Anda di halaman 1dari 29

PSIKOLOGI LINTAS BUDAYA:

EMOSI DALAM PSIKOLOGI LINTAS BUDAYA

Anggota :

Asti Ramadhany (G1C118001)


Ghina Syauqila (G1C118009)
Imas Masriyah (G1C118025)
Putri Irina Munawwarah (G1C118051)
Witri Rima Nadia (G1C118053)
Indah Canesya Gazwami (G1C118063)

Dosen Pengampu :

Agung Iranda, S.Psi, M.A.

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JAMBI
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakatuh...

Segala puji Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberikan kami kemudahan
dan kelancaran sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu.
Tanpa petolongan-Nya, tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah
ini dengan baik. Shalawat serta salam selalu terlimpah curahkan kepada baginda tercinta
kita, yaitu Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam yang kita nantikan syafaatnya di
akhirat kelak. Kami mengucapkan syukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas
limpahan nikmat sehat-Nya, baik berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga kami
mampu untuk menyelesaikan makalah sebagai tugas dari mata kuliah Psikologi Lintas
Budaya yang berjudul “Emosi dalam Psikologi Lintas Budaya”.

Terima kasih pula kepada dosen pengampu yang begitu kami hormati karena telah
mendidik dan membimbing kami, dengan penuh kerelaan dan keikhlasan menguntaikan
ilmu-ilmu beliau kepada kami. Tak lupa terima kasih juga kami sampaikan pada teman-
teman yang kami banggakan dan semua pihak yang telah turut serta membantu
tersusunnya makalah ini. Tanpa uluran tangan mereka, mungkin makalah ini akan cacat
dan tidak akan pernah mencapai kata selesai.

Kami tentunya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu kami
mengharapkan kritik serta saran dari pembaca dari makalah ini, supaya makalah ini
nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Demikian dan apabila terdapat
banyak kesalahan dari makalah ini, kami mohon maaf sebesar-besarnya.

Wassalamu ‘alaikum warrahmatullahi wabarakatuh...

Salam kami,

Kelompok 5
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ..................................................................................................... .... 2


Daftar Isi .................................................................................................................. 3
Bab I : Pendahuluan
1.1. Latar Belakang ........................................................................................ 4
1.2. Rumusan Masalah ................................................................................... 5
1.3. Tujuan ..................................................................................................... 5
1.4. Manfaat ................................................................................................... 5
1.5. Metode Penyusunan ................................................................................. 5

Bab 2 : Pembahasan
2.1. Pengantar Emosi ..................................................................................... 6
2.2. Pendekatan Emosi .................................................................................... 8
2.3. Teori-Teori Emosi ................................................................................... 9
2.4. Persepsi Emosi ........................................................................................ 11
2.5. Pengalaman Emosi .................................................................................. 14
2.6. Kategorisasi Emosi ................................................................................. 15
2.7. Lokasi Emosi .......................................................................................... 16
2.8. Perbedaan Makna Emosi dalam Perilaku Lintas Budaya ....................... 17
2.9. Perbedaan Kultural dalam Mendefinisikan Emosi ................................. 18
2.10. Ekspresi Emosi ........................................................................................ 19
2.11. Penelitian Lintas Budaya Mengenai Emosi ............................................. 22
2.12. Pola Fisiologis Emosi .............................................................................. 24

Bab 3 : Penutup
2.1. Kesimpulan ............................................................................................. 25
2.2. Saran ....................................................................................................... 25

Daftar Pustaka........................................................................................................... 27
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Manusia adalah makhluk hidup yang selalu terkait dengan emosi dalam
kesehariannya dalam sepanjang rentang kehidupannya, yang bahkan dalam sikap, proses
mental, dan perilaku manusia, peran emosi ikut berkontribusi penting. Misalnya dalam
pembentukan persepsi seseorang mengenai suatu stimulus yang baru, apabila dalam
mendapatkan stimulus yang baru tersebut seseorang mengalami emosi positif, maka
persepsi yang mengikuti mengenai stimulus tersebut juga akan turut positif. Namun,
sebaliknya, jika dalam menerima stimulus baru seseorang justru diikuti pengalaman tidak
menyenangkan, maka persepsi yang diperoleh sangat berpotensi menjadi persepsi yang
negatif.

Di dunia, manusia digolongkan dan diklasifikasikan dalam beragam ras, etnis,


kesukuan, dan budaya yang berbeda-beda dan masing-masingnya memiliki karakteristik
yang unik. Identitas kebudayaan yang dimiliki tiap-tiap manusia ini juga berperan krusial
dalam membentuk, mengatur, serta mengelola persepsi, stereotip, serta nilai-nilai moral
yang mencakup hal-hal mengenai emosi di dalamnya sesuai dengan makna dan tafsiran
yang dipercaya dan dianut oleh budaya-budaya tersebut, yang mana makna dan tafsiran
tersebut dapat diintegrasikan dari banyak faktor, seperti sejarah yang pernah
melatarbelakangi lahirnya atau berkembangnya suatu kebudayaan tertentu, nilai-nilai
eksternal yag diinternalisasikan ke dalam suatu kebudayaan, akulturasi budaya asing, dan
banyak hal lainnya. Nilai-nilai emosi dalam kebudayaan satu dengan kebudayaan lainnya
tidak bisa disamaratakan, justru keberagaman tersebutlah yang menjadi karakteristik khas
dan identitas unik dari kebudayaan-kebudayaan tersebut. Untuk itulah keilmuan
mengenai emosi lintas budaya ini dipelajari, untuk melihat dan memahami bagaimana
keberagaman emosi dalam kebudayaan yang satu dengan kebudayaan lainnya.
1.2. RUMUSAN MASALAH

Adapun rumusan masalah dari makalah ini yaitu bagaimana dinamika emosi dalam
berbagai kebudayaan dan hal-hal apa saja yang melandasinya, termasuk di dalamnya
persepsi emosi, pengalaman, keterkaitan peran fisiologis, perilaku emosi, ekspresi emosi,
dan lainnya sebagai bagian perhatian dari psikologi lintas budaya.

1.3. TUJUAN

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk melihat, mengetahui serta
memahami dinamika emosi dalam berbagai kebudayaan dan hal-hal apa saja yang
melandasinya, termasuk di dalamnya persepsi emosi, pengalaman, keterkaitan peran
fisiologis, perilaku emosi, ekspresi emosi, dan lainnya sebagai bagian perhatian dari
psikologi lintas budaya.

1.4. MANFAAT

Makalah ini memiliki manfaat sebagai sumber referensi yang memuat wawasan
mengenai psikologi lintas budaya, khususnya pada aspek-aspek emosi, di mana para
pembaca akan disuguhi pengetahuan tentang emosi pada psikologi lintas budaya,
penelitian-penelitian khusus tentang emosi berbagai kebudayaan yang intens, bagaimana
pandangan masing-masing kultur mengenai emosi, dan sebagainya. Semuanya akan
dikupas lengkap dalam makalah ini.

