Anda di halaman 1dari 46

PROPOSAL PENELITIAN

PENYESUAIAN DIRI LANSIA DALAM BERELASI SOSIAL DI WISMA


LANSIA “J SOENARTI NASUTION” YAYASAN PEMBINAAN
ASUHAN BUNDA (YPAB) KOTA BANDUNG

disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah


Penelitian Pekerjaan Sosial Kualitatif

Dosen Pengampu

Dr. Dwi Heru Sukoco, M. Si

Oleh

Duma Riris Elizabeth

17.04.124

PROGRAM PENDIDIKAN SARJANA TERAPAN PEKERJAAN SOSIAL

POLITEKNIK KESEJAHTERAAN SOSIAL

BANDUNG

2019

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur peneliti panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa oleh karena
berkat dan anugerah-Nya, peneliti dapat menyelesaikan penyusunan proposal
penelitian ini yang berjudul “PENYESUAIAN DIRI LANSIA DALAM
BERELASI SOSIAL DI WISMA LANSIA “J SOENARTI NASUTION”
YAYASAN PEMBINAAN ASUHAN BUNDA (YPAB) KOTA BANDUNG”.

Pembuatan proposal penelitian ini ditujukan untuk memenuhi tugas Ujian Tengah
Semester pada mata kuliah Penelitian Kualitatif dalam Pekerjaan Sosial Politeknik
Kesejahteraan Sosial Bandung.

Pada kesempatan ini peneliti menyampaikan terimakasih kepada:

1. Dr. Dwi Heru Sukoco, M. Si selaku Dosen Pengampu Mata Kuliah


Penelitian Pekerjaan Sosial Kualitatif, yang telah memberikan bimbingan,
arahan, dan perhatian kepada peneliti selama penyusunan proposal.
2. Reka-rekan kelas 3-A 2017 STKS Bandung yang telah bekerja sama
dengan baik selama proses pembuatan proposal ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa proposal ini tidak luput dari


kesalahan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan
demi perbaikan di masa mendatang.

Bandung, 8 Maret 2019


Peneliti,

2
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ......................................................................................... i


DAFTAR ISI ........................................................................................................ii
DAFTAR TABEL ................................................................................................ iii

I. PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
A. Latar Belakang ........................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah Penelitian......................................................................5
C. Tujuan Penelitian ........................................................................................ 6
D. Manfaat Penelitian ...................................................................................... 6
E. Sistematika Penulisan ................................................................................. 6

II. KAJIAN KONSEPTUAL ..............................................................................8


A. Penelitian Terdahulu ................................................................................... 8
B. Teori yang Relevan dengan Penelitian ....................................................... 10
1. Kajian tentang Penyesuaian Diri .......................................................... 13
2. Kajian tentang Lanjut Usia ...................................................................23
3. Kajian tentang Relasi Sosial .................................................................30

III. METODE PENELITIAN ............................................................................34


A. Desain Penelitian ....................................................................................... 34
B. Penjelasan Istilah ....................................................................................... 35
C. Penjelasan Latar Penelitian ........................................................................35
D. Sumber Data dan Cara Menentukan Sumber Data ....................................36
E. Teknik Pengumpulan Data ........................................................................37
F. Pemeriksaan Keabsahan Data ....................................................................38
G. Teknik Analisis Data ................................................................................. 39
H. Jadwal dan Langkah Langkah Penelitian .................................................. 39

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 41

3
DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 3.1: Jadwal Kegiatan Pelaksanaan Penelitian Kualitatif ............................. 40

4
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Lanjut usia (lansia) merupakan periode akhir dari rentang kehidupan manusia.
Menghadapi periode ini beberapa lansia menjalani hidupnya bersama keluarga, ada
juga yang hidup sendiri karena pasangan hidup mereka sudah meninggal atau juga
tidak punya sanak saudara sama sekali. Kita juga dapat menemui bahwa sekarang
banyak lansia yang tinggal di panti wredha. Alasan alasan mereka memilih tinggal
di panti pun berbeda-beda setiap individunya. Ada yang karena sudah tidak punya
saudara, tidak punya tempat tinggal, saran dari orang terdekat, dan ada juga yang
karena kurang mampu dalam segi ekonomi.

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 tahun 1998


tentang kesejahteraan lanjut usia, pada Bab I menjelaskan bahwa lanjut usia adalah
seseorang yang telah mencapai usia 60 (Enam Puluh) tahun keatas. Problematika
yang harus dihadapi orang-orang yang telah lanjut usia sangat khas. Mereka
mengalami penurunan kondisi fisik dan juga masalah psikologis. Pada usia lanjut,
seseorang tidak hanya harus menjaga kesehatan fisik tetapi juga menjaga agar
kondisi mentalnya dapat menghadapi perubahan-perubahan yang mereka alami
(Nugraheni, 2005).

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengemukakan bahwa lanjut usia


meliputi usia pertengahan (Middle Age) antara 45-59 tahun, usia lanjut (Elderly)
antara 60-70 tahun, dan usia lanjut tua (Old Age) antara 75-90 tahun, dan usia
sangat tua (Very Old Age) di atas 90 tahun (Mutiara, 1990). Departemen
Kesehatan RI membuat pengelompokan lanjut usia berdasarkan kelompok
pertengahan umur, ialah kelompok usia dalam masa virilitas, yaitu masa persiapan
lanjut usia, yang menampakkan keperkasaan fisik dan kematangan jiwa yang
berusia 45-54 tahun, kelompok lanjut usia dini, ialah kelompok dalam masa

5
prasenium, yaitu kelompok yang mulai memasuki lanjut usia yang berusia 55-64
tahun, kelompok lanjut usia dengan risiko tinggi, ialah kelompok yang berusia
lebih dari 70 tahun, atau kelompok lanjut usia yang hidup sendiri, terpencil, tinggal
di panti wredha, menderita penyakit berat, atau cacat (Mutiara, 1990).

Hurlock (1999), mengemukakan bahwa ada lima pola kehidupan di masa


lanjut usia yang bersifat umum, yaitu tinggal sendiri hanya dengan pasangannya,
lanjut usia yang hidup sendiri di rumahnya sendiri, dua atau lebih anggota dari usia
yang sama tinggal bersama dengan status tanpa hubungan perkawinan seperti:
saudara laki-laki, saudara perempuan atau teman-teman seusia, janda atau duda
yang tinggal bersama dengan anak atau cucunya, dan orang lanjut usia yang
tinggal di dalam rumah penampungan orang lanjut usia atau panti wredha.

Menurut Hardywinoto (1991), panti wredha adalah panti yang didalamnya ada
personel keperawatan yang profesional, dan hanya lanjut usia yang lemah dan
tidak mampu mengurus dirinya sendiri serta mempunyai kondisi ketergantungan
dapat diterima atau dirawat. Hal ini sejalan dengan pendapat Hurlock (1999) yang
mengatakan bahwa seseorang tinggal di panti wredha apabila kesehatan, status
ekonomi, atau kondisi lainnya tidak memungkinkan mereka untuk melanjutkan
hidup di rumah masing-masing, dan jika mereka tidak mempunyai sanak saudara
yang dapat atau sanggup merawat mereka.

Mariani (2007), mengungkapkan bahwa pada awalnya panti wredha


dimaksudkan untuk menampung orang lanjut usia yang miskin dan terlantar untuk
diberikan fasilitas yang layak mulai dari kebutuhan makan minum sampai dengan
kebutuhan aktualisasi. Namun lambat laun dirasakan bahwa yang membutuhkan
pelayanan kesejahteraan lanjut usia yang berbasis panti wredha tidak hanya bagi
mereka yang miskin dan terlantar saja, tetapi orang yang berkecukupan dan mapan
pun membutuhkannya. Hal ini dikarenakan oleh beberapa alasan, pertama
disebabkan oleh perubahan tipe keluarga dari keluarga besar (extended family)
menjadi keluarga kecil (nuclear family). Dimana pada awalnya dalam keluarga
terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak. Tapi sesuai dengan perkembangan keluarga
ada tahap dimana keluarga menghadapi anak yang menikah atau membentuk

6
keluarga sendiri, sehingga yang terjadi adalah orang tua akan tinggal berdua saja,
tentu saja kondisi ini membutuhkan peran pengganti keluarga. Kedua, perubahan
peran ibu. Pada awalnya peran ibu adalah mengurus rumah tangga, anak-anak, dan
lain-lain. Sekarang telah mengalami perubahan dimana ibu juga bertindak sebagai
pencari nafkah bekerja di kantoran dan sebagainya, sehingga anggota keluarga
seperti anak-anak dan kakek serta nenek dititipkan pada institusi tertentu. Ketiga,
kebutuhan sosialisasi orang lanjut usia itu sendiri. Apabila mereka tinggal dalam
keluarga mungkin mereka akan mengalami perasaan yang bosan ditinggal sendiri,
anaknya mungkin berangkat bekerja dan cucunya Universitas Sumatera Utara
kesekolah. Hal ini menyebabkan mereka membutuhkan suatu lingkungan sosial
dimana di dalam komunitas tersebut terdapat beberapa kesamaan sehingga mereka
merasa betah dan kembali bersemangat.

Sebagian masyarakat menganggap bahwa lansia lebih baik dirawat di dalam


panti, sebab mereka akan lebih terurus dan dapat bergaul dengan lansia yang lain
daripada tinggal di rumah sendirian merasa kesepian dan terlantar karena anak-
anaknya sibuk dengan pekerjaannya. Sebagian masyarakat yang lain masih
menganggap bahwa keluarga adalah tempat yang terbaik untuk lansia, anak
memiliki kewajiban untuk merawatnya. Berkembangnya persepsi sosial yang
membentuk citra sosial bahwa panti merupakan tempat pemisahan bagi lansia
terhadap keluarganya merupakan salah satu fakta yang ada dimasyarakat
(Syamsuddin, 2008).

