Anda di halaman 1dari 19

MIMPI DAN ALAM KESADARAN PSIKOLOGI PROFETIK

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Psikologi Profetik

Dosen Pengampu: Agus Hermawan, M. A.

Disusun Oleh:

Aminzah Fatmawati 43040190071

Devani Indah Miranti 43040190075

Durr Haqqiy Nazila 43040190115

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI ISLAM


FAKULTAS DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
2021
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Puji syukur senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
segala limpahan rahmat, bimbingan dan petunjuk serta hidayah-Nya, sehingga kami dapat
menyelesaikan penyusunan makalah ini dengan lancar. Makalah ini disusun dalam rangka
memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Profetik yang berjudul Mimpi dan Alam Kesadaran
Psikologi Profetik.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa penulisan dan penyusunan makalah ini tidak
mungkin terselesaikan dengan baik tanpa bantuan dan dukungan dari semua pihak.

Akhir kata, kami meminta maaf atas kesalahan serta kekhilafan dan juga banyaknya
kekurangan penulisan dalam makalah ini. Kami berharap semoga makalah ini bisa
bermanfaat bagi semua pihak. Semoga Allah SWT memberikan petunjuk serta rahmat-Nya
kepada kita semua.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Bergas, 27 November 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................1
A. Latar Belakang................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...........................................................................................................1
C. Tujuan.............................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................3
A. Pengertian Mimpi............................................................................................................3
B. Macam-macam Mimpi....................................................................................................4
C. Mimpi dalam Hadist dan Al-Quran.................................................................................5
D. Kesadaran Manusia dalam Mimpi..................................................................................9
E. Kedudukan Mimpi dalam Psikologi Profetik................................................................13
BAB III PENUTUP................................................................................................................15
A. Simpulan.......................................................................................................................15
B. Saran..............................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................16

ii
BAB I
PENDAHULUAN
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bagi sebagian orang, mimpi dianggap hanya sebagai bunga tidur. Mimpi
merupakan bagian dari kehidupan manusia. Meski mimpi termasuk pengalaman
pribadi, namun ia juga merupakan fenomene universal yang memainkan peranan
penting dalam pembentukan kebudayaan manusia. Mimpi merupakan suatu hal yang
tidak pernah terlepas dari kehidupan manusia. Manusia merasa bahwa ia terlibat
sekaligus sebagai pengamat dalam khidupan ini. Kebanyakan dari manusia, baik itu
sadar atau tidak, larut dalam lika-liku perjalanan hidup dari makhluk yang bernama
manusia. Manusia berkorelasi dengan lingkungan di sekitar dan akan selalu mencari
dan mendapatkan sesuatu yang dirasakan sanggup memenihi hasrat dan kebutuhan
hidupnya. Seseorang bekerja dengan giat agar tuntutan hidupnya terpenuhi, terikat
dengan kodratnya sebagai makhluk yang harus berusaha untuk mendapatkan sesuatu.
Mimpi merupakan sesuatu yang ghaib. Setiap manusia pasti telah
merasakannya, ia datang tidak terduga, kadang diharapkan kehadirannya dan kadang
tidak diharapkan kehadirannya. Setiap kali bermimpi akan berlalu begitu saja. mimpi
hanyalah hiasan manis dalam tidur tergantung kondisi pikologis orang yang
bersangkutan. Tetapi tidak sedikit orang yang mempercayai bahwa mimpi-mimpi
tertentu merupakan isyarat baik dan buruk yang akan menimpa diri
seseorang.sehingga bagi mereka yang pernah bermimpi berusaha mencari tahu apa
yang akan terjadi dalam kehidupannya.
Dalam pandangan islam tidak semua mimpi mengandung kebenaran. Mimpi
para nabi dan kekasih Allah adalah mimpi yang merupakan wahyu dari Allah, yang
benar dan sakral. Mimpi orang-orang salih hampir selalu benar dan bermakna.
Rasulullah SAW bersabda “Mimpi yang benar merupakan satu bagian dari empat
puluh enam cabang kenabian.” “mimpi yang baik dari seseorang laki-laki yang saleh
adalah satu bagian dari 46 bagian kenabian.” (H.R. Bukhari).

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari mimpi?
2. Apa saja macam-macam mimpi?
3. Bagaimana mimpi dalam hadist dan Al Quran?

1
4. Bagaimana kesadaran manusia dalam mimpi?
5. Bagaimana kedudukan mimpi dalam psikologi profetik?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari mimpi.
2. Untuk mengetahui macam-macam dari mimpi.
3. Untuk mengetahui mimpi dalam hadist dan Al Quran.
4. Untuk mengetahui kesadaran manusia dalam mimpi.
5. Untuk mengetahui kedudukan mimpi dalam psikologi profetik.

