Anda di halaman 1dari 21

PROPOSAL PENELITIAN

DISONANSI KOGNITIF
DALAM PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN
PADA INDIVIDU YANG TERLIBAT KORUPSI
Studi Kualitatif-Deskriptif

Peneliti :

Falasifatul Falah, S.Psi, MA.


NIK 210701012

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2015
2

HALAMAN PENGESAHAN
1. Judul Penelitian : Disonansi Kognitif Dalam Proses Pengambilan
Keputusan Pada Individu Yang Terlibat Korupsi,
Studi Kualitatif-Deskriptif

2. Nama : Falasifatul Falah, S.Psi, M.A.


Jenis Kelamin : Perempuan
Golongan/Pangkat/NIK : IIIb/Asisten Ahli/210701012
Fakultas/Jurusan : Psikologi
3. Alamat Peneliti
Alamat Kantor/Telp : Jalan Raya Kaligawe km 5 Semarang
Telp 024-6583584 psw 235
Alamat Rumah/Telp : Jalan Wologito Raya 51 Semarang
Telp 024-7605839 / HP 08122875340
4. Jumlah peneliti : 1 (satu) orang / mandiri
5. Lokasi : LP Kelas A Kedungpane, LP Wanita Bulu, Semarang
6. Kerja sama institusi : -
7. Waktu Penelitian : 2 (dua) semester
8. Biaya Penelitian
 Road map Fak Psikologi : Rp. 5.000.000,-
 Sumber Lain : -

Semarang, 30 Agustus 2015


Mengetahui,
Dekan Fakultas Psikologi Peneliti

Inhastuti Sugiasih, S.Psi., M.Psi. Falasifatul Falah, S.Psi, M.A.


NIK. 210700009 NIK. 210701012

Menyetujui,
Ketua lembaga Penelitian dan Pengembangan

Dr. Suryani Alifah, MT.


NIK. 210601024
3

IDENTITAS PENELITIAN

1. Judul Usulan Penelitian

DISONANSI KOGNITIF DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN PADA


INDIVIDU YANG TERLIBAT KORUPSI, STUDI KUALITATIF-
DESKRIPTIF

2. Peneliti

a. Nama Lengkap : Falasifatul Falah, S.Psi, M.A.

b. Bidang Keahlian : Psikologi Umum

c. Jabatan Struktural : -

d. Jabatan Fungsional : Asisten Ahli

e. Unit Kerja : Fakultas Psikologi

3. Anggota Peneliti : -

4. Subjek Penelitian : Individu yang terlibat kasus korupsi

5. Waktu Penelitian : Semester Gasal dan Genap 2015-2016

6. Anggaran Penelitian : Road map Fak Psikologi Rp. 5.000.000,-

7. Lokasi : Lembaga PemasyarakatanKelas A Kedung


Pane, Lembaga Pemasyarakatan Wanita Bulu,
dan wilayah lain di Karesidenan Semarang
4

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH


Korupsi masih menjadi salah satu isu terbesar di Indonesia. Transparency
International, lembaga yang menjadi acuan masyarakat dunia dalam mengukur tingkat
“kebersihan” setiap bangsa, mengungkapkan bahwa Indonesia, dengan skor 35 dari 100,
masih berada di peringkat 107 dari 175 negara dalam upaya pemberantasan korupsi
(Transparency International, 2014).

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebetulnya telah bekerja keras untuk


memberantas korupsi di Indonesia, dan itu terlihat dari banyaknya kasus korupsi yang
ditangani. Total perkara tindak pidana korupsi yang ditangani KPK dari tahun 2004-2015
adalah penyelidikan 714 perkara, penyidikan 437 perkara, penuntutan 353 perkara,
inkracht 298 perkara, dan eksekusi 315 perkara (Komisi Pemberantasan Korupsi, 2015).
Namun jumlah pengaduan masyarakat tentang adanya aksi korupsi juga sangat banyak.
Hanya dalam kurun waktu tujuh bulan sejak awal tahun hingga 31 Juli 2015, KPK sudah
menerima 3.378 laporan pengaduan masyarakat yang seluruhnya telah selesai diverifikasi
(Komisi Pemberantasan Korupsi, 2015).

