Anda di halaman 1dari 21

“Kasus Dugaan Pelecehan Seksual Oleh Dedy Susanto”

Tugas Besar I Mata Kuliah Kode Etik Psikologi

Dosen Pengampu:
Winy Nila Wisudawati, S.Psi, M.Psi, Psi.

Oleh Kelompok 3:
Nurhotimah 46119110025
Agis Wulandari 46119110027
Anggraini Rahmawati 46119120047
Muhammad Adi Nugroho 46119120060
Trully Suci Givalni 46119120073
Hartanto Wijaya 46119120086
Silvia Putri Fardani 46120120040
Filbert Ezra Giovanni 46119310028

UNIVERSITAS MERCU BUANA


PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
2022
DAFTAR ISI

COVER ....................................................................................................................................................
DAFTAR ISI........................................................................................................................................... i
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang Kasus/Fenomena.................................................................................................. 3
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................................................... 3
1.3 Tujuan Penulisan........................................................................................................................... 3
1.4 Manfaat Penulisan ......................................................................................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................................................... 4
2.1 Pengertian Kode Etik .................................................................................................................... 5
2.2 Fungsi Kode Etik .......................................................................................................................... 5
2.3 Teori Meta Etika ........................................................................................................................... 5
2.4 Kode Etik Psikologi Indonesia BAB VIII Pendidikan dan/atau Pelatihan ................................... 8
BAB III PEMBAHASAN ................................................................................................................... 13
3.1 Psikolog dan Ilmuwan Psikologi................................................................................................. 13
3.2 Tinjauan Kasus Berdasarkan Meta Etika .................................................................................... 14
3.3 Tinjauan Kasus Berdasarkan Pasal 44 ........................................................................................ 15
BAB IV PENUTUP ............................................................................................................................. 17
4.1 Kesimpulan ................................................................................................................................. 17
4.2 Saran ........................................................................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................................... 19

i
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Kasus/Fenomena

Di Indonesia, istilah psikolog dan ilmuwan psikologi sudah tidak asing dalam dunia
psikologi. Menurut HIMPSI dalam Kode Etik Psikologi Indonesia (2010) Psikolog adalah
lulusan Pendidikan profesi yang berkaitan dengan praktik psikologi dengan latar belakang
Pendidikan Strata 1 (Sarjana) Psikologi dan Pendidikan Strata 2 (Magister) Psikologi Profesi.
Psikolog memiliki kewenangan untuk memberikan layanan psikologi berupa bidang-bidang
praktik klinis dan konseling, penelitian, pengajaran, supervisi dalam pelatihan, layanan
masyarakat, pengembangan kebijakan, intervensi sosial dan klinis, pengembangan instrumen
asesmen psikologi, penyelenggaraan asesmen, konseling, konsultasi organisasi, aktivitas-
aktivitas dalam bidang forensik, perancangan dan evaluasi program, serta administrasi.
Psikolog diwajibkan memiliki izin praktik psikologi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Sedangkan Ilmuwan Psikologi adalah ahli dalam bidang psikologi dengan latar belakang
Pendidikan S1-S3 Psikologi namun tidak mengambil profesi. Ilmuwan psikologi memiliki
kewenangan untuk memberikan layanan psikologi meliputi bidang-bidang penelitian,
pengajaran, supervise dalam pelatihan, layanan masyarakat, pengembangan kebijakan,
intervensi sosial, pengembangan instrument asesmen psikologi, pengadministrasian asesmen,
konseling sederhana, konsultasi organisasi, perancangan dan evaluasi program.

HIMPSI memperingatkan masyarakat agar berhati-hati dalam memilih jasa psikolog,


karena banyak psikolog gadungan yang tidak memiliki izin praktik resmi yang sesuai dengan
peraturan dan ketentuan yang berlaku. Seperti contoh kasus yang akan di bahas dalam
makalah ini yaitu mengenai Dedy Susanto seorang psikolog gadungan yang tidak memiliki
izin praktik namun ia membuka jasa terapi psikologi. Masalah tersebut bermula karena Dedy
Susanto mengajak Selebgram Bernama Revina VT untuk berkolaborasi dalam YouTubenya,
sebelum menerima ajakan tersebut Revina mencari latar belakang Dedy Susanto tersebut.
Dan hasilnya, ia ragu akan profesi Dedy Susanto sebagai psikolog dan mengunggahnya ke
Instagram pribadi miliknya dan mendapat banyak respon dari pengikut Revina VT di
Instagram yang menuai banyak kontr

