Anda di halaman 1dari 58

KELOMPOK 1

TEORI ERIK H ERIKSON

Anggota:
 Endra Ady Pratama 7111101109
 Lioni Sofiane A 7111101099
 Rima Indah Dewi 7111101084
 Pepi Yulianti H 7111101071
 Rafiola S 7111101091
PSIKOANALITIK KONTEMPORER

 Erikson memberikan jiwa baru kedalam psikoanalitik, dengan


memberi perhatian yang lebih kepada ego dari pada id dan
superego. Dia masih tetap menghargai teori Freud, namun
mengembangkan ide-ide khususnya dalam hubunganya dengan
tahap perkembangan dan peran social terhadap pembentukan ego.
Ego berkembang melalui respon terhadap kekuatan dalam dan
kekuatan lingkungan social. Ego bersifat adaptif dan kreatif
berjuang aktif (otonomi) membantu diri menangani dunianya.
Erikson masih mengakui adanya kualitas dan inisiatif sebagai bentuk
dasar tahap awal, namun hal itu hanya bias berkembang dan masak
melalui pengalaman sosian dan lingkungan. Dia juga mengakui sifat
rentan ego, defense yang irassional, efek trauma-anciety-guilt yang
langgeng, dan dampak lingkungan yang membatasi dan tidak
perduli terhadap individu.
STRUKTUR KEPRIBADIAN

A. Ego kreatif
Erikson menggambarkan adanya sejumlah
kualitas yang dimiliki ego, yang tidak ada pada
psikoanalitis Freud, yakni kepercayaan dan
penghargaan, otonomi, kemauan, kerajinan dan
kompetensi, identitas dan kesetiaan, keakraban dan
cinta, generativitas dan pemeliharaan, serta integritas.
Ego yang sempurna, digambarkan
Erikson memiliki tiga dimensi

 Faktualitas adalah kumpulan data, fakta, dan metoda yang dapat


diverifikasi dengan metoda kerja yang sedang berlaku. Ego berisi
kumpulan fakta dan data hasil interaksi dengan lingkungan.
 Universalitas berkaitan dengan kesadaran akan kenyataan
(sense of reality) yang menggabungkan hal yang praktis dan
kongkrit dengan pandangan semesta, mirip dengan prinsip
realita Freud.
 Aktualitas adalah cara baru dalam berhubungan satu dengan
yang lain, memperkuat hubungan untuk mencapai tujuan
bersama. Ego adalah realitas kekinian, terus mengembangkan
cara baru dalam memecahkan masalah kehidupan, menjadi lebih
efektif, prospektif, progresif.
 Menurut Erikon, ego sebagian bersifat taksadar,
mengorganisir dan mensintesa pengalaman sekarang
dengan pengalaman diri masa lalu dan dengan diri
masa yang akan datang
 Dia menemukan tiga aspek ego yang saling
berhubungan, yakni body ego, ego ideal, dan ego
identity.
 Body ego; mengacu ke pengalaman orang dengan
tubuh/fisiknya sendiri
 Ego ideal; gambaran mengenai bagaimana
seharusnya diri, sesuatu yang bersifat ideal.
 Ego identity; gambaran mengenai diri dalam berbagai
peran social.
B. Ego Otonomi Fungsional
 Menurut Erikson, fungsi psikoseksual dari Freud yang
bersifat biologis juga bersifat epigenis, artinya
psikoseksual untuk berkembang membutuhkan
stimulasi khusus dari lingkungan, dalam hal ini yang
terpenting adalah lingkungan social.
. Cirri khas psikologi ego dari Erikson
dapat diringkas sebagai berikut:

1. Erikson menekankan kesadaran individu untuk


menyesuaikan diri dengan pengaruh social. Pusat
psikologi ego adalah kemasakan ego yang sehat,
alih – alih salah suai yang neurotic.
2. Erikson berusaha mengembangkan teori insting dari
Freud dengan menambahkan konsep epigenetic
kepribadian.
Lanjutan

3. Erikson secara eksplisit mengemukakan bahwa motif


mungkin berasal dari impuls id yang taksadar, namun
motif itu bisa membebaskan individu dari id seperti
individu meninggalkan peran social dimasa lalunya.
Fungsi ego dalam pemecahan msalah, persepi, identitas
ego dan dasar kepercayaan bebas dari id, membangun
system kerja sendiri yang terlepas dari system kerja id.
4. Erikson menganggap ego sebagai sumber kesadaran diri
seseorang. Selama menyesuaikan diri dengan realita, ego
mengembangkan perasaan keberlanjutan diri dengan
masa lalu dan masa yang akan dating.
PENGARUH MASYARAKAT

