1. Fase investigatif
Menurut Reese (1987), bantuan psikologi dalam kepolisian dimulai pada tahun
1968. Pertama kali di Los Angeles. Bentuk criminal profiling yang pertama dan paling tua,
dilakukan oleh Kerajaan Inggris, dikenal dengan Smallest Space Analysis (SSA)., yang
berguna untuk melihat tema perilaku, karakteristik area, dan orang. Berbeda dengan
criminal profiling ̧ otopsi psikologi diistilahkan dengan equivocal death analysis. Ebert
(1987) menekankan pentingnya pengumpulan informasi multisumber dalam otopsi. Istilah
yang digunakan Annon (1995) adalah pengumpulan evidence of intent dan degree of
lethality. Annon menambahkan bahwa possibility of accidental death juga harus
diperhitungkan.
Fase investigatif juga membahas terkait dengan pengakuan bersalah palsu yang
diberikan oleh tersangka. Bentuk dari pengakuan bersalah adalah:
1. Voluntary false confession, pengakuan bersalah tanpa paksaan dengan tujuan untuk
melindung orang lain atau pelaku yang sesungguhnya.
2. Coerced compliant false confession, pengakuan bersalah karena paksaan karena adanya
hubungan transaksional dengan pelaku yang sebenarnya.
3. Coerced internalized false confession, yang memberikan pengakuan tidak menyadari
bahwa sebenarnya ia tidak bersalah.
Identifikasi saksi mata menjadi proses investigatif yang kemudian banyak disoroti oleh
peneliti.
Mekanisme saksi mata ada dua, yakni Lineups (beberapa orang berbaris dan saksi
diminta untuk menunjuk yang serupa pelaku) atau showups (dimunculkan satu persatu).
2. Fase Ajudikatif
Selain itu adalah kondisi mental saat kejadian. Melton, dkk (1997) menyatakan
ada enam ciri yang dapat mengurangi tanggung jawab atas perbuatan atau tindak
kriminal, yakni automatism, diminished capacity, character defense, affirmative
defense, substance use, dan insanity. M’Naghten menyatakan bahwa terdakwa tidak
dapat dianggap bertanggung jawab atas tindakannya bila mereka “bertindak dalam
keadaan seperti cacat akal, akibat penyakit pikiran, dan tidak tahu sifat dan kualitas
tindakan yang dilakukannya; atau kalau pun tahu, ia tidak tahu bahwa yang
dilakukannya itu salah” disebut dengan irresistible impuls.
Kasus lainnya adalah asesmen terhadap cedera atau disabilitas mental dimana
termasuk di dalam peradilan sipil bukan pidana. Tergugat memiliki kewajiban hukum
terhadap penggugat. Dalam hal tergugat melanggar kewajibannya. Cedera mental
terjadi akibat dari pelanggaran. Melton, dkk (1997), mengungkap tiga kriteria utama,
yakni:
3. Fase Preventif
1. Siapa kliennya?
2. Adversarial dan konfrontasional. Sejauh mana peran psikolog dalam peradilan.
3. Kesaksian ahli psikologi forensik sebaiknya bersifat:
1) Komprehensif.
2) Terbatas pada opini yang didukung fakta empiris.
3) Sebatas pada bidang keahlian dan pelatihan yang dimiliki.