Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

KERAHASIAAN DAN REKAM PSIKOLOGI


Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Kode Etik Psikologi

Dosen Pengampu:

Dra. Endang Sri Indrawati, M.Si.

Disusun Oleh:

Rikha Nurmala Sari 15010116120062

Achaddiana Islamiyah 15010116130169

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

MARET, 2019
BAB V KODE ETIK PSIKOLOGI INDONESIA
KERAHASIAAN DATA DAN HASIL PEMERIKSAAN PSIKOLOGI

A. Kerahasiaan (Confidentiality)
Kerahasiaan telah ditekankan sebagai canon of ethics yang penting dalam
praktik psikologi. Memperoleh dan memelihara trust (kepercayaan) dari klien adalah
hal yang fundamental untuk mencapai hasil terbaik. Kepercayaan ini dibagun
berdasarkan informed consent dan jaminan kerahasiaan. Kerahasiaan adalah standar
profesional umum yang mewajibkan seseorang untuk tidak mendiskusikan informasi
tentang klien dengan orang lain. Di dalam prinsip etis, kerahasiaan merepresentasikan
ikrar untuk tidak mengungkap apapun tentang klien (bahkan terkait status klien-nya),
kecuali pada situasi-situasi tertentu yang berlaku atau yang telah disetujui sebelumnya.
Pada situasi konseling atau terapi, kerahasiaan dari terapis menjadi salah satu
dari aspek paling penting untuk membangun rapport yang kuat dengan klien. Oleh
karenanya, tugas seorang terapis atau konselor tidak hanya memberitahu klien tentang
kebijakan privasi, tetapi juga harus menjelaskan secara detail situasi di mana perjanjian
kerahasiaan dapat dilanggar.
B. Pembicaraan mengenai Batasan Kerahasiaan
Ilmuwan Psikologi dan Psikolog membicarakan dengan klien, baik perorangan
maupun organisasi dengan siapa dia bekerja atau mempunyai hubungan kerja secara
profesional, yang bisa menunjukkan tentang relevansi pembatasan dan kerahasiaan.
Termasuk dalam hal ini adalah pembatasan yang bisa diterapkan untuk pelayanan
perorangan/individu dan kelompok, misalnya pasangan suami isteri, terapi keluarga,
atau terhadap perusahaan.
Pemanfaatan informasi yang diterima adalah semata-mata dalam kaitan tujuan
pelayanan. Sejauh tidak merupakan kontraindikasi yang bisa diartikan sebagai
pelanggaran, maka pembahasan mengenai kerahasiaan dapat dibicarakan dalam rangka
pengembangan hubungan (proses) maupun pencapaian tujuan (penyelesaian masalah).
Ilmuwan Psikologi dan Psikolog mempunyai kewajiban utama untuk menjaga

1
kerahasiaan yang menjadi hak klien yang ditanganinya dan menyadari bahwa
kerahasiaan itu dilindungi oleh undang-undang, peraturan, atau dalam hubungan
profesional dan ilmiah. Dalam pelaksanaan tugasnya mereka harus berusaha untuk
tidak mengganggu kehidupan pribadi klien. Kalaupun diperlukan harus diusahakan
seminimal mungkin. Dalam hal diperlukan laporan, maka Ilmuwan Psikologi dan
Psikolog hanya memberikan laporan, baik lisan maupun tertulis, sebatas perjanjian atau
kesepakatan yang telah dibuat.