Sejarah menunjukkan bahwa godaan untuk melakukan korupsi telah menjadi


ancaman bagi bangsa Indonesia sejak sebelum republik ini lahir. Salah satu surat yang
ditulis Kartini di akhir abad 19 menceritakan bahwa di zaman itu banyak pegawai pribumi
yang menerima gratifikasi. Kartini mengungkapkan fenomena psikologis yang menarik,
bahwa proses keterlibatan individu dalam korupsi tidak terjadi secara radikal, melainkan
bertahap dan diwarnai dengan ketidaknyamanan psikologis akibat kontradiksi antara
kognisi yang bertentangan. Suratnya yang ditulis Kartini pada Stella Zeehandelaar
menceritakan secara detail proses psikologis seorang pegawai pribumi memutuskan
menerima hadiah dari masyarakat yang dilayaninya: Saat pertama kali ditawari hadiah
pegawai itu menolak, ketika ditawari untuk kedua kalinya penolakannya mulai melemah,
pada penawaran yang ketiga dia akan mulai menerima meskipun dengan sedikit rasa
enggan, dan pada tawaran keempat pegawai itu akan mengambil hadiah tanpa ragu-ragu
sambil mengeluarkan rasionalisasi atau pembenaran: “hadiah ini hanyalah wujud tradisi
saling menghormati yang tidak berbahaya” (Kartini, 1985).
5

Pertentangan antara nilai moral dengan perilaku yang mewarnai pengalaman


korupsi pada “koruptor pemula” selalu terjadi, seperti yang terungkap dalam cerita
seorang pesuruh kantor tentang pengalamannya saat pertama kali menghadapi godaan
korupsi di lingkungan kerjanya:

“Pada suatu hari datang kesempatan kantor minta dibikinkan stempel


beberapa buah .... Setelah deal dua hari kemudian dari ongkos bikin
Rp.70.000,- saya diberi anggaran dari kantor Rp.90.000,- jadi ada selisih
Rp.20.000,- K[a]wan-kawan saya bilang, "Udah sikat aja... itu hak kamu".
Sayapun mengikuti nasehat kawan-kawan. Eeeeh malamnya saya nggak bisa
tidur gara-gara nyatut uang kantor Rp.20.000,- Perasaan seperti diudak-
udak ...” (Agil, 2009)

Penelitian yang dilakukan Falah (2014) mengungkapkan fenomena bahwa individu


yang semula ragu-ragu melakukan korupsi akhirnya menyerah pada situasi dengan
mengeluarkan dalih bahwa keterlibatannya dalam aktivitas yang korup tersebut tidak bisa
dielakkan (Falah, 2014):

“Kalo menurut prinsip pribadi ya sebetulnya itu tidak boleh. Tapi kalau
tidak mau nanti diblacklist, besok nggak dapat (dana) lagi.” (AM, 2014)

Hal ini senada dengan pernyataan salah satu anggota Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) Indonesia menyatakan bahwa di antara faktor-faktor yang muncul dalam berbagai
kasus kecurangan atau korupsi di Indonesia, salah satunya adalah adanya upaya untuk
melakukan pembenaran atas kecurangan tersebut (Amrizal, 2004).

Rasionalisasi atau pembenaran sendiri terjadi ketika individu berusaha


menghilangkan ketidaknyamanan yang terjadi karena melalukan perbuatan yang
melanggar prinsip moralnya. Ketidaknyamanan yang terjadi karena pertentangan antara
kognisi atau pikiran yang berbeda, atau pertentangan antara kognisi dengan perbuatan,
inilah yang dikenal dengan istilah cognitive dissonance atau disonansi kognitif (Wade &
Tavris, 2008).

Disonansi kognitif adalah “keadaan internal yang tidak nyaman akibat adanya
ketidaksesuaian antara dua sikap atau lebih serta antara sikap dengan tingkah laku”
(Wibowo, 2009).

Leon Festinger (1957) menyatakan bahwa disonansi terjadi apabila terdapat


hubungan yang bertolak belakang antara elemen-elemen kognitif dalam diri individu.
6

Hubungan bertolak belakang tersebut terjadi bila ada penyangkalan antara elemen
kognitif yang satu dengan yang lain, contohnya antara sikap positif A terhadap korupsi (A
berpendapat korupsi itu menguntungkan) dengan sikap negatif A terhadap korupsi (A
menganggap korupsi itu perbuatan tercela) (Wibowo, 2009).

