Anda di halaman 1dari 18

KODE ETIK PSIKOLOGI

Dosen Pengampu

 Siti Raudhoh, S.Psi., M.Psi.


 Dessy Pramudiani, S.Psi., M.Psi., Psikolog
 Nurul Hafizah, M.Psi., Psikolog.

Disusun Oleh

 Muhammad Fajar (G1C121017)


 Aisya Syakinah Ulza (G1C121073)
 Heza Septiarani (G1C121077)

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JAMBI
2022/2023
DAFTAR ISI

Dosen Pengampu: ..................................................................................... Error! Bookmark not defined.


PENDAHULUAN .................................................................................................................................. 3
A. Latar Belakang........................................................................................................................... 3
B. Tujuan ........................................................................................................................................ 5
KAJIAN TEORI.................................................................................................................................... 6
A. Kode Etik Psikologi.................................................................................................................... 6
1. Pasal 37 (Pedoman Umum) ........................................................................................................ 8
2. Pasal 38 (Rancangan dan Penjabaran Program Pendidikan dan/atau Pelatihan) ................. 9
BAB III ................................................................................................................................................ 16
PENUTUP............................................................................................................................................ 16
A. Kesimpulan .............................................................................................................................. 16
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................... 17
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kode etik merupakan acuan yang dibuat untuk beberapa profesi yang
membutuhkannya, kode etik sendiri dipercaya dapat menjadi barometer tindakan
profesional dalam suatu profesi, termasuk para psikolog yang membutuhkan kode etik
psikologis untuk dijadikan acuan agar dapat Bertindak. sebagai psikolog atau
ilmuwan psikolog dan sebagainya. Namun, kode etik ini sering disalahgunakan dan
diabaikan oleh para psikolog dan psikolog lainnya. Tidak menutup kemungkinan para
psikolog atau psikolog ilmiah telah melakukan berbagai pelanggaran. Pada makalah
ini berfokus kepada BAB VIII dari kode etik psikologi Indonesia. Pada bab ini terdiri
dari 8 pasal mulai dari pasal 37 – 44. Pasal 37 berisikan Pedoman Umum yang
membahas tentang Pendidikan serta Selain itu juga memastikan Pendidikan bergelar
atau non gelar dan pelatihan, (Pelatihan adalah kegiatan yang bertujuan membawa
kearah yang lebih baik yang dapat dilaksanakan oleh Perguruan Tinggi, Himpsi,
Asosiasi/Ikatan Minat dan/atau Praktik Spesialisasi Psikologi atau lembaga lain yang
kegiatannya mendapat pengakuan dari Himpsi. Pasal 38 membahas mengenai
Rancangan dan Penjabaran Program Pendidikan dan/atau Pelatihan dimana Psikolog
dan atau Ilmuwan Psikologi menyusun program pendidikan dan/atau pelatihan
berdasarkan teori dan bukti-bukti ilmiah dan berorientasi pada kesejahteraan peserta
pendidikan dan/atau pelatihan. Selanjutnya adalah Pasal 39 yang membahas
Keakuratan dalam Pendidikan dan/atau Pelatihan. Psikolog dan/atau Ilmuwan
Psikologi mengambil langkah yang tepat guna memastikan rencana pendidikan
dan/atau pelatihan berdasar perkembangan kemajuan pengetahuan terkini dan sesuai
dengan materi yang akan dibahas serta berdasarkan teori yang ada. Pasal ini
menjelaskan bahwa psikolog dan ilmuwan psikolog dalam mengambil Langkah dalam
pendidikan dan pelatihan harus berdasarkan perkembangan kemajuan pengetahuan
yang ada. psikolog dan ilmuwan psikologi bertanggung jawab atas akurasi dan tujuan
pengajaran, pelatihan dan pendidikan yang diselenggarakannya.

Pasal selanjutnya adalah Pasal 40 yang membahas mengenai Informed Consent


dalam Pendidikan dan/atau Pelatihan Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus
memperoleh persetujuan untuk melaksanakan pelatihan sebagaimana yang dinyatakan dalam
standar informed consent, kecuali jika

a) Pelaksanaan pelatihan diatur oleh peraturan pemerintah atau hukum;

b) Pelaksanaan dilakukan sebagai bagian dari kegiatan pendidikan, kelembagaan

atau orgainsasi secara rutin misal: syarat untuk kenaikan jabatan.