Ilmuwan Psikologi dan Psikolog membicarakan informasi rahasia dalam


rangka memberikan konseling/konsultasi atau data klien (perorangan, organisasi,
mahasiswa, peserta riset) dalam rangka tugasnya sebagai penyelia, hanya untuk tujuan
ilmiah atau profesional. Pembicaraan hanya dilakukan dengan mereka yang secara jelas
memang terlibat dalam permasalahan atau kepentingan tersebut. Dalam menyusun
rencana pencatatan, pemanfaatan, dan penyimpanan data, Ilmuwan Psikologi dan
Psikolog membuat tatacara pencatatan yang dapat menjaga kerahasiaan klien. Urusan
pencatatan, pemanfaatan, penyimpanan, pemindahan, dan pemusnahan catatan/data
harus di bawah pengawasannya, yang bisa dalam bentuk tertulis atau lainnya. Ilmuwan
Psikologi dan Psikolog menjaga dan memusnahkan catatan/data dengan
memperhatikan kaidah hukum atau perundang-undangan yang berlaku dan berkaitan
dengan pelaksanaan kode etik. Dalam hal diperlukan pengungkapan rahasia maka
Ilmuwan Psikologi dan Psikolog dapat membuka rahasia tanpa persetujuan klien hanya
dalam rangka keperluan hukum atau tujuan lain, seperti membantu mereka yang
memerlukan pelayanan profesional, baik secara perorangan maupun organisasi; untuk
memberikan konsultasi secara profesional; untuk melindungi klien dari masalah atau
kesulitan. Pengungkapan rahasia tidak dilakukan untuk mendapatkan pembayaran dari
layanan yang diberikannya.

Pengungkapan rahasia harus terbatas pada minimum yang mungkin diperlukan


untuk dapat mencapai tujuan. Pengungkapan rahasia itu, baik sebagian atau seluruhnya,
dilakukan Ilmuwan Psikologi dan Psikolog dengan persetujuan klien atau yang terkait,

2
sejauh tidak dilarang oleh hukum. Apabila Ilmuwan Psikologi dan Psikolog melakukan
konsultasi antar sejawat, perlu diperhatikan hal berikut dalam rangka menjaga
kerahasiaan. Ilmuwan Psikologi dan Psikolog tidak saling berbagi untuk hal-hal yang
seharusnya menjadi rahasia klien (peserta riset, atau pihak manapun yang menjadi
kliennya), kecuali dengan izin klien yang bersangkutan atau pada situasi di mana
kerahasiaan itu memang tidak mungkin ditutupi. Saling berbagi informasi hanya
diperbolehkan kalau diperlukan untuk pencapaian tujuan konsultasi, itupun sedapat
mungkin tanpa menyebutkan identitas atau cara pengungkapan lain yang bisa dikenali
sebagai identitas pihak tertentu. Seandainya data klien yang mendapat layanan
jasa/praktik psikologi harus dimasukkan ke data dasar (database) atau sistem
pencatatan yang dapat diakses pihak lain yang tidak dapat diterima oleh klien (kalau
sampai dia tahu bahwa data tersebut juga diketahui orang lain), maka Ilmuwan
Psikologi dan Psikolog harus menggunakan kode atau cara lain yang dapat melindungi
klien dari kemungkinan untuk bisa dikenali. Dalam hal diperlukan persetujuan
terhadap protokol riset dari dewan penilai atau sejenisnya dan memerlukan identifikasi
personal, maka identitas itu harus dihapuskan sebelum datanya bisa diakses. Kalau
tidak bisa dihapuskan, maka sebelum Ilmuwan Psikologi dan Psikolog memindahkan
atau melakukan transfer haruslah diusahakan untuk memperoleh persetujuan dari
kliennya.

Ilmuwan Psikologi dan Psikolog tidak membuka kerahasiaan kliennya untuk


keperluan penulisan, pengajaran, maupun pengungkapan di media, kecuali kalau ada
alasan kuat untuk itu dan tidak bertentangan dengan hukum. Dalam pertemuan ilmiah
atau perbincangan profesi yang menghadapkan Ilmuwan Psikologi dan Psikolog untuk
mengemukakan data, harus diusahakan agar pengungkapan data tersebut dilakukan
tanpa mengungkapkan identitas, yang bisa dikenali sebagai seseorang atau institusi
yang mungkin bisa ditafsirkan oleh siapapun sebagai identitas diri yang jelas ketika hal
itu diperbincangkan.