Lansia memiliki hak untuk menentukan pilihannya menjalani masa lanjut


dengan tinggal bersama keluarga atau tinggal di panti wredha. Lansia memiliki
beberapa alasan untuk tinggal di panti wredha, diantaranya yaitu tidak punya sanak
saudara, miskin, terlantar dan saran dari saudara atau orang terdekat. Tinggal di
panti bukan berarti hidup sendirian dan kesepian. Lansia yang tinggal di panti
dapat ikut aktif dalam kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh panti tersebut.
Kegiatan yang biasa dilakukan di panti wredha adalah perawatan kesehatan,
kegiatan keagamaan, senam dll. Selama tinggal di panti lansia dapat berinteraksi
dengan penghuni lainnya. Melakukan kegiatan bersama-sama, saling membantu

7
dan berbagi cerita.di waktu senggang pun beberapa lansia di panti wredha darma
bhakti Surakarta mengisi waktunya dengan main catur, jalan-jalan di sekeliling
halaman panti, ngobrol dengan kelompok lansia di ruang yang lain. Keputusan
untuk menempatkan orang tua atau sanak saudara yang lanjut usia di panti wredha
sering kali dilakukan untuk mengatasi meningkatnya kebutuhan-kebutuhan fisik
dan emosional dan hal tersebut juga memungkinkan untuk menimbulkan stres pada
lansia tersebut. Lansia yang mulai menempati panti akan memasuki lingkungan
baru yang menuntut mereka untuk menyesuaikan diri (Santrock, 2002). Panti
wredha memegang peranan penting dalam membangun perasaan lanjut usia,
dimana apabila lanjut usia secara sukarela tinggal di suatu tempat maka akan
membuat mereka memiliki pandangan diri yang positif, menyukai tempat itu dan
dapat mengakibatkan situasi yang menyenangkan dalam penyesuaian diri
(Hurlock, 1999). Efek positif dan efek negatif yang dialami lanjut usia ketika
tinggal di panti akan mengakibat perubahan-perubahan dalam hidupnya. Untuk itu,
lanjut usia yang tinggal di panti wredha perlu melakukan suatu penyesuaian diri.

Mu’tadin (dalam Saragih, 2006) mengemukakan bahwa seseorang yang


menyesuaikan diri dapat dengan penyesuaian pribadi dan sosial. Keberhasilan
penyesuaian pribadi ditandai dengan tidak adanya rasa benci, lari dari kenyataan
dan tanggung jawab, dongkol, kecewa, atau tidak percaya pada kondisi yang
dialaminya. Sebaliknya, kegagalan penyesuaian pribadi ditandai dengan
guncangan emosi, kecemasan, ketidakpuasan dan keluhan terhadap nasib.
Sedangkan penyesuaian sosial terjadi dalam lingkup hubungan sosial tempat
individu hidup dan berinteraksi dengan orang lain. Individu juga mematuhi norma-
norma dan peraturan sosial serta nilai-nilai tertentu yang mengatur hubungan
individu dengan kelompok.

Menurut Spradley dan Mc Curdy (dalam Astuti, 2012:1), menyatakan bahwa


relasi sosial atau hubungan sosial yang terjalin antara individu yang berlangsung
dalam waktu yang relative lama akan membenetuk suatu pola, pola hubungan ini
disebut sebagai pla relasi sosial yang terdisi dari dua macam yaitu (a) relasi sosial
asosiatif yaitu proses yang terbentuk kerjasama, akomodasi, asimilasi dan

8
akulturasi yang cenderung menyatu; (b) relasi sosial dissosiatif yaitu proses yang
terbentuk oposisi misalnya persaingan.

Lansia yang tinggal di panti wredha akan dihadapkan pada situasi yang
berbeda dengan sebelum mereka tinggal di panti. Hal tersebut akan mendorong
mereka untuk melakukan penyesuaian diri agar kehidupan mereka dapat selaras 9
dan berjalan baik. Penyesuaian diri yang tepat akan membuat lansia merasa
nyaman untuk tinggal di panti.

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan di atas, dapat diambil kesimpulan


bahwa lanjut usia memiliki alasan-alasan atau kondisi yang mempengaruhi pilihan
pola hidup tertentu untuk tinggal di panti wredha yang mengakibatkan perubahan
dalam kehidupannya. Terkait dengan fenomena di atas bahwa jika lanjut usia
mengalami perubahan dalam hidupnya akan menyebabkan penyesuaian diri yang
dipengaruhi oleh beberapa faktor dan melalui bentuk-bentuk penyesuaian diri.
Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melihat bagaimana penyesuaian diri lanjut
usia dalam berelasi di panti wredha.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi


permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana penyesuaian diri lanjut usia
dalam berelasi sosial di wisma lansia J.Soenarti Nasution Bandung. Perumusan
masalah pada akhirnya dibagi menjadi sub-sub yaitu:

1. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri lanjut usia


dalam berelasi di panti wredha?

2. Apa saja bentuk penyesuaian diri dari lanjut usia di panti wredha?

3. Apa saja bentuk relasi sosial dari lanjut usia di anti wredha?

4. Bagaimana relasi sosial dapat meningkatkan penyesuaian diri lansia?

9
C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah ditentukan maka penelitian ini


dilakukan dengan tujuan:

1. Mengetahui dan menemukan pola-pola penyesuaian diri yang dilakukan


oleh lansia yang tinggal di panti wredha.
2. Mengetahui apakah relasi sosial mempunyai peran dalam meningkatkan
penyesuaian diri lansia di panti wredha.
D. Manfaat Penelitian

Peneliti berharap dengan adanya penelitian tentang penyesuaian diri lansia


dalam berelasi yang tinggal di panti wredha dapat membawa manfaat sebagai
berikut:

1. Bagi lanjut usia (lansia) yang tinggal di panti wredha J.S Nasution
Bandung, dapat lebih memahami pola penyesuaian diri mereka selama tinggal di
panti wredha.

2. Bagi pengelola, dapat memahami penyesuaian diri yang dilakukan lansia


yang tinggal di panti sehingga apabila ada penyesuaian diri yang tepat yang
dilakukan lansia maka dapat dijadikan anjuran untuk lansia lain;

3. Bagi pembaca yang memiliki akses terhadap penelitian ini, agar


mendapat pengetahuan dan menambah wawasan mengenai penyesuaian diri pada
lansia yang tinggal di panti wredha.

E. Sistematika penelitian

Penulisan proposal penelitian ini, disusun dengan sistematika sebagai


berikut:
BAB I PENDAHULUAN, memuat tentang latar belakang
masalah, permasalahan penelitian, tujuan penelitian,
manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA, memuat tentang penelitian
terdahulu, tinjauan tentang coping strategy, tinjauan
tentang lanjut usia, tinjauan tentang kematian dan
tinjauan tentang pekerjaan sosial dengan lanjut usia.
BAB III METODE PENELITIAN, memuat tentang desain
penelitian, penjelasan istilah, penjelasan latar
penelitian, sumber data dan cara menentukan sumber
data, teknik pengumpulan data, pemeriksaan
keabsahan data, teknik analisis data, dan jadwal
penelitian.

11
BAB II

KAJIAN KONSEPTUAL

A. Penelitian Terdahulu

1. Penelitian dengan judul “Relasi Sosial Lanjut Usia di Balai Perlindungan


Sosial Tresna Werdha Ciparay Kabupaten Bandung” yang diteliti oleh Fahrudin T.
Nusa pada tahun 2009 yang merupakan mahasiswa Sekolah Tinggi Kesejahteraan
Sosial Bandung.

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dengan teknik


pengumpulan data berupa wawncara mendalam, observasi partisipasi dan studi
dokumentasi. Para lanjut usia yang menjadi subjek penelitianyaitu penghuni balai
perlindungan sosial tresna werdha ipaya kabupaten bandung yang berumur 60-90
tahun dan tinggal di balai 5-12 tahun. Tujuan penelitian yang dilakukan oleh
Fahrudin T. Nusa ini adalah untuk mengetahui bagaimana relasi sosial antar lanjut
usia, pekerja sosila dan petugas panti di Balai PErlindungan Sosial Tresna Werdha
Ciparay.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa relasi sosial antar lanjut usia, pekerja
sosial, dan petugas panti di balai perlindungan sisuka tresna werdha ciparay, yang
meliputi suasana kolaborasi (kerjasama), tawar-menawar (perundingan), dan
konflik tidak menimbulkan konflik yang berarti melainkan permasalahan yang
dialami hanya terjadi antara lanjut usia di aspek di konflik yang bersumber dari
kurangnya saling menghargai antara lanjut usia dengan lanjut usia.

2. Penelitian dengan judul “Pelayanan Home Care bagi Lanjut Usia di


Kelurahan Manggahang” yang diteliti oleh Fitria Suciniansyah pada tahun 2014
yang merupakan mahasiswa Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial Bandung.

Tujuan penelitian yang dilakukan Fitria Suciniansyah bertujuan untuk


mendeskripsikan Pelayanan Home Care di Kelurahan Manggahang dengan lingkup

12
penelitian meliputi pelayanan konseling, pemberian sembako dan layanan
kesehatan. Informasi diperoleh melalui wawancara mendalam dan observasi
dimana analisis data dilakukan deskriptif.

Hasil peneltiian ini menunjukkan bahwa pelayanan kesehatan dilakukan 3


bulan sekali meliputi pemeriksaan darah, detak jantung dan tensi darah, sedangkan
penyaluran sembako diberikan empat bulan sekali oleh pihak yayasan. Pelayanan
bidang psikologi dilakukan melalui pelaksanaan konseling, yang meliputi
penghiburan, bimbingan agama, dan pembangkitan semangat hidup. Pelyanan
bidang sosial meliputi meningkatkan pola interaaksi sosial yang dilakukan oleh
orang terdekat seperti keluarga dan masyarakat. Permasalahan yang ditemkan
meliputi pemberian pelayanan bagi lansia melalui Home Care tidak sepenuhnya di
dukung oleh tenaga professional. Selain minimnya anggaran dari pemerintah juga
minimnya dukungan keluarga dan masyarakat.