1
Pada tahun 2020 terjadi kasus dugaan pelecehan seksual oleh Dedy Susanto. Dedy
Susanto adalah orang yang mengenalkan dirinya sebagai pakar pemulihan jiwa hingga
motivator, dia kerap menggunakan atribut sebagai “Doktor Psikologi”. Nama Dedy Susanto
mulanya dikenal memalui akun Instagram @pemulihanjiwa sekitar tahun 2012, akun tersebut
memiliki konten mengenai kutipan motivasi dan inspirasi tentang kesuksesan dalam
kehidupan. Hingga 2020 akun tersebut telah memiliki pengikut sekitar 1,8 juta pengikut. Dari
situ Dedy Susanto menulis buku berjudul Pemulihan Jiwa pada tahun 2013. Buku ini
merangkum mengenai postingan motivasi yang ada di akun @pemulihanjiwa dan soal latihan
memaafkan. Selain itu, di dalam buku ini Dedy mengklaim dirinya sebagai penemu metode
Theta Restoration, yaitu sebuah terapi alam bawah sadar berdasarkan fase gelombang otak.
Metode ini dipakai untuk memperbaiki mindset agar bisa sukses. Buku ini kemudian masuk
jajaran buku best seller dan Dedy dikenal sebagai pakar alam bawah sadar. Semakin
berjalannya waktu, Dedy memiliki kesuksesan ketenaran yang diakui di mata masyarakat,
sehingga ia mulai mengadakan seminar-seminar terapi pemulihan jiwa. Dia sering berlaku
layaknya sebagai psikolog. Latar Pendidikan dari Dedy Susanto sendiri ia memiliki tiga gelar
di bidang berbeda. Dikutip dari laman resmi dikti, untuk jenjang S1 Dedy menyabet gelar
Sarjana Ekonomi (SE) dari Institut Teknologi dan Bisnis Kalbis dan gelar Sarjana Psikologi
(S.Psi) dari Universitas Persada Indonesia Yai. Kemudian untuk jenjang S2, dia memperoleh
gelar Magister Manajemen (MM) dari Sekolah Tinggi Manajemen Ppm. Selanjutnya untuk
jenjang S3 dia menyabet gelar Doktor (Dr.) dari Universitas Persada Indonesia Yai.

Namun ada terjadi perdebatan dengan beberapa orang, dan mengatakan Dedy Susanto ini
tidak memiliki lisensi praktik sebagai psikolog. Pembahasan terus belanjut sehingga
terungkap perbuatan yang menghebohkan masyarakat adalah Dedy Susanto ini melakukan
pelecehan seksual pada klien saat menjalankan sesi terapi secara private dikamar hotel yang
berujung diminta untuk berhubungan badan. Dari kejadian tersebut banyak pihak yang
membeberkan atau speak up mengenai persoalan pelecehan seksual yang di lakukan oleh
Dedy Susanto. Salah satu nya adalah pelecehan seksual yang dilakukan Dedy Susanto
melalui Direct Message di Instagram. Selain itu Dedy kerap kali memposting testimoni dari
pasien-pasiennya ke Instagram miliknya, dan Dedy juga mengunggah video saat kegiatan
terapi tersebut dilakukan. Hal tersebut sangatlah bertentangan dengan kode etik psikologi
Indonesia yang telah ditetapkan.

2
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana perbedaan antara Psikolog dengan Ilmuwan Psikologi?
2. Bagaimana tinjauan kasus yang berdasarkan meta etika?
3. Bagaimana tinjauan kasus berdasarkan kode etik psikologi?

1.3 Tujuan Penulisan


Pada makalah ini tujuan penulisan adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui tentang perbedaan Psikolog dengan Ilmuwan Psikologi
2. Meninjau suatu kasus dengan berdasarkan sudut pandang Teori Meta Etika
3. Meninjau suatu kasus dengan berdasarkan Kode Etik Psikologi Indonesia

1.4 Manfaat Penulisan


Manfaat dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Sebagai pemenuhan tugas pada mata kuliah Kode Etik Psikologi
2. Untuk pembelajaran terkait dengan Kode Etik Psikologi melalui kasus yang dibahas
3. Menambahan literasi terkait kasus yang berkaitan dengan kode Etik Psikologi

3
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Kode Etik

Kode Etik merupakan diartikan sebagai pola aturan, tata cara, tanda, pedoman etis
dalam melakukan suatu kegiatan atau pekerjaan. Kode etik merupakan pola aturan atau tata
cara sebagai pedoman berperilaku. Tujuan kode etik agar profesional memberikan jasa
sebaik-baiknya kepada pemakai atau nasabahnya. Adanya kode etik akan melindungi
perbuatan yang tidak profesional. Namun jika dilihat dari beberapa rumusan yang diambil
dari berbagai sumber berikut ini dibawah pengertian dari Kode Etik:

Kode etik adalah norma dan asas yg diterima oleh kelompok tertentu sbg landasan tingkah
laku (Kamus Besar Bahasa Indonesia).

Menurut sumber Wikipedia, kode etik adalah suatu tatanan etika yang telah disepakati oleh
suatu kelompok masyarakat tertentu. Kode etik umumnya termasuk dalam norma sosial,
namun bila ada kode etik yang memiliki sanksi yang agak berat, maka masuk dalam kategori
norma hukum.

Oteng/ Sutisna mendefinisikan bahwa kode etik sebagai pedoman yang memaksa perilaku
etis anggota profesi.

Konvensi nasional IPBI ke-1 mendefinisikan kode etik sebagai pola ketentuan, aturan, tata
cara yang menjadi pedoman dalam menjalankan aktivitas maupun tugas suatu profesi.
Bahwasannya setiap orang harus menjalankan serta menjiwai akan Pola, Ketentuan, aturan
karena pada dasarnya suatu tindakan yang tidak menggunakan kode etik akan berhadapan
dengan sanksi.