C. Pengabaian Kerahasiaan

3
1. Pelanggaran konsensual (consensual breaches)
Salah satu alasan mendasar di mana kerahasiaan bisa dilanggar adalah
pengabaian konsensual (consensual waiver). Hal ini terjadi pada situasi di mana
klien atau pihak yang secara legal berwenang (seperti orang tua dari anak yang
masih kecil atau wali dari individu yang dinyatakan tidak kompeten oleh
pengadilan) menandatangani dokumen yang mengizinkan pertukaran informasi.
Pada situasi tertentu, perilaku klien bisa dianggap secara inheren “mewajibkan”
adanya pembukaan informasi.
Sebagai contoh adalah seorang klien dari psikolog yang berhutang berdasarkan
akumulasi tagihan dan psikolog memutuskan untuk menagihnya melalui
pengadilan klaim kecil (small claim court). Normalnya, psikolog dilarang untuk
memberitahukan bahwa individu tersebut adalah seorang klien. Namun,
keterbukaan informasi tentang status klien dan informasi dasar lain (seperti tanggal
mulai layanan atau biayanya) yang dibutuhkan untuk menagih hutang secara valid
bukanlah hal yang melanggar kode etik. Walaupun klien mungkin saja merasa
bahwa membuka informasi di publik bahwa klien tersebut pernah menggunakan
jasa psikolog (serta belum membaya tagihannya) sebagai hal yang tidak
menyenangkan, tetapi kegagalan untuk membayar utang secara tepat merupakan
suatu bentuk dari pelanggaran kontrak yang mengizinkan adanya prosedur hukum
sehingga bisa dikatakan konsensual.
2. Pengabaian berdasar hukum
Jenis lain dari pengabaian kerahasiaan melibatkan kebutuhan hukum yang
biasanya berbeda-beda antarjuridiksi. Hukum ini biasanya diberlakukan untuk
melayani kebutuhan publik yang dianggap lebih penting daripada hak privasi
individu. Sebagai contoh misalnya Amerika Serikat dan seluruh provinsi di Kanada
memiliki hukum yang mewajibkan untuk melaporkan jika ada dugaan pelecehan
pada anak. Banyak yuridiksi yang memiliki mandat spesifik terkait pelaporan yang
memengaruhi psikoterapi.

4
Alasan dari legislasi ini ada dua. Pertama, hukum ini dianggap melayani
kepentingan umum dengan menyediakan sarana untuk mengidentifikasi dan
membantu anggota masyarakat yang paling rentan yang mungkin tidak mampu
untuk menginisiasi pencarian bantuan sendiri (misal anak-anak). Hal ini dapat
dicapai dengan memerintahkan orang-orang yang memiliki kemungkinan besar
untuk menemui tanda-tanda pelecehan pada anak dalam pekerjaannya (seperti
dokter, perawat, guru sekolah, dan psikolog) untuk melaporkan “kecurigaan
berdasar” atau “alasan untuk percaya” bahwa telah terjadi pelecehan atau
penelantaran pada anak. Alasan kedua adalah untuk melindungi pelapor dari
gugatan fitnah atau pencemaran nama baik jika pelecehan ternyata tidak terbukti.
Melalui adanya hukum ini, pemerintah telah memutuskan kebijakan publik bahwa
kebutuhan dan hak dari anak yang berpotensi mengalami pelecehan melebihi hak
privasi individual.
Aturan lain di Massachusetts menuntut psikolog, dokter, dokter gigi, perawat,
pekerja sosial, pemadam kebakaran, dan profesi lain untuk melaporkan kepada
pejabat yang berwenang jika memiliki “alasan yang masuk akal untuk meyakini”
bahwa anak di bawah usia 18 tahun, individu dengan disabilitas di atas 18 tahun,
dan lansia terindikasi mengalami pelecehan, penelantaran, atau pembunuhan.
Namun, orang dengan profesi yang sama tidak diwajibkan untuk melaporkan
pengetahuan tentang pembunuhan atau tindak pidana berat lain secara umum.
Tiap yuridiksi dan negara memiliki aturan yang berbeda-beda terkait
pembukaan kerahasiaan informasi dan data klien.
3. Pelanggaran kerahasiaan diskresioner
Pelanggaran ini dapat dilakukan pada situasi yang melibatkan keputusan
apakah pengabaian kerahasiaan dibutuhkan untuk melindungi klien dan orang lain
dari berbagai bentuk kerugiaan. Hal ini bisa melibatkan pengaturan untuk
dilakukannya rawat inap di rumah sakit jiwa untuk klien yang sangat bermasalah
dan menunjukkan tindakan berbahaya baik bagi diri sendiri maupun orang lain.