2
BAB II
PEMBAHASAN AN
A. Pengertian Mimpi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Praktis (Yuwono, 1994), mimpi
adalah sesuatu yang dialami seseorang pada waktu atau saat tidur. Sementara itu
menurut Nir dan Tonomi (2009), mimpi merupakan pengalaman psikologis yang
terjadi dalam tidur seseorang. Mimpi terjadi dengan hadirnya gambaran, ide, emosi,
dan sensasi yang terjadi di luar kendali subjek dalam kondisi tidurnya. Pengertian
mimpi secara terminologi yang banyak dikemukakan oleh para ahli atau pakar ilmu
agama, Al-Ushaimy (2004) mengartikan mimpi adalah serangkaian keyakinan dan
pemandangan yang di transfer oleh Allah kedalam hati hambanya melewati malaikat
atau saiton. Persis dengan kata hati yang melintas didalam fikiran dan hati seseorang
ketika kita tidur. Terkadang datang dalam bentuk rangkaian yang utuh dan terkadang
datang dengan bentuk yang terpisah-pisah.
Dalam Al-Quran mimpi diistilahkan degan Al-ru’ya yang artinya penglihatan
dalam keadaan tidur, disebut juga al-busyra yang berarti kabar gembira, sedikit
berbeda dengan al-ru’yah yang artinya melihat dengan mata kepala. (M.Quraisy
Syihab:7 :506). Ditemukan pengruh Al-Quran yang sangat jelas pada penjelasan para
folosofi tentang mimpi. Ibnu Sina menjelaskan bahwa mimpi yang benar terjadi
sebagai akibat dari hubungan jiwa dengan makhluk atau alam malaikat pada saat tidur
(akal aktif) dan diperoleh wahyu atau ilham darinya. Adapun mimpi yang kacau balau
menurutnya terjadi lantaran pengaruh sensasi fisik.
Menurut Al- Farabi pada saat manusia tidur, daya imajinasi dapat mengakses
sketsa-sketsa indrawi yang disimpan. Selanjutnya daya imajinasi menyusun dan
mesisahkan sketsa-sketsa tersebut dan kemudian melakukan imitasi dengan menyusun
sketsa indrawi yang tersimpan sesuai dengan pengaruh yang manusia alami pada saat
tidur. Begitupun dengan Ibn Khaldun, beliau memaparkan bahwa mimpi adalah
sebuah kesadaran yang timbul dalam jiwa rasional yang berada pada jiwa sepiritual,
maka bentuk-bentuk peristiwa itu memiliki eksitensi yang aktual didalamnya,
sebagaimana yang terjadi dengan semua esensi sepiritual lainnya.

B. Macam-macam Mimpi
Mimpi yang benar menurapakan gambaran yang benar menurut akal batiniah,
mengungkapkan kebenaran yang kokoh, yang tersimpan dalam benak, yang

3
bahasanya benar, dan menunjukkan makna yang benar. Macam-macam mimpi itu
sebagai berikut:
1. Mimpi yang benar dan jadi kenyataan
Mimpi ini menginformasikan tentang kebenaran dalam mimpi. Mimpi ini
terbagi menjadi 3 yaitu:
a. Mimpi yang transparan, jelas, nyata, dan kata-katanya menerangkan
kenyataan, karena isi mimpi tidak memerlukan penjelasan.
b. Mimpi yang tersembunyi, tersamar, dan mengandung hikmah serta
pemberitahuan. Jenis mimpi ini memerlukan penafsiran.
c. Mimpi yang baik, mimpi ini menginformasikan kabar baik dari Allah Swt,
misalnya memimpikan kebaikan, seperti bermimpi bertemu dengan Nabi saw
atau bertemu dengan sahabat-sahabat Nabi dan orang-orang yang soleh.
2. Mimpi simbolis atau bisikan
Mimpi ini bersifat metaforis dan harus ditafsirkan. Mimpi ini dipahami dengan
cara yang sama seperti memahami pribahasa lolos dari mulut harimau masuk ke
mulut buaya, yang berarti bahwa seseorang pindah dari suatu bahaya ke bahaya
lainnya (Dee:2001). Mimpi simbolis atau bisikan adalah mimpi yang terjadi dan
dapat menjelaskan masalah yang rumit yang sedang dihadapi dalam kehidupan
dan tidak mampu memberikan pemecahan yang sesuai, pemecahan tampak dalam
bentuk gambaran atau simbol yang logis.
3. Mimpi yang menakutkan
Mimpi yang menakutkan adalah mimpi yang mengingatkan akan bahaya yang
mengancam atau suatu pengaruh yang mengaggu. Mimpi yang mungkin benar
adalah gambaran yang merefleksikan berbagai pikiran atau perubahan manusia.
Perilakukan ketika sadar disampaikan kepada hatinya, lalu dia melihat perilaku
tersebut didalam mimpi. Mimpi kosong atau mimpi yang tidak bermakna yaitu
bagian-bagiannya tidak bisa difahami atau kejadinya tidak dapat diingat secara
sistematis, maka dari masalahnya tidak singkron dengan masalah pokok.
Halusinasi dan mimpi bejimak, mimpi yang menakutkan, mengejutkan, mimpi
hantu dan mimpi perbuatan hasud. Mimpi tentang peristiwa yang telah terjadi.
Mimpi yang kacau balau, yaitu mimpi yang dialami manusia ketika mengalami
kegalauan jiwa (ushaimy,2004).

