Kelompok 2
Diah Permata Suryaningtyas - 1801617080
Khoula Mufida - 1801617145
Nabila Putri Ekatanti - 1801617106
A. Penjelasan Kasus
Bisa dilihat dari kasus di atas, Psikolog S telah melakukan pelanggaran dengan
menyalahi kewenangan dan keahliannya. Psikolog S memberikan prognosis yang berkaitan
dengan kondisi fisik klien, yang seharusnya tidak termasuk ke dalam bidang keahliannya.
Sikap tersebut tidak mencerminkan profesionalitas. Terlebih, Psikolog S juga melanggar poin
d), yang menyatakan bahwa seorang Psikolog atau Ilmuwan Psikologi harus adil dan tidak
memihak kepentingan salah satu pihak, sebagaimana Psikolog S melakukan manipulasi hasil
demi kepentingan R ketimbang kepentingan perusahaan.
Dalam kasus ini, Psikolog S juga melanggar pasal 16 tentang hubungan majemuk.
Dalam pelaksanaan psikotes kepada calon karyawan di suatu perusahaan, Psikolog S memiliki
hubungan saudara dengan R yang merupakan salah satu calon karyawan perusahaan tersebut.
Karena hubungan saudara tersebut, Psikolog S melakukan subjektivitas dalam penilaian
psikotes sehingga merugikan banyak pihak terutama perusahaan.
Psikolog S melakukan pelanggaran kode etik psikologi demi kepentingan dirinya. Demi
menjaga hubungan baik antar keluarganya, Psikolog S menggunakan kewenangan dan keahlian
yang dimiliki untuk melakukan praktik memanipulasi hasil psikotes saudaranya R agar
diterima menjadi karyawan dan menduduki jabatan yang tinggi di perusahaan tersebut.
Analisis:
Psikolog S melanggar pasal ini pada bagian 2, poin b, yang berbunyi Psikolog dan/atau
Ilmuwan Psikologi wajib mencegah dilakukannya pemberian layanan psikologi oleh orang atau
pihak lain yang tidak memiliki kompetensi dan kewenangan. Pada kasus ini Psikolog S sendiri
yang seharusnya mencegah dilakukannya layanan psikologi. Karena diketahui bahwa ia belum
memiliki kewenangan atas izin praktek yang diberikan HIMPSI, dan kompetensi yang belum
diketahui secara resmi. Hal ini menunjukkan bahwa ia tidak profesionalitas dalam
pekerjaannya yang berhubungan dengan pihak selain dirinya.
Analisis:
Pada kasus ini, Psikolog S melanggar pasal 20 yaitu dimana dalam deskripsi kasus
tidak dijelaskan bahwa ia melakukan informed consent sebelum melakukan intervensi
psikologis. Jikalau ia sudah memberikan informed consent kepada klien, maka ia melanggar
pada poin e yang dimana ketika melakukan intervensi psikologi ia tidak dapat merahasiakan
masalah dan nama klien sebelumnya
C. Solusi
Sangat penting bagi para calon klien untuk lebih teliti dalam memilih biro atau praktisi
psikolog yang akan mereka gunakan jasanya. Perlu ada pengumuman layanan publik yang
memperingatkan masyarakat untuk selalu mengecek kredibilitas praktisi atau psikolog melalui
data organisasi terkait seperti HIMPSI. Selain itu, perlu adanya pelatihan dan pendidikan etika
secara berkala bagi biro ataupun praktisi psikologi untuk meningkatkan kesadaran moral dan
memecahkan dilema etika yang dihadapi. Dan untuk individu yang ingin menjadi psikolog,
lebih baik tercatat secara resmi terlebih dahulu di HIMPSI untuk meminimalisir pelanggaran
kode etik psikologi.
D. Kesimpulan
Dari hasil analisis kasus pelanggaran kode etik yang sudah dibahas, dapat disimpulkan
bahwa pelanggaran kode etik psikologi rentan terjadi di lingkungan masyarakat psikologi.
Pelanggaran kode etik ini tidak jarang juga dilakukan oleh biro ataupun praktisi psikologi yang
sudah bertahun-tahun menjalani profesinya. Perlu adanya pertimbangan dan penyeleksian
tenaga kerja psikologi sebelum mereka melakukan praktik layanan psikologi. Dengan begitu
akan melahirkan tenaga kerja psikologi yang profesional demi memberikan layanan terbaik
kepada pengguna jasa psikologi.