Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN INTERVENSI NEURO LINGUISTIC PROGRAMMING (NLP)

UNTUK KASUS WANITA DENGAN GANGGUAN TRAUMA

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikoterapi

Dosen Pengampu :

Kartika Sari Dewi, S.Psi, M.Psi, Psikolog

Disusun oleh :

Shaskia Rezky Elvira 15000117140093


Rahmadhani Suryapratiwi 15000117140132
Ainindhita Puteri Mentaritimur 15000117130155
Triasti Sa’adiah 15000117130159

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

2019
BAB I

ILUSTRASI KASUS

Klien D adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Dua orang adiknya adalah laki-laki.
Klien dibesarkan langsung oleh kedua orang tuanya dengan berbagai permasalahan yang cukup
rumit. Keluarga klien bisa dikatakan sebagai keluarga yang memiliki masalah yang kompleks.
Ayahnya memiliki gangguan tempramen hingga pernah dipenjara selama 15 tahun, ibunya
memiliki pola komunikasi yang negatif, suka menyalahkan anak-anaknya, dan mendebat suaminya
atau ayah klien tentang masalah-masalah yang kecil. Hal ini berpengaruh pada adik klien yang
kedua, memiliki indikasi gangguan afektif bipolar. Adik keduanya pernah mengalami depresi berat
pada tahun 2002 ketika dia tidak mampu menyelesaikan studi SMTA. Pada waktu itu, adik
keduanya sering mengurung diri dalam kamar, pesimis, sering menangis, tidak mau bergaul
dengan orang lain, dan pendiam dibanding sebelumnya. Sementara itu, adik klien yang bungsu
memiliki riwayat penyalahgunaan napza. Berkaitan dengan masalah yang dialami klien, dia
mengeluhkan kecemasan yang tinggi jika mau tampil di depan publik. Kecemasan itu semakin
tinggi khususnya di depan publik yang diisi oleh audiens orang dewasa. Hal ini merupakan dampak
dari pengalaman traumatik tampil di depan publik saat ia SD. Pada waktu klien berusia tujuh tahun,
tepatnya kelas 1 SD, dia tampil pada salah satu acara menari. Saat tampil dia diejek oleh penonton,
yaitu teman-teman sekolahnya. Dalam pikirannya, peristiwa itu sering teringat dan menimbulkan
ketakutan jika terbayang kondisi yang dianggapnya sangat memalukan tersebut.
BAB II