4
Al-kindi (Najatin, 2002) membicarakan tentang empat masalah mimpi dan
menafsirkan sebab terjadinya. Empat macam ini adalah:
1. Al-ru’ya al-tanbi’iyyah, yaitu mimpi dimana orang melihat segala sesuatu yang
belum terjadi.
2. Al-ru’ya al-Ramziyyah, yaitu mimpi dimana orang dapat melihat segala sesuatu
yang menunjukan atas sesuatu yang lain atau melambangkan sesuatu yang lain.
3. Mimpi dimana orang dapat melihat sesuatu yang menunjukan atas kebalikannya.
4. Mimpi dimana orang melihat sesuatu yang tidak benar.

C. Mimpi dalam Hadist dan Al-Quran


1. Mimpi dalam Hadist
Dalam hadis Abu Hurairah yang dihimpun oleh Muslim disebutkan pula tiga
jenis ru’ya, yaitu (1) mimpi baik yang merupakan kabar gembira dari Allah, (2)
mimpi yang menyusahkan yang datang dari syaithan dan (3) mimpi yang
disebabkan oleh perhatian manusia terhadap sesuatu atau hal-hal yang telah
berada di alam bawah sadarnya (Yumimah, 2018: 95). Ibnu Sirin berkata ada dua
macam mimpi yaitu: yang hak (benar) dan yang bathil (tidak benar).
Adapun mimpi yang hak adalah mimpi yang dilihat seseorang dalam keadaan
jiwa yang stabil, tidak sedang memikirkan atau mengharap sesuatu. Sedangkan
mimpi yang bathil adalah mimpi yang berasal dari bisikan hati, cita-cita,
keinginan, mimpi bercampur (seksual) juga mimpi yang menakutkan dan
membuat pilu hati yang berasal dari syaithan maka mimpi seperti ini tidak ada
tafsirannya (Ibrahim 2013 :26).
Karena mimpi itu berbeda maka cara menyikapinya pun juga tidak sama
antara satu dengan yang lainnya seperti sikap terhadap mimpi yang baik harus
dibedakan dengan sikap terhadap mimpi yang buruk maka disini peneliti akan
menjelaskan beberapa sikap yang harus oleh (shahib al-ru‘ya) orang yang
bermimpi. Sebagaimana yang disinggung sebelumnya bahwa mimpi bermacam-
macam maka cara menyikapinya pun tidak sama. Beberapa sikap yang harus
dilakukan oleh seseorang terhadap mimpi yang dihadapinya lebih banyak tertuang
dalam hadis-hadis nabi saw.

Pertama, untuk tidak menceritakannya.

5
Mimpi akan terjadi sesuai dengan yang ditafsirkan seperti seseorang yang
mengangkat kakinya dia menunggu kapan akan meletakkannya. Bila sesorang
diantara kalian bermimpi maka janganlah menceritakannya kecuali kepada orang
yang dapat memberI nasihat atau kepada seorang yang alim.

Dalam hadis ini tersimpan pesan yaitu agar mimpi tidak diceritakan
sembarangan hendaknya mimpi tidak diberitahukan kecuali kepada orang yang
dapat memberi nasihat atau orang alim yang mengetahui tentang takwil mimpi itu
karena mereka akan memilih makna yang terbaik atau menyampaikan pelajaran
dan peringatan dari mimpi tersebut. Pada hadis yang lain berbunyi:

Mimpi itu berada di kaki burung selama tidak ditakwilkan. Maka jika
ditakwilkan, niscaya ia akan jatuh (terjadi)." Beliau bersabda: "Janganlah
menceritakan mimpi kecuali kepada orang yang mencintaimu dan yang
bijaksana mengerti takwil mimpi.

Dalam hadis ini tidak diperkenankan menceritakan mimpi kecuali kepada


dua jenis orang yaitu yang mencintai kita dan yang mengerti takwil mimpi karena
orang yang mencintai dan menyayangi kita tentu tidak menakwilkan mimpi kita
kecuali dengan takwil yang baik atau kita suka. Kalau ia tidak mengetahui
pelajaran dibalik mimpi setidaknya ia tidak membuat kita khawatir dan dzu ra’yi
artinya seorang yang mengerti tentang takwil mimpi ia akan memberitahukan
tentang takwil yang sebenarnya yang mendekati arti yang mungkin dalam mimpi
tersebut terkandung peringatan atas perbuatan jelek yang sedang kita lakukan
atau sebaliknya merupakan berita gembira sehingga kita bersyukur kepada Allah
SWT atas kabar gembira tersebut.
Juga hadis dari Abu Qatadah yang berbunyi:

6
Dari Abu Qatadah berkata bersabda Rasulullah saw: Mimpi yang baik itu
dari Allah swt.dan mimpi yang buruk dari syaithan maka barang siapa yang
mimpi sesuatu yang ia tidak senangi maka meludahlah ke sebelah kirinya dan
berlindung kepada Allah dari syaithan karena itu mimpi buruk tidak akan
mencelakainya. Dan janganlah mengabarkan kepada seorang pun dan barang
siapa mimpi baik maka bergembiralah dan jangan mengabarkannya kecuali
kepada yang ia cintai.
Pada hadis diatas mimpi buruk dinisbahkan kepada syaithan karena
syaithanlah yang mendatangkan khayalan-khayalan itu dan mimpi buruk itu tidak
ada hakikatnya. Bin Baz dalam fatwanya mengatakan yang disyariatkan bagi
orang yang bermimpi sesuatu yang tidak disukainya untuk meludah ke sebelah
kirinya saat terbangun tiga kali kemudian berlindung kepada Allah swt. dari
gangguan syaithan dan dari keburukan yang ia lihat sebanyak tiga kali setelah itu
ia berbalik kearah yang lain maka mimpinya itu tidak akan mendataangkan
keburukan kepadanya dan hendaknya ia tidak menceritakan mimpinya kepada
siapapun karena Nabi saw. menganjurkan hal-hal yang disebutkan tadi.
Kedua, menceritakan mimpi.
Mimpi yang baik dianjurkan untuk diceritakan kepada orang yang dicintai
seperti hadis yang diriwayatkan Bukhari berikut ini:

Mimpi yang baik berasal dari Allah swt, bila seseorang diantara kalian
melihat sesuatu yang kalian senangi jangan menceritakannya kecuali kepada
orang yang kalian cintai

Ketiga, memperhatikan waktu bermimpi.


Dari Abu Sa‟id al-Hudhri dari Nabi saw. bersabda: sebenar-benar mimpi
adalah mimpi diwaktu sahur. (At-Tirmidzi Juz 9 hal 29.)
Ada waktu-waktu dimana mimpi memberikan makna dan ada waktu yang
dominan berisikan kedustaan seperti mimpi saat matahari terbit atau mimpi-

7
mimpi diwaktu dilarang shalat lainnya.

Keempat, tidak menghiraukan mimpi yang buruk.

Diriwayatkan dari Abu Sa'id ra. bahwa dia pernah mendengar Nabi saw bersabda:
Apabila kamu mengalami mimpi yang kamu senangi, sebenarnya itu dari Allah,
maka pujilah Allah dan ceritakanlah. Apabila kamu mengalami mimpi buruk yang
tidak kamu senangi, sebenarnya itu dari syaithan, maka mohonlah perlindungan
kepada Allah dari kejelekan mimpi tersebut dan jangan kamu menceritakannya
kepada orang lain, karena mimpi tersebut tidak membuatmu celaka. (Al -Asqalani,
Juz 12: 519).
Mimpi buruk seringkali membuat seseorang bersedih dan menjadikan malas
beraktifitas padahal seperti yang dikatakan sebelumnya bahwa mimpi itu dugaan
dan seorang muslim harus menduga hal yang baik dan tidak boleh memperturutkan
kesedihannya untuk memikirkan gangguan syaithan kepadanya dan cukuplah
baginya mengetahui bahwa termasuk dari misi syaitan untuk membuat sedih hati
anak Adam dan itu tidak akan berakibat buruk baginya.
Kelima, memilih waktu yang tepat untuk menceritakan mimpinya dan waktu
yang paling tepat adalah waktu subuh
Rasulullah saw. sangat senang (ta‘ajub) dengan mimpi yang baik, dan
seringkali beliau sabdakan: "Apakah salah seorang dari kalian bermimpi?" maka
apabila ada seorang laki-laki yang bermimpi, beliau bertanya tentangnya, jika
mimpi tersebut tidak negatif, beliau merasa senang terhadap mimpi yang
diimpikannya. Dalam sebuah riwayat dikatakan:

Nabi saw. Setiap kali selesai mengerjakan shalat Subuh menghadapkan


wajahnya kepada para sahabat dan bertanya: Apakah tadi malam ada salah seorang
diantara kalian yang bermimpi (Muhammad Arpah N, 2016: 73-76).
2. Mimpi dalam Al-Quran

8
Dalam al-Quran mimpi diistilahkan dengan ‫ الرؤيا‬al-ru’ya yang artinya
penglihatan dalam keadaan tidur, disebut juga ‫ البشري‬al-busyra yang berarti kabar
gembira, sedikit berbeda dengan ru’yah yang artinya melihat dengan mata kepala
(M. Quraisy Syihab: 7: 506). Kata al-ru’ya dalam al-Quran disajikan dengan
bentuk dan perubahan sebagai berikut:
1) Dengan masdar yaitu lafaz yang tidak terikat oleh waktu yaitu lafaz ar-
ru’ya (penglihatan).
2) Dengan menggunakan fiil mudhari yaitu kata kerja yang menunjukkan
perbuatan yang sedang atau akan dilakukan seperti ara filmanam (aku
melihat dalam tidur) arani (kulihat diriku) inni ara (sesungguhnya aku
melihat).
3) Dengan fiil madhi yaitu bentuk kata kerja yang menunjukkan perbuatan
yang sudah dilakukan atau sudah terjadi seperti raaitu (aku telah melihat).