1.5. METODE PENYUSUNAN

Dalam penyusunan makalah ini, kami menggnakan proses pencarian terhadap


buku referensi yang relevan terhadap pembahasan emosi dalam psikologi lintas budaya.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. PENGANTAR EMOSI


Emosi adalah wujud atau ekspresi sebagai hasil manifestasi dari kognitif dan
keadaan fisiologis yang juga direfleksikan dari lingkungan sosial serta kultural seseorang
tersebut, yang di mana dalam lingkungan sosial serta kultural tersebut, tiap-tiap orang
akan mempelajari, memahami, dan menampilkan emosi sesuai dengan norma-norma
serta peraturan yang berlaku di lingkungan tersebut, misalnya emosi manakah yang boleh
diekspresikan, yang harus dipendam, bagaimana cara mengomunikasikan komunikasi,
dan sebagainya, yang mana hal ini menjadi nilai-nilai serta karakteristik yang unik serta
khas dari masing-masing kebudayaan (Kurniawan & Hasanat, 2007).

Berangkat dari hal ini, bagaimana dinamika emosi dalam masing-masing


kebudayaan berbeda-beda dan tidak bisa disamaratakan. Contohnya seperti mayoritas
budaya pada negara-negara di Asia, pesan komunikasi yang mengemas emosi di
dalamnya lebih sering diungkapkan secara tersirat atau implisit, sehingga pihak-pihak
yang menerima pesan tersebut belum tentu dapat memaknainya dengan arti sebenarnya.
Misalnya, di Jepang serta beberapa negara Asia lainnya, senyuman memiliki arti yang
krusial dalam berinteraksi dan bersosialisasi dengan lingkungan sosialnya, sekalipun
ekspresi yang mereka tampilkan tersebut bertentangan dengan emosi yang mereka
rasakan. Dengan kata lain, sekalipun seseorang tengah merasa sedih, takut, atau gelisah,
tiap bertemu orang lain, kebudayaan menuntut mereka untuk senantiasa memperlihatkan
senyum. Kebudayaan yang seperti ini cukup berbanding terbalik dengan negara-negara
Barat, contohnya Amerika.

Sebuah penelitian yang pernah diusung oleh Ekman dan Heider pada 1988 dengan
tujuan ingin melihat serta mengkomparasikan ekspresi emosi antara orang Jepang dan
orang Amerika dalam lingkup waktu yang kontras, yaitu kala mereka berada dalam
kesendirian dan berada di tengah-tengah kelompok, membuahkan dua hasil signifikan
sebagai berikut:

- Hasil pertama, dalam situasi sendiri, baik orang Jepang maupun orang Amerika
tidaklah menunjukkan disparitas ekspresi emosi, yang dengan kata lain, hal ini
berarti orang Jepang dan orang Amerika cenderung menunjukkan ekspresi yang
serupa dan senada dengan situasi mereka. Misalnya, ketika mereka merasa sedih
atau tertekan, mereka dapat mengekspresikannya dengan menangis.

- Hasil kedua, dalam situasi di tengah-tengah kelompok sosial, meski sedang dalam
keadaan yang menekan, orang Jepang didesak untuk tidak menampilkan ekspresi
emosi sebenarnya dan harus menebar senyum sekaligus tawa sepanjang ia bersama
orang lain, karena nilai kesopanan yang dijunjung di Jepang sangat-sangat tinggi
dan kompleks. Sedangkan di Amerika, orang-orang cenderung bebas menampilkan
ekspresi mereka pada orang lain, meski tentunya mereka juga harus dapat
menempatkan diri.

Dalam kultur di Nusantara sendiri, emosi dalam kebudayaan tiap-tiap daerah pun
memiliki karakteristik serta stereotipnya masing-masing. Contohnya seperti emosi pada
kebudayaan Jawa dan Sunda yang cenderung dianggap menampilkan sikap halus dan
santun, serta pada kebudayaan Batak yang cenderung dinilai acap kali menunjukkan raut
wajah yang keras dan berbicara dengan nada tinggi serta cenderung frontal dan berani.
Orang Batak mempersepsikan orang Jawa dan Sunda memang lembut dan spontan,
namun lemah dan enggan berterus terang. Jika orang Sunda menganggap orang Batak
keras dan kasar, orang Batak justru menilainya sebagai suatu kejujuran. Dan apa yang
bagi orang Jawa dan Sunda nilai sebagai kehalusan, ternyata dianggap orang Batak
sebagai kemunafikan dan kelemahan (Mulyana, 1999).

Masyarakat lokal dari budaya berbeda juga beragam dalam mengkategorikan atau
melabeli emosi. Beberapa kosakata Bahasa Inggris, seperti anger, joy, sadness, liking,
dan loving memiliki padanan dalam berbagai bahasa dan budaya. Ada pula kata-kata
emosi dalam bahasa lain yang tidak punya padanan persisnya dalam Bahasa Inggris, tapi
ada banyak kosakata dalam Bahasa Inggris yang tidak punya padanan dalam bahasa lain.
Misalnya, dalam Bahasa Jerman ada kata schadenfreude yang berati rasa senang yang
timbul karena kesialan orang lain. Dalam Bahasa Jepang ada kata-kata itoshii, ijirashii,
dan amae yang dapat diterjemahkan sebagai rasa rindu akan orang tercinta yang tak ada,
perasaan ketika melihat orang terpuji mengatasi suatu rintangan, dan perasaan
ketergantungan.

Perbedaan bahasa lintas budaya ini menunjukkan bahwa masing-masing budaya


memilah-milah dunia emosi dengan cara yang berbeda-beda. Dengan demikian, selain
konsep emosi merupakan khas budaya (culture bound), demikian pula dengan cara tiap
kebudayaan memberi kerangka dan melabeli dunia emosi. Emosi dapat ditampilkan
dalam berbagai ekspresi tingkah laku seperti melalui ekspresi wajah, suara, maupun pada
intonasi. Emosi cenderung bersifat fungsional, di mana emosi memberitahukan sesuatu
yang penting tentang hubungan kita pada stimulus yang menimbulkan emosi, membantu
tubuh untuk melakukan tindakan, dan memiliki makna sosial yang penting.

2.2. PENDEKATAN EMOSI

Terdapat dua bentuk pendekatan emosi menurut Matsumoto (2008) yaitu:

2.2.1. Pengalaman emosi

Ialah emosi yang berfokus pada pengalaman atau perasaan, yakni kondisi subjektif
yang masih berada dalam diri seseorang yang juga melibatkan bagaimana mekanisme
mental yang menjadikan hal tersebut dapat terlihat atau termanifestasikan dalam bentuk
raut wajah atau bahasa tubuh, baik verbal maupun nonverbal.

2.2.2. Ekspresi atau tampilan emosi

Ialah emosi yang berfokus pada bagaimana pengalaman emosi tersebut


ditampilkan melalui suara, mimik wajah, bahasa atau gestur. Dengan kata lain,
pendekatan emosi yang kedua ini lebih menyorot kepada emosi yang telah
termanifestasikan secara nyata dalam bentuk raut wajah atau bahasa tubuh, baik verbal
maupun nonverbal.

2.3. TEORI-TEORI EMOSI

Menurut Matsumoto (2008), ada beberapa teori mengenai emosi, yaitu:

2.3.1. Teori James-Lange

William James menyatakan bahwa stimulus emosional bermula dan diproses oleh
sensory relay centre atau biasa disebut talamus menuju ke sistem limbik, yang
memproduksi reaksi tubuh terhadap ketakutan atau kecemasan melalui hipotalamus dan
bagian simpatik di sistem saraf otonom. Sensasi dari reaksi tubuh ini kemudian dikirim
kembali ke cerebral cortex dan memproduksi apa yang kita rasakan di kesadaran, yaitu
emosi (Lahey, 2007).

