Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH WAWANCARA

“Analisis Perbedaan Wawancara dari Berbagai Setting


(Sosial, Klinis, Perkembangan, dan PIO)”
KELOMPOK 6
2018 C

Dosen Pengampu : Meita Santi Budiani, S.Psi., M.Psi.


Mata Kuliah : Wawancara

Disusun Oleh:
1. Sayidatul Qisti Adillah (18010664021)
2. Erfin Hidayat (18010664068)

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
PSIKOLOGI
A. Setting Sosial
Wawancara dalam Bidang Sosial
Dalam beberapa dekade terakhir, ilmuwan sosial semakin memberikan
perhatian terhadap peran yang dimainkan oleh elit, baik itu elit bisnis maupun
elit sosial (Harvey, 2011). Keunikan ilmu sosial dibandingkan ilmu alam
adalah subject matter bahasannya. Tantangan tersebut diantaranya:
kecenderungan manusia untuk mengubah perilaku mereka ketika mereka
mengetahui sedang di observasi (reactivity); sangat banyaknya faktor yang
mempengaruhi perilaku seseorang (baik itu faktor internal, faktor situasional
saat itu, maupun faktor masa lalu) sehingga menyulitkan peneliti untuk
mengetahui secara persis apa yang menyebabkan munculnya sebuah perilaku
(causality); kemampuan manusia untuk secara sadar mengobservasi perilaku
mereka sendiri sehingga dapat mengakibatkan bias (self awareness); dan
kompleksitas manusia yang menyulitkan pengukuran (Glassman & Hadad,
2009).
Wawancara adalah situasi berhadap-hadapan antara pewawancara dan
responden yang dimaksudkan untuk menggali informasi yang diharapkan, dan
bertujuan mendapatkan data tentang responden dengan minimum bias dan
maksimum efisiensi (Singh, 2002). Sementara Steward & Cash (1982)
mendefinisikan wawancara sebagai sebuah proses komunikasi dyad
(interpersonal), dengan tujuan yang telah ditentukan sebelumnya, bersifat
serius, yang dirancang agar tercipta interaksi yang melibatkan aktivitas
bertanya dan menjawab pertanyaan.
Metode Wawancara

 Ditinjau dari Segi Sasaran


a. Wawancara perorangan, artinya wawancara ini dilakukan terhadap sasaran
seorang individu.
b. Wawancara kelompok, artinya wawancara ini dilakukan terhadap
sejumlah individu secara bersama-sama.

 Ditinjau dari Bidang/Bahan Wawancara


a. Wawancara kejahatan
b. Wawancara Kebudayaan
c. Wawancara Pendidikan
d. Wawancara Politik
e. Wawancara keagamaan
 Ditinjau dari Intensitas Wawancara
a. Wawancara sesaat, artinya wawancara yang dilakukan dengan hanya
waktu yang sedikit. Misalnya wawancara yang dilakukan kepada pejabat.
b. Wawancara mendalam, artinya wawancara yang dilakukan berulang dan
secara terperinci.
Wawancara Persuasif
Pewawancara persuasif dan akan dimulai dengan keprihatinan dasar teori
persuasi dan praktisi-etika.
 Teori Identifikasi
Strategi ini menitik beratkan penampilan penting dalam mengamati kesamaan.

 Teori keseimbangan atau konsitensi

Membuat keseimbangan untuk eksistensi diri sendiri. Dapat membantu


yang diwawancara untuk membawa keseimbangan atau konsistensi menjadi
seimbang dengan memberikan perubahan dalam sumber, sikap, persepsi, dan
konflik perilaku. Sebagai seorang pewawancara kita bisa membuat atau
menyelesaikan disonansi ( ketidaknyamanan psikologis).

 Teori inokulasi

Teknik ini efektif untuk mencegah efek persuasive yang tidak


diinginkan untuk terjadi daripada menggunakan kontrol. Dalam strategi ini
membuat responden kebal dari persuasi masa depan. Sebagai pewawancara
memberikan argument dan bukti-bukti yang responden dapat gunakan untuk
meningkatkan upaya kontra.

 Teori kepatuhan individu

Strategi ini dapat mengubah pemikiran responden, perasaan, atau


acting dengan membujuk mereka untuk terlibat dalam kegiatan yang
bertentangan dengan nilai, keyakinan, sikap.