Selain al-ru‘ya al-Quran juga menggunakan kata al-hilm, berbeda dengan al-
ruya yang tidak didahului oleh sibuknya otak memikirkan sesuatu sebelum tidur dan
tidak ada campur tangan syaithan, sebagai contoh bila orang yang lapar menginginkan
makanan lalu dalam tidurnya dia melihat sesuatu yang ada hubungannya dengan
makanan maka itulah hilm bukan ru‘ya dan bila dalam tidur seseorang dia melihat
sesuatu yang bertentangan dengan aturan Allah maka itu merupakan mimpi dari
syaithan. Selain kedua istilah tadi dalam al-Quran juga kita temukan kata ‫أضغاث‬
(adghast) yang berarti bercampur atau kalut maka dia tidak memiliki arti, itu yang
digambarkan dalam surah Yusuf ayat 44 di mana para pembesar al-Malik (raja Mesir)
di masa Nabi Yusuf as. Menduga mimpi raja ketika itu sebagai adghas al ahlam
karena bercampurnya mimpi dengan mengatakan: itu adalah mimpi-mimpi yang
kosong dan kami sekali-kali tidak tahu menta'birkan mimpiitu." (Sya`rawi, Tafsir
Sya`rawi juz 10 hlm. 6037) . Adghatsu ahlam adalah merupakan mimpi yang sulit
ditafsirkan karena kekalutannya. Inilah yang kemudian banyak dikaji oleh psikolog
modern, karena mimpi ini terklasifikasi sebagai tampilan yang berupa simbol-simbol,
lambang dan sandi-sandi (Muhammad Arpah N, 2016: 63-64).

D. Kesadaran Manusia dalam Mimpi


Seperti telah diketahui, kebanyakan manusia menganggap bahwa dunia yang
manusia hadapi sehari-hari mutlak real, memiliki eksistensi dan dapat dibedakan dari
manusia sebagai subjek. Ketika sesuatu bisa dipersepsi indera manusia, maka saat itu

9
juga sesuatu tersebut dianggap ber-ada. Mustahil mengatakan bahwa seseorang baru
saja menabrak pohon “ilusi” sementara kepalanya berdarah karenanya. Pohon itu
pastilah merupakan suatu kenyataan, sama nyatanya dengan peristiwa menabrak
pohon itu sendiri.
Salah satu orang yang memiliki pandangan berbeda dari pandangan umum
mengenai keberadaan dunia adalah Svami Chinmayananda. Dalam kajiannya tentang
Mandukya Upanisad, salah satu dari Upanisad-Upanisad yang merupakan bagian dari
Veda, ia membahas kesadaran manusia dan hakikat keberadaan segala sesuatu secara
panjang lebar. Menurutnya, dunia fenomenal atau dunia objektif merupakan suatu
dunia yang dialami dalam keadaan jaga (Vaisvanara) yang sadar akan dunia objektif
indera-indera. Dunia objektif ini hanyalah suatu penumpangan terhadap atman,
dengan kata lain sebuah dunia yang hanya merupakan tipuan dari pikiran
(Chinmayananda, 1999: 118). Kejamakan dunia ini berasal dari pikiran yang tidak
paham akan hakikat kenyataan yang sebenarnya. Kenyataan hanya satu, yaitu Atman
yang meliputi segalanya. Pikiran hanya menumpang pada Atman, dan pikiranlah yang
menimbulkan dunia kejamakan atau dunia objektif ini. Pernyataan ini tentu saja bukan
sekedar bualan tanpa makna dan tidak bisa disejajarka dengan perkataan dari orang
gila yang tidak berpikir dahulu sebelum mengeluarkan sebuah klaim.
Manusia sadar akan apa yang dialaminya di dunia indrawi; kesadaran manusia
lah yang memungkinkan terjadinya persepsi. Kesadaran manusia ini memiliki empat
bidang kegiatan, yaitu keadaan jaga, keadaan mimpi, keadaan tidur lelap dan keadaan
Turiya. Tiap-tiap bidang kesadaran ini berbeda-beda satu sama lain. Dunia indera
(dunia luar) yang dialami manusia dalam Mandukya Upanisad disebut dengan
Vaisvanara, sebagai bidang pertama dari empat bidang kesadaran manusia. Keadaan
ini juga disebut dengan keadaan jaga, yaitu keadaan ketika panca indera manusia
bekerja secara normal, dalam arti bahwa organ indera masih aktif dalam mempersepsi
objek. Secara sederhana, keadaan jaga adalah ketika manusia tidak dalam keadaan
tidur. Keadaan jaga ini merupakan bagian dari kesadaran manusia yang paling banyak
berisi pengalaman dan pengetahuan. Ilmu dan pengetahuan dihasilkan manusia ketika
ia berada dalam keadaan ini. Keadaan jaga atau Vaisvanara adalah keakuan (ego)
yang menikmati keadaan kesadaran jaga dan yang sadar akan dunia objek-objek
indera. Ia menikmati wujud (indera penglihatan/mata), suara (indera
pendengaran/telinga), rasa (indera perasa/lidah), bau (indera penciuman/hidung) dan
sentuhan (indera peraba/kulit) (Chinmayananda, 1999: 29-30).

