Anda di halaman 1dari 6

KRONOLOGI KASUS

Akhir-akhir ini kita dihebohkan terjadi pelecehan seksualitas terhadap puluhan perempuan yang
berkedok sebagai psikoterapis terkenal bernama dedy susanto. Pelaku juga cukup aktif di salah
satu media social yaitu instagram @dedysusantopj dan youtube chanel @kuliahpsikologi. Awal
mula masalah terungkap kasus terungkap, oleh Mantan kekasih Young Lex, Revina VT, Revina
awalnya ditawari kerja sama konten oleh Dedy. Sebelum mengiyakan, Revina mencari tahu latar
belakang Dedy. Berikut keraguan dan kecacatan dari praktek si Dedi.
1. Berawal dari pernyataannya atau pendapat si Dedi Susanto mengenai Bipolar dan
LGBT.
Sebelumnya Dedy sempat mengajak Revina untuk berkolaborasi membuat konten
bersama. Namun, dalam perjalanannya Revina merasa janggal terkait pembahasan Dedy
mengenai Bipolar dan LGBT yang diklaim bisa ia sembuhkan. Hingga akhirnya Revina
pun mencari kebenaran soal gelar yang disandang Dedy sebagai dokter psikolog. Lewat
Instagram Story-nya, Revina menunjukkan percakapannya dengan Dedy soal pengakuan
Dedy yang bisa menyembuhkan Bipolar dan LGBT.
Di highlight akun Instagramnya, Dedy Susanto menulis, “Aku menganggap
LGBT itu bukan bawaan, bukan nature, bukan takdir Tuhan. Itu suatu gangguan yang
bisa diterapi/ dipulihkan. Pernyataanku ini buat Revi kecewa, akhirnya ia menanyakan
surat ijin praktekku karena setahu dia psikolog zaman now pasti akan menganggap
LGBT bukan gangguan karena di Pedoman Diagnosis Gangguan Jiwa, LGBT bukanlah
gangguan. Padahal dulu di Pedoman Diagnosis Gangguan Jiwa, LGBT itu gangguan
loh. Wahai bapak/ibu psikolog di Indonesia apakah bapak/ibu tidak merasa bahwa ini
melanggar hati nurani kita bahwa ini tidak sesuai dengan agama. Mohon bantu
perjuangkan agar LGBT tergolong kembali ke klasifikasi yang perlu diterapi SEPERTI
DULU BEGITU.”(https://magdalene.co/story/kasus-dedy-susanto-dan-kerentanan-
perempuan-jadi-korban)
Untuk yang belum tahu, sejak tahun 1973, Asosiasi Psikiatri Amerika (APA)
sudah menghapus homoseksualitas dari daftar gangguan jiwa atau gangguan mental.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) juga sudah mendeklarasikan bahwa “sexual orientation
by itself is not to be considered a disorder.”
Tanggapan Revina terkait highlight akun Instagram Dedy Susanto "Nah awal
kecurigan saya dari sini. Beliau ngomong Bipolar bisa sembuh. BIPOLAR tidak bisa
sembuh hanya bisa direpresi. Tapi dia ngaku dokter psikologi, besar dong kecurigaan
saya. jadi saya cek di HMPSI, emang tidak terdaftar. Bipolar itu masalahnya chemical di
otak, gabisa diselesaikan hanya dengan hyponotherapy. Beware ya semua!,"tulisnya.
(https://herstory.co.id/read646/perang-selebgram-revina-vt-dengan-psikolog-dedy
susanto-dokter-predator-yang-sering-ngajak-ngamar-pasiennya).

