Anda di halaman 1dari 42

Tugas Psikologi Abnormal

Dosen Pengampu :
1. Umniyah Saleh, S.Psi., M.Psi., Psikolog
2. Istiana Tajuddin, S.Psi., M.Psi., Psikolog
3. Mayenrisari Arifin, S.Psi., M.Psi., Psikolog
4. Prof. dr. A. Jayalangkara Tanra, PhD., SpKJ(K)
Sexual Dysfunctions & Paraphilic Disorder

Disusun Oleh :
Kelompok 4
Auliah Puspa Indasyari (C021181008)
Yahya Muhaimin (C021181015)
Muh Ikhsan Rahmat (C021181023)
Rahmi (C021181031)
Mifthahul Jannah (C021181313)
Mutmainnah (C021181315)
Firman Syah (C021181332)
Andi Sitti Isnaniah Nurul Danisa (C021181503)
Nurul Hidayah Yusran (C021181510)

Progam Studi Psikologi


Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin
2020

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang
telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah yang mengenai “sexual dysfunctions & paraphilic
disorder” dapat diselesaikan dengan baik. Penulisan karya tulis ini diajukan guna
memenuhi tugas psikologi abnormal.
Dalam penyusunan makalah, penulis banyak memperoleh bimbingan dan
petunjuk dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis bersyukur dan
mengucapkan banyak terima kasih kepada :
1. Tuhan Yang Maha Kuasa karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis
dapat menyelesaikan makalah ini
2. Teman-teman yang telah bekerja sama dan berkolaborasi dalam pembuatan
makalah ini.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
kritik dan saran dari pembaca yang bersifat membangun sangat penulis harapkan
demi kesempurnaan tulisan ini.

Makassar, April 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang..................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.............................................................................................1
1.3 Tujuan ...........................................................................................................1
1.4 Manfaat .........................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Disfungsi Seksual.............................................................................................3

2.1.1 Pengertian Disfungsi Seksual...................................................................3

2.1.2 Jenis-Jenis Disfungsi Seksual...................................................................3

2.1.3 Pespektif Teoritis....................................................................................10

2.1.4 Penanganan Disfungsi Seksual...............................................................14

2.2 Gangguan Parafilik.........................................................................................17

2.2.1 Pengertian Gangguan Parafilik...............................................................17

2.2.2 Jenis-Jenis Parafilia................................................................................18

2.2.3 Perspektif Teoritis...................................................................................31

2.2.4 Penanganan Gangguan Parafilik.............................................................34

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan.....................................................................................................37

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................iv

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dewasa ini, perilaku seksual manusia semakin beragam dan unik, sebagai
contoh, yakni perilaku mengintip orang lain, perkawinan sedarah, pemerkosaan.
pencabulan pada anak-anak, berhubungan seks dengan mayat atau benda mati,
seseorang yang menunjukkan alat kelaminnya pada orang yang tidak dikenalnya
dan dilakukan di tempat umum, dan berbagai macam perilaku seksual lainnya.
Perilaku-perilaku tersebut pada kebanyakan orang, mungkin tidak terpikirkan
untuk dilakukan karena merupakan hal yang aneh dan tidak biasa. Hal-hal yang
berkaitan dengan seksualitas ssejatinya merupakan hal yang sangat privasi. Di
mana setiap orang merupakan makhluk seksual dengan minat dan fantasi yang
dapat mengejutkan diri dari waktu ke waktu. Hal itu merupakan fungsi seksual
yang normal, akan tetapi jika fantasia tau hasrat tersebut mulai membahayakan
diri, maka dapat digolongkan abnormal. Oleh sebab itu di bawah ini akan dibahas
lebih lanjut mengenai gangguan-gangguan tersebut, mulai dari bagaimana
mengenalinya hingga upaya penanganannya. Kemudian dibahas pula terkait
gangguan disfungsi seksual pada individu yang dapat mengganggu aktivitas
seksualnya yang juga berkaitan dengan kesehatannya.
1.2 Rumusan masalah
1. Apa yang dimaksud dengan sexual dysfunctions & paraphilia?
2. Apa jenis-jenis sexual dysfunctions & paraphilia?
3. Apa sexual dysfunctions & paraphilia menurut perpektif teori?
4. Bagaimana penangangan sexual dysfunctions & paraphilia?
1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui dan memahami mengenai sexual dysfunctions dan parafilia
2. Untuk mengetahui dan memahami mengenai jenis-jenis sexual dysfunctisns dan
paraphilia
3. Untuk mengetahui dan memahami perspektif teori dari sexual dysfunctions dan
paraphilia

1
4. Untuk mengetahui dan memahami penanganan untuk sexual dysfunction dan
paraphilia
1.4 Manfaat penulisan
Manfaat dari penyusunan makalah ini adalah agar dapat mempelajari dan
memperdalam pengetahuan terkait sexual dysfunctions dan paraphilia.

2
BAB II
ISI

2.1 Disfungsi Seksual


2.1.1 Pengertian Disfungsi Seksual
Disfungsi seksual (sexual dysfunction) adalah suatu kondisi pada individu
dimana terdapat masalah yang berkelanjutan dengan minat, gairah, atau respons
seksual. Disfungsi seksual mencakup gangguan yang melibatkan berkurangnya
minat, ketertarikan, dan gairah seksual; respons orgasme yang melemah; dan rasa
sakit selama berhubungan intim atau pada saat penetrasi (pada wanita). Disfungsi
seksual memengaruhi 40-45% wanita dewasa dan 20-30% pria dewasa di
beberapa titik dalam kehidupan mereka [ CITATION Nev18 \l 2057 ].
Terdapat klasifikasi dalam disfungsi seksual berdasarkan kategori umum,
yaitu seumur hidup vs. diperoleh dan situasional vs. menyeluruh. Disfungsi
seksual seumur hidup merupakan disfungsi yang telah terjadi seumur individu,
sedangkan disfungsi yang diperoleh merupakan disfungsi yang terjadi setelah
periode fungsi normal. Disfungsi situasional merupakan disfungsi yang terjadi
pada situasi tertentu saja. Contohnya pada saat individu melakukan hubungan
seksual dengan pasangan orang lain. Namun, individu tersebut tidak mengalami
disfungsi pada saat situasi lain, misalnya berhubungan seksual dengan pasangan
sendiri atau pada saat masturbasi. Sedangkan disfungsi menyeluruh merupakan
disfungsi yang terjadi pada semua situasi dan setiap kali individu terlibat dalam
aktivitas seksual[ CITATION Nev18 \l 2057 ].
2.1.2 Jenis-jenis Disfungsi Seksual
Disfungsi seksual dapat dikelompokkan menjadi 3 kategori umum, yaitu
gangguan yang melibatkan masalah dengan minat, hasrat, atau gairah seksual;
gangguan yang melibatkan masalah dengan respons orgasme; dan masalah yang
melibatkan rasa sakit selama berhubungan intima tau penetrasi (pada wanita)
[ CITATION Nev18 \l 2057 ].

3
1. Gangguan minat dan gairah
Gangguan ini melibatkan defisiensi dalam minat ataupun gairan seksual. Pria
yang mengalami male hypoactive sexual desire disorder mengalami hasrat yang
sedikit untuk melakukan aktivitas seksual atau mungkin kurang memiliki pikiran
erotis. Namun, kurangnya pikiran atau fantasi erotis ini lebih sering terjadi pada
wanita ketimbang pria. Gangguan ini terjadi sekitar 8-25% pada rentang usia,
dengan prevalensi yang lebih tinggi pada pria yang lebih tua [ CITATION Nev18 \l
2057 ].
Masalah dengan gairah seksual pada pria biasanya berbentuk kegagalan
dalam mencapai atau menjaga ereksi yang untuk untuk melakukan aktivitas
seksual hingga tuntas. Pria dengan kesulitan ereksi yang persisten dapat
didiagnosis dengan disfungsi ereksi. Pria yang mengalami gangguan ini umumnya
mengalami kesulitan dalam mencapai ereksi atau menjaga ereksi selama aktivitas
seksual atau tidak memiliki kekuatan ereksi yang cukup untuk berfungsi secara
efektif[ CITATION Nev18 \l 1033 ].
Masalah ini muncul selama periode sekitar enam bulan atau lebih dan terjadi
pada semua atau hampir semua kesempatan aktivitas seksual. Gangguan ini terjadi
sangat bervariasi sesuai usia; diperkirakan 1-10% pada pria di bawah 40 tahun,
20-40% pada pria di bawah 60 tahun, dan lebih tinggi pada pria yang lebih tua.
Faktor kelelahan, alcohol, dan kecemasan dengan pasangan baru merupakan
penyebab dari terjadinya disfungsi ereksi[ CITATION Nev18 \l 2057 ].
Wanita dengan female sexual interest/arousal disorder mengalami kurangnya
atau menurunnya gairah seksual. Gangguan ini terjadi sekitar 10-55% pada semua
rentang usia dengan prevalensi lebih tinggi pada wanita yang lebih tua. Apabila
menjadi terangsang secara seksual mungkin kurang merasakan ketertarikan
seksual yang biasanya menyertai gairah seksual. Selain itu, wanita dengan
gangguan ini juga mungkin mengalami sedikit kenikmatan seksual atau bahkan
tidak ada sama sekali. Wanita dengan minat seksual yang rendah pada umumnya
memiliki kehidupan seks yang kurang aktif dan kurang puas dengan hubungan
seksualnya ketimbang wanita yang tidak memiliki gangguan ini[ CITATION
Nev18 \l 2057 ].