Ketidaknyamanan yang dirasakan saat terjadinya konflik internal dalam diri individu
akan mendorong individu tersebut untuk berupaya mengurangi disonansi kognitif yang
dialaminya. Cara yang dilakukan individu untuk mengurangi disonansi kognitif itu ada dua
macam pilihan: mengurangi disonansi kognitif dengan mengubah perilaku; atau
mengurangi disonansi kognitif dengan merubah sikap atau keyakinan (Rabin, 1994).

Hasil penelitian Falah (2014) pada pengelola sekolah yang dipaksa terlibat dalam
korupsi di lingkungan pendidikan mengungkapkan bahwa individu yang menghadapi
paparan aktivitas korupsi di lingkungannya pada awalnya mengalami disonansi kognitif.
Individu-individu tersebut kemudian mencoba menyeimbangkan konflik psikologis
tersebut dengan cara masing-masing. Ada individu yang merasakan beban psikologis yang
berat saat dipaksa melakukan korupsi, lalu memutuskan untuk melakukan penarikan diri
(withdrawal) karena nilai pribadinya yang menolak korupsi mengalahkan godaan
lingkungan untuk terlibat dalam aktivitas tersebut, yang berarti individu tersebut
merubah perilakunya. Ada pula yang menciptakan mekanisme pertahanan diri dalam
bentuk rasionalisasi atau pembenaran untuk melakukan korupsi, yang berarti individu
tersebut merubah sikapnya (Falah, 2014).

“Kalo kita tetap (menolak untuk korupsi) nanti yang kasihan sekolahnya”
(AP, 2014)

Rabin (1994) meyakini bahwa rasionalisasi atau pembenaran terhadap korupsi


sesungguhnya menular. Hal ini terjadi karena fenomena psikologis disonansi kognitif:
orang akan merasakan adanya pressure atau tekanan untuk meredakan perasaan
bersalah atau konflik batin yang menimbulkan penderitaan psikologis, lalu meyakinkan
dirinya sendiri bahwa kegiatan yang tidak bermoral itu sebenarnya bermoral; jika
keyakinan setiap orang mempengaruhi keyakinan orang lain, maka usaha untuk
mengurangi ketidaknyamanan ini dapat menyebabkan anggota masyarakat saling
meyakinkan satu sama lain bahwa kegiatan tidak bermoral tersebut secara moral baik-
7

baik saja, sehingga masyarakat secara kolektif akan terlibat lebih jauh aktivitas korupsi
tersebut (Rabin, 1994). Hal tersebut menunjukkan bahwa pemahaman akan dinamika
psikologis yang dialami individu menjadi sangat penting untuk dipelajari, karena
mengabaikan proses psikologis pada individu bisa berdampak fatal pada transmisi atau
penularan penyimpangan perilaku, dalam hal ini korupsi, yang akan menular pada
individu-individu lain dalam masyarakat, dan berpotensi menjadi epidemi psikososial.

Korupsi merupakan suatu bentuk pengkhianatan yang dengan tegas ditolak dan
dilarang dalam Al Quran:

“Tidak mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan harta


rampasan perang. Barang siapa yang berkhianat dalam urusan
rampasan perang, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa
barang yang dikorupsinya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi
balasan tentang apa yang telah ia kerjakan dengan balasan yang
setimpal, sedangkan mereka tidak dianiaya.“ (QS Ali Imran: 161)

Ironisnya sebagian orang Indonesia mempersepsikan perilaku korup sebagai


tindakan yang wajar, bahkan beberapa perilaku korupsi seperti gratifikasi dan nepotisme
dipersepsikan sebagai bagian dari budaya masyarakat (Ismail, 2015). Fakta tersebut
kontradiktif dengan citra Indonesia sebagai bangsa dengan jumlah umat Islam terbesar di
dunia. Perbuatan mengambil sesuatu yang bukan haknya atau berbuat khianat (curang),
merupakan sesuatu yang sangat buruk dan sangat bertentangan dengan prinsip Islam
(Wati, 2014). Keislaman seseorang seharusnya sejalan dengan nilai-nilai antikorupsi yang
menekankan kejujuran dan amanah.