 Teori psikologis reaktansi

Strategi ini membatasi perilaku yang dapat menyebabkan persuasi atau


kebencian. Orang akan bereaksi negatif ketika seseorang mengancam serta
membatasi perilaku yang mereka inginkan.
Pembukaan Wawancara
a. Memilih teknik yang paling sesuai untuk dilakukan dalam praktik sosial
b. Membangun hubungan sesuai dengan hubungan dan situasi
c. Memberikan orientasi yang tepat
Pertanyaan dalam wawancara
a. Interviewer harus memberikan pertanyaan sesuai dengan tujuan
b. Interviewer harus bisa mengembangkan poin keterlibatan dan adaptasi
dengan pihak lain, diantaranya;
- Interviewer menggunakan pola argument yang tepat
- Interviewer dalam menanyakan bisa menyediakan berbagai bukti
- Interviewer bisa menggunakan strategi yang efektif
- Interviewer bisa membandingkan terhadap nilai-nilai penting dan
emosi
- Interviewer mampu membuat responden berempati dan terlibat
c. Interviewer mampu untuk menghadirkan kriteria yang terdapat pada
pikiran, meringkas dan mendapatkan perstujuan pada semua
kriteria,melibatkan responden dalam kriteria, dan tentunya ini berkaitan
dengan menetapkan kriteria.
d. Interviewer mampu Menyajikan solusi dengan baik
e. Interviewer mampu menutup dengan baik dengan menggunakan teknik-
teknik berpisah yang baik.
B. Setting Klinis
Psikologi Klinis
Wawancara klinis adalah salah satu elemen inti dari kebanyakan
penilaian/sebagai salah satu metode assesment yang dilaksanakan oleh
psikolog klinis atau bisa disebut sebagai percakapan yang bertujuan.
Wawancara klinis juga merupakan suatu proses komunikasi interaksional
antara 2 pihak dalam setting Tanya-jawab dan minimal salah satu pihak yang
terlibat sebelumnya telah menetapkan maksud yang jelas.
Wawancara dalam Praktek Klinis
a. Assesment-Oriented Interview
 Interview ini dilakukan pada awal pertemuan saat klien datang
pertama kali.
 Tujuannya untuk memperjelas pemahaman terhadap permasalahan
klien dalam usahanya untuk merencanakan pemberian treatment
selanjutnya.
b. Therapeutic Interview
 Interview ini dirancang untuk memfasilitasi pemahaman klien
terhadap dirinya sehingga dapat mempengaruhi keinginannya untuk
berubah, baik perasaan atau perilakunya.
Teknik yang digunakan (Gaya Langsung versus Tidak Langsung )
 Gaya Langsung
Cara pewawancara menggunakan gaya langsung adalah dengan
menanyakan pertanyaan spesifik secara langsung kepada klien.
Bertanya secara langsung akan memberikan data krusial yang
mungkin tidak dipilih untukn didiskusikan dengan klien. Dalam
pelaksanannya gaya ini memiliki kekurangan diantaranya gaya
langsung akan mengorbankan hubungan baik demi mendapatkan
sebuah informasi. Terlebih jika pewawancara melakukannya dengan
terburu-buru, klien akan merasa tidak punya kesempatan untuk
mengekspresikan dirinya dan menjelaskan sesuatu yang dianggapnya
penting.
 Gaya Tidak Langsung
Pewawancara yang menggunakan gaya tidak langsung akan
membiarkan klien untuk menjalankan wawancara sesuai keinginan
klien. Jika bertanya secara tidak langsung, mungkin akan memberikan
data atau jawaban krusial yang mungkin sebelumnya tidak dicari oleh
pewawancara. wawancara tidak langsung akan membuat pewawancara
dan klien memiliki hubungan yang baik, namun pendekatan ini akan
membuat pewawancara tidak mendapatkan informasi secara spesifik.
Sampai akhit wawancara, pewawancara yang menerapkan pendekatan
ini dengan santai mungkin tidak akan mendapatkan data spesifik yang
dibutuhkan untuk hal diagnosis, konseptualisasi, atau rekomendasi
yang valid.
Jenis-jenis Wawancara dalam Bidang Klinis
Dalam wawancara klinis, wawancara dilakukan dengan mengambil
berbagai macam bentuk menurut tuntutan situasinya, bergantung pada
lingkungan, masalah yang dialami dan isu yang ingin ditangani melalui
wawancara. Dalam praktiknya, ada bervariasi wawancara idiosinkratik dan unik
yang tak terhitung jumlahnya, tetapi sebagian besar termasuk salah satu di antara
beberapa kategori luas, sebagai berikut.