Sehingga dapat ditarik kesimpulan Kode Etik dapat diartikan sebagai pola aturan, tata
cara, tanda, pedoman etis dalam melakukan suatu kegiatan atau pekerjaan. Kode etik
merupakan pola aturan atau tata cara sebagai pedoman berperilaku. Dalam kaitannya dengan
profesi, bahwa kode etik merupakan tata cara atau aturan yang menjadi standar kegiatan
anggota suatu profesi. Suatu kode etik menggambarkan nilai-nilai profesional suatu profesi
yang diterjemahkan kedalam standar perilaku anggotanya. Nilai profesional paling utama
adalah keinginan untuk memberikan pengabdian kepada masyarakat

4
Nilai profesional dapat disebut juga dengan istilah asas etis mengemukakan empat
asas etis, yaitu:

1. Menghargai harkat dan martabat

2. Peduli dan bertanggung jawab

3. Integritas dalam hubungan

4. Tanggung jawab terhadap masyarakat

Kode etik dijadikan standar aktivitas anggota profesi, kode etik tersebut sekaligus
sebagai pedoman (guidelines). Masyarakat pun menjadikan sebagai perdoman dengan tujuan
mengantisipasi terjadinya bias interaksi antara anggota profesi. Bias interaksi merupakan
monopoli profesi., yaitu memanfaatkan kekuasaan dan hak-hak istimewa yang melindungi
kepentingan pribadi yang bertentangan dengan masyarakat.

2.2 Fungsi Kode Etik

Pada dasarnya kode etik memiliki fungsi ganda yaitu sebagai perlindungan dan
pengembangan bagi profesi. Fungsi seperti itu sama seperti apa yang dikemukakan Gibson
dan yang lebih mementingkan pada kode etik sebagai pedoman pelaksanaan tugas profesional
dan pedoman bagi masyarakat sebagai seorang profesional.

Biggs dan Blocher mengemukakan tiga fungsi kode etik yaitu :

1. Melindungi suatu profesi dari campur tangan pemerintah.


2. Mencegah terjadinya pertentangan internal dalam suatu profesi.
3. Melindungi para praktisi dari kesalahan praktik suatu profesi.

2.3 Teori Meta Etika

Metaetika, disebut juga etika kritikal (critical ethics), adalah kajian tentang apa
makna istilah dan teori etika sebenarnya. “Meta” artinya setelah atau luas, dan metaetika
menunjukkan pandangan yang tajam, luas, dan dalam terhadap keseluruhan tema etika. Jadi
metaetika dapat didefinisikan sebagai kajian tentang sumber dan makna dari konsep etika.

5
Metaetika merupakan hasil dari gabungan kajian antara etika deskriptif dan etika
normatif, yang menjelaskan tentang ciri – ciri dan istilah yang berkaitan dengan dengan
tindakan bermoral atau sebaliknya seperti kebaikan, kejahatan, tanggung jawab dan
kewajiban. Penjelasan lain menyatakan metaetika mempertanyakan makna yang di kandung
dari istilah – istilah kesusilaan yang dipakai untuk membuat tanggapan – tanggapan
kesusilaan (Bambang Rudito dan Melia Famiola : 2007).

Meta etika satu bidang dari etika yang mempelajari ciri – ciri hakikat etika. Bidang ini
berusaha mempelajari masalah hakikat epistemologi dan logis dari bahasa etika. Metaetika
untuk pertama dikemukakan oleh kelompok positivisme. Menurut mereka, metaetika
merupakan disiplin filosofis khusus yang berbeda dengan disiplin yang digunakan dalam
etika normatif. Bagi mereka, metaetika hanya mempelajari bahasa etika dan netral untuk
semua pandangan moral. Para positivisme memahami metaetika sebagai studi formal semata
– mata dari keputusan – keputusan moral tanpa menghiraukan isinya. Mereka tidak
mempedulikan persoalan apa itu baik, apa itu jahat, atau bagaimana moralitas berperan
penting dalam kehidupan seseorang. Kaum positivis berpendapat bahwa mereka telah
membuat sebuah etika yang tidak memihak.

Metaetika adalah cara lain dalam mempraktekan etika sebagai ilmu. Meta berasal dari
bahasa Yunani yang mempunyai arti “melebihi”, “melampaui”. Istilah ini diciptakan untuk
menunjukkan bahwa yang dibahas disini bukanlah moralitas secara langsung, melainkan
ucapan – ucapan kita di bidang moralitas. Metaetika seolah – olah bergerak pada taraf lebih
tinggi, bukan membahas perilaku etis, tetapi lebih mengarah pada “bahasa etis” atau bahasa
yang kita pergunakan di bidang moral. Dapat dikatakan juga bahwa metaetika mempelajari
logika khusus dari ucapan – ucapan atau kata – kata etis.

Metaetika adalah bentuk analitik menganalisis semua peraturan yang berhubungan


dengan tingkah laku baik dan jahat. Kritikal yang berkaitan dengan mengkritik terhadapa apa
– apa yang telah di analisis. Metaetika mengkaji asal prinsip – prinsip etika dan
penggunaannya. Pertanyaannya adalah apakah prinsip – prinsip etika merupakan suatu rekaan
sosial? Adakah prinsip – prinsip etika sosial ini merupakan gambaran daripada emosi
individu? Metaetikalah yang menjawab semua persoalaan ini yang memfokuskan kebenaran
universal, secara umum, juga ketentuan Tuhan, alasan kepada penilaian etika dan definisi
istilah-istilah yang berkaitan dengan etika itu sendiri.

6
Metaetika ini tergolong dalam bagian “filsafat analitis”, suatu aliran penting dalam
filsafat abad ke – 20. Filsafat analitis menganggap analisis bahasa adalah tugas terpenting
bagi filsafat atau bahkan sebagai satu – satunya tugas filsafat. Awal mula aliran ini
berkembang terjadi pada abad ke – 20 di Inggris dan salah satu pelopor dari aliran ini adalah
George Moore. Dari Inggris filsafat analitis meluas ke berbagai negara lain, tapi di negara-
negara berbahasa Inggris (seperti AS dan Australia) posisinya selalu mendominasi. Hal yang
sama dapat dikatakan tentang metaetika. Karena keterkaitannya dengan filsafat analitis ini,
metaetika kadang disebut juga “etika analitis”.

