Anda di halaman 1dari 13

MODEL PENDEKATAN BIOPSIKOSOSIAL-SPIRITUAL (BPSS)

Disusun untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Tingkah Laku Manusia
dalam Lingkungan Sosial

Dosen
Dra. Yana Sundayani, M.Pd

Disusun oleh:
Kelompok 3
1. Lestari (21.04.099)
2. Reza ArRasyid Syam (21.04.111)
3. Eka Aulia Purwahardiani (21.04.229)

PROGRAM STUDI PEKERJAAN SOSIAL


PROGRAM SARJANA TERAPAN
POLITEKNIK KESEJAHTERAAN SOSIAL BANDUNG
TAHUN 2022
BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Model biopsikososial menyatakan bahwa cara kerja tubuh, pikiran, dan


lingkungan semuanya saling memengaruhi. Menurut model ini, tidak satu pun dari
faktor-faktor ini secara terpisah cukup untuk mengarah secara definitif pada masalah.
Pendekatan biopsikososial berpendapat bahwa faktor biologis, psikologis, dan sosial
memainkan peran penting dalam penyebab dan penyelesaian masalah.

Spiritualitas melibatkan pengenalan perasaan atau rasa atau keyakinan bahwa


ada sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri, sesuatu yang lebih manusiawi daripada
pengalaman indrawi, dan bahwa keseluruhan yang lebih besar di mana manusia menjadi
bagiannya yang bersifat kosmis atau ilahi.

Dalam bentuknya yang paling umum, model spiritual mengungkapkan gagasan


bahwa orang dapat tumbuh secara spiritual dengan meniru kehidupan atau perilaku satu
atau lebih teladan spiritual, apakah teladan itu adalah anggota keluarga atau komunitas
mereka sendiri, atau pendiri atau mistikus yang ditinggikan.dari sebuah agama dunia.

Oleh karenanya, pekerjaan sosial perlu kerangka multidimensi yang


mengintegrasikan pengetahuan dan teori mengenai tingkah laku manusia dari aspek
biologis, psikologis, sosial, dan spiritual. Model biopsikososial-spiritual membantu
pekerja sosial untuk memahami interaksi antara komponen biologis, psikososial, dan
spiritual dalam memahami masalah klien. Model ini memberikan pekerja sosial
perkembangan dasar teoritis untuk interaksi faktor biologis, psikososial, dan spiritual
pada perkembangan individu.

Dengan peningkatan fokus pada kekuatan manusia, kesejahteraan,


pemberdayaan, dan ketahanan, pemulihan jangka panjang menjadi mungkin bagi
banyak individu dengan masalah. Model pemecahan masalah yang efektif dan
terintegrasi menawarkan harapan, bimbingan, martabat, dan rasa hormat bagi klien.
BAB II

PEMBAHASAN

Model biopsikososial adalah pendekatan yang memahami masalah sebagai


seperangkat faktor yang mencakup biologis, psikologis, dan sosial. Ini dikembangkan
oleh psikiater George Engels yang bertentangan dengan pemulihan secara medis
tradisional, yang berfokus hanya pada aspek fisik dari masalah. Meskipun awalnya
diciptakan hanya untuk diterapkan pada kedokteran, akan tetapi kemudian menyebar ke
bidang lain seperti psikologi, sosiologi, dan pekerjaan sosial. Sejak itu, telah menjadi
fokus utama dalam disiplin ini karena kekuatan penjelasan dan intervensi yang lebih
besar. Kemajuan terbesar dari model biopsikososial adalah memungkinkan para
spesialis berhenti mencari satu penyebab gangguan (baik fisik maupun mental). Sejak
diadopsi, telah dipahami bahwa setiap masalah disebabkan oleh serangkaian faktor yang
harus dipahami sepenuhnya untuk mengatasinya.

Model ini berasal dari teori sistem, di mana menurut Caron & Goets (1998)
menjelaskan bahwa semua level dari organisasi manusia saling berinteraksi dan
perubahan dari satu fungsi area akan merubah fungsi area lainnya. Apabila dikaitkan
dengan penanganan klien dalam praktik pekerjaan sosial, maka teori tersebut
menegaskan bahwa segala jenis pengobatan terhadap individu harus diperhitungkan,
bukan hanya penyakit biologis, namun juga masalah emosional dan dukungan sosial
karena itu merupakan satu kesatuan. Hal tersebut akan tergambar secara jelas dalam
model biopsikososial.

