Anda di halaman 1dari 24

Makalah

ATTACHMENT, EMPATI, DAN CINTA

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas

Mata Kuliah Psikologi Positif

Dosen Pengampu: Ibu Setyani Alfinuha, M.Psi., Psikolog

Disusun Oleh :

Muchammad Fajar Purdianto 210701039

PROGAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH GRESIK

2023
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT. yang telah memberikan banyak
nikmat, terutama nikmat kesehatan dan kesempatan sehingga proses pembuatan Makalah
penelitian mata kuliah Psikologi Positif ini dapat penulis laksanakan dengan baik. Makalah
dengan judul “Attachment, Empati, dan Cinta” dapat di selesaikan dengan baik pula.

Penulis menyadari banyak pihak yang membantu dan berkontribusi dalam terselesaikannya
makalah ini. Segala bentuk bantuan, baik berupa dukungan moril dan materil sangat membantu
penulis dalam mengumpulkan semangat dan keinginan untuk menyelesaikan studi. Dengan
demikian penulis ucapkan terima kasih dengan ketulusan hati kepada pihak-pihak yang telah
membantu dan membimbing penulis selama menyusun Makalah ini, yakni kepada:

1. Bapak Awang Setiawan Wicaksono, S.Psi., M.Psi., selaku Dekan Fakultas Psikologi,
2. Ibu Ima Fitri Sholichah,S.Psi., M.A., selaku Kepala Prodi Psikologi,
3. Ibu Setyani Alfinuha, M.Psi., Psikolog selaku Dosen pengampu mata kuliah Psikologi
Positif
4. Orang tua saya yang tidak pernah lelah mendoakan dan memberi dukungan.
5. Tidak lupa teman-teman Psikologi Kelas Sore yang saling mendukung dan membantu.

Semoga Allah Ta’ala memberikan pahala yang berlimpah atas segala bentuk bantuan yang
telah diberikan kepada penulis. Selain itu penulis juga berharap agar makalah ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca dari berbagai kalangan. Penulis kemudian mengucapkan
permohonan maaf jika selama proses penyusunan makalah banyak melakukan kesalahan, baik
berbentuk lisan maupun tulisan, yang dilakukan secara disengaja maupun tidak disengaja.

Gresik, 4 April 2023

Penulis

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ......................................................................................................... 2

DAFTAR ISI ....................................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah ........................................................................................... 4


1.2.Rumusan Masalah ..................................................................................................... 4
1.3.Tujuan Penulisan ....................................................................................................... 5
1.4. Manfaat Penulisan .................................................................................................... 5

BAB II PEMBAHASAN

2.1. Attachment ................................................................................................................ 6


2.1.1. Definisi Attachment ....................................................................................... 6
2.1.2. Prasyarat keberhasilan Attachment ................................................................ 6
2.1.3. Peran Sentral Cinta dalam Pembentukan Attachment ................................... 8
2.1.4. Fase-fase Attachment ..................................................................................... 9
2.2. Empati ...................................................................................................................... 11
2.2.1. Definisi Empati .............................................................................................. 11
2.2.2. Aspek-aspek Empati ...................................................................................... 11
2.3. Cinta ........................................................................................................................ 12
2.3.1. Definisi Cinta ................................................................................................. 12
2.3.2. Triangular Theory of Love ............................................................................. 14
2.3.3. Jenis-jenis Cinta ............................................................................................. 17
2.4. Altuisme .................................................................................................................... 19
2.4.1. Definisi Altuisme ........................................................................................... 19
2.4.2. Faktor yang Menentukan Tindakan Altruisme............................................... 20

BAB III PENUTUP

3.1. Kesimpulan ............................................................................................................... 23


3.2. Saran ......................................................................................................................... 23

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 24

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


Dalam kehidupan sehari-hari manusia hampir setiap hari tidak luput dari keterlibatan
dalam attachement, empati, dan cinta. Pada dasarnya makhluk hidup memiliki kepasitas
untuk merasakan apa yang makhluk lain rasakan atau tanpa dia sendiri harus secara
langsung mengalaminya. Makhluk diantara banyaknya makhluk yang tercipta, manusia
merupakan makhluk yang memiliki kapasitas paling kuat mengenai hal tersebut. Tetapi
tidak jarang juga bahwa yang mengetahui mengenai proses keberhasilan attachement yang
berjalan dengan baik.
Attachement terjadi dari manusia lahir sampai dewasa, hampir manusia selalu
mendapatkan attachement, manusia cenderung mencari kedekatan dengan orang lain
terutam orang yang dalam lingkungannya diangap dekat seperti hal-nya orang tua, dan
keluarga, hubungan dalam keluarga dalam menimbulkan kedekatan emosial dari seorang
anak ke orang tuanya yang dapat bersifat emosi positif. Adapun Empati yang saling
melebgkapi dari attachment, empati merupakan kunci, untuk makhluk hidup dalam
merasakan kapasitas memahami orang lain atau merasakan apa yang makhluk lain rasakan,
tanpa dia sendiri harus mengalami secara langsung dan manusia adalah makhluk yang
paling kuat memiliki kapasitas ini.
Terlebih mengenai cinta, tidak jarang dalam kehidupan setiap manusia mendapatkan
atau memperoleh cinta dari sekitarnya, ataupun dari manusia lain yang sama-sama
memiliki cinta. Akan tetapi banyak pula yang kurang memahami atau mengeksplorasi
cinta dalam perfektif psikologi. Dimana cinta berkaitan dengan pendekatan yang
berdasarkan pada sinkronisasi pengalaman emosional setiap manusia.
Oleh karena itu pada penulisan makalah ini akan membahasan mengenai konsep
attachment, empati, dan cinta, serta konsep hidup manusia yang meliputi rasa syukur,
sukarela, dan memaafkan.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis dapat merumuskan masalah, sebagai
berikut :
1. Bagaimana konsep Attachment ?
2. Bagaimana konsep Empati ?
3. Bagaimana konsep Cinta ?

4
4. Bagaimana konsep Altuisme ?
1.3. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah yang dirumuskan penulis diatas, maka tujuan dari
penulisan makalah ini adalah, antara lain :
1. Untuk mengetahui bagaimana konsep Attachment.
2. Untuk mengetahui bagaimana konsep Empati.
3. Untuk mengetahui bagaimana konsep Cinta.
4. Untuk mengetahui bagaimana konsep Altuisme.
1.4. Manfaat Penulisan
Harapan dari penulisan setelah makalah ini diselesaikan, diharapkan dapat bermanfaat
baik dari :
1. Segi teoritis
Makalah ini diharokan dapat memberikan kontribusi dan manfaat dalam dunia
pendidikan terkait Psikologi Positif : Attachment, Empati, Cinta.
2. Segi praktis
1) Bagi siswa
Secara khusus, makalah ini dapat dijadikan sebagai bahan belajar,
pertimbangan, masukan serta evaluasi mengenai Psikologi Positif : Attachment,
Empati, Cinta.
2) Bagi penulis
Bagi penulis semoga bermanfaat dalam memahami materi Psikologi Positif :
Attachment, Empati, Cinta yang telah ditulis dalam makalah ini.