Pasal 41 Pengungkapan Informasi Peserta Pendidikan dan/atau Pelatihan , yaitu


Penjelasan bahwa psikolog dan ilmuwan psikologi tidak meminta peserta pendidikan dan
pelatihan untuk mengungkapkan informasi pribadi tertentu. Psikolog dan Ilmuwan psikologi
menjaga kerahasiaan klien yang berkaitan dengan pengurusan data-data dalam pemberian
jasa psikologi dengan memperhatikan kaidah hukum. Penjabaran bahwa informasi yang
bersifat sangat pribadi dapat dipastikan manfaatnya secara maksimal dan dapat dicegah
dampak negatifnya serta terjaga kerahasiaannya. Psikolog dan Ilmuwan psikologi wajib
memegang teguh rahasia yang menyangkut klien. Hal-hal yang harus dipatuhi adalah
memberikan hanya kepada pihak yang berwenang mengetahuinya, dapat didiskusikan hanya
dengan orang-orang atau pihak yang secara langsung berwenang atas diri klien atau pemakai
jasa, dapat dikomunikasikan dengan bijaksana secara lisan atau tertulis kepada pihak ketiga
hanya bila pemberitahuan ini diperlukan untuk kepentingan klien, profesi dan akademisi
namun identitas klien yang bersangkutan tetap dirahasiakan. Pasal 42 Kewajiban Peserta
Pendidikan dan/atau Pelatihan untuk Mengikuti Program Pendidikan yang disyaratkan Bila
suatu pendidikan dan/atau pelatihan atau suatu kegiatan merupakan persyaratan dalam suatu
program pendidikan dan/atau pelatihan, maka penyelenggara harus bertanggung jawab bahwa
program tersebut tersedia. Menjelaskan mengenai pemberian terapi pada pelaksanaan
pendidikan dimana pemberian terapi tersebut diberikan oleh praktisi atau ahli terapi yang
tidak terlibat dengan program pengajaran tersebut, sedangkan pengajar yang bertanggung
jawab atas evaluasi dan prestasi akademik mahasiswa tidak boleh memberikan terapi yang
disyaratkan dalam pengajaran.

Selanjutnya adalah Pasal 43 Penilaian Kinerja Peserta Pendidikan dan/atau Pelatihan atau
Orang yang Disupervisi yaitu menjelaskan mengenai evaluasi yang dilakukan oleh Psikolog
dan lmuwan Psikologi pada peserta didikan atau orang yang dibimbingnya berdasarkan
kinerjanya secara nyata dan ada relevansinya dengan persyaratan yang ditentukan oleh
program. Psikolog dan Ilmuwan Psikologi membangun hubungan yang kondusif dalam
mendukung dilakukannya evaluasi peserta didikan atau orang yang dibimbingnya. Pasal 44
Keakraban Seksual dengan Peserta Pendidikan dan/atau Pelatihan atau Orang yang di
Supervisi, Pasal ini menjelaskan dilarangnya psikolog dan ilmuwan psikologi untuk terlibat
dalam keakraban seksual dengan peserta didik, bawahan yang disupervisi atau dengan orang
yang bekerja dalam institusi yang sama dengan psikolog dan ilmuwan psikologi. Menjelaskan
penggambaran situasi hubungan kerja yang diperbolehkan pada profesi Psikolog dan
Ilmuwan Psikologi mengenai sikap profesional dan perlakuan terhadap pemakai jasa atau
klien, terutama pada sub pasal mengenai hubungan yang mengandung unsur eksploitasi.
Dalam sub pasal ini psikolog dan ilmuwan psikologi dilarang melakukan eksploitasi pada
mahasiswa yang dibimbingnya dan dilarang terjadinya hubungan seksual dengan pribadi
yang mereka supervisi, evaluasi atau di bawah wewenang mereka. Namun, bentuk-bentuk
eksploitasi tidak dijelaskan secara spesifik sehingga juga menyebabkan pemahaman yang
berbeda.