Menurut James, emosi adalah hasil persepsi seseorang terhadap perubahan-


perubahan yang terjadi dalam tubuh sebagai respon terhadap rangsangan-rangsangan
yang datang dari luar. Misalnya, ketika seseorang melihat seekor harimau lepas dari
kandangnya, ia refleks berlari dengan cepat karena takut dengan jantung yang berdebar.
Perasaan takut tersebut memunculkan reaksi berlari dan jantung yang berdebar. Dapat
disimpulkan bahwa teori James-Lange menempatkan aspek persepsi terhadap respon
fisiologis yang terjadi ketika stimulus datang sebagai pemicu emosi yang dialami oleh
manusia. Perubahan-perubahan fisiologis itu diterjemahkan sebagai emosi (dalam Hude,
2006).

2.3.2. Teori Cannon-Bard

Walter Cannon menyatakan teori tentang emosi yang kemudian direvisi oleh
Philip Bard (1934). Canon meyakini bahwa informasi dari stimulus pertama dihantarkan
ke thalamus, barulah kemudian sinyal-sinyal rangsangan dikirim sekaligus ke cerebral
cortex yang memproduksi perasaan atau emosi, serta menuju ke hipotalamus dan sistem
saraf otonom yang memproduksi perubahan fisiologis. Menurut teori ini, kesadaran
dalam merasakan emosi dan pengaruh fisiologis bukanlah hal yang saling berkaitan
(Lahey, 2007).

Misalnya pada saat melihat harimau, maka hipotalamus melakukan dua hal secara
stimulatif. Pertama, ia menstimulasi sistem saraf otonom untuk memproduksi atau
mengaktifkan perubahan–perubahan fisiologis, seperti meningkatnya degup jantung,
napas yang cepat, dan sebagainya. Kedua, hipotalamus mengirim pesan ke cerebral
cortex dimana pengalaman emosi dirasakan (Hude, 2006).

2.3.3. Teori Kognitif

Teori ini menekankan bahwa interpretasi kognitif terhadap stimulus emosional


yang datang dari luar maupun dari dalam tubuh merupakan kunci dari emosi. Interpretasi
kognitif terjadi karena dua tahap:

a. Interpretasi stimulus dari lingkungan

Menyatakan bahwa seseorang tidak dipengaruhi kejadian tetapi interpretasi


kognitif mereka sendiri. Menurut teori kognitif ini, informasi dari stimulus pertama kali
berjalan menuju cerebral cortex, di mana di sana stimulus tersebut diinterprestasikan dan
dirasakan. Kemudian informasi tersebut akan ditransfer ke sistem limbik dan sistem saraf
otonom yang mengakibatkan terjadinya perubahan fisiologis.

b. Interprestasi stimulus dari tubuh karena adanya perubahan otonom

Schachter & Singer (1962) percaya bahwa perubahan emosi sangat tidak jelas dan
tidak spesifik untuk emosi yang berbeda. Hal ini disebabkan karena sistem saraf otonom
dan kelenjar endokrin aktif dengan cara yang sama dan tanpa memerhatikan emosi apa
yang sebenarnya dirasakan. Stimulus internal dari perubahan emosi yang disebabkan oleh
tubuh memainkan peran penting dalam proses merasakan emosi, tetapi hanya jika
interprestasi kognitif dianggap sebagai sumber dari perubahan itu. Contohnya, saat
seseorang merasa berdebar saat mendengar suara tembakan dari tetangga sebelah,
seseorang tersebut akan menginterprestasikan debaran itu sebagai rasa takut, tetapi jika
seseorang berdebar ketika mendapatkan kasih sayang, maka seseorang itu akan
menginterprestasikannya sebagai rasa cinta.

Dengan demikian, jelas bahwa sensasi otonom yang timbul dalam situasi
emosional tidak berbeda, itulah mengapa sering terjadi kesalahan dalam
menginterprestasikan sesuatu. Contohnya, keterbangkitan seksual diinterprestasikan
sebagai cinta.

Karena itu, Schachter dan Singer (1962) menyatakan bahwa perubahan otonom
yang menyertai seluruh emosi adalah sama, sehingga interprestasi kognitif yang
menyebabkan perubahan itulah yang penting. Perubahan otonom di dalam diri manusia
sebagai pola yang sedikit berbeda dapat diasosiasikan dengan beberapa emosi yang
berbeda pula, tetapi perbedaan itu sangatlah tipis (Lahey, 2007).

2.3.4. Teori-Teori Umum

Menurut Matsumoto (2008), ada juga beberapa teori umum yang disampaikan
dalam pengantar psikologi, seperti teori Thomkins serta Ekman dan Izard. Teori
Thomkins menyatakan bahwa emosi bersifat adaptif secara evolusioner dan bahwa
ekspresi merupakan bawaan biologis dan bersifat universal pada semua orang di budaya
manapun. Penelitian Ekman dan Izard menunjukkan bahwa terdapat enam emosi yang
termanifestasikan pada ekspresi wajah secara pankultural atau universal, yaitu gembira,
marah, jijik, takut, sedih, dan terkejut.

2.4. PERSEPSI EMOSI

Dalam Matsumoto (2008), dinyatakan bahwa ekspresi dari beberapa emosi bersifat
universal, maka pengenalan atau recognition dari emosi-emosi tersebut seharusnya juga
bersifat universal. Ekman, dkk (1987) melakukan penelitian perdana yang menunjukkan
bagaimana tiap budaya berbeda dalam mempersepsikan emosi. Mereka memperlihatkan
foto-foto keenam emosi universal (gembira, marah, jijik, takut, sedih, dan terkejut) pada
pengamat dari budaya-budaya yang berbeda. Selain memberi label pada masing-masing
foto emosi dengan memilih dari suatu daftar kata emosi pada subjek, para subjek juga
diminta untuk menilai seberapa kuat atau intens emosi yang diekspresikan, di mana foto-
foto ekspresi tersebut ditayangkan selama tiga puluh detik dan peserta dituntut untuk
merespon dengan cekatan sekaligus akurat untuk menunjukkan foto-foto mana yang
dinilai sebagai bentuk pengekspresian raut wajah dari enam emosi universal tadi. Para
subjek dari budaya beragam tersebut sepakat dalam hal emosi apa yang ditampilkan,
yang menunjukkan universalitas rekognisi emosi (Sabilla, dkk., 2019). Namun, terdapat
perbedaan antarbudaya dalam hal seberapa kuat mereka dapat mempersepsikan emosi.
Hasil penelitian berikutnya menunjukkan bahwa budaya-budaya Asia menilai intensitas
emosi-emosi tersebut lebih lemah dibandingkan budaya-budaya non Asia. Matsumoto
dan Ekman (1989) mereplikasi temuan ini, menunjukkan bahwa perbedaan kultural
dalam hal intensitas yang dipersepsikan tetap ada, baik ketika subjek menilai ekspresi
orang dari budayanya sendiri maupun dari budaya lain.

Perbedaan lintas budaya dalam hal atribusi intensitas terhadap stimulus emosi juga
menunjukkan eksistensinya. Menurut Matsumoto (2008), subjek-subjek ras Kaukasoid,
Negroid, Asia, Hispanik Amerika, serta Latino Amerika melihat contoh-contoh ekspresi
wajah emosi universal dan diminta untuk memberi penilaian tentang seberapa kuat
itensitas emosi menurut persepsi mereka. Hasil menunjukkan bahwa orang Negroid
mempersepsikan marah dan takut dengan intensitas lebih tinggi dari pada orang
Kaukasoid dan Asia, serta mepersepsikan ekspresi wanita dengan intensitas lebih tinggi
daripada orang Asia. Orang Hispanik juga mempersepsikan raut yang menunjukkan
perasaan takut lebih intens dibandingkan orang Asia.