5
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Attachment
2.1.1. Definisi Attachment

Teori Attachment adalah teori yang dikembangkan oleh John Bowlby dan Mary Anstain
Mary Ainsworth (Bretherton, I, 1992) John Bowbly adalah peletak dasar konsep-konsep nya
sedangkan Mary Ainsworth mengkreasikan metode-metode terobosan untuk dapat meneliti
konsep tersebut secara ilmiah.

Teori Attachment merupakan penelitian yang membahas tentang tingkah laku yang terjadi
pada setiap manusia, yaitu suatu kecenderungan dan keinginan seseorang untuk mencari
kedekatan dengan orang lain dan mencari kepuasan dalam hubungan dengan orang tersebut
(Soetjiningsih, 2012. Seifert dan Huffnung dalam Desmita (2009) memaparkan bahwa
attachment merupakan sebuah hubungan emosisonal yang intim dan abadi antara dua orang
sepert bayi dan pengasuh, ditandai dengan adanya kasih sayang keduanya secara timbal balik
dan keinginan berkala untuk mempertahankan kedekatan fisik.

Menurut Ainsworth (1969) attachment adalah ikatan emosional yang dibentuk seorang
individu dengan orang lain yang bersifat spesifik, mengikat mereka dalan suatu yang bersifat
kekal sepanjang waktu. Selain itu pendapat Feldman dalam Desmita (2009) mengatakan bahwa
attachment merupakan ikatan emosional yang bersifat positif yang berkembang antara anak
dengan orang tententu. Perilaku mempertahankan kedekatan ini merupakan dasar dari perilaku
attachment pada manusia. Hal ini membuat attachment mempunyai pengaruh besar pada
pembentukan karakter seseorang, pada identitas atau sense of self-nya. Pada pembentukan
basic belifs dan pada kemampuannya dalam mengelola emosi dan relasi.

2.1.2. Prasyarat Keberhasilan Attachment

Dalam suatu proses attachment, perilaku ibu dan anak serta konteks dari seluruh proses
itu akan sangat menentukan hasilnya. Perilaku anak sangat bergantung pada temperamen
bawaannya. Ada anak yang memiliki temperamen yang mudah dekat dengan orang lain,
sehingga memudahhkan orang lain untuk menjalin ikatan emosional dengannya, ada juga anak
yang memiliki temperamen yang sulit untuk menjalin kedekatan dengan orang lain, sehingga
orang lain harus mengeluarkan upaya yang besar bila ingin menjalin ikatan emosional
dengannya.

6
Tidak semua hubungan yang bersifat emosional atau afektif dapat disebut dengan
attachment. Ciri afektif yang menunjukkan attachment adalah hubungan bertahan cukup lama,
ikatan tetap ada walaupun figur lekat tidak tampak dalam jangkauan mata anak, bahkan jika
figur digantikan orang lain dan attachment dengan figur lekat akan menimbulkan rasa aman
(Ainsworth dalam Ervika, 2005). Interaksi yang intens antara ibu dan anak biasanya dimulai
saat proses pemberian ASI. Melalui proses pemberian ASI, diharapkan akan berkembang
attachment dan tingkah laku lekat karena dalam proses ini terjadi kontak fisik yang disertai
upaya untuk membangun hubungan psikologis antara ibu dan anak.

Bayi yang diasuh dengan kehangatan, sensitifitas, dan responsifitas akan mengembangkan
internal working model yang positif pada orang tua dan diri sendiri. Internal working model
merupakan hasil interpretasi pengalaman secara terus-menerus dan interaksinya dengan figur
lekat (Ervika, 2005). Ada dua faktor yang dapat meningkatkan kestabilan internal working
model, yaitu : 1) Familiar, yaitu pola interaksi yang berulang, cenderung akan menjadi
kebiasaan yang terjadi secara otomatis; 2) Dyadic Pattern, pola yang timbal balik
memerintahkan masing-masing pasangan untuk mengartikan perilaku pihak lainnya. Perilaku
anak, perilaku ibu, serta konteks dari seluruh proses itu akan sangat menentukan hasil dalam
suatu proses attachment. Ketiga hal tersebut perlu diperhatikan agar proses attachment
berlangsung dengan baik. Menurut Arif (2018), perilaku anak sangat bergantung pada
temperamen bawaannya. Ada anak yang memiliki temperamen yang mudah untuk dekat
dengan orang lain, sehingga memudahkan orang lain untuk menjalin ikatan emosional
dengannya; ada juga anak yang memiliki temperamen yang sulit untuk menjalin kedekatan
dengan orang lain, sehingga orang lain harus mengeluarkan upaya yang besar bila ingin
menjalin ikatan emosional dengannya.

Menurut Ervika (2005), anak mempunyai kemungkinan untuk memilih salah satu dari
orang-orang yang ada dalam keluarga sebagai figur lekatnya. Figur lekat yang dipilih anak
biasanya adalah orang dewasa yang memenuhi persyaratan pengasuh anak, yaitu orang yang
paling sering berhubungan dengan anak dengan maksud mendidik dan membesarkan anak. Ibu
biasanya menduduki peringkat pertama figur lekat utama anak. Hal ini disebabkan karena ibu
lebih banyak berinteraksi dengan anak dan brfungsi sebagai orang yang memenuhi
kebutuhannya serta memberikan rasa nyaman.

7
2.1.3. Peran Sentral Cinta dalam Pembentukan Attachment

Attachment adalah tentang relasi primer, yaitu relasi yang pertama dalam kehidupan
seseorang, sekaligus relasi yang terdalam yang di alaminya. Relasi primer itu akan berdampak
besar bagi pembentukan karakter seseorang dan bagaimana yang bersangkutan mengelola
emosi dan relasi – relasi lain pada masa-masa berikutnya. Relasi primer itu berlangsung seperti
relasi lain pada masa dewasa yang banyak mengandalkan komunikasi sadar dan verbal untuk
bertukar informasi, melainkan lebih bersandar pada komunikasi tak sadar dan nonverbal, yaitu
bodily communication.

Salah satu aspek perilaku yang sangat penting bagi keberhasilan attachment adalah
kemampuan berempati dengan akurat dan merespons dengan efektif terhadap komunikasi
ketubuhan, komunikasi non-verbal anak. Empati adalah kunci. Berbagai makhluk hidup
memiliki kapasitas untuk merasakan apa yang makhluk lain rasakan, tanpa dia sendiri harus
mengalaminya secara langsung, dan manusia agaknya adalah makhluk yang paling kuat
memiliki kapasitas ini, serta paling mengembangkannya sepanjang sejarah evolusinya. Secara
neuorologis, hal ini dimungkingkan karena mirror cells yang dimiliki manusia.