Berdasarkan penjelasan diatas terdapat 8 pasal dari Bab VIII kode etik psikologi
Indonesia, namun pada makalah ini hanya akan berfokus kepada

Rumusan Masalah

1. Apa itu kode etik Psikologi?


2. Bagaimana kode etik yang terdapat pada pasal 37- 44?
3. Apakah contoh kasus yang sering terjadi?

B. Tujuan
1. Agar dapat memahami kode etik yang terdapat pada pasal 37- 44
2. Agar dapat memahami pengertian serta contoh kasus yang sering terjadi di
kehidupan sehari-hari.
BAB II

KAJIAN TEORI
A. Kode Etik Psikologi
Kode etik profesi adalah aturan tertulis mengenai norma moral yang
dirumuskan oleh asosiasi profesi yang memiliki kekuasaan dalam mengatur
anggotanya dalam menjalankan profesinya. Kode etik profesi berperan sebagai
pedoman, panduan, landasan, dan petunjuk dalam bersikap, tingkah laku, serta
perbuatan pada sebuah kelompok profesi tertentu yang mengatur anggotanya agar
dapat menjalankan profesinya dengan baik dan tepat (Denadia,2021). Terbentuknya
kode etik bertujuan untuk melindungi dari perbuatan yang tidak profesional serta agar
profesional memberikan jasa sebaik-baiknya terhadap konsumennya. Psikolog telah
dihadapkan pada banyak tantangan mulai dari prinsip hingga praktik. Tantangan-
tantangan tersebut sebagian besar dievaluasi berdasarkan standar profesional, prinsip
etika, dan praktik. Psikologi berpijak pada keilmuan dan praktik (aplikatif) sehingga
tidak hanya menjadi suatu ilmu. Namun, psikologi juga menjadi suatu praktik di mana
dapat memberikan manfaat bagi manusia. Oleh karena itu, seorang psikolog sebagai
praktisi memerlukan panduan etis dalam kerja mereka serta dalam melayani kliennya.
Kode etik dalam profesi psikologi pertama kali diberlakukan pada tahun 1953
oleh APA (American Psychological Association) di mana pada saat itu para psikolog
yang tergabung dengan APA melibatkan dilema etik dalam banyak kasus klinis yang
muncul dalam konteks profesionalisme. Hal ini mendorong komite APA untuk
merumuskan kode etik menyeluruh yang memberikan standar dan batasan berupa
aturan-aturan yang mengikat serta menjadi acuan dalam tata cara perilaku profesional
psikolog. Seiring perkembangannya, dimulai sejak awal penyusunan hingga saat ini,
kode etik ini telah banyak mengalami perbaikan dan penyempurnaan serta menjadi
standar etika yang baik. Kode etik APA memuat ketentuan terkait etika profesi
psikologi, yaitu: (1) pemecahan masalah etika, (2) kompetensi, (3) hubungan manusia,
(4) privasi dan kerahasiaan, (5) periklanan dan pernyataan publik, (6) penjagaan
rekaman dan pembayaran, (7) pendidikan dan pelatihan, (8) penelitian dan publikasi,
(9) penilaian psikologis, (10) terapi. Kode etik APA juga memuat mengenai prinsip
umum yang terdiri dari lima bagian meliputi (1) manfaat dan penyalahgunaan, (2)
pengabdian dan tanggung jawab, (3) keadilan, (4) integritas, dan (5) penghargaan
terhadap hak-hak dan martabat manusia (Purwakania Hasan, 2008).
Kode etik psikologi di Indonesia disusun oleh profesi psikologi Indonesia
yaitu HIMPSI (Himpunan Psikologi Indonesia) yang tergabung oleh seluruh lulusan
pendidikan psikologi di Indonesia. HIMPSI merupakan lanjutan dari ISPsi (Ikatan
Sarjana Psikologi Indonesia) yang didirikan pada 11 Juli 1959. Kode etik psikologi
Indonesia pertama kali disusun oleh ISPsi dan pada tahun 2010 saat kongres HIMPSI
ke-11 ditetapkan kode etik psikologi Indonesia sebagai pengganti versi tahun 2000.