 Wawancara masukan

Wawancara masukan pada dasarnya digunakan untuk menentukan apakah


klien membutuhkan penanganan; bentuk penanganan seperti apa yang harus
didapatkan klien (seperti rawat inap, rawat jalan, perawatan spesialis, dsb); dan
juga apakah fasilitas yang ada pada tempat tersebut saat ini dapat menyediakan
penanganan yang memadai atau apakah klien seharusnya dirujuk ke fasilitas lain
yang lebih mumpuni untuk menanganinya.
Wawancara masukan melibatkan tanya-jawab rinci tentang masalah yang
dialami sebab dengan adanya informasi yang mendetail tersebut dapat
menentukan seseorang membutuhkan penanganan seperti apa. Wawancara
masukan juga melibatkan tanya jawab mengenai keberasaan masalah psikologis
sebelumnya, dan selama wawancara pewawancara lebih baik mengamati perilaku
klien dan mencatat perilaku tersebut yang mungkin menunjukkan sebuah gejala-
gejala. Dari data yang terkumpul tersebut, pewawancara dapat memutuskan
penanganan yang sesuai dengan kondisi klien seperti apa.

Wawancara diagnostik
Ketika membahas wawancara masukan yang menekankan pada tujuan
penentuan perawatan yang akan di berikan, wawancara diagnostik bertujuan
untuk mendiagnosis. Wawancara yang diberikan berupa kriteria yang
bersangkutan dengan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders
(DSM) pada masalah klien. Pada wawancara yang menghasilkan sebuah
diagnosis yang spesifik dan valid, rekomendasi penanganan selanjutnya akan
efektif karena sudah jelas masalah yang dihadapi klien apa dan penanganannya
harus seperti apa oleh pewawancara.
Ketika timbul pertanyaan bahwa seberapalangsung pertanyaan dalam
wawancara merefleksikan kriteria diagnostiknya? Maka sebagian psikolog klinis
percaya bahwa seharusnya pertanyaan wawancara pada dasarnya meniru kriteria
DSM; akan tetapi psikolog klinis lainnya percaya bahwa waancara diagnostik
tidak perlu dipasangkan dengan sebuah kriteria diagnostik DSM tertentu, mereka
menyukai gaya wawancara fleksibel, misalnya dengan membuat pertanyaan
selama wawancara berjalan dan menggunakan inferensi bukan fakta mutlak untuk
membuat keputusan diagnosis. Dalam hal ini jelas sekali yang di maksudkan para
psikolog adalah sebagian dari mereka menyukai wawancara terstruktur dan
sebagian lainnya lebih menyukai wawancara tak terstruktur.

