Anda di halaman 1dari 15

CHAPTER 7

MENGGUNAKAN MENTAL IMAGERY DAN PETA KOGNITIF

I. PENDAHULUAN
Mari kita merenung sesaat untuk membayangkan gambar dari cover buku ini
sejeak. Yakinkan bahwa anda juga membayangkan bentuk buku, warna, ukuran, dan
gambar kulit kerang yang ada pada cover secara persis. Selanjutnya, buatlah mantal
map (peta yang dibayangkan dalam pikiran saja) dari tempat tinggal anda menuju
minimarket terdekat. Kedua tugas ini membutuhkan imagery, yang merupakan
penggambaran jiwa terhadap stimuli ketika stimuli tersebut tidak ada secara fisik
(Kosslyn et. al. 2002).
Imagery bergantung pada proses top-down, karena reseptor sensorik anda tidak
menerima input apapun ketika anda mencoba menciptakan sebuah mental image.
Sebelumnya, kita telah membahas proses perseptual di bab 2 dan 3. Bertolak belakang
dengan imagery, proses persepsi mengharuskan kita untuk menerima informasi melalu
reseptor organ-organ sensorik seperti mata dan telinga (Kosslyn, Ganis, & Thompson,
2001). Sebagaimana yang telah kita tekankan sebelumnya, persepsi membutuhkan
proses bottom-up dan top-down.
Kita menggunakan imagery beragam tugas kognitif yang familiar (Denis et al.,
2004; Traversky, 2005a). Imagery relevant dengan apa yang telah kita bahas di bagian
awal buku ini, dan juga dengan bagian selanjutnya. Misalnya, di bab 11 kita akan
membahas bahwa imagery sangat berguna ketika kita ingin menyelesaikan soal atau
masalah spasial atau mengerjakan tugas yang membutuhkan kreatifitas. Sebagai
tambahan, beberapa profesi juga menenkankan perlunya mental imagery. Maukah anda
terbang dalam sebuah pesawat jika pilotnya memiliki kemampuan spasial yang lemah?
Imagery juga berguna dalam psikologi klinis. Misalnya, seorang therapist sering
mengatasi masalah seperti phobia dan gangguan obsesif-impulsif dengan cara
menganjurkan kliennya menggunakan mental imagery (Singer, 2006).
Imagery jenis apa yang paling sering kita gunakan? Stephen Kosslyn dan rekan
(1990) meminta siswa untuk menulis diari mengenai mental imagery mereka. Hasilnya
adalah 2/3 dari mental imagery siswa tersebut adalah visual. Images untuk mendengar,
menyentuh, mengecap, dan membau lebih jarang ditemui. Ahli psikologi menunjukkan

Monica Primasari, S.Pd | Chapter 7_Cognition_Matlin_311011


ketidakseimbangan semacam ini dalam pilihan penelitian mereka. Peneliti biasanya
meneliti topik seperti imagery pendengaran atau imagery penciuman. Namun, sebagian
besar penelitian menyelidiki imagery visual (Djordjevic et al., 2004; Oliver
Belardinelli, 2004; Reisberg & Heuer, 2005).
Wilhelm Wundt dan ahli psikologi terdahulu menganggap imagery sebagai
bagian penting dari disiplin ilmu psikologi (Palmer, 1999). Bertolak belakang dengan
hal tersebut, para ahli behavioris seperti John Watson sangat menentang penelitian
mengenai mental imagery karena tidak dapat dihubungkan dengan perilaku yang dapat
diamati. Akibatnya, ahli psikologi Amerika Utara jarang meneliti imagery selama
periode tahun 1920 – 1960 (Kosslyn et al., 2006); Traversky, 2000b). Seiring
popularitas yang didapat psikologi kognitif, peneliti menemukan kembali imagery.
Topik ini berlanjut menjadi sangat penting dalam psikologi kognitif kontemporer
(Allen, 2004; Kosslyn et al., 2006).
Bab ini membahas tiga aspek imagery yang telah memikat peneliti komtemporer.
Pertama, kita akan mempelajari karakteristik dari mental images, dengan penekanan
pada cara bagaimana kita mengubah image-image ini. Kemudian kita akan menggali
beberapa penelitian kognitif neurosains mengenai beberapa jenis mental imagery.
Topik terakhir yang akan kita bahas adalah peta kognitif, atau penggambaran mental
terhadap informasi geografis.

II. KARAKTERISTIK MENTAL IMAGES


Seperti yang anda mungkin harapkan, penelitian mengenai mental imagery sulit
dilakukan, terumata karena peneliti tidak dapat secara langsung mengamati mental
image dan mental image tersebut dapat hilang dengan cepat. Namun, ahli psikologi
telah memodifikasi beberapa teknik penelitian yang dikembangkan untuk meneliti
persepsi visual. Teknik ini kini dapat diterapkan pada mental images (Allen, 2004).
Sebagai hasilnya, penyelidikan mengenai imagery telah membuat perkembangan yang
mengesankan. Silahkan coba demonstrasi 7.2.
Stephen Kosslyn dan rekannya menggunakan istilah imagery debate (perdebatan
imagery) untu sebuah kontroversi yang penting; Apakah mental images yang kita miliki
mewakiliki persepsi (menggunakan kode analogi), atau apakah mental images tersebut
mewakili bahasa (menggunakan kode proporsional)? Kami akan memperkenalkan
kontroversi tersebut dan kemudian kita kembali membahas jawaban di atas secara lebih
mendalam.
Sebagian besar ahli teori mengemukakan bahwa informasi mengenai suatu
mental image disimpan dalam bentuk kode analog (Howes, 2007; Kosslyn et al., 2006;