3. Penelitian dengan judul “Dukungan Sosial Keluarga Lanjut Usia dalam


Menghadapi Perubahan Status Sosial di Balai Perlindungan Sosial Tresna
Werdha (BPSTW) Ciparay Bandung” yang diteliti oleh Dina Latifah pada
tahun 2014 yang merupakan mahasiswa Sekolah Tinggi Kesejahteraan
Sosial Bandung.
Tujuan Penelitian yang dilakukan oleh Dina Latifah bertujuan untuk
mengetahui bagaimana dukungan sosial keluarga lansia dalam
menghadapai perubahan status sosial di Balai Perlindungan Sosial Tresna
Werdha (BPSTW) Ciparay Bandung. Penelitian yang dilakukan oleh Dina
ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif model studi kasus.
Teknik pengumpulan data yang digunakan wawancara mendalam,
observasi dan studi dokumentasi. Teknik analisis data melalui proses
transkidata, kategorisasi, tema, penarikan kesimpulan. Hasil penelitian
menjelaskan karakteristik dalam peneliti yaitu lansia yang berusia 65 tahun,
pernah bekerja, dan dapat diajak komunikasi dengan baik.

13
B. Teori yang Relevan dengan Penelitian

1. Kajian Tentang Penyesuaian Diri

Penyesuaian diri dalam bahasa aslinya dikenal dengan istilah adjustment


atau personal adjustment. Menurut Calhoun dan Acocella (1990),
penyesuaian dapat didefinisikan sebagai interaksi individu yang kontinu
dengan diri individu sendiri, dengan orang lain, dan dengan dunia individu.
Ketiga faktor tersebut secara konstan mempengaruhi individu dan
hubungan tersebut bersifat timbal balik mengingat individu secara konstan
juga mempengaruhi kedua faktor yang lain.
Tiga faktor yang disebut di atas adalah (Calhoun & Acocella,
1990):
a. Diri individu sendiri, yaitu jumlah keseluruhan dari apa yang telah ada
pada individu, perilaku individu, dan pemikiran serta perasaan individu
yang individu hadapi setiap detik.
b. Orang lain, yaitu orang lain berpengaruh besar pada individu,
sebagaimana individu juga berpengaruh besar terhadap orang lain.
c. Dunia individu, yaitu penglihatan dan penciuman serta suara yang
mengelilingi individu saat individu menyelesaikan urusan individu dapat
mempengaruhi individu dan mempengaruhi orang lain.

Menurut Semiun (2006), penyesuaian diri merupakan suatu istilah yang sangat
sulit didefinisikan karena penyesuaian diri mengandung banyak arti. Kriteria untuk
menilai penyesuaian diri tidak dapat dirumuskan secara jelas dan karena
penyesuaian diri dan lawannya ketidakmampuan menyesuaikan diri
(maladjustment) memiliki batas yang sama sehingga akan mengaburkan perbedaan
di antara keduanya. Semiun (2006) juga mengatakan bahwa penyesuaian diri tidak
bisa dikatakan baik atau buruk, sehingga Semiun mendefinisikan penyesuaian diri
dengan sangat sederhana, yaitu suatu proses yang melibatkan respon-respon
mental dan tingkah laku yang menyebabkan individu berusaha menanggulangi
kebutuhan-kebutuhan, tegangan-tegangan, frustrasifrustrasi, dan konflik-konflik

14
batin serta menyelaraskan tuntutan-tuntutan batin dengan tuntutan-tuntutan yang
dikenakan kepada individu oleh dunia dimana individu hidup.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri adalah


suatu proses dalam interaksi individu yang kontinu dengan diri sendiri, orang lain
dan lingkungan yang melibatkan respon-respon mental dan tingkah laku untuk
menghadapi kebutuhankebutuhan, ketegangan, frustrasi, dan konflik batin serta
mencapai keselarasan antara tuntutan dari dalam diri individu dengan tuntutan dari
luar diri individu.

1. Aspek-aspek Penyesuaian Diri

Pada dasarnya penyesuaian diri memiliki dua aspek (Mu’tadin, 2002), yaitu:

a. Penyesuaian Pribadi
Penyesuaian pribadi merupakan kemampuan individu untuk menerima
dirinya sendiri sehingga tercapai hubungan yang harmonis antar dirinya
dengan lingkungannya. Ia menyadari sepenuhnya siapa dirinya
sebenarnya, apa kelebihan dan kekurangannya, serta mampu bertindak
objektif sesuai kondisi yang dialaminya. Keberhasilan penyesuaian
pribadi ditandai dengan tidak adanya rasa benci, lari dari kenyataan dan
tanggung jawab, dongkol, kecewa, atau tidak percaya pada
kondisiUniversitas Sumatera Utara kondisi yang dialaminya.
Sebaliknya, kegagalan dalam penyesuaian pribadi ditandai dengan
guncangan emosi, kecemasan, ketidakpuasan dan keluhan terhadap
nasib, yang disebabkan adanya kesenjangan antara individu dengan
tuntutan lingkungan. Hal ini menjadi sumber konflik yang terwujud
dalam rasa takut dan kecemasan, sehingga untuk meredakannya,
individu perlu melakukan penyesuaian diri.
b. Penyesuaian Sosial
Setiap individu hidup di dalam masyarakat. Di dalam masyarakat
terjadi proses saling mempengaruhi. Proses tersebut timbul suatu pola
kebudayaan dan tingkah laku sesuai dengan sejumlah aturan, hukum,

15
adat dan nilai-nilai yang mereka patuhi demi mencapai penyelesaian
bagi persoalan hidup sehari-hari. Dalam bidang ilmu Psikologi Sosial,
proses ini dikenal dengan proses penyesuaian sosial. Penyesuaian
sosial terjadi dalam lingkup hubungan sosial tempat individu
berinteraksi dengan orang lain. Hubungan-hubungan tersebut
mencakup hubungan dengan masyarakat di sekitar tempat tinggalnya,
keluarga, sekolah, teman atau masyarakat secara umum. Dalam hal ini
individu dan masyarakat sebenarnya sama-sama memberikan dampak
bagi komunitas. Individu menyerap berbagai informasi, budaya dan
adat istiadat yang ada, sementara komunitas diperkaya oleh eksistensi
atau karya yang diberikan oleh individu sendiri.

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri Lanjut Usia


Menurut Schneiders (dalam Astuti, 2000), faktor-faktor yang
mempengaruhi penyesuaian diri secara umum adalah:
a. Kondisi fisik
Aspek- aspek berkaitan dengan kondisi fisik yang dapat
mempengaruhi penyesuaian diri adalah:
1) Hereditas dan konstitusi fisik Universitas Sumatera Utara
Temperamen merupakan komponen utama karena dari temperamen
itu muncul karakteristik yang paling dasar dari kepribadian,
khususnya dalam memandang hubungan emosi dengan
penyesuaian diri.
2) Sistem utama tubuh Sistem syaraf, kelenjar dan otot termasuk ke
dalam sistem utama tubuh yang memiliki pengaruh terhadap
penyesuaian diri.
3) Kesehatan fisik Penyesuaian diri individu akan lebih mudah
dilakukan dan dipelihara dalam kondisi fisik yang sehat daripada
yang tidak sehat. Kondisi fisik yang sehat dapat menimbulkan
penerimaan diri, percaya diri, harga diri, dan sejenisnya yang akan

16
menjadi kondisi yang sangat menguntungkan bagi proses
penyesuaian diri.

b. Kepribadian Unsur-unsur kepribadian yang penting pengaruhnya


terhadap penyesuaian diri adalah: kemauan dan kemampuan untuk berubah,
pengaturan diri, realisasi diri, dan kecerdasan.

c. Edukasi/pendidikan Unsur-unsur penting dalam edukasi/pendidikan


yang dapat mempengaruhi penyesuaian diri individu adalah: belajar,
pengalaman, latihan, dan determinasi diri.

d. Lingkungan Faktor lingkungan meliputi: lingkungan keluarga dan


lingkungan masyarakat.

e. Agama dan budaya Agama berkaitan erat dengan faktor budaya.


Agama memberikan sumbangan nilainilai, keyakinan, praktik-praktik yang
memberi makna sangat mendalam, tujuan serta kestabilan dan
keseimbangan hidup individu. Budaya juga merupakan faktor yang sangat
berpengaruh terhadap kehidupan individu. Hal ini terlihat dari adanya
karakteristik budaya yang diwariskan kepada individu melalui berbagai
media dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat.

Hurlock (1999) mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi


penyesuaian diri lanjut usia adalah:

a. Persiapan untuk hari tua Individu yang tidak mempersiapkan diri


secara psikis dan ekonomis untuk menghadapi berbagai perubahan yang
akan terjadi di hari tua, seringkali akan mengalami trauma dalam
melakukan penyesuaian tersebut.

b. Pengalaman masa lampau Berbagai kesulitan yang dialami dalam


menyesuaikan diri pada lanjut usia seringkali merupakan akibat dari
pelajaran tentang bentuk tertentu dari penyesuaian di masa lalu, yang tidak
sesuai dengan periode lanjut usia dalam rentang kehidupannya.

17
c. Kepuasan kebutuhan Individu harus mampu memuaskan berbagai
kebutuhan pribadi mereka dan berbuat sesuai dengan harapan-harapan
orang lain sepanjang rentang kehidupan untuk dapat menyesuaikan diri
dengan baik.

d. Kenangan akan persahabatan lama Universitas Sumatera Utara Lanjut


usia akan semakin baik melakukan penyesuaian dan juga akan semakin
bahagia bila semakin lama persahabatan antara individu-individu lanjut
usia dapat dipertahankan. Pindah ke wilayah lain atau meninggalkan
teman-teman lamanya akan menghambat penyesuaian dengan lingkungan
baru.

e. Anak-anak yang telah dewasa Sikap anak yang telah dewasa terhadap
orang tua yang sudah lanjut usia dan sering berhubungan dengan lanjut usia
tersebut dapat menciptakan penyesuaian sosial dan personal yang baik bagi
individu lanjut usia.

f. Sikap sosial Salah satu hambatan terbesar dalam melakukan


penyesuaian diri yang baik di masa lanjut usia adalah sikap sosial yang
kurang senang terhadap individu lanjut usia.

g. Sikap pribadi Sikap menolak terhadap usia yang semakin bertambah


tua, dan terhadap penyesuaian atas perubahan yang terjadi karena
bertambahnya usia merupakan hambatan yang serius bagi terwujudnya
penyesuaian diri yang berhasil di hari tua.

h. Metode penyesuaian diri Metode rasional mencakup menerima batas


usia, mengembangkan minat-minat baru, belajar melepaskan anak, dan
tidak memikirkan masa lalu. Metode irasional meliputi menolak berbagai
perubahan yang datang bersamaan dengan bertambahnya usia dan mencoba
untuk melanjutkan keadaan seperti pada masamasa sebelumnya, asyik
dengan hal-hal yang menyenangkan di masa lampau, dan ingin tergantung
pada orang lain untuk merawat dirinya.