4
2. Gangguan orgasme
Orgasme merupakan refleks spontan yang menyebabkan kontraksi berirama
dari otot panggul dan biasanya disertai dengan perasaan senang yang intens atau
pengeluaran air mani (pada pria). Terdapat tiga jenis gangguan terkait masalah
pencapaian orgasme, yaitu gangguan orgasme wanita, ejakulasi tertunda, dan
ejakulasi dini. Pada gangguan orgasme wanita dan ejakulasi tertunda terdapat jeda
dalam mencapai orgasme/ejakulasi atau tidak adanya orgasme/ejakulasi. Masalah
tersebut terjadi sekitar enam bulan atau lebih, dengan gejala yang menyebabkan
tingkat distress yang signifikan. Gejala yang dialami muncul pada semua atau
sebagian besar kesempatan aktivitas seksual. Pria dengan masalah ejakulasi
tertunda umumnya mampu melakukan ejakulasi melalui masturbasi, tetapi
mengalami kesulitan mencapai ejakulasi selama penetrasi dengan pasangan atau
tidak mampu melakukannya[ CITATION Nev18 \l 2057 ].
Ejakulasi dini ditandai dengan pola ejakulasi yang selalu muncul sekitar satu
menit setelah penetrasi vagina dan sebelum pria menginginkannya. Dalam
beberapa kasus, ejakulasi dini terjadi sebelum penetrasi atau setelah beberapa kali
dorongan penis. Kondisi ejakulasi dini seperti pada saat pria bersama pasangan
baru, jarang melakukan kontak seksual, atau sangat terangsang tidak dianggap
sebagai abnormal kecuali jika terjadi secara terus-menerus[ CITATION Nev18 \l
1033 ].
3. Gangguan Penetrasi/nyeri panggul-genital
Gangguan ini terjadi pada wanita yang mengalami rasa sakit seksual dan/atau
mengalami kesulitan dalam melakukan penetrasi vagina. Dalam beberapa kasus,
wanita mengalami nyeri panggul atau di alat kelamin selama penetrasi vagina.
Rasa sakit tersebut tidak dapat dijelaskan oleh kondisi medis yang ada. Oleh sebab
itu, gangguan ini diyakini memiliki komponen psikologis [ CITATION Nev18 \l
2057 ].
Beberapa kasus gangguan penetrasi/nyeri panggul-genital melibatkan
vaginismus. Vaginismus merupakan suatu kondisi pada saat otot yang
mengelilingi vagina langsung berkontraksi setiap kali terjadi penetrasi vagina. Hal
tersebut menyebabkan rasa sakit pada saat berhubungan seksual atau bahkan tidak

5
mungkin untuk melakukan hubungan seksual. Vaginismus bukan suatu kondisi
medis, melainkan respons terkondisi pada saat terjadi kontak penis dengan vagina
yang menimbulkan kejang otot vagina sehingga mencegah penetrasi atau
menyebabkan rasa sakit pada saat penetrasi [ CITATION Nev18 \l 1033 ].
Kriteria Diagnostik Gangguan Disfungsi Seksual
Berdasarkan DSM-V (2013), terdapat beberapa jenis gangguan disfungsi seksual
beserta kriteria diagnostiknya yakni sebagai berikut :
1. Ejakulasi Tertunda
A. Salah satu dari gejala berikut ini harus ia alami pada hampir semua kesempatan
atau sekitar 75%-100% dari aktivitas seksual pasangan dalam situasi yang
teridentifikasi dalam konteks atau, jika digeneralisasi dalam semua konteks.
i. Penundaan yang ditandai dalam ejakulasi
ii. Frekuensi yang ditandai atau tidak adanya ejakulasi
B. Gejala-gejala pada kriteria telah bertahan untuk durasi minimum sekitar 6
bulan.
C. Gejala dalam kriteria A menyebabkan tekanan klinis yang signifikan pada
individu tersebut.
D. Disfungsi seksual tidak lebih baik dijelaskan oleh gangguan mental akibat dari
kesusahan hubungan yang parah atau stressor signifikan lainnya yang tidak
disebabkan oleh efek dari suatu zat/obat atau kondisi medis lainnya.
2. Gangguan ereksi
A. Setidaknya Salah satu dari gejala berikut ini harus ia alami pada hampir semua
kesempatan atau sekitar 75%-100% dari aktivitas seksual pasangan dalam
situasi yang teridentifikasi dalam konteks atau, jika digeneralisasi dalam semua
konteks.
1. Kesulitan dalam memperoleh ereksi selama aktivitas seksual
2. Ditandai kesulitan dalam mempertahankan ereksi sampai selesainya
aktivitas seksual.
3. Ditandai penurunan kekakuan ereksi
B. Gejala dalam kriteria A telah bertahan minimal sekitar 6 bulan.

6
C. Gejala dalam kriteria A menyebabkan tekanan klinis yang signifikan pada
individu.
D. Disfungsi seksual tidak lebih baik dijelaskan oleh gangguan mental noon
seksual atau sebagai hubungan yang parah atau stressor signifikan lainnya dan
tidak disebabkan oleh efek atau obat-obatan atau kondisi medis lainnya.
3. Gangguan Orgasme Wanita
A. Kehadiran salah satu dari gejala berikut dan hampir semua atau semua (75%-
100%) mengalami prevensi aktivitas seksual dalam konteks situasional yang
diidentifikasikan dalam semua konteks.
1. Ditandai keterlambatan, ketidakpastian atau tidak adanya orgasme.
2. Ditandai berkurangnya sensasi orgasmic
B. Gelaja-gejala dalam nkeriteria A telah bertahan selama durasi minimum 6
bulan.
C. Gejala-gejala dalam kriteria A menyebabkan tekanan klinis yang signifikan
pada individu.
D. Disfungsi seksual tidak lebih baik dijelaskan oleh gangguan mental nonseksual
atau sebagai akibat dari tekanan hubungan yang parah misalnya kekerasan
pasangan atau disebabkan oleh efek dari suatu zat/obat atau kondisi medis
lainnya.
4. Minat seksual wanita / gangguan gairah
A. Kurangnya minat seksual secara signifikan, sebagaimana dinyatakan dalam
setidaknya tiga dari yang berikut.
1. Ketidakhadiran/berkurangnya minat dalam aktivitas seksual
2. Pikiran atau fantasi seksual /erotis yang tidak ada/berkurang
3. Mengurangi inisiasi aktivitas seksual dan biasanya tidak menerima upaya
psangan untuk memulai.
4. Tidak ada/berkurangnya gairah seksual/kesenangan selama aktivitas seksual
di hampir semua atau semua (75%-100%) pertemuan seksual dalam konteks
situasional yang diidentifikasi atau, jika digeneralisasi dalam semua
konteks.

7
5. Tidak ada/berkurangnya minat /gairah seksual sebagai respons terhadap
isyarat seksualierotik internal atau eksternal. Misalnya tertulis, verbal,
visual.
6. Tidak ada/berkurangnya sensasi genital atau nongenital selama aktivitas
seksual di hampir semua atau semua pertemuan seksual dalam konteks yang
diidentifikasi atau jika digeneralisasikan dalam semua konteks.
B. Gejala dalam kriteria A bertahan dalam durasi minimum sekitar 6 bulan
C. Gejala dalam kriteria A menyebabkan tekanan klinis yang signifikan pada
individu.
D. Disfungsi seksual tidak lebih baik dijelaskan oleh gangguan nopnseksual atau
sebagai konsekuensi dari kesulitan hubungan yang parah, seperti kekerasan
pasangan atau pemicu stress signifikan lainnya dan tidak disebabkan oleh
kondisi medis lainnya.
5. Genito Pelvic Pain / gangguan Penetrasi
A. Kesulitan yang persisten dan berulang dengan satu atau lebih dari yang berikut:
1. Penetrasi vagina selama berhubungan intim.
2. Nyeri vulvovaginal atau pinggul yang ditandai selama hubungan seksual atau
upaya penetrasi.
3. Rasa takut atau cemas yang mencolok tentang nyeri vulvavaginal atau panggul
sebagai antisipasi selama atau sebagai akibat penetrasi vagina.
4. Penegangan atau pengetatan otot-otot panggil yang ditandai selama upaya
penetrasi vagina.
B. Gejala-gejala dalam kriteria A telah bertahan selama durasi minimum 6 bulan.
C. Gejala-gejal;a dalam kriteria A menyebabkan tekanan klinis yang signifikan
pada individu.
D. Disfungsi seksual tidak lebih baik dijelaskan oleh gangguan nopnseksual atau
sebagai konsekuensi dari kesulitan hubungan yang parah, seperti kekerasan
pasangan atau pemicu stress signifikan lainnya dan tidak disebabkan oleh
kondisi medis lainnya.
6. Gangguan hasrat seksual pria hipoaktif

8
A. Gagal atau fantasi seksual yang terus menerus atau berulang-ulang (tidak ada)
keinginan untuk aktivitas seksual. Penghakiman atas keengganan
mempertimbangkan faktoor-faktor yang memengaruhi fungsi seksual seperti
usia dan konteks umum sosiokultural dalam kehidupan individu.
B. Gejala-gejala dalam kriteria A telah bertahan selama durasi minimum 6 bulan.
C. Gejala-gejal;a dalam kriteria A menyebabkan tekanan klinis yang signifikan
pada individu.
D. Disfungsi seksual tidak lebih baik dijelaskan oleh gangguan nopnseksual atau
sebagai konsekuensi dari kesulitan hubungan yang parah, seperti kekerasan
pasangan atau pemicu stress signifikan lainnya dan tidak disebabkan oleh
kondisi medis lainnya.
7. Ejakulasi Dini
A. Derajat ejakulasi persisten atau berulang yang terjadi selama aktivitas seksual
yang dipatenkan dalam waktu sekitar 1 menit setelah penetrasi vagina dan
sebelum individu menginginkannya.
B. Gejala-gejala dalam kriteria A telah bertahan selama durasi minimum 6 bulan.
C. Gejala-gejala dalam kriteria A menyebabkan tekanan klinis yang signifikan
pada individu.
D. Disfungsi seksual tidak lebih baik dijelaskan oleh gangguan nopnseksual atau
sebagai konsekuensi dari kesulitan hubungan yang parah, seperti kekerasan
pasangan atau pemicu stress signifikan lainnya dan tidak disebabkan oleh
kondisi medis lainnya.
8. Substance/Medication-Induced Sexual Dysfunction
A. Gangguan signifikan secara klinis dalam fungsi seksual dominan pada
gambaran klinis
B. Adanya riwayat penyakit pemeriksaan fisik, atau temuan laboratorium dari
keduanya dan :
1. Gejala kriteria A berkembang selama atau segera setelah keracunan atau
penarikan zat atau setelah terpapar obat.
2. Zat/obat yang terlibat mampu menghasilkan gejala-gejala

9
C. Gangguan itu tidak lebih baik dijelaskan dengan disfungsi seksual yang tidak
diinduksi zat/obat. Bukti semacam itu dari disfungsi seksual independen dapat
mencakup : gejala mendahului timbulnya penggunaan zat/obat; gejala-
gejalanya menetap untuk periode waktu substansial misalnya sekitar bulan
setelah pengentian penarikan akut atau kegairahan parah; atau bukti lain yang
menunjukkan adanya disfungen seksual yang tidak diinduksi zat/obat yang
independen, misalnya riwayat berulang terkait obat yang bukan obat.
D. Gangguan tidak terjadi secara eksklusif
E. Zat tersebut menyebabkan tekanan klinis yang signifikan pada individu.

2.1.3 Perspektif Teoretis


A. Perspektif Teoretis: Psikologis
Psikologi kontemporer menekankan peran kecemasan, kurangnya
keterampilan seksual, keyakinan irasional, persepsi tentang penyebab kejadian,
dan masalah hubungan dapat menyebabkan terjadinya disfungsi seksual. Secara
fisik maupun psikologis, pengalaman seksual yang traumatis dapat menyebabkan
kontak seksual yang menghasilkan kecemasan dari pada gairah atau kenimatan.
Kecemasan tersebut merupakan kecemasan terkondisi akibat riwayat pengalaman
traumatis terkait aktivitas seksual atau pemerkosaan. Hal tersebut dapat
menyebabkan terjadinya masalah pada gairah seksual, pencapaian orgasme, atau
rasa sakit pada wanita selama penetrasi[ CITATION Nev18 \l 2057 ].
Wanita yang memiliki masalah untuk menjadi terangsang secara seksual
mungkin memendam kemarahan dan kebencian terhadap pasangannya. Selain itu,
wanita yang memiliki masalah untuk menjadi terangsang secara seksual mungkin
memiliki perasaan berasalah tentang seks dan rangsangan yang tidak efektif oleh
pasangan juga berkontribusi pada kesulitan gairah seksual. Pengalaman seksual
traumatis juga mempersulit individu dalam memberi respons secara seksual pada
saat mereka ingin melakukan hubungan intim. Individu yang memiliki
pengalaman seksual traumatis dibanjiri perasaan tidak berdaya, kemarahan tidak
berujung, atau rasa berasalah[ CITATION Nev18 \l 2057 ].

