A. PENGANTAR ................................................................................................... 2
B. GAMBARAN KASUS .......................................................................................... 3
1
BAB I
A. PENGANTAR
Informed Consent terdiri dari dari dua kata, yaitu “informed” yang berarti informasi
atau keterangan dan “consent” yang berarti persetujuan atau memberi izin. Informed
consent adalah pernyataan dari seorang klien atau asien atau yang sah mewakilinya
yang berisi tentang persetujuan atas rencana tindakan yang akan dilakukan oleh
seorang ahli dibidangnya seperti dokter/psikolog/terapis setelah menerima berbagai
informasi yang cukup untuk dapat membuat persetujuan atau penolakan. Persetujuan
tindakan yang akan dilakukan oleh seorang ahli harus dilakukan tanpa adanya unsur
pemaksaan.
Persetujuan tindakan dari seorang psikolog telah diatur HIMPSI (Himpunan Psikologi
Indonesia) di dalam buku Kode Etik Psikolgi pasal 20 tentang Informed Consent, yang
berisi tentang Setiap proses dibidang psikologi yang meliputi penelitian /pendidikan
/pelatihan /asesmen /intervensi yang melibatkan manusia harus disertai dengan
informed consent. Berdasarkan pasal 20 kode etik psikologi informed consent adalah
persetujuan dari orang yang akan menjalani proses dibidang psikologi yang meliputi
penelitian pendidikan/pelatihan/asesmen dan intervensi psikologi. Persetujuan
dinyatakan dalam bentuk tertulis dan ditandatangani oleh orang yang menjalani
pemeriksaan/yang menjadi subyek penelitian dan saksi.
Aspek-aspek yang perlu dicantumkan dalam informed consent adalah:
a. Kesediaan untuk mengikuti proses tanpa paksaan.
b. Perkiraan waktu yang dibutuhkan.
c. Gambaran tentang apa yang akan dilakukan.
d. Keuntungan dan/atau risiko yang dialami selama proses tersebut.
e. Jaminan kerahasiaan selama proses tersebut.
f. Orang yang bertanggung jawab jika terjadi efek samping yang merugikan selama
proses tersebut.
Dalam konteks Indonesia, pada masyarakat tertentu yang mungkin terbatas
pendidikannya, kondisinya atau yang mungkin rentan memberikan informed consent
secara tertulis maka informed consent dapat dilakukan secara lisan dan dapat direkam
2
atau adanya saksi yang mengetahui bahwa yang bersangkutan bersedia. Informed
consent yang berkaitan dengan proses pendidikan dan/atau pelatihan terdapat pada
pasal 40; yang berkait dengan penelitian psikologi pada pasal 49; yang berkait dengan
asesmen psikologi terdapat pada pasal 64; serta yang berkait dengan konseling dan
psikoterapi pada pasal 73 dalam buku kode etik psikologi.
B. GAMBARAN KASUS
Bertie atau King George VI merupakan anak dari King George V. King George V
adalah raja dari kerajaan Britania Raya. King George V memiliki 2 orang putra, yang
pertama adalah David dan yang kedua adalah Bertie. King George V yang sudah
menginjak usia lansia memiliki penurunan kesehatan yang menyebabkan
kondisinya semakin lama semakin lemah karena sakit yang dideritanya hingga akhirnya
meninggal dan harus digantikan oleh putra pertamanya, yaitu David.
Namun, David memiliki tingkah laku buruk yang menyebabkan dirinya tidak bisa
meneruskan “mandate” dari Ayahnya untuk menjadi Raja di Britania Raya. Hal ini
karena David lebih memilih menikahi wanita yang pernah bercerai tiga kali, sedangkan
kerajaan tidak menerima jika ada putra kerajaan menikah dengan wanita yang memiliki
riwayat pernah bercerai. Hingga akhirnya David harus turun tahta dan digantikan
oleh adiknya yaitu Bertie. Bertie sebenarnya tidak ingin menjadi raja sebab ia takut dan
minder karena seorang Raja pastinya harus banyak berbicara di depan umum.