Mirror cells ditemukan secara tidak sengaja oleh Giacomo Rizzolatti (Rizzolatti, G., &
Craighero, L., 2004) dan rekan-rekan di University of Parma, Italia. Saat mereka sedang
meneliti ventral premotor cortex pada mocaque monkeys untuk mempelajari pengendalian
tangan dan mulut, mereka tidak sengaja menemukan bahwa sebagian neuron diarea otak
monyet yang mereka pelajari menjadi aktif, baik ketika si monyet menggerakkan tangannya
untuk meraih makanan, atau ketika si monyet melihat manusia yang menggerakkan tangannya
lalu melakukan hal yang sama. Temuan ini menimbulkan insight bahwa ternyata, bagi otak si
monyet, melakukan sesuatu atau mengamati makhluk lain melakukan hal yang sama bukanlah
dua aktivitas yang berbeda, melainkan sama. Dengan kata lain, kalau si monyet mengamati
makhluk lain melakukan sesuatu, otaknya akan menunjukkan aktivitas seolah-olah dia sendiri
melakukan aktivitas itu.

Neuron yang ditemukan oleh Rizzolatti dan rekan-rekan kemudian disebut mirror neuron.
Penelitian-penelitian selanjutnya menemukan bahwa manusia juga memiliki sistem neuron
yang sama. Mirror neuron pada manusia diduga menjadi dasar bagi mekanisme neurologis
yang memungkinkan seseorang dapat memahami apa yang dilakukan atau dialami orang lain
dengan cara mensimulasikannya dalam otak. Memahami orang lain akan berhasil kalau
seseorang dapat menghayati apa yang di lakukan/dirasakan/dialami orang lain. Jadi, bagaimana

8
seseorang melihat orang lain melakukan/mengalami sesuatu atau menunjukkan emosi tertentu.
Orang yang melihat itu akan mensimulasikan dalam otaknya seolah-olah ia yang
mengalami/melakukan tindakan tersebut. Simulasi dalam otak itu pada gilirannya memicu
perubahan fisiologi dan membangkitkan emosi yang sama dengan orang yang mengalaminya.
Dengan Bahasa yang jauh lebih sederhana: “kalau saya melihat orang lain mengalami atau
melakukan sesuatu. Saya pun dapat menghayati apa yang dialami atau dilakukannya dapat
berempati kepadanya”.

2.1.4. Fase-fase Attachment


1. Infant Attachment
Perkembangan attachment anak menurut Bowbly terjadi melalui penahapan yang
dibagi dalam empat fase, mulai dari bayi yaitu sebagai berikut :
1) Fase 1 (lahir sampai usia 3 bulan) : respon tak terpilah
Selama bulan pertama diawal hidupnya, bayi menunjukkan beragam jenis
respon kepada orang-orang disekitarnya dengan cara yang sama. Bayi tersenyum
pada semua orang bahkan dengan mata tertutup bayi menunjukkan respon yang sama
terhadap semua orang. Senyuman tersebut dapat mendekatkan kemelekatan dengan
pengasuhnya, setelah tersenyum mereka mulai melanjutkan dengan berceloteh.
Celoteh bayi dan senyuman adalah pemicu sosial yang berfungsi mempertahankan
figur ibu dalam kedekatan dengan bayi dengan menunjukkan interaksi diantara
mereka.
2) Fase 2 (usia 3 sampai 6 bulan): fokus pada orang-orang yang dikenal
Pada fase ini bayi mulai membatasi senyumannya pada orang yang dikenalnya
saja. Ketika melihat wajah yang tidak dikenalnya bayi hanya diam saja.
3) Fase 3 (usia 6 sampai 3 tahun) kelekatan yang intens dan pencarian kedekatan yang
aktif
Pada usia 6 bulan, kemelekatan bayi pada orang tertentu menjadi semakin intens
dan eksklusif. Hal tersebut terlihat saat figur ibu meninggalkan ruangan, sang bayi
akan menangis keras dan memperlihatkan kecemasan terhadap perpisahan. Ketika
ibunya kembali dan berada dipelukan ibunya, maka bayi akan balas memeluk ibunya
dengan senyuman bahagia. Pada usia 7 bulan bayi menunjukkan ketakutan pada
orang asing. Hal tersebut terlihat dengan tangisan yang keras ketika melihat orang
asing. Saat bayi sudah bisa merayap sekitar usia 8 bulan sang bayi mulai mengikuti
orangtua yang berjalan meninggalkannya.

9
4) Fase 4 (usia 3 tahun sampai akhir masa kanak-kanak ) tingkah laku persahabatan
Sebelum menginjak usia 3 tahun anak-anak hanya berkonsentrasi pada
kebutuhannya sendiri untuk mempertahankan kedekatan kelekatan tertentu pada
pengasuh atau orangtua. Mereka belum bisa memahami rencana atau tujuan
pengasuhnya. Menginjak usia 3 tahun mulai bisa memahami rencana dan dapat
membayangkan apa yang dia lakukan saat orangtuanya pergi sehingga mulai
bertindak seperti rekanan di dalam hubungan dengan orangtuanya.
2. Adult Attachment
Bowlby memaparkan (dalam Purba, 2006: 16) Internal working model adalah suatu
representasi mental individu terhadap diri sendiri (self) dengan lingkungannya yang
akan membantu individu tersebut merencanakan tingkah laku yang akan ditampilkan
di lingkungan. Terdapat dua konsep penting dalam internal working model. Pertama
adalah bagaimana anak memandang perlakuan figur lekat dan pengaruhnya terhadap
tingkah lakunya (model of self). Kedua, bagaimana self-image anak terhadap
lingkungannya, dalam arti seberapa besar anak merasa diterima atau tidak oleh figur
lekat mereka (model of other).
Jika dikombinasikan kedua dimensi attachment terhadap empat pola attachment
menurut Bartholomew dan Horowitz, maka masing-masing dimensi tersebut meliputi
akhir yang positif dan negatif.
Bartholomew dan Horowitz (dalam Indrawati & Fauziah, 2012: 46)
mengemukakan bahwa internal working model terdiri dari dua aspek, yaitu:
1) Self of image
Gambaran diri merupakan hasil dari pengalaman masa lalu individu beserta cara
orang lain memperlakukan individu. Gambaran diri yang positif dinyatakan
sebagai kesadaran internal dari diri yang berharga, memiliki kemampuan, dicintai,
dan mendaptkan dukungan. Individu memandang dirinya sendiri secara positif,
sehingga dirinya merasa berharga dan mampu untuk menerima kekurangan dan
kelebihannya, memiliki kemampuan yang dapat dibanggakan, serta merasa pantas
untuk dicintai dan mencintai (secure dan dismissing). Disisi lain, individu yang
memandang dirinya sendiri secara negatif, merasa sebagai orang yang tidak
berharga, tidak memiliki kemampuan untuk dibanggakan, dan merasa dirinya tidak
pantas untuk dicintai oleh orang lain (preoccupied dan fearful).
2) Other of image

10
Gambaran terhadap orang lain merupakan hasil dari pengalaman masa lalu individu
yang berkaitan dengan sikap orang lain terhadap diri individu. Individu yang
memandang dirinya sendiri secara negatif, merasa sebagai orang yang tidak
berharga, tidak memiliki kemampuan untuk dibanggakan, dan merasa dirinya tidak
pantas untuk dicintai oleh orang lain (preoccupied dan fearful).
2.2. Empati
2.2.1. Definisi Empati

Istilah “empati” berasal dari kata Einfuhlung yang digunakan oleh seorang psikolog
jerman, secara harfiah berarti memasuki perasaan orang lain (feeling into), atau berasal dari
bahasa Yunani “phatos” yang artinya perasaan mendalam atau kuat, dalam jumarin (2002).
Eisenberg (2002) menyatakan empati adalah sebuah respons efektif yang berasal dari
penangkapan atau pemahaman keadaan emosi atau kondisi lain, dan yang mirip dengan
perasaan orang lain. Sebuah respons efektif, yaitu sebagai situasi orang lain dari situasi diri
sendiri. Empati juga sebagai kemampuan untuk meletakkan diri sendiri dalam posisi orang lain
dan mampu menghayati pengalaman orang tersebut.