Kode Etik Psikologi Indonesia merupakan ketentuan tertulis yang diharapkan menjadi
pedoman dalam bersikap dan berperilaku, serta pegangan teguh seluruh Psikolog dan
kelompok Ilmuwan Psikologi, dalam menjalankan aktivitas profesinya sesuai dengan
kompetensi dan kewenangan masing- masing, guna menciptakan kehidupan
masyarakat yang lebih sejahtera. Kode Etik Psikologi Indonesia terdiri dengan 14 bab
dan 80 pasal yang membahas mengenai hal-hal berkaitan dengan psikologi sebagai
berikut:
Bab 1. Pengertian dan prinsip umum.
Bab 2. Persoalan yang perlu diatasi menyangkut penyalahgunaan bidang
psikologi, penyelesaian isu etika dan masalah diskriminasi.
Bab 3. Kompetensi.
Bab 4. Hubungan antar manusia
Bab 5. Kerahasiaan rekam dan hasil pemeriksaan psikologi.
Bab 6. Iklan dan pernyataan publik.
Bab 7. Biaya layanan psikologi.
Bab 8. Pendidikan dan pelatihan.
Bab 9 Penelitian dan publikasi.
Bab 10. Psikologi forensik.
Bab 11. Asesmen.
Bab 12. Intervensi.
Bab 13. Psikoedukasi
Bab 14. Konseling psikologi dan terapi psikologi.
Prinsip-prinsip etis yang ditekankan oleh Kode etik psikologi Indonesia ini
diungkapkan dalam pasal 1 mengenai prinsip umum. Adapun prinsip etis itu
mencakup (1) penghormatan pada harkat dan martabat manusia. Seorang psikolog
atau ilmuwan psikologi harus berhati-hati dalam berperilaku dan membuat keputusan
agar hak dan kesejahteraan individu atau komunitas tidak terganggu, selain itu juga
menghormati pada setiap perbedaan budaya, usia, gender, ras, orientasi seksual, status
ekonomi, dan sebagainya. (2) integritas dan sikap ilmiah. Psikolog yang memiliki
integritas tidak akan mudah tergoda dengan hal-hal yang 9 akan mengganggu dirinya
serta memiliki perilaku yang berorientasi pada etika ilmiah yang telah diyakini
kebenarannya. (3) profesional. Seorang psikolog atau ilmuwan psikologi yang
profesional memiliki kompetensi dalam menjalankan seluruh bentuk layanan
psikologi serta menekankan diri pada tanggung jawab, kejujuran, objektivitas, dan
batasan kompetensi. (4) keadilan. Prinsip keadilan dalam etika profesi psikologi
berupa kejujuran dan ketidakberpihakan adalah hak setiap individu sehingga
pengguna layanan psikologi mendapatkan layanan dengan kualitas setara. (5)
manfaat. Seorang psikolog atau ilmuwan psikologi berusaha secara maksimal dalam
memberikan manfaat pada kesejahteraan umat manusia, memberikan perlindungan
hak, dan meminimalkan risiko dampak buruk bagi pengguna layanan psikologi.
Pada Kode Etik Psikologi Indonesia yang disusun oleh HIMPSI ini
menjelaskan secara rinci dan mudah dipahami mengenai batasan-batasan serta standar
yang harus dilakukan dan dijalani oleh seluruh profesional psikologi. Hal ini
bertujuan untuk membangun kepercayaan masyarakat akan profesi psikolog, sehingga
diperlukan sebuah kepastian, jaminan, dan perwujudan dari upaya untuk
meningkatkan kesejahteraan psikologi bagi seluruh masyarakat. Sehingga HIMPSI
sebagai satu-satunya wadah komunitas psikologi di Indonesia, telah menghimpun
nilai-nilai moral yang hakiki dalam bentuk Kode Etik Psikologi Indonesia yang
berfungsi sebagai standar pengaturan diri bagi psikolog dan ilmuwan psikologi. Hal
ini bertujuan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat, Kode Etik Psikologi
hakikatnya merupakan kristalisasi dari nilai moral yang bersifat universal, sehingga
penyusunannya juga mempertimbangkan kesepakatan internasional (Himawan dkk,
2016).

