Anda di halaman 1dari 7

ANALISIS KASUS PELANGGARAN KODE

ETIK PSIKOLOGI

Mata Kuliah : Kode Etik Psikologi 13F1

DWI DIAN ANGGRAENI / 18081081

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI


KASUS I

 Kasus 1 : Pengacara Jessica Sebut Kesaksian Psikolog Langgar Kode Etik


 Pewarta : Arindra Meodia
 Editor : Maryati
 Tanggal Publikasi : Kamis 13 Oktober 2016, 15.09 WIB
 Sumber : m.antaranews.com
https://www.google.com/amp/s/m.antaranews.com/amp/berita/590015/pengacara-
jessica-sebut-kesaksian-psikolog-langgar-kode-etik

Jakarta (ANTARA News) - Pengacara terdakwa Jessica Kumala Wongso, Otto Hasibuan,
menyebut tindakan ahli psikologi mengungkap rahasia kliennya dalam sidang perkara
pembunuhan Wayan Mirna Salihin sebagai pelanggaran kode etik profesi. Saat
menyampaikan nota pembelaan dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis,
Otto mengatakan bahwa berdasarkan hukum yang berlaku psikolog atau ahli psikologi tidak
dibolehkan mengungkapkan rahasia pengguna layanan psikologi serta orang yang dilayani di
muka umum.

Psikolog dan ilmuwan psikologi, ia menjelaskan, wajib memegang teguh rahasia yang
menyangkut klien atau pengguna layanan psikologi dalam hubungan pelaksanaan
kegiatannya. Menurut dia, psikolog hanya dapat membuka rahasia tanpa persetujuan klien
untuk keperluan hukum atau tujuan lain seperti membantu mereka yang memerlukan
pelayanan personal baik secara perorangan maupun organisasi serta untuk melindungi
pengguna layanan psikologi dari masalah atau kesulitan.

Penggunaan keterangan atau data yang diperoleh psikolog atau ilmuwan psikologi, ia
melanjutkan, hendaknya mematuhi hal-hal antara lain hanya dapat diberikan kepada pihak
berwenang dan hanya memuat hal-hal yang langsung berkaitan dengan tujuan pemberian
layanan psikologi. Selain itu, menurut dia, pengungkapan keterangan psikolog dapat
didiskusikan dengan orang-orang atau pihak yang langsung berwenang atas diri pengguna
layanan psikologi dan dikomunikasikan secara bijaksana lewat lisan atau tertulis kepada
pihak ketiga hanya bila diperlukan untuk layanan psikologi profesi.

"Dengan demikian di mana ahli psikologi Antonia Ratih, yang membuka rahasia di depan
umum, adalah bertentangan dengan kode etik profesi psikolog. Apalagi ahli psikologi ini
hadir di persidangan secara volunteer, bukan atas perintah pengadilan," kata Otto.

"Apabila membuka rahasia di muka sidang tanpa perintah pengadilan atau di mana pun itu
dapat diancam hukum pidana," tambah dia.

Dia juga menuduh jaksa penuntut umum telah keliru menafsirkan kode etik profesi tersebut.
"Sehingga penjelasan di sini hanya terkait dengan pengungkapan rahasia di sidang
pengadilan," katanya.

Identifikasi Permasalahan :

 Ahli Psikologi Antonia Ratih membeberkan rahasia hasil tes kejiwaan terdakwa,
Jessica Kumala Wongso di depan umum. Hal ini dianggap oleh Pengacara Jessica,
Otto Hasibuan sebagai pelanggaran terhadap kode etik.
 Menurut Otto Hasibuan, JPU telah keliru dalam menafsirkan tentang 'pengungkapan
rahasia' yang sah secara kode etik psikologi. Pengungkapan yang dimaksud adalah
hanya kepada yang ada di sidang pengadilan. Namun yang terjadi justru
pengungkapan rahasia ini diliput media massa dan tersebar luas ke khalayak umum.

Pasal Kode Etik Psikologi yang Dilanggar :

BAB V : KERAHASIAAN REKAM DAN HASIL PEMERIKSAAN PSIKOLOGI.

 PASAL 24 : MEMPERTAHANKAN KERAHASIAAN DATA


“Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi wajib memegang teguh rahasia yang
menyangkut klien atau pengguna layanan psikologi dalam hubungan dengan
pelaksanaan kegiatannya. Penggunaan keterangan atau data mengenai pengguna
layanan psikologi atau orang yang menjalani layanan psikologi yang diperoleh
Psikolog dan/atau Ilmuwan psikologi dalam rangka pemberian layanan Psikologi,
hendaknya mematuhi hal-hal sebagai berikut;
a) Dapat diberikan hanya kepada yang berwenang mengetahuinya dan hanya memuat
hal-hal yang langsung berkaitan dengan tujuan pemberian layanan psikologi.
b) Dapat didiskusikan hanya dengan orang-orang atau pihak yang secara langsung
berwenang atas diri pengguna layanan psikologi.
c) Dapat dikomunikasikan dengan bijaksana secara lisan atau tertulis kepada pihak
ketiga hanya bila pemberitahuan ini diperlukan untuk kepentingan pengguna layanan
psikologi, profesi, dan akademisi. Dalam kondisi tersebut identitas orang yang
menjalani pemeriksaan psikologi tetap dijaga kerahasiaannya.

Seandainya data orang yang menjalani layanan psikologi harus dimasukkan ke data dasar
(data base) atau sistem pencatatan yang dapat diakses pihak lain yang tidak dapat diterima
oleh yang bersangkutan maka Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus menggunakan
kode atau cara lain yang dapat melindungi orang tersebut dari kemungkinan untuk bisa
dikenali”.