18
i. Kondisi Penyakit yang kronis (menahun) merupakan penghalang yang
lebih besar dibanding penyakit yang bersifat temporer dalam menyesuaikan
diri dengan masa lanjut usia, walaupun penyakit temporer mungkin lebih
berat deritanya dan lebih berbahaya.

j. Kondisi hidup Pemaksaan kepada lanjut usia untuk tinggal di suatu


tempat yang membuat lanjut usia merasa rendah diri, tidak sesuai dan
membenci tempat itu, dapat mengakibatkan situasi yang tidak
menyenangkan dalam penyesuaian diri yang harus dilakukan pada masa
lanjut usia.

k. Kondisi ekonomi Individu-individu lanjut usia akan merasa sulit


untuk menyesuaikan diri dengan permasalahan keuangan karena
mengetahui bahwa individu tersebut mempunyai kesempatan yang kecil
atau tidak sama sekali dalam memecahkan masalah tersebut, tidak seperti
yang dahulu dapat individu lakukan ketika masih muda.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor yang


mempengaruhi penyesuaian diri lanjut usia secara umum adalah kondisi
fisik, kepribadian, edukasi atau pendidikan, lingkungan, agama dan budaya.
Faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri lanjut usia di panti wredha
adalah persiapan untuk hari tua, pengalaman masa lampau, kepuasan
kebutuhan, kenangan akan persahabatan lama, anak-anak yang telah
dewasa, sikap sosial, sikap pribadi, metode penyesuaian diri, kondisi,
kondisi hidup, dan kondisi ekonomi.

3. Bentuk-bentuk Penyesuaian Diri


Gunarsa (1989) mengemukakan beberapa bentuk-bentuk penyesuaian diri
yang dapat dilakukan oleh seseorang, yaitu:
a. Perilaku Kompensatoris Istilah perilaku kompensatoris diartikan
sebagai suatu konsep penyesuaian terhadap kegagalan seperti halnya
rasionalisasi, kritik, sublimasi dan bentuk-bentuk perilaku pengganti
(subtitute) yang lainnya. Perilaku kompensatoris juga diartikan sebagai

19
usaha khusus untuk mengurangi ketegangan-ketegangan atau kekurangan-
kekurangan karena adanya kerusakan, yang dipakai untuk mengalihkan
perhatian orang lain dari kerusakannya. Perilaku pengganti atau
kompensatoris ini mungkin dapat diterima mungkin juga ditolak.
b. Perilaku Menarik Perhatian Orang (Attention-Seeking Behavior)
Keinginan untuk memperoleh perhatian merupakan sifat yang normal.
Seseorang dengan penyesuaian yang adekuat akan memperoleh perhatian.
Apabila tingkah laku biasa dapat tidak dapat menimbulkan perhatian yang
diinginkan, maka seseorang akan melakukan tindakan-tindakan yang
menghebohkan untuk menarik perhatian orang terhadap dirinya. Keinginan
ini biasa terlihat pada anak-anak tetapi juga merupakan ciri pada masa
remaja maupun dewasa. Sering pula seseorang berusaha memakai bentuk
penyesuaian ini dengan tujuan mengalihkan perhatian dari satu faktor dan
memusatkan, mengarahkan perhatiannya pada faktor lain.
c. Memperkuat Diri Melalui Kritik Apabila seseorang menyadari akan
kurangnya kemampuan dirinya dalam mengatasi tuntutan sosial akan
membentuk sikap kritis terhadap orang lain, khususnya apabila orang lain
memperlihatkan keberhasilannya dalam penyesuaian terhadap situasisituasi
sedangkan dirinya sendiri mengalami kegagalan. Kritik yang baik yang
diberikan kepada seseorang dapat dikatakan merupakan suatu tanda
bersahabat dan perhatiannya terhadap orang tersebut bila ada kesalahan
yang terlihat. Kritik terhadap seseorang yang dikemukakan kepada orang-
orang lain bisa disebabkan perasaan dirinya kurang terhadap yang dikritik.
Kritik diri sendiri bila berdasarkan keinginan untuk memperbaiki tingkah
laku sendiri merupakan hal yang umum, karena merupakan suatu bentuk
tingkah laku penyesuaian.
d. Identifikasi Pembentukan pola-pola identifikasi merupakan bentuk
penyesuaian yang tidak merugikan. Pada umumnya manusia merupakan
bagian dari suatu kelompok. Sudah selayaknya jika kita mengidentifikasi
diri dengan mereka yang berhasil dalam keberhasilan anggota kelompok
yang menonjol tersebut. Makin bertambahnya usia dan kedewasaan,

20
tokoh/identifikasi berubah misalnya terhadap kelompok-kelompok sosial,
organisasi, atau seseorang yang memang patut ditiru, yang memiliki cita-
cita yang mulia dan menimbulkan keinginan untuk menjadi seperti tokoh-
tokoh tersebut.
e. Sikap Proyeksi Pada umumnya seseorang tidak senang mengakui
kesalahan maupun ketidakmampuannya dalam penilaian orang lain. Lebih
mudah dan menyenangkan apabila kegagalan ataupun sebab dari
kegagalannya sendiri diproyeksikan pada orang lain atau objek lain di
lingkungan dekatnya. Alasan yang diproyeksikan mungkin saja benar akan
tetapi pada umumnya merupakan suatu dalih (excuse). Sikap proyeksi
dapat juga dipakai sebagai pembenaran suatu kesalahan. Hal ini digunakan
untuk melindungi seseorang terhadap perasaan sia-sia, sebagai akibat
pengaruh kesalahankesalahannya.
f. Rasionalisasi Rasionalisasi merupakan usaha untuk memaafkan
tingkah laku yang oleh si pelakunya diketahui atau dianggap sebagai tidak
diinginkan, aneh akan tetapi menimbulkan suatu kepuasan emosi tertentu.
Penggunaan rasionalisasi secara terus menerus akan sampai pada
pembentukan penilaian palsu terhadap pribadinya sendiri. Apabila
rasionalisasi disertai proyeksi akan terlihat keadaan seseorang di mana
alasan kegagalan-kegagalannya sama sekali dilepaskan dari
ketidakmampuannya, selalu menyalahkan orang lain, dan keadaan di luar
dirinya sebagai sumber kegagalannya.
g. Sublimasi Dengan sublimasi seseorang menyalurkan aktivitasnya
dengan aktivitas pengganti (substitute) yang dapat diterima umum, untuk
menghindari stres emosi. Sublimasi mempunyai arti sosial. Nilai sosial ini
terletak pada keinginan-keinginan diri sendiri dan dorongan dasar yang
menguntungkan bagi orang lain atau anggota kelompok lainnya. Sublimasi
dipakai sebagai cara penyesuaian apabila secara sementara atau menetap,
suatu dorongan yang kuat tidak dapat disalurkan ke dalam suatu aktivitas
yang memuaskan dorongan. Tanpa disadari suatu perubahan bertahap
terjadi dari pemuasan diri sendiri ke kesejahteraan orang lain.

21
h. Melamun dan Mengkhayal Apabila penyesuaian pemuasan diri tidak
mungkin, maka dipakai penyesuaian melalui khayalan. Melamun
merupakan kecenderungan yang membolehkan khayalan bermain dengan
ide-ide yang merupakan perwujudan yang memuaskan tujuan yang
dikehendakinya. Apabila khayalan/lamunan ini sama sekali dilepaskan dari
realitas, maka pemakaian cara pemuasan diri akan menuju ke penyesuaian
yang tidak wajar. Seorang dewasa dengan penyesuaian diri yang baik akan
mengubah impiannya ke dalam aktivitas yang produktif. Orang lanjut usia
yang pengalaman lalunya cukup memuaskan akan mengenang kembali,
mengenang keberhasilan yang telah diperolehnya dengan memasuki alam
khayalan itu. Lamunan dan fantasi dapat juga merupakan sesuatu yang
tidak baik, di mana lamunan tersebut sudah merupakan suatu bentuk
penyesuaian yang tidak pantas lagi bahkan dapat menjadi gejala dari
penyesuaian yang tidak adekuat atau suatu penyakit mental.
i. Represi (Concious Forgetting) Pada umumnya seseorang akan
menghindari tempat/orang/hal-hal yang berhubungan dengan pengalaman
yang tidak menyenangkan. Dimana seseorang menghindari suatu hal yang
berkaitan dengan pengalaman tidak enak disebut represi. Pada represi
seseorang hendak melupakan, walaupun tidak menyadari keinginan untuk
lupa.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa bentuk-bentuk
penyesuaian diri adalah perilaku kompensatoris, perilaku menarik perhatian
orang, memperkuat diri melalui kritik, identifikasi, sikap proyeksi,
rasionalisasi, sublimasi, melamun dan mengkhayal, dan represi.