10
Selain itu, mereka juga dapat mengalami flashback terkait pengalaman
seksual traumatis pada saat melakukan aktivitas seksual, sehingga hal tersebut
mencegah individu untuk menjadi terangsang secara seksual atau mencapai
orgasme. Masalah psikologis seperti depresi dan kecemasan juga dapat
menyebabkan disfungsi seksual yang melibatkan minat, gairah, dan respons
seksual yang melemah. Bentuk lain dari kecemasan dalam disfungsi seksual
adalah kecemasan kinerja. Kecemasan kinerja merupakan kekhawatiran yang
berlebihan atas kemampuan melakukan aktivitas seksual sepenuhnya. Hal tersebut
dapat muncul pada saat individu mengalami masalah dalam melakukan aktivitas
seksual dan mulai meragukan kemampuan yang dimiliki [ CITATION Nev18 \l 2057
].
Individu yang mengalami gangguan kecemasan kinerja akan menjadi
‘penonton’ selama aktivitas seks dari pada menjadi ‘pemain’. Perhatian yang
dimiliki individu berfokus pada cara tubuh mereka memberi atau tidak memberi
respons terhadap rangsangan seksual dan juga diganggu oleh pikiran tentang
konsekuensi negatif yang diantisipasi karena merasa gagal melakukannya dengan
baik ketimbang berfokus pada pikiran erotis. Pria yang mengalami kecemasan
kinerja dapat mengalami kesulitan menjaga atau mencapai ereksi ataupun
mengalami ejakulasi dini. Sedangkan pada wanita, mereka akan gagal terangsang
atau kesulitan dalam mencapai orgasme[ CITATION Nev18 \l 2057 ].
Refleks ereksi dikendalikan oleh cabang parasimpatis dari sistem saraf
otonom. Aktivasi sistem saraf simpatis yang terjadi saat individu gelisah atau stres
dapat menghalangi kendali parasimpatis yang mencegah munculnya refleks
ereksi. Sebaliknya, ejakulasi dikendalikan oleh sistem saraf simpatis sehingga
meningkatnya gairah, seperti dalam kasus kecemasan kinerja dapat memicu
ejakulasi dini[ CITATION Nev18 \l 2057 ].
B. Perspektif Biologis
Rendahnya kadar testoteron dan penyakit merupakan faktor biologis yang
dapat meredam hasrat seksual dan mengurangi reponsivitas. Testosteron yang
merupakan hormon seks pria yang juga dihasilkan dalam tubuh wanita, meskipun
dalam jumlah yang lebih sedikit memainkan peran penting dalam menyalurkan

11
hasrat seksual dan aktivitas seksual. Kurangnya kadar hormon testosteron pada
pria dapat menyebabkan hilangnya minat dan aktivitas seksual serta kesulitan
dalam mencapai ereksi. Dalam tubuh wanita, hormon testosteron diproduksi di
kelenjar adrenal dan ovarium. Wanita yang melakukan operasi pengangkatan
organ ini karena suatu penyakit akan kehilangan minat seksual dan kapasitas
respon yang menurun secara bertahap. Terdapat pula bukti yang rendahnya
hormon testosteron dengan beberapa kasus depresi pada pria, dan depresi bisa
menurunkan hasrat seksual. Namun, orang dengan disfungsi seksual biasanya
memiliki kadar hormon seks normal yang bersirkulasi di tubuh mereka (Nevid,
Rathus, & Greene, 2018).
Gangguan ereksi dapat disebabkan oleh masalah kardiovaskular yang
melibatkan gangguan aliran darah yang menuju maupun melewati penis yang
menjadi semakin umum saat pria mulai menua. Gangguan ereksi dapat berbagi
faktor risiko umum dengan gangguan kardiovaskular (gangguan jantung dan
arteri), yang akan mengingatkan dokter bahwa disfungsi ereksi dapat menjadi
tanda awal dari dari penyakit jantung yang harus dievaluasi secara medis (Nevid,
Rathus, & Greene, 2018).
Gangguan ereksi juga dapat dihubungkan dengan masalah obesitas yang
dialami pria serta pada pria dengan masalah prostat dan kemih. Obesitas
dihubungkan dengan masalah peredaran darah, sehingga pada pria yang
mengalami obesitas dan kehilangan berat badan serta meningkatkan tingkat
aktivitasnya dapat mengalami peningkatan pada fungsi ereksi (Nevid, Rathus, &
Greene, 2018)
Pria yang juga memiliki risiko gangguan ereksi adalah pria dengan diabetes
melitus. Diabetes dapat merusak saraf dan pembuluh darah, termasuk yang
menyokong penis. Pria dengan gangguan ereksi memiliki kemungkinan dua kali
lebih besar menderita diabetes dibandingkan dengan pria yang tidak memiliki
gangguan ereksi (Nevid, Rathus, & Greene, 2018).
Hal lain yang juga dapat menyebabkan gangguan ereksi dan ejakulasi yang
tertunda adalah multiple sclerosis (MS), yakni suatu penyakit dimana sel saraf
kehilangan lapisan pelindung yang membantu memperlancar transmisi impuls

12
saraf. Penyakit ginjal kronis, hipertensi, kanker, dan emfisema yang merupakan
bentuk kerusakan saraf juga dapat melemahkan respons ereksi (Nevid, Rathus, &
Greene, 2018)
Penelitian yang dilakukan oleh Eric Rimm (2000) terhadap 2.000 pria di
Harvard School of Public Health menemukan bahwa disfungsi ereksi
dihubungkan dengan pinggang yang besar, fisik yang tidak aktif serta
mengkonsumsi alkohol secara berlebih. Hal ini berhubungan dengan kolesterol
dapat menghambat aliran darah ke penis dan aliran darah ke jantung. Temuan oleh
Massachusetts Male Aging Study menunjukkan bahwa olahraga yang dilakukan
secara teratur dapat mengurangi resiko disfungsi ereksi (Nevid, Rathus, & Greene,
2018).
Wanita juga mengalami gangguan vascular atau saraf yang melemahkan aliran
darah ke organ intim yang mengurangi pelumasan serta kenikmatan seksual. Hal
ini akan membuat wanita tersebut merasa sakit ketika berhubungan intim serta
berkurangnya kemampuan untuk mencapai orgasme. Masalah ini akan semakin
parah seiring bertambahnya usia. Obat resep dan obat psikoaktif, seperti
antidepresan dan antipsikotik dapat melemahkan fungsi ereksi dan menyebabkan
gangguan orgasme. Gangguan orgasme pada pria dan wanita juga dapat
disebabkan oleh obat penenang seperti Valium dan Xanax (Nevid, Rathus, &
Greene, 2018).
Obat depresan seperti alkohol, heroin, dan morfin dapat mengurangi hasrat
seksual serta melemahkan gairah seksual. Narkotika, seperti heroin, juga dapat
menyebabkan penurunan produksi tertosteron, yang dapat menghilangkan hasrat
seksual dan menyebabkan gangguan ereksi. Gangguan ereksi serta ejakulasi yang
tentuta serta penurunan hasrat seksual pada pria dan wanita juga dapat disebabkan
oleh pengguaan kokain secara rutin. Pada tahap awal penggunaan kokain,
beberapa orang melaporkan terjadi peningkatan kepuasan seksual, namun apabila
dikonsumsi secara berulang-ulang dapat mengakibatkan ketergantungan pada
obat-obat, bahkan penurunan kepuasan seksual apabila digunakan dalam jangka
panjang (Nevid, Rathus, & Greene, 2018).
C. Perspektif Sosiobudaya

13
Pada pergantian abad ke-20, seks dianggap sebagai tugas bagi seorang wanita
untuk memuaskan suaminya. Para ibu biasanya akan memberitahu anak gadisnya
sebelum menikah mengenai tugas persalinan sehingga wanita mengkodekan seks
hanya sebagai salah satu cara untuk melayani kebutuhan orang lain. Wanita yang
memendam sikap streotip seperti ini terhada seksualitas wanita mungkin tidak
peka dengan potensi seksualnya sendiri. Selain itu, adanya kecemasan seksual
dapat mengubah harapan negatif menjadi kenyataan. Keyakinan sosiobudaya yang
sangat ketat dan tabu mengenai seks juga dapat dihubungakan dengan disfungsi
seksual pada pria. Keyakinan negatif lainnya adalah seksualitas data menghalangi
hasrat seksual, seperti keyakinan bahwa hasrat seksual merupakan hal yang tidak
pantas bagi orang tua yang sudah melewati usia subur (Nevid, Rathus, & Greene,
2018).
Dalam banyak budaya Hispanik terdapat idealisasi yang berasal dari streotip
marianismo (berasal dari nama Perawan Maria). Dari perspektif sosiobudaya ini,
wanita yang soleh “menderita diam-diam” saat ia menyembunyikan hasrat seksual
yang dimiliki serta kebutuhan seksnya dari suami serta anak-anaknya. Ia
merupakan pemberi kesenangan, terlepas dari rasa sakit atau frustasi yang sedang
dihadapinya. Wanita yang mengadopsi streotip ini sulit menyatakan kebutuhannya
akan kepuasan seksual, dan mungkin mengekspresikan perlawanan terhadap
budaya ini dengan menjadi tidak responsif secara seksual (Nevid, Rathus, &
Greene, 2018)
Faktor sosiobudaya juga memegang peranan penting dalam disfungsi ereksi.
Peneliti menemukan bahwa budaya yang ketat terhadap seks pranikah dikalangan
wanita, terhadap seks dalam pernikahan, dan terhadap seks di luar nikah memiliki
insiden disfungsi ereksi yang lebih besar. Pria dalam budaya ini cenderyng rentan
mengalami kecemasan seksual atau rasa bersalah, yang menghambat kinerja
seksualnya (Nevid, Rathus, & Greene, 2018).
Di India terdapat sindrom dhat yakni sebuah ketakutan irasional kehilangan
air mani yang didasari adanya keyakinan budaya yang menghubungkan hilangny
aair mani sampai habisnya energy kehidupan pria. Pria dengan kondisi ini
terkadang mengalami disfungsi ereksi karena ketakutannya akan menghabiskan

14
cairan berharganya, yang menghambat kemampuan mereka untuk melakukan
hubungan seksual (Nevid, Rathus, & Greene, 2018).