 Wawancara terstruktur vs wawancara tak terstruktur


Jelas sekali bahwa kata terstruktur bermakna jelas arahnya dan telah
direncanakan, yang mengartikan bahwa wawancara struktur merupakan
rangkaian pertanyaan yang ditanyakan pewawancara kepada klien, yang
sebelumnya memang sudah direncanakan dan ditentukan. Wawancara struktur
dikonstruksikan untuk maksud tertentu, biasanya diagnostik (Pomerantz,
2014). Sedangkan wawancara tak terstruktur berkebalikan dengan terstruktur,
di mana wawancara tak struktur tidak merencanakan pertanyaan apa saja yang
nantinya akan diajukan kepada klien. Para pewawancara berimprovisasi dan
menentukan pertanyaan mereka di tempat selama wawancara.
Kelebihan wawancara terstruktur, antara lain.
1. Wawancara terstruktur menghasilkan sebuah diagnosis, dikarenakan
wawancara ini telah direncanakan pertanyaan seperti apa saja yang akan
diajukan kepada klien sehingga dengan adanya runtutan yang jelas akan
dengan mudah mendapatkan diagnosis klien.
2. Cenderung sangat reliabel, dalm arti ini wawancara terstruktur yang sama
akan jauh lebih sering menghasilkan kesimpulan diagnostik yang sama
dibanding dengan dua pewawancara yang menggunakan wawancara tak
terstruktur.
Di sisi lain, adapun kelemahan dari wawancara terstruktur ini ialah.
1. Format pertanyaan wawancara yang sudah dibuat terkesan kaku, sehingga
menghambat terbentuknya hubungan yang baik dengan klien yang gunanya
untuk mengelaborasi atau menjelaskan sesuai keinginan klien.
2. Dengan wawancara terstruktur tidak memungkinkan penyelidikan topik
penting (mengajukan pertanyaan bebas saat di tempat) yang mungkin tidak
berkaitan langsung dengan kriteria DSM (seperti riwayat pribadi, hubungan
klien dengan orang terdekat, dan masalah lain yang berada di anatra kategori
DSM).
3. Dengan daftar pertanyaan yang telah dibentuk sedemikian rupa, wawancara
ini biasanya akan memakan waktu yang cukup lama agar sesuai dengan
struktur yang telah dibuat sebelumnya.
Terdapat sejumlah wawancara terstruktur yang telah dipublikasikan
kepada khalayak yang berfokus pada isu-isu diagnostik tertentu, misalnya saja
SCID (Structural Clinical Interview for DSM-IV Disorders) yang paling
menonjol belakangan ini. Pada dasarnya SCID adalah sebuah daftar
komprehensif bebrapa pertanyaan yang secara langsung menanyakan gejala
spesifik yang dimasukkan di dalam DSM-IV. SCID juga bersifat modular
yang mana penggunanya/ pewawancara dapat memilih bagian-bagian SCID
yang relevan untuk kasus klinis tertentu. Dengan sifatnya yang modular ini
tentu saja memiliki keuntungan tersendiri bagi pewawancara, yaitu akan
menghemat waktu wawancara dengan klien.
Selain dari jenis wawancara terstruktur ataupun tak terstruktur yang dilakukan
oleh pewawancara, ada juga pewawancara yang menggabungkan/ mencampurkan
kedua jenis wawancara tersebut. Ini disebut wawancara semistruktur, di mana
pewawancara dapat secara leluasa menanyakan pertanyaan yang tak terstruktur,
seperti mencoba bertanya pada klien mengenai masalahnya dan riwayat
pengalamannya yang relevan dengan kondisinya sekarang. Kemudian, setelah
pewawancara melancarkan segmen tak terstruktur tersebut, ia akan mulai
memasuki segmen terstruktur, di mana mengajukan serangkaian pertanyaan untuk
kriteria diagnostik tertentu agar sang target dapat di diagnosis kebenarannya.

 Setting kerja psikolog klinis


a. Praktik swasta (mandiri)
b. Rumah Sakit Umum
c. Rumah Sakit Jiwa
d. Klinik bersama (dalam satu klinik ada dokter, terapis atau
psikolog lain yang praktek dalam 1 klinik)
e. Lembaga Pemasyarakatan dan pengadilan
f. Badan pemerintahan vii. Sekolah atau Universitas
g. Gereja
h. Industri atau Organisasi
i. Militer
 Keterampilan wawancara klinis
a. Ramah dan santai tapi tetap kontrol: waktu, isi, cara menjawab (kapan
pakai pertanyaan terbuka atau hanya jawaban ya atau tidak) dan kedekatan
dengan klien
b. Ditambah ketrampilan wawancara umum, antara lain:
1. Mendengar dan berbicara
2. Tanggap akan emosi klien dan siap mendengarkan secara mendalam
3. Carl Rogers: mendengarkan secara mendalam (mendengarkan kata-
katanya, pikiran-pikirannya, perasaannya, makna pribadinya, dan
bahkan makna dialam bawah sadarnya
4. Sikap tidak menghakimi (Rogers: semua orang sama
menakjubkannya dengan sunset)
c. Ditambah keterampilan wawancara khusus
1. Parafrase: mengulang dan merangkum pernyataan klien
2. Refleksi perasaan: konfirmasi perasaan klien
3. Pengecekan persepsi: checking pernyataan klien supaya satu
persepsi dengan klien.
4. Peka terhadap perbedaan perilaku, pikiran dan perasaan kadang apa
yang didengar beda dengan laporan (libatkan significant others untuk
validasi info)

