I. PENDAHULUAN
Mari kita merenung sesaat untuk membayangkan gambar dari cover buku ini
sejeak. Yakinkan bahwa anda juga membayangkan bentuk buku, warna, ukuran, dan
gambar kulit kerang yang ada pada cover secara persis. Selanjutnya, buatlah mantal
map (peta yang dibayangkan dalam pikiran saja) dari tempat tinggal anda menuju
minimarket terdekat. Kedua tugas ini membutuhkan imagery, yang merupakan
penggambaran jiwa terhadap stimuli ketika stimuli tersebut tidak ada secara fisik
(Kosslyn et. al. 2002).
Imagery bergantung pada proses top-down, karena reseptor sensorik anda tidak
menerima input apapun ketika anda mencoba menciptakan sebuah mental image.
Sebelumnya, kita telah membahas proses perseptual di bab 2 dan 3. Bertolak belakang
dengan imagery, proses persepsi mengharuskan kita untuk menerima informasi melalu
reseptor organ-organ sensorik seperti mata dan telinga (Kosslyn, Ganis, & Thompson,
2001). Sebagaimana yang telah kita tekankan sebelumnya, persepsi membutuhkan
proses bottom-up dan top-down.
Kita menggunakan imagery beragam tugas kognitif yang familiar (Denis et al.,
2004; Traversky, 2005a). Imagery relevant dengan apa yang telah kita bahas di bagian
awal buku ini, dan juga dengan bagian selanjutnya. Misalnya, di bab 11 kita akan
membahas bahwa imagery sangat berguna ketika kita ingin menyelesaikan soal atau
masalah spasial atau mengerjakan tugas yang membutuhkan kreatifitas. Sebagai
tambahan, beberapa profesi juga menenkankan perlunya mental imagery. Maukah anda
terbang dalam sebuah pesawat jika pilotnya memiliki kemampuan spasial yang lemah?
Imagery juga berguna dalam psikologi klinis. Misalnya, seorang therapist sering
mengatasi masalah seperti phobia dan gangguan obsesif-impulsif dengan cara
menganjurkan kliennya menggunakan mental imagery (Singer, 2006).
Imagery jenis apa yang paling sering kita gunakan? Stephen Kosslyn dan rekan
(1990) meminta siswa untuk menulis diari mengenai mental imagery mereka. Hasilnya
adalah 2/3 dari mental imagery siswa tersebut adalah visual. Images untuk mendengar,
menyentuh, mengecap, dan membau lebih jarang ditemui. Ahli psikologi menunjukkan
Imagery Motor
Wexler dan rekannya (1998) melakukan penelitian pada imagery gerak, menggunakan
modifikasi mental-rotation task. Peneliti ini memilih tugas pergerakan motorik yang
mengharuskan peserta untuk merotasi joystick yang dikendalikan oleh gerak dengan
Monica Primasari, S.Pd | Chapter 7_Cognition_Matlin_311011
laju yang tetap, baik searah maupun berlawanan arah jarum jam. Joystick tersebut
diletakan sedemikian rupa sehingga peserta tidak dapat melihat pergerakan tangan
mereka. Hasilnya, tugas ini membutuhkan pergerakan motorik dan bukannya persepsi
visual.
Disaat yang sama dengan tugas motorik ini, peserta diminta untuk melihat gambar
geometrik. Masing-masing gambar disederhanakan, versi 2-dimensi dari gambar dalam
demonstrasi 7.2. Dalam demonstrasi tersebut, anda melihat kedua anggota pasangan
geometrik pada saat yang sama. Namun, dalam penelitian Wexler dan rekannya ini
(1998), peserta melihat satu per satu gambar dalam pasangan tersebut. Kemudian
mereka melihat tanda panah yang menunjukkan arah rotasi gambar tersebut (searah
atau berlawanan dengan jarum jam).
Hasilnya adalah peserta membuat penilaian mengenai mental images mereka relatif
lebih cepat ketika tangan mereka bergerak searah dengan pergerakan mental imagenya,
demikian juga sebaliknya. Penelitian Wexler dan rekannya ini menunjukkan bahwa
pergerakan motorik nyata dapat berbaur dengan pergerakan mental images.
Namun, peserta dalam penelitian Reed (1974) 14% benar pada percobaan bintang dan
paralelogram. Dari seluruh stimuli yang diberikan, peserta hanya mampu benar 55%
dari waktu yang diberikan. Menurut Reed, kemampuan rendah ini disebabkan oleh
manusia tidak mampu menyimpan mental picture. Sebagai gantinya, Reed
mengusulkan bahwa manusia menyimpan gambar sebagai deskripsi, suatu kode
proporsional. Anda mungkin saja menyimpan demonstrasi 7.3 sebagai berikut: “dua
segitiga, satu mengarah ke bawah, dan satu lagi mengarah ke atas, saling bertindihan
satu sama lain”. Ketika diminta untuk menemukan sebuah paralelogram di dalam dua
segitiga itu, anda mungkin mencari nya melalui deskripsi verbal dan hanya menemukan
Monica Primasari, S.Pd | Chapter 7_Cognition_Matlin_311011
segitiga saja, dan anda tidak menemukan paralelogram. Dari sini kita mengetahui
bahwa penelitian Reed mendukung pendekatan kode-proporsional, dan bukan
pendekatan kode analog.