2.1.4 Penanganan Disfungsi Seksual


Pada tahun 1960, Willian Master da Virginia Jhonson mengatakan bahwa
tidak ada pengobatan ataupun pengamatan yang efektif atas disfungsi sosial.
Namun terapi psikoanalisis secara tidak langsung menjadi salah satu pengobatan
yang mulai memberikan pengaruh terhadap disfungsi seksual. Namun karena
kurangnya bukti, membuat metode ini lebih dikembangkan dengan secara
langsung pada masalah seksual. Kemudian, terapis modern mengembangkan
menjadi terapi secara langsung interaksi seksual pasangan. terapi seks tersebut
menggunakan teknik prilaku kognitif yang membantu individu meningkatkan
kompetensi seksualnya dan mengurangi kecemasan mengenai kemampuan
seksnya. Dari itu ada beberapa jenis penangan berdasarkan gangguan disfungsi
seksual (Nevid, Rathus, & Greene, 2018).
a. Dorongan atau Hasrat Seksual yang Rendah
Salah satu terapis seks yang digunakan untuk menangani dorongan seksual
yang rendah adalah masturbasi. Kemudian jika kurangnya dorongan seksual
dihubungkan dengan depresi, maka fokus penangan pada depresinya. Jika masalah
dorongan yang rendah berasal dari batin, maka dapat digunakan beberapa terapis
seks menggunakan pendekatan berbasis pandangan. Selain hal tersebut, beberapa
kasus rendhnya hasrat seksual dihubungkan dengan defisiensi hormone, yaitu
kurangnya hormon seks pada pria (testosterone). walaupun testosterone dapat
membantu meningkatkan dorongan dan minat seksual pada wanita menopause
dengan hasrat seksual yang rendah. Namun terapi ini belum jelas keakuratannya,
bahkan jangka panjang dari terapi testosterone dapat memberikan resiko sepeti
penumubuhan rambut dan jerawat di wajah serta beberapa rsiko medis lainnya
(Nevid, Rathus, & Greene, 2018).
b. Gangguan Gairah Seksual
Gairah seksual menimbulkan pengumpulan darah di daerah kelamin, yang
menyebabkan ereksi pada pria dan pelumasan vegina pada wanita. Wanita yang

15
kesulitan terangsang secara seksual dan pria dengan maslah ereksi akan lebih
dulu diberitahukan bahwa mereka tidak perlu melakukan apa pun untuk
terangsang. Selama masalah tersebut masih bersifat psikologis, bukan organic,
mereka hanya perlu mengekspos diri pada stimulasi seksual dalam kondisi yang
rileks dan tanpa tekanan sehingga tiadak menghambat respon reflektif. Masters
dan jhonson menangani pasangan yang melawan kecemasan kinerja dengan
melibatkan mereka secara langsung dalam sensate focus exercises. latihan ini
berupa salah satu cara untuk meningkatkan gairah seks dengan melakukan pijatan
di beberapa bagian tubuh dan aktifitas yang lebih rileks dalam berhubungan seks
yang berujung pada persetubuhan (Nevid, Rathus, & Greene, 2018).

c. Gangguan Orgasme
Pada beberapa wanita akan merasa gelisah tentang seks dan tidak mempelajari
tentang seks. dari hal tersebut Masters dan Jhonson menggunakan penanganan
dengan sensate focus exercise (latihan fokus merasakan) untuk mengurangi
kecemasan kinerja, membuka saluran komunikasi, dan membantu pasangan
memperoleh kemampuan keterampilan seksualnya. dengan begitu wanita akan
mengambil ahli dan meminta pasangannya untuk menggunakan sentuhan dan
teknik lainnya yang dapat meranganyannya. Cara lainnya bisa juga dilakukan
secara individual dengan masturbasi agar wanita bisa lebi belajar tentang
tubuhnya sendiri dengan caranya sendiri hingga mencapai orgasme. selain hal
tersebut sering juga terjadi ejakulasi dini dimana pencegahannya dapat berupa
sstop start yaitu dengan menunda aktivitas seksual pria akan ejakulasi dan
kemudian melanjutkan rangsangan/ stimulasinya saat sensansinya sudah meredah.
sehingga membuat pria peka terhadap isyarat yang mendahului ejakulasi dini dan
lebih peka tehadap titik yang memicu refleksi ejakulasi (Nevid, Rathus, &
Greene, 2018).
d. Gangguan Nyeri Genital
Penanganan persetubuhan yang menyakitkan umumnya memutuhkan
intervensi medis untuk memnentukan dan mengatasi masalah fisik yang

16
mendasarinya, seperti infeksi saluran kemi yang dapat menyebabkan rasa sakit.
Pada perempuan bisa saja terjadi vaginismus atau refleksi terkondisi yang
menyebabkan penyempitan secara spontan lubang vagina. Penangannya yaitu
dapat mencakup kombinasi metode perilaku, termasuk teknik relaksasi dan
metode pemaparan bertahap guna mengurangi pengaruh vagina terhadap
penetrasi. banyaknya kasus gangguan nyeri genital dapat juga ditangani oeh
psikiater karena sudah menjadi bagian dari program penanganan untuk mengatasi
konsekuensi psikologis dari traumatis seperti pemerkosaan dan pelecehan seksual
lainnya (Nevid, Rathus, & Greene, 2018).

Penanganan Biologis
Gairah seksual pada pria dan wanita bergantung pada penumpukan darah di
alat kelamin. Obat yang dapat meningkatkan aliran darah ke penis, seperti Viagra
dan Cialis, aman dan efektif dalam membantu pria penderita disfungsi ereksi (ED)
untuk mencapai ereksi yang lebih baik. Namun terdapat pula bukti yang
mengatakan bahwa menggabungkan psikoterapi dengan obat seperti Viagra dapat
lebih efektif dibandingkan dengan penggunaan obat saja. Alternatif lain seperti
penyuntikan pada penis obat yang dapat meningkatkan aliran darah di penis atau
penggunaan vakum ereksi yang bekerja seperti pompa penis, terbukti dapat
membantu jika mengonsumsi pil tidak efektif. Peneliti sedang mencari tahu terapi
biomedis untuk disfungsi seksual wanita termasuk penggunaan obat disfungsi
ereksi (ED) seperti Viagra, namun obat bisa lebih membantu dalam beberapa
kasus (Nevid, Rathus, & Greene, 2018).
Dalam beberapa kasus yang jarang terjadi seperti tersumbatnya pembuluh
darah yang akan mencegah aliran darah ke penis atau penis cacat secara struktur,
operasi mungkin dapat menjadi penanganan yang efektif. SSRI seperti
antidepresan flouksetin (Prozac), paroksetin (Paxil), dan sertraline (Zoloft)
bekerja dengan meningkatkan aksi neurotransmitter serotonin, dimana
meningkatnya ketersediaan serotonin di otak dapat menunda ejakulasi yang bisa
membantu pria yang mengalami masalah ejakulasi dini (Nevid, Rathus, & Greene,
2018).

17
2.2 Gangguan Parafilik
2.2.1 Pengertian Gangguan Parafilik
Kata paraphilia diambil dari bahasa Yunani yaitu para yang berarti
“menimpang dari”, dan philos yang berarti “mencintai”. Orang dengan parafilia
(paraphilias) memiliki pola ketertarikan seksual yang tidak biasa (atipikal). Pola
ketertarikan tersebut melibatkan gairah seksual ketika merespon stimulus yang
atipikal (menyimpang dari stimulus yang secara normal merangsang). Parafilia
melibatkan gairah seksual yang kuat dan berulang terhadap stimulus tidak biasa
dan dibuktikan dengan fantasi, dorongan, atau perilaku (sesuai dorongan) selama
periode enam bulan atau lebih. Jenis stimulus yang tidak biasa ini meliputi objek
non-manusia seperti celana dalam, sepatu, kulit, atau sutra untuk mengalami rasa
sakit pada diri sendiri atau menyakiti pasangan, anak-anak, dan orang lain yang
tidak memberi izin[ CITATION Jef18 \l 1033 ].
DSM-V memasukkan kelas gangguan mental yang disebut dengan gangguan
parafilik (paraphilic disorder). Beberapa bentuk perilaku parafilik seperti
fetisisme atau transvestisme mungkin tidak terkait dengan konsekuensi yang
mengganggu dan menekan pada diri sendiri atau orang lain, dan tidak
diklasifikasikan sebagai gangguan mental atau psikologis. Parafilia dapat
didiagnosis sebagai gangguan parafilik ketika parafilia tersebut menyebabkan
kesulitan pribadi atau gangguan pada fungsi sehari-hari dan melibatkan perilaku
saat ini atau masa lalu di mana kepuasan dorongan seksual membahayakan atau
merugikan bagi orang lain[ CITATION Jef18 \l 1033 ].
Bagi beberapa individu, terlibat dalam tindakan parafilik menjadi satu-satunya
cara demi mencapai kepuasan seksual. Mereka tidak dapat terangsang secara
secara seksual kecuali dengan parafilik, baik dalam dunia nyata atau fantasi.
Orang lain menggunakan rangsangan yang menyimpang ini sesekali atau saat
tertekan. Meskipun tingkat prevalensi parafilia dan gangguan parafilik belum
diketahui, namun ini hampir tidak pernah terdiagnosis pada wanita kecuali
beberapa kasus masokisme seksual dan beberapa kasus gangguan
lainnya[ CITATION Jef18 \l 1033 ].

18
2.2.2 Jenis-Jenis Parafilia
Beberapa jenis parafilia tidak berbahaya dan tidak menimbulkan korban,
diantaranya fetisisme dan fetisisme transvestik. Namun beberapa jenis lainnya
seperti ekshibisionisme, pedofilia, dan voyeurism memiliki korban yang tidak
menginginkannya sehingga memenuhi kriteria diagnostik yaitu menimbulkan
bahaya atau resiko kerugian pada orang lain. Bentuk parafilia yang paling
mengerikan adalah sadisme seksual saat bertindak dengan pasangan yang tidak
menginginkannya. Parafilia dapat didiagnosis sebagai gangguan parafilik ketika
menyebabkan kesulitan pribadi, gangguan fungsi, atau membahayakan atau
merugikan orang lain pada masa sekarang maupun masa lalu dari perilaku
parafilik yang dilakukan[ CITATION Jef18 \l 1033 ].