4. Kriteria Penilaian Penyesuaian Diri Lanjut Usia


Terdapat beberapa kriteria yang dapat dipakai untuk menilai jenis
penyesuaian diri yang dilakukan individu lanjut usia, apakah baik atau
tidak, yaitu (Hurlock, 1999):
a. Kualitas pola perilaku

22
Ada dua teori yang berbeda dan bertolak belakang mengenai
keberhasilan individu lanjut usia. Menurut teori aktivitas (activity
theory), pria maupun wanita seharusnya tetap merawat berbagai sikap
dan kegiatan semasa usia madya selama mungkin dan kemudian
mencari kegiatan pengganti untuk berbagai kegiatan yang harus
Universitas Sumatera Utara ditinggalkan sebagai pengganti pekerjaan
apabila pensiun, pengganti organisasi perkumpulan yang harus
ditinggalkan karena alasan keuangan atau hal-hal lain, pengganti teman
atau kerabat keluarga yang telah meninggal atau pindah ke lingkungan
lain.
Menurut teori pelepasan diri (disengagement theory), pria maupun
wanita, secara sukarela dilakukan atau tidak, membatasi keterlibatan
individu dalam berbagai kegiatan individu berusia madya. Lanjut usia
menghentikan hubungan langsung dengan orang lain, misalnya bebas
berbuat sesuka hati apabila menyenanginya, melakukan hal-hal penting
menurut individu tanpa mempedulikan perasaan-perasaan orang lain
tentang individu tersebut.
Penelitian mengenai penyesuaian diri yang baik dan yang buruk yang
dilakukan pada individu-individu lanjut usia menunjukkan bahwa
individu yang melakukan penyesuaian diri yang baik, mempunyai sifat-
sifat yang diharapkan ada pada individu yang mengikuti teori aktivitas,
sedangkan individu yang kelihatannya menunjukkan penyesuaian yang
buruk, memiliki karakteristik yang berhubungan dengan teori pelepasan
diri.
Terdapat bukti yang secara umum mengatakan bahwa individu yang
melakukan penyesuaian yang baik ketika masih muda, akan melakukan
penyesuaian yang baik pula di masa lanjut usia. Individu yang memiliki
keinginan sederhana dan watak yang baik, menjadikan masa lanjut
usianya mudah dijalani.

23
b. Perubahan dalam perilaku emosional
Kriteria selanjutnya yang dapat dipergunakan untuk menilai jenis
penyesuaian lanjut usia adalah berbagai perubahan yang berkaitan
dengan perilaku emosional. Berbagai penelitian tentang individu lanjut
usia menunjukkan bahwa lanjut usia cenderung Universitas Sumatera
Utara menjadi apatis dalam kehidupan, kurang responsif dibanding
ketika masih muda, respon-respon emosional lebih spesifik, kurang
bervariasi, dan kurang mengena pada suatu peristiwa.
c. Perubahan kepribadian Kriteria berikutnya adalah derajat dan besar
perubahan kepribadian. Sudah diketahui bahwa individu lanjut usia,
tanpa menghiraukan pola-pola kepribadian di masa mudanya,
berkembang menjadi individu yang menjengkelkan dengan sifat-sifat
mudah marah, pelit, suka bertengkar, banyak menuntut, egois. Sifat-
sifat lanjut usia, yang lebih kaku dalam memandang segala sesuatu,
lebih konservatif dalam bertindak, lebih berprasangka buruk dalam
bersikap terhadap orang lain dan lebih terpusat pada diri sendiri,
merupakan sifat-sifat lama yang menjadi berlebih-lebihan dan semakin
tampak karena adanya tekanan-tekanan yang terjadi pada masa lanjut
usia. Status minoritas yang dimiliki lanjut usia menyebabkan sifat-sifat
kepribadian lanjut usia menjadi terbentuk seperti sifat-sifat kepribadian
yang sejenis dengan kelompok minoritas, seperti hipersensitivitas,
membenci diri sendiri, perasan tidak aman dan tidak pasti, bertengkar,
apatis, kemunduran, tertutup, cemas, terlalu tergantung dan bersikap
menolak.
d. Kebahagiaan
Kriteria selanjutnya adalah derajat kepuasan diri atau kebahagiaan
lanjut usia yang dialami. Kebahagiaan lanjut usia dapat ditunjang oleh
beberapa kondisi, seperti: memiliki kenangan yang menggembirakan,
bebas untuk mencapai gaya hidup yang diinginkan, sikap yang realistis
terhadap kenyataan, menerima kenyataan, terus berpartisipasi dengan
kegiatan yang berarti dan menarik, diterima oleh dan Universitas

24
Sumatera Utara memperoleh respek dari kelompok sosial, merasa puas
dengan status sekarang dan prestasi masa lalu, puas dengan status
perkawinan dan kehidupan seksual, menikmati kegiatan rekreasional
yang direncanakan, melakukan kegiatan produktif, dan lain-lain.
Jadi dapat disimpulkan bahwa untuk dapat menilai jenis penyesuaian
diri yang dilakukan lanjut usia diperlukan beberapa kriteria yaitu,
kualitas pola perilaku, perubahan dalam perilaku emosional, perubahan
kepribadian, dan kebahagiaan.
5. Ciri-ciri Penyesuaian Diri yang Efektif
Menurut Siswanto (2007), individu yang mampu menyesuaikan diri dengan
baik, umumnya memiliki ciri-ciri yaitu:

a. Memiliki Persepsi yang Akurat Terhadap Realita Pemahaman atau


persepsi orang terhadap realita berbeda-beda, meskipun realita yang dihadapi
adalah sama. Perbedaan persepsi tersebut dipengaruhi oleh pengalaman masing-
masing orang yang berbeda satu sama lain. Meskipun persepsi masing-masing
individu berbeda dalam menghadapi realita, tetapi orang yang memiliki
penyesuaian diri yang baik memiliki persepsi yang relatif objektif dalam
memahami realita. Persepsi yang objektif ini adalah bagaimana orang mengenali
konsekuensikonsekuensi dari tingkah lakunya dan mampu bertindak sesuai dengan
konsekuensi tersebut.

b. Kemampuan untuk Beradaptasi dengan Tekanan atau Stres dan


Kecemasan Setiap orang pada dasarnya tidak senang bila mengalami tekanan dan
kecemasan. Umumnya mereka menghindari hal-hal yang menimbulkan tekanan
dan kecemasan dan menyenangi pemenuhan kepuasan yang dilakukan dengan
segera. Orang yang mampu menyesuaikan diri, tidak selalu menghindari
munculnya tekanan dan kecemasan. Kadang mereka justru belajar untuk
mentoleransi tekanan dan kecemasan yang dialami dan mau menunda pemenuhan
kepuasan selama itu diperlukan demi mencapai tujuan tertentu yang lebih penting
sifatnya.

25
c. Mempunyai Gambaran Diri yang Positif tentang Dirinya Pandangan
individu terhadap dirinya dapat menjadi indikator dari kualitas penyesuaian diri
yang dimiliki. Pandangan tersebut mengarah pada apakah individu tersebut dapat
melihat dirinya secara harmonis atau sebaliknya individu melihat adanya konflik
yang berkaitan dengan dirinya. Individu yang banyak melihat pertentangan-
pertentangan dalam dirinya, dapat menjadi indikasi adanya kekurangmampuan
dalam penyesuaian diri. Gambaran diri yang positif juga mencakup apakah
individu yang bersangkutan dapat melihat dirinya secara realistik, yaitu secara
seimbang tahu kelebihan dan kekurangan diri sendiri dan mampu menerimanya
sehingga memungkinkan individu yang bersangkutan untuk dapat merealisasikan
potensi yang dimiliki secara penuh.

d. Kemampuan untuk Mengekspresikan Perasaannya Individu yang dapat


menyesuaikan diri dengan baik dicirikan memiliki kehidupan emosi yang sehat.
Individu tersebut mampu menyadari dan merasakan emosi atau perasaan yang saat
itu dialami serta mampu untuk mengekspresikan perasaan dan emosi tersebut.
Individu yang memiliki kehidupan emosi yang sehat mampu memberikan reaksi-
reaksi emosi yang realistis dan tetap di bawah kontrol sesuai dengan situasi yang
dihadapi.

e. Relasi Interpersonal Baik Individu yang memiliki penyesuaian diri yang


baik mampu mencapai tingkat keintiman yang tepat dalam suatu hubungan sosial.
Individu tersebut mampu bertingkah laku secara berbeda terhadap orang yang
berbeda karena kedekatan relasi interpersonal antar mereka yang berbeda pula.
Individu mampu menikmati disukai dan direspek oleh orang lain, tetapi juga
mampu memberikan respek dan menyukai orang lain.

6. Ciri-ciri Penyesuaian Diri yang Tidak Efektif

Siswanto (2007), mengemukakan beberapa gejala yang dapat diamati pada


individu yang mengalami kesulitan dan gagal melakukan penyesuaian diri yang
efektif, yaitu:

26
a. Tingkah laku yang aneh karena menyimpang dari norma atau standar
sosial yang berlaku di lingkungan masyarakat. Biasanya individu yang
bersangkutan menampakkan tindakan-tindakan yang tidak umum, aneh, bahkan
orang-orang di sekelilingnya mengalami ketakutan dan tidak percaya pada individu
yang bersangkutan.

b. Individu yang bersangkutan tampak mengalami kesulitan, gangguan, atau


ketidakmampuan dalam melakukan penyesuaian diri secara efektif dalam
kehidupan sehari-hari. Individu yang bersangkutan tidak dapat menjalankan peran
dan status yang dimilikinya dalam masyarakat.

c. Individu yang bersangkutan mengalami distres subjektif yang sering atau


kronis. Masalah-masalah yang umum bagi kebanyakan orang dan mudah
diselesaikan menjadi masalah yang luar biasa bagi individu tersebut. Distres
subjektif tersebut pada akhirnya mengakibatkan munculnya gejala- gejala lanjutan
seperti kecemasan, panik, depresi, rasa bersalah, rasa malu, dan marah tanpa sebab.
Jadi, jika individu tidak berhasil melakukan penyesuaian diri yang efektif, maka ia
akan mengalami penyesuaian diri yang tidak efektif. Individu tersebut akan
menunjukkan perilaku yang aneh, kesulitan melakukan penyesuaian diri secara
efektif dalam kehidupan sehari-hari dan mengalami distres subjektif yang sering
atau kronis.

C. Kajian Tentang Lanjut Usia

1. Definisi Lanjut Usia

Lanjut usia menurut Elizabeth B. Hurlock (1997:380) dalam


psikologi perkembangan mengemukakan “Usia enam puluh dipandang
sebagai garis pemisah antara usia masya dan lanjut usia”. Dari pengertian
tersebut dinyatakan bahwa, seseorang itu dikatakan lanjut usia apabila
mencapai usia 60 tahun keatas. Menurut Surini & Utomo (2003) lanjut usia
bukan sebagai suatu penyakit, namun merupakan tahap lanjut dari suatu
proses kehidupan yang akan dijalani semua individu, ditandai dengan

27
penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stress lingkungan.
Sedangkan, menurut Undang-Undang Nomor 13 tahun 1998 tentang
kesejahteraan lanjut usia pada bab 1 pasal 1 ayat 2 sebagai berikut:

“Lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun keatas.