 Walaupun kapasitas yang dibawa sejak lahir penting


dalam perkembangan kepribadian, bagian terbesar
ego muncul dan dibentuk oleh masyarakat. Erikson
lebih mementingkan factor social dan historical –
kebalikan dengan Freud yang pandangannya sebagian
besar biological. Bagi Erikson, ego muncul bersama
kelahiran sebagai potensi, yang harus ditegakkan di
dalam lingkungan cultural.
PERKEMBANGAN KEPRIBADIAN:
TEORI PSIKOSOSIAL

Prinsip Epigenetik
Perkembangan epigenetic adalah perkembangan tahap
demi tahap dari organ – organ embrio. Wujud embrio pada
mulanya berbentuk bola kecil yang berkembang dalam
irama dan urutan tertentu. Ego berkembang mengikuti
prisnsip epigenetic, artinya tiap bagian dari ego
berkembang pada tahap perkembangan tertentu dalam
rentang waktu tertentu (yang disediakan oleh hereditas
untuk berkembang).
Aspek Psikoseksual

Teori perkembangan dari Erikson melengkapi dan


menyempurnakan teori Freud dalam dua hal, pertama
melengkapi tahapan perkembangan menjadi delapan
tahap yakni tahap bayi (infancy), anak (childhood),
bermain (play age), sekolah (school age), remaja
(adolescence), dewasa awal (young adulthood),
dewasa (adulthood), dan tua (mature). Kedua,
memakai analisis konflik untuk mendeskripsi
perkembangan kepribadian.
Konflik Psikososial

Teori Erikson memakai dasar perkembangan sosial ;


pada setiap tahap perkembangan muncul konflik
sosial yang khas,yang seperti insting seksual,harus di
kembangkan ke arah positif.Teori perkembangan dari
Erikson kemudian dinamakan Teori Perkembangan
Psikososial.
Enam pokok fikiran yang dapat di pakai untuk
memahami teori perkembangan psikososial Erikson

1. Prinsip epigenetik : perkembangan kepribadian mengikuti


prinsip epigenetik
2. Interaksi bertentangan : di setiap tahap ada konflik
psikososial, antara elemen sintonik (syntonic =
harmonious) dan distonik (dystonic = disruptive). Kedua
elemen tersebut di butuhkan oleh kepribadian.Tugas
perkembangan kepribadian bukan menghilangkan
distonik, tetapi membuat keseimbangan antara keduanya
condong kea rah sintonik.
LANJUTAN..

3. Kekuatan ego : konflik psikososial di setiap tahap hasilnya


akan mempengaruhi atau mengembangkan ego. Dari sisi
jenis sifat yang dikembangakan ,kemenangan aspek
sintonik akan memberi ego sifat yang baik,di sebut virture.
Dari sisi enerji,virture akan meningkatkan kuantitas ego
atau kekuatan ego untuk mengatasi konflik
sejenis,sehingga virtue disebut juga sebagai kekuatan
dasar (basic strength)
4. Aspek somatis : walaupun Erikson membagi tahapan
berdasarkan perkembangan psikososial,dia tidak
melupakan aspek somatis/biologikal dari perkembangan
manusia
LANJUTAN

5. Konflik dan peristiwa pancaragam (multiplicity of conflict and event)


peristiwa pada awal perkembangan tidak berdampak langsung pada
perkembangan kepribadian selanjutnya.Identitas ego di bentuk oleh konflik
dan peristiwa masa lalu,kini, dan masa yang akan datang. Neurosis tidak di
sebabkan oleh peristiwa pada tahap oral,tetapi penyebabnya pancaragam
meliputi peristiwa masa lalu , kini , dan masa yang akan datang
6. Di setiap tahap perkembangan , khusus nya dari masa adolesen dan
sesudah nya, perkembangan kepribadian di tandai oleh krisis identitas ,yang
di namakan Erikson “titik balik,periode peningkatan bahaya dan
memuncaknya potensi.”selama masa krisis , banyak terjadi perubahan
penting identitas ego, bisa positif atau negative. Berbeda dengan
pemakaian umum,krisis identitas itu bukan peristiwa bencana yang
mengerikan,tetapi lebih sebagai peluang untuk menjadi lebih bisa
menyesuaikan diri atau menjadi salah suai.
Ritualisasi versus Ritualisme

Beberapa pengertian ritualiasasi:


 Ritualisasi adalah pola-kultural berinteraksi dengan orang dan obyek
lainnya,yang membuat interaksi menjadi menyenangkan (playful)
 Ritualisasi adalah kesepakatan saling hubungan antara dua orang
(atau lebih) yang terus menerus berlangsung dan mempunyai nilai
adaptif (dapat di pakai dalam berbagai kesempatan)
 Ritualisasi membuat individu dapat bertingkah laku secara efektif
dan tidak canggung di masyarakat.
 Ritualisasi memasukan orang ke dalam masyarakat dengan
mengajarkan kepada mereka memuaskan keinginan memakai cara-
cara yang dapat di terima budaya.
Lanjutan ritualisme
Ritualisme adalah pola hubungan yang tidak menyenangkan
kedua belah pihak,karena salah satu menduduki posisi yang
lebih superior,dan yang lain inferior
ciri-ciri ritualisme

 Perhatian orang dalam ritualisme terfokus pada dirinya


sendiri.Orang menjadi lebih peduli dengan performansi dirinya
dari pada memperdulikan dirinya dengan orang lain atau dengan
makna apa yang mereka lakukan.
 Sifat nya tidak menyenangkan,tetapi compulsive (terpaksa di
lakukan).Ritualisme juga terpola secara kultular,menjadi tingkah
laku yang menyimpang,abnormal,dan aneh.
 Ritualisme sering melibatkan orang lain, dalam kedudukan untuk
di pungkiri keberadaan nya. Orang yang didominasi oleh
ritualisme tidak dapat berinteraksi dengan orang lain dalam cara
yang saling mendapat kepuasan.
FASE BAYI (0 – 1)
Pararel dengan fase Oral dari Freud, namun bagi Erikson
kegiatan bayi tidak terikat dengan mulut semata ; bayi
adalah salah satu untuk memasukan (incorporation),bukan
hanya melalui mulut(menelan) tetapi juga dari semua
indera.
Aspek Psikoseksual : Sensori Oral

Tahap sensori oral ditandai oleh dua jenis inkorporasi :


mendapat dan menerima. Mendapat (receiving)
adalah memperoleh sesuatu tanpa ada yang memberi
, bernafas atau melihat obyek berarti menerima
stimulus tanpa kehadiran orang lain. Menerima
(accepting) adalah memperoleh sesuatu melalui
konteks sosial, bayi menerima sesuatu dari orang lain.
Ini menjadi pelajaran hubungan antar pribadi,belajar
memberi dan menerima.
Krisis psikososial: kepercayaan versus
Kecurigaan
Tahun pertama kehidupan bayi memakai sebagian besar waktunya
untuk makan, eliminasi (buang kotoran) dan tidur. Ketika menyadari ibu
akan memberi makan/minum secara teratur,mereka belajar dan
memperoleh kualitas ego atau identitas ego yang pertama,perasaan
kepercayaan dasar,perlakuan yang lembut,ayunan dan irama ninabobok,
dan pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan nya,membuat bayi
menghadapi tugas kehidupan dengan santai dan tenang, kepercayaan
dasar semakin berkembang. Singkat kata,jika pola untuk inkorporasi
sesuai dengan perlakuan lingkungan cultural nya, anak akan
mengembangkan kepercayaan dasar
(sintonik). Sebalik nya kalau tidak ada kesesuaian antara kebutuhan
sensorial dengan lingkungan, mereka akan mengembangkan ketidak
percayaan dasar (distonik).
Virtue: Harapan