Bertie memiliki kekurangan dalam dirinya, yaitu kemampuan berbicara yang kurang
maksimal karena Bertie gagap sejak usia 4 tahun. Istri Bertie prihatin dengan kondisi
Bertie sehingga mencari banyak cara agar Bertie tidak gagap lagi, yaitu dengan
membawa Bertie pada banyak dokter, psikolog, terapis di Inggris namun tidak
membawa hasil yang memuaskan. Istri Bertie akhirnya menemukan seorang terapis
yang ahli pada bidang gagap bicara yaitu Lionel Longue. Lionel Longue bukanlah
psikolog, ia hanya seorang seorang terapis yang memberikan terapi secara
otodidak dari pengalaman yang ia alami.
Bagaimana Lionel Longue bisa menjadi ahli terapis gagap bicara?
Lionel Longue merupakan orang Australia. Pada saat Lionel tinggal di Australia
terjadilah perang dan pada saat pasca perang tersebut banyak warga Australia yang
mengalami stress dan tingkat depresi yang tinggi hingga tak bisa berbicara. Lionel
Longue merupakan aktor drama yang pandai berbicara dan bermain peran. Hingga
3
teman-temannya meminta Lionel Longue untuk menghibur dan membuat orang yang
stress untuk berbicara kembali. Berkat keberanian dan kemampuannya itulah akhirnya
Lionel mampu membuat orang yang kurang bisa berbicara dan gagap bisa berbicara
lagi. Hingga akhirnya Lionel Longue pindah ke Inggris dan membuka praktek terapis
yang bisa dianggap illegal karena tidak memiliki ijin praktek dan tidak memiliki latar
belakang pendidikan untuk memberikan terapis. Namun, Lionel Longue sukses
menyembuhkan banyak orang yang gagap untuk dapat berbicara kembali.
Dalam film ini dikisahkan bahwa Bertie dan Lionel memiliki hubungan yang tak hanya
sebagai client dan terapis saja melainkan mereka bersahabat dekat dan sering kali
Bertie berkonsultasi atau bercerita pada Lionel tentang masalah yang ia hadapi. Dengan
kesabaran dan kegigihan Lionel akhirnya Bertie mampu melakukan on air dengan baik
untuk berpidato bagi Inggris dan seluruh dunia sebelum Perang Dunia II dimulai. Berkat
kesuksesan itulah akhirnya Lionel diangkat menjadi pembantu khusus kerajaan dan
mendampingi Bertie setiap Bertie berbicara untuk publik. Meskipun sebelumnya dalam
proses terapisnya pernah mengalami konflik internal karena kesalahpahaman namun
pada akhirnya Bertie dan Lionel mampu menjalin hubungan yang baik dalam
persahabatan, konseling, dan terapis.
(LINK VIDEO : https://filmapik.id/download-the-kings-speech-2010-subtitle-indonesia-
2680/play)
4
BAB II
KETERANGAN DARI PASAL DAN PENJELASAN SERTA CONTOHNYA
5
c. Biaya,
d. Keterlibatan pihak ketiga jika diperlukan,
e. Batasan kerahasiaan,
f. Memberi kesempatan pada orang yang akan menjalani Konseling/Terapi untuk
mendiskusikannya sejak awal.
Pasal (4) :
Hal-hal yang berkaitan dengan sifat konseling psikologi/psikoterapi seperti
kemungkinan adanya sifat tertentu yang dapat berkembang dari proses konseling
atau terapi, risiko yang potensial muncul, psikoterapi lain sebagai alternatif dan
kerelaan untuk berpartisipasi dalam proses konseling psikologi/psikoterapi.
Pasal (5) :
Jika Konselor/Terapis masih dalam pelatihan dan dibawah supervisi, hal ini
perlu diberitahukan kepada orang yang akan menjalani konseling dan hal ini harus
menjadi bagian dari prosedur informed consent.