Lanjut usia dibedakan menjadi dua, yaitu lanjut usia potensial yang mampu
melakukan pekerjaan dan atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang
atau jasa, dan lanjut usia non potensial yaitu lanjut usia yang tidak berdaya
mencari nafkah sehingga hidupnya bergantung kepada bantuan orang lain.

Berdasarkan pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa lanjut usia


adalah periode penutup dalam rentang hidup seseorang yang mencapai usia
60 tahun keatas dan ditandai dengan kemunduran fisik, psikologis serta
sosialnya.

2. Kebutuhan Lanjut Usia

Kebutuhan lanjut usia menurut Tody Lolenoh (1990:44) adalah


kebutuhan manusia pada umumnya, yaitu kebutuhan makan, perlindungan
perawatan, kesehatan, dan kebutuhan sosial dalam mengadakan hubungan
dengan orang lain, hubungan antar pribadi dalam keluarga, teman-teman
sebaya dan hubungan dengan organisasi-organisasi sosial. Penjelasannya
sebagai berikut:

a. Kebutuhan Utama/Pokok, yaitu:


1. Kebutuhan Biologis/Fisiologis, kebutuhan ini
merupakan kebutuhan dasar yang paling kuat dan paling
pokok dalam kebutuhan manusia. Kebutuhan
biologis/fisiologis meliputi kebutuhan akan makan,
tempat tinggal, pakaian, dan juga kebutuhan oksigen,
serta seksual.
2. Kebutuhan ekonomi, berupa penghasilan yang cukup
dan memadai.

28
3. Kebutuhan fisik, yaitu berupa mental, perawatan dan
pengobatan.
4. Kebutuhan psikologis, berupa kebutuhan akan kasih
saying, adanya tanggapan dari orang lain, ketentraman,
merasa berguna, memiliki jati diri, dan status yang jelas.
5. Kebutuhan sosial, berupa peranan dalam hubungan-
hubungan dengan orang lain, hubungan pribadi dalam
keluarga, teman sebaya, dan hubungan dengan
organisasi-organisasi sosial.
b. Kebutuhan Sekunder:
1. Kebutuhan dalam melakukan aktivitas
2. Kebutuhan dalam mengisi waktu luang/rekreasi
3. Kebutuhan yang bersifat kebudayaan, seperti informasi
dan pengetahuan
4. Kebutuhan yang bersifat politis, yaitu meliputi status,
perlindungan hokum, partisipasi dan keterlibatan dalam
kegiatan-kegiatan kemasyarakatan dan Negara atau
pemerintah
5. Kebutuhan yang bersifat keagamaan/spiritual, seperti
memahami akan makna keberadaan diri sendiri di dunia
dan memahami hal-hal yang tidak diketahui/diluar
kehidupan termasuk kematian.
3. Permasalahn Lanjut Usia
Permasalah lanjut usia dijelaskan secara rinci oleh Tody Lalenoh
(1996), sebagai berikut:
a. Orang-orang yang telah berusia lanjut banyak
menimbulkan problem yang berhubungan dengan
kekurangan mampuan kuntuk mempertahankan diri karena
menurunnya kesehatan.
b. Dengan meningkatnya mutu kesehatan, ekonomi dan sosial
merupakan terjadinya pelambatan proses ketuaan (panjang

29
umur) dengan tingkat harapan hidup yang semakin tinggi,
sehingga populasi dan proporsi lanjut usia meningkat.
c. Adanya kepercayaan bahwa lanjut usia merupakan awal
kemunduran dalam berbagai segi, sehingga hal tersebut
menimbulkan sikap menyerah terhadap keadaan, pasif dan
menunggu nasib.
d. Masalah seksualitas, seperti adanya anggapan bahwa
masalah seks adalah masalah anak muda saja, bila dilihat
orientasi masa sekarang, peranan seks dalam kehidupan
tetap berorientasi pada kenikmatan bukan pada reproduksi.
Sehingga seks bagi kenikmatan kehidupan penting untuk
orang tua, bahkan perlu dipelihara dan ditingkatkan.
e. Sering kita melihat bahwa orang-orang lanjut usia penuh
dengan kemiskinan dan penderitaan. Berbagai penyakit
seringkali menyebabkan depresi, kekhawatiran dan
paranoida. Masa lanjut usia sebenarnya masa kedamaian,
ketenangan di dalam menikmati hasil jerih payah pada saat
masih muda dan dewasa.
4. Pelayanan Sosial bagi Lanjut Usia
Dalam mewujudkan pelayanan kesejahteraan sosial, maka program
pokok yang dilaksanakan antara lain: pelayanan sosial lanjut usia dalam
panti, pelayanan sosial lanjut usia di luar panti, kelembagaan sosial
lanjut usia, perlindungan sosial dan aksesibilitas lanjut usia. Menurut
Argyo Demartoto (2007), pelayanan sosial bagi lanjut usia meliputi:
a. Pelayanan sosial lanjut usia dalam panti
Pelayanan yang menempatkan penerimaan pelayanan ke
dalam suatu lembaga tertentu untuk mendapatkan
pemenuhan kebutuhan dasar lanjut usia didalam panti.
Pelayanan yang didapatkan meliputi:

30
1. Pelayanan kebutuhan fisik, yang terdiri dari penyediaan
makan dan pakaian serta penyediaan tempat tinggal
yang menyenangkan.
2. Pemeliharaan kesehatan dan kebersihan, melalui
pemeriksaan rutin, pemberian gizi seimbang, olahraga
senam rutin, melaksanakan kebersihan dan lingkungan .
3. Pemberian bimbingan mental/spiritual dan kerohanian,
berupa bimbingan ibadah, pengajian dan baca al-qur’an.
4. Pemberian bimbingan sosial individu dan
kemasyarakatan, berupa terapi psikososial individu-
kelompok, terapi sosial individu-kelompok dan rekreasi.
5. Pemberian bimbingan keterampilan untuk pengisisan
waktu luang dengan jenis keterampilan seperti,
menganyam, berkebun, olahan pangan, beternak,
bermain music dan membuat telor asin.
b. Pelayanan sosial lanjut usia di luar panti
1. Pelayanan berbasih keluarga
Secara sosiologis keluarga itu terdiri dari dua
pengertian, yaitu keluarga unit dan keluarga luas.
Keluarga tersebut terdiri dari suami/ayah, istri/ibu, anak-
anak, orang tua nenek atau kakek dan saudara-saudara
dekat. Bentuk-bentuk pelayanan berbasis keluarga:
a) Santunan keluarga (home care, domiciliary care,
home health services, in home services), merupakan
pelayanan yang paling banyak dilakukan dalam hal
lanjut usia tidak mampu, sakit atau cacat. Sedangkan,
keluarganya tidak mempunyai kemampuan untuk
memberikan pelayanan yang memadai.
b) Paket bantuan usaha produktif, upaya ini
dilaksanakan oleh Departemen Sosial dalam rangka
meningkatkan kemampuan dan kemandirian lanjut

31
usia melalui kegiatan-kegiatan sector informal
dirumah masing-masing- baik secara individual
maupun kelompok.
c) Pelayanan penunjang keluarga (homemaker services,
home help services), upaya untuk memberikan
bantuan lanjut usia untuk menyelesaikan pelaksanaan
tugas kerumah tanggaan sehari-hari bila anggota
keluarganya ada yang sakit/hala lainnya. Suatu
bentuk lain dari pelayanan penunjang keluarga
tersebut adalah home repair services, yaitu bantuan
untuk perbaikan rumah yang berasa diluar
kemampuan fisik/finansial pemiliknya, yang dalam
hal lain adalah lanjut usia.
2. Pelayanan berbasis masyarakat
a) Pusat pelayanan lanjut usia (adult day center, senior
center), berbagai kegiatan yang disediakan di
lingkungan fasilitas ini adalah rekreasi, latihan
keterampilan, kegiatan kesenian dan kebudayaan,
rehavilitasi, kesehatan dan kegiatan-kegiatan sosial
lainnya.
b) Klub lanjut usia (old peoples club, golden age
retirement club, senior club), pelayanan yang
disediakan dalam klub ini seperti, pusat pelayanan
lanjut usia hanya penggunaannya terbatas pada lanjut
usia yang menjadi anggota. Klub tersebut di
organisasi oleh lanjut usia atau badan sosial.
c) Rumah sakit siang hari (day hospital, geriatric day
hospital), fasilitas yang berupa klinik atau bagian dari
rumah sakit ini memberikan pelayanan medis dan
rehabilitasi kepada pasien-pasien lanjut usia pada

32
siang hari dan pada malam hari mereka kembali ke
rumah masing-masing.
d) Universitas usia ketiga (university third age),
universitas ini merupakan suatu pusat pendidikan
ragam khusus. Kegiatannya diorganisasikan
universitas yang ada/perkumpulan lanjut usia dengan
bekerjasama dengan universitas tertentu. Upaya ini
diawali di Perancis dan berkembang di banyak
Negara, terutama di Eropa.
e) Program kerukunan tetangga (good neighborhood
program), kegiatan ini sifatnya informal, dilksanakan
untuk mengadakan hubungan dengan para lanjut usia
yang hidupnya sendirian atau mengalami masalah
tertentu sehingga memerlukan kedekatan hubungan
dengan lingkungan sosialnya.
c. Kelembagaan Sosial Lanjut Usia
Secara umum penanganan berbasis lembaga dapat dibagi
menjadi 3, yaitu:
1. Rumah sakit lanjut usia
Pelayanan yang diberikan rumah sakit ini sama
dengan rumah sakit lainnya, yaitu penyembuhan
penyakit-penyakit fisik yang disandang lanjut usia.
2. Panti werdha
Pada umumnya panti werdha memberikan
akomodasi dan pelayanan serta perawatan jangka
panjang bagi lanjut usia yang tidak mempunyai sanak
keluarga dan tidak mampu menyewa rumah sendiri,
yang mengalami masalah dengan sanak keluarganya
atau tidak ingin membebani keluarga.
3. Panti ketunaan khusus

33
Panti ini menyediakan perawatan bagi penyendang
masalah yang tidak mungkin lagi dapat disembuhkan
atau direhabilitasi, antara lain penyandang cacat berat,
lanjjut usia non potensial yang tuna netra, pasien kronis
yang tidak memerlukan perawatan dirumah sakit.