Budaya juga mempengaruhi pelabelan emosi. Meski biasanya ada kesepakatan


antarbudaya dalam hal emosi apa yang ditampilkan oleh suatu ekspresi wajah, namun
tetap ada variasi dalam tingkat kesepakatan tersebut. Hal ini dibuktikan oleh penelitian
Matsumoto dan Ekman (1989) serta dinyatakan dalam Matsumoto (1992) bahwa
sebagian besar subjek dari Indonesia, Jepang, Perancis, Brazil, dan Amerika sepakat
bahwa suatu ekspresi wajah menunjukkan emosi takut, namun terdapat perbedaan pada
setiap budaya dalam hal seberapa banyak subjek yang sepakat bahwa ekspresi tersebut
menunjukkan emosi takut. 90% subjek di Amerika, Brazil, dan Perancis melabeli ekpresi
itu sebagai emosi takut, namun hanya 70% subjek di Jepang dan Indonesia yang
menyaepakati hal itu. Jenis perbedaan kultural dalam pelabelan emosi inilah yang di
temukan dalam penelitian yang lebih baru.

Penelitian-penelitian lain juga telah mendokumentasikan perbedaan kultural dalam


persepsi dan interpretasi emosi. Misalnya ada penelitian yang menunjukkan adanya
perbedaan kultural antara anak-anak Amerika dan Jepang, bahkan pada usia tiga tahun,
dalam pelabelan emosi dari petunjuk non-verbal (Matsumoto dan Kishimoto, 1983).
Penelitian lain melaporkan adanya perbedaan kultural dalam interpretasi perilaku non-
verbal lain seperti postur tubuh (Kudoh dan Matsumoto, 1987). Terakhir, ada sejumlah
penelitian yang masih terus berkembang yang menunjukkan bahwa orang dapat
mempersepsikan emosi lebih akurat pada orang-orang yang dari satu etnis daripada
ketika mempersepsikan etnis lain (Shimoda, Argyle, & Ricci Bitti, 1978).

Di Indonesia, pada umumnya masih sering terdengar stereotip-stereotip kesukuan


yang menunjukkan karakteristik pengungkapan emosi suatu kultur tertentu dalam proses
interaksi sosial. Misalnya, orang‐orang Jawa dan Sunda beranggapan bahwa mereka
halus dan sopan, dan orang‐orang Batak kasar, berwajah sangar, serta suka berbicara
dengan intonasi keras. Orang Batak sendiri menganggap bahwa mereka pemberani,
terbuka, suka berterus terang, pintar, rajin, kuat, dan tegar. Namun, orang‐orang Batak
menganggap orang Jawa dan Sunda lemah dan tidak suka berterusterang. Apa yang orang
Jawa dan Sunda anggap sebagai kekasaran, bagi orang Batak justru kejujuran. Apa yang
orang Jawa dan Sunda anggap kehalusan, bagi orang Batak adalah kemunafikan dan
kelemahan (Mulyana, 1999).

Beberapa ahli psikologi percaya bahwa budaya memiliki aturan yang mengatur
persepsi emosi, seperti halnya aturan pengungkapan yang mengatur ekspresinya. Aturan
tentang interpretasi dan persepsi ini di sebut aturan “dekode” atau “decoding rules”
(Buck, 1984). Aturan ini adalah aturan kultural, sesuatu yang dipelajari, yang membentuk
bagaimana orang di suatu budaya memandang dan menginterpretasikan ekspresi-ekspresi
emosi orang lain. Seperti aturan pengungkapan, aturan dekode dipelajari pada masa-masa
awal kehidupan, serta dipahami sedemikian baik sehingga seseorang tidak benar-benar
menyadari pengaruhnya. Dengan demikian, aturan dekode adalah seperti saringan budaya
yang mempengaruhi bagaimana kita menangkap ekspresi emosi orang lain.

Contoh lainnya adalah orang-orang Rusia. Orang-orang Rusia berpandangan


bahwa tersenyum pada orang asing adalah hal yang konyol, ganjil, aneh, dan dianggap
sebagai sebuah kebodohan. Tersenyum pada orang asing, di Rusia, merupakan sebuah hal
yang tabu dan bahkan bisa dibilang tidak sesuai dengan norma kesusilaan di sana. Bagi
orang Rusia, seulas senyuman adalah hal yang sangat berharga, spesial, dan tak pantas
diberikan untuk orang asing yang belum atau tak dikenal. Tak hanya itu, sebuah
senyuman, bagi orang Rusia, ialah tanda ketulusan, bukan keramahan—sehingga tak bisa
diberikan pada sembarang orang. Kontras dengan masyarakat Barat yang menganggap
senyuman adalah hal yang disuguhkan secara otomatis untuk memulai suatu percakapan
dengan orang asing, orang Rusia justru merasa waspada dengan kehadiran orang asing.
Hal ini dikarenakan kisah sejarah tidak menyenangkan yang mewarnai Negeri Beruang
Putih tersebut, di mana di masa lalu, Rusia acap kali bersinggungan dengan agresi-agresi,
baik dari bangsa lain ataupun internalnya sendiri, pun sebab hingga saat ini fenomena
catcalling marak terjadi di sana, menjadikan orang Rusia berpandangan bahwa mereka
harus selalu waspada serta tidak mudah memercayai orang asing. (Yegorof, 2017).

2.5. PENGALAMAN EMOSI

Saat ini, mulai banyak penelitian yang mempelajari bagaimana orang-orang dari
berbagai budaya mengalami emosi secara berbeda-beda. Salah satu penelitian tersebut
menguji kemungkinan perbedaan yang ada pada orang Eropa, Amerika, dan Jepang, yang
kemudian membuahkan hasil bahwa orang Jepang mengalami emosi senang, sedih, takut,
dan marah yang tidak sesering orang-orang Eropa serta Amerika. Sedangkan orang-orang
Amerika melaporkan bahawa mereka merasa lebih sering mengalami senang dan marah
daripada orang Eropa. Penelitian tersebut juga menunjukan hasil bahwa intensitas dan
durasi orang Amerika saat mengalami emosi lebih tinggi dari orang Eropa ataupun orang
Jepang.

Contoh lainnya, terdapat ciri yang menonjol pada orang Batak yang bersifat berani
dan kasar. Mereka tidak takut menuai konflik dengan seseorang yang mempunyai
kedudukan lebih tinggi. Orang Batak dianggap sebagaiorang-orang yang agresif dan
kasar karena banyak menimbulkan konflik terhadap masyarakat yang memiliki
kebudayaan yang berbeda (Harahap & Siahaan, 1987). Kajian lain menunjukkan pula
bahwa komunikasi yang melibatkan emosi dan kultur juga memberikan makna dalam
berkomunikasi. Kasus pertikaian antara Dayak dan Madura Sambas di Kalimantan adalah
cermin dari gagalnya proses komunikasi emosi. Seperti yang dikemukakan Rachbini
dalam Mulyana (1999), bahwa dalam berinteraksi sehari-hari suku Madura dipandang
warga setempat berkarakter kasar dan tidak mudah beradaptasi dengan Iingkungan. Di
sini semakin dapat dilihat bahwa orang-orang dari berbagai budaya mengalami emosi
secara berbeda-beda.