2. Pasal yang diterapkan
Dalam kasus ini, terdapat pasal 71 tentang batasan umum dan pasal 72
tentang kualifikasi konselor dan terapis yang diterapkan.
a. Pasal 71 : Batasan Umum
Pasal (1) :
Konseling psikologi adalah kegiatan yang dilakukan untuk membantu
mengatasi masalah psikologis yang berfokus pada aktivitas preventif dan
pengembangan potensi positif yang dimiliki dengan menggunakan prosedur
berdasar teori yang relevan. Istilah untuk subyek yang menjalani layanan
konseling psikologi adalah klien. Konseling psikologi dapat dilakukan untuk
menyelesaikan masalah pendidikan, perkembangan manusia ataupun pekerjaan
baik secara individual maupun kelompok. Orang yang menjalankan konseling
psikologi disebut konselor.
Pasal (2) :
Terapi psikologi adalah kegiatan yang dilakukan untuk penyembuhan dari
gangguan psikologis atau masalah kepribadian dengan menggunakan prosedur
baku berdasar teori yang relevan dengan ilmu psikoterapi. Istilah untuk subyek
yang menjalani layanan terapi psikologi adalah klien. Terapi psikologi disebut
6
Psikoterapi. Terapi psikologi dapat dilakukan secara individual maupun kelompok.
Orang yang menjalankan terapi psikologi disebut psikoterapis.
b. Pasal 72 : Kualifikasi Konselor dan Psikoterapis
Pasal (1) :
Pasal (2) :
7
beban di otaknya. Bagi dia, yang menjadikan dia terbebani adalah kegagapannya
dan dengan hal tersebut dia ingin sembuh secepatnya.
Karena hal tersebut, Lionel akhirnya langsung memberikan sebuah terapi
kepada Bertie tanpa menanyakan terlebih dahulu apakah Bertie menginginkan
terapi tersebut atau tidak, setuju dengan terapi tersebut atau tidak, atau
nyaman/tidak dengan terapi yang dilakukan. Terlihat jelas didalam kasus, tidak ada
perbincangan yang menyinggung tentang informed consent saat terapi, seperti
biaya, persetujuan kontrak, proses terapi yang seperti apa yang harus dilakukan,
bagaimana menjalankan proses terapinya, bagaimana jika terapi tersebut membuat
klien tidak nyaman, dan lain sebagainya.
Terlihat jelas di kasus bahwa Lionel yang selalu mengatur semua permainan
terapinya dan Bertie harus mengikuti semua yang akan dilakukan Lionel dalam
proses terapi sampai pada akhirnya Bertie sempat tidak menginginkan proses terapi
yang dilakukan Lionel karena Bertie merasa dirinya tertekan dan tidak nyaman
dengan proses terapi tersebut. Dalam kasus tersebut, hanya dijelaskan masalah
biaya bahwa ketika Bertie tidak dapat menjalankan terapi dengan baik dan benar
apalagi sampai menghentikan proses terapi maka Bertie wajib membayar uang
(yang telah ditentukan jumlahnya) kepada Lionel, tetapi sebaliknya ketika Lionel
gagal membuat Bertie berhasil atas kekurangannya maka dia harus membayar
Bertie dan menghentikan proses terapi.
Dalam kasus ini, sebenarnya telah memenuhi semua persyaratan untuk
melakukan informed consent tetapi hanya dilakukan secara lisan tidak terdapat
tanda tangan kontrak. Hal ini bertentangan dengan pasal 73 tentang Informed
Consent konseling dan terapi. Selain itu ketika Bertie mengetahui bahwa Lionel
bukan seorang Dokter/ahli dalam bidang psikologis dan tidak mempunyai sertifikat
atau ijin praktik, ia tidak bisa melaporkannya hanya karena 1 bukti yaitu kasus
penipuan. Karena proses terapi yang dilakukan keduanya atas dasar “tolong
menolong antar sesama”.
2. Pasal yang diterapkan : pasal 71 tentang batasan umum dan pasal 72 tentang
kualifikasi konselor dan terapis.
a. Pasal 71 tentang batasan umum
8
Dalam memberikan konseling dan terapi, Lionel sudah menggunakan
prosedur dan teknik yang dianggap relavan, yang ia pelajari dan terapkan pada
klien sebelumnya juga sehingga klien sebelumnya juga tidak gagap lagi. Lionel
membangkitkan potensi-potensi positif pada diri kliennya bahwa bahasa si klien
yang gagap pasti bisa berbicara dengan baik.