Beberapa ahli teori berpendapat bahwa penjelasan metafisik tentang moralitas sangat
diperlukan untuk mengevaluasi ketepatan dari teori moral aktual dan untuk membuat
keputusan moral praktis; yang lain beralasan dari premis yang berlawanan dan menyarankan
mempelajari penilaian moral tentang tindakan yang tepat dapat membimbing kita ke
penjelasan yang benar tentang sifat moralitas.

Richard Garner dan Bernard Rosen berpendapat, ada tiga macam masalah metaetik,
atau tiga pertanyaan umum: Garner dan Rosen mengatakan bahwa jawaban atas tiga
pertanyaan dasar "bukanlah tidak berhubungan, dan terkadang jawaban untuk satu pertanyaan
akan sangat menyarankan, atau bahkan mungkin memerlukan, jawaban untuk pertanyaan
lain”. Tidak seperti teori etika normatif, teori meta etika tidak berusaha untuk mengevaluasi
pilihan tertentu sebagai mana yang lebih baik, lebih buruk, baik, buruk, atau jahat; meskipun
mungkin memiliki implikasi yang mendalam untuk validitas dan makna klaim etika normatif.
Jawaban atas salah satu dari tiga contoh pertanyaan di atas tidak dengan sendirinya menjadi
pernyataan etis normatif.

Terdapat dua aliran utama pemikiran dalam meta etika, yaitu realisme dan non-
realisme. Aliran realisme berusaha “menjelaskan apa” dan “tentang apa sesungguhnya nilai –
nilai etika itu”. Realism, menyatakan bahwa nilai – nilai moral merupakan properti intrinsik
dunia dan prinsip – prinsip etika dengan mudah dapat ditemukan atau dirasakan secara
intuitif. Menurut pandangan ini, nilai – nilai etika yang dianut manusia dapat sangat
merefleksikan kebenaran mandiri di mana validasinya harus dinilai. Teori ini umumnya
diturunkan dari teologi atau naturalisme, karenanya lebih dikenal sebagai kajian metafisika.
Aliran lain dari teori metaetika disebut non-realisme, yang berpendapat bahwa nilai – nilai
moral merupakan hasil kreasi, tergantung pada perasaan dan tujuan orang – orang
sehubungan dengan diri mereka dan orang lain (emotivisme atau preskriptivisme) atau sistem

7
kepercayaan mereka (relativisme budaya atau individu).Terlepas dari nama “non-realist”,
teorinya membahas realitas sebagai sesuatu yang penting dalam membentuk pilihan manusia
dari nilai – nilai etika. Hal ini hanya terjadi secara tidak langsung, misalnya, lewat psikologi
tentang evolusi dan perkembangan kehidupan manusia, atau secara langsung, misalnya,
melalui penilaian atau debat orang – orang tentang konsekuensi perilaku mereka.

Dengan demikian, metaetika memberi perhatian pada arti khusus dari bahasa etika,
seperti apa yang dimaksud dengan kata “baik” ataupun “buruk” ketika dihubungkan dengan
realitas tertentu.

2.4 Kode Etik Psikologi Indonesia BAB VIII Pendidikan dan/atau Pelatihan

Pasal 37 : Pedoman Umum

1. Pendidikan Adalah prroses pengubahan sikap dan tingkah laku individu / kelompok /
komunitas yang bertujuan membawa kearah yang lebih baik melalui upaya pengajaran
dan pelatihan.
2. Pendidikan dalam pengertian ini termasuk pendidikan bergelar atau non gelar.

 Pendidikan bergelar yaitu program pendidikan yang dilaksanakan oleh


perguruan tinggi.

 Pendidikan non gelar adalah kegiatan yang dapat dilaksanakan oleh perguruan
tinggi, Himpsi, Asosiasi/Ikatan minat dan atau praktik spesialisasi psikologi
atau lembaga lain yang kegiatanya mendapat pengakuan dari Himpsi.

3. Pelatihan adalah kegiatan yang bertujuan membawa kea rah yang lebih baik yang
dapat 2010 dilaksanakan oleh perguruan tinggi, Himpsi, Asosiasi/Ikatan minat dan
atau praktik spe-sialisasi psikologi atau lembaga lain yang kegiatannya mendapat
pengakuan dari Himpsi.

Pasal 38 : Rancangan dan Penjabaran Program Pendidikan dan Pelatihan

1. Psikolog dan ilmuwan psikolog yang bertanggung jawab atas program pendidikan dan
pelatihan mengadakan langkah-langkah yang tepat untuk memastikan bahwa program
yang dirancang memberikan pengetahuan yang tepat dan pengalaman yang layak
untuk memenuhi kebutuhan.