Faktanya, meskipun negara-negara dengan komunitas Muslim adalah pemilik


sumber-sumber daya alam terkaya di bumi, namun penduduknya merupakan yang paling
miskin di dunia. Salah satu penyebab utama paradoks ini adalah korupsi di mana sumber
daya alam di beberapa negara digunakan dan dikendalikan oleh elit (Er, 2008).

Lemahnya unsur akidah dan penghayatan dalam perilaku keberagamaan


diindikasikan sebagai salah satu penyebab utama maraknya tindakan korupsi (Mustakim,
2013). Ini senada dengan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari (Wati, 2014):

“Pencuri tidak akan mencuri, ketika ia dalam keadaan beriman”


(HR. Bukhari).
8

Korupsi atau riswah dalam Al-Qur’an dianalogikan dengan istilah ghulul yaitu
praktik suap menyuap (Q.S Ali Imran ayat 161). Menurut Ibnu Katsir, ghulul berarti
menyalahgunakan kewenangan untuk mengambil sesuatu yang tidak ada dalam
kewenangannya dan berakibat merugikan pihak lain (Karim, 2013). Majelis Ulama
Indonesia (MUI) dalam fatwanya menetapkan bahwa al-ghulul identik dengan korupsi,
dan dinyatakan sebagai salah satu bentuk perbuatan haram. Al-Qur’an surat Al Baqarah
ayat 188 mengistilahkan korupsi dengan al-batil yaitu memakan harta orang lain dengan
jalan yang tidak benar. Imam al-Qurthubi menambahkan bahwa al-batil adalah perbuatan
mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak di benarkan syariat. Al-qur’an dalam
surat Al-A’raf ayat 56 juga mengistilahkan korupsi dengan al fasad (Karim, 2013).

Islam menyebutkan secara spesifik larangan melakukan perbuatan yang merupakan


bentuk-bentuk korupsi. Nabi, dalam hadits yang diriwayatkan Abu Daud, menyatakan
“Siapa saja yang aku angkat dalam satu jabatan kemudian aku berikan gaji, maka
sesuatu yang diterima di luar gajinya adalah ghulul (korupsi)” (Karim, 2013).

Hadiah atau pemberian yang didapatkan seseorang karena jabatan yang melekat
pada dirinya, dengan kata lain gratifikasi, juga dilarang dalam Islam. Diriwayatkan oleh
Ahmad, “Hadiah yang diterima para pejabat adalah korupsi (ghulul)” (Karim, 2013).

Hadits lain yang diriwayatkan oleh Abu Daud (Karim, 2013) menyebutkan larangan
melakukan saling-suap:

‫والمرتشي الراشي وسلم عليه هللا صلى هللا رسول لعن‬


“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat orang yang
menyuap dan yang menerima suap.” [HR. Abu Daud no. Hadits 3580]

Dalil-dalil di atas menegaskan bahwa Islam, sebagai agama yang sangat menjunjung
kejujuran dan sifat amanah, menolak korupsi yang dianggap sebagai “pengingkaran besar
atas amanah kebendaan yang dititipkan pada manusia” (Karim, 2013).

Usaha mempelajari dan memahami perilaku korupsi sebagai salah satu bagian dari
gerakan pemberantasan korupsi merupakan wujud pengamalan ajaran Islam “amar
makruf nahi munkar” atau melakukan kebaikan dan mencegah kemunkaran dalam
masyarakat.
9

Menurut syariat Islam, menjaga keberfungsian masyarakat merupakan tanggung


jawab dari setiap anggota masyarakat Islam atau “the duty of each member of Islamic
society” (Er, 2008).