 PASAL 27 : PEMANFAATAN INFORMASI DAN HASIL PEMERIKSAAN


UNTUK TUJUAN PENDIDIKAN ATAU TUJUAN LAIN (butir c)
(c) “Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi tidak membuka kerahasiaan pengguna
layanan psikologi serta orang yang menjalani layanan psikologi untuk keperluan
penulisan, pengajaran maupun pengungkapan di media, kecuali kalau ada alasan
kuat untuk itu”.
KASUS II

 Kasus 2 : Motivator Doktor Psikologi Dedy Susanto Dilaporkan Ke Polisi


 Tanggal Publikasi : 24 Februari 2020, 12.32
 Sumber : CNN Indonesia

https://m.cnnindonesia.com/nasional/20200224120737-12-477460/motivator-doktor-
psikologi-dedy-susanto-dilaporkan-ke-polisi

Jakarta, CNN Indonesia – Motivator yang mengklaim sebagai ‘doktor psikologi’, Dedy
Susanto, dilaporkan oleh seorang model dan selebgram bernama Revina VT ke Polda Metro
Jaya.

Laporan itu teregister dengan nomor LP/1246/II/YAN 2.5/2020/SPKT PMJ, tanggal 24


Februari 2020.

“Benar (Dedy Susanto) dilaporkan, laporannya baru saja selesai tadi pagi,” kata Kepala
Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus saat dikonfirmasi, Senin (24/2).

Dalam tanda terima laporan yang diperoleh, Dedy dilaporkan terkait tindak pidana tenaga
kesehatan Pasal 83 Pasal 64 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga
Kesehatan.

Pasal 83 sendiri berbunyi, “Setiap orang yang bukan Tenaga Kesehatan melakukan praktik
seolah-olah sebagai Tenaga Kesehatan yang telah memiliki izin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 64 dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun”.
Nama Dedy Susanto ramai diperbincangkan di masyarakat di media sosial setelah model dan
selebgram Revina VT bicara soal sosok Dedy. Dedy diketahui mengajak Revina untuk
berkolaborasi di channel YouTube. Namun, sebelum berkolaborasi, Revina lebih dulu
mencari tahu sosok Dedy.

Saat itu, Revina juga mendapat informasi bahwa Dedy diduga pernah melakukan pelecehan
seksual kepada kliennya saat melakukan proses terapi. Modusnya, mengajak korban untuk
melakukan sesi terapi di kamar hotel. Sejumlah warganet pun menudingnya belum memiliki
izin praktik sebagai psikolog.

Dedy Susanto sejauh ini belum memberikan pernyataan soal laporan ke polisi ini. Sementara
akun instagramnya sudah tidak bisa diakses sejak beberapa hari terakhir.

Identifikasi Permasalahan :

 Dedy Susanto awalnya mengajak Revina untuk berkolaborasi di Channel YouTube-


nya. Namun sebelumnya Revina mencari informasi tentang Dedy Susanto dan
menemukan bahwa Dedy Susanto pernah melakukan pelecehan seksual berkedok
terapi dengan mengajak korban ke hotel.
 Dari pengakuan Ketum Himpsi Dr Seger Handoyo, Psikolog, Dedy Susanto tidak
terdaftar sebagai anggota HIMPSI serta tidak memiliki Surat Sebutan Psikolog (SSP)
dan Surat Ijin Praktik Psikolog (SIPP) yang menjadi syarat dalam melakukan terapi.

Pasal Kode Etik Psikologi yang Dilanggar :

BAB II : MENGATASI ISU ETIKA

 PASAL 4 : PENYALAHGUNAAN DI BIDANG PSIKOLOGI (butir 3)


(3) “Pelanggaran kode etik psikologi adalah segala tindakan Psikolog dan/atau
Ilmuwan Psikologi yang menyimpang dari ketentuan yang telah dirumuskan dalam
Kode Etik Psikologi Indonesia. Termasuk dalam hal ini adalah pelanggaran oleh
Psikolog terhadap janji/sumpah profesi, praktik psikologi yang dilakukan oleh mereka
yang bukan Psikolog, atau Psikolog yang tidak memiliki Ijin Praktik, serta layanan
psikologi yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku dalam kode Etik Psikologi
Indonesia”.
BAB IV : HUBUNGAN ANTAR MANUSIA

 PASAL 14 : PELECEHAN
“Pelecehan Seksual Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dalam penerapan
keilmuannya tidak terlibat dalam pelecehan seksual. Tercakup dalam pengertian ini
adalah permintaan hubungan seks, cumbuan fisik, perilaku verbal atau non verbal
yang bersifat seksual, yang terjadi dalam kaitannya dengan kegiatan atau peran
sebagai Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi. Pelecehan seksual dapat terdiri dari
satu perilaku yang intens/parah, atau perilaku yang berulang, bertahan/sangat
meresap, serta menimbulkan trauma. Perilaku yang dimaksud dalam pengertian ini
adalah tindakan atau perbuatan yang dianggap:
a. Tidak dikehendaki, tidak sopan, dapat menimbulkan sakit hati atau dapat
menimbulkan suasana tidak nyaman, rasa takut, mengandung permusuhan
yang dalam hal ini Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi mengetahui atau
diberitahu mengenai hal tersebut atau
b. bersikap keras atau cenderung menjadi kejam atau menghina terhadap
seseorang dalam konteks tersebut,
c. sepatutnya menghindari hal-hal yang secara nalar merugikan atau patut
diduga dapat merugikan pengguna layanan psikologi atau pihak lain”.

Anda mungkin juga menyukai