Monica Primasari, S.Pd | Chapter 7_Cognition_Matlin_311011


Reisberg et al., 2003). Suatu kode analog (yang disebut juga representasi depiktif atau
representasi pictorial) adalah representasi yang mendekati objek fisik. Perhatikan
bahwa analog merupakan bentuk analogi, seperti analogi antara objek sebenarnya
dengan mental image.
Berdasarkan pendekatan kode analog, mental imagery relatif dekat dengan
persepsi (Traversky, 2005a). Ketika anda melihat suatu foto segitiga, fitur fisik dari
segitiga tersebut diterima otak anda dalam suatu bentuk yang menunjukkan hubungan
fisik antara tiga garis. Pendukung pengkodean analog mengemukakan bahwa mental
image anda mengenai segitiga diterima dengan cara yang sama, menunjukkan
hubungan yang sama antara garis-garis dalam segitiga tersebut. Meskipun demikian,
para pendukung pendekatan ini tidak mengemukakan bahwa manusia benar-benar
memiliki sebuah gambar dalam pikiran mereka (Kosslyn et al., 2006). Lebih jauh lagi,
mereka mengemukakan bahwa manusia sering gagal dalam memperhatikan detil-detil
secara tepat ketika mereka melihat sebuah objek. Serupa dengan hal ini, detil-detil
tersebut sering hilang dari mental images mereka mengenai objek ini (Howes, 2007;
Kosslyn et al., 2006).
Berlawanan dengan posisi kode analog, ahli teori lainya mengemukakan bahwa
kita menyimpan images dalam bentuk kode proporsional (Phylyshyn, 1984, 2003,
2006). Sebuah kode proporsional (yang disebut juga representasi deskriptif) adalah
representasi menyerupai bahasa yang abstrak; penyimpanannya tidak dalam bentuk
visual atau spasial, dan tidak secara fisik mewakili stimuli sebenarnya.
Berdasarkan pendekatan kode proporsional, mental imagery relatif cukup dekat
dengan bahasa, bukan persepsi. Misalnya, ketika anda mencoba menciptakan sebuah
mental image dari segitiga, otak anda akan menerima deskripsi bahasa mengenai garis-
garis dan sudut. Ahli teori belum menspesifikasi karakteristik dari deskripsi verbal ini.
Namun, deskripsi ini bersifat abstrak, dan tidak mewakili bahasa asli manapun, seperti
bahasa Inggris atau Indonesia (Kosslyn et al., 2006).
Kontroversi mengenai pengkodean analog dan proporsional masih belum
terselesaikan. Sebagina besar orang yang melakukan penelitian mengenai imagery
visual mendukung posisi analog, mungkin karena mereka sendiri mengalami secara
nyata penggambaran menyerupai images (Reisberg, 2003). Seperti sebagian besar
kontroversi dalam psikologi, baik pendekatan analog maupun proporsional mungkin
benar, paling tidak secara terpisah. Seiring anda membaca bab ini, silahkan pisahkan
mana yang penelitian yang mendukun masing-masing pendekatan.
Telah disebutkan sebelumnya bahwa mental imagery adalah topik yang
menantang untuk diteliti. Dibandingkan dengan topik seperti memori verbal, mental
imagery lebih bersifat sangat luas dan tidak dapat diakses. Para peneliti telah mencoba
menyerang masalah ini dengan logika berikut: jika sebuah mental image benar-benar
mewakili sebuah objek, maka manusia harus membuat penilaian mengenai mental
image tersebut dengan cara yang sama ketika mereka menilai objek nyata tersebut.
Misalnya, kita seharusnya bisa memutar mental image yang kita miliki sebagaimana
kita memutar benda nyata. Penilaian mengenai jarak dan bentuk juga seharunya serupa.
Sebagai tambahan, mental image dari suatu benda seharusnya berbaur dengan persepsi
Monica Primasari, S.Pd | Chapter 7_Cognition_Matlin_311011
dari benda tersebut. Selanjutnya, kita seharusnya bisa menemukan 2 interpretasi dari
satu mental image mengenai figur yang ambigu, dan kita seharusnya mampu
menciptakan efek visual ketika kita menciptakan mental image. Mari kita lihat potensi
kesamaan mental imagery dengan persepsi.

II.1. Imagery dan Rotasi


Andaikan anda adalah seorang peneliti yang ingin meneliti apakah manusia memutar
mental image-nya dengan cara yang sama ketika mereka memutar benda nyata. Sekilas
anda dapat berpikir untuk menanyakan kepada orang-orang yang anda temui secara
sederhana untuk menganalisa mental image mereka dan menggunakan jawaban-
jawaban tersebut sebagai dasar untuk menggambarkan mental imagery. Namun, laporan
introspektif ini dapat bersifat tidak akurat dan bias, karena manusia mungkin saja tidak
mempunya akses secara sadar terhadap proses yang berhubungan dengan mental
imagery kita (Anderson, 1998; Pinker, 1985; Phylyshyn, 2006). Mari kita lihat
beberapa penelitian terkait mental imagery berikut ini.

 Penelitian Shepard dan Metzler


Demosntrasi 7.2 adalah gambaran klasik percobaan yang dilakukan Roger
Shepard dan Jacqueline Metzler (1971). Mereka meminta 8 peserta untuk menilai
1600 pasang gambar semacam ini. Peserta diminta untuk menarik sebuah knop
dengan tangan kanan jika pasangan gambar tersebut sama, dan menarik knop dengan
tangan kiri jika gambarnya tidak sama. Peneliti menghitung waktu yang dibutuhkan
peserta untuk membuat keputusan. Dengan begitu, variable terikatnya adalah waktu
reaksi.
Pada demonstrasi 7.2 pasangan A dan B adalah pasangan dengan gambar yang
sama. Gambar 7.1 menunjukkan hasil penelitian masing-masing untuk pasangan A
dan B. Pasangan A pada demonstratsi 7.2 membutuhkan rotasi 2-dimensi, sama
dengan merotasi gambar datar. Sebaliknya pasangan B membutuhkan rotasi 3-
dimensi, sama dengan merotasi benda menurut kedalamannya. Sebagaimana yang
ditunjukkan oleh kedua grafik, keputusan peserta sangat dipengaruhi oleh jumlah
rotasi yang dibutuhkan untuk mencocokan satu gambar dengan pasangannya. Selain
itu juga terlihat bahwa peserta membutuhkan waktu yang sama ketika melakukan
rotasi 2-dimensi dan 3-dimensi.
Sebagaimana yang anda bisa lihat, hubungan antara rotasi dan waktu reaksi
berbentuk garis lurus. Dengan demikian, penelitian ini mendukung kode-analog,
karena anda akan membutuhkan waktu lebih lama untuk memutar objek sebenarnya
160 derajat dibandingkan 20 derajat. Sebaliknya, kode proporsional akan
memprediksikan waktu reaksi yang sama untuk kedua kondisi sudut rotasi tersebut,
deskripsi verbal mengenai gambar tidak akan dipengaruhi oleh jumlah rotasi.