 Tahapan Wawancara
a. Pengaturan dan dimulainya wawancara (rapport)
b. Mengumpulkan informasi
c. Menyimpulkan
 Tipe wawancara
a. Intake interview: terjadi pada proses awal asesmen, tujuannya adalah
untuk mengetahui alasan klien datang ke psikolog dan kondisi latar
belakang klien
b. Case history: wawancara untuk mengetahui detil tentang kesehatan,
keluarga, asal keluarga, dll
c. Testing orientation interview: wawancara yang dilakukan bersamaan
dengan psikotes atau setelah tes
d. Mental status interview meliputi:
1. Penampilan dan perilaku
2. Sikap terhadap pemeriksaan dan situasi
3. Pembicaraan dan komunikasi
4. Isi pikiran
5. Fungsi inderawi dan kognitif
6. Fungsi emosi
7. Insight dan judgement
 Behavior problem interview: untuk diagnose
C. Setting Perkembangan
Wawancara dalam setting Psikologi Perkembangan
Psikologi perkembangan adalah ilmu yang mempelajari tentang tingkah laku
manusia dalam perkembangannya dan latar belakang yang memengaruhinya.
Psikologi perkembangan mempelajari manusia dari bayi, masaka kanak-kanak, masa
remaja, masa dewasa, dan juga mempelajari tentang anak berkebutuhan khusus
(ABK). Oleh karena itu di dalam psikologi perkembangan terdapat beberapa jenis
wawancara yaitu :
1. Wawancara pada anak-anak
- Interviewer harus memilih tempat yang nyaman untuk interviewee.
- Interviewer harus menggunakan bahasa yang mudah dingemengerti oleh
anak-anak.
- Interviewer harus mengajak untuk saling memperkenalkan diri.
- Interviewer harus mampu memberikan dorongan yang baik agar interviewee
dapat melakukan sesi wawancara dengan maksimal.
- Interviewer diperbolehkan membiarkan interviewee untuk berrubah fikiran.
2. Wawancara pada lansia
- Interviewer harus dapat mengatur kecepatan dan tekanan suara dengan
menyesuaikan pada topik pembicaraan dan kebutuhan lansia.
- Interviewer harus memberikan interviewee kesempatan untuk berbicara,
hindari untuk mendominasi, mendorong lansia untuk berperan aktif.
- Interviewer harus bisa membuat topic pembicaraan yang menarik agar lansia
atau intervieweenya tidak bosan.
- Interviewer harus menggunakan bahasa yang sederhana dan mudah
dimengerti.
- Interviewer harus menggunakan kalimat yang tidak asing bagi interviewee
sesuai dengan latar belakang sosiokulturalnya.
- Interviewer harus menjelaskan tujuan wawancara dengan bahasa yang mudah
untuk dimengerti.
- Interviewer mulai pertanyaan dengan topik yang sederhana, menggunakan
pertanyaan terbuka, dan belajar mendengarkan secara efektif.
- Mempertahankan kontak mata dan mendengarkan dengan baik.
- Mendorong interviewer agar fokus pada topik.
- Meminta izin apabila ingin bertanya pertanyaan yang terlalu sensitif.
- Memperhatikan kondisi fisik pasien pada waktu wawancara.
3. Wawancara pada orang tuan ABK
- Memperhatikan pemilih tempat yang akan digunakan.
- Pada saat wawancara berlangsung sebaiknya, anak tidak ada di tempat yang
sama.
- Interviewer harus memperhatikan pemilihan bahasa, disesuaikan dengan latar
belakang pendidikan.
- Interviewer harus menggunakan bahasa yang mudah dimengerti.
- Pertanyaan maupun pernyataan yang disampaikan tidak boleh menyudutkan
dan melukai perasaan interviewee.
- Interviewer harus membangun raport yang baik.
- Interviewer harus meminta izin terlebih dahulu jika ingin menanyakan
pertanyaan ayng sensitif.
D. Setting Pio
Wawancara dalam setting Psikologi Industri dan Organisasi
Psikologi Industri dan Organisasi adalah ilmu yang mempelajari tentang
perilaku, kognisi, emosi, dan motivasi serta proses mental manusia dalam dunia kerja
dimana manusia memiliki peran sebagai pekerja, baik secara individual maupun
secara kelompok. Wawancara dalam setting PIO biasanya dilakukan untuk seleksi
dan penempatan, promosi jabatan, dan juga untuk meminimalisasikan permasalahan
karyawan atau exit interview (wawancara yang dilakukan sebelum pemberhentian
hubungan kerja).