2. Keraguan akan lisensi sebagai psikoterapi ( tidak bisa membuktikan izin praktek
dan serifikat si Dedi Susanto
Diskusi awal di antara mereka justru membuat Revina memunculkan pertanyaan
kritis: Benarkah Dedy Susanto seorang psikolog? Apa legitimasi Dedy Susanto
melakukan terapi psikologi? (https://news.detik.com/kolom/d-4905305/kasus-dedy-
susanto-dan-lemahnya-regulasi-praktik-psikologi). Revina akhirnya memeriksa,
apakah nama doktor Dedy terdaftar sebagai tenaga medis di Sistem Informasi
Keanggotaan Himpunan Psikologi Indonesia (SIK HIMPSI), hasinya pun nihil.
Nama Dedy Susanto tidak ditemukan. (https://parenting.orami.co.id/magazine/5-fakta-
seputar-dedy-susanto)
Story IG @Revinatv, dedy susanto memiliki latar belakang S1 di Institut
Teknologi dan Bisnis kalbis pada tahun 2006 dengan gelar S.E, S2 di Sekolah
Tinggi manajemen Ppm pada tahun 2009 dengan gelar M.M dan S3 di universitas
Persada Indonesia Yai dengan gelar Doktor (Dr.) pada tahun 2017.
Sedangkan dedi hanya dapat menunjukkan bukti sertifikat Psikoterapis
bukan psikolog, "Yang boleh buka praktek terapi psikologis adalah psikolog dan
psikoterapis lainnya. Psikoterapis lainnya seperti NLP practitioner, Hyponetherapy
practitioner, dll. Setelah ini saya fotokan surat ijin praktek saya sebagai
psikoterapis,"tulisnya. Lanjutnya "Saya tidak pernah mengatakan diri saya psikolog di
IG maupun di YouTube. Di bio IG saya dokter psikologi yang artinya gelar S3 psikologi.
Apakah salah saya mencantumkan Dokter
Psikologi?, tanyanya. (https://herstory.co.id/read646/perang-selebgram-revina-vt-
dengan-psikolog-dedy-susanto-dokter-predator-yang-sering-ngajak-ngamar-pasiennya).

3. Munculnya Dugaan korban Pelecehan Seksual yang DM ke IG @Revinatv setelah


berani mengungkapkan lewat instastory.
Revina merangkuman modus yang dilakukan oleh pelaku terhadap korban, lewat
unggahan tangkap layar curhatan sejumlah perempuan yang mengaku dilecehkan Dedy
saat menjalani sesi terapi secara privat di kamar hotel. Tak hanya itu, Revina turut
membeberkan curhatan mesum yang diduga terjadi antara Dedy dan beberapa wanita
lewat direct message (DM) Instagram. "Korban yang kalau cuma di-DM doang,
kayaknya sudah ratusan sih. Tapi kalau yang sampai ditidurin, puluhan. Tapi yang mau
bersedia jadi saksi, baru sekitar tiga sampai lima orang," oleh revina.
Ada beberapa akun instagram yang berisi unggahan layar tangkap curhatan
korban, dengan nama IG @kobandedysusantopj, @korbandedysusantto atau
@korban_dedysusantopj.
Modus Dedy Susanto dalam menjalankan aksinya
(https://wolipop.detik.com/entertainment-news/d-4902672/revina-vt-sebut-puluhan-
wanita-jadi-korban-pelecehan-dedy-susanto/1)
a. Memberikan atau iming-iming tiket gratis.
Menurut Revina, Dedy memberikan tiket gratis kepada sejumlah wanita yang
menjadi pengikutnya di Instagram untuk mengikuti seminar atau pelatihannya.
b. Pelaku memberikan nomor kepada korban dan menyuruh korban untuk
mengirimkan hasil foto selfie bersama pelaku.
Lanjutnya "Setelah ikut gratis, Deddy selalu kasih nomor handphone dia, terus
boleh selfie, lalu selfie-nya itu dikirim ke dia. Setelah kirim ke nomor pribadi,
Dedy tanya lagi mau konseling lagi nggak, mau training private  nggak," Banyak
perempuan yang berswafoto sama dia setelah pelatihan. Saya merasa aneh melihat
itu. Kenapa pasien harus swafoto sama terapis, bukankah identitas kita seharusnya
ditutupi? Saya tidak mau ikut pelatihan yang dihadiri banyak orang begitu, apalagi
sampai swafoto segala dan diposting di Instagram.
c. Pelaku bukan diajak ke tempat praktik melainkan di Kafe lanjutnya ke Hotel
dengan memesan kamar hotel atas nama korban
Awalnya pasien akan diajak bertemu di kafe, bukan tempat praktik, lalu
pada pertemuan selanjutanya, pasien akan diajak "ngamar" karena alasan
depresi atau masalah pasien sudah sangat berbahaya.
(https://parenting.orami.co.id/magazine/5-fakta-seputar-dedy-susanto). Inti dari
percakapan itu, Dedi meminta agar sang pasien memesan kamar hotel untuk
melakukan terapi. Tapi anehnya, Dedy meminta agar si pasien memesan kamar atas
namanya bukan nama Dedy. Dengan dalih, takut ketahuan pihak penyelenggara
yang mengundangnya sebagai pembicara di hotel tersebut kalau ia sampai memesan
dua kamar atas nama dirinya. (https://herstory.co.id/read646/perang-selebgram-
revina-vt-dengan-psikolog-dedy-susanto-dokter-predator-yang-sering-ngajak-
ngamar-pasiennya).
d. Selama terapi korban tiba-tiba dilecehkan dengan meraba-raba area sensitive
atau terlarang.
Setelah berhasil membujuk korbannya datang, Dedi melakukan sesi terapi.
"Diterapi memang, tapi setelah 5-10 menit sampai (pasien) menangis-nangis, terus
mulai dicium keningnya, apalah dan segala macam, dan akhirnya
mulai digituin lah... dimanipulasi sih," beber Revina lagi.
Pertanyaan yang muncul dari kasus diatas adalah lebih pada kondisi korban,
mengapa bisa terjebak dalam kasus tersebut. Banyak pertanyaan yang seolah
menyudutkan korban seperti “Kok mau diajak ngroom sih? Kenapa enggak
berontak atau berteriak ketika dilecehin pas sesi terapi sih?
1. Korban kebanyakan perempuan yang rentan atau sedang dititip lemah,
mungkin lebih tepatnya seperti stress, depresi, mental illness atau mental
disorder.
2. Korban tidak tau atau awam untuk berkonsultasi kepada psikolog.
3. Seringkali kita tidak tau kapan, kita harus pergi atau membutuhkan psikolog.
Menjawab pertanyaan diatas, alangkah lebih baik untuk lebih tau
perbedaan Psikolog dan Ilmuwan Psikologi. Perbedaan peran antara psikolog
dan ilmuwan psikologi terletak pada kewenangan dalam melakukan praktik
psikologi. Hanya psikolog yang memiliki izin praktiklah yang berwenang untuk
melakukan praktik psikologi, terutama yang berkaitan dengan asesmen dan
intervensi psikologi. Sedangkan ilmuwan psikologi tidak memiliki kewenangan
untuk melakukan praktik psikologi tersebut.