10
Pemikiran Barat biasanya mengartikan mimpi sebagai alam bawah sadar, jadi
bukan merupakan jenis kesadaran manusia. Ketika manusia bermimpi berarti ia
masuk dalam alam bawah sadar, yang jelas berbeda dengan alam kesadaran manusia.
Dalam Mandukya Upanisad, keadaan bermimpi juga merupakan suatu jenis
kesadaran. Keadaan mimpi merupakan jenis kesadaran yang kedua setelah keadaan
jaga (Vaisvanara). Keadaan mimpi berarti suatu keadaan kesadaran yang menarik diri
dari dunia luar (dunia objektif keadaan jaga) dan mempersamakan dirinya dengan
badan halus (Chinmayananda, 1999: 33). Objek-objek yang hadir dalam mimpi
berasal dari kesan-kesan selama manusia berada dalam keadaan jaga, sehingga apa-
apa yang timbul dalam mimpi tidak lain berasal dari pikiran si pemimpi sendiri. Dunia
objek indera Vaisvanara berpindah melalui pikiran menuju dunia mimpi. Jika pada
keadaan jaga, dunia objektif adalah dunia objek indera-indera yang diterima melalui
organ persepsi, maka pada keadaan mimpi dunia objektifnya adalah dunia objektif
batin yang berasal dari pikirannya sendiri.
Objek-objek yang ada di dalam mimpi tidaklah nyata, semuanya bersifat
khayal. Dalam mimpi semua objeknya diterima oleh mental manusia, sehingga
mustahil untuk mengatakan bahwa mimpi itu nyata. Misalnya, seorang manusia
bermimpi naik pesawat. Ketika manusia tersebut bangun, maka ia akan segera sadar
bahwa hal itu tidak mungkin terjadi, mengingat baru saja ia naik pesawat dan tiba-tiba
sudah berada di dalam kamarnya sendiri. Lagi pula, akan sangat menggelikan bila
mempercayai sebuah pesawat yang memasuki kamar tidur untuk kemudian
menghilang begitu saja, si pemimpi pun tidak pergi dan masih berada di kamar tidur.
Manusia bermimpi ketika ia tidur. Hal ini merupakan karakteristik umum
pertama dari keadaan bermimpi. Dalam keadaan tidur, mimpi dapat hadir dan
memberi semacam pengalaman tertentu. Sigmund Freud, pencetus psikoanalisis,
menyatakan bahwa mimpi dan tidur memiliki hubungan yang erat dan mimpi
hanyalah merupakan reaksi tidak teratur dan fenomena mental yang berasal dari
stimulasi fisik (Freud, 2002: 84-86). Ada titik persamaan antara Sigmund Freud dan
Mandukya Upanisad. Keduanya sama-sama menyatakan bahwa mimpi merupakan
kerja pikiran. Objek-objek yang terkumpul selama dalam keadaan jaga coba
dimunculkan kembali. Dalam kenyataannya, apa yang dimunculkan itu sering kali
berbeda bahkan bertentangan dengan keadaan selama berada di dunia indera. Hal ini
karena adanya kreasi dari pikiran, oleh sebab itu pikiran menjadi asal mula dari
keadaan mimpi.

11
Savami Chinmayananda dalam kajiannya tentang Mandukya Upanisad
menyebutkan beberapa alasan mengapa mimpi dikatakan sebagai tidak nyata. Salah
satunya adalah bahwa mimpi dikatakan sebagai tidak nyata karena objek-objek yang
dikenali dalam keadaan mimpi diterima di dalam diri manusia (Chinmayananda,
1999: 113). Ketika manusia bermimpi menaiki seekor gajah, dapat dipastikan bahwa
gajah itu tidak mungkin berada dalam diri manusia. Dalam diri manusia tidak
mungkin ada ruang atau tempat yang menampung keberadaan gajah tersebut. Kriteria
ruang ini menjadi alasan mengapa mimpi menaiki gajah, sebagai contoh, merupakan
suatu hal yang tidak nyata. Apabila ingin ditafsirkan, mungkin saja ada yang
berpendapat bahwa ketika seseorang bermimpi menaiki gajah sebenarnya itu
merupakan suatu keinginan yang terpendam. Ia sebenarnya punya keinginan untuk
bisa menaiki gajah di dunia nyata (indera), akan tetapi karena beberapa hal keinginan
tersebut belum dapat direalisasikan. Mungkin juga ada yang menafsirkan bahwa
orang tersebut pernah mendapat pengalaman buruk berkaitan dengan gajah, misalnya
terkena semprotan belalai gajah. Mimpi tersebut sebenarnya ingin menunjukkan
keinginan terpendam, bahwa ia sebenarnya lebih berkuasa daripada gajah. Mimpi
menaiki gajah diartikan sebagai simbol kekuasaan dirinya atas seekor gajah.
Sebagai kreasi dari pikiran, maka dapat dipastikan bahwa mimpi itu tidak
nyata, artinya bahwa mimpi tidak memiliki eksistensi yang nyata dalam realitas.
Pikiran mengolah kesan-kesan yang didapat dari keadaan jaga (dunia objektif indera)
dan kemudian memunculkannya dalam keadaan mimpi. Hasil dari pikiran yang
berkreasi ini seakan-akan terlihat begitu nyata dalam beberapa saat, namun seketika
menjadi berubah ketika terjaga dari tidur. Ada semacam kebingungan bila mengingat
peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam alam mimpi, kadang-kadang terasa kabur dan
tidak masuk akal.
Keadaan kesadaran yang ketiga adalah keadaan tidur lelap. Dalam keadaan
tidur lelap, pikiran dan kecerdasan beristirahat, akibatnya seluruh peralatan persepsi
berhenti bekerja. Keadaan ini seperti berada di sebuah dunia yang kosong. Keadaan
tidur lelap, yang disebut dengan Prajna, merupakan suatu pengalaman hidup ketika
manusia tidak berada dalam keadaan jaga (Vaisvanara) atau dalam keadaan mimpi
(Taijasa). Kesulitan dalam melukiskan keadaan ini mengakibatkan dipilihnya bahasa
penyangkalan (negasi) sebagai cara terbaik untuk mendefinisikannya. Penyangkalan
total dan ketidaktahuan merupakan satu-satunya pengalaman yang dialami dalam
keadaan tidur lelap (Chinmayananda, 1999: 35).

