Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH BAHASA INDONESIA

PSIKOLOGI DAN ABNORMALITAS LINTAS BUDAYA PADA REMAJA

DOSEN PENGAMPU : HERA SEPTRIANA M.Pd

OLEH
GHEA IVANIA SULAEMAN
(1911020159)
1C

KEPERAWATAN S-1
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2019/2020

1
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas limpah
Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah dalam
bentuk yang sangat sederhana. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas bahasa
Indonesia untuk Ujian Akhir Semester 1, juga karena ingin berbagi kepada pembaca
tentang psikologi. Tidak lupa penulis ucapkan rasa terimakasih pada kedua orangtua
yang telah mendukung penulis hingga dapat berkesempatan mencari ilmu di
Universitas Muhammadiyah Purwokerto ini, Penulis juga ucapkan rasa terimakasih
pada dosen pengampu mata kuliah bahasa Indonesia yaitu Ibu Hera Septriana M.Pd.
karena berkat beliau penulis dapat memahami tentang materi-materi yang diajarkan,
tak lupa rasa terimakasih penulis ucapkan pada teman-teman yang telah
menghabiskan waktu bersama dalam satu semester dalam pembelajaran selama
kuliah ini sehingga kami bisa menyelesaikan tugas makalah untuk UAS ini bersama.
Penulis mohon maaf apabila ketika dibaca pekerjaan ini banyak kesalahan baik
pemakaian kata, penyusunan kalimat, menjelaskan, menguraikan isi atau data yang
kurang lengkap karena penulis masih dalam tahap belajar, kritik dan saran sangat
diharapkan untuk perbaikan pekerjaan kami di masa yang akan datang.
Purwokerto, 29 Desember 2019

Penulis

2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN
BAB II PEMBAHASAN
A. Psikologi dan Ruang Lingkupnya
B. Psikologi Lintas Budaya
C. Abnormalitas Psikologi Terhada Budaya pada Remaja
BAB III PENUTUP
KESIMPULAN
SARAN
DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesehatan mental remaja Indonesia merupakan hal yang sangat penting untuk
diperhatikan oleh setiap individu masyarakat karena remaja merupakan generasi
penerus dan harapan bagi bangsa kelak ketika remaja beranjak menjadi dewasa, bila
masa remajanya memiliki kesehatan mental yang baik maka kelak ketika ia beranjak
dewasa maka dia akan memiliki kepribadian yang tangguh pula. Sama halnya seperti
kesehatan fisik, kesehatan mental juga perlu dijaga dan ditingkatkan. Dengan
sehatnya mental seseorang, maka aspek kehidupan yang lain dalam dirinya akan
bekerja secara lebih maksimal. Kondisi mental yang sehat tidak dapat terlepas dari
kondisi kesehatan fisik yang baik pula. Meskipun begitu, remaja yang memiliki
kesehatan mental yang baik sekalipun tidak bisa bebas dari kecemasan dan perasaan
bersalah dalam dirinya setiap ia menemukan masalah yang baru dan sulit. Bahkan
orang tersebut bisa saja tetap mengalami kecemasan dan perasaan bersalah tetapi
tidak dikuasai oleh kecemasan dan perasaan bersalah itu. Ia sanggup menghadapi
masalah-masalah biasa dengan penuh keyakinan diri dan dapat memecahkan
masalah-masalah tersebut tanpa adanya gangguan yang hebat pada struktur dirinya.
Dengan kata lain, meskipun ia tidak bebas dari konflik dan emosinya sedang tidak
stabil, namun ia dapat mempertahankan harga dirinya. Keadaan yang demikian justru
berkebalikan dengan apa yang terjadi pada orang yang mengalami kesehatan mental
yang buruk. Orang dengan kesehatan mental yang buruk biasanya sering menjadi
sangat tertekan ketika menemui masalah yang baru dan cenderung takut untuk
berhadapan dengan orang lain karena takut menerima respon yang tidak sesuai
dengan yang ia harapkan tentang dirinya. Seseorang yang mengalami kesehatan
mental yang buruk berbeda dalam hal tingkat kesehatan jika dibandingkan dengan
orang-orang yang memiliki kesehatan mental yang baik. Pada orangorang yang

4
mengalami kesehatan mental yang buruk, perasaan-perasaan bersalah kadang-
kadang menguasainya, kecemasankecemasan tidak produktif dan sangat
mengancamnya. Ia biasanya tidak mampu menangani krisis-krisis dengan baik dan
ketidakmampuan ini mengurangi kepercayaan dan harga dirinya. Terkadang
ancaman-ancaman dari dalam dan dari luar mungkin begitu kuat sehingga ia
mengembangkan gangguan tingkah laku tersebut. Tentu saja gangguan ini bisa
berkembang dari gangguan yang ringan sampai pada gangguan yang berat.
Badan Kesehatan Dunia mendefenisikan kesehatan sebagai kondisi dinamis yang
meliputi kesehatan jasmani, rohani, sosial, dan tidak hanya terbebas dari penyakit,
cacat, dan kelemahan. Sehat mental atau psikis merupakan kondisi sehat pikiran,
emosional, maupun spiritual dari seseorang (Adliyani, 2015 dalam Margie Grace Kelly
Tarehy, Arwyn Weynand Nusawakan, Simon Pieter Soegijono, 2019). Jurnal
Keperawatan Muhammadiyah. Journal UM Surabaya. Surabaya). Pendapat lain dari
Semiun (2006) menjelaskan bahwa orang yang sehat secara mental mempunyai sikap
menghargai diri sendiri, memahami dan menerima keterbatasan diri sendiri maupun
orang lain, memahami kenyataan bahwa semua tingkah laku ada penyebabnya dan
memahami dorongan untuk aktualisasi-diri. Sebaliknya sakit mental jika ia
mempunyai emosi yang tidak terkendali, secara kepribadian tidak matang sesuai
usianya, tidak mampu menghadapi tekanan hidup, mempunyai tingkat tekanan
kecurigaan tinggi terhadap orang lain, dan agresif.
Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kesehatan mental seseorang adalah
kondisi sosiodemografi. Komponen demografi digunakan dalam penelitian sosial
dengan variabel seperti komposisi rumah, umur, jenis kelamin, etnis, status
perkawinan, penghasilan, status ekonomi, pekerjaan, status pekerjaan dan agama
(Vaus, 2002). Beberapa hasil penelitian telah menunjukan bahwa indikator-indikator
sosiodemografi (usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, penghasilan,
status perkawinan, agama) dapat mempengaruhi kesehatan mental seseorang

5
(Idaiani, Suhardi & Kristanto (2010; asdadsasda, 2011) Selain itu hasil penelitian dari
(Agung Wahyudi dan Arulita Ika Febriana (2016) dalam Margie Grace Kelly Tarehy,
Arwyn Weynand Nusawakan, Simon Pieter Soegijono, 2019). Jurnal Keperawatan
Muhammadiyah. Journal UM Surabaya. Surabaya.) adanya hubungan antara faktor
resiko jenis kelamin, daerah tempat tinggal, tipe kepribadian, status perkawinan,
status pekerjaan, status sosio-ekonomi, dan faktor pencetus dengan kejadian
skizofrenia. Individu yang sehat secara mental dapat berfungsi secara normal dalam
menjalankan hidupnya khususnya saat menyesuaikan diri untuk menghadapi stressor
yang akan ditemui sepanjang hidupnya (Putri, Wibhawa & Gutama). Syamsu Yusuf
(2007) mendefenisikan stres sebagai perasaan tidak enak, tidak nyaman, atau
tertekan, baik fisik maupun psikis sebagai respon atau reaksi individu terhadap stresor
yang mengancam, mengganggu, membebani, atau membahayakan keselamatan,
kepentingan, keinginan, atau kesejahtraan hidupnya. Kegiatan manusia dan kondisi
mental yang dibentuk dan dikembangkan di berbagai macam lingkungan mungkin
juga berfluktuasi dari satu kelompok ke kelompok lain, macam-macam perbedaan ini
dan tentu saja persamaannya dipelajari oleh psikologi lintas kultural (Gudykunst &
Bond, 1997)
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian dari psikologi serta ruang lingkupnya?
2. Bagaimana psikologi lintas budaya itu?
3. Bagaimana kesehatan mental atau jiwa remaja terhadap psikologi abnormalitasnya
pada lintas budaya?
C. Tujuan
1. Mengetahui serta dapat memahami tentang psikologi dan ruang lingkupnya,
2. Mengetahui tentang psikologi lintas budaya yang ada,
3. Mengetahui kesehatan jiwa atau mental remaja terhadap psikologi
abnormalitasnya

