Anda di halaman 1dari 1

Kejadian Nyata Kasus Pelanggaran Kode Etik Psikologi Dalam Dunia Pendidikan

Pertengahan bulan Februari tahun ini, salah satu organisasi daerah yang ada di Kota Yogyakarta, berasal
salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan mengadakan Safari Pendidikan sebagai program yang bertujuan
untuk memperkenalkan pendidikan di kota budaya ini termasuk PTN/PTS, saya juga mengikuti program
ini. Sasaran dari kegiatan tersebut adalah mengunjungi SMA/SMK secara langsung di kabupaten tersebut.

Memasuki hari pertama, kami mengunjungi beberapa sekolah termasuk tempat dimana saya selesai SMA.
Sebagai alumni, beberapa guru dan staf Bimbingan & Konseling masih aku kenal. Hal yang ganjil aku
temukan ketika pada saat itu juga diadakan test psikologi, ketika bercerita dengan beberapa staff BK, yang
memberi instruksi, intervensi dan supervisi adalah guru yang memiliki pendidikan strata satu dalam
pendidikan bergelar S.Pd. lembaga yang mengadakan tes tersebut merupakan Biro Psikologi yang
berkedudukan di ibu kota provinsi. Dalam hal ini, biro tersebut telah mengadakan kerja sama dalam
bentuk pelaksanaan psikotes dengan sekolah. Biro ini hanya mengirimkan alat tesnya kemudian hasilnya
akan dikirim ulang. Bentuk intervensi dan supervisi selanjutnya di serahkan kepada sekolah dalam hal ini
kepada staf guru BK. Adapun tes yang diberikan bertujuan untuk melihat kemampuan minat dan bakat
penjurusan kelas III (IPA, IPS dan Bahasa).

Dari kasus di atas dikaitkan dengan kode etik psikologi pada Bab III tentang kompetensi pasal 10 yang
mengatur tentang pendelegasian pekerjaan pada orang lain mengindikasikan adanya pelanggaran kode
etik yang dilakukan oleh Psikolog dalam hal ini berbentuk layanan Biro Psikologi.

Pada pasal tersebut disebutkan bahwa Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang mendelegasikan
pekerjaan pada asisten, mahasiswa, mahasiswa yang disupervisi, asisten penelitian, asisten pengajaran,
atau kepada jasa orang lain seperti penterjemah; perlu mengambil langkah-langkah yang tepat untuk:

a) Menghindari pendelegasian kerja tersebut kepada orang yang memiliki hubungan ganda dengan
yang diberikan layanan psikologi, yang mungkin akan mengarah pada eksploitasi atau hilangnya
objektivitas.

b) Memberikan wewenang hanya untuk tanggung jawab di mana orang yang diberikan pendelegasian
dapat diharapkan melakukan secara kompeten atas dasar pendidikan, pelatihan atau pengalaman, baik
secara independen, atau dengan pemberian supervisi hingga level tertentu; dan

c) Memastikan bahwa orang tersebut melaksanakan layanan psikologi secara kompeten.

Sumber : Putri, ambiya. Diakses dari https://www.academia.edu/7390436/Kasus_kode_etik. Universitas


Negeri Jakarta

Anda mungkin juga menyukai