RANCANGAN TERAPI

A. Neuro Linguistic Programming (NLP)

Ditinjau dari asal-usul kata, neuro linguistic programming terdiri atas tiga buah kata, yaitu
neuro, linguistic dan programming. Kata neuro berasal dari bahasa Inggris, artinya saraf,
linguistic berarti bahasa, sedangkan programming bermakna pemrograman.
Definisi NLP dalam Encyclopedia of Systemic NLP and NLP New Coding adalah pola-pola
atau pemrograman yang diciptakan dari hubungan antara otak (neuro), bahasa (linguistic) dan
kondisi tubuh (body state). Ditinjau dari perspektif NLP, hubungan tersebut akan
mempengaruhi perilaku manusia yang efektif dan tidak efektif, dan sangat memengaruhi
pembentukan mental individu yang adjustment dan maladjusment . (Dilts, 2000)
Dapat disimpulkan bahwa NLP merupakan pemrograman pikiran dengan menggunakan
bahasa sebagai medianya, baik melalui bahasa verbal maupun nonverbal sehingga dapat
menghasilkan pikiran dan perilaku. Dengan kalimat lain NLP adalah pengaruh yang
ditimbulkan oleh bahasa terhadap pikiran dan perilaku seseorang. Dalam NLP, bahasa verbal
dan nonverbal memiliki kedudukan yang sama sebagai sumber informasi yang akan
memengaruhi perilaku.
Kerangka kerja NLP dalam diri individu digambarkan terjadi pada saat individu menerima
informasi. Sebagaimana dikemukakan Elfikly (2007) bahwa NLP membantu seseorang dalam
berkomunikasi dengan dirinya sendiri secara lebih baik, mengurangi ketakutan tanpa alasan,
serta mengontrol emosi negatif dan kecemasan.
Harris (2003) memberikan penjelasan tentang kerangka kerja NLP dengan versi NLP
merupakan rangkaian pengalaman. Rangkaian ini terdiri atas lima unsur yang berkontribusi
terhadap sebuah performance yaitu hasil (outcome), perilaku, mental, emosi, keyakinan, dan
nilai. Kelima unsur ini berkaitan erat dan membentuk sebuah sistem, sehingga unsur internal
(pikiran dan perasaan) akan memengaruhi perilaku, dan perilaku akan menghasilkan sebuah
hasil (outcome).
NLP ini dikembangkan pada tahun 1970-an sebagai cara untuk terapi perilaku/emosi
dengan cara memberikan instruksi di alam bawah sadar, misalnya dalam kasus di mana
seseorang ingin menghilangkan perilaku tertentu dan menggantinya dengan perilaku yang
lebih baik.
Seseorang dapat memanipulasi organ indranya untuk mengubah persepsinya tentang
sesuatu atau situasi. Dengan terapi NLP, seseorang dapat memiliki emosi yang
diinginkan/respons psikologis, misalnya disaat individu memiliki pengalaman traumatis di
masa lalu, NLP dapat membantu untuk mengubah cara individu dalam mengingat pengalaman
traumatis itu, misalnya berupa mengubah intensitas warna, kecerahan lingkungan atau yang
lainnya menjadi ingatan yang tidak traumatis & tidak terlalu mengancam dan pastikan bahwa
pengalaman yang terakhir adalah apa yang tertinggal di benak seseorang.
Sejumlah teknik yang digunakan oleh para praktisi NLP meminjam banyak dari psikologi
dan psikoterapi. Beberapa teknik yang paling sering digunakan adalah submodalitas,
anchoring, swish pattern ,reframing, six step framing.
Berikut adalah teknik-teknik yang sering digunakan dalam NLP :
a. Submodalitas
Ada dua tipe submodalitas: analog dan digital. Submodalitas digital adalah off atau
on. Misalnya, suatu gambar mental berada dalam posisi apakah bergerak atau diam. Tidak
ada posisi tengah. Di sisi lain, submodalitas analog sangat bervariasi di antara ujung-ujung
paling ekstrim. Bunyi bervariasi sepanjang kondisi diam/hening/senyap hingga nyaring.
Mayoritas submodalitas adalah analog, hanya beberapa yang digital.