Empati dapat diartikan sebagai perasaan simpati dan perhatian terhadap orang lain,
khususnya untuk berbagi pengalaman atau secara tidak langsung merasakan penderitaan orang
lain (Sears, dkk, 1991: 69). Hal senada diungkapkan oleh Hurlock (1999: 118) yang
mengungkapkan bahwa empati adalah kemampuan seseorang untuk mengerti tentang perasaan
dan emosi orang lain serta kemampuan untuk membayangkan diri sendiri di tempat orang lain.
Kemampuan untuk empati ini mulai dapat dimiliki seseorang ketika menduduki masa akhir
kanak-kanak awal (6 tahun) dengan demikian dapat dikatakan bahwa semua individu memiliki
dasar kemampuan untuk dapat berempati, hanya saja berbeda tingkat kedalaman dan cara
mengaktualisasikannya. Empati seharusnya sudah dimiliki oleh remaja, karena kemampuan
berempati sudah mulai muncul pada masa kanak-kanak awal (Hurlock, 1999: 118).

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa empati merupakan kemampuan


yang dimiliki individu untuk mengerti dan menghargai perasaan orang lain dengan cara
memahami perasaan dan emosi orang lain serta memandang situasi dari sudut pandang orang
lain.

2.2.2. Aspek-aspek Empati

Baron dan Byrne (2005 : 111) menyatakan bahwa dalam empati juga terdapat aspek-aspek,
yaitu:

11
1. Kognitif
Individu yang memiliki kemampuan empati dapat memahami apa yang orang lain
rasakan dan mengapa hal tersebut dapat terjadi pada orang tersebut.
2. Afektif
Merupakan kecenderungan seseorang untuk mengalami perasaan emosional orang lain
yaitu ikut merasakan ketika orang lain merasa sedih, menangis, terluka, menderita bahkan
disakiti. Aspek ini berpendapat bahwa seseorang yang berempati merasakan apa yang orang
lain rasakan.

Batson dan Coke (Watson, 1984: 290) menyatakan bahwa di dalam empati juga terdapat
aspek-aspek:

1. Kehangatan
Kehangatan merupakan suatu perasaan yang dimiliki seseorang untuk bersikap hangat
terhadap orang lain.
2. Kelembutan
Kelembutan merupakan suatu perasaan yang dimiliki seseorang untuk bersikap maupun
bertutur kata lemah lembut terhadap orang lain.
3. Peduli
Peduli merupakan suatu sikap yang dimiliki seseorang untuk memberikan perhatian
terhadap sesame maupun lingkungan sekitarnya.
4. Kasihan
Kasihan merupakan suatu perasaan yang dimiliki seseorang untuk bersikap iba atau
belas asih terhadap orang lain
2.3. Cinta
2.3.1. Definisi Cinta

Cinta bukan sekedar tentang perasaan romantik antara dua insan yang berpadu kasih,
seperti yang digambarkan dilagu-lagu populer. Gambaran seperti itu terlalu dangkal untuk
menggambarkan pengaruh besar cinta terhadap pembentukan kararkter seseorang. Cinta bukan
sekedar perasaan sayang dan hangat kepada seseorang yang istimewa, yang kepadanya kita
memberikan yang terbaik dari diri kita.

Ketika seorang ibu berempati dengan akurat pada apa yang dirasakan anak dan merespons
kebutuhan anak dengan tepat, maka satu peristiwa penting terjadi, yaitu sinkronisasi emosi
positif di antara keduanya. Sinkronisasi emosi positif akan membangkitkan suatu emosi positif

12
yang kuat, bahkan Barbara Fredickson (Fredrickson, B., 2013) dengan alasan-alasan yang kuat
dan sahih menyebutkan sebagai emosi positif yang utama (supreme positive emotions). Emosi
positif yang dimaksud adalah cinta.

Bila emosi positif lain dialami seorang pribadi adalah suatu pengalaman yang privat maka
cinta adalah emosi positif yang dibagi bersama orang lain. Menurut Barbara Fredrickson,
pertama-tama cinta adalah penghayatan emosi positif yang dialami bersama dua insan (atau
lebih). Penting untuk diperhatikan dalam sinkronisasi itu, pihak-pihak yang terlibat bukan
hanya mengalami emosi yang sama, melainkan mengalami emosi yang sama dalam
kebersamaan, bukan sendiri-sendiri. Cinta adalah tentang sinkronisasi, tentang begaimana dua
pribadi (atau lebih) mengalami emosi dan pengalaman yang sama, mereka secara intuitif saling
mengetahui bahwa pihak yang lain merasakan persis apa yang dirasakannya.

Adapun pendapat dari Strenberg (2009) mengatakan bahwa cinta merupakan sebuah
hubungan yang didasari oleh hubungan intim kepada pasangan, saling berbagi kasih sayang
dengan orang lain,dan memiliki ketertarikan fisik dengan orang-orang. Strenberg (2000)
mengatakan bahwa cinta merupakan kisah yang kita ciptakan sendiri, dimana kita sendiri
sebagai pemeran dari kisah cinta tersebut, Strenberg (1988) mengatakan bahwa cinta
merupakan bentuk emosi yang paling dalam dan sangat diharapkan oleh setiap manusia.
Strenberg (1988) mengemukakan bahwa cinta merupakan bentuk emosi yang diharapkan
manusia, ketika seseorang sedang jatuh cinta mereka ingin saling berada disamping
pasangannya, sering merasa rindu jika tidak bertemu, rasa ingin membahagiakan pasangan,
serta selalu memberikan dukungan terhadap pasangannya (Sternberg & Barnes, 1998).

Fredickson, cinta meliputi tiga peristiwa yang saling bersusulan dalam sekejap mata :
pertama, dalam interaksi itu, dua orang atau lebih terlibat di dalamnya berbagi pengalaman
yang sama akan suatu emosi positif, dan mereka saling berempati bahwa pihak yang lain
mengalami dan merasakan emosi positif yang sama. Kedua, diantara mereka terjadi
sinkronisasi otak, biokimiawi, gestur dan bahasa tubuh, serta ekspresi wajah. Ketiga, dikedua
belah pihak (atau lebih) muncul keinginan untuk menjaga dan meningkatkan kesejahteraan
pihak yang lain atau dalam bahasa yang lebih sederhana muncul kepedulian, kasih sayang
(belum tentu sayang dalam arti romantik).