2.6. KATEGORISASI EMOSI

Kategorisasi dan penggolongan emosi pada setiap budaya memiliki kerangka yang
berbeda-beda. Setiap orang dari budaya yang berbeda juga akan beragam dalam hal
mengategorikan atau melabeli emosi. Beberapa kosakata bahasa Inggris seperti anger,
joy, sadness, dan loving memiliki persamaan kata dalam berbagai bahasa dan budaya.
Tetapi ada kosakata bahasa Inggris yang tidak memiliki persamaan dengan budaya
lainnya dan ada pula kata-kata emosi yang punya persamaan dalam bahasa Inggris
dengan budaya lainnya. Perbedaan bahasa dalam lintas budaya yang terjadi di berbagai
Negara ini menunjukkan bahwasanya masing masing budaya memilah-milah dunia emosi
dengan cara yang berbeda-beda.
2.7. LOKASI EMOSI

Emosi adalah perasaan intens yang disampaikan kepada seseorang atau kepada
suatu hal yang bisa berupa kata-kata, tulisan, ataupun perbuatan, baik itu negatif maupun
positif. Emosi menjadi gambaran dari karakter dan dapat dijadikan sebagai tolak ukur
karakter seseorang yang berkaitan dengan pengendalian diri dan kesabaran. Seringkali
dipertanyakan apakah emosi berhubungan dengan budaya atau kebiasaan yang berkaitan
dengan adat istiadat di mana orang tersebut tinggal, atau apakah emosi yang ditunjukkan
akan memiliki perbedaan ketika menghadapi permasalahan dan kasus yang sama.

Tiap budaya mengajarkan dari mana emosi itu berasal, yakni berdasarkan apa
yang diajarkan oleh pendahulu mereka dan diteruskan hingga generasi selanjutnya. Salah
satu contohnya ialah ada yang menganggap bahwa emosi berasal dari jantung manusia,
sehingga ketika emosi jantung akan terasa sakit dan berdetak lebih cepat yang akan
berdampak pada kesehatan jantung. Dalam kebudayaan tersebut orang yang memiliki
penyakit jantung dianggap terjadi karena emosi yang berlebihan.

Ada juga yang menganggap pada budayanya bahwa emosi berasal dari hati atau
dari otak yang juga akan berpengaruh pada kedua organ tersebut. Dari mana lokasi emosi
itu dianggap berasal, akan dihubungkan dengan cara penenangan diri ketika emosi dan
kemungkinan dampak buruk yang ditimbulkan jika terjadi emosi dalam diri.

Oleh karena itu, sering ditemui dalam budaya tertentu orang yang sedang emosi
lebih banyak menunjuk pada sesuatu seperti menunjuk pada kalimat yang berhubungan
dengan otak atau dari mana emosi itu dianggap, hal tersebut akan mempengaruhi pola
pikirnya sendiri, yang di mana jika terjadi sesuatu di organ yang berhubungan ia akan
menganggapnya sebagai bagian dampak dari emosi. Beberapa negara tertentu
menempatkan perkara emosi kebanyakan pada berlokasi pada area tubuh. Orang Jepang
misalnya, mengidentifikasi banyak emosi mereka pada hara alias abdomen atau perut.
Orang Chewong dari Malay mengelompokkan perasaan dan pikiran di hati atau liver,
sedang orang Tahiti percaya bahwa emosi muncul dari usus atau intestine (Matsumoto,
2008). Perbedaan kultural dalam konsep, definisi, pelabelan, dan lokasi emosi membuat
makna emosi menjadi berbeda bagi orang dari budaya yang berbeda serta dalam perilaku
mereka.

2.8. PERBEDAAN MAKNA EMOSI DALAM PERILAKU LINTAS BUDAYA

Budaya dapat mempengaruhi persepsi seseorang terhadap emosi, hal itu akan
menentukan tingkah laku seseorang mengenai penerimaan atau penolakan yang akhirnya
akan menjadikan emosi yang negatif atau emosi yang positif, misalnya ialah budaya di
jaman dahulu di mana perempuan diwajibkan terus menerus di dalam rumah, tidak
diperbolehkan untuk bisa membaca, dan tidak diperbolehkan melawan lelaki. Budaya
tersebut akhirnya menimbulkan rasa pertentangan dan menimbulkan luapan emosi hingga
budaya tersebut mulai dihilangkan dengan emansipasi dan kini menjadi lebih terbuka,
setiap lelaki dan wanita berhak menyampaikan emosi dengan cara yang benar dan cara
yang sama, perempuan tidak menjadi sosok yang selalu di bawah dan sosok yang selalu
menurut.

Perubahan persepsi emosi karena budaya tersebut pun menimbulkan dampak


positif dan negatif. Dampak positifnya perempuan menjadi lebih berkembang, namun
memiliki dampak negatif pula yaitu banyaknya perempuan yang tidak bisa menjaga
emosinya dan bahkan terlihat lebih besar dari emosi yang dimiliki lelaki, tentunya hal itu
dapat diambil pelajaran bahwa setiap budaya selalu memiliki hal positif dan wajib dianut
serta dikembangkan hal yang menjadi alasan kebaikan tersebut.

Menurut psikologi Amerika, emosi mengandung makna personal yang amat


kental. Barangkali karena psikologi Amerika memandang perasaan batin (inner feeling)
yang subjektif sebagai karakteristik utama yang mendefinisikan emosi. Jika seseorang
telah mendefinisikan emosi dengan cara ini, maka peran utama yang dipegang emosi
adalah memberi informasi pada kita tentang diri seseorang tersebut sendiri, yakni
bagaimana seseorang mendefinisikan dan mengidentifikasi dirinya dipengaruhi oleh
emosinya sebagai sesuatu yang personal, privat, sebagai pengalaman batin.
Namun demikian, dalam budaya lain memiliki peran yang berbeda. Misalnya
banyak budaya yang menganggap emosi sebagai pernyataan-pernyataan tentang
hubungan antar orang dan lingkungannya, yang mencakup baik benda-benda maupun
hubungan sosial dengan orang lain. Bagi orang Ifaluk di Mikronesia maupun orang
Tahiti, emosi merupakan pernyataan mengenai hubungan-hubungan sosial dan
lingkungan fisik. Konsep Jepang amae yang biasanya dianggap sebagai suatu emosi yang
penting dalam kebudayaan Jepang, menunjuk pada hubungan saling-tergantung
(interdependen) antara dua orang (Matsumoto, 2008).

2.9. PERBEDAAN KULTURAL DALAM MENDEFINISIKAN EMOSI

Menurut Matsumoto, dkk (2008), perbedaan budaya mempengaruhi ekspresi


emosi. Ekman (dalam Keltner dkk., 2003) menemukan bahwa ada beberapa emosi yang
pada dasarnya dimiliki dan diartikan sama oleh beberapa orang dari latar belakang lintas
budaya yang berbeda-beda. Emosi yang universal tersebut adalah marah, muk, jijik,
takut, bahagia, sedih, dan terkejut.