Kata-kata yang digunakan seseorang bisa mengungkap bagaimana ia
merepresentasikan hal-hal secara internal. Hal ini juga berlaku dalam submodalitas.
Beberapa contoh khasnya adalah, “Saya mendengar Anda dengan sangat jelas dan nyaring.”
atau “Kita baru menggali permukaannya”. Atau “Masa depannya masih suram”. Hal-hal
yang kita ucapkan sering mencerminkan tidak hanya predikat-predikat spesifik indrawi
tetapi juga sub-sub-modalitas terkait. Mereka memberi pendalaman lebih persis terhadap
apa yang sedang dipikirkan orang dan bagaimana mereka mengodekannya secara internal.
Hubungan seperti ini juga kadang-kadang tampak dalam komunikasi non verbal.
Misalnya, orang sering mengindikasikan tempat yang pasti atas gambaran di mata otaknya
dengan cara menunjuk langsung. Atau menggunakan tangan untuk mendefiniskan bentuk
sesuatu.
Memahami submodalitas berguna untuk Anda bisa memilih cara mengodekan masa
lalu dan masa depan Anda. Dalam melakukan itu, Anda bisa mengubah pemaknaanya dan
membuat memori atau impian itu menjadi lebih intens, kredibel, gampang dikenang, dan
diinginkan, atau sebaliknya-menjadi kurang intens, kredibel, dikenang, dan diinginkan.
b. Anchoring
Anchor berarti jangkar. Jangkar adalah, nada suara atau sentuhan tapi bisa
merupakan visual yang unik, auditori, kinestetik, atau rangsangan penciuman (gustatory).
Anchoring adalah proses dimana suatu keadaan tertentu atau respon dikaitkan (berlabuh)
dengan jangkar unik. Teknik NLP dari anchoring ini dipinjam dari prinsip pengkondisian
klasik, sebagaimana dikembangkan oleh Pavlov, seorang psikolog Rusia sekitar 100 tahun
yang lalu. Seorang psikoterapis mungkin menjangkar keadaan positif seperti ketenangan
dan relaksasi, atau keyakinan dalam pengobatan fobia dan kecemasan, seperti berbicara di
depan umum (Biswal & Prusty, 2011). Jadi anchoring dipakai untuk mengatasi masalah
saat ini untuk digunakan di masa yang akan datang.
c. Swish pattern
Swish adalah proses mengganggu pola pikiran dari satu yang mengarah ke perilaku
yang tidak diinginkan ke salah satu yang mengarah pada perilaku yang diinginkan. Hal ini
melibatkan memvisualisasikan sebuah 'isyarat' yang merupakan bagian dari perilaku yang
tidak diinginkan. Misalnya, tangan perokok dengan rokok bergerak ke arah wajah, dan
kemudian 'beralih' ke visualisasi dari hasil yang diinginkan, seperti orang terlihat sehat,
energik dan bugar.
d. Framing
Framing adalah proses dimana unsur komunikasi disajikan sehingga menggeser
persepsi individu tentang makna atau "frame" dikaitkan dengan kata, frasa dan peristiwa.
Framing adalah dasar dari lelucon, mitos, legenda, dongeng dan cara paling kreatif dalam
berpikir (O 'Connor, 2001). Konsep ini berbeda dengan sejumlah terapi sebelum NLP
(Sharpley, 1987). Framing membantu mengubah tanggapan dan perilaku dengan
mengubah cara peristiwa tersebut dilihat. Jadi framing adalah cara untuk mengganti makna
suatu peristiwa dengan pemaknaan yang baru yang lebih positif.
e. Six step framing
Kegiatan ini merupakan kelanjutan dari kegiatan ketiga Framing. Partisipan diajak
untuk mengidentifikasikan masalah yang ingin diselesaikan. Kemudian membangun
komunikasi dengan bagian yang bertanggung jawab terhadap perilaku tersebut. Setelah
membangun komunikasi maka partisipan mengajak masalah-masalah yang diselesaikan
untuk berdialog, bertujuan untuk menghasilkan “outcome” yang disetujui semua “bagian”
dan hasilnya bermanfaat bagi partisipan bersangkutan.
B. Treatment Plan
1. Identitas