Konflik antara kepercayaan daan ketidakpercayaan


memunculkan harapan (hope).tanpa hubungan bertentangan
antara percaya dan tidak percaya,orang tidak dapat
mengembangkan virtue harapan.bayi harus mengalami
lapar,haus,nyeri,dan ketidaknyamanan yang lain,dan kemudian
mengalami perbaikan atau hilang nya kondisi yang tidak
menyenangkan itu. Dari peristiwa itu bayi akan belajar
mengharap bahwa hal yang menyakitkan kedepan bisa berubah
menjadi menyenangkan.kebalikan dari hope adalah menarik
diri(withdrawal),yang di sebut Erikson sebagai sumber patologis
dari bayi.bayi dengan harapan yang kecil, akan menarik diri dari
dunia luar dan mulai mengalami gangguan psikologis yang
serius.
Ritualisasi-ritualisme: Keramat
Versus Pemujaan
Bayi menangkap hubungan nya dengan ibu sebagai sesuatu
yang keramat (numinous).suara ibu,belayan ibu, air susu ibu
, semua nya ibarat dewi penolong yang membuatnya
menjadi puas dan aman. Pola interaksi nominous membuat
bayi sangat menghargai ibunya,dan mudah di atur sehingga
dapat mendukung tugas perkembangan nya.pada kasus ibu
yang tidak menghendaki anak nya, sikap nya membuat anak
merasa terasing,terpisah dan merasa di buang.interaksi
interpersonal menjadi pemujaan(idolism)ada dua sisi
idolisme akibat penolakan ibu itu;membuat anak memuja
diri sendiri atau sebaliknya membuat anak memuja orang
lain(karena anak terlalu mengkeramatkan hubungan nya
dengan ibu).
FASE ANAK-ANAK (1-3TAHUN)
Tahap ini pararel dengan fase anal dari freud.menurut freud
anak mula-mula memperoleh kepuasan dengan
menghancurkan atau membuang/menghilangkan
objek(awal sifat sadistik), dan kemudian anak memperoleh
kepuasan dari defakasi.Teori Erikson lebih luas;anak
memperoleh kepuasan bukan dari keberhasilan mengontrol
otot-otot anus saja,tetapi juga dari keberhasilan mengontrol
fungsi tubuh yang lain,seperti
urinasi,berjalan,melempar,memegang,dan sebagai nya.
Kesemuanya itu di kembangkan melalui hubungan
interpersonal, sehingga anak juga mengalami ragu dan
malu,belajar bahwa usaha nya untuk menjadi otonom bisa
berhasil bisa juga gagal.
Aspek Psikoseksual:Otot Anal-Uretral dan Krisis
psikososial : Otonomi Versus Malu dan Ragu

Aspek Psikoseksual:Otot Anal-Uretral


Pada tahun kedua, penyesuaian psikoseksual terpusat pada otot
anal-uretral (anal-urethral muscular) ; anak belajar mengontrol
tubuh nya , khusus nya yang berhubungan dengan kebersihan.
psikososial : Otonomi Versus Malu dan Ragu
Pada tahap ini anak di hadapkan dengan budaya yang
menghambat ekspresi diri. Anak belajar mengenal hak dan
kewajiban serta pembatasan-pembatasan tingkah laku , belajar
mengontrol diri sendiri dan menerima control dari orang lain
berangsur-angsur keberhasilan,mengontrol tubuh menimbulkan
perasaan otonomi-bangga, dan kegagalan menimbulkan
perasaaan malu-ragu.perasaan otonomi dan malu ini di pakai
orang tua untuk mendidik anak nya.
Virtue : kemauan

 Hasil mengatasi krisis otonomi versus malu-ragu adalah


kekuatan dasar kemauan. Ini adalah permulaan dari
kebebasan kemauan dan kekuatan kemauan (benar-benar
hanya permulaan), yang menjadi dasar dari ujud virtue
kemauan didalam egonya. Kemasakan kekuatan kemauan
dan kebebasan kemauan yang terukur baru diperoleh pada
perkembangan-perkembangan berikutnya.
 Dasar-dasar kemauan dapat muncul hanya kalau anak
diizinkan melatih mengontrol sendiri otot-ototnya (otot
anal, uretral, dan otot lainnya).
Ritualisasi-ritualisme : bijaksana
versus legaisme

 Pada tahap ini pola komunikasi mengembangkan penilaian


benar atau salah dari tingkahlaku diri dan orang lain,
disebut bijaksana (judicious). Penilaian yang adil , tidak
memihak , tidak mementingkan diri sendiri dan orang lain,
dan lebih mementingkan tanggung jawab moral, dipakai
untuk membangun interaksi yang memuaskan fihak yang
terkait dengan interaksi itu.
 Penyimpangan terjadi, kalau kepuasan justru diperoleh dari
penerapan peraturan, bukan dari interaksi yang terbangun,
disebut legalisme (legalism).; penerapan aturan tanpa
ampun, tanpa rasa belas kasih.
USIA BERMAIN (3-6 TAHUN)

Tahap ini sama dengan periode falis dari Freud,


namun isi kegiatan atau proses perkembangan
didalamnya antara Freud dengan Erikson berbeda.
Freud memakai tema sentral odipus kompleks,
sedang menurut Erikson, ada banyak perkembangan
penting pada fase bermain ini ,yakni; identifikasi
dengan orangtua (odipus kompleks),
mengembangkan gerakan tubuh, ketrampilan bahasa
rasa ingin tahu, imajinasi, dan kemampuan
menentukan tujuan.
Aspek Psikoseksual : Perkelaminan-
Gerakan