Terdapat sebuah penelitian tentang ekspresi emosi lintas budaya yang pernah
dilakukan oleh Safdar, dkk (2009) yang bertujuan untuk membandingkan ekspresi emosi
antara orang Amerika Serikat dan Kanada yang individualis dengan orang Jepang yang
kolektif, yang mana pada akhirnya membuahkan hasil bahwa budaya individualis lebih
terbuka dalam mengekspresikan emosi marah yang meraka rasakan dibandingkan dengan
orang Jepang.

Di Indonesia, sebuah penelitian ekspresi emosional pernah dilantaskan oleh


Kurniawan dan Hasanat (2007) yang menjelaskan ekspresi emosi pada generasi budaya
Jawa, yang menunjukkan hasil bahwa tidak terdapat perbedaan ekspresi emosi
antargenerasi pada suku Jawa di Yogyakarta. Matsumoto (2008) menambahkan bahwa
budaya mempengaruhi ekspresi emosi karena dalam kebudayaan, individu belajar untuk
memilih reaksi emosional yang tepat ketika berhadapan dengan peristiwa dan tempat
tertentu, baik di tempat pribadi atau di tempat umum.
Memahami karakter, khususnya dalam berkomunikasi dengan orang Jawa,
Melayu, Batak dan Minangkabau merupakan suatu yang menarik, karena setiap suku
memiliki ciri khas dalam berkomunikasi, terutama dalam mengekspresikan emosinya.
Suku Batak terkenal dengan keterbukaan, spontanitas, dan keagresifannya, baik secara
fisik atau verbal. Orang Batak juga sering memilih untuk mengekspresikan rasa
marahnya tersebut dibandingkan orang Jawa yang cukup sering memendam
kemarahannya. Wijayanti dan Nurwianti (2010) menjelaskan bahwa orang Jawa akan
menerima apapun yang terjadi padanya tanpa ada upaya untuk menolak atau menghindar,
suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, dan sangat berhati hati dalam berbicara. Orang
Jawa tidak terlalu ekspresif dalam mengutarakan emosinya.

Menurut Navis (1986), orang Minang memiliki motivasi tinggi untuk hidup
bersaing secara kontinu dalam pencapaian kemuliaan, kecerdasan, dan kekayaan,
sehingga orang Minang cenderung lebih berani dan terbuka. Berbeda dengan etnis
Minang, menurut Suciati dan Agung (2017), orang Melayu memiliki karakteristik khas,
yaitu bersikap fungsional dalam mengakomodasi perbedaan-perbedaan, Nilai-nilai emosi
dalam kebudayaan Melayu mampu diterima oleh seluruh golongan masyarakat
dikarenakan ekspresi emosi orang Melayu yang lebih netral daripada bentuk ekspresi
emosi antara buadaya Jawa yang tidak ekspresif dengan budaya Batak serta Minangkabau
yang lebih ekspresif.

2.10. EKSPRESI EMOSI

Ekman dan Izard (dalam Matsumoto, 2008) mendapatkan bukti pertama yang
sistematis dan konklusif tentang keuniversalan ekspresi anger atau marah, disgust atau
jijik, fear atau takut, happiness atau senang, sadness atau sedih, dan suprise atau terkejut.
Keuniversalan ini bermakna bahwa konfigurasi mimik muka masing-masing emosi
tersebut secara biologis bersifat bawaan atau innate, serupa untuk semua orang dari
segala budaya atau etnisitas. Dengan demikian, siapapun dan dari budaya manapun yang
mengalami dari salah satu emosi ini seharusnya mengekspresikannya secara sama persis.
Akan tetapi, secara intuitif, sering ditemukan adanya perbedaan budaya dalam ekspresi
emosi, seperti misalnya orang dari suku Batak tampak berbeda dengan suku Sunda dalam
mengespresikan kemarahan atau kesedihan. Menurut Ekman (dalam Matsumoto, 2008),
masing-masing kebudayaan memiliki perangkat aturan sendiri yang mengatur cara emosi
universal tersebut diekspresikan. Aturan ini mengatur kecocokan kapan ditampilkannya
masing masing emosi tersebut, tergantung pada situasi sosial.

Matsumoto (2008) menggambarkan model pemicu emosi secara general, yakni


sebagai berikut:

a. Perilaku ekspresif pada umumnya

Ketika emosi-emosi terbangun, mereka akan memicu serangkaian kejadian yang


salah satunya disebut “perilaku ekspresif”. Berikut adalah gambaran mengenai emosi dan
perilaku yang memanifestasikannya serta pemicu munculnya emosi (Matsumoto, 2008).

EMOSI FAKTOR PSIKOLOGIS YANG MENDASARI EMOSI

Bahagia Tercapainya sebuah tujuan

Marah Adanya sesuatu yang mencegah seseorang untuk mencapai tujuan

Sedih Tidak diberikan apa yang diharapkan dan diinginkan

Benci Ditolak atau menolak sesuatu

Takut Merasakan bahaya yang disebabkan oleh hal yang tak terduga,
kejadian yang baru, dan benar benar tidak ada harapan untuk
melakukan sesuatu

Terkejut Mengetahui sesuatu yang baru

Jijik Merasakan ketidaksukaan yang sangat terhadap seseorang atau


sesuatu
Malu dan Merasakan tanggung jawab yang besar terhadap seseorng, yang
bersalah bertentangan dengan standar (norma, moral, adab dsb) yang
dimiliki atau berlaku

b. Respon psikologis terhadap emosi pada umumnya

Ekman, dkk (dalam Matsumoto, 2008) mengemukakan bahwa masing-masing dari


emosi umum yang universal, ketika diisyaratkan oleh ekspresi umum, memiliki sebuah
perbedaan dan memiliki ciri tersendiri. Misalnya di Cina dan Eropa, hasil penelitian
ditunjukkan hasil yang serupa dengan temuan sebelumnya, demikian pula penelitian yang
dilakukan di Minangkabau, Sumatera Barat, Indonesia, juga menunjukan respon
psikologis yang serupa. Temuan-temuan tersebut mengindikasikan bahwa emosi
membantu setiap individu untuk memberikan respon atau tanggapan yang dipicu oleh
tubuh, seperti contohnya rasa takut memicu seseorang untuk melarikan diri, atau ketika
marah, tubuh menyiapkan diri untuk berkelahi atau mempertahankan diri.

c. Pengenalan emosi

Berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh dari berbagai penelitian yang dilakukan,


yakni bahwa emosi merupakan fenomena psikologis yang bersesuaian dengan evaluasi
spesies. Seseorang terlahir dengan membawa seperangkat emosi dasar yang secara
biologis alias pembawaan lahir maupun secara genetis. Emosi-emosi itu membantu
manusia menilai suatu kejadian dengan cara yang dapat dipercaya.

d. Pengaruh perbedaan budaya terhadap emosi

Meskipun ekspresi wajah universal secara biologis bersifat bawaan sebagai


prototype raut wajah pada semua orang, namun budaya punya pengaruh besar pada
ekspresi emosi lewat aturan aturan pengungkapan yang dipelajari secara kultural. Karena
kebanyakan interaksi antara manusia pada hakekatnya bersifat sosial, orang-orang dari
latar belakang budaya yang berbeda mengekspresikan emosi secara berbeda juga.
e. Pendekatan konstruksionis budaya mengenai emosi

Dengan menggunakan pendekatan konstruktionis, para peneliti melihat emosi


sebagai sebuah rangkaian “membagi naskah secara sosial” yang terdiri dari faktor-faktor
psikologis, perilaku, dan komponen subjektif. Mereka berpendapat bahwa naskah
tersebut mampu membuat individu terikat pada budaya di mana mereka lahir dan
berinteraksi. Oleh karena itu, emosi menggambarkan lingkungan budaya dimana individu
berkembang dan hidup di dalamnya, serta terkait di dalamnya moral dan etika. Karena
perbedaan budaya memiliki perbedaan realitas dan idealitas yang menghasilkan
perbedaan kebutuhan dan tujuan psikologis, mereka menghasilkan tendensi emosional
yang berbeda-beda dalam kebiasaanya.