12
Keadaan yang dideskripsikan sebagai penyangkalan total dan ketidaktahuan
tersebut merupakan sebuah dunia yang gelap dan kosong. Dunia yang gelap dan
kosong dalam keadaan tidur lelap ini tidak dapat menghasilkan suatu pengetahuan.
Dalam keadaan ini, seseorang merasa tidak menjadi apapun; benar-benar suatu
keadaan yang susah untuk digambarkan, karena yang ada hanyalah kekosongan dan
ketidaktahuan. Bidang kesadaran yang melampaui ketiga kesadaran lain, yaitu
kesadaran dalam keadaan jaga (Vaisvanara), keadaan mimpi (Taijasa) dan keadaan
tidur lelap (Prajna) adalah suatu keadaan yang disebut Turiya. Keadaan Turiya
sebagai keadaan kesadaran tertinggi sulit dijelaskan. Svami Chinmayananda
menyatakan bahwa bahasa tidak dapat melukiskan Keberadaan Tertinggi (Tuhan).
Bahasa manusia adalah terbatas, tidak bisa mengungkapkan hal-hal yang sifatnya
tidak terbatas; Realitas Tertinggi melampaui bahasa manusia (Chinmayananda, 1999:
59).
Menurut Svami Chinmayananda, bahasa negasi atau bahasa penyangkalan
menjadi instrumen yang paling tepat untuk menggambarkan Realitas Tertinggi. Kata
“tidak” dan “bukan” sebagai kata-kata yang bersifat negatif menjadi kata-kata yang
seringkali digunakan; kata-kata ini memperoleh posisi yang istimewa dalam
penggambaran akan Realitas Tertinggi adalah “bukan ini, bukan ini” (neti, neti).
Bentuk kalimat-kalimat positif tidak berfungsi ketika mendefinisikan apa itu Realitas
Tertinggi. Turiya merupakan suatu keadaan yang mencerminkan Yang Absolut,
mengatasi tiga keadaan kesadaran yang masih diliputi dengan ketidaktahuan (Avidya)
(Faisal Yan Aulia, 2008: 3-8).

E. Kedudukan Mimpi dalam Psikologi Profetik


Menurut Al-Farâbî, menyatakan bahwa pada saat manusia tidur, daya
imajinasi dapat mengakses sketsa-sketsa inderawi yang disimpan. Selanjutnya daya
imajinasi menyusun dan memisahkan sketsa-sketsa tersebut dan kemudian melakukan
imitasi dengan menyusun sketsa inderawi yang tersimpan sesuai dengan pengaruh
yang manusia alami pada saat tidur. Terkadang daya imajinasi dapat menerima hal-hal
yang rasional karena menirunya dan hal-hal inderawi seperti yang ia khayalkan atau
dengan menirunya melalui hal-hal inderawi lainnya (al-Farabi, t.t.).
Menurut Ibnu Khaldun (2003), mimpi ialah sebuah kesadaran yang timbul
dalam jiwa rasional (an-Nafs an-Nathiqah), yang berada dalam spiritualnya, sebagai
percikan dari bentuk-bentuk peristiwa. Begitu jiwa itu menjadi jiwa spiritual, maka