 Penelitian terbaru mengenai Mental Rotation

Monica Primasari, S.Pd | Chapter 7_Cognition_Matlin_311011


Penemuan mendasar mengenai hubungan antara rotasi dan waktu reaksi telah
direka-ulang berkali-kali. Dengan menggunakan berbagai stimuli seperti huruf
dalam alfabet, peneliti telah menemukan hubungan yang jelas antara sudut rotasi
dengan waktu reaksi (Bauer & Jolicoeur, 1996; Cooper & Lang, 1996; Kosslyn et
al., 2006; Newcombe, 2002).
Kita mengetahui bahwa orang tua melakukan mental-rotation task lebih lambat
dari orang muda. Sebaliknya, usia tidak secara konsisten berhubungan dengan
keterampilan imagery lainnya seperti rasa dalam arah atau kemampuan untuk
membaca mental images (Beni et al., 2006; Door & Kosslyn, 1994). Namun, secara
mengejutkan, latihan terhadap satu mental-rotation task tidak akan meningkatkan
kemampuan anda dalam mental-rotation task yang lain (Sims & Mayer, 2002).
Secara umum, penelitian mengenai rotasi figur geometrik memberikan beberapa
dukungan yang sangat kuat untuk pendekatan pengkodean-analog. Kita cenderung
memperlakukan mental image dengan cara yang sama ketika kita memperlakukan
benda fisik yang nyata.

II.2. Imagery dan Jarak


Stephen Kosslyn adalah satu dari banyak peneliti penting dalam bidang mental
imagery. Beberapa dari penelitian awalnya fokus pada hubungan antara jarak dua titik
dalam satu mental image dengan waktu respon peserta. Misalnya, Kosslyn dan
rekannya (1978) menunjukkan bahwa manusia membutuhkan waktu lama untuk
membaca jarak antara dua titik yang terpisah jauh dalam satu mental map yang mereka
ciptakan sendiri. Sebaliknya, manusia dapat membaca jarak antara dua titik yang
berdekatan dengan sangat cepat. Penelitian berikutnya membenarkan bahwa terdapat
hubungan yang linear antara jarak yang akan dibaca pada satu mental image dan jumlah
waktu yang dibutuhkan untuk membaca jarak ini. (Denis & Kosslyn, 1999b; Kosslyn et
al., 2006).
Para peneliti juga telah merancang study tambahan mengenai imagery dan jarak
sehingga mereka bisa menyelidiki isu-isu penting mengenai metode penelitian.
Dapatkah hasil penelitian Kosslyn dan rekannya (1978) dijelaskan dengan experimenter
expectancy (harapan eksperimenter), dan tidak dengan pengaruh sebenarnya dari jarak
antara dua titik dalam mental image?
Dalam harapan eksperimenter, bias dan harapan eksperimenter mempengaruhi hasil
dari eksperimen itu sendiri. Misalnya, peneliti psikologi yang meneliti mental imagery
mengetahui bahwa semaki besar jarak akan membutuhkan waktu pencarian lebih lama.
Mungkin saja peneliti ini (secara tidak sengaja) menyampaikan pada peserta mengenai
harapannya. Kemudian, peserta ini mungkin, - secara sadar atau tidak- menyesuaikan
kecepatan pencariannya dengan harapan tersebut (Denis & Kosslyn, 1999a; Intons-
Peterson, 1983).
Untuk menjawab kritik ini, Jolicoeur dan Kosslyn (1985a, 1985b) mengulangi
percobaan mental map yang dirancang oleh Kosslyn dan rekannya (1978). Namun,
mereka meyakinkan bahwa dua asisten peneliti yang melakukan penelitian tersebut
tidak familiar dengan penelitian dalam mental imagery. Secara khusus, mereka tidak
Monica Primasari, S.Pd | Chapter 7_Cognition_Matlin_311011
mengetahui hubungan linear yang ditemukan pada penelitian sebelumnya. Sebagai
gantinya, asisten tersebut diberikan penjelasan elaboratif dan meyakinkan (namun tidak
benar) tentang mengapa mereka mendapatkan bentuk menyerupai kurva U untuk
hubungan jarak dan waktu pembacaan.
Menariknya, asisten tersebut tidak mendapatkan bentuk U sebagaimana yang telah
diinformasikan kepada mereka. Sebagai gantinya, mereka menemukan hubungan linear
standar, dimana peserta membutuhkan waktu lebih lama ketika mereka membaca jarak
mental yang lebih besar. Oleh karena itu, harapan eksperimenter tidak dapat dikatakan
terlibat dalam hasil yang diperoleh.
Sampai titik ini, kita telah mempertimbangkan visual image saja, menanyakan tentang
jarak dalam peta yang dibayangkan. Penelitian lainnya telah meneliti imagery
pendengaran (auditory imagery). Hasilnya menunjukkan manusia dapat membaca jarak
antara dua not musikal dalam tingkat nada yang sama. Sebaliknya, manusia
membutuhkan waktu lebih lama jika kedua not tersebut terpisah jauh dalam skala
musikal.