6
7
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Psikologi dan Ruang Lingkupnya


a. Pengertian
Pengertian "Psikologi" berasal dari perkataan Yunani "psyche" yang artinya jiwa, dan
"logos" yang artinva ilmu pengetahuan. Jadi secara etimologi (menurut arti kata)
psikologi artinya ilmu yang mempelajari tentang jiwa, baik mengenai macam-macam
gejalanya, prosesnya, maupun latar belakangnya. Dengan singkat disebut Ilmu Jiwa.
Berbicara tentang jiwa, terlebih dahulu kita harus dapat membedakan antara nyawa
dengan jiwa. Nyawa adalah daya jasmaniah yang keberadaannya tergantung pada
hidup jasmani dan menimbulkan perbuatan badaniah (organic behavior), yaitu
perbuatan yang ditimbulkan oleh proses belajar. Misalnya: insting, refleks, nafsu, dan
sebagainya. Jika jasmani mati, maka mati pulalah nyawanya. Sedang jiwa adalah daya
hidup rohaniah yang bersifat abstrak, yang menjadi penggerak dan pengatur bagi
sekalian perbuatan pribadi (personal behavior) dari hewan tingkat tinggi dan manusia.
Perbuatan pribadi ialah perbuatan sebagai hasil proses belajar yang dimungkinkan
oleh keadaan jasmani, rohaniah, sosial, dan lingkungan. Proses belajar ialah proses
untuk meningkatkan kepribadian (personality) dengan jalan berusaha mendapatkan
pengertian baru, nilai-nilai baru, dan kecakapan baru, sehingga ia dapat berbuat yang
lebih sukses dalam menghadapi kontradiksi-kontradiksi dalam hidup. Jadi, jiwa
mengandung pengertian pengertian, nilai-nilai kebudayaan, dan kecakapan.
Dari tingkah laku orang dapat mengetahui jiwa seseorang. Tingkah laku itu
merupakan kenyataan jiwa yang dapat kita hayati dari luar. Pernyataan jiwa itu kita
namakan geiala jiwa, di antaranya yaitu mengamati, menanggapi, mengingat,
memikir, dan sebagainya. Dari situlah orang kemudian membuat definisi: Ilmu liwa
vaitu ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia. Sebagai imu pengetahuan,
psikologi juga mempunyai sifat-sifat yang dimiliki oleh ilmu pengetahuan pada
umumnya. Karena itu psikologi mempunyai:
a) objek tertentu;
b) metode penyelidikan tertentu;
c) sistematik yang teratur sebagai hasil pendekatan terhadap objeknya.
b. Definisi
Secara umum psikologi diartikan ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia.
Atau ilmu yang mempelajari tentang gejala-gejala jiwa manusia. Karena para ahli jiwa
mempunyai penekanan yang berbeda maka definisi yang dikemukakan juga berbeda-
beda. Di antara pengertian yang dirumuskan oleh para ahli itu antara lain sebagai
berikut:
1. Dr. Singgih Dirgagunarsa
Psikologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia.
2. Plato dan Aristoteles
Psikologi ialah ilmu penge tahuan vang mempelajari tentang hakikat jiwa serta
prosesnyai sampai akhir.
3. John Broadus Watson
Psikologi sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku tampak
(lahiriah) dengan menggunakan metode observasi yang objektif terhadap
rangsangan dan jawaban (respons).

8
4. Wilhelm Wundt
Tokoh psikologi eksperimental berpendapat bahwa psikologi merupakan lmu
pengetahuan yang mempelajari pengalaman-pengalaman yang timbul dalam
diri manusia, sepertii perasaan panca indra, pikiran, merasa (eeling) dan
kehendak.
5. Woodworth dan Marquis
Psikologi ialah ilmu pengetahuan yang mempelajariaktivitas individu sejak
daridalam kandungan sampai meninggal dunia dalam hubungannya dengan
alam sekitar.
6. Knight dan Knight
"Psychology may be defined as the systematic shudy of experence and behavior
huuman and animal, normal and ab normal, individual and social."
7. Hilgert
"Psychology may be defined as the science that studies the behaoior of nen and
other animals"
8. Ruch
"Psychology is sometime defined as the study of man, but this definition is too
brond. The trnuth is that psychology is partly biological science and partly a social
science, overlapping these too major areas i and relating them each other,"
c. Ruang Lingkup Psikologi
Ditinjau dari segi objeknya, psikologi dapat dibedakan dalam dua golongan yang
besar, yaitu:
a. Psikologi yang menyelidiki dan mempelajari manusia.
b. Psikologi yang menyelidiki dan mempelajari hewan, yang umumnya lebih
tegas disebut psikologi hewan.
Psikologi umum ialah psikologi yang menyelidiki dan mempelajari kegiatan-
kegiatan atau aktivitas psikis manusia pada umumnya yang dewasa, yang
normal dan vang beradab (berkultur). Psikologi umum berusaha mencari dalil-
dalil vang bersifat umum daripada kegiatan-kegiatan atau aktivitas psikis.
Psikologi umum memandang manusia seakan-akan terlepas dari manusia yang
lain. Psikologi khusus ialah psikologi yang menyelidiki dan mem pelajari segi-segi
kekhususan dari aktivitas psikis manusia. Hal-hal yang khusus yang menyimpang
dari hal-hal yang umum dibicarakan dalam psikologi khusus. Psikologi khusus ini
ada bermacam-macam, antara lain:
1. Psikologi Perkembangan, yaitu psikologi yang membicarakan
perkembangan psikis manusia dari masa bayi sampai tua, yang mencakup:
a. psikologi anak (mencakup masa bayi);
b. psikologi puber dan adolesensi (psikologi pemuda);
c. psikologi orang dewasa; psikologi orang tua.
2. Psikologi Sosial, yaitu psikologi yang khusus membicarakan tentang tingkah
laku atau aktivitas manusia dalam hubungannya dengan situasi sosial
3. Psikologi Pendidikan, yaitu psikologiyang khusus menguraikan kegiatan
atau aktivitas manusia dalam hubungannya dengan situasi pendidikan,
misalnya bagaimana cara menarik perhatian agar pelajaran dapat dengan
mudah diterima, bagaimana cara belajar dan sebagainya.
4. Psikologi Kepribadian dan Tipologi, yaitu psikologi yang khusus
menguraikan tentang struktur pribadi manusia, mengenai tipe tipe

9
kepribadian manusia. Psikopatologi, yaitu psikologiyang khusus
menguraikan mengenai keadaan psikis yang tidak normal (abnormal)
5. Psikologi Kriminal, yaitu psikologi yang khusus berhubungan dengan soal
kejahatan atau kriminalitas,
6. Psikologi Perusahaan, yaitu psikologi yang khusus berhubungan dengan
soal-soal perusahaan.
Psikologi khusus masih berkembang terus sesuai dengan bidang bidang
berperannya psikologi. Pada umumnya psikologi khusus merupakan
psikologi praktis, yang diaplikasikan sesuai dengan bidangnya. Di samping
psikologi dipelajari secara praktis, psikologi dapat dipelajari secara teoretik.
Psikologi dipelajari secara teoretik apabila dalam mempelajari psikologi itu
demi untuk ilmu itu sendiri, tidak dihubungkan dengan soal praktik.
Sedangkan yang praktik psikologl dipelajari dihubungkan dengan segi
praktik. Dalam segi yang praktis ini orang mencari jalan bagaimana dapat
mempraktikkan psikologi untuk kehidupan sehari-hari. Seperti apa yang
dikemukakan “… is designed especially for the reader who, having some
familiarity with basic principles, may be interested in what psychology can
contribute to practical problem, especially in the field of education,
medicine, lazu and business". (Burt, 1959 dalam Abu Ahmadi, Haji. 2009).
Karena itu, psikologi yang dipelajari secara praktis dapat dipraktikkan dalam
bermacam-macam bidang, misalnya dalam bidang pendidikan (psikologi
pendidikan), dalam bidang industri atau perusahaan (psikologi industri atau
psikologi perusahaan), dalan Psikologi yang berusaha mempelaiari jiwa
manusia, ternyata bidang klinik (psikologi klinik) dan sebagainya. Banyak
mendapat kesulitan, oleh karena objek penyelidikannya tetapi adalah
abstrak, yang tidak dapat diselidiki secara langsung diselidiki keaktitannya
yang terlibat melalui manifestasi tingkah laku atau perbuatan. Dapat
dimisalkan bila kita mempelajari tentang angin, objeknya sendiri secara
langsung tidak dapat dilhat, namun dari keaktifannya, bila ada daun vang
bergerak atau debu beterbangan, maka ia jelas ada; seperti itu pulalah bila
kita mempelajari jiwa. Jadi dalam mempelajari psikologi ini, kita akan
membatasi diri pada tingkah laku manusia, karena manusia adalah makhluk
Tuhan yang tertinggi derajatnya di antara makhluk-makhluk yang lain.