1. Ekshibisionisme
Paraphilia ekshibisionisme (memamerkan) ditandai dengan dorongan, fantasi,
atau perilaku yang kuat dan selalu timbul untuk memperlihatkan alat kelamin
seseorang kepada individu yang tidak menaruh curiga untuk tujuan gairah seksual.
Biasanya, orang tersebut berusaha mengejutkan, mengguncang, atau merangsang
secara seksual pada korban. Orang tersebut bisa melakukan masturbasi sambil
berfantasi atau benar-benar mengekspos dirinya. Hampir semua kasus melibatkan
pria, dan korbannya hampir selalu wanita[ CITATION Jef18 \l 1033 ].
Sebuah survey nasional menemukan bahwa sekitar 4% pria dan 2% wanita
melaporkan bahwa mereka mengekspos alat kelaminnya untuk tujuan kepuasan
seksual. Seseorang yang didiagnosis dengan ekshibisionisme biasanya tidak
mencari kontak seksual dengan korbannya, namun beberapa orang yang
mengekspos alat kelaminnya berlanjut pada tindakan kriminal yang lebih serius
berupa agresivitas seksual[ CITATION Jef18 \l 1033 ].
Pria yang terlibat dalam tindakan ekshibisionisme melakukannya sebagai cara
menunjukkan rasa benci secara tidak langsung terhadap wanita, mungkin karena
persepsi penolakan oleh wanita di masa lalu. Pria yang melakukan tindakan ini

19
cenderung pemalu, penyendiri, dependen, kurang memiliki keterampilan
interpersonal, dan mungkin kesulitan berhubungan dengan wanita. Rasa jijik atau
ketakutan dari korban akan mendorong rasa penguasaan mereka terhadap situasi
dan meningkatkan gairah seksual mereka. Orang yang terlibat dalam kasus
ekshibisionisme termotivasi oleh keinginan untuk mengejutkan dan membuat
cemas korban yang tidak menaruh curiga, bukan untuk menunjukkan sisi menarik
tubuhnya[ CITATION Jef18 \l 1033 ].
Kriteria Diagnostik
Merujuk pada buku DSM-V (2013), kriteria gangguan Exhibitionistic adalah
sebagai berikut :
 Selama periode setidaknya 6 bulan, gairah seksual berulang dan intens dari
pemaparan alat kelamin seseorang kepada orang yang tidak curiga, seperti
yang dimanifestasikan oleh fantasi, dorongan, perilaku.
 Individu telah menindaklanjuti desakan seksual ini dengan orang yang tidak
mengonsentrasikan, atau dorongan seksual dari fantasi menyebabkan tekanan
atau gangguan signifikan secara klinis dalam bidang sosial, pekerjaan, atau
bidang fungsi penting lainnya
2. Fetitisme
a. Defenisi Fetitisme
Fetisisme adalah kegairahan atau kepuasan seks yang didapat dari sesuatu
objek atau situasi tertentu. Seseorang yang mempunyai perilaku ini mendapatkan
kegairahan seksual dengan memakai atau dengan menyentuh objek tersebut.
Kebanyakan objek tersebut adalah ekstensi dari tubuh manusia, seperti pakaian
atau sepatu[ CITATION Dav04 \l 1033 ].
Kata fetish berasal dari fétiche Perancis, yang berasal dari feitiço Portugis
(mantra), yang pada gilirannya berasal dari bahasa Latin facticius (buatan) dan
facere (untuk membuat). Fetish adalah sebuah objek diyakini memiliki kekuatan
supranatural, atau khususnya, sebuah objek buatan manusia yang memiliki
kekuasaan atas orang lain. Pada dasarnya, fetisisme adalah atribusi dari nilai yang
melekat atau kekuatan suatu benda. Istilah fetish erotis dan fetish
seksual[ CITATION Dav04 \l 1033 ].

20
b. Kriteria utama Fetitisme.
Karakteristik utama orang yang mengidap fetitisme adalah mereka yang
memiliki dorongan yang secara fantasi, atau memiliki perilaku seksual yang kuat
dan selalu berulang yang melibatkan benda mati, seperti pakaian (bra, celana
dalam, kaus kaki, sepatu, boot, kulit, sutra, dan sejenisnya. Tidak bisa lagi kita
pungkiri kalau pria akan terangsang atau akan memiliki rangsangan secara seksual
baik pada pandangan, rasa ataupun pakaian dalam pasangannya. Akan tetapi
seorang pria yang mengidap gangguan fetitisme dapat mengacu atau beralih-alih
orang dan tidak akan terangsang secara seksual apabila objek yang disukainya
tidak ada dalam aktifitas seksualnya. Karena orang yang mengidap fetitisme ini
akan mengalami kepuasan seksual dengan melakukan masturbasi sambil
menyentuh benda, mengelus-ngelusnya, menciumnya, atau bahkan menyuruh
pasangan untuk memakai objek tersebut selama pada aktifitas
seksualnya[ CITATION Jef18 \l 1033 ].
Penderita fetitisme ini memiliki minat seksual yang terkait dengan bagian
tubuh yang hidup seperti rambut perempuan, atau obyek-obyek mati seperti
pakaian dalam perempuan. Rentang objek fetishistik terdiri dari buah dada,
rambut, kuping, tangan, pakaian dalam, sepatu, sapu tangan, minyak wangi, atau
stoking yang terkait dengan jenis kelamin lain [ CITATION Yas04 \l 1057 ] . Yang
patut digaris bawahi, eksitasi dan kepuasan seksual berkisar pada mencium,
memainkan, atau mengecap benda- benda tersebut. Biasanya, dilakukan dengan
perilaku masturbasi. Selain itu, biasanya benda atau objek tersebut diperoleh
dengan cara mencuri [ CITATION Yas04 \l 1057 ].
Kriteria Diagnostik
Adapun kriteria diagnosis dari gangguan fetisisme (fetishistic disorder),
sebagai berikut [ CITATION Mas13 \l 1033 ]:
a. Selama periode setidaknya 6 bulan, gairah seksual berulang dan intens baik
dari penggunaan benda mati atau fokus yang sangat spesifik pada bagian-
bagian tubuh non-genital yang dimanifestasikan oleh fantasi, dorongan atau
perilaku.

21
b. Fantasi, dorongan seksual atau perilaku menyebabkan tekanan yang signifikan
secara klinis atau gangguan dalam bidang sosial, pekerjaan atau bidang fungsi
penting lainnya.
c. Benda-benda fetish tidak terbatas pada barang-barang pakaian yang digunakan
dalam cross-dressing (seperti pada gangguan transvestisme) atau prangkat yang
dirancang khusu untuk tujuan stimulasi genetik taktil (misalnya, vibrator)
3. Transvestisme
a. Defenisi Transvestisme
Kelainan transvestisme merupakan salah satu bentuk gangguan identitas
gender. Pria heteroseksual dalam fantasinya atau secara aktual mengenakan
pakaian wanita untuk membangkitkan nafsu seksual dan kemudian mendapatkan
kepuasan seksual. Mengenakan pakaian wanita merupakan pernyataan identifikasi
diri sebagai wanita (feminine identification). Bila keinginan mengenakan pakaian
wanita tidak terlaksana, ia akan sangat frustrasi. Ada kaum transvestit yang
melakukan hal itu di kamar tidurnya sendirian, lalu bercermin memandangi
dirinya. Pada waktu mengenakan pakaian wanita inilah terjadi ereksi. Di sini
orgasme dapat terjadi spontan atau lewat masturbasi. Transvestit lain terdorong
untuk mondar-mandir di jalan dengan berpakaian wanita lengkap dengan rambut
palsu, tata rias wajah, dan perhiasannya. Ia dapat sangat teliti dan mahir dalam
“menyulap” dirinya menjadi wanita, sehingga sering sangat mirip wanita
[CITATION Dav04 \l 1057 ].
Transvetisme lebih mengacu paa individu yang mengacu pada individu yang
memiliki dorongan, fantasi, atau perilaku yang kuat dan berulang-ulang sehingga
mereka menjadi terangsang secara seksual dengan berpakaian lawan jenis.
Berbeda dengan fetitisme yang hanya memperoleh kepuasan lewat memegang
benda seperti pakaian wanita semabari melakukan aktifitas seksual secara sendiri
atau masturbasi, transvesisme justru ingin mengenakan objek atau benda dari
lawan jenisnya. Beberapa pria yang menderita kelainan ini maka akan terangsang
secara seksual yang diperoleh dari hasil fantasinya sendiri bahwa tubuh mereka
adalah tubuh seorang wanita. Secara umum gangguan ini banyak ditemukan pada
kaum pria terutama mereka yang homo atau mengalami heteroseksual, mereka

22
sering mengenakan pakaian wanita sembari melakukan masturbasi dan berfantasi
membayangkan bahwa dirinya sedang membelai seorang wanita [ CITATION
Jef18 \l 1033 ].
b. Perbedaan transvestisme dengan transeksual
Individu yang secara transeksual akan menolak jenis kelamin anatomisnya
sehingga individu tersebut akan merasa risi dengan dirinya sendiri dan memiliki
rasa tidak pedulian ketika dilahirkan sebagai pria atau wanita [ CITATION Wil12 \l
1057 ]. Identitas gender yang berlawanan dengan jenis kelamin biologisnya,
sehingga ada hasrat untuk hidup diterima sebagai salah satu anggota dari
kelompok lawan jenisnya. Seorang transeksual akan merasa dirinya bahwa dirinya
adalah pria secara biologis, dan seorang wanita secara psikologis begitu[un juga
dengan sebaliknya[ CITATION Wil12 \l 1057 ]. Pada kelainan atau gangguan ini
akan memiliki keinginan untyk memroleh terapu homonal atau pembedahan untuk
membuat tubuhnya semirip mungkin dengan tubuh jenis kelamin yang di
inginkannya. Sedangkan pada orang yang mengalami gangguan transvestisme
hanya ingin mengenakan pakaian dari lawan jenisnya sehingga timbul rangsangan
seksual untuk memperoleh kepuasan sex dengan cara masturbasi dan tidak
memiliki niat atau keinginan untuk mengubah jenis kelaminnya namun hanya
ingin memperoleh kepuasan seksual dengan memakai pakaian dari lawan
jenisnya[ CITATION Wil12 \l 1057 ].
Kriteria Diagnostik
Adapun kriteria diagnosis dari gangguan transvestisme (transvestic
disorder), sebagai berikut [ CITATION Mas13 \l 1033 ]:
a. Selama periode setidaknya 6 bulan, gairah seksual berulang dan intens dari
cross-dressing yang dimanifestasikan oleh fantasi, dorongan, atau perilaku.
b. Fantasi, dorongan seksual atau perilaku menyebabkan tekanan yang signifikan
secara klinis atau gangguan dalam bidang sosial, pekerjaan atau bidang fungsi
penting lainnya.
4. Vyeurisme
b. Devinisi Vyeurisme

23
Voyeurisme suatu gangguan yang melibatkan dorongan, fantasi, atau
bahkan perilaku seksual yang kuat dan berulang-ulang dimana seorang individu
akan menjadi terangsang secara seksual dengan melihat orang lain yang tidak
curiga telanjang, membuka pakaian, atau terlibat dalam aktifitas seksual. Individu
yang memiliki gangguan ini yang pada umumnya terjadi pada kalangan pria, akan
cenderung untuk tidak mencari aktifitas seksual dengan seseorang, akan tetapi
menjadi terangsang secara seksual hanya dengan melihat orang lain atau lawan
jenis dalam keadaan telanjang[ CITATION Jef18 \l 1033 ].
Seseorang tidak bisa dikatakan voyeur apabila melihat pasangannya tidak
memakai pakaian karena orang yang memperlihatkannya menjadi tahu dan tidak
merasa curiga sehingga bagi seorang voyeur tidak menjadi suatu bagian yang
dapat merangsang hasrat seksualnya. Bagi voyeur mengintip merupakan jalan
satu-satunya untu memuaskan hasrat seksualnya karena baginya orang yang di
intip tersebut tidak merasa curiga kalau sedang diamati, sehingga menempatkan
diri voyeur dalam situasi yang beresiko seperti ketahuan atau merugi, namun
bagian tersebut justru menambah ketertarikan untuk mengulangi hal yang
sama[ CITATION Jef18 \l 1033 ]. Voyeurisme adalah sebuah kecenderungan yang
berulang atau menetap untuk melihat orang yang sedang berhubungan seksual
atau berperilaku intim seperti sedang menanggalkan pakaian Umumnya penderita
voyeurisme juga megalami gangguan seksual lain (Maslim, 2013).
c. Ciri-ciri penderita gangguan voyeurisme
Maslim (2013) mengemukakan pendapatnya bahwa Voyeurisme memiliki
beberapa ciri-ciri, diantaranya adalah:
 Memiliki kebiasaan untuk melihat orang lain tanpa busana, berpakaian minim,
atau orang yang sedang berhubungan seksual baik secara
 langsung maupun melalui media yang cenderung berulang dan menetap dan
dalam jangka waktu yang lama
 Suka melihat atau membaca konten dewasa ketika berkumpul bersama teman
 Suka melihat atau membaca konten homoseksual ketika berkumpul bersama
teman
 Suka melihat atau membaca konten dewasa ketika memiliki waktu luang