Klien adalah seorang wanita yang berada di masa dewasa, merupakan anak pertama
dari 3 bersaudara.
2. Rancangan Asesmen

a. Observasi
Observasi dilakukan bersamaan ketika melakukan wawancara dengan mengamati
dan mencatat gerak-gerik subjek yang sekiranya tidak sesuai dengan jawaban yang
diberikan. Selain itu, observasi dilakukan di lingkungan tempat tinggal (keluarga),
lingkungan kerja, dan komunitas subjek.
b. Wawancara
Wawancara dilakukan pada subjek langsung. Tujuan dilakukannya wawancara
adalah untuk menggali informasi lebih dalam mengenai permasalahan yang dialami
subjek. Wawancara dilakukan secara semi terstruktur, yaitu peneliti melakukan
probing-probing di luar panduan wawancara yang disusun. Berikut panduan
wawancara untuk klien:
1) Coba ceritakan gambaran permasalahan yang Anda alami!
2) Bagaimana gambaran pengalaman masa lalu Anda yang memengaruhi
keadaan Anda saat ini?
3) Coba ceritakan mengenai keluarga Anda!
3. Simtom

Ketika tampil di depan umum, klien mengalami gejala fisiologis yang parah, seperti
detak jantung kencang, suara tertahan, bibir bergetar, mual/muntah, badan sangat dingin.
Menurut DSM V (2013), berikut kriteria B PTSD: gejala intrusi. Kriteria ini
berfokus pada gejala gangguan: kriteria ini membantu terapis dan klien dengan diagnosis
PTSD dengan menentukan bagaimana klien kembali mengalami kejadian traumatis.
a. Peristiwa traumatis ini terus-menerus dialami kembali dengan cara berikut: (hanya
satu gejala yang harus dipenuhi untuk memenuhi kriteria diagnosis PTSD ini)
b. Pikiran yang mengganggu: Ingatan berulang, tidak disengaja, dan mengganggu.
Catatan: Anak-anak di atas enam tahun mungkin mengungkapkan gejala ini dalam
permainan yang berulang-ulang. Pikiran yang tidak diinginkan dan tidak
menyenangkan ini terus berlanjut dan sangat sulit menghentikan mereka untuk
bermunculan.
c. Mimpi buruk. Catatan: Anak-anak mungkin memiliki mimpi yang menakutkan tanpa
konten yang berkaitan dengan trauma. Dengan cara apa pun, mengalami mimpi buruk
setelah mengalami sesuatu yang traumatis adalah pertanda.
d. Reaksi disosiatif (mis., kilas balik) yang mungkin terjadi pada rangkaian dari episode
singkat sampai hilangnya kesadaran. Catatan: Anak-anak dapat mengaktifkan
kembali kejadian dalam permainan. Orang mungkin memiliki pengalaman di mana
mereka merasa tidak nyata, seolah-olah mereka tidak lagi mengendalikan tubuh
mereka. Respon tubuh dan otak ini adalah strategi bertahan ‘ekstrim’ untuk
mengurangi rasa sakit emosional/mental pada saat itu.
e. Gangguan berat atau berkepanjangan setelah terpapar pengingat terhadap kejadian
traumatis.
f. Tanda reaktivitas fisiologis setelah terpapar rangsangan yang terkait trauma.
4. Diagnosis

Dari asesmen yang telah dilakukan, yaitu observasi, wawancara, dan pemberian
skala kecemasan social, klien didiagnosa menderita gangguan PTSD tipe B atau post
traumatic syndrome disorder. Hal ini diperkuat dengan kriteria DSM V yang hampir
mengarah pada gejala-gejala yang dialami klien.
5. Dinamika psikologis

Berkaitan dengan masalah yang dialami klien, dia mengeluhkan kecemasan yang
tinggi jika mau tampil di depan publik. Kecemasan itu semakin tinggi khususnya di depan
publik yang diisi oleh penonton atau audience orang dewasa. Kesibukan klien sebagai
tentor di salah satu lembaga pend/idikan membutuhkan kesiapan yang prima untuk tampil
di depan publik. Namun, apabila tampil di depan publik yang diisi oleh audience anak-
anak didik di lembaga belajar tempat klien bekerja, kecemasan itu tidak dirasakannya
berlebihan dan masih bisa dikendalikan. Hal itu berbeda dengan kondisi audience orang
dewasa, klien pernah mengalami gejala fisiologis yang parah, seperti detak jantung
kencang, suara tertahan, bibir bergetar, mual/muntah, badan sangat dingin. Bahkan
beberapa kali alami kejadian itu, klien berusaha keras untuk menghindari presentasi di
depan public.