2. PSIKOLOGI LINTAS BUDAYA


Psikologi lintas kultural adalah studi kritis dan komparatif atas efek
kultural terhadap psikologi manusia. Setiap studi dalam psikologi lintas
kutural mengambil kesimpulan setidaknya berdasarkan dari dua sampel
yang merepresentaskan paling tidak dua kelompok kultural. Karena
psikologi lintas kultural adalah soal perbandingan, dan melakukan
perbandingan akan membutuhkan seperangkat keterampilan kritis, maka
studi ini tak bisa dipisahkan dari pemikiran kritis. Psikologi lintas kultural
meneliti diversitas psikologis dan penyebab dasar dari perbedaan itu. Secara
khusus, psikologi lintas kultural mempelajari dari perspektif komparatif—
hubungan antara norma dan perilaku dan cara di mana sebagian aktivitas
manusia dipengaruhi oleh kekuatan sosial dan kultural yang berbeda (Segall
et al, 1990 dalam Shiraev Eric B. & Levy David A., 2012). Misalnya, apakah
orang dari beragam kultur yang selamat dari bencana akan mengalami

10
gejala sakit yang sama? Jika ya (Bemak & Chung, 2008 dalam Shiraev Eric B.
& Levy David A., 2012), dapatkah seorang psikolog memilih terapi yang
ditujukan untuk mengatasi sindrom pascatraumatis di AS dan
menggunakannya untuk lingkungan kultural lain di Sudan atau Iran?
Psikologi lintas kultural mempelajari interaksi antar kultural. Misalnya,
selama beberapa abad, Spanyol bagian selatan dan tengah dikuasai oleh
Arab. Bagaimana Islam dan kultur Arab, pada umumnya, memengaruhi
kultur dan perilaku, tradisi, dan nilai yang dianut oleh orang Spanyol Kristen?
Dapatkah kita melihat jejak pengaruh Arab dalam perilaku individual di
kultur Spanyol dan Hispanik? Mungkinkah untuk mengukur jejak-jejak itu?
Psikologi lintas kultural tidak hanya membahas soal perbedaan antar
kelompok kultural; ia juga membahas hal-hal yang universal secara
psikologis, yakni fenomena yang lazim pada orang di banyak kultur, atau
mungkin semua kultur (Berry et al., 1992; Lonner, 1980). Struktur
kepribadian manusia-pola berpikir, merasa, dan bertindak yang relatif
awet—mungkin contoh dari sisi universal itu. Misalnya, ada persamaan
dalam beberapa komposisi personalitas orang di beberapa negara (seperti,
Jerman, Portugal, Israel, Cina, Korea, dan Jepang). Ciri-ciri universal itu
antara lain neurotisisme, ekstraversi, keterbukaan pada pengalaman
kemauan untuk mufakat, dan kesadaran kritis (Costa & McCrae, 1997).
Temuan ini didukung oleh studi global baru-baru ini (Schmitt et al, 2007).
Penelitian psikologi lintas kultural tidak hanya satu observasi oleh seorang periset,
psikoterapis, atau pekeria sosial. Mendengarkan cerita atau menyaksikan kciadian tidak bisa
menggantikan perbandingan perilaku dan pengalaman secara sistematis yang diukur dalam
kondisi kultural yang berbeda. Psikologi lintas kul tural harus mengandalkan pada metode
penelitian ilmiah modern. Bagaimana perbedaan psikologi lintas kultural dengan psikologi
kultural? Pertama dan terutama, psikologi kultural berusaha mengungkap hubungan ber.
makna antara kultur dan psikologi individu yang hidup di kultur itu. Pesan utama dari psikologi
kultural adalah bahwa perilaku manusia itu bermakna hanya jika dilihat dalam konteks
sosiokultural di mana perilaku terjadi (Segall et al, 1999)." Misalnya, seorang psikolog kultural
mungkin ingin mendeskripsikan bagaimanai pandangan religius tertentu mengenai perceraian
akan memengaruhi perilaku dan sikap dari orangtua muda di suatu negara. Atau, seorang
ilmuwan ingin meneliti bagaimana prinsip dasar Islam dipadukan dalam kesadaran dan
personalitas individual (Monroe & Kreidie, 1997). Secara umum, fokus utama dari psikologi
kultural adalah untuk mempelajari apakah, kapan, dan bagaimana individu tumbuh di suatu
kultur tertentu cenderung menginternalisasikan kualitas kultur itu (Cole, 1996). Psikologi
kultural mendukung ide bahwa proses mental pada dasarnya adalah produk dari interaksi
antara kultur dan individual.

3. ABNORMALITAS PSIKOLOGI TEHADAP BUDAYA PADA REMAJA


Menurut WHO masa remaja adalah usia 10 – 19 tahun. Pada fase tersebut terjadi
perubahan yang amat pesat baik dalam fase biologis dan hormonal, maupun bidang psikologis
dan sosial. Dalam proses dinamika ini dapat dikemukakan ciri remaja yang normal adalah
sebagai berikut:
1) Tidak terdapat gangguan jiwa (psikopatologi) yang jelas atau sakit fisik yang parah,
2) Dapat menerima perubahan yang dialami, baik fisik maupun mental dan sosial,
3) Mampu mengekpresikan perasaanya dengan luwes serta mencari penyelesaian terhadap
masalahanya,

11
4) Remaja mampu mengendalikan diri sehingga dapat membina hubungan yang baik dengan
orang tua, guru, saudara, dan teman-temannya,
5) Merasa menjadi bagian dari satu lingkungan tertentu dan mampu memainkan perannya
dalam lingkungan tersebut.
Dengan demikian kesehatan jiwa remaja meliputi:
1) Bagaimana perasaan remaja terhadap dirinya sendiri (dapat menerima diri apa adanya),
2) Bagaimana perasaan remaja terhadap orang lain (dapat menerima orang lain apa adanya),
3) Bagaimana kemampuan remaja mengatasi persoalan hidup sehari-hari.
Masa remaja dapat dibagi 3 (tiga) tahapan yaitu masa remaja awal, remaja pertengahan,
dan remaja akhir. Ciri yang paling nyata dari masa remaja ádalah mereka cepat tinggi.
Selama masa kanak-kanak, anak perempuan, dan laki-laki secara fisik tampak mirip kecuali
hanya perbedaan genetalia. Perkembangan remaja terdiri secara fisik, psikososial, dan moral.
Sigmund freud menyebutkan masa remaja sebagai periode di mana libido atau energi seksual,
yang tetap laten selama bertahun-tahun masa para remaja, dihidupkan kembali. Dorongan
seksual dicetuskan oleh androngen tertentu, seperti testoteron yang mempunyai kadar lebih
tingi selama masa remaja dibandingkan dengan masa manapun di dalam hidupnya. Puncak
dorong dorongan seksual pada laki-laki terjadi antara usia 17 dan 18 tahun. Masa remaja awal
melepaskan dorongan libido paling sering melakukan mantrubasi, statu cara melepaskan
implas seksual (Pastor et al., 2009 dalam Sofwan Indarjo, 2009. Jurnal Kesehatan
Masyarakat. Universitas Negeri Semarang).

Tabel. 1. Perkembangan Fisik Remaja Normal

Perempuan Laki - laki


Pertumbuhan pesat (10 – 11 tahun) Pertumbuhan pesat (12 – 13 tahun)
Perkembangan payudara (10 – 11 tahun) Testis dan skrotum (11 – 12 tahun)
Rambut pubis (10 – 11 tahun), rambut Penis (12 – 13 tahun)
ketiak Ejakulasi (13 – 14 tahun)
dan badan (12 – 13 tahun) Rambut pubis (11 – 12 tahun), rambut
Pengeluaran sekret vagina (10 – 13 tahun ketiak
Produksi keringat ketiak (12 – 13 tahun) dan badan (13 – 15 tahun), kumis,
Mentruasi (11 – 14 tahun) cambang
dan jenggot (13 – 15 tahun)
Perkembangan kelenjar keringat ketiak
(13 –
15 tahun)
Suara pecah dan membesar (14 – 15
tahun)

Kesehatan jiwa atau mental health atau mental hygiene (dalam undang-undang nomor 23
tahun 1992 pasal 24,25,26 dan 27) merupakan kondisi mental (jiwa) yang sejahtera yang
memberikan dampak kepada kehidupan yang harmonis dan produktif. Ciri- ciri individu yang
sehat jiwa secara umum,
1) memiliki kesadaran yang penuh tentang kemampuan yang dimiliki mental atau jiwa,
2) kemampuan menghadapi dan mengelola stress/tekanan kehidupan secara wajar,

12
3) mampu beraktivitas atau bekerja dengan produktif untuk mencukupi kebutuhan hidupnya,
4) memiliki kemampuan berperan serta kepada lingkungan,
5) kemampuan menerima diri apa adanya,
6) memiliki kemampuan memelihara rasa nyaman kepada orang lain (dalam Indarjo, S., 2009
dalam Lubis Layla Takhfa dkk. 2019. Jurnal Agama dan Ilmu Pengetahuan P-ISSN 1412-5382
Vol. 16 No. 2.). Jadi, bagi setiap manusia pada setiap tahapan perkembangan membutuhkan
kesehatan mental yang baik melalui ciri-ciri jiwa yang sehat di atas, khususnya remaja yang
seringkali mengalami hambatan dalam mencapai kesehatan mental dalam tahapan
perkembangan mereka.

Prevalensi kesehatan jiwa di Indonesia adalah 18,5 %, yang berarti dari 1.000 penduduk
terdapat sedikitnya 185 penduduk dengan gangguan kesehatan jiwa atau setiap rumah tangga
terdapat seorang anggota keluarga menderita gangguan kesehatan jiwa. Khusus untuk anak
dan remaja masalah kesehatan jiwa perlu menjadi fokus utama setiap upaya peningkatan
sumber daya manusia, mengingat anak dan remaja merupakan generasi yang perlu disiapkan
sebagai kekuatan bangsa indonesia. Jika ditinjau dari proporsi penduduk, 40% total populasi
terdiri dari anak dan remaja berusia 10 – 16 tahun, tiga belas persen dari jumlah populasi
adalah anak dibawah lima tahun (balita), Ternyata populasi anak dan remaja mengalami
gangguan kesehata jiwa, termasuk antara lain anak dengan tunagrahita, ganguan perilaku,
kesulitan belajar dan hiperaktif. Sebanyak 13,5 % balita merupakan kelompok anak berisiko
tinggi mengalami gangguan perkembangan, sementara 11,7 % anak prasekolah berisiko
mengalami gangguan perilaku. Prevalensi gangguan kesehatan jiwa anak dan remaja
cenderung akan meningkat sejalan dengan permasalahan kehidupan dan kemasyarakatan
yang makin komplek, oleh karena itu memerlukan pelayanan kesehatan jiwa yang memadai
sehingga memungkinkan anak dan remaja untuk mendapatkan kesempatan tumbuh kembang
semaksimal mungkin (Walker, 2002 dalam Dewi Yulia Surya , Safari Hasan S. IP, MMRS, 2018).
PANCASILA, PSIKOLOGI DAN ISLAM: PENGETAHUAN DAN PANDANGAN MASYARAKAT
INDONESIA TERHADAP GANGGUAN KESEHATAN MENTAL REMAJA).