13
bentuk-bentuk peristiwa itu memiliki eksistensi yang aktual didalamnya, sebagaiman
yang terjadi dengan semua esensi spiritual lainnya.
Shadiq (2003) mendefinisikan mimpi sebagai berikut: seorang mukmin, jika ia
tidur, maka Allah SWT menaikkan ruhnya lalu jika waktu wafatnya telah tiba, Allah
SWT pun menaruh ruh tersebut di taman surga dengan cahaya rahmat dan keagungan-
Nya. Jika ajalnya belum tiba, Allah pun menyuruh malaikat-Nya untuk
mengembalikan ruh tersebut ke jasad semula.
Dari pendapat ahli psikologi Islam di atas disimpulkan, bahwa tidur secara
jasmaniah merupakan kondisi istirahat manusia. Sewaktu tidur, komponen-komponen
biologis tertentu tidak aktif sampai ia terjaga. Secara ruhaniah, di saat tidur, ruh
manusia dapat melepaskan diri dari ikatan sunnah badan manusia untuk sementara
waktu. Tidur adalah pisahnya ruh dari jasad manusia. Jasad manusia tertidur,
sementara ruh tetap hidup (terjaga) dan dapat beraktivitas sesuai dengan sunnahnya.
Karena tidak terikat oleh sunnah badan, maka ruh dapat memainkan fungsinya dan
sunnahnya seluas-luasnya yang tidak terbatasi oleh ruang dan waktu. Di dalam tidur,
ruh mampu menembus segala alam tanpa ada halangan yang berarti, baik alam
empiris biologis maupun alam arwah.
Berbeda dengan psikologi Barat, analisis Freud dan yang semazhab dengannya
hanya berkutat ada area sensoris saja, Islam menjadikan mimpi sebagai hal yang
bermakna dan menarik seseorang pada nilai keimanan dan memiliki implikasi nyata
dalam kehidupan karena tidak terjadi dengan sendirinya, mimpi juga bukanlah
semata-mata aktivitas inderawi, pengendapan cita-cita, kelanjutan berpikir apa lagi
problem seksual dan nafsu seperti pada tafsir mimpinya Freud, Islam menjadikan
mimpi sebagai salah satu start mulainya taklif hukum yang diistilahkan dengan awal
baligh, lebih dari itu mimpi bisa jadi petunjuk atas sebuah kisah yang penuh ibrah
bagi rekonstruksi iman. Karena itu, Nabi gambarkan dalam hadisnya (Arpah, 2016):
“Ketika kiamat telah mendekat, mimpi seorang muslim hampir tidak ada dustanya.
Mimpi orang muslim adalah termasuk satu dari empat puluh enam bagian kenabian”.
Mimpi dalam psikologi Islam adalah sebuah hal yang diakui keberadaannya
karena terdapat dalam kedua sumber ajaran Islam yang tentunya memiliki fungsi dan
tujuan bahkan mimpi adalah bagian dari kenabian (Yuminah, 2018: 98-100).

14
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Dalam psikologi islam mimpi bukan hanya dorongan bawah sadar semata, tapi
lh dari itu mimpi merupakan interpretasi dari pengalaman yang diperoleh ruh selama
manusia berada dalam tidur. Saat tidur berlangsung ruh melepasakan diri dari tubuh
dan melancong keberbagai tempat dan kembali pada saat terbagun. Lebih lanjut,
psikologi islam mengatakan bahwa ruh ruh yang sedang melancong tersebut berada
didalam arwah di mana hukum ruang dan waktu dan segala dimensi tidak berlaku,
serta terbebas sementara waktu dari kotoran-kotoran tubuh dan hawa nafsu yang turut
membantu akal untuk menyelesaikan problem yang menyulitkannya dalam keadaan
terjaga.
Mimpi memiliki kedudukan yang tinggi dalam islam. Hal ini dibuktikan lewat
perhatian Al-Quran dan hadist terhadap mimpi. Dalam Al-Quran dikisahkan tentang
keinginan tentang keinginan Ibrahim as. Untuk menyembelih putranya yang
didasarkan atas mimpi yang ia alami, sedangkan sang putra Ismail as. Mematuhinya
sebagaimana yang dijelaskan dalam (QS.Ash-Shaffat:102-103) dan juga dalam surat
al-fath ditemukan kisah mimpi Nabi Muhammad Saw.tentang masuknya beliau ke
mekah bersama sahabatnya dengan aman dan ternyata mimpi itu terwujud dalam
tahun pembukaan kota mekah.

B. Saran
Semoga makalah ini dapat dibaca dengan baik dan benar sehingga kedepannya
bisa dikaji ulang oleh para pembaca sehingga kedepannya bisa menjadi makalah yang
baik dan benar. Semoga masyarakat yang membaca makalah ini, diharapkan bisa
memahami mengenai materi mimpi dan alam kesadaran psikologi profetik.

15
DAFTAR PUSTAKA

Aulia, Faisal Yan. 2008. Kesadaran Realitas: Kajian Svami Chinmayananda


terhadap Mandukya Upanisad. Jurnal Filsafat. Vol. 18. No. 1
Nurhayat, Muhammad Arpah. 2016. Mimpi dalam Pandangan Islam. Jurnal Ilmu
Agama: Mengkaji Doktrin Pemikiran, dan Fenomena Agama. Vol. 17. No. 1
Nuruddin Habibullah. 2016. Mimpi dalam Al-Quran (Pendekatan Psikologi Islam).
Yogyakarta: UIN Sunan Kali Jaga. Tesis.
Yuminah. 2018. Konsep Mimpi Dalam Perspektif Psikologi Islam: Studi Komparasi
Psikologi Islam Dan Psikologi Barat. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah. Jurnal Psikologi Islam. Vol. 5. No. 2.

16

Anda mungkin juga menyukai