6. Rancangan Terapi

SESI KEGIATAN TUJUAN


1 Identifikasi State Positif Penulis meminta klien untuk
mengingat salah satu
pengalamannya yang
menyenangkan, misalnya
ketika dia membaca Quran.
2 Bayangkan dengan nyata, dengarkan Penulis meminta klien untuk
dan rasakan sampai benar-benar membayangkan secara
seolah berada dalam situasi itu mendalam kondisi ketika dia
membaca Quran itu. Warna
apa yang dia lihat, bau yang
dia hirup, suara yang dia
dengar, dan perabaan kulit
yang dia rasakan. Penulis
instruksikan klien untuk
melakukannya secara tenang
dan mendalam.
3 Tarik nafas dalam-dalam, sesaat Penulis memperhatikan dada
sebelum mencapai puncak, dan perut klien, ketika dia
lakukanlah proses Anchoring menarik nafas dalam-dalam,
penulis menekan titik Anchor
di telapak tangan kanan klien.
4 Perlahan-lahan lepaskan titik Anchor Klien diminta untuk
membuang nafas
5 Pengulangan disertai break state Penulis meminta klien
mengulangi penanaman titik
Anchor ini sebanyak 4 – 8 kali
dengan adanya break state
secukupnya antara setiap sesi.
Break state adalah sesi dialog
dan interaksi dengan klien
tentang apa yang dia rasakan
ketika proses Anchoring itu
dilakukan.
6 Penutup Penulis meminta klien
melakukan percobaan
terhadap titik Anchor itu
secara mandiri pada saat
tarikan nafas berada di puncak
dan menekan titik Anchor agar
merasakan perbedaannya
secara langsung
BAB III
ROLE PLAY

A. Skenario Role Play

OPENING

B “Assalamualaikum mba..”

A “Waalaikumsalam mba, dengan mba Dhita bukan? sini mba masuk-masuk..duduk


dulu ya” (bersalaman)

B “Iya mba..”

A “Gimana mba hari ini? Lancar? Atau ada sesuatu yang ingin diceritakan terlebih
dahulu mungkin sebelum menuju sesi terapi?

B “Emm.. Alhamdulillah..MashaAllah sekali hari ini lancar..semua baik dan tidak ada
hal yang aneh-aneh mba haha. Saya rasa bisa langsung lanjut ke sesi terapi”

A “Okay kalau begitu baik mba Dhita, karena ini sesi pertama terapi bagi mba Dhita..
saya harap mba Dhita mampu memahami betul proses terapi ini ya..karena akan
sangat baik apabila mba Dhita mampu menerapkan terapi ini secara mandiri.”

B “Oh seperti itu ya mba? jika Allah memberi saya kesempatan InshaAllah saya mampu
memahaminya mba Rahma..”

BODY

A “Mantab Ukhti! Ohya sebelumnya, saya sangat berharap pada sesi kali ini mba Dhita
untuk konsentrasi yang penuh ya. Kalau begitu, sudah siap mba? (saat memulai, suara
terapis diperlembut dan diperdalam dengan intonasi lambat)

B “InshaAllah mba Rahma, saya akan berusaha!”


A “Coba mba tarik nafas dalam terlebih dahulu..kemudian keluarkan secara perlahan.
Berulang kali hingga mba cukup merasa rileks di tempat mba duduk. Nah, sekarang..
mba coba bayangkan suara apa yang mampu membantu mba Dhita lebih rileks?”

B “Emm.., suara air sungai saya rasa mba”

A “Baik kalau begitu, sekarang mba bisa mulai untuk menutup mata sambil menarik
nafas yang panjang dan mengeluarkannya secara perlahan-lahan untuk membantu
anda rileks” (terapis memulai Sound Therapy dengan memutar suara air sungai
sembari memberi jeda untuk instruksi selanjutnya)

“Baik mba Dhita, anda dimohon untuk fokus mendengarkan suara saya..rilekskan
pikiran dan tubuh anda..hanya focus pada suara saya..”

“Saya meminta anda untuk mengingat secara menyeluruh..secara sangat mendalam..


tentang aktivitas membaca Qur’an yang membuat anda senang..”

“Bayangkanlah secara nyata disaat anda membaca Qur’an.. rasakan sampai anda
benar-benar dalam situasi tersebut.”

“Bayangkan harum yang timbul.. bayangkan warna yang anda lihat disekitar anda,
bagaimana kulit-kulit anda merasakan suasana membaca Qur’an, suara-suara yang
muncul disaat anda membacanya. Mba Dhita.. bayangkan semua hal tersebut dengan
sangat tenang..dan mendalam.”