1. Pasal 37 (Pedoman Umum)


Pada pasal 37 membahas tentang pedoman umum yang berisikan:
1) Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tingkah laku
individu/kelompok/komunitas yang bertujuan membawa kearah yang
lebih baik melalui upaya pengajaran dan pelatihan.
2) Pendidikan dalam pengertian ini termasuk pendidikan bergelar atau
non gelar.
Pendidikan bergelar yaitu program pendidikan yang dilaksanakan
oleh Perguruan Tinggi, Pendidikan non gelar adalah kegiatan yang
dapat dilaksanakan oleh Perguruan Tinggi, Himpsi, Asosiasi/Ikatan
Minat dan/ atau Praktik Spesialisasi Psikologi atau lembaga lain yang
kegiatannya mendapat pengakuan dari Himpsi
3) Pelatihan adalah kegiatan yang bertujuan membawa kearah yang lebih
baik yang dapat dilaksanakan oleh Perguruan Tinggi, Himpsi,
Asosiasi/Ikatan Minat dan/atau Praktik Spesialisasi Psikologi atau
lembaga lain yang kegiatannya mendapat pengakuan dari Himpsi.

Penjabaran : Mengenai tanggung jawab psikolog dan ilmuwan psikolog


dalam mengadakan langkah-langkah yang tepat dalam pendidikan dan
pelatihan, diantaranya adalah memastikan standar kelayakan program
dalam menambah pengetahuan bagi klien. Selain itu juga memastikan
pendidikan dan pelatihan memenuhi kebutuhan surat ijin, sertifikasi atau
tujuan lain yang dimaksud untuk program tersebut.

Psikolog dan Ilmuwan Psikologi wajib mengembangkan desain program


pengajaran, pelatihan, dan pendidikan. Desain tersebut menggambarkan
kemampuannya dan disesuaikan dengan persyaratan yang berlaku,
sertifikasi, atau tujuan lainnya yang ditentukan oleh program. Program
pengajaran, pelatihan, pendidikan harus diuraikan dalam bentuk informasi
agar dapat menjadi pegangan bagi pihak yang menggunakannya.

2. Pasal 38 (Rancangan dan Penjabaran Program Pendidikan dan/atau Pelatihan)


1) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang bertanggung jawab atas
program pendidikan dan/ atau pelatihan mengadakan langkah-langkah
yang tepat untuk memastikan bahwa program yang dirancang memberikan
pengetahuan yang tepat dan pengalaman yang layak untuk memenuhi
kebutuhan.
2) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi mengambil langkah yang memadai
guna memastikan penjabaran rencana pendidikan dan/atau pelatihan secara
tepat dengan materi yang akan dibahas, dasar-dasar untuk evaluasi
kemajuan dan sifat dari pengalaman pendidikan. Standar ini tidak
membatasi pendidik, pelatih atau supervisor untuk memodifikasi isi
program pendidikan dan/ atau pelatihan atau persyaratan jika dipandang
penting atau dibutuhkan, selama peserta pendidikan dan/atau pelatihan
diberitahukan akan adanya perubahan dalam rangka memungkinkan
mereka untuk memenuhi persyaratan pendidikan dan/atau pelatihan.
3) Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi menyusun program pendidikan
dan/atau pelatihan berdasarkan teori dan bukti-bukti ilmiah dan
berorientasi pada kesejahteraan peserta pendidikan dan/atau pelatihan Jika
psikolog atau ilmuwan Psikologi menggunakan program yang telah
disusun oleh pihak lain, maka ia seyogyanya mendapatkan ijin penggunaan
program tersebut atau setidak-tidaknya mencantumkan nama penyusun
program.
4) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dalam melaksanakan pendidikan
dan/atau pelatihan diawali dengan menyusun rencana berdasarkan teori
yang relevan sehingga dapat dipahami oleh pihak-pihak lain yang
berkepentingan. Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi membuat desain
pendidikan dan/atau pelatihan, melaksanakan dan melaporkan hasil yang
disusun sesuai dengan stándar atau kompetensi ilmiah dan etik.