II.3. Imagery dan Bentuk


Allan Paivio (1978) meminta peserta dalam penelitiannya untuk membuat penilaian
mengenai sudut yang terbentuk oleh kedua jarum jam dinding imaginer. Misalnya, coba
visualkan kedua jarun jam dalam jam dinding non digital. Kemudian, ciptakan suatu
mental image dari sudut yang terbentuk jika waktu menunjukkan pukul 3:20. Dengan
cara yang sama, lakukan untuk pukul 7:25. Sudut manakah yang lebih besar?
Paivio memberikan beberapa tes standar kepada peserta untuk menilai kemampuan
imagery mereka. Sebagaimana yang terlihat dalam gambar 7.2, peserta dengan
kemampuan imagery tinggi membuat keputusan jauh lebih cepat dibandingkan yang
kemampuannya lemah. Dalam gambar tersebut juga ditunjukkan bahwa kedua
kelompok peserta membutuhkan waktu lama dalam membuat keputusan ketika mereka
membandingkan sudut pada pukul 3:20 dan 7:25. Memang kedua sudut ini sangat
mirip. Peserta mengambil keputusan dengan cepat ketika sudut yang dibandingkan
berbeda cukup jauh, seperti 3:20 dan 7:05.
Menurut Paivio, penelitian ini menunjukkan dukungan kuat terhadap pendekatan kode
analog.
Bukti lainnya datang dari penelitian yang dilakukan Shepard dan Chipman (1970) yang
meminta peserta untuk membangun mental images dari bentuk-bentuk negara bagian
USA seperti Colorado dan Oregon. Kemudian peserta menilai kesamaan antara kedua
mental images tersebut. Misalnya, tanpa melihat peta, seberapa samakah bentuk
Colorado dan Oregon bagi anda? Bagaimana dengan Colorado dan Virginia?
Peserta yang sama juga membuat penilaian kesamaan bentuk dari pasangan-pasangan
negara bagian ketika mereka melihat sketsa fisik dari masing-masing negara bagian.
Penilaian peserta cukup sama untuk kedua kondisi di atas. Sekali lagi, penilaian
manusia mengenai bentuk mental images sama dengan penilaian mereka mengenai
bentuk stimuli fisik.

Monica Primasari, S.Pd | Chapter 7_Cognition_Matlin_311011


Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, karakteristik mental images yang dapat
disimpulkan antara lain:
1. Ketiak manusia merotasi satu mental image, rotasi besar membutuhkan waktu lebih
lama, sama lamanya dengan melakukan rotasi besar dengan objek nyata.
2. Manusia membuat penilaian jarak dengan cara yang sama untuk mental images dan
stimulis fisik; kesimpulan ini berlaku benar untuk images visual dan auditory.
3. Manusia membuat keputusan mengenai bentuk dengan cara yang sama untuk
mental image dan stimuli fisik; kesimpulan ini berlaku benar untuk bentuk
sederhana (sudut jarum jam) dan bentuk kompleks (bentuk negara bagian USA).

II.4. Imagery dan Interferensi


Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa mental images dan physical image dapat
berbaur satu dengan yang lain (Baddely dkk). Mari menyelidiki penelitian yang
berkaitan dengan interferensi ini, terutama fokus pada (1) imagery visual dan auditori
dan (2) imagery motor
Imagery Visual dan Auditory
Cobalah menciptakan satu mental image dari wajah seorang teman, dan secara
bersamaan biarkan mata anda bergerak pada halaman ini. Anda akan menemukan
kesulitan dalam melakukannya, karena anda berusaha untuk melihat wajah teman anda
(dalam image visual) dan disaat yang sama anda mencoba melihat huruf pada halaman
ini (stimulus fisik). Dengan kata lain, anda mengalami interferensi (gangguan,
pembauran). Penelitian telah membenarkan bahwa imagery visual dapat berbaur
dengan persepsi visual. Selanjutnya, imagery auditori dapat berbaur dengan persepsi
auditori.
Segal dan Fusella (1970) melakukan penelitian dengan meminta peserta menciptakan
visual image (misalnya pohon) atau auditory image (misalnya suara harmonika).
Setelah peserta tersebut menciptkan image yang diminta, peneliti menghadirkan
stimulus fisik yang sebenarnya, apakah itu suara harmonika atau anak panah biru kecil.
Pada masing-masing kasus, peneliti mencoba mengukur kemampuan peserta untuk
mendeteksi stimulus fisik. Hasilnya menunjukkan bahwa peserta mengalami masalah
dalam mendeteksi stimulus fisik ketika image dan signal berada dalam mode sensorik
yang sama. Misalnya, peserta sering gagal melaporkan “panah” ketika mereka telah
membayagkan pohon (yang disebut berada dalam mode sensorik yang sama). Image
visual berbaur dengan stimulus visual nyata. Sebaliknya, ketika mereka telah
membayangkan suara oboe, mereka tidak mengalami masalah melaporkan “panah”
(dua mode sensorik yag berbeda). Hal yang sama juga berlaku untuk peserta yang diuji
dengan suara harmonika dan oboe.

Imagery Motor
Wexler dan rekannya (1998) melakukan penelitian pada imagery gerak, menggunakan
modifikasi mental-rotation task. Peneliti ini memilih tugas pergerakan motorik yang
mengharuskan peserta untuk merotasi joystick yang dikendalikan oleh gerak dengan
Monica Primasari, S.Pd | Chapter 7_Cognition_Matlin_311011
laju yang tetap, baik searah maupun berlawanan arah jarum jam. Joystick tersebut
diletakan sedemikian rupa sehingga peserta tidak dapat melihat pergerakan tangan
mereka. Hasilnya, tugas ini membutuhkan pergerakan motorik dan bukannya persepsi
visual.
Disaat yang sama dengan tugas motorik ini, peserta diminta untuk melihat gambar
geometrik. Masing-masing gambar disederhanakan, versi 2-dimensi dari gambar dalam
demonstrasi 7.2. Dalam demonstrasi tersebut, anda melihat kedua anggota pasangan
geometrik pada saat yang sama. Namun, dalam penelitian Wexler dan rekannya ini
(1998), peserta melihat satu per satu gambar dalam pasangan tersebut. Kemudian
mereka melihat tanda panah yang menunjukkan arah rotasi gambar tersebut (searah
atau berlawanan dengan jarum jam).
Hasilnya adalah peserta membuat penilaian mengenai mental images mereka relatif
lebih cepat ketika tangan mereka bergerak searah dengan pergerakan mental imagenya,
demikian juga sebaliknya. Penelitian Wexler dan rekannya ini menunjukkan bahwa
pergerakan motorik nyata dapat berbaur dengan pergerakan mental images.