Menurut Erikson, situasi odipus adalah prototip dari


kekuatan yang abadi dari kebahagiaan manusia. Odipus
kompleks adalah drama yang dimainkan dalam imajinasi
anak, yang tujuan utamanya adalah memahami berbagai
konsep dasar seperti reproduksi, pertumbuhan, masa
depan, dan kematian. Erikson menyimpulkan – pertama
odipus adalah interes seksual yang dipicu oleh budaya
kehidupan sosial, atau dipicu oleh penyiksaan seksual oleh
orang dewasa. Kedua , odipus kompleks tidak mempunyai
dampak yang berbahaya pada perkembangan kepribadian
yang akan datang.
Konflik Psikososial : inisiatif versus
Perasaan Berdosa
Ketika anak bisa bergerak berkeliling dengan mudah dan
bersemangat, dan minat seksualnya muncu, mereka memakai berbagai
cara untuk memahami lingkungannya. Inisiatif dipakainya untuk
memilih dan mengejar berbagai tujuan, seperti kawin dengan ibu/ayah,
atau meninggalkan rumah, juga untuk menekan atau menunda suatu
tujuan. Tujuan yang harus dihambat akan menimbulkan rasa berdosa
(guilt). Anak sudah belajar apa yang dilarang, tetapi ambisinya tidak
terbatas sehingga menjadi agresif dan manipulative dalam usaha
mencapai tujuan. Keberanian yang berlebihan (dan melanggar norma),
fantasi seksual, dan perasaan tanggung jawab moral menjadi pemicu
rasa berdosa.konflik antara inisiatif dengan berdosa menjadi krisis
psikososial yang dominan pada usia bermain.
Virtue : Tujuan-Sengaja

Konflik antara inisiatif dengan berdosa menghasilkan


kekuatan dasar (virtue) purpose. Anak kini bermain
dengan tujuan, terutama permainan kompetisi dan
mengejar kemenangan. Jenis kelamin memberi arah,
dan ayah atau ibu menjadi obyek dari keinginan
seksualnya. Mereka menetapkan apa yang akan
dicapai dan berusaha mencapainya dengan purpose.
Usia bermain juga merupakan tahap dimana anak
mulai mengembangkan konsensia dan mulai memberi
label “benar” atau “salah” terhadap tingkah lakunya.
Ritualisasi-ritualisme : Dramatik
versus Impersonasi
Tahap ini dipenuhi dengan fantasi anak, menjadi ayah,ibu,
menjadi karakter baik untuk mengalahkan penjahat. Mereka
berinteraksi dengan memakai fantasinya, disebut dramatik
(dramatic). Anak memainkan peran tentang apa yang
seharusnya berani mereka lakukan, dan apa yang menimbulkan
perasaan bersalah/ berdosa. Dramatic mendorong orang untuk
berinteraksi sesuai dengan peran yang diharapkan masyarakat,
tanpa menimbulkan perasaan berdosa dalam diri sendiri.
Kalau permainan peran itu menjadi kompulsi, orang tidak
menjadi dirinya sendiri tetapi hanya memainkan peran-peran
sesuai dengan fantasinya, akan timbul interaksi yang
menyimpang disebut impersonasi(impersonation).Keterlibatan
ego-sadar dalam interaksi cenderung kurang, diganti oleh fantasi
taksadar tentang dirinya.
USIA SEKOLAH (6-12 TAHUN)

Pada usia ini dunia sosial anak meluas keluar dari


dunia keluarga, anak bergaul dengan teman sebaya,
guru, dan orang dewasa lainnya. Pada usia ini
keingintahuan menjadi sangat kuat dan hal itu
berkaitan dengan perjuangan dasar menjadi
berkemampuan (competence). Anak yang
berkembang normal akan tekun belajar membaca dan
menulis, belajar berburu dan menangkap ikan atau
belajar keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan di
masyarakatnya.
Aspek Psikoseksual : Terpendam
(laten)

Erikson setuju dengan Freud bahwa usia sekolah adalah


tahap latency. Memendam insting seksual sangat penting
karena akan membuat anak dapat memakai enerjinya
untuk mempelajari teknologi dari budayanya., dan
mempelajari strategi interaksi sosialnya. Ketika anak
bermain dan bekerja keras mempelajari dua hal itu, mereka
mulai membentuk gambaran tentang diri sendiri, sebagai
berkemampuan atau tidak berkemampuan (competence-
uncompetence). Gambaran ini menjadi asal muasal
identitas ego perasaan “aku” atau “keakuan” yang akan
berkembang masak pada usia adolesen.
Krisis Psikososial : Ketekunan versus
inferiorita

Pada tahap laten perkembangan seksual terpendam dan


perkembangan sosial menjadi luar biasa. Krisis
psikososial pada tahap ini adalah antara ketekunan
dengan perasaan inferior (industry-inveriority).
Ketekunan adalah kualitas sintonik yang berarti tekun,
bersedia tetap sibuk dengan satu kegiatan sampai selesai.
Anak usia sekolah belajar bekerja dan bermain yang
keduanya diarahkan untuk memperoleh ketrampilan
kerjadan untuk mempelajari aturan kerjasama.
Virtue : kompetensi