3. Pasal 39 (keakuratan dalam pendidikan dan/atau pelatihan)


Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi mengambil langkah yang tepat guna
memastikan rencana pendidikan dan/atau pelatihan berdasar perkembangan kemajuan
pengetahuan terkini dan sesuai dengan materi yang akan dibahas serta berdasarkan
kajian teoritik maupun bukti-bukti empiris yang ada.

Penjabaran : Pasal ini menjelaskan bahwa psikolog dan ilmuwan psikolog dalam
mengambil langkah dalam pendidikan dan pelatihan harus berdasarkan perkembangan
kemajuan pengetahuan yang ada. psikolog dan ilmuwan psikologi bertanggung jawab
atas akurasi dan tujuan pengajaran, pelatihan dan pendidikan yang
diselenggarakannya
4. Pasal 40 (Informed Consent dalam Pendidikan dan/atau Pelatihan)
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus memperoleh persetujuan untuk
melaksanakan pelatihan sebagaimana yang dinyatakan dalam standar informed
consent, kecuali jika
a) Pelaksanaan pelatihan diatur oleh peraturan pemerintah atau hukum;
b) Pelaksanaan dilakukan sebagai bagian dari kegiatan pendidikan, kelembagaan
atau orgainsasi secara rutin misal: syarat untuk kenaikan jabatan.

5. Pasal 41 (Pengungkapan Informasi Peserta Pendidikan dan/atau Pelatihan)


1) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi mengambil langkah-langkah untuk
melindungi perorangan atau kelompok yang akan menjadi peserta pendidikan
dan/atau pelatihan dari konsekuensi yang tidak menyenangkan, baik dari
keikutsertaan atau penarikan diri/pengunduran dari keikutsertaan.
2) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi tidak meminta peserta pendidikan
dan/atau pelatihan untuk mengungkapkan informasi pribadi mereka dalam
kegiatan yang berhubungan dengan program yang dilakukan, baik secara lisan
atau tertulis, yang berkaitan dengan sejarah kehidupan seksual, riwayat
penyiksaan, perlakuan psikologis dari hubungan dengan orangtua, teman
sebaya, serta pasangan atau pun orang-orang yang signifikan lainnya. Hal
tersebut tidak diberlakukan, kecuali jika program ini menjadi satu cara atau
pendekatan yang dianggap penting dan tepat untuk dapat memahami,
berempati, memfasilitasi Kode Etik Psikologi Indonesia Juni 2010 pemulihan
dan/atau memampukan peserta untuk menemukan pendekatan penanganan
yang tepat bagi isu atau kasus khusus tersebut.
3) Bila pengungkapan informasi pribadi yang peka harus dilakukan, hal tersebut
harus dilakukan oleh Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang terlatih untuk
memastikan kebermanfaatan maksimal, mencegah dampak negatif dari hal
tersebut, serta untuk tetap memastikan tidak diungkapkannya informasi
pribadi tersebut dalam konteks lain di luar kegiatan ini oleh semua pihak yang
terlibat.

Penjabaran : Psikolog atau Ilmuwan Psikologi wajib melindungi hak-hak


klien baik saat mengikuti pendidikan dan/atau pelatihan maupun setelah
selesai mengikuti pendidikan dan/atau pelatihan tersebut, dengan tidak
menanyakan rahasia pribadi/masa lalu klien, kecuali jika program itu menjadi
satu cara untuk pendekatan yang dianggap penting dan tepat untuk dapat
memahami, berempati, memfasilitasi pemulihan dan/atau memampukan
peserta untuk menemukan pendekatan penanganan, disini tugas Psikolog
hanya "memancing" keinginan klien untuk menceritakan masa lalunya sendiri
dan mencegah atau mengarahkan klien supaya tidak berbicara diluar konteks
informasi yang dibutuhkan dan berhubungan dengan situasi atau masalah yang
dihadapi. Serta Psikolog dilarang untukmembocorkan informasi yang ia dapat
dari klien kepada pihak luar, meskipun klien sudah tidak mengikuti pendidikan
dan/atau pelatihan dari Psikolog tersebut.
Contoh Kasus: Jika dalam sebuah pelatihan, misal pelatihan kecerdasan
emosi dan spiritual, didalamnya ada materi yang berhubungan dengan tingkat
emosi seseorang bagaimana dia bisa memafkan kesalahan orang lain, dan
dapat mengikhlaskan keadaannya saat ini apapun itu keadaanya, materi
tersebut harus menggunakan metode.