8
2. Psikolog dan ilmuwan psikolog mengambil langkah yang memadai guna memastikan
pen-jabaran rencana pendidikan dan pelatihan secara tepat dan materi yang akan
dibahas, dasar-dasar untuk evaluasi kemajuan dan sifat dari pengalaman pendidikan.
Standar ini tidak membatasi pendidik, pelatih atau supervisor untuk memodifikasi isi
program pendidikan atau pelatihan persyaratan jika dipandang penting atau
dibutuhkan, selama peserta pen-didikan atau pelatihan diberitahukan akan adanya
perubahan dalam rangka memung-kinkan mereka untuk memenuhi persyaratan
pendidikan dan pelatihan.
3. Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi menyusun program pendidikan dan/atau
pelatihan ber-dasarkan teori dan bukti-bukti ilmiah dan ber-orientasi pada
kesejahteraan peserta pendidikan dan/atau pelatihan Jika psikolog atau ilmuwan
Psikologi menggunakan program yang telah disusun oleh pihak lain, maka ia
seyogyanya mendapatkan ijin penggunaan program tersebut atau setidak-tidaknya
mencantumkan nama penyusun program.
4. Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dalam melaksanakan pendidikan dan/atau
pelatihan diawali dengan menyusun rencana berdasarkan teori yang relevan sehingga
dapat dipahami oleh pihak-pihak lain yang berkepentingan. Psikolog dan/atau
Ilmuwan Psikologi membuat desain pendidikan dan/atau pelatihan, melaksanakan dan
melaporkan hasil yang disusun sesuai dengan stándar atau kompetensi ilmiah dan etik.

Pasal 39 : Keakuratan dalam pendidikan atau pelatihan

Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi mengambil langkah yang tepat guna


memastikan rencana pendidikan dan/atau pelatihan berdasar perkembangan kemajuan
pengetahuan terkini dan sesuai dengan materi yang akan dibahas serta berdasarkan
kajian teoritik maupun bukti-bukti empiris yang ada.

Pasal 40: Informed consent dalam pendidikan atau pelatihan

Sebagaimana yang di jelaskan sebelumnya inform consent sangat penting


dilakukan sebelum melakukan pelayanan psikologi. Begitu juga dengan pelatihan dan
pendidikan, psikolog dan ilmuwan psikologi hendaklah mendapatkan inform consent
sebelum melakukan pelatihan dan pendidikan.

9
Adapun pengecualian untuk dapat melakukan pelatihan ataupun pendidikan tanpa
inform consent adalah:

 Pelaksanaan pelatihan diatur oleh peraturan pemerintah atau hukum

 Pelaksanaan dilakukan sebagai bagian dari kegiatan pendidikan,


kelembagaan atau orgainsasi secara rutin misal: syarat untuk kenaikan
jabatan.

Pasal 41:Pengungkapan informasi peserta pendidikan atau pelatihan

Seorang psikolog dan ilmuwan psikologi hendaklah memperhatikan hal hal


berikut ini dalam memberikan informasi mengenai peserta yang mengikuti
pelatihan dan pendidikan:

1. Melindungi peserta dari dampak buruk yang disebabkan oleh keikutsertaannya


dalam pendidikan atau pelatihan apabila ada Psikolog dan/atau Ilmuwan
Psikologi mengambil langkah-langkah untuk melindungi perorangan atau
kelompok yang akan menjadi peserta pendidikan dan/atau pelatihan dari
konsekuensi yang tidak menyenangkan, baik dari keikut-sertaan atau
penarikan diri/pengunduran dari keikutsertaan.
2. Tidak meminta peserta untuk mengungkapkan informasi pribadi dan riwayat
hidup yang bersifat pribadi dalam kegiatan pelatihan dan pendidikan, kecuali
diperlukan untuk penanganan kasus. Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi
tidak meminta peserta pendidikan dan/atau pelatihan untuk mengungkapkan
informasi pribadi mereka dalam kegiatan yang berhubungan dengan program
yang dilakukan, baik secara lisan atau tertulis, yang berkaitan dengan sejarah
kehidupan seksual, riwayat penyiksaan, perlakuan psikologis dari hubungan
dengan orangtua, teman sebaya, serta pasangan atau pun orang-orang yang
signifikan lainnya. Hal tersebut tidak diberlakukan, kecuali jika program ini
menjadi satu cara atau pendekatan yang dianggap penting dan tepat untuk
dapat memahami, berempati, memfasilitasi pemulihan dan/atau memampukan
peserta untuk menemukan pendekatan penanganan yang tepat bagi isu atau
kasus khusus tersebut.
3. Bila informasi pribadi harus diungkapkan harus melibatkan psikolog yang
terlatih dan melindungi peserta dari dampak buruk yang mungkin terjadi. Bila

10
4. pengungkapan informasi pribadi yang peka harus dilakukan, hal tersebut harus
dilakukan oleh Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang terlatih untuk
memastikan kebermanfaatan maksimal, mencegah dampak negatif dari hal
tersebut, serta untuk tetap memastikan tidak diungkapkannya informasi
pribadi tersebut dalam konteks lain di luar kegiatan ini oleh semua pihak yang
terlibat.

Pasal 42: Kewajiban peserta pendidikan dan pelatihan untuk mengikuti program
pendidikan yang disyaratkan.

Bila suatu pendidikan dan/atau pelatihan atau suatu kegiatan merupakan


persyaratan dalam suatu program pendidikan dan/atau pelatihan, maka penyelenggara
harus bertanggung jawab bahwa program tersebut tersedia. Pendidikan dan/atau
pelatihan yang disyaratkan tersebut diberikan oleh ahli dalam bidangnya yang dapat
tidak berhubungan dengan program pendidikan dan/atau pelatihan tersebut.

Pasal 43: Penilaian kinerja peserta pelatihan atau pendidikan dan orang yang
disupervisi

Adapun hal hal yang perlu diperhatikan oleh psikolog dan ilmuwan psikologi
dalam hal penilaian kinerja peserta pelatihan atau orang yang di supervisi adalah
Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi dalam bidang pendidikan, pelatihan,
pengawasan atau supervisi, menetapkan proses yang spesifik dan berjadwal untuk
memberikan umpan balik kepada peserta pendidikan dan/atau pelatihan atau orang
yang disupervisi. Informasi mengenai proses tersebut diberikan pada awal
pengawasan.

Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi mengevaluasi kinerja peserta pendidikan


dan atau pelatihan atau orang yang disupervisi berdasarkan persyaratan program yang
relevan dan telah ditetapkan sebelumnya

Pasal 44: Keakraban seksual dengan peserta pendidikan atau pelatihan atau orang
yang disupervisi

Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi tidak terlibat dalam keakraban seksual


dengan peserta pendidikan dan/atau pelatihan atau orang yang sedang disupervisi,
orang yang berada di agensi atau biro konsultasi psikologi, pusat pelatihan atau

11
tempat kerja dimana Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi tersebut mempunyai
wewenang akan menilai atau mengevaluasi mereka.

Bila hal di atas tidak terhindari karena berbagai alasan misalnya karena adanya
hubungan khusus yang telah terbawa sebelumnya, tanggung jawab tersebut
harusdialihkan pada Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi lain yang memiliki
hubungan netral dengan peserta untuk memastikan obyektivitas dan meminimalkan
kemungkinan-kemungkinan negatif pada semua pihak yang terlibat

12
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Psikolog dan Ilmuwan Psikologi

Dalam dunia psikologi di Indonesia dikenal istilah psikolog dan ilmuwan psikologi.
Psikolog adalah lulusan pendidikan profesi yang berkaitan dengan praktik psikologi dengan
latar belakang pendidikan S1 Psikologi plus pendidikan profesi psikologi menurut kurikulum
lama dan S2 Magister Psikologi Profesi menurut kurikulum baru. Ilmuwan psikologi adalah
ahli dalam bidang psikologi dengan latar belakang pendidikan S1, S2, dan S3 dalam bidang
psikologi (non-profesi).

Menurut Kode Etik Psikologi Indonesia yang disusun oleh Himpunan Psikologi
Indonesia (HIMPSI), psikolog dan ilmuwan psikologi memiliki kewenangan yang berbeda.
Perbedaan peran antara psikolog dan ilmuwan psikologi terletak pada kewenangan dalam
melakukan praktik psikologi. Hanya psikolog yang memiliki izin praktiklah yang berwenang
untuk melakukan praktik psikologi, terutama yang berkaitan dengan asesmen dan intervensi
psikologi. Sedangkan ilmuwan psikologi tidak memiliki kewenangan untuk melakukan
praktik psikologi tersebut. Untuk mengetahui lebih detail mengenai perbedaan peran dan
kewenangan antara psikolog dan ilmuwan psikologi, khalayak dapat mencermati Pasal 1 ayat
3 dan 4 serta Pasal 7 ayat 1 dan 2 dalam Kode Etik Psikologi yang dapat diunduh bebas di
internet.

Jika diamati latar belakang pendidikan Dedy Susanto, dengan asumsi semua riwayat
pendidikannya valid, maka dia masuk ke klasifikasi ilmuwan psikologi. Meskipun Dedy
Susanto adalah doktor dalam bidang psikologi, menurut Kode Etik Psikologi, ia tetap tidak
berwenang untuk melakukan praktik psikologi. "Bahkan S1 Pariwisata pun, misalkan yang
nggak ada hubungan dengan psikologi, bila ia ambil sertifikasi NLP practitioner,
Hypnotherapy practitioner, dll, dia boleh buka praktek," begitu tulis Dedy Susanto dalam
unggahan klarifikasinya.

Di sinilah letak celah lemahnya regulasi praktik psikologi di Indonesia. Meskipun apa
yang dilakukan oleh Dedy Susanto dinilai tidak etis oleh banyak profesional kesehatan
mental, namun apa yang ia lakukan tidak dapat disalahkan atau dituntut karena memang
belum ada regulasi maupun payung hukum yang mengatur praktik-praktik psikologi di
Indonesia. Tidak ada regulasi yang menyebutkan bahwa psikoterapi hanya boleh dilakukan

13
oleh psikolog dan psikiater. Dan, tidak ada pula regulasi yang menjelaskan seperti apa
kedudukan psikoterapis yang melakukan praktik psikologi hanya dengan modal sertifikasi
psikoterapi tertentu. Padahal, aktivitas psikoterapi bukanlah aktivitas main-main. Bagi
seorang psikolog profesional, psikoterapi adalah "obat" yang diberikan kepada klien untuk
mengatasi hambatan maupun gangguan yang dialaminya. Ibarat obat yang memiliki efek
samping, psikoterapi juga bukan aktivitas yang bebas dari risiko. Tak selamanya psikoterapi
yang dijalankan dapat berdampak positif bagi klien. Dalam kondisi-kondisi tertentu,
psikoterapi dapat tidak berpengaruh apapun atau justru menimbulkan efek negatif bagi klien.
Pada prinsipnya, tidak ada satu teknik psikoterapi yang pasti ampuh untuk semua jenis
gangguan dan semua jenis orang. Inilah yang dipelajari oleh psikolog profesional selama
setidaknya tujuh tahun menempuh pendidikan psikologi plus profesi, untuk memahami
dinamika psikologi, menegakkan diagnosis, dan mampu memberikan psikoterapi yang tepat.