Cinta mengeratkan sebuah relasi, membuatnya flourish, tumbuh subur. Hal ini benar baik
dalam relasi pembentukan attachment pada masa kanak-kanak, maupun relasi-relasi

13
berikutnya, baik itu relasi romantik pada masa dewasa, ataupun relasi persahabatan dan
persaudaraan antara umat manusia.

2.3.2. Triangular Theory of Love

Teori cinta yang diutarakan oleh Sternberg (1986: 119) dikenal dengan sebutan konsep
segitiga cinta. Sternber menyatakan bahwa cinta terdiri dari tiga komponen yang membentuk
simpul segitiga yang saling bersama. Ketiga komponen tersebut yaitu keintiman (intermacy),
hasrat (passion), dan keputusan dan komitmen (decision and commitment). Ketiga komponen
tersebut masing-masing digunakan dalam banyak cara yang berbeda.

Sternberg (2009: 7) mengemukakan bahwa tiga komponen cinta bersifat otonom atau
dapat berdiri sendiri atau terpecah satu sama lain, sehingga individu dapat mempunyai salah
satu komponen tanpa harus mempunyai komponen yang lain. Tiga komponen cinta cenderung
menyoroti pengalaman individu tentang cintanya seperti jenis hubungan dekat. Selain itu,
fondasi pemilihan ketiga komponen cinta dikarenakan ketiga komponen tersebut dapat
digunakan bagi semua kalangan di semua tempat dan waktu (1988). Antara lain :

1. Keintiman
Dalam konteks teori segitiga cinta, Sternberg (2009: 8) mengemukakan bahwa
keintiman terkait dengan perasaan dalam suatu hubungan yang menunjang kedekatan,
keterikatan, dan konektivitas dalam suatu hubungan cinta. Keintiman berasal dari saling
keterkaitan yang kuat dan intensitas interaksi yang tinggi dalam beragam bentuk.
Keintiman meliputi kepercayaan, kejujuran, respek, komitmen, rasa aman, dukungan,
kedermawanan, loyalitas, kekonstanan, pemahaman, dan penerimaan. Komponnen
keintiman juga dibangun oleh rasa iba, dan kepedulian yang membentuk sebuah batu
pembangun “komunikasi”.
Dengan demikian keintiman termasuk dalam lingkup perasaan yang memunculkan
kehangatan dalam sebuah hubungan yang penuh kasih dilandasi dari pengalaman individu
atau seseorang. Dari hasil penelitian yang dilakukan Sternberg dan Grajek (2009: 8)
menunjukkan bahwa keintiman meliputi setidaknya sepuluh elemen.
1) Keinginan untuk meningkatkan kesejahteraan orang yang dicintai.
Seseorang yang sedang jatuh cinta menginginkan kesejahteraan orang yang
dicintainya dengan mengupayakan kebahagiannya. Seseorang dapat mengorbarkan
dirinya demi orang dicintainya untuk meningkatkan kesejahteraan orang yang

14
dicintainya. Seseorang dapat memiliki elemen ini jika orang yang dicintai
mengalami kebahagiaan atau impian yang ia punya terjuwud Sternberg (2009: 8).
2) Merasakan kebahagian dengan orang tercinta.
Pecinta pasti ingin selalu bersama dengan orang yang dicintainya. Saat kedua
pasangan sedang bersama-sama mereka membangun kenangan yang indah dan
menyenangkan untuk disimpan menjadi sebuah kenangan yang dapat digunakan
saat masa sulit melanda hubungan. Apalagi, berbagi kisah tentang kebahagiaan akan
menambah pemenuhan suatu hubungan dan membuatnya baik. Seseorang dapat
memiliki elemen ini jika ia dan pasangannya melakukan kegiatan atau aktvitas
secara bersama-sama dengan rasa kebahagiaan atau menyenangkan (Sternberg,
2009: 8-9).
3) Menggenggam orang tercinta dengan penuh rasa hormat.
Seseoramg yang mencintai akan memikirkan pasangannya dan menghargainya,
walaupun orang tersebut mengetahui kekurangan pasangannya tetapi orang tersebut
tetap menghormatinya. Seseorang dapat memiiliki elemen ini jika orang tersebut
memikirkan pasangannya dan menganggap pasangan adalah orang terhebat di dunia
walaupun orang tersebut sedang mengalami kesusahan (Sternberg, 2009: 9).
4) Dapat diandalkan saat orang yang dicintai membutuhkannya.
Seseorang yang mencintai, membutuhkan pasangannya ketika orang tersebut
membutuhkan sosok pasangannya. Bahkan di saat yang genting orang tersebut akan
menghampiri pasangannya dan membantunya. Seseorang dapat memiliki elemen
ini jika orang yang dicintai membutuhkan bantuan dan pasangannya akan berusaha
sekuat tenaga untuk membantuya (Sternberg, 2009: 9).
5) Adanya rasa memahami satu sama lain.
Para pasangan berkeinginan untuk memiliki rasa memahami satu sama lain.
Para pasangan mengerti kelemahan dan kekuatan masing-masing dan tahu
bagaiamana merespon pasangannya dengan cara memperlihatkan empati murni atas
kondisi emosi pasangannya. Pasangan dapat memiliki elemen ini jika salah satu dari
pasangan dapat mengetahui sesuatu dengan cara tanpa mengucapkan kata pada
pasangannya dan mengetahui hal terseebut maka elemen ini dapat dimiliki
(Sternberg, 2009: 9).
6) Berbagi diri dan harta miliknya dengan orang tercinta.
Seseorang yang mencintai pasangannya akan rela memberikan diri dan
waktunya untuk pasangannya. Walaupun semua harta dan benda tidak perlu
15
dijadikan milik bersama, para pasangan dapat berbagi harta dan benda jika
dibutuhkan. Hal yang penting dari elemen ini yaitu para pasangan dapat berbagi diri
(Sternberg, 2009: 10).
7) Menerima dukungan emosional dari orang tercinta.
Pasangan merasakan dukungan dan merasa terobati ketika pasangannya ada
pada saat-saat membutuhkan. Elemen ini dapat dirasakan ketika pasangan tetap ada
bahkan pada saat pasangannya sedang keliru (Sternberg, 2009: 11).
8) Memberikan dukungan emosional kepada orang yang dicintai.
Pecinta akan merasakan empati dan dukungan, saat pasangannya memberikan
dukungan emosional ketika orang tersebut membutuhkannya. Pasangan akan
berusaha untuk mendukun pecinta walaupun saat itu pasangannya juga mengalami
kesusahan (Sternberg, 2009: 11).
9) Berkomunikasi secara intim dengan orang yang dicintai.
Seseorang yang mencintai dapat berkomunikasi secara intim atau mendalam
dan bersikap jujur pada orang yang dicintainya, berbagi perasaan paling intim atau
mendalam pada orang yang dicintainya. Hal ini dapat dimisalkan dengan orang
yang dicintai membagi cerita kepada pasangannya walaupun cerita tersebut
membuat ia malu (Sternberg, 2009: 11).
10) Menghargai orang yang dicintai.
Seseorang yang mencintai akan merasakan nilai penting dari keberadaan
pasangannya dalam rencana hidupnya. Elemen ini dapat dirasakan dengan kekasih
menyadari pasangannya adalah sosok yang lebih berharga lebih dari sebuah harta
(Sternberg, 2009: 11).