Model tersebut didasarkan atas dua premis, yaitu: 1) masalah-masalah klien


adalah multikausal dan mencerminkan usaha mereka untuk menghadapi stresor sesuai
dengan kerentanan-kerentanan, lingkungan, dan sumber-sumber yang ada, serta 2)
pendekatan-pendekatan perlakuan sebaiknya multimodal dengan menggunakan banyak
cara, fleksibel, dan disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan dan harapan-harapan
klien.

Model biopsikososial menawarkan tiga aspek dengan pengertian bahwa progres


di salah satu aspek berarti progres di semua aspek. Tiga aspek tersebut adalah 1)
biologis yang menekankan pada substrat anatomik, struktural, dan molekular dari
penyakit serta efeknya pada fungsi biologis; 2) psikologis yang menekankan pada efek
faktor psikodinamik, motivasi, dan kepribadian pada pengalaman sakit serta reaksi
terhadap penyakit; serta 3) sosial yang menekankan pada pengaruh kultural, lingkungan,
dan keluarga terhadap penyakit.

 Keuntungan Model Pendekatan Biopsikososial


 Berfokus Pada Pencegahan

Dengan menyadari pentingnya faktor-faktor seperti emosi,


lingkungan sosial, dan pemikiran dalam perkembangan masalah,
kampanye pencegahan yang jauh lebih efektif telah dihasilkan. Hal ini
terjadi terutama karena caral biopsikososial telah memungkinkan untuk
menemukan lebih banyak faktor yang terlibat dalam gangguan, yang
memungkinkan intervensi lebih efektif.

 Pengurangan Stigma

Orang yang terkena gangguan tidak dilihat sebagai kelainan


dalam pendekatan ini. Ini membantu meringankan bagian dari
konsekuensi sosial dan emosional yang disebabkan oleh sebagian besar
masalah dan gangguan.

 Memberikan Kontrol yang Lebih Besar Kepada Klien

Karena model biopsikososial menyoroti pentingnya faktor-faktor


yang berada dalam lingkup kendali klien dengan masalah tersebut,
mereka dapat mengambil peran yang lebih aktif dalam pemulihan
mereka sendiri. Di sisi lain dengan mengadopsi model ini, klien juga
mampu berbuat lebih banyak untuk mencegah timbulnya masalah.

 Kekurangan Model Pendekatan Biopsikososial


 Membutuhkan Lebih Banyak Profesional Ahli
Pekerja sosial yang bekerja dengan pendekatan biopsikososial
juga memerlukan bantuan dari tenaga profesional lain untuk memahami
klien dari berbagai aspek, seperti psikolog, psikiater, atau dokter.

 Menyebabkan Diagnosis yang Lebih Kompleks

Dengan memasukkan berbagai faktor seluas mungkin, diagnosis


masalah tidak lagi begitu mudah. Terkadang, hal ini memerlukan waktu
yang lebih lama untuk menemukan akar masalah.

Dalam pratik pekerjaan sosial klinis, model biopsikososial dijadikan sebagai alat
asesmen dengan menambah satu aspek yaitu spiritual. Penambahan aspek spiritual pada
model biopsikososial dikarenakan spiritualitas pada hakikatnya adalah suatu kekuatan
yang datang dari luar kekuatan diri sebagai manusia. Spiritualitas adalah pencarian
manusia akan makna dan tujuan hidup, sehingga memiliki keseluruhan kepribadian dari
sejumlah pengalaman hidup yang beragam (Napsiyah dan Fuadi, 2011).

Aspek spiritual ditandai dengan adanya kekuatan lain di luar kekuatan diri
sendiri yang menjadikan pribadi seseorang mampu membedakan baik-buruk, benar-
salah berdasarkan apa yang dia rasakan. Maka dibuatlah sebuah aturan-aturan serta
norma-norma untuk membantu dalam memahami konsep benar-salah, baik-buruk dan
lain sebagainya, sehingga aspek spiritual menekankan pada etika, moral, dan nilai. Oleh
sebab itu, aspek spiritual manusia dianggap sangat penting untuk dikaji dalam
menyelesaikan permasalahannya.

Asesmen biopsikososial-spritual dapat diartikan sebagai suatu kegiatan untuk


mengetahui permasalahan psikososial klien dalam interaksinya dengan lingkungan
sosialnya dengan melihat aspek-aspek fisik, mental, emosional, sosial, dan spiritual.
Dalam mengimplemtasikan model biopsikososial-spritual sebagai alat asesmen, pekerja
sosial dapat melalui konseling dan wawancara. Menurut Shebib (2003) kegiatan
konseling dijalankan pekerja sosial dengan tujuan mengetahui masalah emosional dan
psikososial yang dihadapi klien dalam rangka membantu meningkatkan pemahaman,
pemecahan masalah, menghadapi masalah-masalah emosional, atau meningkatkan
hubungan. Disamping itu, di dalam kegiatan konseling pekerjaan sosial juga dapat
memberikan dukungan kepada klien melalui pemberian informasi, melatih keterampilan
sosial, atau pemanfaatan sumber yang ada di dalam diri.