3.2 Tinjauan Kasus Berdasarkan Meta Etika


Pada kasus Dedy Susanto, yang cukup menjadi perhatian mencolok adalah status dari
Dedy Susanto sebagai seorang praktisi yang bukan merupakan seorang Psikolog/Psikiater.
Meninjau hal tersebut, jika dilihat dengan kajian meta etika, tidak bisa juga kita mentah-
mentah mengatakan bahwa yang dilakukan oleh Dedy Susanto adalah sebuah kesalahan.
Jika dilihat dari manfaat yang diberikan oleh Dedy kepada klien-kliennya, ia bisa jadi
melakukan tindakan yang baik sebagai seorang praktisi yang memberikan manfaat kepada
kliennya sehingga klien-kliennya tersebut merasa terbantu dengan praktik yang diberikan
olehnya. Namun meski begitu, terdapat kode etik psikologi di Indonesia yang memberikan
gambaran jelas batasan-batasan etika kepada profesi yang melakukan praktek psikologi.
Disini yang membuat kasus Dedy harus ditinjau lebih dalam, karena seperti pada yang
disampaikan sebelumnya bahwa untuk dikatakan sebagai profesi, Dedy bukan merupakan
seorang psikolog tetapi juga merupakan seorang praktisi karena telah mengambil sertifikasi.
Disini harus dilakukan peninjauan lebih terkait praktek seperti apa yang memang boleh
dilakukan seseorang yang hanya mengambil sertifikasi tetapi bukan seorang yang berprofesi
sebagai psikolog.
Jika mengacu kepada kode etik psikologi, beberapa hal yang dilakukan oleh Dedy
Susanto memang tidak sesuai dengan isi dari kode etik yang seharusnya dilakukan. Kode etik
ini salah satunya juga menghindari agar suatu praktek psikologi atau psikoterapi tidak
berpengaruh negatif atau menimbulkan efek negatif bagi klien yang bersangkutan. Yang
dikhawatirkan sebenarnya disini jika ditilik dari sudut pandang meta etika adalah praktek

14
yang dilakukan oleh Dedy Susanto, yang memang tidak sesuai dengan kode etik psikologi
akan menimbulkan efek negatif kepada klien-klien yang ditanganinya. Hal ini juga memang
perlu ditinjau pula lebih jauh untuk mengetahui sejauh mana efek yang ditimbulkan oleh
Dedy Susanto kepada klien-kliennya, serta dampak yang diberikan memang sudah mengarah
ke arah yang positif ataupun sebaliknya.
Dari sudut meta etika, hal-hal yang dilakukan oleh Dedy Susanto dalam prakteknya
bisa dilihat ternyata memiliki dua sisi, merupakan hal yang baik untuk membantu seseorang
dan merupakan hal yang buruk dengan melakukan hal-hal yang diluar kode etik psikologi.
Seharusnya pada kasus ini, tinjauan harus dilakukan dengan lebih mendalam oleh pihak-
pihak berwenang. Namun disayangkan juga bahwa terletak celah lemahnya regulasi praktik
psikologi di Indonesia dengan belum ada regulasi maupun payung hukum yang mengatur
praktik-praktik psikologi di Indonesia.
3.3 Tinjauan Kasus Berdasarkan Pasal 44

Dalam Kode Etik Psikologi Indonesia Pasal 44 tentang Keakraban Seksual dengan
Peserta Pendidikan dan/atau Pelatihan atau Orang yang di Supervisi. Dalam Ayat 1
disebutkan, psikolog dan/atau ilmuwan psikologi tidak terlibat dalam keakraban seksual
dengan peserta pendidikan dan/atau pelatihan atau orang yang sedang disupervisi, orang yang
berada di agensi atau biro konsultasi psikologi, pusat pelatihan atau tempat kerja di mana
Psikolog dan/atau ilmuwan psikologi tersebut mempunyai wewenang akan menilai atau
mengevaluasi mereka.

Sementara itu dalam Ayat 2, bila hal di atas tidak terhindar karena berbagai alasan
misalnya karena adanya hubungan khusus yang telah terbawa sebelumnya, tanggung jawab
tersebut harus dialihkan pada Psikolog dan/atau ilmuwan psikologi lain yang memiliki
hubungan netral dengan peserta untuk memastikan konektivitas dan meminimalkan
kemungkinan-kemungkinan negatif pada semua pihak yang terlibat.

Mengacu kepada pasal tersebut, jika bertemu dengan klien di jalan, seharusnya tidak
diperbolehkan menyapa duluan ataupun memperkenalkan diri sebelum dimulai oleh klien
terlebih dahulu, apalagi jika klien sedang bersama dengan kerabat atau keluarganya. Ini
karena kita harus menjaga privasi dari klien. Lalu tidak terlepas pada menyapa, hal-hal
seperti memasang testimonial dan menuliskan pengalaman orang lain yang membaik saat
melakukan proses terapi, sampai merekam dan mempublikasikan di media sosial, hal-hal
tersebut seharusnya tidak dilakukan. Pada instagram Dedy kerap ditemukan posting terkait

15
testimoni dari pasien-pasiennya, selain itu Dedy juga mengunggah video saat kegiatan terapi,
dan hal tersebut sangat bertentangan dengan kode etik psikologi Indonesia yang telah
ditetapkan.