5
Situasi yang melibatkan ancaman kekerasan yang kurang urgen kepada orang lain
cenderung lebih kompleks.
Secara umum, psikoterapis di Amerika Serikat diwajibkan mengambil langkah
untuk melindungi pihak ketiga yang teridentifikasi dari ancaman bahaya saat
perilaku atau perkataan klien sangat mengindikasikan adanya kemungkinan yang
masuk akal bahwa klien akan mencoba untuk membunuh atau menimbulkan cedera
yang serius kepada korban yang teridentifikasi. Pertanyaan tentang hal yang
dimaksud masuk akal (reasonable) terbuka untuk berbagai interpretasi. Jumlah dari
material kerahasiaan yang diungkap biasanya minimal dan pihak yang berwenang
pun tidak akan mengkritik psikolog yang hanya membuka sedikit informasi saja.
4. Hak klien untuk tahu
Dari perspektif etis, klien berhak untuk mengetahui batasan kerahasiaan dari
awal hubungan profesional klien-terapis. Pada beberapa situasi, psikolog mungkin
berpikir bahwa lebih baik menunda memberikan informasi ini di sesi awal. Namun,
lebih bijak jika psikolog mendokumentasikan alasan (dan tawaran selanjutnya
terhadap data ini) dalam rekam psikologi individu. Banyak praktisi dan agensi
menghadapi isu ini dengan menyiapkan pamflet tentang kerahasiaan dan layanan
psikologi yang diberikan kepada semua klien baru. Di sisi lain, ada beberapa
kejadian ketika keterbukaan ini tidak boleh ditahan sama sekali. Sebagai contoh
adalah ketika psikolog melakukan evaluasi pada terdakwa pengadilan.
D. Akses pada Rekam Psikologi

Psikolog harus memerhatikan pengaruh potensial dari informasi yang terdapat


di rekam psikologi terhadap semua orang yang memiliki akses untuk rekam laporan
psikologi tersebut, seperti klien, profesional lain, manajer, dsb. Jika dimungkinkan,
pembedaan antara fakta, observasi dan opini harus dibuat, serta komentar judgemental
dihindari. Psikolog bertanggung jawab untuk menyimpan datanya dengan aman untuk
memastikan kerahasiaan yang terkandung di dalamnya dan mengontrol akses terhadap
informasi tersebut.

6
Rekam laporan psikologi yang dibuat, disimpan, atau diakses oleh psikolog
haruslah:
a. Sistematis dan mendetail
b. Format atau bahasanya jelas
c. Akurat
d. Up to date
e. Relevan dengan pekerjaan profesional dan tujuannya.
Klien memiliki hak untuk mengakses rekam psikologi yang berkaitan
dengannya. Selain itu, berbagi rekam dengan klien membantu dalam mendukung
pendekatan kolaboratif dari psikolog dan mengizinkan klien untuk terlibat secara
penuh dan efektif. Akses klien terhadap rekam psikologi terbatas pada informasi
tentang diri klien dan bukan pihak ketiga. Pembatasan juga akan diterapkan ketika
pembukaan informasi berisiko menempatkan klien atau orang lain dalam posisi bahaya
yang serius. Pada perjanjian tripartit yang melibatkan perusahaan mengakses informasi
harus diatur berdasarkan perjanjian yang secara eksplisit menjelaskan informasi apa
yang bisa dibagi dengan perusahaan.
Terkait penyimpanan rekam psikologi, adalah hal yang bijak jika psikoterapis
mendeskripsikan masalah dan perilaku klien dengan cara yang relatif bebas dari jargon
psikologi, pencatatan informal, sarkasme, atau komentar merendahkan, kecuali untuk
data tes psikologis. Idealnya data mentah dari tes psikologis hanya bisa diungkap pada
profesional yang kompeten untuk menginterpretasikannya.
Ketika klien mengambil tes psikologis, psikoterapis sebaiknya menyajikan
feedback kepada klien dengan disertai laporan tertulis dan penjelasan tentang
temuannya. Jika klien meminta data mentah dari tes psikologis, secara umum baiknnya
psikolog menolak dan menawarkan untuk memberikannya kepada praktisi lain yang
dipilih klien. Ketika form rekam tes psikologis dilindungi oleh hak cipta yang hanya
didistribusikan kepada pemeriksa terlatih menjadi bagian dari file, rekam psikologis ini
bisa ditahan.