2.11. PENELITIAN LINTAS BUDAYA TENTANG EMOSI

Terdapat beberapa penelitian lintas budaya tentang emosi yang dilakukan di


Indonesia, yaitu penelitian yang diusung oleh Rina Suciati dan Ivan Muhammad Agung
tahun 2017 mengenai perbedaan ekspresi emosi pada orang Batak, Jawa, Melayu, dan
Minangkabau yang mana subjeknya terdiri dari 102 orang bersuku Batak, 106 orang
bersuku Jawa, 104 orang bersuku Melayu, dan 101 orang bersuku Minangkabau. Secara
keseluruhan, subjek dapat digambarkan berdasarkan jenis kelamin dengan subjek laki-
laki berjumlah 179 orang dan perempuan berjumlah 234 orang, yang kemudian
membuahkan hasil bahwa secara umum terdapat perbedaan ekspresi emosi pada suku
Batak, suku Jawa, suku Minangkabau, dan suku Melayu, yang mana suku Minangkabau
disimpulkan sebagai suku yang paling ekspresif dalam mengekspresikan emosinya,
kemudian dilanjutkan oleh suku Batak, suku Jawa, dan yang terakhir adalah suku
Melayu. Sementara dalam konteks lingkungan, terdapat perbedaan ekspresi emosi antara
di rumah sendiri dan di tempat umum. Perbedaannya adalah bahwa di rumah sendiri,
ekspresi emosi diekspresikan lebih ekspresif dibandingkan dengan di tempat umum.

Berdasarkan jenis emosi, laki-laki lebih ekspresif mengungkapkan jenis emosi


yang cenderung powerful atau menggunakan kekuatan, yaitu emosi marah dan muak
dibandingkan dengan perempuan. Sementara perempuan lebih ekspresif mengekspresikan
jenis emosi powerless yang mencerminkan ketidakberdayaan, yaitu jijik, takut, dan sedih,
serta emosi positif, yaitu bahagia dan terkejut dibandingkan dengan laki-laki (Suciati &
Agung, 2016).

Ada pula penelitian yang dilakuakan oleh Ima Ni’mah Chudari (2013) mengenai
perbandingan ekspresi emosi pada mahasiswa yang berasal dari pesisir pantai dengan
yang berasal dari pegunungan di Banten Barat dengan subjek mahasiswa PGSD
Univesitas Pendidikan Indonesia, tepatnya di Kampus Serang yang tergabung dalam tiga
kelas, menempuh pendidikan di semester dua, dalam rentang tahun akademik 2011
hingga 2012 dengan klasifikasi mahasiswa yang berasal dari pegunungan berjumlah 18
orang dan dari daerah pantai yang berjumlah 13 orang.

Namun, pada saat pelaksanaan observasi hanya hadir 21 orang, yang terdiri dari
sembilan orang dari pegunungan dan dua belas orang dari pesisir, dengan komposisi lima
belas orang wanita dan enam orang laki-laki. Hasil penelitiannya terbukti bahwa tidak
terdapat perbedaan ekspresi emosi marah, gembira, takut atau ngeri, dan sedih yang
mencolok di antara mahasiswa yang berasal dari daerah pegunungan dan daerah pesisir
pantai di Banten Barat. Hal ini memperlihatkan budaya antara kedua daerah di Banten
Barat tidak berbeda dalam mengatur ekspresi emosi.

Penelitian mengenai variasi aturan tampilan emosional di dalam dan di seluruh


budaya yang melibatkan perbandingan antara Kanada, Amerika Serikat, dan Jepang juga
pernah dilakukan oleh Safdar, S., dkk (2009) dengan tujuan untuk membandingkan antara
budaya Kanada dan Amerika Serikat yang individualis dan berbanding terbalik dengan
Jepang yang cenderung kolektif, dengan menyertakan subjek penelitian sebanyak 835
mahasiswa. Hasil penelitiannya menujukkan budaya Kanada dan Amerika Serikat lebih
terbuka dalam mengekspresikan emosi kemarahan, jijik, kegembiraan, dan kejutan yang
mereka rasakan dibandingkan dengan orang Jepang. Sedangkan orang Jepang tidak
terlalu permisif dalam mengekspresikan emosi-emosi tersebut.
2.12. POLA FISIOLOGIS EMOSI

Menurut Wade & Tavris (2008), emosi memiliki pola fisiologis yang berbeda-
beda dan menghasilkan gurat ekspresi raut wajah yang berbeda-beda pula.

Secara fisiologis, emosi dikawal oleh sistem saraf. Sistem saraf terbagi atas saraf
pusat dan saraf periferi. Saraf pusat adalah otak dan saraf tunjang, sedangkan saraf
periferi terbagi pada sistem saraf otonom dan somatik. Sistem saraf somatik mengawal
aktivitas otot rangka, sedangkan sistem saraf otonom mengawal aktivitas organ visera
seperti jantung, perut, usus, saluran darah kecil pada kulit, otot, dan aktivitas kelenjar
keringat. Jika sistem saraf terangsang oleh stimulus luar yang membuat seseorang merasa
takut, maka akan terlihat tangannya dingin, berpeluh, merasa ingin membuang air kecil
atau air besar, dan seterusnya. Jika merasa malu, maka muka akan terlihat kemerah-
merahan. Jika merasa senang, maka muka akan terlihat berseri-seri, dan lain sebagainya.
Hal ini karena sistem saraf otonom telah terangsang (Goleman, 1995).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa orang dari budaya yang berbeda setuju
terhadap pesan emosi yang paling menonjol yang disampaikan dalam ekspresi wajah
universal. Yrizarry, Matsumoto, dan Wilson-Cohn (dalam Matsumoto & Juang, 2013)
melaporkan bahwa ketika menilai ekspresi marah, orang Amerika dan Jepang sepakat
bahwa kemarahan adalah emosi yang paling menonjol yang digambarkan dalam ekspresi
wajah. Namun, orang Amerika lebih menunjukkan ekspresi marah bila sedang merasa
jijik dan mengalami penghinaan, sedangkan orang Jepang lebih menunjukkan ekspresi
marah jika sedang mengalami kesedihan. Senyum adalah tanda umum dari ucapan,
pengakuan atau penerimaan, yang mana secara general, senyuman dapat diartikan
bermacam-macam. Senyum dapat digunakan untuk menutupi emosi dan masing-masing
budaya memiliki perbedaan dalam menggunakan senyuman. Misalnya ketika individu
sedang mengalami kegelisahan atau kesedihan, maka ketika sedang berkomunikasi
sedikit mungkin akan menyembunyikan perasaan aslinya dengan tetap menampilkan
senyum (Asri & Chusniah, 2016).
BAB III
PENUTUP

3.1. KESIMPULAN
Masing-masing kebudayaan memiliki ciri, identitas, dan karakteristiknya sendiri,
termasuk dalam perihal emosi. Nilai-nilai emosi, baik dari persepsi, ekspresi yang
ditampilkan, perilaku emosi, dan interpretasi itu sendiri amatlah beragam, didasarkan
pada tiap-tiap budaya dan tidak bisa disamaratakan. Munculnya nilai-nilai emosi yang
berbeda-beda pada budaya-budaya tertentu, merupakan internalisasi yang dilatar-
belakangi oleh sejarah yang pernah dialami bangsa dengan kebudayaan tersebut,
akulturasi budaya, globalisasi, dan faktor-faktor lainnya, sehingga lahirlah persepsi,
stereotip, dan interpretasi mengenai emosi-emosi yang tak pernah terlepas dari segi-segi
kehidupan manusia sebagai makhluk yang mengalami proses mental kompleks.