Aspek biologis klien, terdiri atas:

 gambaran kondisi fisik;


 penampilan diri;
 status kesehatan; serta
 jenis dan kondisi.

Aspek psikologis klien, terdiri atas:

 gambaran tentang kondisi emosi;


 gambaran kesehatan jiwa; serta
 catatan menjadi korban (kekerasan, penelantaran, eksploitasi, dan lain-lain).

Aspek sosial klien, terdiri atas:

 situasi saat ini;


 relasi dan peran dalam keluarga; serta
 relasi dengan lingkungan (tetangga, teman, dan sebagainya).
Aspek spiritual klien, terdiri atas:

 semangat hidup, motivasi;


 aktivitas spiritual; serta
 keyakinan dan pemahaman terhadap budaya, adat, dan nilai.

Dalam melakukan wawancara dengan mengunakan model asesmen


biopsikososial-spritual, maka pekerja sosial harus paham dengan model biopsikososial-
religius dan model ekosistem.

A. Model Pendekatan Biopsikososial-Religius

 Model Biologis
Faktor biologis terlibat dalam seluruh kegiatan manusia, bahkan
berpadu dengan faktor-faktor sosiopsikologis. Menurut Wilson, perilaku
sosial dibimbing oleh aturan-aturan yang sudah diprogram secara genetis
dalam jiwa manusia. Pentingnya kita memperhatikan pengaruh biologis
terhadap perilaku manusia seperti tampak dalam dua hal berikut.
a. Telah diakui secara meluas adanya perilaku tertentu yang
merupakan bawaan manusia dan bukan pengaruh lingkungan
atau situasi.
b. Diakui pula adanya faktor-faktor biologis yang mendorong
perilaku manusia, yang lazim disebut sebagai motif biologis.
Yang paling penting dari motif biologis adalah kebutuhan
makan-minum dan istirahat, kebutuhan seksual, dan
kebutuhan untuk melindungi diri dari bahaya.

Warisan biologis memengaruhi kehidupan manusia dan setiap


manusia mempunyai warisan biologis yang unik, berbeda dari orang
lain. Artinya, tidak ada seorang pun di dunia ini yang mempunyai
karakteristik fisik yang sama persis dengan orang lain, bahkan anak
kembar sekalipun. Faktor keturunan berpengaruh terhadap keramah-
tamahan, perilaku kompulsif (terpaksa dilakukan), dan kemudahan
dalam membentuk kepemimpinan, pengendalian diri, dorongan hati,
sikap, dan minat. Warisan biologis yang terpenting terletak pada
perbedaan intelegensi dan kematangan biologis. Keadaan ini
membawa pengaruh pada kepribadian seseorang. Tetapi banyak
ilmuwan berpendapat bahwa perkembangan potensi warisan biologis
dipengaruhi oleh pengalaman sosial seseorang. Bakat memerlukan
anjuran, pengajaran, dan latihan untuk mengembangkan diri melalui
kehidupan bersama dengan manusia lainnya.

Faktor genetik atau keturunan merupakan konsepsi dasar atau


modal untuk kelanjutan perkembangan perilaku makhluk hidup itu.
Faktor genetik berasal dari dalam diri individu (endogen), antara lain:

a. jenis ras,
b. jenis kelamin,
c. sifat fisik, dan
d. intelegensi.

 Model Psikologis
Dalam psikologi, dikenal empat teori tentang manusia, yaitu
psikoanalisis, behaviorisme, psikologi kognitif, dan psikologi
humanistik. Dalam psikoanalisis, perilaku manusia merupakan interaksi
antara komponen biologis (id), komponen psikologis (ego), dan
komponen sosial (super ego). Id berisi dorongan-dorongan biologis yang
bermuara pada pencapaian kesenangan. Ego bergerak atas prinsip realitas
yang membawa kita pada kenyataan. Super ego berisi hati nurani yang
berlaku sebagai polisi kepribadian. Sementara itu, behaviorisme
menyataan bahwa perilaku manusia ditentukan oleh peneguhan
(reinforcement) serta tindakannya atas ganjaran dan hukuman (reward
and punisment), sementara kemampuan potensialnya untuk berperilaku
didapatkan melalui peniruan (imitation) dalam proses belajar (social
learning). Selanjutnya psikologi kognitif melihat manusia sebagai
makhluk yang selalu berpikir karena ia berusaha memahami
lingkungannya. Sedangkan psikologi humanistik mendasarkan
pandangannya atas dasar asumsi keunikan manusia, pentingnya nilai dan
makna.