Kesepuluh elemen tersebut merupakan beberapa perasaan yang mungkin dirasakan saat
bersama seseorang yang memiliki keintiman cinta. Terlebih tidak perlu seseorang
merasakan semua perasaan sepuluh elemen tersebut untuk bisa mengalami keintiman.
Sebaliknya Sternberg (2009:11) mengindikasi bahwa seseorang dapat memiliki keintiman
ketika merasakan sejumlah perasaan tersebut, berapapun jumlah persisnya. Dari
penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa jika kesepuluh elemen tersebut hanya
ditemukan beberapa elemen tetap dianggap sebagai komponen keintiman cinta walau
komponen keintiman cinta tersebut tidak sempurna.

16
2. Hasrat
Komponen cinta lainnya yaitu hasrat. Hasrat adalah suatu kondisi seseorang saat
menginginkan secara intens penyatuan bersama orang yang dicintainya. Hasrat sebagian
besar diekspresikan sebagai gairah dan kebutuhan seperti harga diri, pengasuhan, afiliasi,
dominasi, kepatuhan, dan kepuasan seksual. Kekuatan kebutuhan tersebut bergantung
orang yang dicintai, situasi, dan jenis hubungan cinta. Kebutuhan tersebut berasal dari
gairah fisiologis, dan psikologis yang sering kali tidak dapat dipisahkan. (Sternberg,
2009:13).
Hasrat dalam cinta cenderung bercampur aduk dengan komponen keintiman dan sering
kali mendukung satu sama lain. Sebaliknya hasrat dapat dibangkitkan oleh keintiman.
Hasrat merupakan hal pertama yang menarik individu dalam hubungan, demikian
keintiman yang dapat membantu mempertahakan kedekatan dalam sebuah hubungan.
Namun, hasrat dan keintiman dapat saling bertentangan bergantung kondisi dan situasi
individu.
3. Keputusan dan Komitmen
Komponen berikutnya dalam cinta adalah keputusan atau komitmen. Sternberg
(2009:16) mengemukakan bahwa keputusan atau komitmen terdiri dari dua aspek yaitu
jangka panjang dan jangka pendek. Aspek jangka panjang adalah komitmen untuk
mempertahankan hubungan cinta dengan orang yang dicintainya, sedangkan aspek jangka
pendek adalah keputusan untuk mencintai orang lain. Komponen keputusan atau
komitmen memiliki keterkaitan dengan keintiman dan hasrat. Komitmen adalah hal yang
membuat seseorang mau terikat pada seseorang dan bersamanya hingga akhir perjalanan.
2.3.3. Jenis-jenis Cinta

Kombinasi dari ketiga komponen cinta seperti keintiman, hasrat dan keputusan dan
komitmen akan menghasilkan tujuh jenis cinta yang berbeda. Jenis-jenis ini memiliki
perbedaan dalam jumlah komponen yang terlibat dan komponen yang menyusunnya. Berikut
tujuh jenis cinta:

1. Rasa Suka (Keintiman Semata)


Rasa suka akan timbul jika seseorang memiliki komponen keintiman tanpa komponen
hasrat ataupun keputusan/komitmen. Istilah menyukai disini diartikan untuk
mendeskripsikan sekumpulan perasaan yang dimiliki seseorang dalam hubungan yang
berciri pertemanan. Seseorang merasakan kedekatam, keterikatan, kehangatan terhadap

17
orang lain tanpa adanya hasrat yang terus-menerus ataupun komitmen jangka Panjang.
(Sternberg, 2009: 25).
2. Cinta Nafsu (Hanya Hasrat)
Cinta nafsu terwujud dari hasil gairah yang penuh hasrat tanpa keintiman dan
keputusan/komitmen. Berahi biasanya tampak jelas, walaupun memiliki kecendurungan
untuk mudah dilihat daripada dirasakan. Kemunculannya nyaris spontan dan menghilang
sangat cepat. Normalnya berahi dating berdampingan dengan gairah psikofisiologis
tingkat tinggi dan gejala fisis seperti percepatan detak jantung atau bahkan berdebar
jantung. Peningkatan sekresi hormonal, dan ereksi genital (penis atau klitoris). Gejala-
gejela ini tidak akan menimbulkan masalah jika seseorang percaya bahwa berahi sekedar
itu. (Sternberg, 2009: 27).
3. Cinta Hampa (Hanya Keputusan/Komitmen)
Cinta hampa timbul dari tidak adanya keintiman atau hasrat dan hanya berasal dari
keputusan/komitmen. Jenis cinta ini terkadang ditemukan dalam sebuah hubungan yang
stagnan dan berlangsung selama bertahun-tahun, tetapi telah kehilangan keterlibatan
emosional yang dulu mereka miliki maupun daya taris fisik. Selain komitmen terhapad
cinta yang sangat kuat, cinta sejenis ini tidak memiliki komponen lainnya. Disini, hampa
merujuk pada sebuah hubungan yang masih mungkin diisi oleh hasrat dan keintiman
sehingga lebih menandai awal daripada sebuah akhir. (Sternberg, 2009: 28).
4. Cinta Romantis (Keintiman Hasrat)
Cinta romantis tercipta dari kombinasi komponen keintiman dan hasrat. Perasaan suka
yang memiliki elemen tambahan yaitu gairah yang ditimbulkan oleh daya tarik fisik.
Dalam jenis cinta ini, laki-laki dan perempuan tidak hanya saling tertarik secara fisik,
tetapi juga mengalami keterikatan secara emosional. Pandangan cinta romantis ini dapat
ditemukan dalam karya-karya sastra klasik, seperti Romeo dan Juliet. (Sternberg, 2009:
29).
5. Cinta Persahabatan (Keintiman Plus Komitmen)
Cinta persahabatan timbul dari kombinasi komponen keintiman dan keputusan/komitmen.
Cinta jenis ini pada dasarnya merupakan pertemanan berkomitmen kuat dan bersifat
jangka panjang, jenis yang kerap berlangsung dalam pernikahan daya tarik fisik (sumber
utama hasrat) di dalamnya semakin surut. (Sternberg, 2009: 30).
6. Cinta Buta (Hasrat dan Komitmen)
Cinta buta berasal dari kombinasi hasrat dan keputusan/komitmen tanpa keintiman yang
memang tidak mungkin muncul begitu saja melainkan butuh waktu. Jenis cinta inilah yang
18
kadang dikaitkan dengan kisah cinta kilat lainnya seperti sepasang kekasih yang beru
bertemu, bertunangan tidak lama kemudian, segera melangsungkan pernikahan. Jenis cinta
ini bersidat buta dalam artian pasangan saling mengkaitkan diri berlandaskan hasrat tanpa
memasukkan elemen keintiman yang berperan menstabilkan. Oleh karena itu, hasrta dapat
terbangun dengan instan, sementara keintiman tidakalh demukian. Hubungan yang
didasarkan pada cinta nafsu tidak mungkin berlangsung lama. (Sternberg, 2009: 31- 32).
7. Cinta Sejati (Keintiman Plus Hasrat Plus Komitmen)
Cinta sejati atau sempurna berasal dari kombinasi ketiga komponen yang porsi seimbang.
Komponen tersebut yaitu keintiman, hasrat dan keputusan/komitmen. Jenis cinta inilah
yang ingin dicapai banyak orang, terutama dalam hubungan romantis. Namun
mendapatkan cinta sejati buka sepenuhnya jaminan akan berlangsung selamanya. Rasa
kehilangan sering baru muncul saat segalanya berlalu sangat jauh. Cinta sejati seperti
sebuah barang yang harus dijaga baik. Dalam mewujudkan dan mempertahankan cinta
sejati bergantung pada hubungan itu sendiri dan dukungan situasi terhadapnya. (Sternberg,
2009: 32-33).
2.4. Altuisme
2.4.1. Definisi Altuisme