24
 Suka melihat atau membaca konten homoseksual ketika memiliki waktu luang
 Merasa tidak sadar ketika melakukan perilaku seksual yang menyimpang
karena perilaku tersebut dilakukan penderita tanpa diketahui oleh orang yang
dijadikan objek pengamatannya.
5. Froteurisme
a. Defenisi Froteurisem
Fetteurisem meruapakan salah satu gangguan seksual yang dapat memicu
dorongan secara fantasi, atau perilaku seksual dengan menggesek-gesekkan atau
menyentuh tubuh orang tanpa izin. Gangguan ini juga sering disebut dengan
masbing karena hal ini sering dijumpau pada tempat yang ramai seperti kereta
bawah tanah, bus, atau lift. Tindakan mengelus atau menyentuhnya, bukan aspek
paksaannya yang membangkitkan hasrat seksual seorang pria. Ia bisa
membayangkan dirinya atau berfantasi tentang dirinya menikmati hubungan
seksual yang yang ekslusif dan penuh kasih sayang dengan korbannya [ CITATION
Jef18 \l 1033 ].
Adapun Frotteurisme menurut J.P. Chaplin adalah kata Frotteurisme yang
berawal dari kata frottage dan frotter dalam bahasa Perancis yang artinya
menggesek-gesek, mengurut-urut, memijit-mijit, mengusal atai usel-usel,
meraba-raba. Froteurisme merupakan perilaku yang melibatkan alat kelamin
secara tidak wajar untuk mencapai kepuasan seksual atau orgasme, yang
diperoleh dengan cara menggosok-gosokan dan meremas-remas pakaian dari
seorang anggota lawan jenis kelamin.. fenomena ini melibatkan seseorang
mendapatkan kepuasan seks dengan cara meraba-raba orang lain yang
disenangi biasanya tanpa sepengetahuan orang yang bersangkutan atau korbannya
[ CITATION Cha09 \l 1057 ].
b. Gejala kelainan Frotterisme
Pelaku penyimpangan seksual yang satu ini kebanyakan terlihat seperti
orang normal pada umumnya, sangat sulit mengetahui gejala dari kelainan
tersebut. Hal ini juga dikarenakan para pelaku tidak merasa bahwa hal tersbeut
merupakan sejenis penyimpangan dan mereka tidak merasa malu karena
melakukan hal tersebut. Namun, gejala dari froteurisme dapat dilihat dari

25
perilakunya secara langsung. Mereka yang menderita perilaku penyimpangan
seksual froteurisme selalu mendapatkan kesenangan dan kenikmatan tersendiri
ketika bagian tubuhnya bisa tersersentuh atau menyentuh bagian tubuh orang lain
dengan cara menggeseknya. Selain itu, para perilaku penyimpangan tersebut
selalu merasa ingin melakukannya secara berulang-ulang atau ketagihan
[ CITATION Kar89 \l 1057 ].
6. Pedofilia
a. Defenisi Pedofilia
Pedofilia didefinisikan sebagai gangguan kejiwaan pada orang dewasa atau
remaja yang telah memasuki tahap perkembangan dewasa (pribadi dengan usia 16
atau lebih tua) biasanya ditandai dengan suatu kepentingan seksual primer atau
eksklusif pada anak prapuber (umumnya usia 13 tahun atau lebih muda, walaupun
pubertas dapat bervariasi). Anak harus minimal lima tahun lebih muda dalam
kasus pedofilia remaja (16 atau lebih tua) baru dapat diklasifikasikan sebagai
pedofilia. Pedofilia merupakan aktifitas seksual yang dilakukan oleh orang
dewasa terhadap anak-anak di bawah umur. Kadang-kadang, si anak yang
menyediakan diri menjadi pasangan orang dewasa setelah melalui bujukan halus.
Tapi yang lebih sering penderita pedofilia memaksa dengan ancaman terhadap
anak-anak di bawah umur untuk mendapatkan kesenangan. Pedofilia pertama kali
secara resmi diakui dan disebut pada akhir abad ke 19. Sebuah jumlah yang
signifikan di daerah penelitian telah terjadi sejak tahun 1980 an. Saat ini,
penyebab pasti dari pedofilia belum ditetapkan secara meyakinkan.Saat ini,
penyebab pasti dari pedofilia belum ditetapkan secara meyakinkan. Penelitian
menunjukkan bahwa pedofilia mungkin berkorelasi dengan beberapa kelainan
neurologis yang berbeda, dan sering bersamaan dengan adanya gangguan
kepribadian lainnya dan patologi psikologis. Dalam konteks psikologi forensik
dan penegakan hukum, berbagai tipologi telah disarankan untuk mengkategorikan
pedofil menurut perilaku dan motivasinya [ CITATION APA13 \l 1057 ].
Agar dapat didiagnosis mengalami gangguan pedofil, maka seseorang
setidaknya harus berusia 16 tahun atau 5 tahun ;ebih tua dari anak yang manerika
orang tersebut secara seksual atau yang menjadi korban. Dalam beberapa kasus,

26
seorang pedofil hanya tertarik pada anak-anak. Sedangkan pada kasus lainnya,
seseorang dengan pedofila tertarik pada anak dan orang dewasa. Gangguan
pedofil bisa melibatlan baik pada wanita maupun pria yang mencari kepuasan
seksual pada anak laki-laki atau perempuan. Adapun beberapa orang penderita
pedofil membatasi aktifitas menyimpangnya jika hanya dengan melihat pakaian
anak-anak. Definis klinis gangguan pedofil ditujukan hanya ketika daya tarik
seksual pada praremaja atau anak yang berada pada awal pubertasnya sama atau
lebih besar ketimbang daya tarik seksual pada individu dewasa. Beberapa
penganiaya anak mengalami dorongan pedofilik hanya sesekali atau selama ada
kesempatan, sehingga tidak menjamin diagnosis gangguan pedofilik[ CITATION
Jef18 \l 1033 ].
Kriteria Diagnostik
Adapun kriteria diagnosis dari gangguan pedofilia (pedophilic disorder),
sebagai berikut [ CITATION Mas13 \l 1033 ]:
a. Selama periode paling sedikit 6 bulan, fantasi, gairah seksual berulang dan
intens atau perilaku yang melibatkan aktivitas seksual dengan anak premature
(prepubescent child) atau anak-anak (biasanya berusia 13 tahun atau lebih
muda).
b. Individu bertindak atas dorongan seksual atau dorongan seksual dari fantasi
menyebabkan marked distressed atau kesulitan antarpribadi.
c. Individu setidaknya berusia 16 tahun atau setidaknya lebih tua 5 tahun dari
anak-anak pada kriteria A.
Dampak Pelecehan Seksual Terhadap Anak-Anak
Pelecehan seksual dapat menimbulkan kerugian psikologis, baik itu dilakukan
oleh anggota keluarga, orang dekat atau orang asing. Anak yang dilecehkan dapat
menderita masalah psikologis yang melibatkan kemarahan, kecemasan, depresi,
penyalahgunaan obat, upaya bunuh diri, gangguan stress pascatrauma, harga diri
yang rendah, disfungsi seksual dan perasaan terbuang. Kemudian, orang dewasa
yang dilecehkan secara seksual saat kecil memiliki risiko yang lebih tinggi
mengalami gangguan psikologis dan masalah kesehatan fisik yang signifikan serta
masalah dengan fungsi ingatan dan kognitif. Sebuah penelitian di Inggris

27
menunjukkan bahwa orang dengan riwayat pelecehan seksual sekitar 6 sampai 10
kali lebih mungkin untuk terlibat dalam perilaku bunuh diri (mengancam untuk
bunuh diri atau berusaha bunuh diri) pada saat dewasa [ CITATION Jef18 \l 1033 ].
Dampak psikologis pelecehan seksual terhadap anak-anak itu beragam dan
tidak ada satu pola pun yang berlaku dalam semua kasus. Pelecehan seksual juga
dapat menyebabkan cedera kelamin dan masalah psikosimatik seperti sakit perut
atau pusing. Anak yang lebih muda bereaksi dengan perilaku marah atau agresif
atau antisosial. Sementara pada anak yang lebih tua mengalami masalah
penyalahgunaan zat. Beberapa anak yang dilecehkan menarik diri dari kehidupan
sosial dan mundur ke dalam fantasi (lebih memilih berfantasi) atau menolak
meninggalkan rumah. Anak yang dilecehkan juga menunjukkan perilaku yang
regresif, seperti menghisap jempol, takut akan gelap dan takut akan orang
asing[ CITATION Jef18 \l 1033 ].
Selain itu, pada orang yang mengalami pelecehan seksual ketika ia masih kecil
akan mengalami gangguan stress pascatrauma. Mereka mengalami kilas balik,
mimpi buruk, mati rasa secara emosional, dan merasa terasing dari orang lain.
Pertumbuhan seksual pada anak yang dilecehkan dapat mengalami disfungsional.
Misalnya, anak yang dilecehkan dapat aktif secara seksual sebelum waktunya atau
mempraktikkan seks bebas saat remaja atau dewasa. Gadis remaja yang
dilecehkan secara seksual akan cenderung lebih aktif secara seksual dibandingkan
seumurannya[ CITATION Jef18 \l 1033 ].
Dampak pelecehan seksual saat kecil cenderung serupa pada anak laki-laki
dan perempuan, yaitu keduanya cendering menjadi penakut dan memiliki masalah
tidur. Akan tetapi, adapula perbedaan dari keduanya, yaitu anak laki-laki lebih
sering mewujudkan masalahnya melalui serangan fisik sedangkan anak
perempaun sering kali memendam kesulitan mereka, misalnya dengan menjadi
depresi. Masalah psikologis dapat berlanjut ke masa remaja dan dewasa dalam
bentuk gangguan pascatrauma, kecemasan, depresi, penyalahgunaan zat, dan
masalah hubungan. Pada akhir masa remaja dan awal masa dewasa biasanya
merupakan masa yang sulit bagi korban pelecehan seksual anak, karena perasaan