 Model Sosial
Bagaimana kita memahami kebutuhan-kebutuhan ditentukan oleh
masyarakat dan kebudayaan tempat kita tinggal. Sebagai akibatnya,
maka kita mengembangkan karakteristik-karakteristik yang serupa
dengan orang-orang yang berasal dari latar belakang kebudayaan yang
sama. Karakteristik-karakteristik ini berkembang di dalam merespon
hukum-hukum sosial yang diciptakan oleh masyarakat sebagai
perwujudan dari keinginan untuk tetap mempertahankan eksistensinya.
Menurut Aclis, kebudayaan memberikan kepada kita suatu “cetak biru
perilaku” atau dengan perkataan lain, kebudayaan memberikan pemolaan
terhadap tingkah laku para anggotanya. Pemolaan ini terjadi pada
beberapa tingkatan, yaitu sebagai berikut.
1. Tingkatan primer. Tingkatan pemolaan pertama mungkin juga
tingkatan yang paling penting adalah keluarga. Tugas utama
keluarga adalah mentransfer kebudayaan kepada generasi
muda yang baru. Semua tata kehidupan dan perilaku dalam
konteks keluarga seperti kedudukan, ekspektasi peranan
seseorang (ayah, ibu, anak, bibi, paman, ipar, dan semua
anggota keluarga besar) ditetapkan oleh kebudayaan. Faktor-
faktor lingkungan geografis, ekonomi, kependudukan, dan
nilai sebagainya memengaruhi pola-pola kehidupan keluarga.
2. Tingkatan indoktrinasi kebudayaan kedua. Setelah seorang
anak mulai menginjak remaja, maka dia mulai memasuki
pergaulan dengan teman-teman sebaya di luar keluarga. Sejak
saat itu, ia mulai merasakan adanya perbedaan-perbedaan
antara keluarga dengan lingkungan pergaulan dalam
kelompok sebayanya. Ia pun mulai merasakan adanya konflik
dan perlunya memilih cara-cara yang dianggapnya lebih baik.
Kesukaran menentukan pilihan dapat diperberat oleh adanya
proses internalisasi yang biasanya disertai dengan warna
emosional yang memengaruhi cara-cara berpikir dan
bertindaknya yang telah menjadi atau membentuk kebiasaan
yang dapat diterima oleh lingkungan keluarga atau
lingkungan kelompok sebayanya dan juga telah menjadi
bagian dari hidupnya.
3. Tingkatan indoktrinasi ketiga. Datang dari institusi-institusi
yang dibentuk oleh masyarakat, sekolah, pemerintahan, dan
lembaga-lembaga keagamaan, mengajarkan kepada orang
cara-cara bertingkah laku yang dianggap baik dan diterima.
Selama masyarakat masih sederhana dan hanya terdiri dari
satu kelompok kebudayaan, maka kebudayaan tidak
terlampau sulit. Masyarakat berapapun besarnya cenderung
semakin kompleks dan terdiri dari berbagai kelompok
kebudayaan yang berbeda-beda, yang masing-masing
memiliki sistem nilai, aturan, dan standar tingkah lakunya
sendiri. Seorang individu yang merupakan anggota kelompok
kebudayaan kecil yang berada dalam kebudayaan masyarakat
yang lebih besar, dalam beberapa hal harus dapat
mengadaptasikan diri terhadap ekspektasi-ekspektasi dan
tuntutan-tuntutan dari kebudayaan, yaitu kelompoknya dan
kelompok kebudayaan yang lebih luas.
4. Model Religius. Model religius adalah salah satu faktor
pembentuk tingkah laku individu, yang mana pada saat
seseorang memercayai sesuatu, perilaku seseorang akan
dikontrol oleh nilai-nilai, norma, dan aturan yang terdapat di
dalam kepercayaan tersebut. Di dalam model religius,
terkandung harapan bahwa seseorang yang menganut suatu
pandangan teologis tertentu akan mengikuti kebenaran dari
ajaran-ajaran tertentu, yang mana di dalamnya terdapat
komitmen dan konsekuensi tertentu, sehingga akan
memunculkan tingkah laku tertentu dan pembentukan citra
pribadinya. Dalam setiap kepercayaan selalu berisi mengenai
hal-hal baik, sehingga seseorang yang memercayai sesuatu
akan menunjukkan perilaku baik.
Melalui model religius diajarkan bahwa hidup adalah untuk
memperoleh keselamatan sebagai tujuan utamanya. Model
religius yang ditanamkan kepada seseorang sejak kecil akan
terus berpengaruh hingga dewasa, nilai-nilai moral yang
ditanamkan terutama oleh orang tua akan berdampak pada
perilaku yang dimunculkan oleh seseorang. Seseorang akan
mencoba melakukan hal-hal baik seperti yang diharapkan
dalam kepercayaan dan menghindari bahkan membentuk
suatu proteksi terhadap hal-hal yang tidak dikehendaki oleh
kepercayaan, sehingga model religius dapat berfungsi sebagai
pengembangan kepribadian dan tingkah laku seseorang.
Model religius dapat menjadi pengendali manusia dalam
bertingkah laku di dalam masyarakat agar tetap sesuai dengan
sistem nilai masyarakat di sekitarnya. Namun karena
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memberikan
konsekuensi penting dalam suatu kepercayaan atau agama,
akibatnya masyarakat semakin terbiasa menggunakan metode
empiris berdasarkan penalaran dan efisiensi dalam
menanggapi masalah kemanusiaan, sehingga lingkungan yang
bersifat sekuler semakin meluas. Watak masyarakat sekuler
tidak terlalu menanggapi suatu kepercayaan atau agama,
termasuk ajaran-ajaran dan nilai-nilai yang terdapat di
dalamnya. Pada umumnya, kecenderungan sekulerisasi ini
mempersempit dan membatasi ruang gerak kepercayaan dan
keagamaan dalam hal-hal tertentu dan khusus saja, sehingga
sering kali perilaku yang dimunculkan oleh seorang individu
tidak lagi berdasarkan ajaran dan nilai kepercayaan yang tentu
saja berpengaruh dalam kehidupan sosial seseorang, karena
perilaku yang dimunculkan bukanlah perilaku yang
diharapkan oleh masyarakat sehingga dianggap sebagai
seseorang yang menyimpang dari ajaran agama.