7
E. Pasal dalam Kode Etik Psikologi Indonesia yang Mengatur tentang
Kerahasiaan Data dan Rekam Psikologi

Pasal 23
REKAM PSIKOLOGI
Jenis Rekam Psikologi adalah rekam psikologi lengkap dan rekam psikologi terbatas.
(1) Rekam Psikologi Lengkap
a. Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi membuat, menyimpan (mengarsipkan),
menjaga, memberikan catatan dan data yang berhubungan dengan penelitian,
praktik, dan karya lain sesuai dengan hukum yang berlaku dan dalam cara yang
sesuai dengan ketentuan Kode Etik Psikologi Indonesia.
b. Ilmuwan Psikologi dan atau Psikolog membuat dokumentasi atas karya
profesional dan ilmiah mereka untuk:
i. memudahkan pengguna layanan psikologi mereka dikemudian hari baik
oleh mereka sendiri atau oleh profesional lainnya
ii. bukti pertanggung-jawaban telah dilakukannya pemeriksaan psikologi
iii. memenuhi prasyarat yang ditetapkan oleh institusi ataupun hukum.
c. Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi menjaga kerahasiaan klien dalam hal
pencatatan, penyimpanan, pemindahan, dan pemusnahan catatan/data di bawah
pengawasannya.
d. Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi menjaga dan memusnahkan catatan dan
data, dengan memperhatikan kaidah hukum atau perundang-undangan yang
berlaku dan berkaitan dengan pelaksanaan kode etik ini.
e. Apabila Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi mempunyai dugaan kuat bahwa
catatan atau data mengenai jasa profesional mereka akan digunakan untuk
keperluan hukum yang melibatkan penerima atau partisipan layanan psikologi
mereka, maka Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi bertanggung jawab untuk
membuat dan mempertahankan dokumentasi yang telah dibuatnya secara rinci,

8
berkualitas dan konsisten, seandainya diperlukan penelitian dengan cermat
dalam forum hukum.
f. Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi yang melakukan pemeriksaan layanan
psikologi terhadap seseorang dan menyimpan hasil pemeriksaan psikologinya
dalam arsip sesuai dengan ketentuan, karena sesuatu hal tidak memungkinkan
lagi menyimpan data tersebut, maka demi kerahasiaan pengguna layanan
psikologi, sebelumnya Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi menyiapkan
pemindahan tempat atau pemberian kekuasaan pada sejawat lain terhadap data
hasil pemeriksaan psikologi tersebut dengan tetap menjaga kerahasiaannya.
Pelaksanaan dalam hal ini harus di bawah pengawasannya, yang dapat dalam
bentuk tertulis atau lainnya.

(2) Rekam Psikologis untuk Kepentingan Khusus


a. Laporan pemeriksaan Psikologi untuk kepentingan khusus hanya dapat
diberikan kepada personal atau organisasi yang membutuhkan dan berorientasi
untuk kepentingan atau kesejahteraan orang yang mengalami pemeriksaan
psikologi.
b. Laporan Pemeriksaan Psikologi untuk kepentingan khusus dibuat sesuai
dengan kebutuhan dan tetap mempertimbangkan unsur-unsur ketelitian dan
ketepatan hasil pemeriksaan serta menjaga kerahasiaan orang yang mengalami
pemeriksaan psikologi.
Pasal 24
MEMPERTAHANKAN KERAHASIAAN DATA
Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi wajib memegang teguh rahasia yang
menyangkut klien atau pengguna layanan psikologi dalam hubungan dengan
pelaksanaan kegiatannya. Penggunaan keterangan atau data mengenai pengguna
layanan psikologi atau orang yang menjalani pemeriksaan psikologi yang diperoleh
Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi dalam rangka pemberian layanan Psikologi,
hendaknya mematuhi hal-hal sebagai berikut.