28
marah dan bersalah yang tidak berujung serta rasa tidak percaya yang mendalam
mampu mencegah tumbuhnya hubungan yang intim[ CITATION Jef18 \l 1033 ].
7. Masokisme Seksual (Sexual Masochism)
Nama gangguan ini berasal dari seorang novelis Austria bernama Ritter
Leopald Sacher Masoch, yang menulis mengenai pria yang mencari kepuasan
seksual dari wanita yang memberikan rasa sakit pada dirinya. Mesokisme seksual
melibatkan dorongan, fantasi atau perilaku seksual yang kuat dan berulang ketika
individu menjadi terangsang secara seksual dengan dipermalukan, diikat,
dicambuk atau dibuat menderita dengan cara lain. Dalam masokisme seksual,
dorongan tersebut dilakukan akibat maupun menyebabkan distress pribadi yang
signifikan. Dalam beberapa kasus, masokisme seksual seseorang tidak dapat
mencapai kepuasan seksual dengan tidak adanya rasa sakit atau penderitaan.
Masokisme seksual pada umumnya sering terdapat pada pria, namun kadang
terdapat di wanita[ CITATION Jef18 \l 1033 ].
Selain itu, dalam beberapa kasus lain, masokisme seksual melibatkan
pengikatan atau pemutilasian diri sendiri selama masturbasi atau fantasi seksual,
serta adapun ketika pasangan diminta untuk mengikat, menutup mata, memukul
atau mencambuk dirinya dan adapula yang meminta untuk dikencingi atau
diberaki ataupun menjadi objek pelecehan verbal dengan tujuan untuk
mendapatkan kepuasan seksual. Ekspresi yang paling berbahaya dari masokisme
seksual adalah hipoksifilia yaitu ketika seseorang akan terangsang dengan
mengalami kekurangan oksigen, misalnya dengan jerat, kantung plastic, bahan
kimi atau tekanann di dada selama tekanan seksual. Pengurangan oksigen
biasanya dibarengi dengan fantasi membuat atau dibuat sesak nafas bersama
pasangan. Orang yang terlibat dalam aktivitas ini biasanya menghentikan aktivitas
tersebut ketika sudah mulai kehilangan kesadaran, akan tetapi adapula yang
sampai mati karena sesak napas[ CITATION Jef18 \l 1033 ].
Sebagian besar fantasi masokisme seksual dimulai pada masa kanak-kanak,
namun tidak akan bertindak sedemikian rupa hingga nanti, biasanya pada dewasa
awal. Gangguan ini berlanjut selama bertahun-tahun dan beberapa orang
mempraktikkan tindakan yang semakin berbahaya dari waktu ke waktu atau

29
selama masa stress tertentu. Dalam banyak kasus, masokisme seksual tampaknya
lebih berkembang melalui proses classical conditioning. Sebuah studi kasus klasik
menceritakan mengenai seorang anak remaja dengan lengan yang patah, dibelai
dan dipeluk erat oleh seorang perawat yang menarik ketika dokter mengatur
frakturnya, sebuah prosuder yang dilakukan dimasa lalu tanpa anastesi.
Kombinasi yang kuat dari rasa sakit dan gairah seksual yang dirasakan anak laki-
laki itu mungkin akan menjadi penyebab dorongan atau tindakan masokistiknya di
kemudian hari [ CITATION Ron10 \l 1033 ].
Kriteria Diagnostik
Adapun kriteria diagnosis dari gangguan masokisme seksual (sexual
masochism disorder), sebagai berikut [ CITATION Mas13 \l 1033 ]:
a. Selama periode, setidaknya selama 6 bulan, gairah seksual berulang dan intens
dari tindakan dipermalukan, dipukuli, diikat, atau dibuat menderita yang
dimanifestasikan oleh fantasi, dorongan atau perilaku.
b. Fantasi, dorongan seksual atau perilaku menyebabkan tekanan yang signifikan
secara klinis atau gangguan sosial, pekerjaan, atau bidang fungsi penting
lainnya.

8. Sadisme Seksual (Sexual Sadism)


Penamaan gangguan ini berasal dari nama seorang novelis dari prancis,
Marquis de Sade yang menulis cerita mengenai kenikmatan mencapai kepuasan
seksual dengan memberikan rasa sakit atau rasa malu kepada orang lain. Sadisme
seksual adalah kebalikan dari masokisme seksual. Sadisme seksual ditandai
dengan dorongan, fantasi, atau perilaku seksual yang kuat dan berulang ketika
individu menjadi terangsang secara seksual dengan memberikan penderitaan
psikologis dan fisik atau kekerasan pada orang lain. Individu dengan fantasi sadis
secara seksual biasanya merekrut pasangan yang setuju yang bisa jadi memiliki
minat masokistik atau PSK yang dibayar untuk bemain peran masokistik. Akan
tetapi, beberapa pelaku sadisme seksual membuntuti dan menyerang korban yang
menolak mereka dan akan terangsang dengan memberikan rasa sakit serta
penderitaan pada korban[ CITATION Jef18 \l 1033 ].

30
Fantasi kesadisan seksual, seperti maskulinisme seksual, mungkin pertama kali
muncul di masa kanak-kanak dan tindakan sadir terjadi serta berkembang di masa
dewasa awal dan polanya jangka panjang. Tindakan sadis kadang-kadang tetap
pada tingkat kekejaman yang sama, akan tetapi sering kali menjadi lebih parah
selama bertahun-tahun. Beberapa orang percaya bahwa classical condition bekerja
dalam sadisme seksual. Sementara menimbulkan rasa sakit, mungkin secara tidak
sengaja pada hewan atau orang, dan seorang anak remaja mungkin merasakan
emosi yang intens dan gairah seksual. Selain itu, behavioris mengusulkan bahwa
gangguan tersebut dapat terjadi akibat adanya pemodelan, ketika remaja
mengamati orang lain mencapai kepuasan seksual dengan menimbulkan rasa sakit
[ CITATION Ron10 \l 1033 ].
Banyak orang yang memiliki fantasi sadis dan masokistik terlibat dalam
permainan seks yang melibatkan bentuk ringan sadomasokisme (sadomasochism)
dengan pasangan mereka. Sadomasokisme mengaju pada praktik interaksi seksual
yang saling memuaskan dan melibatkan tindakan sadistik ataupun masokistik.
Stimulus dapat berbentuk penggunaan bulu untuk memukul pasangan sehingga
tidak ada rasa sakit yang muncul. Variasi tersebut dan variasi lain seperti gigitan,
menarik rambut, dan goresan ringan dalam konteks hubungan konsensual yang
saling menguntungkan dianggap termasuk dalam spektrum normal interaksi
seksual antar manusia. Oleh sebab itu, diagnosis klinis gangguan masokisme
seksual atau gangguan sadism seksual hanya akan diberikan ketika perilaku,
dorongan atau fantasi seksual ini menyebabkan distress pribadi atau secara negatif
memengaruhi kemampuan individu dalam memenuhi peran sosial, pekerjaan dan
peran lainnya, atau bahkan sampai merugikan orang lain[ CITATION Jef18 \l
1033 ].
Kriteria Diagnostik
Adapun kriteria diagnosis dari gangguan sadisme seksual (sexual sadism
disorder), sebagai berikut [ CITATION Mas13 \l 1033 ]:
a. Selama masa periode, setidaknya selama 6 bulan, gairah seksual berulang dan
intens dari penderitaan fisik atau fisiologis dan orang lain, sebagaimana
diwujudkan oleh fantasi, dorongan dan perilaku.

31
b. Individu bertindak atas dorongan seksual dengan orang yang tidak setuju
melakukan hal tersebut atau dorongan seksual dari fantasi menyebabkan
tekanan yang signifikan secara klinis atau gangguan dalam bidang sosial,
pekerjaan atau bidang fungsi penting lainnya.
8. Parafilia Lainnya
Terdapat banyak bentuk parafilia lainnya. Bentuk-bentuk tersebut meliputi
perlakuan panggilan telepon cabul (telephone scatologia), nekrofilia (dorongan
atau fantasi seks yang melibatkan kontak dengan mayat), partialisme (hanya
berfokus pada bagian tubuh, seperti payudara), zoofilia (dorongan atau fantasi
seksual yang melibatkan kontak dengan hewan), dan rangsangan seksual yang
melibatkan kotoran (koprofilia), pencahar/enema (klismafalia), dan urin (urifolia) [
CITATION Jef18 \l 1033 ].

2.2.3 Perspektif teoritis


a. Perspektif psikodinamika
Teoritikus psikodinamika menganggap bahwa jenis-jenis dari parafilia
merupakan pertahanan terhadap kecemasan pengibirian dari periode
perkembangan psikoseksual, yakni phallic. Pada masa perkembangan periode
phallic, anak laki-laki yang memiliki ketertarikan terhadap ibunya akan
menganggap ayahnya sebagai saingan. Kecemasan akan pengibirian merupakan
ketakutan pada alam bawah sadarnya bahwa ayahnya akan membalas dendam
dengan menghilangkan organ yang berhubungan dengan hasrat seksualnya
sehingga memotivasi sang anak untuk melampiaskan hasrat kepada ibunya dan
mengidentifikasi sang ayah sebagai agresornya. Akan tetapi, anak yang gagal
untuk menangani konflik pada periode phallic ini dapat berujung pada kecemasan
akan pengibirian saat dewasa nanti. Hal ini dapat menyebabkan individu yang
cemas akan pengibirian, pikiran bawah sadarnya menyamakan kecemasan akan
pengebirian ketika berhubungan dengan wanita dewasa [ CITATION Jef18 \l 1057 ].
Pada tingkat yang tidak disadari, kecemasan ini akan membuat individu
mengganti hasrat seksualnya pada aktivitas seksual yang ”lebih aman”, seperti
melakukan kontak seksual dengan pakaian dalam wanita, melihat orang lain

32
membuka pakaian secara sembunyi-sembunyi, atau melakukan seks dengan anak-
anak yang lebih mudah ia kendalikan. Individu yang eksibisionis dalam
memperlihatkan alat kelaminnya, secara tidak sadar mencari kepastian bahwa alat
kelaminnya aman dan baik-baik saja. Pandangan psikodinamika mengenai asal-
usul parafilia ini masih bersifat spekulatif dan kontroversial. Masih kekurangan
bukti langsung bahwa penderita parafilia itu dirundung akan kecemasan
pengibirian yang tidak tertangani[ CITATION Jef18 \l 1057 ].
Teoritikus juga berpsekulasi bahwa parafilia seperti masokisme seksual
merupakan pelarian sementara dari egoisme biasa. Individu berfokus pada sensasi
yang menyakitkan dan rasa senang untuk sementara waktu serta saat merasakan
menjadi objek seksual dapat memberikan penanggulangan sementara dari rasa
tanggung jawab menjaga kedewasaan, yaitu tanggung jawab kepada diri
sendiri[ CITATION Jef18 \l 1057 ].
b. Perspektif Behavioristik
Teoritikus behavioristik menjelaskan bahwa parafilia dalam istilah
pembelajaran dan pengondisian dapat disebabkan leh beberapa objek atau
aktivitas menjadi berhubungan dengan gairah seksual. Objek dan aktivitas
tersebut memeproleh kapasitas untuk menumbuhkan gairah seksual. Sebagai
contohnya, June Reinisch seorang peneliti mengenai seks berspekulasi bahwa
kepekaan paling awal tentang gairah atau respon seksual bisa berhubungan
dengan pakaian dalam. Individu membentuk hubungan antara kedua objek
tersebut yang kemudian menjadi kondisi untuk perkembangan fetis. Terutama
ketika objek tersebut muncul secara berulang-ulang. Misalnya seorang anak laki-
laki yang membayangkan stoking ibunya sambil bermastrubasi dapat memiliki
fetis dengan stoking. Perkembangan fetis dapat bergantung pada pemikiran erotis
tentang jenis rangsangan tertentu degan memasukkannya ke dalam fantasi
seksualnya[ CITATION Jef18 \l 1057 ].
Hubungan keluarga juga dapat berperan dalam hal ini. Beberapa pria
transvestit melaporkan riwayat mengenai memeroleh “hukuman wanita” ketika
masih kecul, yakni mereka dipermalukan dengan didandani seperti perempuan.
Ketika dewasa, pria transvestit berusaha secara psikologis untuk menukar