B. Model Ekosistem

Pembentukan tingkah laku seseorang dipengaruhi oleh faktor


personal dan situasional. Faktor situasional yang merupakan faktor penting
dalam terbentuknya tingkah laku seseorang, salah satunya adalah model
ekosistem. Gaya hidup dan perilaku seseorang dipengaruhi oleh faktor
lingkungan di mana manusia hidup, apakah di daerah pesisir, pegunungan,
atau daratan. Adanya perbedaan lokasi di mana tinggal dan berkembang
akan menghasilkan perilaku yang berbeda. Perilaku manusia selain
disebabkan faktor lingkungan juga disebabkan faktor internal. Artinya,
manusia dapat memengaruhi lingkungan dan lingkungan dapat dipengaruhi
manusia.

Ekosistem itu sendiri terdiri dari keadaan geografis, iklim, fauna, dan
flora, misalnya penduduk yang hidup di dekat sungai yang banyak ikan
maka perilaku yang fungsional dan diperkuat adalah mencari ikan uang
efektif, cara itu dikomunikasikan kepada sesama anggota, kemudian menjadi
kebiasaan kelompok atau menjadi budaya didaerah tersebut. Dengan
demikian, ekosistem berperan dalam membentuk tingkah laku dan budaya,
yang mana setiap daerah dengan ekosistem yang berbeda akan memiliki
tingkah laku yang berbeda.

Model ekosistem secara khusus membentuk cara pandang anggota


terhadap lingkungannya dan membentuk budaya. Budaya itulah yang
meliputi suatu peristiwa dan diberi nama, dihubungkan dengan kategori yang
lain, dengan norma, atauran, konsep diri, dan nilai. Jika aspek tersebut
dipakai bersama angota yang lain maka ia menjadi budaya, tetapi ketika
tetap menjadi milik individu maka ia menjadi kepribadian. Kebudayaan dan
kepribadian berhubungan dengan perilaku.
DAFTAR PUSTAKA

Apa contoh model biopsikososial? – ApaContoh.Com. Diakses pada 14 September


2022, dari https://apacontoh.com/apa-contoh-model-biopsikososial/index.html

Penggunaan Model Pendekatan Biopiskososial Dalam Praktek Pekerjaan Sosial Klinis.


Diakses pada 14 September 2022, dari
https://puspensos.kemensos.go.id/penggunaan-model-pendekatan-
biopiskososial-dalam-praktek-pekerjaan-sosial-klinis

Penggunaan tools assesment biopsikososial dan spiritual anak. Diakses dari


http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/empati/article/download/10002/pdf

Anda mungkin juga menyukai