Salah satu tujuan penting dari Psikologi adalah mengumpulkan pengetahuan melalui
penelitian untuk membantu orang-orang yang menderita gangguan psikologis agar dapat
hidup dengan lebih efektif, produktif, dan bahagia (Matsumoto & Juang, 2004). Budaya
memiliki pandangan tersendiri terhadap abnormalitas yang dialami manusia. Antara budaya
yang satu dengan lainnya dapat menerjemahkan abnormalitas dalam bahasa yang berbeda.
Hal ini menyebabkan abnormalitas pada satu budaya tidak dipandang sebaga sesuatu yang
abnormal di budaya lainnya. Misalnya, latah di budaya Indonesia merupakan sesuatu yang
cukup banyak kita temukan dialami oleh orang-orang tertentu. Namun bagi masyarakat Barat,
latah bukanlah sesuatu yang normal karena hal tersebut tidak pernah mereka temukan dalam
kehidupan sehari-hari.

 Definisi Abnormal
Manusia mengembangkan ide-ide, membangun norma-norma perilaku, dan belajar
responsrespons emosional berdasarkan serangkaian budaya yang dimilikinya. Hal ini
menyebabkan orang dari budaya yang berbeda akan memahami gangguan psikologis secara
berbeda pula, dan perbedaan tersebut sering kali berbeda satu sama lain (Shiraev & Levy,
2010). Oleh karena itu, psikolog dan ilmuwan sepakat bahwa budava dan psikopatologi saling

13
terkait, sehingga perilaku abnormal hanya dapat dipahami dalam kerangka budaya di mana
hal tersebut terjadi. Perspektif ini dinamakan cultural relativism (Matsumoto & Juang, 2004).

 Identifikasi Abnormal
Terdapat kesamaan lintas budaya, bahkan universalitas, dalam ada hal. hal yang menjadi
pokok mekanisme psikologis dan pengalaman subjektif dari berbagai gangguan psikologis
(Matsumoto & Juang, 2004). Hal inilah yang kemudian dijadikan landasan dalam
mengidentifkasi abnormalitas pada diri manusia. Ada beberapa pendekatan yang dijadikan
landasan dalam menilai apakah seseorang abnormal atau tidak, yaitu:
1. Pendekatan statistik
Psikolog di Amerika biasanya menggunakan pendekatan statistik atau menggunakan
kriteria-kriteria penurunan atau ketidakefisienan, penyimpangan, atau distress subjektif.
Menggunakan pendekatan statistik, misalnya, kita dapat mendefinisikan perilaku
seseorang sebagai abnormal karena penyimpangan statistik, yaitu jarang terjadi. misalnya
memiliki waham bahwa dirinya adalah binatang, atau berbicara pada orang
mati.Penurunan atau ketidakefisiensian perilaku, misalnya adalah sulit berinteraksi
dengan lingkungan sekitar, atau sulit mempelajari pelajaran, dan lain-lain. Namun, tidak
semua perilaku yang jarang terjadi serta-merta dianggap abnormal. Misalnya, seseorang
yang bisa berbicara 10 bahasa merupakan salah satu yang jarang terjadi, i namun tidak
kita kelompokkan ia ke dalam abnormalitas.Demikian juga i misalnya terlalu banyak
minum dan kecanduan minum minuman keras i merupakan sesuatu yang umum terjadi
di Amerika dan negara-negara berudara dingin lainnya. Bahkan di Papua terdapat
kebiasaan minum minuman keras yang ditiru dari orang-orang kulit putih yang banyak
mereka jumpai selama masa kolonial (Belanda) dan era pertambangan Freeport
(Amerika). Meskipun demikian, kecanduan minum minuman keras dapat kita
kelompokkan ke dalam gangguan penyalahgunaan zat (Matsumoto & Juang, 2004).
2. Inefisiensi peran
Pendekatan tradisional lainnya dalam menentukan abnormalitas berfokus pada
hubungan antara perilaku seseorang dengan penurunan atau inefisiensi saat ia
menjalankan perannya. Dalam berbagaii peristiwa, terlhat bahwa gangguan psikologis
melibatkan penurunan keberfungsian manusia yang serius. Misalnya, seorang dengan
retardasi mental (IQ rendah) kurang mampu menangkap pelajaran sekolah dan sulit
menyesuaikan diri dalam pergaulan. Demikian pula penderita Insomnia (tidak bisa tidur)
akan mengalami penurunan prestasi kerja di kantor. Meskipun demikian, hal ini tidak
selalu terjadi. Misalnya, orang-orang yang mengalami bipolar (manik-depresi)
melaporkan bahwa mereka mengalami peningkatan produktivitas saat sedang dalam
episode manik (Matsumoto & Juang, 2004)
3. Bertentangan dengan norma
Dalam pendekatan ini, kita akan cenderung mengelompokkan seseorang dalam kelompok
abnormal apabila ia menunjukkan perilaku yang tidak sesuai dengan norma. Namun, tidak
semua perilaku menyimpang dapat dimasukkan ke dalam gangguan psikologis. Misalnya,
banyak orang yang percaya bahwa homoseksual adalah penyimpangan, meskipun ia tidak
lagi masuk dalam gangguan mental di Amerika (American Psychiatric Association, 2000
(DSM IV-TR): American Psychiatric Association, 2013 (DSM V)). Di Indonesia sendiri
homoseksual masih dianggap kelainan karena menyimpang dari norma-norma agama. i
Namun, dengan berjalannya waktu, sangat mungkin homoseksual akan dianggap sebagai
sesuatu yang biasa. Hal ini karena norma selalu berubah seiring dengan waktu dan
sifatnya sangat subjektif. Sekarang ini para homoseks Indonesia sudah lebih berani

14
menampilkan diri di depan umum, bahkan mereka sejak lama sudah mempunyai
perkumpulan yang mereka namakan GAYa NUSANTARA. Sesuatu yang dianggap tidak
normal oleh suatu masyarakat atau budaya, atau di masa tertentu, belum tentu dianggap
tidak normal oleh masyarakat dan budaya atau waktu yang lain (Matsumoto & Juang,
2004).
4. Laporan dari pasien sendiri
Bersandar pada laporan dari pasien sendiri mengenai gangguan yang dialaminya juga
merupakan cara untuk mengidentifikasi adanya gangguan kejiwaan, tetapi pendekatan
ini juga menimbulkan permasalahan. Apakah seseorang mengalami distress sebagai
konsekuensi dari perilaku abnormal dapat tergantung pada bagaimana orang lain
memperlakukannya. Misalnya, jika seorang perempuan digambarkan sebagai diejek,
dijauhi, dan dipandang "sakit" karena perilakunya, ia sangat mungkin mengalami distress.
Sebaliknya, jika ia dipandang sebagai seseorang yang memiliki kekuatan spesial dan
diterima oleh lingkungannya, ia mungkin tidak mengalami distress sama sekali
(Matsumoto & Juang, 2004).
5. Penanganan/Pengobatan Terbaik untuk Abnormalitas yang Terjadi
Bagaimana kita mengidentifkasi seseorang abnormal juga berhubungan dengan
penanganan yang akan diberikan kepada orang tersebut nantinya. Tema utamanya
adalah terapi mantera versus terapi medis dari dokter. Di beberapa budaya, keluarga
pasien yang menderita gangguan mental membawanya ke dukun untuk memperoleh
penanganan. Misalnya, dengan melakukan ritual-ritual tertentu selama beberapa waktu
maka pasien diharapkan akan sembuh. Namun, terkadang ritual-ritual tersebut tidaki
mampu menyembuhkan karena adanya kondisi-kondisi yang dipersyaratkan tetapi tidak
tercapai. Contohnya, pasien ternyata bukan perjaka/perawan seperti yang
dipersyaratkan sehingga ritual yang dilakukan tidak dapat menyembuhkan. Di sisi lain,
dokter juga menawarkan perawatan medis yang terdiri dari obat-obatan yang harus
diminum pasien secara tepat waktu dan dalam dosis yang tepat. Namun, kondisi ini juga
disertai dengan syarat syarat tertentu. Misalnya, pasien harus mengonsumsi obatnya
selama 3 bulan dan kontrol ke dokter. Kalau tidak dilaksanakan dengan disiplin, maka
penyembuhan tidak akan terjadi. Sebaliknya apabila obat telah habis dan gejala masih
muncul, maka dokter akan memberikan resep obat kembali.i Perawatan mana yang lebih
baik sangat bergantung dari bagaimana kita memandang abnormalitas yang teriadi.
Misalnya, kita percaya bahwa pasien mengalami abnormalitas karena ia diganggu roh
jahat, maka kita cenderung membawanya ke dukun atau "orang pintar" dibandingkan ke
dokter untuk mendapatkan pengobatan yang sesuai. Namun, apabila kita memandang
pasien mengalami abnormalitas karena kerentanannya terhadap stres, kita cenderung
membawanya ke psikiater atau psikolog untuk mendapatkan penanganan yang
diperlukan agar pasien kembali dapat beraktivitas.