b. Pasal 72 tentang kualifikasi konselor dan terapis
Lionel sudah berkompeten dalam memberikan konseling dan terapi,
menggunakan keprofesionalannya, dan memberikan layanan kepada siapa saja
yang membutuhkan baik anak kecil atau dewasa, yang kaya (raja) atau miskin
(korban perang), dll. Di dalam kasus ini, terlihat bahwa dari awal Lionel tidak
pernah menanyakan tentang status seseorang dan biaya yang dibutuhkan dalam
setiap prosesnya. Yang terlihat dalam kasus ini bahwa Lionel ingin menjadi
motivasi bagi orang-orang yang mempunyai keterbatasan untuk sembuh dengan
bekal pengalamannya bukan pendidikannya.
9
BAB III
PENYELESAIAN KASUS
Berdasarkan pelanggaran kode etik psikologi yang telah dilakukan dalam film “King
Spech Movie 2010”, maka :
1. Lionel sebagai seorang terapis yang bekerja berdasarkan pengalamannya harus tetap
melakukan prosedur-prosedur yang ada di dalam kode etik psikologi guna memperdalam
apa yang seharusnya diungkap dari seorang klien dan meminimalisir adanya kesalahan-
kesalahan yang terjadi saat proses asesmen dan intervensi berlangsung. Walaupun dalam
memberikan konseling dan terapi, Lionel sudah menggunakan prosedur dan teknik yang
dianggap relavan, yang ia pelajari dan terapkan pada klien sebelumnya. Sehingga klien
sebelumnya juga tidak gagap lagi. Lionel juga membangkitkan potensi-potensi positif
pada diri kliennya bahwa bahasa si klien yang gagap pasti bisa berbicara dengan baik.
2. Tidak adanya inform consent saat proses asesmen dan intervensi membuat kedua belah
pihak dapat memutuskan hubungan kerjasama atau kontrak yang ada tanpa didasari
adanya perjanjian-perjanjian yang tertuang dalam lembar tulisan. Sehingga Lionel sebagai
seorang terapis harus tetap memberikan inform consent terhadap klien baik inform
consent saat asesmen ataupun inform consent saat dilakukannya intervensi. Lionel
sebagai seorang terapis harus tetap melakukan asesmen terlebih dahulu kepada klien
untuk memperdalam masalah yang sedang terjadi pada klien. Selain itu, pada saat
intervensi, Lionel seharusnya tidak langsung memberikan terapi kepada klien sebelum
klien menyatakan persetujuan untuk dilakukannya sebuah intervensi. Karena dalam
proses terapi, Lionel sudah berkompeten dalam memberikan konseling dan terapi,
menggunakan keprofesionalannya, dan memberikan layanan kepada siapa saja yang
membutuhkan baik anak kecil atau dewasa, yang kaya (raja) atau miskin (korban perang),
dll. Di dalam kasus ini, terlihat bahwa dari awal Lionel tidak pernah menanyakan tentang
status seseorang dan biaya yang dibutuhkan dalam setiap prosesnya. Yang terlihat dalam
kasus ini bahwa Lionel ingin menjadi motivasi bagi orang-orang yang mempunyai
keterbatasan untuk sembuh dengan bekal pengalamannya bukan pendidikannya.
10
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
B. SARAN
1. Ilmuan psikologi atau sarjana psikologi yang ingin mendirikan praktik psikologi atau
ingin menangani klien harus melanjutkan sekolah pendidikan magister profesi
psikologi guna memperoleh surat izin praktik.
2. Profesionalitas harus dilakukan oleh seorang terapis, tanpa memandang adanya
hubungan antara klien dengan terapis, seperti hubungan sahabat ataupun teman
sejawat.
3. Inform consent harus dipertegas kembali oleh HIMPSI, guna meminimalisir adanya
penipuan atau pemutusan kontrak secara sepihak yang dilakukan oleh terapis
maupun klien.