Dari konflik antara ketekunan dan inferiorita, anak


mengembangkan kekuatan dasar : kemampuan
(competency). Virtue itu diperoleh melalui latihan
kecakapan gerak dan kecerdasan untuk menyelesaikan
tugas. Anak membutuhkan perintah dan metoda, tetapi
yang lebih penting adalah pemanfaatan kecerdasan dan
pemanfaatan enerji fisik yang berlimpah untuk
melaksanakan kegiatan sekolah,tugas dirumah, seni,
olahraga ketrampilan, menjamin tidak berkembangnya
perasaan kurang mampu dibanding orang lain.
Ritualisasi-ritualisme: Formal versus
Formalitas
 Ritualisasi formal; interaksi yang mementingkan metoda
atau cara yang tepat, untuk memperoleh hasill yang
sempurna. Melalui ritualisasi formal anak belajar
mengerjakan sesuatu dengan metoda yang standar. Ini
menjadi awal dari interaksi anak dengan dunia kerja.
 Perkembangan negatif dari formal adalah ritual formalisme
(formalism). Disini orang sangat mementingkan metoda-
pekerjaan itu harus dikerjakan dengan cara yang benar-tidak
penting bagaimana hasilnya.
 Interaksi formalism menjadi kaku, penuh aturan dan tidak
bisa menjalin persahabatan yang akrab. Dalam dunia kerja,
formalism membuat manusia menjadi mesin, bekerja sesuai
dengan standar/aturan, tanpa memasukkan nilai-nilai
kemanusiaan didalamnya.
ADOLESEN (12-20 TAHUN)

Tahap ini adalah tahap yang paling penting diantara tahap


perkembangan yang lainnya, karena pada akhir tahap ini orang yang
harus mencapai tingkat identitas ego yang cukup baik. Walaupun
pencarian identitas ego itu tidak dimulai dan tidak berakhir pada
usia remaja (pencarian identitas ego ada sejak tahap bayi sampai
tahap tua), krisis antara identitas dengan kekacauan identitas
mencapai puncaknya pada tahap adolesen ini. Dari krisis itu akan
muncul kesetiaan (fidelity) sebagai virtue dari adolesen. Erikson
memandang adolesen sebagai tahap laten sosial. Pada fase ini
individu sibuk dengan dirinya sendiri, dilatarbelakangi oleh
pubertas genital yang memberi berbagai peluang konflik, baik yang
berhubungan dengan seks, pekerjaan, keyakinan diri dan filsafat
hidup.
Aspek Psikoseksual: Pubertas

Perkembangan psikoseksual pubertas (puberty), adalah


tahap kemasakan seksual. Bagi Erikson, pubertas
penting bukan karena memacu harapan peran dewasa
pada masa yang akan dating. Peran yang sangat penting
secara sosial itu hanya dapat dipenuhi melalui
perjuangan mencapai identitas ego pada tahap pubertas.
Krisis Psikososial: Identitas dan
Kekacauan identitas

Pencarian identitas ego mencapai puncaknya pada fase adolesen, ketika


remaja berjuang untuk menemukan siapa dirinya. Menurut Erikson
identitas muncul dari dua sumber: pertama, penegasan atau penghapusan
identifikasi pada masa kanak-kanak, dan kedua, sejarah yang berkaitan
dengan kesediaan menerima standar tertentu.
Identitas bisa positif bisa negative. Identitas positif adalah keputusan
mengenai akan menjadi apa mereka dan apa yang mereka yakini.
Kebalikannya, identitas negatif adalah apa yang mereka tidak ingin menjadi
seperti itu dan apa yang mereka tolak untuk mempercayainya.
Kekacauan identitas adalah sindrom masalah-masalah yang meliputi;
terbaginya gambaran diri, ketidakmampuan membina persahabatan yang
akrab, kurang memahami pentingnya waktu, tidak bisa konsentrasi pada
tugas yang memerlukan hal itu, dan menolak standar keluarga atau standar
masyarakat.
Virtue: Kesetiaan