II.5. Imagery dan Figure Ambigu


Stephen Reed (1974) tertarik dengan kemampuan manusia dalam memutuskan apakah
suatu pola adalah bagian dari rancangan yang telah mereka lihat sebelumnya. Dia
kemudian menyajikan sederetan pasangan gambar: pertama, pola Bintang David
(Demonstrasi 7.3) dan setelah jeda singkat, pola kedua (misalnya sebuah paralelogram,
yaitu gambar bersisi-4 yang sisi berlawanannya sejajar dan paralel). Setengah bagian
dari kasus ini, pola kedua adalah bagian dari pola pertama. Setengah lainnya tidak.
Jika manusia menyimpan mental images dalam kepala mereka berdasarkan objek fisik
yang telah mereka lihat, mereka akan mampu menciptakan mental image bintang dan
dengan cepat menemukan bentuk paralelogram yang tersembunyi di dalamnya.

Demonstrasi 7.3 dan 7.4

Namun, peserta dalam penelitian Reed (1974) 14% benar pada percobaan bintang dan
paralelogram. Dari seluruh stimuli yang diberikan, peserta hanya mampu benar 55%
dari waktu yang diberikan. Menurut Reed, kemampuan rendah ini disebabkan oleh
manusia tidak mampu menyimpan mental picture. Sebagai gantinya, Reed
mengusulkan bahwa manusia menyimpan gambar sebagai deskripsi, suatu kode
proporsional. Anda mungkin saja menyimpan demonstrasi 7.3 sebagai berikut: “dua
segitiga, satu mengarah ke bawah, dan satu lagi mengarah ke atas, saling bertindihan
satu sama lain”. Ketika diminta untuk menemukan sebuah paralelogram di dalam dua
segitiga itu, anda mungkin mencari nya melalui deskripsi verbal dan hanya menemukan
Monica Primasari, S.Pd | Chapter 7_Cognition_Matlin_311011
segitiga saja, dan anda tidak menemukan paralelogram. Dari sini kita mengetahui
bahwa penelitian Reed mendukung pendekatan kode-proporsional, dan bukan
pendekatan kode analog.
Penelitian serupa telah meneliti apakah manusia dapat memberikan interpretasi ulang
untuk sebuah mental image dari satu gambar ambigu. Misalnya, anda mungin saja
menginterpretasikan gambar 7.4 dalam dua cara, yaitu seekor kelinci menghadap ke
kanan, atau seekor bebek menghadap ke kiri. Chambers da Reisberg (1985) meminta
para peserta untuk menciptakan mental sebuah mental image yang jelas untuk gambar
ini, lalu gambarnya dihilangkan. Peserta diminta untuk memberikan interpretasi
berbeda dari yang sebelumnya, dan tidak ada satupun yang mampu melakukannya.
Selanjutnya, peserta diminta menggambarkan gambar tersebut berdasarkan ingatan
mereka. Dapatkah mereka menginterpretasi-ulang stimulus fisik ini? Kelima-belas
peserta melihat ke gambar yang telah mereka buat dan memberikan interpretasi kedua.
Penelitian Chambers dan Reisberg menyarankan bahwa satu kode proporsional yang
kuat dapat mendominasi satu kode analog. Penelitian serupa lainnya juga menghasilkan
penemuan yang sama: adalah hal yang mudah untuk membalikkan image ketika anda
melihat pada satu gambar ambigu yang nyata. Sebaliknya, membalikkan mental image
adalah sangat sulit (Reisberg & Heuer, 2005).
Penelitian yang mendukung kode analog cenderung menggunakan gambar sederhana
(seperti dua jarum jam dinding). Bertolak belakang dengan hal tersebut, manusia
mungkin saja menggunakan kode proporsional ketika gambarnya lebih kompleks,
seperti dalam penelitian Reed (1974) dan Chambers & Reisberg (1985). Sebagaimana
yang dikemukakan Kosslyn dan rekan (2006), memori kita memiliki kapasitas terbatas
untuk imagery. Oleh karena itu, kita bisa saja mengalami kesulitan dalam menyimpan
informasi visual yang kompleks menggunakan kode analog dan kemudian membuat
penilaian yang tepat mengenai mental image tersebut.
Label verbal (dan sebuah kode proporsional) dapat menjadi berguna ketika stimulus
visual yang diberikan bersifat kompleks. Misalnya, ketika saya mengerjakan teka-teki
jigsaw, saya sering menemukan bahwa saya telah melibatkan label verbal, misalnya
“malaikan dengan sayap terbuka lebar” untuk membantu saya mencari potongan yang
hilang. Dalam kasus bentuk-bentuk kompleks seperti ini, penyimpanan lebih dominan
secara proporsional.
Dalam penelitian lainnya, Finke dan rekannya (1989) meminta manusia untuk
menggabungkan dua mental image seperti dalam demonstrasi 7.4. Peserta dalam
penelitian ini mampu memberikan interpretasi baru mengenai stimuli ambigu ini.
Sebagai tambahan dari gambar H dan X yang digabungkan, mereka mengemukakan
beberapa bentuk geometrik (seperti segitiga kanan), beberapa huruf baru (seperti M),
dan beberapa objek (misalnya dasi kupu-kupu).
Sebagai kesimpulan, penelitian mengenai gambar ambigu menunjukka bahwa manusia
dapat menciptakan mental image menggunakan kode proporsional dan kode analog.
Yaitu, kita lebih sering menggunakan kode analog untuk memberikan representasi
menyerupai gambar untuk menangkap mental image kita. Namun, ketika stimuli dan

Monica Primasari, S.Pd | Chapter 7_Cognition_Matlin_311011


situasi membuat hal ini sulit dilakukan dengan kode analog, kita dapat menggunakan
kode proporsional untuk menghasilkan representasi bahasa.