"Jika seseorang di antara kamu melihat kesalahan ia harus memperbaiki


dengan tangan jika ia dapat (perbuatan, perilaku, tindakan sesuai
kapasitas atau wewenangnya); jika ia tidak bisa, maka dengan lidahnya
(berbicara, menentang secara lisan); jika dia tidak bisa, maka dengan
tatapannya (ekspresi diam ketidaksetujuan);, dan jika ia tidak bisa, maka
dalam hatinya. Yang terakhir adalah ekspresi yang paling minimal dari
imannya" (Al-Hadits)

Korupsi di Indonesia telah menjadi objek penelitian yang masif selama lebih dari
satu dekade terakhir, khususnya sejak lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
namun belum banyak yang mengarahkan fokus penelitiannya pada dinamika psikologis
yang dialami pelaku korupsi, termasuk proses disonansi kognitif dalam pengambilan
keputusan untuk melakukan tindakan korup. Pemahaman akan proses psikologis individu
yang terlibat dalam korupsi diharapkan memberikan dasar-dasar yang kuat untuk
membantu mencegah dan mengatasi godaan korupsi yang mengancam bangsa Indonesia.

B. RUMUSAN PERMASALAHAN
Permasalahan yang terungkap di atas mengerucut pada rumusan permasalahan
sebagai berikut:

a. Apakah yang melatarbelakangi keterlibatan subjek dalam kasus korupsi?


b. Bagaimana gambaran disonansi kognitif yang dialami subjek saat mengambil
keputusan untuk terlibat dalam kasus korupsi?
c. Upaya apa yang telah dilakukan subjek untuk mengurangi disonansi kognitif
dan membenarkan keterlibatannya dalam tindak korupsi?

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN BAGI MASYARAKAT KHAIRA UMMAH

a. Tujuan Khusus

1. Mengetahui faktor-faktor apakah yang melatarbelakangi keterlibatan


subjek dalam kasus korupsi.
10

2. Memperoleh gambaran disonansi kognitif yang dialami subjek saat


mengambil keputusan untuk terlibat dalam kasus korupsi.
3. Mengetahui upaya yang dilakukan subjek untuk mengurangi disonansi
kognitif dan mrasionalisasikan keterlibatannya dalam tindak korupsi.

b. Tujuan Umum dan Manfaat bagi Khaira Ummah Society

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan dasar-dasar pemikiran


dalam proses menemukan solusi untuk memberikan penguatan psikologis
bagi individu dalam menghadapi godaan korupsi, sehingga diharapkan
memberi kontribusi yang signifikan bagi bangsa Indonesia yang sedang
berperang melawan korupsi.

D. KELUARAN (OUTPUT) DAN HASIL (OUTCOME)


Penelitian diharapkan menghasilkan keluaran (output) yang berupa pola
dinamika psikologis dari proses disonansi kognitif yang dialami para pelaku korupsi
baik sebelum maupun sesudah pengambilan keputusan.

Hasil (outcome) yang diharapkan dari penelitian ini, pertama adalah naskah
publikasi dalam jurnal ilmiah nasional yang terstandar (memiliki ISSN), dan yang
kedua adalah rekomendasi bagi pihak-pihak yang terkait dalam gerakan anti-
korupsi di Indonesia, lebih khusus lagi bagi mereka yang bergerak di bidang
pencegahan perilaku korupsi.
11

II. TELAAH KEPUSTAKAAN

KORUPSI

Korupsi digambarkan sebagai upaya bentuk kecurangan, penipuan, suap, upaya


meraih harta dan kekuasaan dengan tidak sesuai aturan (Mustakim, 2013).

Definisi klasik dari korupsi yang dipaparkan Nye (1967) adalah segala perilaku yang
menyimpang dari tanggung jawab yang resmi dalam peran publik, yang disebabkan
karena kepentingan pribadi atau keluarga atau kelompoknya, baik berupa uang atau
status yang menguntungkan; atau melanggar aturan dengan menyalahgunakan
wewenang atau pengaruh pribadinya; termasuk perilaku seperti penyuapan dan
gratifikasi, nepotisme, dan perampasan sumber daya publik secara ilegal untuk keperluan
pribadi (Anduiza, Gallego, & Muñoz, 2013).

Korupsi menurut definisi Rabl (2008); Vahlenkamp dan Knauβ serta Rabl dan
Ku˝hlmann (2008) adalah tindakan curang yang merupakan penyalahgunaan
kepercayaan atau amanah, pertukaran keuntungan dan imbalan di antara pihak-pihak
tertentu yang bertujuan untuk menguntungkan pihak-pihak itu saja sehingga serta
menimbulkan kerugian bagi masyarakat luas secara umum (Rabl, 2011). Osborne
mempersepsikan korupsi sebagai “pembusukan sosial” (Osipian, 2009).