Emosi dapat dibahasakan atau dikomunikasikan secara verbal maupun nonverbal,


serta dimanifestasikan melalui sikap ataupun perilaku yang tampak, yang mana hal ini
dikembalikan dan bersesuaian lagi dengan makna serta norma-norma yang melibatkan
emosi di dalam kebudayaan tertentu. Makna serta norma-norma yang melibatkan emosi
inilah yang dipelajari, dipahami, dan dianut masyarakat pada suatu kultur sedari dini
hingga melekat menjadi bagian identitas dirinya yang sulit terpisahkan. Makna dan
norma-norma inilah yang mengatur kapan emosi dapat dikeluarkan, interpretasi dari
ekspresi emosi, dan bagian fisiologis apa yang terkait dengan emosi.

3.2. SARAN
Demikianlah materi yang menjadi pembahasan dalam makalah ini penulis
sampaikan. Emosi dalam psikologi lintas budaya merupakan suatu hal yang sangat
menarik untuk dipelajari. Oleh karena itu, penulis berharap selanjut-selanjutnya akan
banyak penelitian terbaru mengenai emosi dalam psikologi lintas budaya yang menilik
budaya-budaya lain yang belum pernah disorot sebelumnya.
Pun tentunya, ada banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, penulis
juga berharap, para pembaca dapat memberikan kritik dan saran yang membangun untuk
kami. Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menjadi salah satu referensi
yang menambah wawasan dalam ranah psikologi lintas budaya.
DAFTAR PUSTAKA

Asri, Dahlia Novrianing & Tutut Chusniah. (2016). Emosi Ditinjau dari Perspektif
Multibudaya. Malang: Prosiding Seminar Nasional Psikologi Indigenous
Indonesia 2016.

Buck, R. (1984). The Communication of Emotion. New York: Guilford Press.

Chudari, Ima Ni’mah. (2013). Perbandingan Ekspresi Emosi pada Mahasiswa yang
Berasal dari Pesisir Pantai dengan yang Berasal dari Pegunungan di Banten
Barat (Studi Awal Konseling Multikultural pada Mahasiswa PGSD UPI Kampong
Serang). Ta’dib, 16 (2).

Ekman, Paul., dkk. (1987). Universals and Cultural Differences in the Judgements of
Facial Expressions of Emotion. Journal of Personality and Social Psychology, 53
(4), 712 – 717.

Goleman, Daniel. (1995). Emotional Intelligence. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Harahap, Basyral & Hotman Siahaan. (1987). Orientasi Nilai-Nilai Budaya Batak.
Jakarta: Sanggar William Iskandar.

Hude, M. Darwis. (2006). Emosi: Penjelajahan Religio Psikologis. Jakarta: Erlangga.

Keltner, D., dkk. (2003). Facial Expresion of Emotion. Handbook of Affective Sciences.
United Kingdom: Oxford University Press.

Kudoh, Taku & David Matsumoto. (1985). Cross-Cultural Examination of the Semantic
Dimensions of Body Postures. Journal of Personality and Social Psychology, 48
(6), 1440 – 1446.

Kurniawan, Aditya Putra & Nida U. I. Hasanat. (2007). Perbedaan Ekspresi Emosi pada
Beberapa Tingkat Generasi Suku Jawa di Yogyakarta. Jurnal Psikologi, 34 (1), 1 –
17.
Lahey, B. B. (2007). Psychology: An Introduction, Ninth Edition. New York: The
McGraw-Hill Companies.

Matsumoto, David & Paul Ekman. (1989). American-Japanese Cultural Differences in


Intensity Ratings of Facial Expressions of Emotion. Motivation and Emotion, 13
(2), 143 – 157.

Matsumoto, David & Hiromu Kishimoto. (1983). Developmental Characteristics in


Judgements of Emotion from Nonverbal Vocal Cues. International Journal of
Intercultural Relations, 7 (4), 415 – 424.

Matsumoto, David & Paul Ekman. (1989). American-Japanese Cultural Differences in


Judgements of Facial Expressions of Emotion. Motivation and Emotion, 13, 143 –
157.

Matsumoto, David. (1992). American-Japanese Cultural Differences in the Recognition


of Universal Facial Expressions. Journal of Cross-Cultural Psychology, 20, 92 –
105.

Matsumoto, David. (2008). Pengantar Psikologi Lintas Budaya. Yogyakarta: Pustaka


Pelajar.

Matsumoto, David & Linda Juang. (2013). Culture and Psychology: 5th Edition.
Belmont, CA: Wadsworth / Thompson.

Mulyana, D. (1999). Nuansa-Nuansa Komunikasi: Meneropong Politik dan Budaya


Komunikasi Masyarakat Kontemporer. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Navis, A. A. (1986). Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau.
Jakarta: PT. Pustaka Grafitipers.

Sabilla, Bilqis Nur., dkk. (2019). Kemampuan Mengenal Emosi Melalui Ekspresi Wajah
Ditinjau dari Perbedaan Gender pada Mahasiswa di Yogyakarta. Hasil Penelitian
Eksperimen 2019: Cluster Tema: Emotion, Perception, Attention, and Mood, 38 –
44.
Safdar, S., dkk. (2009). Variations of Emotional Display Rules Within and Across
Culures: A Comparison Between Canada, USA, and Japan. Canadian Journal of
Behavioral Science, 41 (1), 1 – 10.

Schachter, S., & J. Singer. (1962). Cognitive, Social, and Physiological Determinants of
Emotional State. Psychological Review, 69 (5), 379 – 399.

Shimoda, K., M. Argyle., & P. Ricci Bitti. (1978). The Intercultural Recognition of
Emotional Expressions by Three National Racial Groups: English, Italian, and
Japanese. European Journal of Social Psychology, 8 (2), 169 – 179.

Suciati, Rina & Ivan Muhammad Agung. (2016). Perbedaan Ekspresi Emosi Pada Orang
Batak, Jawa, Melayu, dan Minangkabau. Jurnal Psikologi, 12 (2).

Wade, Carole & Carol Tavris. (2008). Psikologi (Jilid 1). Jakarta: Penerbit Erlangga.

Wijayanti, Herlani & Fivi Nurwianti. (2010). Kekuatan Karakter dan Kebahagiaan pada
Suku Jawa. Jurnal Psikologi, 3 (2), 114 – 122.

Yegorof, Oleg. (2017). Kenapa Orang Rusia Jarang Tersenyum? Russia Beyond:
Discover Russia. Diakses pada 7 November 2020, dari https://id.rbth.com/
discover_russia/2017/05/09/kenapa-orang-rusia-jarang-tersenyum_qyx759179.

Anda mungkin juga menyukai