Berdasarkan kode etik Psikologi Indonesia yang disusun oleh Himpunan


Psikologi Indonesia (HIMPSI) pada Juni 2010, Bab 1 Pasal 1 ayat 3 dan 4
berbunyi sebagai berikut ;
(3) PSIKOLOG adalah lulusan pendidikan profesi yang berkaitan dengan praktik
psikologi dengan latar belakang pendidikan Sarjana Psikologi lulusan program
pendidikan tinggi psikologi strata 1 (S1) sistem kurikukum lama atau yang
mengikuti pendidikan tinggi psikologi strata 1 (S1) dan lulus dari pendidikan
profesi psikologi atau strata 2 (S2) Pendidikan Magister Psikologi (Profesi
Psikolog). Psikolog memiliki kewenangan untuk memberikan layanan psikologi
yang meliputi bidang-bidang praktik klinis dan konseling; penelitian; pengajaran;
supervisi dalam pelatihan, layanan masyarakat, pengembangan kebijakan;
intervensi sosial dan klinis; pengembangan instrumen asesmen psikologi;
penyelenggaraan asesmen konseling; konsultasi organisasi; aktifitasaktifitas
dalam bidang forensik; perancangan dan evaluasi program; serta administrasi.
Psikolog DIWAJIBKAN MEMILIKI IZIN PRAKTIK PSIKOLOGI sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
(4) ILMUWAN PSIKOLOGI adalah ahli dalam bidang ilmu psikologi dengan
latar belakang pendidikan strata 1 dan/atau strata 2 dan/atau strata 3 dalam bidang
psikologi. Ilmuwan psikologi memiliki kewenangan untuk memberikan layanan
psikologi yang meliputi bidang-bidang penelitian; pengajaran; supervisi dalam
pelatihan; layanan masyarakat; pengembangan kebijakan; intervensi sosial;
pengembangan instrument asesmen psikologi; pengadministrasian asesmen;
konseling sederhana;konsultasi organisasi; perancangan dan evaluasi program.
Ilmuwan Psikologi dibedakan dalam kelompok ilmu murni (sains) dan terapan.
Lanjut pada bab 1 pasal 7 ayat 1 dan 2 sebagai berikut :
(1) Ilmuwan Psikologi memberikan layanan dalam bentuk mengajar, melakukan
penelitian dan/ atau intervensi sosial dalam area sebatas kompetensinya,
berdasarkan pendidikan, pelatihan atau pengalaman sesuai dengan kaidah-kaidah
ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan.
(2) Psikolog dapat memberikan layanan sebagaimana yang dilakukan oleh
Ilmuwan Psikologi serta secara khusus dapat melakukan praktik psikologi
terutama yang berkaitan dengan asesmen dan intervensi yang ditetapkan setelah
memperoleh ijin praktik sebatas kompetensi yang berdasarkan pendidikan,
pelatihan, pengalaman terbimbing, konsultasi, telaah dan/atau pengalaman
profesional sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Jika kita mengamati latar belakang pendidikan Dedy Susanto, dengan asumsi
semua riwayat pendidikannya valid, maka dia masuk ke klasifikasi ilmuwan
psikologi. Meskipun Dedy Susanto adalah doktor dalam bidang psikologi,
menurut Kode Etik Psikologi, ia tetap tidak berwenang untuk melakukan praktik
psikologi.