Berikut ini dikemukakan beberapa pengertian menyangkut istilah-istilah tersebut, seperti


dikemukakan Kendal dan Norton (1982) meskipun secara umum istilah-stilah itu
mengartikan suatu konsep dasar yang sama saja. Mungkin terdapat sedikit penekanan
yang berbeda, namun perbedaan itu tidak melahirkan perbedaan pemahaman yang
cukup signifikan, sehingga pada penggunaan sehari-harinya sering berganti-ganti, sebagai
berikut:
1. Perilaku abnormal (abnormal behavior)
Digunakan untuk menggambarkan tampilan kepribadian dalam (inner personality) atau
perilaku luar (outer behavion) atau keduanya. Yang dimaksudkan dengan istilah ini adalah

15
perilaku spesifik seperti fobio atau pola ganggguan seperti skizofrenia. Demikian juga
dengan masalah kronik atau yang berlangsung lama, seperti intoksikasi obat-obatan
dengan simtom yang akut atau temporer.
2. Perilaku maladaptif (maladaptive behavior)
Merupakan pemahaman perilaku abnormal yang bersifat konseptual,yang memasukkan
setiap perilaku yang memiliki konsekuensi yang tidak diharapkan. Tidak hanya perilaku
psikosis atau neurotis, melainkan juga perilaku bisnis yang tidak etis, prasangka rasial,
alienasi, dan apatis.
3. Gongguan mental (mentafdisorder)
istilah inidigunakan untuk pola perllaku abnormal yang meliputi rentang yang lebar, dan
yang ringan sampal yang berat,
4. Gangguan emosional (emotional disturbance)
Merupakan integrasi kepribadian yang tidak adekuat (memenuhi syarat) dan tekanan
pribadi (distress personal). Istilah ini lebih sering digunakan untuk perilaku maladaptif
pada anak-anak.
5. Psikopatologi (psychopathology)
Diartikan sama atau sebagai kata lain dari perilaku abnormal, psikologi abnormal, atau
gangguan mental.
6. Sakit mental (mentalilness) Diqunakan sebagai kata lain dari gangguan mental. Namun
pengguna annya saat in terbatas pada gangguan yang berhubungan dengan patologi otak
atau disorganisasi kepribadian yang berat.
7. Gangguan mental (mental disorder)
Semula digunakan untuk nama gangguan-gangguan yang berhubungan dengan patologi
otak,tetapi saat inijarang digunakan.Nama ini pun sering digunakan sebagai istilah yang
umum untuk setiap gangguan dan kelainan.
8. Gangguan perilaku (behavior disorder) Digunakan secara khusus untuk gangguan yang
berasal dari kegagalan belajar, baik gagal mempelajari kompetensi yang dibutuhkan
maupun gagaldalam mempelajari pola penanggulangan masalahyang maladaptif.
9. Gila (insanity)
Merupakan istilah hukum yang mengidentifikasikan bahwa individu secara mental tidak
mampu untuk mengelola masalah-masalahnya atau melihat konsekuensi-konsekuensi
dari tindakan-tindakannya. lstilah ini menunjuk pada gangguan mental yang serius.
Terutama penggunaan istilah ini bersangkutan dengan pantas tidaknya seseorang yang
melakukan tindak pidana dihukum atau tidak.

SUDUT PANDANG PERKEMBANGAN KEPRIBADIAN


Telah diutarakan bahawa gangguan jiwa berhubungan dengan masalah penyesuaian diri,
yakin bahwa gangguan terjadi karena adanya kekurangan dalam kualitas penyesuaian diri
atau telah terjadi kesalahan penyesuaian diri atau maladaptive. Dalam hal ini, dilihat dari
sudut perkembangan kepribadian telah terjadi proses perkembangan yang kurang lancar
sehingga masih belum melahirkan kepribadian yang matang, sesuai dengan taraf usianya.
Karena itu abnormalitas bersinonim dengan maladaptif. Penyesuaian diri yang kurang ini
mempunyai kaitan juga dengan taraf perkembangan, sehingga suatu bentuk penyesuaian
diri dapat dianggap normal untuk usia tertentu dan tidak normal untuk usia lainnya.
Sebagai contoh, seorang anak kecil mengambil kue tanpa minta ijin atau bertanya siapa
pemilknya, dapat dianggap wajar saja, normal; tetapi kalau orang dewasa melakukan hal
tersebut dapat dianggap sebagai tidak wajar.Dengan perkembangan lain,dinyatakan
bahwa gangguan kejiwaan ditandai dengan perilaku maldadaptif, dan perilaku maladaptif

16
terjadi ketika orang melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan umurnya. Pendapat ini
mengacu pada kriteria tentang tingkatan IQ Terdapat keberatan atas konsep ini, yakni
bahwa dalam terapannya kepribadian yang kurang matang lebih bersesuaian dengan
perilaku sosial yang kurang sesuai dengan harapan sosial saja,atau dalam diagnosis masa
kini disebut sebagai gangguan kepribadian.Jenis gangguan lainnya tidak terakomodasi
oleh konsep ini. Coleman dan Broen, 1972 dalam Prof. Dr. Wiramihardja Sutardjo. A psi.
2007. Pengantar Psikologi Klinis., telah mengidentifikasikan tujuh ciri gangguan atau
kekurangan, dengan dasar pemikiran 7 ciri perkembangan kepribadian sebagai berikut:
1. Dari tergantung ke pengaturan diri(Dependence to self-direction). Seorang anak yang
baru lahir, sebagai contoh ekstrim,seluruh kebutuhannya tidak dapat dipenuhi oleh
usaha-usahanya sendiri melainkan perlu bantuan orang lain. la tidak mandiri; tetapi kalau
sudah dewasa maka ia dapat menentukan sendiri arah tingkah laku dan kehidupannya.
2. Dari kesenangan ke realitas/pengendalian diri (pleasure to reality/self-control).Seperti
dikemukakan Freud,pada saat masih sangat kecil orang hanya mementingkan
kesenangan saja.Bahkan bisa ditambahkan, kesenangan saat ini di sini. Tapi makin
bertambah umurnya, orang harus lebi mempertimbangkan realitas atau tuntutan-
tuntutan kenyataan. Hal ini juga menggambarkan bahwa seorang yang kekanak-kanakan,
Padahat telah dewasa ,akan lebih banyak berkhayal,berfantasidari bertindak sesuant
dengan kenyataan yang sebenarnya.
3. Tidak tahu ke tahu (ignorance to knowledqe). Pada saat bayi, orang dapat dikatakan
tidak tahu apa-apa sama sekali. Tetapi sejalan dengan pertambahan usia, pengetahuan
dan pengalamannya bertambah sehingga bisa menjadi seorang segala tahu dan segala
bisa.Pengetahuan itu diperukan sebagai referensi untuk pemikiran (pendapat), sikap, dan
tingkah lakunya.
4. Tak mampu ke mampu (incompetence to competence). Dalam perjalanan hidupnya,
seseorang akan bertambah dalam kemampuan atau kompetensinya, baik yang bersifat
intelektual, emosional, sosial, dan kompetensi lainnya. Dalam ranah intelektual, ia
menjadi lebih banyak tahu dan terampil untuk memecahkan permasalahan.Dalam ranah
emosional seorang yang telah matang akan mampu untuk mengendalkan emosi perasaan,
atau tingkah lakunya. Dalam ranah sosial, makin dewasa orang akan makin sosiabel,
makin pandai bergaul dengan berbagai macam pribadi dan minat orang. makin
memahami tuntutan sosial terhadap dirinya, tetapi juga makin tahu lingkungan sosial
mana yang pantas ia masuki dan mana yang tidak.
5. Seksualitas yang kabur ke heteroseksualitas (difusesexualtyto heterosexu ality). Pada
awalnya terdapat kekaburan dan generalisasi dalam seksualitas. Makin dewasa,anak
makin tahu perbedaan antara lak-laki dan perempuan.
Pada tahap berikut adalah lebih memahami fungsi yang berbeda dan bagaimana harus
menyikapi dan memperlakukan perbedaan seksualitas itu. Perkawinan juga merupakan
tanda-tanda kedewasaan.Saat ini terdapat berbagai peningkatan dalam wacana
seksualitas ini, dalam apa yang disebut dengan masalah gender dan kesamaan (equity)
yang berdampak besar pada hampir semua sisi kehidupan. Kearifan manusia makin teruji.
6. Amoral ke moral (immoral to moral). Makin muda manusia makin kurang
memperhatian moralitas. Demikian, maka bayi yang baru lahir tidak memiliki moral,
amoral, karena ia menuntut untuk setiap hal yang memberinya rasa senang, khususnya
fisik, tidak pedull bagaimana cara pemenuhannya,bahkan tidak peduliapakah keinginan
itu wajar atau tidak. Bahkan pada taraf keinginan pun moralitas dapat terlihat. Masalah
buruk dan baik, berdosa atau berpahala,muncul dalam orang dewasa,tidakdalam alam
pikiran dan kehidupan anak kecil atau bayi

17
7. Berpusat pada diri sendiri ke kepada orang lain (self-centered to other-centered). Hal
ini terutama bersangkutan dengan kehidupan sosial, di mana pada awalnya manusia lebih
menjadikan kebutuhan dirisebagai patokan pikiran, sikap, dan tindakannya. Berikutnya
seolah-olah membagi rata antara kebutuhan diri dan kebutuhan orang lain. Pada usia
lebih lanjut, umumnya orang mementingkan orang atau pihak lain.Misalnya seorang
pejabat negara, akan lebih mementingkan rakyatnya daripada dirinyai sendiri.
Selanjutnya, saya, penulis merasa perlu untuk mengemukakan pendapat yang mungkin
bisa dikaji dan dipertimbangkan sebagai tambahan atas pendapat.