6. Pasal 42 (Kewajiban Peserta Pendidikan dan/atau Pelatihan untuk Mengikuti


Program Pendidikan yang disyaratkan)

Bila suatu pendidiksn dan/atau pelatihan atau suatu kegiatan merupakan suatu
persyaratan dalam suatu program pendidikan dan/atau pelatihan, maka penyelenggara
harus bertanggung jawabbahwa program tersebut tersedia. Pendidikan dan/atau
pelatihan yang diisyaratkan tersebut diberikan oleh ahli dalam bidangnya yang dapat
tidak berhubungan dengan program pendidikan dan/atau pelatihan tersebut.

Contoh kasus :

 Misalnya seorang sarjana SI Psikologi ingin meneruskan menjadi seorang


psikolog harus menempuh S2 magister Psikolog, namun jaman dahulu seorang
sarjana SI Psikolog dapat menjadi Psikolog dengan mengikuti latihan yang
telah disediakan oleh psikolog atau ilmuwan Psikologi yang berwenang
 Suatu program pemberian beasiswa mewajibkan peserta untuk mengikuti
pelatihan untuk mengembangkan diri, organisasi tersebut meminta kepada
lembaga pelatihan pengembangan diri untuk mengisi salah satu materi yang
tidak dapat diisi oleh panitia program beasiswa tersebut.
7. Pasal 43 (Penilaian Kinerja Peserta Pendidikan dan/atau Pelatihan atau Orang
yang Disupervisi)
1) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dalam bidang pendidikan, pelatihan,
pengawasan atau supervisi, menetapkan proses yang spesifik dan
berjadwal untuk memberikan umpan balik kepada peserta pendidikan
dan/atau pelatihan atau orang yang disupervisi. Informasi mengenai proses
tersebut diberikan pada awal pengawasan.
2) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi mengevaluasi kinerja peserta
pendidikan dan/ atau pelatihan atau orang yang disupervisi berdasarkan
persyaratan program yang relevan dan telah ditetapkan sebelumnya.

Penjabaran: Psikolog atau Ilmuwan dalam Psikologi saat memberikan


suatu pendidikan dan/atau pelatihan memberikan penjadwalan supaya
dapat memberikan umpan balik dan jadwal atau program tersebut
diberikan pada awal pendidikan dan/atau pelatihan, selain itu Psikolog atau
Ilmuwan Psikologi memeriksa, menganalisa, dan mengevaluasi hasil
kinerja para peserta pendidikan yang telah diawasi dan orang yang telah
mengikuti pelatihan sesuai dengan persyaratan dan program yang
berhubungan dan telah ditetapkan sebelumnya.
Contoh kasus:
 Seorang Psikolog (telah mengambil magister profesi Psikologi)
memeriksa, menganalisa, mengevaluasi dan mengawasi kinerja
peserta pendidikan (peserta pendidikan SI Psikologi) atau orang
yang telah diawasi dengan berbagai program atau pelatihan yang
telah ditetapkan sebelumnya oleh HIMPSI (Himpunan Psikologi
Indonesia).
 Seorang sarjana SI Psikologi dapat berfokus pada satu bidang
dalam pendidikan Psikologi, namun mereka harus menguasai
semua bidang Psikologi (Psikologi Pendidikan, Psikologi Industry.
Psikologi Klinis, Psikologi Perkembangan, dan Psikologi Sosial).
8. Pasal 44 (Keakraban Seksual dengan Peserta Pendidikan dan/atau Pelatihan
atau Orang yang di Supervisi)
1) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi tidak terlibat dalam keakraban
seksual dengan peserta pendidikan dan/atau pelatihan atau orang yang
sedang disupervisi, orang yang berada di agensi atau biro konsultasi
psikologi, pusat pelatihan atau tempat kerja dimana Psikolog dan/ atau
Ilmuwan Psikologi tersebut mempunyai wewenang akan menilai atau
mengevaluasi mereka.
2) Bila hal di atas tidak terhindari karena berbagai alasan misalnya karena
adanya hubungan khusus yang telah terbawa sebelumnya, tanggungjawab
tersebut harus dialihkan pada Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi lain
yang memiliki hubungan netral dengan peserta untuk memastikan
obyektivitas dan meminimalkan kemungkinan-kemungkinan negatif pada
semua pihak yang terlibat.