11
KASUS 2
12
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pengantar
Kode etik adalah suatu acuan yang dibuat untuk beberapa profesi yang
memerlukannya, kode etik sendiri diyakini dapat menjadi baroometer tindakan
profesional dalam suatu profesi, termasuk psikolog yang memerluhkan kode etik
psikologi untuk mejadi acuan agar dapat bertindak selayaknya psikolog atau ilmuawan
psikologi dan sebagainya. Namun sering kali kode etik ini disalahgunakan dan tidak
dilaksanakan oleh seorang psikolog maupun ilmuwan psikolog lainnya. Sehingga adanya
pelanggaran yang bermacam-macam dilakukan oleh psikolo atau ilmuwan psikolog.
B. Gambaran Kasus
13
BAB II
1. Pasal 72 ayat 2 :
2. Pasal 73 :
3. Pasal 76 :
14
b. Psikolog perlu mendiskusikan isu perawatan atau konseling psikologi /psikoterapi
dan kesejahteraan orang yang menjalani kon-seling psikologi/psikoterapi dengan
pihak lain yang mewakili orang yang menjalani konseling psikologi/psikoterapi
tersebut dalam rangka meminimalkan risiko kebi-ngungan dan konflik.
c. Jika memungkinkan, psikolog mengkomu-nikasikan kepada psikolog pemberi
layanan praktik sebelumnya kemudian melanjutkan secara hati-hati serta peka
pada isu-isu terapeutik.
Tanpa melakukan perjanjian MA langusng menangani kasus yang dialami LO. Tidak
adanya informed consent dalam melaksanakan konseling dan terapi yang dijalankan. Hal
ini melanggar kode etik psikologi dalam Pasal 73 ayat 1 yang berbunyi
“Konselor/Psikoterapis wajib menghargai hak pengguna layanan psikologi untuk
melibatkan diri atau tidak melibatkan diri dalam proses konseling psikologi/psikoterapi
sesuai dengan azas kesediaan. Oleh karena itu sebelum konseling/psikoterapi
dilaksanakan, konselor/psikoterapis perlu mendapatkan persetujuan tertulis (Informed
Consent) dari orang yang men-jalani layanan psikologis. Persetujuan tertulis
ditandatangani oleh klien setelah mendapatkan informasi yang perlu diketahui terlebih
dahulu.”
15
menawarkan atau memberikan layanan kepada orang yang akan menjalani konseling
psikologi/psikoterapi yang sudah pernah mendapatkan konseling psikologi/psikoterapi
dari sejawat psikolog lain, harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: (b)Psikolog
perlu mendiskusikan isu perawatan atau konseling psikologi /psikoterapi dan
kesejahteraan orang yang menjalani kon-seling psikologi/psikoterapi dengan pihak lain
yang mewakili orang yang menjalani konseling psikologi/psikoterapi tersebut dalam
rangka meminimalkan risiko kebi-ngungan dan konflik. (c) Jika memungkinkan, psikolog
mengkomunikasikan kepada psikolog pemberi layanan praktik sebelumnya kemudian
melanjutkan secara hati-hati serta peka pada isu-isu terapeutik.
16
BAB III
Penyelesaian Kasus
17
BAB IV
A. Kesimpulan
Dari hasil diatas dapat disimpulkan bahwa pelanggaran kode etik psikologi ini
rentan terjadi di lingkungan masyarakat psikologi. Mulai dari pelanggaran dengan
kliennya sendiri ataupun prosedur-prosedur yang ada. Dan juga dapat disimpulkan
bahwa psikolog MA belum memahami kode etik Psikologi yang ada, sehingga
menyebabkan psikolog MA melakukan hal yang melanggar kode etik psikologi yaitu
diamana MA belum memiliki ijin praktek dan kurangnya bertanggungjawa terhadap klien
maupun rekan kerja atau seniornya, begitu pula dengan proses terapi yang MA jalankan.
Psikolog yang belum memiliki surat ijin praktek tidak diijinkan untuk melakukan
praktek psikologi. Begitu pula dengan prosedur prosedur dalam menjalankan konseling
dan terapi harus mengikuti dalam kode etik psikologi. Hal yang dilakukan oleh psikolog
MA adalah hal yang sangat melanggar kode etik psikologi dengan langsung menangani
kasus yang didapatkan tanpa mendiskusikan apa saja yang perlu didiskusikan.
B. Saran
18
DAFTAR PUSTAKA
19