2.2DEFINISI NORMAL DAN ABNORMAL I


Secara konseptual keadaan normal sehat dapat dirumuskan sebagai berikut
(Winkel ,1991):
a. Sehat adalah suatu keadaan berupa kesejahteraan fisik, men tal dan sosial secara
penuh dan bukan semata mata berupa absennya atau keadaan lemah tertentu (World
Health Orga nization -WHO).
b. Karl Menninger, seorang psikiater, memberikan rumusan sebagai berikut "kesehatan
mental adalah penyesuaian manusia terhadap dunia dan satu sama lain dengan
keefektifan dan kebahagiaan yang maksimum. Ia bukan hanya berupa efisiensi atau
hanya perasaan puas atau keluwesan dalam mematuhi aturan permainan dengan riang
hati. Kesehatan mental mencakup itu semua. Kesehatan mental meliputi kemampuan
menahan diri, menunjukkan kecerdasan, berperilaku dengan menenggang perasaan
orang lain dan sikap hidup yangi bahagia".
c. H.B. English, seorang psikolog, memberikan rumusan sebagai berikut: "Kesehatan
mental adalah keadaan yang relatif tetap di mana sang pribadi menunjukkan penyesuaian
atau mengalami aktualisasi diri atau realisasi diri. Kesehatan mental merupakan keadaan
positif bukan sekedar absennya gangguan mental".
d. W.W.Boehm, seorang pekerja sosial, mengajukan rumusan sebagai berikut:
"Kesehatan mental meliputi suatu keadaan dan taraf keteribatan sosial yang diterima
oleh orang lain dan memberikan kepuasan bagi orang yang bersangkutan."
Beberapa rumusan di atas menekankan normalitas sebagai ke adaan sehat yang secara
umum ditandai dengan keefektifan dalam menyesuaikan diri, yakni menjalankan
tuntutan hidup sehari-hari sehingga menimbulkan perasaan puas dan bahagia
2. Beberapa Ciri Orang Yang Sehat-Normal Orang yang sehat-normal dan orang yang
tidak sehat mempunyai ciri-ciri yang berbeda dalam berperilaku. Dalam tabel.2 berikut
diuraikan beberapa ciri orang yang mempunyai pribadi sehat-normal.
Tabel 2. Ciri orang mempunyai pribadi sehat-normal.
Aspek Penyesualan Diri Ciri Perilaku
Sikap terhadap diri sendiri Menunjukkan penerimaandiri:
memilikijatidiri yang memadai
positif): memiliki perilaian yang
realistik terhadap berbagai
kelebihan dan kekurangan.
Persepsi terhadap realitas Memililki pandangan yang
realistik terhadap diri sendiri
dan terhadap dunia orang
maupun benda di sekelilingnya.
Integrasi Berkepribadian utuh, bebas
dari konlik-konflik batin yang

18
melum puhkan, memiliki
toleransi yang baik terhadap
stres
Kompetensi Memiliki kompetensi-
kompetensi fisik, intelektual,
emosional, dan sosial yang
memadai untuk mengatasi
berbagai problema hidup
Otonomi Memiliki kemandirian,
tangsung awab dan penentuan
diri ( self determination; self
direction) yang memadai
disertai kemampuancukup
untuk membebaskan diri dari
eneka pengaruh sosial.
Pertumbuhan aktualisasi Menunjukkan
kecenderugandiri ke arah
menjadi semakin matang
kemampuan-kemampuannya
dan mencapai pemenuhan diri
sebagai pribadi

3. Beberapa Kriteria Abnormalitas Sebaliknya, ada beberapa kriteria-baik secara sendiri-


sendiri maupun bersama-sama-dapat dipakai untuk menentukan atau mengukur.
Beberapa kriteria yang dimaksud adalah penyimpangan dari norma statistik
penyimpangan dari norma-norma sosial, gejala "salah suai" (maladjustment) tekanan
batin, dan ketidak matangan (Coleman dalam Winkel 1991).

BEBEKAPA ISTILAH TENTANG PERILAKU ABNORIMAL


Istilah-istilah perilaku abnormal, perilaku maladaptif, gangguan mental, psikopatologi,
gangguan emosional, gangguan keii waan, penyakit jiwa, gangguan perilaku, penyakit
mental, dan ke tidakwarasan sering dipakai secara bergantian untuk secara umum atau
kasar menunjuk gejala yang sama. Padahal, setiap istilah tersebut memiliki nuansa
masing-masing, seperti akan ditun jukkan di bawah ini (Coleman, Butcher & Carson, 1980
Tristiadi Ardi Ardani. 2007. Psikologi Klinis Edisi Pertama. Yogyakarta. Graha Ilmu).
1. Perilaku Abnormal
Istilah ini memiliki arti yang bermacam-macam. Kadang-kadang dipakai untuk menunjuk
aspek batiniah kepribadian, aspek perilaku yang dapat langsung diamati, atau keduanya.
Kadang kadang yang dimaksud hanyalah perilaku spesifik tertentu seperti fobia atau
kategori perilaku yang lebih kompleks seperti skizofrenia. Kadang-kadang diartikan
sebagai problem atau masalah yang bersifat kronik-berkepanjangan atau hanya simtom-
simtom seperti pengaruh obat-obatan tertentu yang bersifat akut dan temporer atau
cepat hilang. Secara kasar sama artinya dengan gangguan mental dan dalam konteks yang
lebih luas sama artinya dengan perilaku maladaptif.
2. Perillaku Maladaftif
Istilah ini memiliki arti luas meliputi setiap perilaku yang mempunyai dampak meragukan
bagi individu dan/atau masyarakat, tidak hanya mencakup gangguan-gangguan seperti

19
neurosis dan psikosis yang bermacam-macam jenisnya melainkan juga berbagal bentuk
perilaku baik perorangan maupun kelompok. Misalnyai praktik bisnis curang, prasangka
ras atau golongan, alienasi atau keterasingan serta apatisme.
3. Gangguan Mental
Istilah ini menunjuk pada semua bentuk perilaku abnormal mulai dari yang ringan sampai
yang melumpuhkan. Ada yang kurang senang dengan istilah ini karena dipandang
mengandaikan adanya dualisme antara jiwa dan badan serta memberikan kesan seolah-
olah selalu terjadi gangguan serius terhadap fungsi kehidupan normal. Namun istilah ini
diterima dan dipakai secara resmi.
4. Psikopatologi
Istilah ini sebenarnya berarti kajian tentang perilaku abnormal atau gangguan mental
namun sering juga dipakai sebagai istilah lain bagi kedua istilah tersebut.
5. Penyakit Jiwa
Istilah ini awalnya diartikan sama dengan gangguan mental namun saat ini dipersempit
dengan hanya mencakup gangguan gangguan yang melibatkan patologi otak atau berupa
disorganisasi kepribadian yang parah. Istilah ini memang cocok bila yang dimaksud adalah
gangguan-gangguan yang benar-benar melumpuhkan. Namun rasanya kurang tepat
untuk jenis-jenis gangguan yang lebih disebabkan oleh proses belajar yang tidak
semestinya.
6. Gangguan Perilaku
Secara khusus istilah ini menunjuk gangguan-gangguan yang disebabkan oleh proses
belajar yang tidak semestinya, seperti gagal mempelajari jenis-jenis kemampuan yang
diperlukan (contoh kemampuan mencintai lawan jenis, memiliki konsep diri yang positif)
atau terlanjur mempelajari bentuk-bentuk perilaku yang maladaptif (contoh anak yang
tumbuh menjadi remaja agresif karena meniru contoh orang tua dan tekanan keadaan di
dalam keluarga yang tidak harmonis).
7. Penyakit Mental
Istilah ini dahulu menunjuk gangguan-gangguan yang berkait an dengan patologi otak
namun sekarang istilah ini jarang dipakai.
8. Ketidakwarasan
Insanity atau ketidakwarasan merupakan istilah hukum dan berarti bahwa individu yang
dikenai predikat tidak waras tersebut secara mental tidak mampu
mempertanggungjawabkan perbuatan-perbuatannya atau tidak mampu melihat
konsekuensi konsekuensi dari tindakan-tindakannya. Akibatnya, jika ia melakukan
perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana terhadapnya tidak dapat
dikenakan tuntutan hukuman. Jelas, istilah ini menunjuk pada gangguan mental yang
serius.

a) Skizofrenia
Skizofrenia adalah gangguan psikologis yang memiliki karakteristik munculnya
delusi (waham), halusinasi, pembicaraan dan perilaku yang ngawur
(disorganized), (Shiraev & Levy, 2010). Di Columbia, India dan Nigeria, skizofrenia
lebih cepat sembuh dibandingkan di inggris, Amerika maupun Uni Soviet. Hal ini
karena di negara-negara ytimur, pasien lebih banyak mendapatkan dukungan
keluargab kerabat dan masyarakat. Dukungan sosial ini membuat pasien lebih
cepat dapat berfungsi normal dan menjalankan perannya dalam kehidupan
sehari-hari. Hal ini menyebabkan prognosis pasien skizofrenia di timur lebih baik
dibandingkan pasien di barat. (Matsumoto & Juang, 2004).