1. Wawancara Perekrutan
- Tujuan dari wawancara perekrutan adalah untuk merekrut pegawai-pegawai
atau anggota-anggota baru di suatu perusahaan atau organisasi dan
menempatkannya di posisi yang sesuai dengan mereka.
- Interviewer harus berpusat pada komponen dari ketertarikan dan pemilihan
pegawai.
- Interviewer bukan hanya memilih yang lebih baik, tetapi juga
mempresentasikan kesan baik dalam organisasi.
- Dalam proses ini interviewer harus memperimbangkan latar pendidikan
dengan jenis pekerjaan yang akan diberikan.
- Interviewer juga harus mempertimbangkan kemampuan dan keinginan
interviewee dalam posisinya dijabatan yang akan diberikan.
- Interviewer harus bersifat professional, objektif, memberi pertanyaan terbuka,
dan memberi kesempatan mereka untuk mengekspresikan diri.
2. Wawancara Kinerja
- Tujuan dari wawancara kinerja adalah untuk menyediakan masukan bagi para
pegawai tentang apa yang harus diubah atau dihilangkan.
- Interviewer harus menciptakan iklim yang baik dengan interviewee.
- Perkembangan interviewee menjadi kunci terbaik daripada penilaian sebagai
peninjauan kerja.
- Interviewer harus berhati-hati dalam menilai sesuatu yang tidak bisa diukur.
- Proses peninjauan kinerja harus objektif.
- Proses peninjauan harus berdaskan kinerja individu, bukan dari faktor yang
lain.
- Peninjauan harus melihat pada kecakapan dan permasalahan.
- Interviewer harus bisa memainkan peran sebagai pelatih daripada berperan
sebagai evaluator atau pendisiplin.
- Memberi masukan pada interviewee secara berkala.
- Komentar dan saran yang vague dapat membahayakan hubungan kerja dan
kegagalan mencapai performa.
- Interviewer harus berhati-hati terhadap nilai plus dan minus dari setiap model
peninjauan.
- Interviewer harus menjadi pendengar yang aktif.
3. Wawancara Perilaku (Behavioral Interview)
- Tujuannya untuk meminta interviewee menggambarkan kinerja masa lalunya,
terutama untuk posisi penting dan juga keberhasilan yang pernah dicapai.
- Behavioral Interview digunakan untuk menggali situasi tertentu, pengalaman,
tindakan tertentu, dan hasil.
- Behavioral Interview juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi masalah
perilaku secara spesifik, mengetahui faktor-faktor yang dapat menimbulkan
perilaku bermasalah, dan juga untuk mengetahui keberhasilan yang telah
dicapai.
REFERENSI
Pomerantz, Andrew M. (2014). Psikologi Klinis Edisi 3. Jogjakarta: Pustaka
Belajar.
Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. (2016).
Bahan Ajar Psikologi Klinis Psikodiagnostik 3. Tim Pengajar Psikologi
Klinis UNUD Denpasar, Bali : Author.
Wulandari, Anis Qurli Wahyu. (2014). Makalah Metode Penelitian dan Etika
Psikologi Sosial. Fakultas Psikologi: Universitas Mercu Buana Menteng.
Hakim, Lukman Nul. (2013). ULASAN METODOLOGI KUALITATIF:
WAWANCARA TERHADAP ELIT Review of Qualitative Method:
Interview of the Elite. Desember 14, 2013. Pusat Pengkajian,
Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI.
file:///C:/Users/User/Downloads/501-1047-1-SM.pdf

Anda mungkin juga menyukai