9
a. Dapat diberikan hanya kepada yang berwenang mengetahuinya dan hanya
memuat hal-hal yang langsung dan berkaitan dengan tujuan pemberian layanan
psikologi.
b. Dapat didiskusikan hanya dengan orang-orang atau pihak yang secara langsung
berwenang atas diri pengguna layanan psikologi.
c. Dapat dikomunikasikan dengan bijaksana secara lisan atau tertulis kepada
pihak ketiga hanya bila pemberitahuan ini diperlukan untuk kepentingan
pengguna layanan psikologi, profesi, dan akademisi. Dalam kondisi tersebut
indentitas orang yang menjalani pemeriksaan psikologi tetap dijaga
kerahasiaannya.
Seandainya data orang yang menjalani layanan jasa dan atau praktik psikologi
harus dimasukkan ke data dasar (data base) atau sistem pencatatan yang dapat diakses
pihak lain yang tidak dapat diterima oleh yang bersangkutan maka Ilmuwan Psikologi
dan atau Psikolog harus menggunakan kode atau cara lain yang dapat melindungi orang
tersebut dari kemungkinan untuk bisa dikenali.

Pasal 25
MENDISKUSIKAN BATASAN KERAHASIAAN DATA KEPADA
PENGGUNA JASA DAN ATAU PRAKTIK PSIKOLOGI
(1) Materi Diskusi
a. Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi membicarakan informasi kerahasian data
dalam rangka memberikan konseling dan atau konsultasi kepada pengguna
layanan psikologi (perorangan, organisasi, mahasiswa, partisipan penelitian)
dalam rangka tugasnya sebagai profesional. Data hasil pemberian layanan
psikologi hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmiah atau profesional.
b. Ilmuwan Psikologi dan Psikolog dalam melaksanakan tugasnya harus berusaha
untuk tidak menggangu kehidupan pribadi pengguna layanan psikologi,
kalaupun diperlukan harus diusahakan seminimal mungkin.

10
c. Dalam hal diperlukan laporan hasil pemeriksaan psikologi, maka Psikolog dan
atau Ilmuwan Psikologi hanya memberikan laporan, baik lisan maupun tertulis;
sebatas perjanjian atau kesepakatan yang telah dibuat.
(2) Lingkup Orang
a. Pembicaraan yang berkaitan dengan layanan psikologi hanya dilakukan dengan
mereka yang secara jelas terlibat dalam permasalahan atau kepentingan tersebut
b. Keterangan atau data yang diperoleh dapat diberitahukan kepada orang lain atas
persetujuan pemakai layanan psikologi atau penasihat hukumnya.
c. Jika pemakai jasa masih kanak-kanak atau orang dewasa yang tidak mampu
untuk memberikan persetujuan secara sukarela, maka Psikolog dan atau
Ilmuwan Psikologi wajib melindungi agar pengguna layanan psikologi serta
orang yang menjalani pemeriksaan psikologi tidak mengalami hal-hal yang
merugikan.
d. Apabila Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi melakukan konsultasi antar
sejawat, perlu diperhatikan hal berikut dalam rangka menjaga kerahasiaan.
Ilmuwan Psikologi dan Psikolog tidak saling berbagi untuk hal-hal yang
seharusnya menjadi rahasia pengguna layanan psikologi (peserta riset, atau
pihak manapun yang menjalani pemeriksaan psikologi), kecuali dengan izin
yang bersangkutan atau pada situasi dimana kerahasiaan itu memang tidak
mungkin ditutupi. Saling berbagi informasi hanya diperbolehkan kalau
diperlukan untuk pencapaian tujuan konsultasi, itupun sedapat mungkin tanpa
menyebutkan identitas atau cara pengungkapan lain yang dapat dikenali sebagai
indentitas pihak tertentu.
Pasal 26
PENGUNGKAPAN KERAHASIAAN DATA
a. Sejak awal Ilmuwan Psikologi dan atau Psikolog harus sudah merencanakan
agar data yang dimiliki terjaga kerahasiaannya dan data itu tetap terlindungi,
bahkan sesudah ia meninggal dunia, tidak mampu lagi, atau sudah putus
hubungan dengan posisinya atau tempat praktiknya.