II.6. Imagery dan Proses Vision-like lainnya


Kita telah membahas beragam karakteristik yang berhubungan dengan imagery visual.
Ini meliputi rotasi, jarak, bentuk, interferense, dan gambar ambigu. Mari kita lanjutkan
pembahasan kita ke karakteristik yang agak kurang jelas mengenai persepsi visual. Kita
akan melihat bahwa setiap karakteristik visual memiliki padanan mental imagery yang
setara.
Penelitian oleh Ishai dan Isagi (1995) menunjukkan bahwa manusia dapat melihat
target visual dengan lebih akurat jika target tersebut dihadirkan dengan stimuli
penyamaran dimasing-masing sisi target. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa ental
imagery menghasilkan efek penyamaran yang sama. Yaitu, manusia dapat melihat
target visual lebih akurat jika mereka menciptakan mental image penyamaran di
masing-masing sisi target.
Penelitian terhadap efek penyamaran ini penting terutama karena adanya issu dalam
metode penelitian yang disebut “karakteristik permintaan”. Karakteristik permintaan
adalah semua bantuan yang mungkin saja menyampaikan hipotesis sipeneliti kepada
peserta. Sebelumnya kita telah membahas harapan eksperimenter, yang merupakan
salah satu bentuk karakteristik permintaan.
Efek penyamaran tidak akan begitu jelas bagi mereka yang tidak memiliki latar
belakang ilmu mengenai persepsi. Peserta dalam penelitian Ishai dan Sagi (1995) tidak
akan pernah menebak bahwa target visual akan lebih mudah terlihat jika target tersebut
dikelilingi oleh stimuli penyamaran. Oleh karena itu, karakteristik permintaan tidak
terlibat dalam efek penyamaran dengan mental images. Hasilnya, kita akan lebih yakin
bahwa mental imagery benar-benar dapat menghasilkan efek penyamaran, sebagaimana
stimuli visual dapat menghasilkan efek penyamaran.

II.7. Meninjau kembali Kontroversi mengenai Imagery


Kontroversi mengenai imagery telah menjadi bagian yang penting dan merupakan
perdebatan yang berlangsung cukup lama dalam bidang psikologi kognitif (Kosslyn et
al., 2004; Kosslyn et al., 2006; Pylyshyn, 2004, 2006). Pada bagian ini akan lebih jauh
dibahas kedua pandangan mengenai mental imagery, yaitu kode analog dan kode
proporsional. Kedua pendekatan ini berbeda dalam penekanan terhadap kesamaan
antara mental images dan physical stimuli. Namun kedua posisi ini tidak sepenuhnya
berbeda, dan bisa digunakan untuk tugas yang berbeda.

Sudut Pandang Analog

Berdasarkan sudut pandang analog, kita menciptakan mental image dari suatu benda
yang benar-benar mewakili benda tersebut secara fisik dan nyata (Kosslyn et al., 2003,
2004, 2006). Anda dapat dengan mudah membedakan antara mental image anda

Monica Primasari, S.Pd | Chapter 7_Cognition_Matlin_311011


mengenai cover buku ini dan persepsi anda mengenai itu. Pandangan ini didukung oleh
penelitian neuropsikologi yang memberikan bukti kuat, yaitu imagery visual dan
imagery persepsi mengaktifkan banyak struktur serupa di korteks (Kosslyn et al.,
2006).
Kosslyn dan rekannya mengembangkan pendekatan analog untuk visual imagery
dengan merancang sebuah model dengan beberapa subsistem yang berbeda. Baik
imagery visual dan persepsi membagi rata subsistem ini. Subsistem yang representatif
dalam model ini adalah pergereran atensi (perhatian), suatu proses kognitif yang
dibahas di bab 3. Manusia dapat menggeser perhatian mereka dalam mental imagery.
Misalnya dalam menjawab pertanyaan apakah kucing memiliki cakar melengkung di
kaki depannya? Anda dengan mudah menggeser perhatian anda dari image kucing
secara utuh lalu memperbesar bagian kaki depannya untuk melihat apakah kucing
tersebut memiliki cakar melengkung atau tidak.
Kesimpulannya, sudut pandang analog mengusulkan bahwa imagery mewakili persepsi
dalam banyak aspek. Kedua proses tersebut bahkan mengaktifkan struktur serupa dalam
korteks cerebral. Selanjutnya, beberapa subsistem dapat memanipulasi mental images
kita. Sebagai hasilnya, mental image kita dapat bersifat sangat fleksibel dan berguna
untk beragam tugas kognitif.

Sudut Pandang Proporsional

Berdasarkan sudut pandang proporsional, mental image disimpan dalam bentuk verbal
yang tidak secara fisik mewakili benda atau stimulus aslinya. Zenon Pylyshyn (2006)
adalah penentang terkuat dari hipotesis analog. Pylyshyn berpendapat bahwa manusia
memang mengalami mental image, akan sangat bodoh jika tidak meyakini hal ini.
Namun, image ini bukanlah komponen terpenting dari imagery.
Pylyshyn mengemukakan bahwa menyimpan informasi dalam bentuk mental image
akan sulit dilakukan dan kecil kemungkinan berhasilnya. Pylyshyn juga menekankan
perbedaan antara pengalaman perseptual dan mental images.