Altruisme berasal dari kata “alter” yang artinya “orang lain”. Secara bahasa altruisme
adalah perbuatan yang berorientasi pada kebaikan orang lain. Aronson, Wilson & Akert
mengartikan altruisme sebagai pertolongan yang diberikan secara murni, tulus, tanpa
mengharap balasan (manfaat) apapun dari orang lain dan tidak memberikan manfaat apapun
bagi dirinya. Sementara Baston mengartikan altruisme dengan menyandingkannya dengan
egoisme. Walstern dan Piliavin berpendapat bahwa prilaku altruistik adalah prilaku menolong
yang muncul bukan oleh adanya tekanan atau kewajiban, melainkan bersifat suka rela dan tidak
berdasarkan norma-norma tertentu, tindakan tersebut adakalanya merugiak penolong karena
meminta pengorbanan dirinya, seperti waktu, usaha, uang dan tidak ada imbalan apapun atau
reward dari semua pengorbanannya.

Menurut Baron dan Byrne (1996) Altruisme merupakan bentuk khusus dalam penyesuaian
perilaku yang ditujukan demi kepentingan orang lain, biasanya merugikan diri sendiri dan
biasanya termotivasi terutama oleh hasrat untuk meningkatkan kesejahteraan orang lain agar
lebih baik tanpa mengharapkan penghargaan. Sementara itu Myers (dalam Sarwono, 2002)
Altruisme dapat didefinisikan sebagai hasrat untuk menolong orang lain tanpa memikirkan
kepentingan diri sendiri.

19
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Altruisme dapat didefinisikan sifat yang
mementingkan kepentingan orang lain (sukarela) tanpa mengharapkan imbalan materi dari
orang lain.

Leeds berpendapat bahwa suatu tindakan menolong dapat dikatakan altruisme jika
memenuhi tiga kriteria sebagai berikut:

1. Memberi manfaat bagi orang lain yang ditolong atau berorientasi untuk kebaikan orang
yang akan ditolong, karena bisa jadi orang berniat menolong namun pertolongannya
tidak disukai atau kurang baik oleh orang yang ditolong.
2. Pertolongan yang diberikan berproses dari empati atau simpati yang selanjutnya
menimbulkan keinginan untuk menolong, sehingga tindakannya tiu dilakukan bukan
karena paksaan melainkan secara sukarela diinginkan oleh yang bersangkutan.
3. Hasil akhir dari tindakan itu buka untuk kepentingan diri sendiri, atau tidak ada maksud
lain yang bertujuan untuk kepentingan si penolong.
2.4.2. Faktor yang Menentukan Tindakan Altruisme

Ada beberapa faktor yang menentukan tindakan Altruisme seseorang, antara lain :

1. Situasi
Menurut Crisp dan Turner, situasi merupakan hal penting untuk dijadikan
pertimbangan di dalam melakukan pertolongan terhadap orang lain. Sebab, tidak
selamanya semua situasi bisa digunakan untuk melakukan pertolongan. Banyak
penelitian dan teori yang menyatakan, bahwa pertolongan biasanya dilakukan ketika
keadaan sangat memaksa/darurat.
2. Perceiver
Ada beberapa faktor yang sangat dominan mempengaruhi setiap individu untuk
memberikan pertolongan pada saat situasi darurat.
1) Kepribadian (Personality)
Setiap individu memiliki ciri atau karakter yang berbeda. Perbedaan karakter ini
akan melahirkan juga perbedaan kecenderungan perasaan individu dalam menyikapi
setiap persoalan, walaupun ada beberapa sifat atau karakter yang tidak ada
hubungannya sama sekali dengan sikap atau perilaku seseorang untuk memberikan
pertolongan.22 Menurut Latane dan Darley, tidak ada hubungan antara sejumlah sifat
atau ciri kepribadian seseorang masuk pada sifat otoritarianisme, alienasi,
kepercayaan, dan persutujuan dengan helping behaviour. Ada beberapa bukti yang

20
dapat dijadikan dasar dari ungkapan Latane dan Darley di atas, bagi seorang individu
yang memberikan perolongan pada orang lain, bukan karena faktor kepribadian yang
merasa empati, melainkan karena tuntutan dari tanggung jawab sosial (social
responsibility) yang berangkat dari norma-norma universal (universal norms).
2) Kecakapan (Competence)
Faktor kecakapan (competence), jika dilihat dari perspektif bystander-calculus
model miliknya Piliavin, bahwa dalam situasi darurat (emergency), seseorang dapat
dengan cakap memberikan pertolongan pada orang lain jika “ongkos” yang
ditawarkan nilainya tinggi. Akan tetapi jika “ongkos” yang ditawarkan nilainya sangat
rendah, maka individu yang dimintai pertolongan tadi menjadi tidak kompeten/cakap.
3) Mood
Faktor ketiga yang dapat memotivasi seseorang untuk memberikan pertolongan
pada orang lain adalah mood. Menurut Crisp dan Turner, jika mood seorang individu
dalam keadaan ‘baik’, maka akan meningkatkan perilaku menolong (helping
behaviour). Namun jika mood seorang individu itu dalam keadaan ‘jelek’, maka akan
mengurangi perilaku menolong.
4) Empati-Sifat Altruis (Altruism)
Menurut pengalaman Batson sebagaimana yang dikemukakan oleh Crisp dan
Turner, bahwa memberikan pertolongan kepada orang lain karena dipicu oleh dua
sifat. Pertama, memberikan pertolongan kepada orang lain karena termotivasi oleh
sifat mementingkan orang lain (altruistic). Kedua, memberikan pertolongan kepada
orang lain karena dipicu oleh sifat egoistis (egoistic).
5) Perbedaan Gender
Crisp dan Turner mengemukakan, bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan antara
laki-laki dan perempuan dalam hal motivasi untuk memberikan pertolongan pada
orang lain. Perbedaannya hanya terletak pada obyek/orang yang akan ditolong. Jika
yang akan diberi pertolongan adalah orang yang tidak dikenal sebelumnya,
kemungkinan besar peluang untuk memberikan pertolongan akan dilakukan oleh
seorang laki-laki. Hal ini karena lebih mempertimbangkan situasi dan potensi bahaya
yang akan timbul jika pertolongan itu dilakukan oleh seorang perempuan yang secara
umum memiliki kekuatan fisik lebih lemah dari seorang laki-laki.