Penelitian serupa telah meneliti apakah manusia dapat memberikan interpretasi ulang
untuk sebuah mental image dari satu gambar ambigu. Misalnya, anda mungin saja
menginterpretasikan gambar 7.4 dalam dua cara, yaitu seekor kelinci menghadap ke
kanan, atau seekor bebek menghadap ke kiri. Chambers da Reisberg (1985) meminta
para peserta untuk menciptakan mental sebuah mental image yang jelas untuk gambar
ini, lalu gambarnya dihilangkan. Peserta diminta untuk memberikan interpretasi
berbeda dari yang sebelumnya, dan tidak ada satupun yang mampu melakukannya.
Selanjutnya, peserta diminta menggambarkan gambar tersebut berdasarkan ingatan
mereka. Dapatkah mereka menginterpretasi-ulang stimulus fisik ini? Kelima-belas
peserta melihat ke gambar yang telah mereka buat dan memberikan interpretasi kedua.
Penelitian Chambers dan Reisberg menyarankan bahwa satu kode proporsional yang
kuat dapat mendominasi satu kode analog. Penelitian serupa lainnya juga menghasilkan
penemuan yang sama: adalah hal yang mudah untuk membalikkan image ketika anda
melihat pada satu gambar ambigu yang nyata. Sebaliknya, membalikkan mental image
adalah sangat sulit (Reisberg & Heuer, 2005).
Penelitian yang mendukung kode analog cenderung menggunakan gambar sederhana
(seperti dua jarum jam dinding). Bertolak belakang dengan hal tersebut, manusia
mungkin saja menggunakan kode proporsional ketika gambarnya lebih kompleks,
seperti dalam penelitian Reed (1974) dan Chambers & Reisberg (1985). Sebagaimana
yang dikemukakan Kosslyn dan rekan (2006), memori kita memiliki kapasitas terbatas
untuk imagery. Oleh karena itu, kita bisa saja mengalami kesulitan dalam menyimpan
informasi visual yang kompleks menggunakan kode analog dan kemudian membuat
penilaian yang tepat mengenai mental image tersebut.
Label verbal (dan sebuah kode proporsional) dapat menjadi berguna ketika stimulus
visual yang diberikan bersifat kompleks. Misalnya, ketika saya mengerjakan teka-teki
jigsaw, saya sering menemukan bahwa saya telah melibatkan label verbal, misalnya
“malaikan dengan sayap terbuka lebar” untuk membantu saya mencari potongan yang
hilang. Dalam kasus bentuk-bentuk kompleks seperti ini, penyimpanan lebih dominan
secara proporsional.
Dalam penelitian lainnya, Finke dan rekannya (1989) meminta manusia untuk
menggabungkan dua mental image seperti dalam demonstrasi 7.4. Peserta dalam
penelitian ini mampu memberikan interpretasi baru mengenai stimuli ambigu ini.
Sebagai tambahan dari gambar H dan X yang digabungkan, mereka mengemukakan
beberapa bentuk geometrik (seperti segitiga kanan), beberapa huruf baru (seperti M),
dan beberapa objek (misalnya dasi kupu-kupu).
Sebagai kesimpulan, penelitian mengenai gambar ambigu menunjukka bahwa manusia
dapat menciptakan mental image menggunakan kode proporsional dan kode analog.
Yaitu, kita lebih sering menggunakan kode analog untuk memberikan representasi
menyerupai gambar untuk menangkap mental image kita. Namun, ketika stimuli dan
Berdasarkan sudut pandang analog, kita menciptakan mental image dari suatu benda
yang benar-benar mewakili benda tersebut secara fisik dan nyata (Kosslyn et al., 2003,
2004, 2006). Anda dapat dengan mudah membedakan antara mental image anda
Berdasarkan sudut pandang proporsional, mental image disimpan dalam bentuk verbal
yang tidak secara fisik mewakili benda atau stimulus aslinya. Zenon Pylyshyn (2006)
adalah penentang terkuat dari hipotesis analog. Pylyshyn berpendapat bahwa manusia
memang mengalami mental image, akan sangat bodoh jika tidak meyakini hal ini.
Namun, image ini bukanlah komponen terpenting dari imagery.
Pylyshyn mengemukakan bahwa menyimpan informasi dalam bentuk mental image
akan sulit dilakukan dan kecil kemungkinan berhasilnya. Pylyshyn juga menekankan
perbedaan antara pengalaman perseptual dan mental images.
III.1. Penelitian Neurosains yang membandingkan Imagery Visual dan Persepsi Visual
Secara umum, persepsi dan imagery terlihat menunjukkan proses psikologis yang sama.
Namun, seberapa samakah imagery dan persepsi di tingkat biologis? Tentu saja
keduanya tidak lagi identik. Mental imagery bergantung pada proses top-down.
Sebaliknya, visual perseption mengaktifkan sel batang dan kerucut di retina.
Kosslyn (2006), Reisberg & Heuer (2005), Thompson & Kosslyn, (2000 )
Penelitian mereka menunjukkan bahwa ketika kita membangun sebuah mental
image, struktur otak untuk proses visual yang lebih tinggi – jauh melampaui
retina – teraktifkan.
Farah (2000a; 2000b), Kosslyn, Ganis, & Thompson (2001); Kosslyn (2006)
Individu dengan kerusakan otak (bagian korteks dan lainnya) tidak mampu
menerima image perseptual dan juga tidak mampu menciptakan mental image
namun kemampuan kognitif lainnya normal. Secara umum, individu dengan
kerusakan otak menunjukkan pelemahan dalam mental imagery yang mewakili
pelemahan kemampuan perseptualnya.
PET oleh Stephen Kosslyn (1996)