D. Tinjauan Relasi Sosial

1. Pengertian Relasi Sosial

Manusia sebagai makhluk sosial tidak akan terlepas dengan suatu proses
yang dinamakan interaksi sosial. Sebagai makhluk sosial manusia juga akan
cenderung membentuk kelompok-kelompok tertentu demi mencapai tujuan yang
diinginkan. Interaksi tidak hanya terjadi antara individu yang satu dengan individu
yang lain, tetapi juga bisa terjadi antara satu individu dengan kelompok individu,
atau antara kelompok individu dengan kelompok individu lain.

Merry Richmond Tokoh pekerjaan sosial mengatakan bahwa konsep mengenai


relasi dipandang sebagai konsep yang SENTRAL karena :

a. Praktek pek-sos itu sendiri dilaksanakan melalui relasi

b. Relasi antara peksos dengan kelayan

c. Relasi antara peksos dengan sistem lainnya atau disiplin ilmu lain

d. Semua ahli dalam peksos mempunyai pandangan bahwa tujuan dari


peksos memperbaiki dan meningkatkan keberfungsian social

e. Melalui relasi peksos bisa mempengaruhi kepribadian seseorang. Melalui


relasi peksos bisa menjajagi dan mengungkapkan masalah masalah kalayan dan
relasi antara kalayan dengan peksos dapat terjadi tukar pikiran dan saling
menyesuaikan diri.

34
Menurut Spradley dan McCurdy, relasi sosial atau hubungan sosial yang
terjalin antara individu yang berlangsung dalam waktu yang relatif lama akan
membentuk suatu pola, pola hubungan ini juga disebut sebagai pola relasi sosial.
Manusia ditakdirkan sebagai makhluk pribadi dan sekaligus sebagai makhluk
sosial.Sebagai makhluk pribadi, manusia berusaha mencukupi semua
kebutuhannya untuk kelangsungan hidupnya. Dalam memenuhi kebutuhannya
manusia tidak mampu berusaha sendiri, mereka membutuhkan orang lain. Itulah
sebabnya manusia perlu berelasi atau berhubungan dengan orang lain sebagai
makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial dalam rangka menjalani kehidupannya
selalu melakukan relasi yang melibatkan dua orang atau lebih dengan tujuan
tertentu. Hubungan sosial merupakan interaksi sosial yang dinamis yang
menyangkut hubungan antar individu, antar kelompok, ataupun antara individu
dengan kelompok. Hubungan sosial atau relasi sosial merupakan hubungan timbal
balik antar individu yang satu dengan individu yang lain, saling mempengaruhi
dan didasarkan pada kesadaran untuk saling menolong. Relasi sosial merupakan
proses mempengaruhi diantara dua orang atau lebih. Relasi adalah hubungan yang
terkait dengan aspek emosianal, pertumbuhan dan perkembangan manusia adalah
hasil dari relasi dengan orang lain, hal ini disebabkan karena manusia sebagai
makhluk sosial, karena manusia selalu berinteraksi dengan lingkungannya. Oleh
karena itulah manusia tumbuh dan berkembang adalah hasil dari relasi.

2. Jenis-Jenis Hubungan Sosial


Adapun jenis – jenis hubungan sosial adalah sebagai berikut
A. Akulturasi Pola akulturasi akan terjadi manakala kedua kelompok ras
yang bertemu mulai berbaur dan berpadu. Misalnya kita melihat bahwa
kebudayaan orang belanda di Indonesia menyerap berbagai unsur
kebudayaan Indonesia, seperti cara berbusana, cara makan, dan gaya
berbahasa.
B. Dominasi Pola ini akan terjadi bila suatu kelompok ras menguasai
kelompok lain. Contoh: kedatangan bangsa eropa ke benua asia untuk
memperoleh SDA. Atau kita jumpai dalam pengelompokan, misalnya suatu

35
kelompok etnik mendominasi kelompok etnik lain,laki-laki mendominasi
perempuan, orang kaya mendominasi orang miskin, dan lain sebagainya.
C. Paternalisme Suatu bentuk dominasi kelompok ras pendatang atas
kelompok ras pribumi. Banton mengemukakan bahwa pola ini muncul
manakala kelompok pendatang yang secara politik lebih kuat mendirikan
koloni di daerah jajahan. Dalam pola hubungan ini Banton membedakan
tiga macam masyarakat: masyrakat metropolitan (didaerah asal pendatang),
masyarakat kolonial yang terdiri atas para pendatang serta sebagian dari
masyarakat pribumi, dan masyarakat pribumi yang dijajah.
D. Integrasi Suatu pola hubungan yg mengakui adanya perbedaan ras
dalam masyarakat, tetapi tidak memberikan perhatian khusus atau makna
penting pada perbedaan ras tersebut.
E. Pluralisme Suatu pola hubungan yang mengakui adanya persamaan hak
politik dan hak perdata semua warga masyarakat.Akan tetapi pola
hubungan itu lebih terfokus pada kemajemukan kelompok ras daripada pola
integrasi. Dalam pola ini solidaritas dalam masing-masing kelompok ras
lebih besar.Barton berpendapat bahwa suatu pola mempunyai
kecenderunagn untuk lebih berkembang kesuatu arah tertentu. Pola
dominasi cenderung mengarah pada pluralisme, sedangkan pola akulturasi
dan paternalisme cenderung mengarah pada pola integrasi.

3. Unsur-unsur hubungan sosial :


1. Hubungan timbal balik atau saling berinteraksi.
2. Belangsungan di tengah-tengah masyarakat.
3. Ada tujuan tertentu ( yaitu memenuhi kebutuhan hidup ).

4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Hubungan Sosial

1. Faktor Pendorong Terjadinya Hubungan Sosial

a.Kondisi geografis

b.Hasrat untuk mempertahankan diri

36
c.Hasrat atau keinginan untuk berjuang

d.Hasrat untuk memenuhi kebutuhan hidup

e.Hasrat untuk hidup bersama

f. Hasrat untuk mewujudkan hari esok yang lebih baik

g.Rasa simpati dan hasrat tolong-menolong

2.Faktor Penghambat Terjadinya Hubungan Sosial

a. Adanya perbedaan pendapat

b..Adanya perbedaan paham

37
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian


Metode penelitian yang digunakan dalam rangka penyusunan proposal ini
adalah metode penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif adalah
penelitian yang menghasilkan prosedur analisis yang tidak menggunakan
prosedur analisis statistik atau cara kuantifikasi lainnya. Penelitian kualitatif
didasarkan pada upaya membangun pandangan mereka yang diteliti secara
rinci, dibentuk dengan kata-kata, gambaran holistic dan rumit.
Menurut Moleong (2005:6), Penelitian Kualitatif adalah penelitian yang
bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh
subjek penelitian, misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll
secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan
bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan
memanfaatkan berbagai metode alamiah. Sedangkan, menurut Jane
Richie penelitian kualitatif adalah upaya untuk menyajikan dunia sosial,
dan perspektifnya di dalam dunia dari segi konsep, perilaku, persepsi,
dan persoalan tentang manusia yang di teliti. Metode ini bertujuan untuk
memberikan gambaran secara lengkap dan mendetail tentang orang dan
perilaku yang diamati serta menjadi sasaran penelitian.
Penelitian ini menggunakan desain penelitian studi kasus. Desain
penelitian ini dilakukan dengan tujuan mengeksplorasi isu yang spesifik dan
kontekstual secara mendalam. Lingkup desain penelitian studi kasus sangat
terbatas dan hasilnya hampir selalu tidak bisa diaplikasikan pada konteks atau
tempat yang lain. Desain studi kasus, selalu menerapkan etnografi dengan
wawancara mendalam dan observasi partisipatoris sebagai teknik
pengumpulan datanya. Fokus penelitian studi kasus sangat terbatas. Peneliti
menggunakan desain studi kasus, dengan harapan dapat memperoleh suatu

38
gambaran permasalahan secara lengkap, mendetail, dan mendalam mengenai
permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.

3.2 Penjelasan Istilah


Untuk menghindari kesalahpahaman dalam penafsiran istilah yang
digunakan pada penelitian ini, maka peneliti membuat penjelasan istilah
sebagai berikut:
a. Penyesuaian diri adalah suatu proses dalam interaksi individu yang kontinu
dengan diri sendiri, orang lain dan lingkungan yang melibatkan respon dari
yang lalu ke yang baru.
a. Lanjut usia, dalam penelitian ini lanjut usia yang dimaksud adalah seorang
maupun beberapa orang informan yang akan melakukan wawancara dengan
peneliti.
b. Relasi sosial adalah hubuhngan komunikasi antara sesame lanjut usia.
c. Wisma Lansia “J Soenarti Nasution” Yayasan Pembinaan dan Asuhan
Bunda (YPAB) Kota Bandung, dalam penelitian ini wisma tersebut adalah
sebuah tempat tinggal bagi para lansia serta tempat yang dijadikan
penelitian bagi peneliti.

3.3 Latar penelitian


Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan setting yang berbasis pada
panti. Latar penelitian ini bertempat di Wisma Lansia “J Soenarti Nasution”
Yayasan Pembinaan dan Asuhan Bunda (YPAB) Kota Bandung. Menurut
Lofland (Lexy J. Moleong, 2007), penelitian hendaknya mengenal adanya
latar tertutup dan latar terbuka. Latar terbuka terdapat di lapangan umum
seperti taman, took, bioskop. Sedangkan, pada latar tertutup hubungan peneliti
dengan informan/subyek harus akrab dan diperlukan strategi khusus untuk
dapat mengamati dan melakukan wawancara mendalam.
Berdasarkan pendapat ahli diatas, penliti dapat menentukan dalam
melakukan penelitian akan menggunakan latar tertutup yaitu peneliti
mengamati dan melakukan wawancara secara mendalam terhadap informan.

