatu hal yang sangat
menarik untuk dipelajari. Oleh karena itu, penulis berharap selanjut-selanjutnya akan
banyak penelitian terbaru mengenai emosi dalam psikologi lintas budaya yang menilik
budaya-budaya lain yang belum pernah disorot sebelumnya.
Pun tentunya, ada banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, penulis
juga berharap, para pembaca dapat memberikan kritik dan saran yang membangun untuk
kami. Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menjadi salah satu referensi
yang menambah wawasan dalam ranah psikologi lintas budaya.
DAFTAR PUSTAKA
Asri, Dahlia Novrianing & Tutut Chusniah. (2016). Emosi Ditinjau dari Perspektif
Multibudaya. Malang: Prosiding Seminar Nasional Psikologi Indigenous
Indonesia 2016.
Chudari, Ima Ni’mah. (2013). Perbandingan Ekspresi Emosi pada Mahasiswa yang
Berasal dari Pesisir Pantai dengan yang Berasal dari Pegunungan di Banten
Barat (Studi Awal Konseling Multikultural pada Mahasiswa PGSD UPI Kampong
Serang). Ta’dib, 16 (2).
Ekman, Paul., dkk. (1987). Universals and Cultural Differences in the Judgements of
Facial Expressions of Emotion. Journal of Personality and Social Psychology, 53
(4), 712 – 717.
Harahap, Basyral & Hotman Siahaan. (1987). Orientasi Nilai-Nilai Budaya Batak.
Jakarta: Sanggar William Iskandar.
Keltner, D., dkk. (2003). Facial Expresion of Emotion. Handbook of Affective Sciences.
United Kingdom: Oxford University Press.
Kudoh, Taku & David Matsumoto. (1985). Cross-Cultural Examination of the Semantic
Dimensions of Body Postures. Journal of Personality and Social Psychology, 48
(6), 1440 – 1446.
Kurniawan, Aditya Putra & Nida U. I. Hasanat. (2007). Perbedaan Ekspresi Emosi pada
Beberapa Tingkat Generasi Suku Jawa di Yogyakarta. Jurnal Psikologi, 34 (1), 1 –
17.
Lahey, B. B. (2007). Psychology: An Introduction, Ninth Edition. New York: The
McGraw-Hill Companies.
Matsumoto, David & Linda Juang. (2013). Culture and Psychology: 5th Edition.
Belmont, CA: Wadsworth / Thompson.
Navis, A. A. (1986). Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau.
Jakarta: PT. Pustaka Grafitipers.
Sabilla, Bilqis Nur., dkk. (2019). Kemampuan Mengenal Emosi Melalui Ekspresi Wajah
Ditinjau dari Perbedaan Gender pada Mahasiswa di Yogyakarta. Hasil Penelitian
Eksperimen 2019: Cluster Tema: Emotion, Perception, Attention, and Mood, 38 –
44.
Safdar, S., dkk. (2009). Variations of Emotional Display Rules Within and Across
Culures: A Comparison Between Canada, USA, and Japan. Canadian Journal of
Behavioral Science, 41 (1), 1 – 10.
Schachter, S., & J. Singer. (1962). Cognitive, Social, and Physiological Determinants of
Emotional State. Psychological Review, 69 (5), 379 – 399.
Shimoda, K., M. Argyle., & P. Ricci Bitti. (1978). The Intercultural Recognition of
Emotional Expressions by Three National Racial Groups: English, Italian, and
Japanese. European Journal of Social Psychology, 8 (2), 169 – 179.
Suciati, Rina & Ivan Muhammad Agung. (2016). Perbedaan Ekspresi Emosi Pada Orang
Batak, Jawa, Melayu, dan Minangkabau. Jurnal Psikologi, 12 (2).
Wade, Carole & Carol Tavris. (2008). Psikologi (Jilid 1). Jakarta: Penerbit Erlangga.
Wijayanti, Herlani & Fivi Nurwianti. (2010). Kekuatan Karakter dan Kebahagiaan pada
Suku Jawa. Jurnal Psikologi, 3 (2), 114 – 122.
Yegorof, Oleg. (2017). Kenapa Orang Rusia Jarang Tersenyum? Russia Beyond:
Discover Russia. Diakses pada 7 November 2020, dari https://id.rbth.com/
discover_russia/2017/05/09/kenapa-orang-rusia-jarang-tersenyum_qyx759179.