16
BAB IV
KESIMPULAN & SARAN
4.1 Kesimpulan
Menurut HIMPSI dalam Kode Etik Psikologi Indonesia (2010), psikolog adalah
lulusan pendidikan profesi yang berkaitan dengan praktik psikologi dengan latar belakang
pendidikan Strata 1 (Sarjana) Psikologi dan Pendidikan Strata 2 (Magister) Psikologi Profesi.
Psikolog diwajibkan memiliki izin praktik psikologi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Sedangkan ilmuwan psikologi adalah ahli dalam bidang psikologi dengan latar belakang
Pendidikan S1-S3 psikologi namun tidak mengambil profesi.
HIMPSI memperingatkan masyarakat agar berhati-hati dalam memilih jasa psikolog,
karena banyak psikolog gadungan yang tidak memiliki izin praktik resmi yang sesuai dengan
peraturan dan ketentuan yang berlaku. Dedy Susanto seorang psikolog gadungan yang tidak
memiliki izin praktik namun ia membuka jasa terapi psikologi. Pada tahun 2020 terjadi kasus
dugaan pelecehan seksual oleh Dedy Susanto pada klien saat menjalankan sesi terapi. Selain
itu Dedy kerap kali memposting testimoni dari pasien-pasiennya ke Instagram miliknya, dan
Dedy juga mengunggah video saat kegiatan terapi tersebut dilakukan. Hal tersebut sangatlah
bertentangan dengan kode etik psikologi Indonesia yang telah ditetapkan.
Kode etik merupakan sebagai pola aturan, tata cara, tanda, pedoman etis dalam
melakukan suatu kegiatan atau pekerjaan. Kode etik merupakan pola aturan atau tata cara
sebagai pedoman berperilaku. kode etik memiliki fungsi ganda yaitu sebagai perlindungan
dan pengembangan bagi profesi, sebagai pedoman pelaksanaan tugas profesional dan
pedoman bagi masyarakat sebagai seorang profesional.
Meta etika merupakan suatu bentuk analitik yang berkaitan dengan menganalisis
semua peraturan yang berkaitan dengan tingkah laku baik dan jahat. Kode Etik Psikologi
Indonesia dari pasal 37-44 antara lain pedoman umum, rancangan dan penjabaran program
pendidikan dan pelatihan, keakuratan dalam pendidikan atau pelatihan, informed consent
dalam pendidikan atau pelatihan, pengungkapan informasi peserta pendidikan atau pelatihan,
kewajiban peserta pendidikan dan pelatihan untuk mengikuti program pendidikan yang
disyaratkan, penilaian kinerja peserta pelatihan atau pendidikan dan orang yang
disupervisi, keakraban seksual dengan peserta pendidikan atau pelatihan atau orang yang
disupervisi.

17
4.2 Saran
Penulis mempunyai harapan agar dengan adanya makalah ini maka dapat menambah
wawasan masyarakat luas untuk lebih berhati-hati dalam memilih piskolog yang tepat dan
bagi para psikolog agar bekerja secara profesional mengikuti kode etik yang berlaku sesuai
pasal kode Etik Psikologi Indonesia. Saran untuk penulis berikutnya adalah penulis
diharapkan untuk lebih maksimal dalam menggali informasi terkait contoh kasus lainnya
khususnya di Indonesia yang melanggar kode Etik Psikologi Indonesia.

18
DAFTAR PUSTAKA

Dedy Susanto, Dokter Psikologi yang Dianggap Melanggar Kode Etik hingga Dugaan
Pelecehan Seksual. (2020, February 17). Pikiran Rakyat Bekasi. Retrieved September
20, 2022, from https://bekasi.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-12341240/dedy-susanto-
dokter-psikologi-yang-dianggap-melanggar-kode-etik-hingga-dugaan-pelecehan-
seksual
(DOC) Etika Normatif , Meta-etika , Applied Ethics | David Sinaga. (n.d.). Academia.edu.
Retrieved September 20, 2022, from
https://www.academia.edu/13433854/Etika_Normatif_Meta_etika_Applied_Ethics
(n.d.). Meta-etika. Retrieved September 20, 2022, from https://hmn.wiki/id/Meta-ethical
META-ETIKA - UNKRIS. (n.d.). UNKRIS Jakarta. Retrieved September 20, 2022, from
http://p2k.unkris.ac.id/ind/1-3065-2962/Meta-Etika_50988_s2-unkris_p2k-
unkris.html
Hasfah, U., (2021). Etika Individu Dan Sosial Dalam Pemikiran Thabathaba’i. Journal of
Islam and Plurality, 6(1), 31 – 47
Heboh Skandal Psikolog Mesum, Ini Akun IG Kumpulan Korban Dedy Susanto. (2020,
February 17). InsertLive. Retrieved September 20, 2022, from
https://www.insertlive.com/hot-gossip/20200217134847-7-81564/heboh-skandal-
psikolog-mesum-ini-akun-ig-kumpulan-korban-dedy-susanto
INDONESIA, H. P. (2010). KODE ETIK PSIKOLOGI INDONESIA. Pengurus Pusat
Himpunan Psikologi Indonesia.
Kasus Dedy Susanto dan Kerentanan Perempuan Jadi Korban. (2020, February 17).
Magdalene. Retrieved September 20, 2022, from https://magdalene.co/story/kasus-
dedy-susanto-dan-kerentanan-perempuan-jadi-korban
Pendidikan dan Pelatihan yang Diperlukan Psikolog dan Ilmuwan Psikologi. (2015,
September 26). Psikologi Multitalent. Retrieved September 20, 2022, from
https://www.psikologimultitalent.com/2015/09/pendidikan-dan-pelatihan-yang.html
Purnama, F, F., (2018). Mengurai Polemik Abadi Absolutisme Dan Relativisme Etika. Jurnal
Living Islam, 1(2), 273 – 298
Uyun, M. (2020). Peran Psikolog dalam Bidang Pendidikan, Pemerintahan dan Industri.
Psympathic, Volume 7, Nomor 1, 2020: 61-78.

19

Anda mungkin juga menyukai