Kekuatan dasar yang muncul dari krisis identitas pada tahap


adolesen adalah kesetiaan (fidelity); yaitu setia dalam
beberapa pandangan ideology atau visi masa depan. Dengan
kemantapan standar internal tingkah laku, adolesen tidak
membutuhkan lagi bimbingan orangtua, dan mereka kini
memiliki keyakinan bahwa agama, politik, dan ideologi sosial
akan memberi standar tingkahlaku yang konsisten.
Sisi patologis dari kesetiaan adalah penolakan (repudiation),
atau ketidakmampuan menggabungkan berbagai gambaran
diri dan nilai-nilai ke dalam identitas, menjadi malu-malu
(diffidence) atau penyimpanan (diviance).
Ritualisasi-ritualisme: Ediologi versus
Totalisme

Ritualisasi ediologi adalah gabungan dari ritualisasi-


ritualisasi tahap sebelumnya, menjadi keyakinan, atau
ide-ide. Memilih dan memiliki ediologi akan memberi
pola umum kehidupan diri, bagaimana berpakaian,
pilihan musik dan buku bacaan, dan pengaturan waktu
sehari-hari. Ritualisasi ediologi menjadi awal dari
kesiapan diri mengadopsi etika masyarakat, memilih
gaya hidup yang sesuai dengan dirinya dan menolak
ediologi yang tidak dikehendaki atau ediologi asing.
DEWASA AWAL (20-30 TAHUN)

Pengalaman adolesen dalam mencari identitas dibutuhkan


oleh dewasa awal, orang yang berusia 20-30 tahun. Selama
tahap adolesen harus memperoleh pemahaman yang mantap
tentang diri mereka sendiri, untuk dapat menyatukan identitas
diri mereka dengan identitas orang lain, tugas yang harus
dikerjakan pada tahap dewasa awal. Hanya sesudah orang
mengembangkan perasaan yang mantap siapa dirinya dan apa
yang diinginkannya maka mereka dapat mengembangkan
tingkat kebaikan cinta (love); kesetiaaan timbal balik yang
mengalahkan perbedaan yang tak terelakkan antara dua orang
yang berbeda kepribadian, pengalaman, dan perannya.
Aspek Psikoseksual: Perkelaminan

Perkembangan psikoseksual tahp ini disebut


perkelaminan (genitality). Mulai tahap ini sampai tahap
tua, deskripsi perkembangan psikoseksual murni konsep
Erikson, karena teori Freud hanya menjelaskan
perkembangan sampai adolesen. Aktivitas seksual
selama tahap adolesen adalah ekspresi pencarian
identitas yang biasanya dipuaskan sendiri. Perkelaminan
sebenarnya baru dikembangkan pada tahap dewasa awal,
ditandai dengan saling percaya dan berbagi kepuasan
seksual secara permanen dengan orang yang dicintai.
Krisis Psikososial: Keakraban versus
Isolasi

Keakraban (intimacy) adalah kemampuan untuk menyatukan


identitas diri dengan identitas orang lain tanpa ketakutan
kehilangan identitas diri itu. Karena intimasi hanya dapat
dilakukan sesudah orang membentuk ego yang stabil,
hubungan cinta yang luar biasa pada dewasa awal buakn
intimasi yang sebenarnya. Bisa jadi orang yang belum
memiliki ego yang stabil, mungkin menjadi malu untuk
menjauh dari intimasi psikososial atau berusaha keras
mencari intimasi dari hubungan seksual, sehingga yang
tampak adalah hubungan cinta yang luar biasa intimasinya.
Isolasi adalah ketidakmampuan untuk bekerja sama dengan
orang lain memlaui berbagi intimasi yang sebenarnya.
Virtue: cinta

 Cinta adalah kesetiaan yang masak sebagian dampak dari


oerbedaan dasar antara pria dan wanita. Cinta di samping
bernuatan intimasi juga membutuhkan sedikkit isolasi, karena
masing-masing partner tetap boleh memiliki identitas yang
terpisah. Cinta yang masak berarti komitmen, nafsu, seks,
kerjasama,kompetisi, dan persahabat. Kekutan dasar dari
dewasa awala inilahyang membuat orang bisa berkembang
produktif pada dua tahap perkembangan yang terakhir.
 Kembalikan dari cinta adalah kesendirian (Exclusivity), sumber
patologi dewasa awal. Sedikit ekslusif dibutuhkan dalam
intimasi, yakni bahwa orang harus bisa menolak orang tertentu,
menolak kegitatan dan idei-ide, untuk mengembangkan
perasaan identitas diri yang kuat.
Ritualisasi-ritualisasi: afilasi versus
elitism

 Ritualisasi pada tahap ini adalah afisilasi,refleksi, dari


kenyataan adanya cinta, mempertahankan persahabatan,
ikatan kerja. Afiliasi mendorong orang untuk berbagi
dengan orang lain, misalnya perkawinan, libur bersama,
dan permainan dalam satu tim.
 Kalau afilasi dalam kelompok menjadi sangat kuat,
kelompok itu menjadi eksklusif, ciri khas ritualisme
elitism.elitisme memandang orang luar dengan penuh
curiga, merendahkan.
Deawasa (30-65)