33
penghinaan itu menjadi sebuah penguasaan, dengan mencapai dan terlibat dalam
aktivitas seksual dengan dandanan pakaian wanita[ CITATION Jef18 \l 1057 ].
c. Perspektif Biologis
Peneliti menemukan bukti dorongan seks yang lebih tinggi pada pria dengan
parafilia, yang dibuktikan oleh frekuensi fantasi dorongan seksual yang lebih
tinggi serta periode refraktori yang lebih singkat setelah orgasme melalui
mastrubasi (lama waktu yang dibutuhkan untuk terangsang kembali. Beberapa
ahli menganggap bahwa hal tersebut mengacu pada dorongan seks yang tinggi
yang mungkin berlaku bagi beberapa kasus parafilia sebagai gangguan gairah
hiperseks atau kebalikan dari gangguan hasrat seksual hipoaktif. Levine (dalam
Nevid, Rathus, & Greene, 2018) mengemukakan bahwa dalam kasus seperti itu,
individu bisa mengalami kesulitan yang berulang-ulang dalam mengendalikan
dorongan untuk terlibat dalam perilaku yang ilegal atau maladaptif, seperti sering
mengunjungi tempat pelacuran, mastrubasi di depan publik, atau menggunakan
pornografi yang tidak terkontrol[ CITATION Jef18 \l 1057 ].
Peneliti lain menemukan perbedaan bahwa pria parafilik dan subjek kontrol
memiliki perbedaan pada gelombang otak dalam merespon gambaran parafilik
(fetilik dan sadomasokistik) serta gambaran kontrol (seperti wanita telanjang,
hubungan kelamin, atau seks oral). Makna pada perbedaan ini belum begitu jelas
namun, otak pria parafilik merespon secara berbeda terhaap berbagai jenis
rangsangan seksual daripada respon yang diberikan oleh pria lain. Peneliti lainnya
juga menemukan bahwa pria pedofilik menunjukkan bukti adanya fungsi otak
yang abnormal di sirkuit otak yang merespon rangsangan seksual. Meskipun
diperlukan penelitian lebih lanjut, tetapi dapat divisualisasikan bahwa gangguan
pada jaringan otak yang terlibat dalam gairah seksual bisa meningkatkan
kerentanan terhadap pedofilia pada umumnya, yang juga mungkin pada pria
dengan riwayat trauma atau pelecehan pada masa kecil[ CITATION Jef18 \l 1057 ].
Peneliti John Money meneliti mengenai asal mula parafilia pada masa kecil, ia
kemudian mengungkapkan bahwa pengalaman masa kecil meemberikan pola
dalam otak yang ia sebu dengan lovemap. Lovemap menentukan jenis rangsangan
dan aktivitas yang menjadi rangsangan seksual. Pada parafilia, lovemap bisa

34
terganggu atau rusak oleh pengalaman traumatis saat kecil. Bukti yang ada
menunjukkan adanya hubungan trauma seksual atau emosional pada masa kecil
dengan dengan perkembangan parafilia. Seperti yang dikemukakan oleh Gregory
Lenhe (dalam Nevid, rathus, & Greene, 2018) bahwa seorang anak laki-laki yang
dilecehkan secara seksual bisa mengalami fantasi parafilik yang melibatkan
aktivitas seksual, misalnya dihukum atau dipermalukan dengan dipakaikan
pakaian wanita saat masih kecil dapat menyebabkan beberapa anak laki-laki
meng-erotis-kan pengalaman tersebut, yang ditunjukkan sebagai
transvestisme[ CITATION Jef18 \l 1057 ].

2.2.4 Penanganan Gangguan Parafilik


a. Penanganan psikoanalisis
Psikoanalisis berusaha untuk menangani gangguan parafilik ini dengan
membawa kondlik seksual masa kecil yang biasanya bersifak oedipal ke dalam
kesadaran sehingga dapat ditangani dengan mempertimbangkan kepribadian
individu dewasa[ CITATION Jef18 \l 1057 ].

b. Terapi kognitif-perilaku (Cognitive Behaviour Therapy)


Pada cognitive behaviour theraphy berfokus secara langsng pada pengubahan
perilaku yang bermasalah. Cognitive behaviour theraphy melibatkan sejumlah
teknik, seperti pengondisian yang tidak menenagkan (aversif), sensitisasi
terselubung, dan pelatihan keterampilan sosial untuk membantu menghilangkan
perilaku parafilik serta memperkuat perilaku seksual yang pantas[ CITATION
Jef18 \l 1057 ].
Tujuan pengondisian aversif adalah untuk menimbulkan respons emosional yang
negatif terhadap rangsangan atau fantasi yang tidak pantas. Dalam menerapkan
terapi aversif ini, stimulus atau rangsangan seksual yang melibatkan anak-anak
dikondisikan berulang kali dengan stimulus aversif (misalnya bau amonia yang
tidak enak) dengan harapan bahwa seseorang akan mengalami aversi terkondisi
dengan terhadap stimulus parafilik. Pengondisian aversif dapat mengurangi gairah

35
seksual sebagai respons terhadap rangsangan tetapi masih dipertanyakan megenai
seberapa lama dampak ini dapat bertahan[ CITATION Jef18 \l 1057 ].
Sensitisasi terselubung (covert sensitization) adalah variasi dari terapi aversi,
sensitisasi terselubung merupakan terapi yang mana fantasi parafilik dipasangkan
atua dikondisikan dengan rangsangan aversim dalam imajinasi. Dalam sebuah
penelitian, pria dengan pedofilia dan pria yang telah terlibat dalam
ekshibisionisme diminta untuk berfantasi mengenai adegan pedofilik atau
eksibionistik. Ketika kenikmatan seksual timbul, maka gambaran aversif pun akan
diberikan[ CITATION Jef18 \l 1057 ].
Pelatihan keterampilan sosial merupakan terapi yang dapat membantu individu
untuk memperbaiki kemampuannya dalam menumbuhkan dan menjada hubungan
dengan pasangan dewasa. Terapis dapat mencontohkan perilaku yang diinginkan,
seperti mengajak wanita berkencan atau menangani penolakan. Terapis juga
memberikan umpan balik panduan dan tambahan contoh untuk membantu klien
dalam mengembangkan keterampilan sosialnya lebih jauh lagi[ CITATION Jef18 \l
1057 ].
c. Penanganan/terapi biomedis
Tidak ada pil ajaib atau pengobatan medis lainnya untuk gangguanparafilik.
Akan tetapi, kemajuan telah dilaporkan dalam penanganan ekshibisionisme,
voyeurism, dan fetisisme dengan antidepresan SSRI, seperti Prozac. Hal itu
dikarenakan SSRI sering kali membantu dalam menangani gangguan OCD, yaitu
gangguan psikologis yang ditandai dengan obsesi dan kompulsi berulang.
Paraphilia tampaknya mencerminkan pola perilaku ini yang menunjukkan bahwa
perilakunya mungkin termasuk dalam spectrum perilaku obsesif-kompulsif. Orang
penderita paraphilia sering memiliki pikiran atau gambaran obsesif dari objek atau
rangsangan parafilik, seperti gambaran anak kecil, yang sering kumat dan
intrusive. Banyak juga yang merasa terdorong untuk terus melakukan tindakan
parafilik[ CITATION Jef18 \l 1033 ].
Obat antiandrogen akan mengurangi kadar testosterone dalam aliran tubuh.
Testosterone memberikan energy terhadap dorongan seksual, sehingga
penggunaan antiandrogen dapat mengurangi dorongan dan desakan seksual,

36
termasuk dorongan untuk melakukan pelecehan seksual dan fantasi terkait,
terutama bila digunakan bersamaan dengan penanganan psikologis. Namun,
antiandrogen tidak sepenuhnya menhilangkan dorongan parafilik, dan tidak juga
mengubah jenis rangsangan erotis yang membuat klien tertarik[ CITATION Jef18 \l
1033 ].

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sexual dysfunctions mengacu pada gangguan baik dalam keinginan untuk
kepuasan seksual atau dalam kemampuan untuk mencapainya. Pada DSM-5 yang
membagi sexual dysfunctions menjadi tiga kategori yang melibatkan hasrat
sexual, gairah dan minat; gangguan orgasmik dan gangguan nyeri seksual.
Kemudian, paraphilia mengacu pada kelompok gangguan yang ditentukan oleh
ketertarikan seksual yang berulang pada objek yang tidak biasa. Dengan kata lain,
ada penyimpangan pada apa yang membuat individu tertarik. Pada DSM-5
membedakan paraphilia berdasarkan sumber gairah. Akan tetapi kedua gangguan
tersebut hanya dapat diidentifikasi apabila secara berulang dan berlangsung cukup

37
lama setidaknya selama 6 bulan. Adapun dengan penanganan dan berbagai
macam perspektif yang berbeda-beda.

38
DAFTAR PUSTAKA

Alimi, Y. (2004). Dekontruksi Seksualitas Poskolonial. Yoyakarta: Lkis.


APA. (2013). Diagnosis And And Statistical Manual Of Mental Disorder Edition
"DSM-5". Washington DC: American Psyatric Publisher.
Chaplin, J. P. (2009). Dictionary Of Psychology, (Terjemahan. Kartini Kartono).
Jakarta: PT> Raja Grafindo Persada.
Comer, R. J. (2010). Abnormal Psychologu . New York: Worth Publisher.
Davison, G. N. (2004). Abnormal Psychology. USA: Jhon Wiley & Sons.
Kartono. (1989). Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual. Bandung:
Pustaka Pelajar Offset.
Maslim, R. (2013). Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGH-III dan
DSM-5. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmaja.
Nevid, J., Rathus, S., & Greene, B. (2018). Psikologi Abnormal Edisi Kesembilan
Jilid 2. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Willy F. Maramis, A. A. (2012). Catatan ilmu Kedoteran Jiwa Edisi 2. Surabaya:
Airlangga University Press.

iv

Anda mungkin juga menyukai