Lalu, bagaimana dengan klarifikasi Dedy Susanto yang mengatakan bahwa ia


memang bukan psikolog, tapi seorang psikoterapis --sehingga tetap berhak untuk
berpraktik psikologi?

Tulisan Dedy Susanto dalam unggahan klarifikasinya di instagram "Bahkan S1


Pariwisata pun, misalkan yang nggak ada hubungan dengan psikologi, bila ia
ambil sertifikasi NLP practitioner, Hypnotherapy practitioner, dll, dia boleh buka
praktek,"

Di sinilah terdapat letak celah lemahnya regulasi praktik psikologi di Indonesia.


Walaupun apa yang dilakukan oleh Dedy Susanto tidak dapat disalahkan atau
dituntut karena memang belum ada regulasi maupun payung hukum yang
mengatur praktik-praktik psikologi di Indonesia tetapi dinilai tidak etis oleh
banyak profesional kesehatan mental. Tidak ada regulasi yang menyebutkan
bahwa psikoterapi hanya boleh dilakukan oleh psikolog dan psikiater. Dan, tidak
ada pula regulasi yang menjelaskan seperti apa kedudukan psikoterapis yang
melakukan praktik psikologi hanya dengan modal sertifikasi psikoterapi tertentu.

HIMPI. (2010). Kode etik Psikologi Indonesia. Jakarta: Pengurus Pusat


Himpunan Psikologi Indonesia.
2. Bagaimana cara kita mencari layanan konseling atau mencari psikolog atau
psikiater, lebih lanjut bisa kunjungi website https://www.intothelightid.org/tentang-
bunuh-diri/layanan-konseling-psikolog-psikiater/.
Berikut ini panduan singkat untuk mendapatkan layanan
kesehatan jiwa di Indonesia:
1. Tahap 1: Puskesmas
a. Ketersediaan profesional di Puskesmas
b. Biaya Konsultasi dan Pengobatan di Puskesmas
2. Tahap 2: Rumah Sakit
a. Biaya Konsultasi dan Pengobatan di Rumah Sakit
3. Jika Anda membutuhkan layanan kesehatan jiwa, jangan ragu untuk segera mencari dan
menghubungi profesional terdekat.
4. Jadi, saya harus ke Puskesmas atau Rumah Sakit dahulu?
5. Bagaimana cara saya menentukan harus ke RS Umum atau RS Jiwa?
6. Saat saya bertemu dengan psikolog/psikiater, apa yang akan mereka lakukan?
a. Bagaimana pemulihan dapat membantu saya?
7. Apa bedanya psikolog dengan psikiater?
8. Terapi dan Pengobatan bersama dengan Profesional
a. Pengobatan
b. Psikoterapi
c. Terapi Elektrokonvulsif
9. Selain di Puskesmas dan RS, apakah saya bisa mencari psikolog/psikiater lain?
10. Bagaimana jika saya tidak puas dengan pelayanan psikolog/psikiater?
11. Apakah saya bisa mencari pengobatan alternatif?
a. Dukun atau paranormal
b. Hipnoterapi

Anda mungkin juga menyukai