Tahap dewasaadalah waktu


menempatkan diri di masyarakat dan
ikut bertanggung jawab terhadap
apapun yang dihasilkan dari
masyarakat. Umumnya diantara tahap-
tahap perkembangan, tahap ini
menjadi tahap yang paling panjang,
sekitar 30 tahun.
Aspek Psikoseksual: prokreativita

Menurut Erikson, manusia


mempunyai insting yntuk
mempertahankan jenisnya. Insting
itu disebut prokreativita, yang
mencakup kontak seksual dengar
partner intimasi, dan tanggung
jawab untuk merawat anak-
keturunan hasil kontaks seks itu.
Krisis psikososial: generativita versus stagnasi
 Kualita sintonik tahap dewasa adalah generativita, yaitu penurunan
kehidupan baru, serta produk dan ide baru. Generativita berkaitan
dengan membina dan membimbing generasi penerus termasuk
merawat anak.
 Orang ingin belajar tetapi juga ingin mengajar, kepada anaknya sendiri
maupun kepada anak lain. Generativita tumbuh dari kualita sintonik
terdahulu, seperti intimasi dan identitas. Intimasi melibatkan orang
dalam pasangan pda tahap dewasa berkembang menjadi intimasi lebih
dari satu orang, dan anak menjadi pasangan intimasi berikutnya.
 Anitesis dari generativita adalah stagnasi. Siklus geberativitas dari
produktivitas dan kreativitas bakal lumpuh kalau orang terlalu
mementingkan diri sendiri-menyerap untuk diri sendiri dan
perkembangan budaya menjadi mandeg, stagnasi.
Virtue: kepedulian

Kepedulian (care) adalah perluasan komitmen untuk


merawat orang lain, merawat produk dan ide yang
membutuhkan perhatian. Sebagai kekuatan dasar
orang dewasa, kepedulian membutuhkan semua
kekuatan dasar ego sebelumnya. Care buka tugas
atau kewajiban, tetapi keinginan yang muncul secara
alami dari konflik antara generativita dengan
stagnasi.lawan dari kepedulian adalah penolakan
(rejectivity), yang menjadi sumber patologis orang
dewasa
Ritualisasi-ritualisasi: generasional
versus otoritisme

Ritualisasi generational adalah


interaksi antara orang dewasa
dengan generasi penerusnya,
misalnya sebagai orang tua, guru,
anggota masyarakat yang
meneruskan nilai etik/budaya.
Usia tua (>65 Tahun)

Menjadi tua bukan berarti menjadi tidak generative.


Susah tidak menghasilkan keturunan tetapi masih
produktif dan kreatif dalam hal lain, misalnya member
perhatian/merawat generasi penerus cucu dan remaja
pada umumnya.
Aspek psikoseksual: generalisasi
sensualitas

Tahap terakhir dari psikoseksualbadalah generalisi


sensualitas memperoleh kenikmatan dari berbagi
sensasi fisik, penglihatan, pendengaran, kecapan,
bau, pelukan, dan juga bisa stimulasi genital.
Virtue: kebijakan (wisdom)

 Orang dengan kebijaksanaan yang matang, tetap


mempertahankan integeritasnya ketika kemampuan fisik
dan mentalnya menurun. Wisdom memelihara dan
meneruskan kumpulan pengetahuan tradisional dari
generalisasi terdahulu ke generasi penerus.
 Antitesis dari kebijaksanaan adalah penghinaan (disdain),
reaksi terhadap perasaan terkalahkan, bingung dan tak
tertolong yang semakin tinggi. Penghinaan merupakan
kelanjutan dari penloakan, sumber patologi dari fase
dewasa.
Aplikasi
Teori erikson terfokus pada perkembangan social, sehingga
aplikasinya terutama di bidang pendididkan social, khusunya
pada anak-anak dan remaja. Memperhatikan teori erikson
akan berdampak kepada perlakuan orang dewasa kepada anak
lebih -anaksesuai dengan kebutuhan usia anak-anak itu.
Konsep krisis identitas ternyata aplikatif untuk
menginterpretasikan lima ranah sumber krisis pemuda di
amerika yakni:
1. Problem pilihan kerja
2. Konflik dengan orang tua
3. Keanggotaan kelompok sebaya
4. Hubungan cinta remaja
5. Pengguna obat psikotropik

Anda mungkin juga menyukai