Penjabaran: Seorang Psikolog atau Ilmuwan dalam Psikologi tidak


diperkenankan terlibat hubungan khusus (keakraban seksual) diluar
hubungan antara Psikolog atau Ilmuwan Psikologi dengan orang yang
sedang di supervisi (diawasi) atau klien. Dikhawatirkan apabila terjadi
hubungan khusus penilaian Psikolog atau Ilmuwan Psikologi akan
subyektif dan tidak obyektif lagi terhadap klien. apabila hubungan khusus
atau keakraban seksual tidak dapat terhindarkan, maka tanggung jawab
Psikolog atau Ilmuwan Psikologi tersebut harus di alihkan kepada
Psikolog lain yang tidak mempunyai hubungan khusus atau hubungan
dekat dengan klien. Hal tersebut dimaksudkan untuk meminimalkan
terjadinya kemungkinankemungkinan negatif dari pihak-pihak yang
terlibat (dekat).
Contoh kasus:
 Seorang Psikolog atau Ilmuwan Psikologi (laki-laki maupun
perempuan) tidak boleh jatuh cinta ataupun menjalin hubungan
kekasih dengan klien.
 Seorang Psikolog dapat berhubungan atau menjalin hubungan
khusus (keakraban seksual) dengan klien apabila sudah menjalani
praktek atau konsultasi selama 2 tahun.
 Seorang Psikolog yang jatuh cinta dan membina hubungan khusus
dengan klien harus mengalihkan tanggungjawab atas penanganan
klien kepada Psikolog lain
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Kode Etik Psikologi merupakan ketentuan tertulis yang berisi nilai-nilai
menjadi pegangan teguh bagi seluruh Psikolog dan Ilmuwan Psikologi dalam
menjalankan aktivitas profesinya, guna mewujudkan kehidupan masyarakat yang
lebih sejahtera. Pada bab VIII mengenai Pendidikan dan/atau pelatihan, terdapat
pasal-pasal yang dimana diantaranya terdapat delapan pasal yang harus dipahami oleh
Psikolog dan Ilmuwan Psikolog. Selain itu, Terbentuknya kode etik bertujuan untuk
melindungi dari perbuatan yang tidak profesional serta agar profesional memberikan
jasa sebaik-baiknya terhadap konsumennya.
DAFTAR PUSTAKA
Denadia, F., & Ediyono, S. (2021) Hubungan Etika dan Ilmu Psikologi Berdasarkan
Perspektif Filsafat The Relation between Ethics and Psychology Based on Philosophical
Perspective.

Himawan, K. K., Dewi, W. P., Sitorus, K. S., & Mutiara, E. (2016). Kode Etik
Psikologi dan Aplikasinya di Indonesia. Jakarta: Salemba Humanika.

HIMPSI. (2010). Kode Etik Psikologi Indonesia. Jakarta: Himpunan Psikologi


Indonesia.

Kirana, Y. (2020). Psikologi dan etika profesi dalam nilai-nilai ilmu pengetahuan.
Jurnal Ilmiah Hukum Dan Keadilan, 7(1), 130-149.
KONTRIBUSI KELOMPOK

Muhammad Fajar: Aktif dalam berdiskusi, membuat video pembelajaran, mengupload


tugas di youtube dan g-drive.

Aisya syakinah Ulza:Aktif dalam berdiskusi, mencari materi dan membuat makalah

Heza Septiarani: Aktif dalam berdiskusi, mencari materi, membuat makalah dan voice
over video

Anda mungkin juga menyukai