II.8. Perbedaan Individual: Perbandingan Gender dalam Kemampuan Spasial


Jika kita ingin memahami perbandingan gender dalam spasial imagery, kita tidak dapat
fokus pada satu kajian saja.
Ketika penelitian untuk satu topik begitu melimpah, ahli psikologi sering menggunakan
“meta-analisis”, yang memberikan metode statistik untuk menggabungkan sejumlah
penelitian untuk satu penelitian. Peneliti mulai dengan menempatkan semua penelitian
yang sesuai pada satu topik, misalnya perbandingan gender dalam kemampuan verbal.
Kemudian mereka melakukan meta-analisis yang menggabungkan hasil untuk hasil
semua penelitian ini.
Berdasarkan tabel 7.1., empat meta-analisis untuk kemampuan verbal menunjukkan
perbedaan gender yang sangat kecil. Perbedaan gender ini lebih jelas terlihat dalam
kemampuan spasial. Satu poin penting adalah kemampuan spasial mewakili beberapa
keterampilan berbeda, dan tidak dalam satu kesatuan (Caplan & Caplan, 1999;
Monica Primasari, S.Pd | Chapter 7_Cognition_Matlin_311011
Chipman, 2004; Tversky, 2005b). Satu keterampilan adalah visualisasi visual, misalnya
ketika melihat suatu sketsa jalanan sibuk untuk menemukan gambar wajah manusia.
Berdasarkan meta-analisis yang dilakukan Hyde (2005), terdapat perbedaan gender
yang kecil dalam visualisasi spasial ini.
Komponen kedua dari kemampuan spasial adalah persepsi spasial, misalnya ketika
duduk diruangan gelap dan berusaha menyesuaikan suatu batang yang diterangi agar
posisinya tepat vertikal. Meta-analisis yang fokus pada persepsi visual ini menghasilkan
perbedaan yang cukup/ sedang antara pria dan wanita.
Komponen ketiga dalam kemampuan spasial adalah mental rotation, misalnya ketika
melihat dua buah gambar dan mencoba menentukan apakah kedua gambar tersebut
akan identik jika anda merotasi salah satu gambar. Mental rotation adalah salah satu
tugas kognitif dimana sekelompok pria memperoleh skor yang lebih tinggi dibanding
kelompok wanita. Hal ini mungkin dapat dijelaskan dengan faktor biologis.
Namun, disisi lain, ada penelitian yang melaporkan bahwa tidak ada pebedaan gender
dalam kemampuan mental rotation. Selanjutnya, beberapa penelitian juga melaporka
bahwa perbedaan gender sama sekali hilang ketika tugas yang diberikan diubah dan
ketika manusia menerima pelatihan untuk keterampilan spasial. Lebih jauh lagi,
sebagian besar perbedaan gender dalam rotasi spasial dapat ditelusuri hingga
pengalaman dengan mainan dan olahraga yang menekankan keterampilan spasial.
Dengan kata lain, meskipun dalam satu area kognitif ini tidak dapat dihindari, namun
dapat dimodifikasi dengan memberikan pengalaman aktifitas spasial.

III. PENELITIAN KOGNITIF NEUROSCIENCE MENGENAI MENTAL


IMAGERY

III.1. Penelitian Neurosains yang membandingkan Imagery Visual dan Persepsi Visual

Secara umum, persepsi dan imagery terlihat menunjukkan proses psikologis yang sama.
Namun, seberapa samakah imagery dan persepsi di tingkat biologis? Tentu saja
keduanya tidak lagi identik. Mental imagery bergantung pada proses top-down.
Sebaliknya, visual perseption mengaktifkan sel batang dan kerucut di retina.
 Kosslyn (2006), Reisberg & Heuer (2005), Thompson & Kosslyn, (2000 )
Penelitian mereka menunjukkan bahwa ketika kita membangun sebuah mental
image, struktur otak untuk proses visual yang lebih tinggi – jauh melampaui
retina – teraktifkan.
 Farah (2000a; 2000b), Kosslyn, Ganis, & Thompson (2001); Kosslyn (2006)
Individu dengan kerusakan otak (bagian korteks dan lainnya) tidak mampu
menerima image perseptual dan juga tidak mampu menciptakan mental image
namun kemampuan kognitif lainnya normal. Secara umum, individu dengan
kerusakan otak menunjukkan pelemahan dalam mental imagery yang mewakili
pelemahan kemampuan perseptualnya.
 PET oleh Stephen Kosslyn (1996)

Monica Primasari, S.Pd | Chapter 7_Cognition_Matlin_311011


Dengan meminta peserta untuk menciptakan berbagai image dari huruf alfabet,
kemudian PET mencatat aliran darah menuju korteks. Hasilnya adalah untuk
tugas ini, bagian otak yang diaktifkan adalah bagian korteks visual primer.
 fMRI oleh Ganis (2004) dan Klein (2004)
Peserta diminta untuk melihat atau mencipatakn image visual dari objeck
sederhana misalnya pohon atau dasi kupu-kupu. Baik persepsi visual maupun
imagery visual menghasilkan pola stimulasi yang bersesuaian.

III.2. Penelitian Neurosains mengenai Mental Rotation Task


Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa korteks motorik primer teraktifkan ketika
manusia baru saja merotasi gambar geometrik dengan tangan mereka. Namun, korteks
motorik primer ini tidak teraktifkan ketika manusia membayangkan diri mereka
merotasi sementara gambar geometriknya tetap diam diposisi awal.

IV. PETA KOGNITIF


Peta kognitif adalah representasi mental dari lingkungan yang ada disekitar kita.

IV.1. Informasi mengenai Peta Kognitif


Peta kognitif kita biasanya mewakili lingkungan tempat tinggal, kota dan negara.
Secara umum peta kognitif kita mewakili hal yang teralu besar atau luas untuk dilihat
dengan tatapan sekilas. Akibatnya, kita menciptakan peta kognitif dengan
menggabungkan informasi yang kita peroleh dari banyak sudut pandang.
Kajian mengenai petak kognitif adalah bagian dari kajian kognitif spasial, yaitu kognisi
mengenai pikiran ita terhadap issu-issu spasial. Area luas ini tidak hanya mencakup
peta kognitif, melainkan juga bagaimana kita mengingat dunia yang kita jelajahi dan
bagaimana kita mengingat susunan benda-benda dalam satu ruang. Lebih jauh lagi,
kognisi spasial adalah kajian yang melibatkan banyak disiplin ilmu, seperti geografi,
linguistik, antropologi, dan arsitektur.
Seperti yang anda harapkan, perbedaan individual dalam keterampilan kognisi spasial
memang cukup besar. Perbedaan individual dalam kognisi spasial ini juga berhubungan
dengan perfoma dalam tugas spasial.
Sejauh ini, peneliti belum membahas bagaimana peta kognitif dikodekan, apakah secara
analog atau proporsional. Namun, sebagian besar peneliti yang mengangkat isu ini
meyakinin bahwa kedua pendekatan tersebut terlibat.