21
3. Recipient
Menurut Crisp dan Turner, secara garis besar ada empat faktor yang dapat
mempengaruhi, apakah seorang individu akan menawarkan sebuah pertolongan ataukah
tidak, di antaranya :
1) Kesamaan (Similarity)
Emswiller, Deaux, dan Willits mengadakan suatu penyelidikan terhadap para
siswa pada tahun 1970 tentang pemberian bantuan/pertolongan terhadap orang lain
yang memiliki ‘kesamaan’ dalam hal pakaian. Hasilnya menunjukkan bahwa
seorang individu akan lebih memungkinkan memberikan pertolongan pada orang
lain yang memiliki corak dan model pakaian yang sama dengan dirinya dari pada
orang lain yang memakai pakaian dengan corak dan model yang berbeda.
2) Keanggotaan Kelompok (Membership Group)
Ellis dan Fox menegaskan, bahwa seorang individu yang memiliki
kecenderungan seks yang normal atau heteroseksual (heterosexual) akan lebih
memungkinkan memberikan pertolongan terhadap orang lain yang juga memiliki
kecenderungan heteroseksual dari pada memberikan bantuan kepada orang lain yang
memiliki kecenderungan homosex, baik gay atau lesbian.29 Gaertner dan Dovidio
juga menegaskan tentang pengaruh group membership dalam konteks etnis. Orang
kulit putih memungkinkan akan memberikan pertolongan pada orang kulit hitam,
jika ia (kulit putih) sedang sendirian. Akan tetapi jika antara kulit putih dan kulit
hitam di situ sama-sama ada, maka yang lebih memungkinkan akan memberikan
pertolongan adalah yang memiliki kesamaan etnis.
3) Ada Ketertarikan (Attractiveness)
Menurut Crisp dan Turner, bahwa ketertarikan seseorang pada orang lain,
sebenarnya terletak pada kepribadian orang yang akan diberi pertolongan. Baron dan
Byrne mengemukakan, bahwa seorang individu yang ramah lebih memungkinkan
akan mendapatkan pertolongan dari pada seorang individu yang tidak ramah.
4) Tanggung Jawab dalam Kesusahan (Responsibility of Misfortune)
Dalam situasi apapun, sebuah tanggung jawab dalam kesusahan mutlak
diperlukan, baik kondisi tanggung jawab itu rendah maupun tinggi. Sebab, tanggung
jawab merupakan sesuatu yang harus diterima sebagai faktor penentu untuk
memberikan pertolongn kepada orang lain yang membutuhkan bantuan.

22
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan

Dari pemaparan materi pada BAB II diatas maka dapat kita tarik kesimpulan pada makalah
ini, antara lain :

1. Attachment adalah ikatan emosional yang dibentuk seorang individu dengan orang lain yang
bersifat spesifik, mengikat mereka dalan suatu yang bersifat kekal sepanjang waktu. Selain
itu pendapat Feldman dalam Desmita (2009) mengatakan bahwa attachment merupakan
ikatan emosional yang bersifat positif yang berkembang antara anak dengan orang tententu.
Fase dari Attachment ada 2 yaitu Infant attachment, dan Adult Attachment.
2. Empati menurut Hurlock adalah kemampuan seseorang untuk mengerti tentang perasaan
dan emosi orang lain serta kemampuan untuk membayangkan diri sendiri di tempat orang
lain. Aspek-aspek empati menurut Baron dan Byrne ada 2 yaitu kognitif dan afektif,
sedangkan menurut Batson dan Coke ada 4 yaitu kehangatan, kelembutan, peduli, dan
kasihan.
3. Cinta menurut Sterberg merupakan sebuah hubungan yang didasari oleh hubungan intim
kepada pasangan, saling berbagi kasih sayang dengan orang lain,dan memiliki ketertarikan
fisik dengan orang-orang. Terdapat teori segitiga cinta yang di pelopori oleh Sterberg yang
mengatakan bahwa cinta terdiri atas 3 aspek yaitu keitiman, hasrat, komitmen dan
keputusan.
4. Altruisme menurut Baron dan Byrne merupakan bentuk khusus dalam penyesuaian perilaku
yang ditujukan demi kepentingan orang lain, biasanya merugikan diri sendiri dan biasanya
termotivasi terutama oleh hasrat untuk meningkatkan kesejahteraan orang lain agar lebih
baik tanpa mengharapkan penghargaan.
3.2. Saran
Pada penulisan makalah ini, penulis merasa bahwa adanya kekurangan atupun
kesalahan dalam penulisan maka oleh karena itu penulisan meminta kritik dan saran dari
pembaca makalah ini.

23
DAFTAR PUSTAKA

Abdiani, Hilda Tri. 2017. Konsep Cinta Dalam Novel Seumpama Matahari Karya Arafat Nur:
Kajian Psikologi Robert J. Sternberg.

Arif, Imam Setiadi. 2018. PSIKOLOGI POSITIF: Pendekatan Saintifik Menuju Kebahagiaan.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka.

Asih, Gusti Yuli, & Margaretha Maria Shinta Pratiwi. 2010. Perilaku Prososial Ditinjau Dari
Empati Dan Kematangan Emosi. Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus. Volume I,
No 1, Desember 2010.

Hodori, Mohamat. 2014. Perilaku Prososial (Prosocial Behavior); Telaah Konseptual Tentang
Altruisme (Altruism) Dalam Perspektif Psikologi. Jurnal Lisan Al-Hal. Volume 8. No. 1.

Premaswari, Chitta Dhyana, & Made Diah Lestari. 2017. Peran Komponen Cinta Pada Sikap
Terhadap Hubungan Seksual Pranikah Remaja Akhir Yang Berpacaran Di Kabupaten
Bangli. Jurnal Psikologi Udayana 2017, Vol.4, No.2.

Rejeki, Sri, & Wina Lova Riza, dkk. 2022. Pengaruh Adult Attachment Style Terhadap
Kepuasan Pernikahan Pada Usia Pernikahan Dibawah 10 Tahun Di Kabupaten
Karawang. Jurnal Mahasiswa Psikologi Universitas Buana Perjuangan Karawang. Vol 2
No. 3.

Sa’adah, Fibriana Miftahus, & Imas Kania R. 2015. Konsep Bimbingan Dan Konseling
Cognitive Behavior Therapy (CBT) Dengan Pendekatan Islam Untuk Meningkatkan
Sikap Altruisme Siswa. Jurnal Hisbah, Vol. 12, No. 2.

Santrock J.W .2002. Life Span Development: Perkembangan Masa Hidup. Jakarta: Erlangga.

Snyder, C. R. & Shane J. Lopez. 2002. Handbook of Positive Psychology. New York : Oxford
University Pres.

Yani, Dewi Inra, & Hasniar A. Radde, dkk. 2021. Analisis Perbedaan Komponen Cinta
Berdasarkan Tingkat Toxic Relationship. Jurnal Psikologi Karakter, 1 (1), Juni 2021,
Halaman: 38 – 43.

24

Anda mungkin juga menyukai