“Sekarang saya minta anda untuk deskripsikan pada saya.. apa yang anda bayangkan.
Tetap atur nafas, tarik yang dalam dan keluarkan perlahan”

B “Saya melihat warna-warna cerah, saya juga mencium wangi mawar dan juga
melati..” (saat ini terapis memulai anchoring dengan menekan titik telapak tangan
kanan klien sesuai dengan tarikan dan hembusan nafas klien)

A “Oke, sekarang coba anda deskripsikan pada saya warna-warna cerah seperti apa yang
anda lihat..”
B “Emm, putih.. dan mungkin juga kuning keemasan”

A “Oke baik mba Dhita, sekarang mba coba bayangkan lagi suara apa yang
muncul..bagaimana kulit-kulit anda merasakan situasi tersebut.”

B “Saya merasa..suasana yang dingin dan sejuk mba. Saya juga mendengar suara
burung-burung, gesekan rumput yang bertemu angin.. dan juga suara air yang tenang”

A “Baik mba Dhita sekarang saya minta anda untuk mengulangi apa yang saya lakukan
tadi, di telapak tangan kanan anda sembari anda membayangkan suasana
menyenangkan disaat membaca Qur’an.”

“Dengarkan instruksi saya, anda lakukan titik penekanan tersebut pada puncak tarikan
nafas anda..kemudian lepaskan titik tersebut secara perlahan sesuai dengan hembusan
nafas anda. Iya begitu..bagus mba Dhita.”

“Nah, baik mba Dhita. Sekarang anda bisa berhenti menekan telapak tangan anda dan
mba Dhita sekarang bisa membuka mata. Coba jelaskan pada saya, bagaimana
perasaan anda membayangkan membaca Qur’an?”

B “Saya merasa sangat tenang.. saya benar-benar merasa suasana sekitar saya sangat
sejuk.”

A “Apakah mba merasa pengalaman membayangkan membaca Qur’an membuat anda


senang?”

B “Iya.. saya merasa senang mba”

A “Apa yang mba rasakan disaat saya dan mba sendiri melakukan titik penekanan di
telapak tangan kanan mba tadi?”

B “Saya merasa makin mengantuk mba haha”

A “Haha, tidak apa-apa mba. Itu respon fisiologis yang wajar kok mba dari terapi ini. Itu
juga menandakan kalau mba itu mampu untuk rileks”
CLOSING

B “Oh begitu ya mba. Ohya mba, jadi sesi tadi saya bisa terapkan dimanapun?”

A “Iya betul sekali mba Dhita, anda bisa manfaatkan teknik tadi untuk membantu anda
lebih rileks, tidak Coba mulai sekarang kalau mba merasa cemas sebelum berbicara
depan banyak orang, bayangkan saja membaca Qur’an dan lakukan titik penekanan
tadi.”

B “Ooh, begitu ya mba Rahma.. baik mba InshaAllah saya manfaatkan teknik tadi pada
kehidupan sehari-hari saya.”

A “Karena sesi kali ini sudah habis, 2 minggu lagi saya buatkan pertemuan dengan mba
Dhita untuk melihat progress terapi, bagaimana mba Dhita?”

B “Iya mba, kebetulan saya minggu depan juga banyak seminar. Saya tidak sabar
mencoba menerapkannya mba.. terimakasih untuk sesi kali ini. Saya merasa mood
saya jadi lebih baik. Kalau begitu saya pamit ya mba Rahma..”

A “Syukur sekali kalau begitu mba. Iya, hati-hati ya mba Dhita..”


DAFTAR PUSTAKA

Diagnostic and Statical Manual of Mental Disorders (5th ed.). (2013). American Psychiatric Association.

Hidayat, B. (2009). Aplikasi Psikoterapi Neuro Linguistic Programming (NLP) dengan Intensifikasi
Modalitas Positif Individu Berupa Perilaku Beribadah Terhadap Penyembuhan Gangguan
Trauma. Jurnal Fakultas Psikologi UIN Sultan Syarif Kasim Pekanbaru, V(2).

Kaplan, & Sadock. (1997). Sinopsis Psikiatri Jilid 2. Jakarta: Binarupa Aksara.

Anda mungkin juga menyukai