20
b) Cemas
Cemas (ansietas) adalah perasaan gelisah yang dihubungkan dengan suatu
antisipasi terhadap bahaya, ini berbeda dengan rasa takut, yang merupakan
bentuk respon emosional terhadap bahaya yang obyektif, walaupun manifestasi
fisiologik yang ditimbulkannya sama cemas merupakan suatu bentuk
pengalanan yang umum, tapi dapat ditemui dalam bentuk yang berbeda pada
gangguan psikiatrik dan gangguan medis. Diagnosis mengenai cemas ditegakkan
apabila gejala cemas mendominasi dan menyebabkan distres (rasa tertekan)
atau gangguan yang nyata.
c) Depresi
Dalam perkembangan normalpun seorang remaja mempunyai kecenderungan
untuk mengalami depresi. Oleh karena itu sangatlah penting untuk
membedakan secara jelas dan hati-hati antara depresi yang disebabkan oleh
gejolak mood yang normal pada remaja (adolescent turmoil) dengan depresi
yang patologik. Akibat sulitnya membedakan antara kedua kondisi di atas,
membuat depresi pada remaja sering tidak. Terdiagnosis, bila tidak di tangani
dengan baik, gangguan psikiatrik pada remaja sering kali akan berlanjut sampai
masa dewasa. Depresi pada remaja menjadi tipe primer dan sekunder.
Tipe primer: bila tidak ada gangguan psikiatrik sebelumnya, dan tipe sekunder:
bila gangguan yang sekarang mempunyai hubungan dengan gangguan psikiatrik
sebelumnya. Pada gangguan depresi yang sekunder biasanya lebih kacau, lebih
agresif, mempunyai lebih banyak kelehan sometik, dan lebih sering terlihat
mudah tersinggung, putus asa, mempunyai ide bunuh diri, problem tidur,
penurunan prestasi sekolah, harga diri yang rendah, dan tidak patuh (Cederblad,
1999). Depresi kronis yang dialami sejak masa remaja awal, kemungkinan akan
mengalami kelambatan pubertas, terutama pada depresi yang disertai dengan
kehilangan berat badan dan anoreksia. Remaja yang mengalami depresi lebih
sulit menerima atau memahami tanda-tanda pubertas yang muncul. Perubahan
hormonal yang disertai stres lingkungan, dapat memicu timbulnya depresi yang
dalam dan kemungkinan munculnya perilaku bunuh diri. Mimpi basah dan
mimpi yang berhubungan dengan incest (hubungan seksual antar anggota
keluarga), dapat menambah beban rasa bermsalah pada remaja yang depresi.
Periode menstruasi pada remaja wanita yang mengalami depresi, mungkin
terlambat, tidak teratur, atau disertai dengan timbulnya rasa sakit yang hebat
dan perasaan tidak nyaman. Mood yang disforik sering nampak pada periode
pramenstrual. Remaja wanita yang mengalami depresi mungkin merasa murung
(feeling blue), sedih (down in the dump), menangis tanpa sebab, menjadi sebal
hati (sulky and pouty), mengurung diri di kamar, dan lebih banyak tidur.
Disorganisasi fungsi kognitif pada remaja yang bersifat sementara, menjadi lebih
nyata pada kondisi depresi. Pada remaja awal yang mengalami depresi, terdapat
keterlambatan perkembangan proses pikir abstrak yang biasanya muncul pada
usia sekitar 12 tahun. Pada remaja yang lebih tua, kemampuan yang baru
diperoleh ini akan menghilang atau menurun. Prestasi sekolah sering
terpengaruh bila seorang remaja biasanya mendapat hasil baik di sekolah, tiba-
tiba prestasinya menurun, depresi harus dipertimbangkan sebagai salah satu
faktor penyebabnya. Membolos, menunda menyelesaikan tugas, perilaku yang
mudah tersinggung di dalam kelas, tidak peduli terhadap hasil yang dicapai dan
masa depan, dapat merupakan gejala awal dari depresi pada remaja.

21
WHO (1983 dalam Shiraev & Levy, 2010) menemukan bahwa lebih dari
tiga perempat individu di Kanada, Swis, Iran, dan Jepang terdiagnosis dengan
depresi melaporkan simtom-simtom yangi serupa, seperti sedih, tertekan,
kekurangan tenaga, kehilangan minat, merasa tidak berdaya, dan
ketidakmampuan untuk berkonsentrasi. Lebih dari setengah partisipan juga
melaporkan adanya keinginan untuk melakukan bunuh diri (Matsumoto & Juang,
2004). Gejala depresi antarbudaya dapat berbeda-beda. Misalnya, pasien
depresi di Nigeria melaporkan adanya perasaan tidak berguna dan bersalah.
Sementara itu, pasien depresi di Cina melaporkan adanya psiko-somatik
(Klienman, 1988). Ekspresi indigenous dari depresi yang dialami oleh orang
Indian Hopi, antara lain cemas dan patah hati (Manson, Shore, & Bloom, 1985).
Hal ini menunjukkan bahwa depresi memang universal, dapat dialami oleh
seluruh orang di dunia ini, namun penyebab dan ekspresinya sangat dipengaruhi
oleh budaya tempat pasien berada. Meskipun ekspresi depresi dapat berbeda-
beda, namun Marsela (1980 Marsella, Sartorius, Jablensky, & Fenton, 1995)
menyatakan bahwa gejala gejala vegetatif, seperti kehilangan kesenangan, nafsu
makan, atau tidur yan,; terganggu, merupakan gejala yang konstan di semua
budaya. Di sampin itu, depresi lebih sering dialami oleh perempuan
dibandingkan laki-laki. Di Amerika Serikat, depresi paling banyak dialami oleh
orang-orang kelompo usia 15-44 tahun (khususnya, remaja) (Matsumoto &
Juang, 2004).
d) Somatisasi
Somatisasi adalah keluhan-keluhan fisik yang merupakan ekspresi dari
distress psikologis (Matsumoto & Juang, 2004). Gejalanya, antara lain sakit
pencernaan, sakit leher, pusing atau mgran. Orang-orang Timur dianggap
lebih mudah mengalami somatisasi dibandingkan orang Barat. Somatisasi
dianggap sebagai sebuah kode atau penyamaran dari gejala-gejala
psikologis. Namun, pada penelitian terbaru anggapan ini tidak terbukti.
Kirmayer (1985, 2001) menunjukkan bahwa tidak banyak perbedaan pada
tingkat dan jumlah somatisasi dalam lintas budaya. Menurut Lee (2001),
psikiater di Cina percaya bahwa masvarakat Cina tidak menyamarkan gejala
psikologis mereka, melainkan mengungkapkan gejala tersebut dalam
konteks hubungan dokter pasien. Di samping itu, koeksistensi gejala
psikologis dan gejala fisik yang ditunjukkan tersebut juga sejalan dengan
filosofi Cina. Hal ini karena perkembangan kategori somatisasi yang berakar
dari Barat berbeda dengan prinsip keseimbangan yang berkembang di Cina
(Yin dan Yang). Tidak hanya Cina, psikiater di Jepang pun tidak setuju dengan
konsep somatisasi tersebut (Yamashita & Koyama, 1994 dalam Sarwono
Sarlito.W, 2014). Psikologi Lintas Budaya. PT Rajagrafindo
Persada, Jakarta.). Issac, Janca, dan Orley (1996) melaporkan bahwa
ekspresi somatisasi dari distress psikologis terjadi secara universal. Di
samping itu, mereka juga melaporkan bahwa banyaknya gejala somatis yang
dialami berhubungan dengan ekspresi terbuka dari distress psikologis dalam
budaya Amerika dan Eropa. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa
meskipun dianggap sebagai fenomena spesifik dari budaya tertentu,
somatisasi merupakan fenomena universal dengan makna budaya dan
eskpresi yang spesifik.