IV.2. Peta Kognitif dan Jarak


Seberapa jauhkan kelas anda dari perpustakan? Berapakah jaran kota kelahiran anda
dari tempat tinggal anda sekarang? Ketika manusia memperkirakan jarak seperti ini,
perkiraan mereka sering terganggu oleh faktor-faktor seperti jumlah kota yang
menghalangi, kategori semantik, dan apakah tujuannya adalah suatu bangunan yang
mudah dikenali atau tidak.
 Jumlah kota yang menghalangi

Monica Primasari, S.Pd | Chapter 7_Cognition_Matlin_311011


Penelitian menunjukkan bahwa jarak cenderung menjadi semakin besar jika rute
yang ditempuh dikacaukan oleh banyak benda sepanjang jalan. Lebih jauh lagi,
jarak juga cenderung menjadi lebih besar ketika rutenya mengandung banyak
belokan yang rumit dibandingkan rute lurus.
 Kategori semantik
Ketika kita meyakini bahwa dua tempat termasuk dalam satu kategori yang
sama (misalnya kompleks bangunan kampus, pasar), kita cenderung
menganggap kedua tempat tersebut juga dekat secara geografis. Dengan kata
lain, anggota dari kategori yang sama kita anggap lebih dekat satu sama lain
dibandingkan dengan anggota diluar kategori. Keyakinan semacam ini kadang
membuat kita melakukan kesalahan-kesalahan kecil dalam menyatakan jarak
dua tempat.
 Tujuannya mudah dikenali atau tidak
Efek bangunan yang mudah dikenali (landmark) merupakan kecenderungan
umum untuk memberikan perkiraan yang lebih pendek untuk jarak menuju ke
landmark tersebut dibandingkan yang bukan landmark.

IV.3. Peta Kognitif dan Bentuk


Tidak hanya jarak, peta kognitif juga mewakili bentuk. Kita cenderung membentuk peta
kognitif untuk satu bentuk lebih teratur dibanding bentuk tersebut secara nyata.
 Sudut
Manusia cenderung memperkirakan sudut dari dua jalan atau garis yang
berpotongan mendekati 900, padahal tidak sama sekali.
 Kurva
Penelitian telah membuktikan bahwa manusia cenderung menganggap gambar
atau kurva lebih simetris dari yang sebenarnya.

IV.4. Peta Kognitif dan Posisi Relatif


Barbara Tversky (1981, 1998) mengemukakan bahwa kita cenderung menggukana
heuristik ketika kita menggambarkan posisi relatif dalam mental map kita. Secara
khusus, Tversky berpendapat bahwa (1) kita mengingat struktur geografis miring
menjadi lebih miring dari yang sebenarnya, dan (2) kita menginat struktur geografis
tersusun lebih lurus dari yang sebenarnya.
 Rotation Heuristik
Menurut heuristik rotasi, sebuah figur yang sedikir miring akan diingat lebih
vertikal atau lebih horizontal dari keadaan sebenarnya.
 Alignment Heuristik
Menurut heuristik alignment (kesejajaran), serangkaian struktur geografis akan
cenderung diingat lebih tersusun lurus dibanding keadaan sebenarnya.
Baik heuristik rotasi maupun kesejajaran mungkin sekilas terlihat sama, namun
keduanya berbeda. Heuristik rotasi membutuhkan aktivitas merotasi suatu objek searah
atau berlawanan arah jarum jam sehingga batasnya hampir mendekat vertikal atau

Monica Primasari, S.Pd | Chapter 7_Cognition_Matlin_311011


horizontal. Sebaliknya, heuristik kesejajaran membutuhkan aktivitas mensejajarkan
beberapa benda terpisah dalam satu garis lurus.

IV.5. Menciptakan Peta Kognitif (Secara mendalam)


 Penelitian Franklin dan Tversky
Franklin dan Tversky menghadirkan deksripsi verbal dari sepuluh latar yang
berbeda, misalnya lobi hotel, teater opera, dan lainnya. Untuk setiap deskripsi
disebutkan lima benda yang diletakkan diposisi yang cukup logis dengan posisi
peserta. Peserta kemudian diminta membayangkan mereka berputar menghadap
benda-benda yang berbeda. Peserta juga diminta menjelaskan benda yang ada
dihadapan mereka untuk setiap lokasi.
Hasilnya adalah peserta cenderung lebih cepat merespon jika benda tersebut
terletak di atas atau dibawahnya, dan lebih lambat merespon jika benda tersebut
di depan atau dibelakang. Waktu yang lebih lama lagi dibutuhkan untuk
merespon benda di sebelah kiri dan kanan peserta. Penelitian ini sesuai dengan
penelitian sebelumnya bahwa manusia menilai dimensi vertikal dengan cepat.

 Model kerangka spasial (Lanjutan Franklyn dan Tversky)


Model ini menekankan bahwa dimensi ruang atas dan bawah sangat penting
bagi pikiran kita, dimensi belakang dan depan diposisi tengah, dan dimensi kiri
dan kanan sebagai dimensi yang paling kurang penting.
Ketika kita dalam posisi tegak, dimensi vertikal atas bawah menjadi sangat
penting karena dua alasan berikut:
1. Dimensi vertikal berkaitan dengan gravitasi, suatu keuntungan yang
tidak dimiliki dua dimensi lainnya. Gravitasi memiliki efek asimetris
yang penting mengenai dunia yang kita kenali; benda jatuh ke bawah,
tidak ke atas.
2. Dimensi vertikal dari tubuh manusia sangat tidak simetris sehingga
mudah untuk membedakannya.
Untuk dimensi depan – belakang, kita cenderung lebih mudah berinteraksi
dengan benda yang berada dihadapan kita, daripada yang dibelakang. Hal ini
juga didukung oleh tidka simetrisnya bagian belakang dan depan tubuh
manusia, sehingga mudah dibedakan.
Untuk dimensi kiri-kanan, secara kasar bagian kanan dan kiri manusia cukup
simetris, sehingga cukup membingungkan. Namun masih dibutuhkan penelitian
lanjutan untuk membuktikan hal ini.

Monica Primasari, S.Pd | Chapter 7_Cognition_Matlin_311011

Anda mungkin juga menyukai