11
b. Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi perlu menyadari bahwa untuk pemilikan
catatan dan data yang termasuk dalam klarifikasi rahasia, penyimpanan,
pemanfaatan, dan pemusnahan data atau catatan tersebut diatur oleh prinsip
legal.
c. Cara pencatatan data yang kerahasiaannya harus dilindungi mencakup data
pengguna layanan psikologi yang seharusnya tidak dikenai biaya atau
pemotongan pajak. Dalam hal ini, pencatatan atau pemotongan pajak mengikuti
aturan sesuai hukum yang berlaku.
d. Dalam hal diperlukan persetujuan terhadap protokol riset dari dewan penilai
atau sejenisnya dan memerlukan identifikasi personal, maka identitas itu harus
dihapuskan sebelum datanya dapat diakses.
e. Dalam hal diperlukan pengungkapan rahasia maka Psikolog dan atau Ilmuwan
Psikologi dapat membuka rahasia tanpa persetujuan klien hanya dalam rangka
keperluan hukum atau tujuan lain, seperti membantu mereka yang memerlukan
pelayanan profesional, baik secara perorangan maupun organisasi serta untuk
melindungi pengguna layanan psikologi dari masalah atau kesulitan.
PASAL 27
PEMANFAATAN INFORMASI DAN HASIL PEMERIKSAAN PSIKOLOGI
UNTUK TUJUAN PENDIDIKAN ATAU TUJUAN

(1) Pemanfaatan untuk Tujuan Pendidikan.


Data dan informasi hasil layanan psikologi bila diperlukan untuk kepentingan
pendidikan , data harus disajikan sebagaimana adanya dengan menyamarkan nama
orang atau lembaga yang datanya digunakan.
(2) Pemanfaatan untuk Tujuan Lain
a. Pemanfaatan data hasil layanan psikologi untuk tujuan lain selain tujuan
pendidikan harus ada ijin tertulis dari yang bersangkutan dan menyamarkan
nama lembaga atau perorangan yang datanya digunakan.

12
b. Khususnya untuk pemanfaatan hasil layanan psikologi di bidang hukum atau
hal-hal yang terkait dengan kesejahteraan pengguna layanan psikologi serta
orang yang menjalani layanan psikologi maka identitas harus dinyatakan secara
jelas dan dengan persetujuan yang bersangkutan.
c. Psikolog dan /atau Ilmuan Psikologi tidak membuka kerahasiaan pengguna
layanan psikologi serta orang yang menjalani layanan psikologi untuk
keperluan penulisan, pengajaran maupun pengungkapan di media, kecuali
kalau ada alasan kuat untuk itu dan tidak bertentangan dengan hukum.
d. Dalam pertemuan ilmiah atau perbincangan profesi yang menghadapkan
Psikolog dan/atau Ilmuan Psikologi untuk mengemukakan data, harus
diusahakan agar pengungkapan data tersebut dilakukan tanpa mengungkapkan
identitas, yang bisa dikenali sebagai seseorang atau institusi yang mungkin bisa
ditafsirkan oleh siapapun sebagai identitas diri yang jelas ketika hal itu
diperbincangkan.
Contoh Kasus
Sebagai seorang psikolog, TH membina kerja sama dengan berbagai instansi dengan
memberi jasa melakukan psikotes untuk keperluan seleksi dan rekrutmen. Salah satu
perusahaan yang menjadi kliennya (namun bukan psikolog) mempercayainya untuk
melakukan psikotes terhadap sejumlah karyawan dan memintanya memberikan
laporan berupa soft copy yang dikirimkan melalui email dengan alasan untuk
kemudahan administrasi. TH merasa bingung karena khawatir jika ia memberikan
laporan dalam bentuk demikian, laporannya dapat dirubah atau disalahgunakan. Ia
memikirkan untuk mengirimkan laporannya dalam format pdf atau memberi password
yang mencegah orang lain dapat merubah file laporannya. Namun ia masih ragu-ragu
dengan kebenaran tindakannya secara etika, dan mencoba mendiskusikannya dalam
milis psikologi di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

13
British Psychological Society. (2017). BPS practice guidelines (3rd ed.). Leicester, UK:
BPS.
Hasan, A.B.P. (2009). Kode etik psikolog dan ilmuwan psikologi. Yogyakarta: Graha
Ilmu.
HIMPSI. (2010). Kode etik psikologi Indonesia. Surakarta: Pengurus Pusat Himpunan
Psikologi Indonesia.
Koocher, G. P. (1995). Confidentiality in psychological practice. Australian
Psychologist, 30(3), 158–163. doi:10.1080/00050069508258925

14

Anda mungkin juga menyukai