22
Sindroma Lainnya Terkait Budaya
Apabila menggunakan pendekatan emik (culture-specific), antropolog dan
psikiater menemukan beberapa bentuk gangguan psikologis yang unik.
Beberapa gejala dari gangguan spesifk budaya ini memiliki kesamaan dengan
gangguan yang bersifat etik. Namun, pola gejalanya tidak sesuai dengan kriteria
diagnosis untuk gangguan psikologis yang dikenal dalam skema klasifikasi Barat
(Matsumoto & Juang, 2004). Ada beberapa contoh sindroma terkait budaya,
yaitu berikut ini.
a.) Amok
Amok sering kali muncul pada beberapa negara di Asia, seperti Malaysia, i
Filipina, dan Thailand. Gangguan ini ditandai dengan kemarahan tiba-tiba
dan agresi membunuh. Tampaknya hal ini disebabkan oleh stres, gangguan
tidur, dan konsumsi alkohol (Carson, dkk. 1988 dalam Matsumoto & Juang,
2004). Di samping itu, gangguan ini tampak lebih sering dialami oleh laki.i
laki. Beberapa tahap gangguan telah dapat teridentifikasi, mulai dari
perilaku menghindar yang ekstrem sebelum munculnya perilaku menyerang
sampaii ke kelelahan dan amnesia terhadap kemarahan (Matsumoto &
Juang, 2004).
b.) Anorexia nervosa
Anorexia nervosa adalah gangguan yang teridentifikasi di Barat, namun juga
tampak pada negara-negara di Dunia Ketiga (Swartz, 1985). Gangguan ini
ditandai dengan body image yang terganggu, ketakutan menjadi gendut,
dan penurunan berat badan yang serius berhubungan dengan pembatasan
makanan dan pemuntahan. Beberapa faktor dianggap menjadi
kemungkinan munculnya gangguan ini, termasuk tekanan budaya terhadap
konsep tubuh yang kurus sebagai tubuh yang ideal untuk perempuan,
pembatasan peran gender, dan ketakutan individu untuk menjadi lepas
kendali atau mengambil tanggung jawab sebagai orang dewasa. Di
beberapa negara yang tidak terlalu menaruh perhatian pada perempuan
dan perempuan biasa menggunakan pakaian yang menutupi seluruh
tubuhnya, seperti di Saudi Arabia, gangguan makan tidak tampak dalam
berbagai literatur psikiatri sampai saat ini (Al Subaie 1989). Penelitian saat
ini menunjukkan bahwa anorexia nervosa saat ini tidak hanya terjadi di
negara-negara Eropa dan Amerika Serikat, namun juga pada negara-negara,
seperti Hong Kong, Korea, Singapura, dan Cina (Matsumoto & Juang, 2004).
Meskipun demikian, kriteria untuk menjadi anorexia nervosa sedikit
berbeda antarbudaya. Misalnya, alasan khusus untuk menjadi kelaparan
secara paksa di Cina bukan karena takut gemuk, i melainkan ketidaksukaan
yang ekstrem terhadap makanan atau merasa sangat kenyang (Lee-Sing,
Leung, Wing, & Chiu, 1991).
c.) Ataque de nervious
Gangguan ini banyak terlihat di Amerika Latin (Guarnaccia, Rivera, Franco,
& Neighbors, 1996 dalam Sarwono Sarlito.W, 2014). Gejala-gejalanya,
antara lain gemetar, berteriak tidak terkontrol, menangis tersedu-sedu,
panas di dada naik ke kepala, dan pusing. Gangguan ini cenderung timbul
akibat peristiwa stres dari keluarga, seperti kematian, perceraian, atau
menyaksikan salah satu anggota keluargai mengalami kecelakaan.
d.) Zar

23
Zar adalah altered state dari kesadaran yang tampak di kalangan imigran
Etiopia ke Israel (Grisaru, Budowski, & Witztum, 1997), Dipercaya dikuasail
oleh Zar spirit, umum di Afrika, dan diekspresikan dalam gerakan-gerakan
involuntary, diam (mutism), dan bahasa yang tidak dapat dipahami.
e.) Whakama
Gangguan ini muncul pada kelompok Mauri di New Zealand. Gejalanya,
terdiri dari rasa malu, merendahkan diri sendiri, ketidakmampuan,
meragukan diri sendiri, dan menghindar (Sachdev, 1990).
f.) Shinking heart
Kondisi distress yang terjadi dalam budaya Punjabi (Krause, 1989), Dialami
sebagai sensasi fisik pada jantung atau dada, dan dianggap disebabkan oleh
panas yang berlebihan, kelelahan, kecemasan, atau kegagalan sosial. Ia
memiliki beberapa karakteristik depresi, namun juga menyerupai gangguan
kardiovaskular.
g.) Avanga
Gangguan yang dicirikan dengan adanya pertemanan dengan seorang roh
halus. Biasanya diakibatkan oleh perpindahan seseorang ke kota dan i
urbanisasi (Puloka, 1997). Di samping itu, banyak lagi gangguan-gangguan
lainnya yang terkait dengan budaya. Misalnya, latah yang banyak ditemui di
budaya Melayu; koro(merasa penisnya mengkerut dan mengecil) di negara-
negara Asia Tenggara, dan susto (depresi, apatis, seperti kehilangan roh)
yang ditemukan di India

e) Paranoia
Salah satu penyakit yang terkenal pula adalah penyakit paranoia "gila
kebesaran" atau "gila menuduh orang". Ciri-cirinya ialah delusi, yaitu satu pikiran
salah yang menguasai orang yang diserangnya. Delusi ini berbeda bentuk dan
macamnya sesuai dengan suasana dan kepribadian penderita. 3. Manic-
depressivei Penderitanya mengalami rasa besar/gembira yang kemudian
berubah menjadi sedih/tertekan. Gejala-gejalanya ada dua macam, yaitu:
a. Mania, yang mempunyai tiga tingkatan yaitu ringan (hypo), berat (acut ) dan
sangat berat
b. Melancholia (rasa tertekan) Selalu terlihat muram, sedih, dan putus asa. lai
diserang oleh bermacam penyakit yang tidak bisa sembuh atau merasa telah
berbuat dosa yang tidak mungkin diampuni.

24
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil kepustakaan psikologi diartikan ilmu yang
mempelajari tingkah laku manusia. Atau ilmu yang mempelajari tentang
gejala-gejala jiwa manusia. Ditinjau dari segi objeknya, psikologi dapat
dibedakan dalam dua golongan yang besar, yaitu:
a. Psikologi yang menyelidiki dan mempelajari manusia.
b. Psikologi yang menyelidiki dan mempelajari hewan, yang umumnya lebih
tegas disebut psikologi hewan.
Dalam mempelajari psikologi ini, kita akan membatasi diri pada tingkah
laku manusia, karena manusia adalah makhluk Tuhan yang tertinggi
derajatnya di antara makhluk-makhluk yang lain.
Psikologi lintas kultural adalah studi kritis dan komparatif atas efek
kultural terhadap psikologi manusia. Setiap studi dalam psikologi lintas
kutural mengambil kesimpulan setidaknya berdasarkan dari dua sampel
yang merepresentaskan paling tidak dua kelompok kultural. Karena
psikologi lintas kultural adalah soal perbandingan, dan melakukan
perbandingan akan membutuhkan seperangkat keterampilan kritis, maka
studi ini tak bisa dipisahkan dari pemikiran kritis.
Salah satu tujuan penting dari Psikologi adalah mengumpulkan
pengetahuan melalui penelitian untuk membantu orang-orang yang
menderita gangguan psikologis agar dapat hidup dengan lebih efektif,
produktif, dan bahagia (Matsumoto & Juang, 2004). Budaya memiliki
pandangan tersendiri terhadap abnormalitas yang dialami manusia. Antara
budaya yang satu dengan lainnya dapat menerjemahkan abnormalitas
dalam bahasa yang berbeda. Hal ini menyebabkan abnormalitas pada satu
budaya tidak dipandang sebaga sesuatu yang abnormal di budaya lainnya.
Ada beberapa gangguan mental yang kerap terjadi baik pada remaja
maupun dewasa yaitu skizofrenia, anxiety, depresi, somatisasi. Serta ada
contoj beberapa sindroma terkait budaya yaitu amok, anorexia nervousa,
ateque de nervious, zar, whakama, shinking heart dan avanga.

25
SARAN
Menyadari penyusun dalam mengerjakan makalah ini jauh dari kata
sempurna maka dari itu penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran
yang memangun dari pembaca. Penyusun juga berharap semoga makalah
ini dapat memberikan manfaat dan ilmu pengetahuan baru mengenai
bidang psikologi.

26
DAFTAR PUSTAKA

Margie Grace Kelly Tarehy, Arwyn Weynand Nusawakan, Simon


Pieter Soegijono, 2019. Jurnal Keperawatan Muhammadiyah.
Journal UM Surabaya. Surabaya.

Sarwono Sarlito.W, 2014). Psikologi Lintas Budaya. PT


Rajagrafindo Persada, Jakarta.

Shiraev Eric B. & Levy David A., 2012). Psikologi Lintas Kultural.
Prenadamedia Grup. Jakarta.

Ahmadi, Haji. 2009). Psikologi Umum. Rineka Cipta. Jakarta.

dalam Sofwan Indarjo, 2009. Jurnal


Cederblad, 1999. (dalam
Kesehatan Masyarakat. Kesehatan Jiwa Remaja. Universitas
Negeri Semarang).

Indarjo, S., 2009 (dalam Lubis Layla Takhfa dkk. 2019). Jurnal Agama dan
Ilmu Pengetahuan. PENINGKATAN KESEHATAN MENTAL ANAK DAN REMAJA
MELALUI IBADAH KEISLAMAN. P-ISSN 1412-5382 Vol. 16 No. 2. Universitas
Islam Riau, Pekanbaru.

Dewi Yulia Surya , Safari Hasan S. IP, MMRS, 2018). PANCASILA, PSIKOLOGI
DAN ISLAM: PENGETAHUAN DAN PANDANGAN MASYARAKAT INDONESIA
TERHADAP GANGGUAN KESEHATAN MENTAL REMAJA

Tristiadi Ardi Ardani, Iin Tri Rahayu, Yulia Solichatun. 2007.


Psikologi Klinis Edisi Pertama. Yogyakarta. Graha Ilmu.

Prof. Dr. Wiramihardja Sutardjo. A psi. 2007. Pengantar


Psikologi Klinis. PT Refika Aditama. Bandung.

27

Anda mungkin juga menyukai