Disusun untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Tingkah Laku Manusia
dalam Lingkungan Sosial
Dosen
Dra. Yana Sundayani, M.Pd
Disusun oleh:
Kelompok 3
1. Lestari (21.04.099)
2. Reza ArRasyid Syam (21.04.111)
3. Eka Aulia Purwahardiani (21.04.229)
PENDAHULUAN
Latar Belakang
PEMBAHASAN
Model ini berasal dari teori sistem, di mana menurut Caron & Goets (1998)
menjelaskan bahwa semua level dari organisasi manusia saling berinteraksi dan
perubahan dari satu fungsi area akan merubah fungsi area lainnya. Apabila dikaitkan
dengan penanganan klien dalam praktik pekerjaan sosial, maka teori tersebut
menegaskan bahwa segala jenis pengobatan terhadap individu harus diperhitungkan,
bukan hanya penyakit biologis, namun juga masalah emosional dan dukungan sosial
karena itu merupakan satu kesatuan. Hal tersebut akan tergambar secara jelas dalam
model biopsikososial.
Pengurangan Stigma
Dalam pratik pekerjaan sosial klinis, model biopsikososial dijadikan sebagai alat
asesmen dengan menambah satu aspek yaitu spiritual. Penambahan aspek spiritual pada
model biopsikososial dikarenakan spiritualitas pada hakikatnya adalah suatu kekuatan
yang datang dari luar kekuatan diri sebagai manusia. Spiritualitas adalah pencarian
manusia akan makna dan tujuan hidup, sehingga memiliki keseluruhan kepribadian dari
sejumlah pengalaman hidup yang beragam (Napsiyah dan Fuadi, 2011).
Aspek spiritual ditandai dengan adanya kekuatan lain di luar kekuatan diri
sendiri yang menjadikan pribadi seseorang mampu membedakan baik-buruk, benar-
salah berdasarkan apa yang dia rasakan. Maka dibuatlah sebuah aturan-aturan serta
norma-norma untuk membantu dalam memahami konsep benar-salah, baik-buruk dan
lain sebagainya, sehingga aspek spiritual menekankan pada etika, moral, dan nilai. Oleh
sebab itu, aspek spiritual manusia dianggap sangat penting untuk dikaji dalam
menyelesaikan permasalahannya.
Model Biologis
Faktor biologis terlibat dalam seluruh kegiatan manusia, bahkan
berpadu dengan faktor-faktor sosiopsikologis. Menurut Wilson, perilaku
sosial dibimbing oleh aturan-aturan yang sudah diprogram secara genetis
dalam jiwa manusia. Pentingnya kita memperhatikan pengaruh biologis
terhadap perilaku manusia seperti tampak dalam dua hal berikut.
a. Telah diakui secara meluas adanya perilaku tertentu yang
merupakan bawaan manusia dan bukan pengaruh lingkungan
atau situasi.
b. Diakui pula adanya faktor-faktor biologis yang mendorong
perilaku manusia, yang lazim disebut sebagai motif biologis.
Yang paling penting dari motif biologis adalah kebutuhan
makan-minum dan istirahat, kebutuhan seksual, dan
kebutuhan untuk melindungi diri dari bahaya.
a. jenis ras,
b. jenis kelamin,
c. sifat fisik, dan
d. intelegensi.
Model Psikologis
Dalam psikologi, dikenal empat teori tentang manusia, yaitu
psikoanalisis, behaviorisme, psikologi kognitif, dan psikologi
humanistik. Dalam psikoanalisis, perilaku manusia merupakan interaksi
antara komponen biologis (id), komponen psikologis (ego), dan
komponen sosial (super ego). Id berisi dorongan-dorongan biologis yang
bermuara pada pencapaian kesenangan. Ego bergerak atas prinsip realitas
yang membawa kita pada kenyataan. Super ego berisi hati nurani yang
berlaku sebagai polisi kepribadian. Sementara itu, behaviorisme
menyataan bahwa perilaku manusia ditentukan oleh peneguhan
(reinforcement) serta tindakannya atas ganjaran dan hukuman (reward
and punisment), sementara kemampuan potensialnya untuk berperilaku
didapatkan melalui peniruan (imitation) dalam proses belajar (social
learning). Selanjutnya psikologi kognitif melihat manusia sebagai
makhluk yang selalu berpikir karena ia berusaha memahami
lingkungannya. Sedangkan psikologi humanistik mendasarkan
pandangannya atas dasar asumsi keunikan manusia, pentingnya nilai dan
makna.
Model Sosial
Bagaimana kita memahami kebutuhan-kebutuhan ditentukan oleh
masyarakat dan kebudayaan tempat kita tinggal. Sebagai akibatnya,
maka kita mengembangkan karakteristik-karakteristik yang serupa
dengan orang-orang yang berasal dari latar belakang kebudayaan yang
sama. Karakteristik-karakteristik ini berkembang di dalam merespon
hukum-hukum sosial yang diciptakan oleh masyarakat sebagai
perwujudan dari keinginan untuk tetap mempertahankan eksistensinya.
Menurut Aclis, kebudayaan memberikan kepada kita suatu “cetak biru
perilaku” atau dengan perkataan lain, kebudayaan memberikan pemolaan
terhadap tingkah laku para anggotanya. Pemolaan ini terjadi pada
beberapa tingkatan, yaitu sebagai berikut.
1. Tingkatan primer. Tingkatan pemolaan pertama mungkin juga
tingkatan yang paling penting adalah keluarga. Tugas utama
keluarga adalah mentransfer kebudayaan kepada generasi
muda yang baru. Semua tata kehidupan dan perilaku dalam
konteks keluarga seperti kedudukan, ekspektasi peranan
seseorang (ayah, ibu, anak, bibi, paman, ipar, dan semua
anggota keluarga besar) ditetapkan oleh kebudayaan. Faktor-
faktor lingkungan geografis, ekonomi, kependudukan, dan
nilai sebagainya memengaruhi pola-pola kehidupan keluarga.