39
Hal ini dilakukan agar peneliti mendapatkan informasi yang lengkap dari
informan.

3.4 Sumber Data dan Cara Menentukan Sumber Data


a. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian penyesuaian diri lanjut
usia dalam berelasi sosial adalah:
1. Sumber data primer
Sumber data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari
informan/masyarakat, baik yang dilakukan melalui wawancara,
observasi dan lain sebagainya. Dalam penelitian ini, peneliti
menggunakan data primer agar peneliti dapat secara langsung
mewawancari lanjut usia (informan) dan juga perawat maupun pegawai
yang bekerja di Wisma Lansia “J Soenarti Nasution” Yayasan
Pembinaan dan Asuhan Bunda (YPAB) Kota Bandung.
2. Sumber data sekunder
Sumber data sekunder adalah sumber data yang diperoleh peneliti
secara tidak langsung melalui media perantara (diperoleh dan dicatat
oleh pihak lain), data sekunder pada umumnya berupa bukti, catatan atau
laporan historis yang telah tersusun dalam arsip (data dokumenter) yang
dipublikasikan, seperti dokumentasi. Pada penilitian ini, peneliti
menggunakan sumber data sekunder melalui dokumentasi bersama
informan, dan data tertulis (dokumen yang berkaitan dengan informan).

b. Cara Menentukan Sumber Data


Jumlah dan daya tampung lanjut usia yang berada di Wisma Lansia “J
Soenarti Nasution” Yayasan Pembinaan dan Asuhan Bunda (YPAB) Kota
Bandung adalah 25 orang lansia baik laki-laki maupun perempuan.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik purposive sampling
dalam penentuan sumber data. Purposive sampling itu sendiri adalah teknik
pengambilan sample yang didasarkan atas tujuan tertentu (menentukan

40
informan sesuai dengan kriteria terpilih yang relevan dengan masalah
penelitian).
Peneliti akan melakukan pengamatan dan wawancara kepada orang-
orang yang dianggap mengerti dan tahu tentang situasi sosial dalam objek
penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Tidak lupa, peneliti juga akan
melakukan wawancara dengan perawat/pegawai wisma untuk
mengkonfirmasi semua informasi yang telah didapatkan dari informan agar
tidak terjadi kesalahpahaman maupun kekeliruan, sehingga data yang
didapat bisa dipercaya.

3.5 Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data digunakan untuk mengumpulkan data sesuai tata
cara penelitian sehingga diperoleh data yang dibutuhkan. Menurut Sugiyono
(2012 : 224), teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling
strategis dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah
mengumpulkan data. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini
menggunakan teknik dokumentasi, observasi, dan wawancara.
1. Dokumentasi
Dokumentasi adalah metode mengkaji dan mengolah data dari
dokumendokumen yang sudah ada sebelumnya dan mendukung data
penelitian. “Dokumentasi adalah metode yang digunakan untuk
menelusuri historis”, (Burhan, 2008 : 122). Metode dokumentasi
digunakan untuk mengupulkan data yang actual mengenai Penyesuaian
diri Lansia dalam berelasi di panti J.S Nasution.
2. Observasi
Menurut pendapat Sugiyono (2012 : 166), observasi adalah teknik
pengumpulan data untuk mengamati prilaku manusia, proses kerja, dan
gejala-gejala alam, dan responden. Dalam penelitian ini peneliti
melakukan pengamatan langsung untuk menemukan fakta-fakta di
lapangan. Instrumen yang digunakan peneliti adalah observasi
nonpartisipan tidak terstruktur. Sifat intrumen yang tidak baku

41
memudahkan peneliti untuk menggali informasi berkaitan dengan
bagaimana relasi antar lanjut usia di panti. Observasi digunakan untuk
mengamati interaksi dan relasi yang terjadi dari antara lansia.
3. Wawancara
Wawancara dalam penelitian terjadi dimana peneliti sedang
berbincangbincang dengan narasumber dengan tujuan menggali
informasi melalui pertanyaan-pertanyaan dan mengunakan teknik
tertentu. “Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu.
Percakapan dua orang, pewawancara 31 sebagai yang mengajukan
pertanyaan dan narasumber yang memberikan jawaban”, (Moleong,
2007 : 186). Dalam penelitian ini subjek wawancara adalah para lanjut
usia yang baru saja masuk ke dalam panti dan mempunyai masalah
dalam penyesuaian diri dan berelasi antara satu sama lain.

3.6 Pemeriksaan Keabsahan Data


Data yang telah berhasil digali, dikumpulkan, dan dicatat dalam kegiatan
penelitian harus dipastikan ketepatan dan kebenarannya. Oleh karena itu setiap
peneliti harus bisa memilih dan menentukan cara-cara yang tepat untuk
mengembangkan validitas data yang diperoleh. “Validasi merupakan derajad
ketepatan antara data yang terjadi pada obyek peneliti dengan daya yang dapat
dilaporkan oleh peneliti. Dengan demikian data yang valid adalah data yang
tidak berbeda antara data yang dilaporkan oleh peneliti dengan data yang
sungguh terjadi pada obyek penelitian”, (Sugiyono, 2008 : 267).
Pengembangan validitas yang digunakan oleh peneliti adalah teknik
triangulasi. Triangulasi dalam menguji kredibilitas sebagi pengecekan data
dari berbagai sumber, cara, dan waktu. Sugiyono (2008 : 274) triangulasi
dibagi menjadi tiga, antara lain sebagai berikut:
1. Triangulasi sumber, menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara
mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber.
2. Triangulasi teknik, menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara
mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik yang berbeda.

42
3. Triangulasi waktu, waktu juga sering mempengaruhi kredibilitas data.
Pengambilan data harus disesusikan dengan kondisi narasumber.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan trianggulasi sumber, dengan arti
peneliti membandingkan informasi yang diperoleh dari satu sumber dengan
sumber lain. Menggali satu sumber yang sama dengan teknik yang berbeda
dan menentukan waktu yang berbeda (tepat).

3.7 Teknik Analisis Data


Data yang dikumpulkan sebagian besar merupakan data kualitatif dan teknik
analisis menggunakan teknik kualitatif. Teknik ini dipilih peneliti untuk
menghasilkan data kualitatif, yaitu data yang tidak bisa dikategorikan secara
statistik. Dalam penggunaan analisis kualitatif, maka pengintepretasian
terhadap apa yang ditemukan dan pengambilan kesimpulan akhir
menggunakan logika atau penalaran sistematis. Analisis kualitatif yang
digunakan adalah model analisis interaktif, yaitu model analisis yang
memerlukan tiga komponen berupa reduksi data, sajian data, serta penarikan
kesimpulan/verifikasi dengan menggunakan interactive mode milik Sugiyono.

3.8 Jadwal Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan dengan tahapan sesuai dengan jadwal yang telah
ditetapkan dengan langkah-langkah sebagai berikut :
1. Seleksi judul KIA dan Studi Literature
2. Bimbingan dan Penyusunan Proposal Penelitian
3. Seminar proposal
4. Bimbingan dan penyusunan instrument penelitian
5. Pengumpulan data
6. Pengelolaan dan analisis data
7. Bimbingan dan penyusunan hasil laporan penelitian dan
8. Ujian KIA
Penelitian akan dilaksanakan pada rentang waktu bulan Oktober 2019
sampai dengan bulan November 2019.

43
2019
No Kegiatan Oktober November Desember
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 Penyusunan
Proposal
2 Penyusunan
Instrumen
3 Pengumpulan
Proposal
(UTS)
4 Pengujian
validitas dan
reliabilitas
instrumen
5 Penentuan
sampel
6 Pengumpulan
data
7 Analisa data
8 Pembuatan
laporan
9 Pengumpulan
laporan
(UAS)

44
DAFTAR PUSTAKA

Calhoun, J.F. & O.R. Acocella. (1990). Psikologi tentang Penyesuaian Diri dan
Hubungan Kemanusiaan. Edisi ketiga. Semarang: IKIP Semarang Press.

Fitria. (2007). Pemaknaan Lanjut Usia Terhadap Keberadaannya di Panti Werdha.


Diakses tanggal 24 April 2009 dari http:adln.lib.unair.ac.id/go.php?id=jiptunair-
gdl-s1- 2007-fitriairfa-7423&PHPSESSID=0adbfb49b5eb85f5f85c67da92207e27.

Susi. (2003) Pengertian Lanjut Usia secara umum. Diakses tanggal 6 Oktober 2019
dari..http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/19816/Chapter%20I.p
df?sequence=5&isAllowed=y

Taopik. (2010). Bagaimana membuat pendahuluan yang baik dan benar. Diakses
tanggal 6 Oktober 2019 dari http://eprints.ums.ac.id/3768/1/F100050265.pdf

John. (2015). Kajian tentang Penyesuaian diri dan Lanjut usia. Diakses pada
tanggal 6 Oktober 2019 dari
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/19816/Chapter%20II.pdf?s
equence=4

Pittor. (2012). Kajian tentang Relasi Sosial. Diakses pada tanggal 5 Oktober 2019
dari..http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/57019/Chapter?seque
nce=4

Hadi. (2015). Penelitian terdahulu. Diakses pada tanggal 5 Oktober 2019 dari
https://eprints.uny.ac.id/18466/5/BAB%20III%2010417144040.pdf

Gay, R., & Airasian, P. (2003). Educational Research: Competencies for Analysis
& Application. (7th Ed). New Jersey: Merril Prentice Hall.

Moloeng, L.J. (2002). Metodologi Penelitian Kualitatif. Cetakan ke enam belas.


Bandung: PT Rosdakarya Offset.

Prawitasari, J.E. (1994). Aspek Sosio-Psikologis Lansia di Indonesia. Buletin


Psikologi No. 1. Halaman 27-34.

45
Rahayu, & Ardani. (2004). Observasi dan Wawancara. Malang: Bayumedia
Publishing

Yayasan Pembinaan Asuhan (2016). Tentang Yayasan J.S. Nasution. Di akses


pada tanggal 5 Oktober 2019 dari http://ypabjabar.blogspot.com/2016/06/yayasan-
pembinaan-asuhan-bunda.html

46

Anda mungkin juga menyukai