2. Tingkatan indoktrinasi kebudayaan kedua. Setelah seorang
anak mulai menginjak remaja, maka dia mulai memasuki
pergaulan dengan teman-teman sebaya di luar keluarga. Sejak
saat itu, ia mulai merasakan adanya perbedaan-perbedaan
antara keluarga dengan lingkungan pergaulan dalam
kelompok sebayanya. Ia pun mulai merasakan adanya konflik
dan perlunya memilih cara-cara yang dianggapnya lebih baik.
Kesukaran menentukan pilihan dapat diperberat oleh adanya
proses internalisasi yang biasanya disertai dengan warna
emosional yang memengaruhi cara-cara berpikir dan
bertindaknya yang telah menjadi atau membentuk kebiasaan
yang dapat diterima oleh lingkungan keluarga atau
lingkungan kelompok sebayanya dan juga telah menjadi
bagian dari hidupnya.
3. Tingkatan indoktrinasi ketiga. Datang dari institusi-institusi
yang dibentuk oleh masyarakat, sekolah, pemerintahan, dan
lembaga-lembaga keagamaan, mengajarkan kepada orang
cara-cara bertingkah laku yang dianggap baik dan diterima.
Selama masyarakat masih sederhana dan hanya terdiri dari
satu kelompok kebudayaan, maka kebudayaan tidak
terlampau sulit. Masyarakat berapapun besarnya cenderung
semakin kompleks dan terdiri dari berbagai kelompok
kebudayaan yang berbeda-beda, yang masing-masing
memiliki sistem nilai, aturan, dan standar tingkah lakunya
sendiri. Seorang individu yang merupakan anggota kelompok
kebudayaan kecil yang berada dalam kebudayaan masyarakat
yang lebih besar, dalam beberapa hal harus dapat
mengadaptasikan diri terhadap ekspektasi-ekspektasi dan
tuntutan-tuntutan dari kebudayaan, yaitu kelompoknya dan
kelompok kebudayaan yang lebih luas.
4. Model Religius. Model religius adalah salah satu faktor
pembentuk tingkah laku individu, yang mana pada saat
seseorang memercayai sesuatu, perilaku seseorang akan
dikontrol oleh nilai-nilai, norma, dan aturan yang terdapat di
dalam kepercayaan tersebut. Di dalam model religius,
terkandung harapan bahwa seseorang yang menganut suatu
pandangan teologis tertentu akan mengikuti kebenaran dari
ajaran-ajaran tertentu, yang mana di dalamnya terdapat
komitmen dan konsekuensi tertentu, sehingga akan
memunculkan tingkah laku tertentu dan pembentukan citra
pribadinya. Dalam setiap kepercayaan selalu berisi mengenai
hal-hal baik, sehingga seseorang yang memercayai sesuatu
akan menunjukkan perilaku baik.
Melalui model religius diajarkan bahwa hidup adalah untuk
memperoleh keselamatan sebagai tujuan utamanya. Model
religius yang ditanamkan kepada seseorang sejak kecil akan
terus berpengaruh hingga dewasa, nilai-nilai moral yang
ditanamkan terutama oleh orang tua akan berdampak pada
perilaku yang dimunculkan oleh seseorang. Seseorang akan
mencoba melakukan hal-hal baik seperti yang diharapkan
dalam kepercayaan dan menghindari bahkan membentuk
suatu proteksi terhadap hal-hal yang tidak dikehendaki oleh
kepercayaan, sehingga model religius dapat berfungsi sebagai
pengembangan kepribadian dan tingkah laku seseorang.
Model religius dapat menjadi pengendali manusia dalam
bertingkah laku di dalam masyarakat agar tetap sesuai dengan
sistem nilai masyarakat di sekitarnya. Namun karena
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memberikan
konsekuensi penting dalam suatu kepercayaan atau agama,
akibatnya masyarakat semakin terbiasa menggunakan metode
empiris berdasarkan penalaran dan efisiensi dalam
menanggapi masalah kemanusiaan, sehingga lingkungan yang
bersifat sekuler semakin meluas. Watak masyarakat sekuler
tidak terlalu menanggapi suatu kepercayaan atau agama,
termasuk ajaran-ajaran dan nilai-nilai yang terdapat di
dalamnya. Pada umumnya, kecenderungan sekulerisasi ini
mempersempit dan membatasi ruang gerak kepercayaan dan
keagamaan dalam hal-hal tertentu dan khusus saja, sehingga
sering kali perilaku yang dimunculkan oleh seorang individu
tidak lagi berdasarkan ajaran dan nilai kepercayaan yang tentu
saja berpengaruh dalam kehidupan sosial seseorang, karena
perilaku yang dimunculkan bukanlah perilaku yang
diharapkan oleh masyarakat sehingga dianggap sebagai
seseorang yang menyimpang dari ajaran agama.
B. Model Ekosistem
Ekosistem itu sendiri terdiri dari keadaan geografis, iklim, fauna, dan
flora, misalnya penduduk yang hidup di dekat sungai yang banyak ikan
maka perilaku yang fungsional dan diperkuat adalah mencari ikan uang
efektif, cara itu dikomunikasikan kepada sesama anggota, kemudian menjadi
kebiasaan kelompok atau menjadi budaya didaerah tersebut. Dengan
demikian, ekosistem berperan dalam membentuk tingkah laku dan budaya,
yang mana setiap daerah dengan ekosistem yang berbeda akan memiliki
tingkah laku yang berbeda.