Proses korupsi menurut Rabl dan Ku˝hlmann adalah sebagai berikut: Pertama,
korupsi adalah penyimpangan perilaku menyimpang yang berwujud “penyalahgunaan
atas suatu fungsi yang telah diamanatkan oleh insitusi atau oleh orang lain”; Kedua,
penyalahgunaan amanat tersebut terjadi karena adanya inisiatif dari seorang individu
atau individu lainnya yang bertujuan untuk mengambil keuntungan bagi pribadinya
sendiri atau dalam rangka memberikan keuntungan bagi pihak lain yang tidak berhak;
Ketiga, korupsi merupakan proses pertukaran keuntungan dan atau pertukaran imbalan
yang bersifat timbal balik di antara semua pihak yang ikut ambil bagian dalam suatu
hubungan yang korup; Keempat, korupsi mengakibatkan kerugian dan kerusakan bagi
masyarakat secara ekonomi maupun politis; Kelima, tindakan korup bersifat tersembunyi
dan dirahasiakan oleh pihak-pihak yang membangun konspirasi atau kesepakatan yang
menguntungkan pihak-pihak yang terlibat tersebut (Rabl, 2011).
12

Analisis dari tiga puluh lima negara di bawah kordinasi Lembaga Penelitian Sosial di
Michigan University membuktikan bahwa sikap dan toleransi individu terhadap korupsi di
lingkungannya dipengaruhi oleh efek sosial. Penelitian tersebut juga mengungkapkan
bahwa kaum perempuan, pekerja, orang yang kurang kaya, serta individu berusia lanjut
(lansia) ternyata lebih besar penolakannya terhadap korupsi (Gatti, Paternostro, &
Rigolini, 2003).

Penelitian mengenai budaya korupsi di Brazil memperkuat analisis tersebut dengan


eksperimen yang membuktikan bahwa saat individu memperoleh paparan yang berisi
gambaran korupsi, terjadi peningkatan intensi untuk melakukan korupsi (Fischer,
Ferreira, Milfont, & Pilati, 2014). Studi yang dilakukan olehi New York University bersama
World Bank menemukan bahwa di tempat yang penduduknya tidak terlalu menolak
korupsi, maka individu-individu di sana juga cenderung lebih mudah memberi maaf
terhadap perbuatan korup (Gatti, Paternostro, & Rigolini, 2003).

Analisis Kartini yang ditulis pada akhir abad 19 mengungkapkan bahwa perilaku
korup tidak lepas dari pengaruh faktor budaya dan kebiasaan, gaya hidup yang
dipaksakan untuk memelihara status sosial, sistem kepegawaian yang diskriminatif dan
upah yang tidak realistis (Kartini, 1985).

DISONANSI KOGNITIF

Disonansi kognitif adalah suatu situasi ketegangan yang muncul saat seseorang
memiliki dua kognisi yang tidak konsisten secara psikologis, atau pada saat keyakinan
seseorang tidak selaras dengan perilakunya. Teori Disonansi Kognitif menyatakan bahwa
ketegangan akan muncul bila seseorang berpikir bahwa dia telah mengambil keputusan
yang salah (Wade & Tavris, 2008).

Disonansi kognitif terjadi ketika seseorang melakukan sesuatu yang tidak sesuai
dengan keyakinannya. Disonansi atau ketidakselarasan antara perilaku dan keyakinan
terasa tidak menyenangkan bagi kebanyakan orang, dan para ilmuwan psikologi telah
lama mempelajari bagaimana disonansi kogniitif mempengaruhi perasaan dan perilaku
masyarakat (Rabin, 1994).
13

Disonansi bermula ketika individu memutuskan untuk melakukan suatu perbuatan


dan kemudian melakukan evaluasi terhadap makna perilakunya tersebut terhadap
standar penilaian (Stone & Cooper, 2001). Individu akan berusaha mengurangi disonansi
kognitif saat membutuhkan pembenaran untuk keputusan atau pilihan yang diambil, saat
membutuhkan pembenaran untuk perilaku yang bertentangan dengan pandangan
terhadap diri sendiri, serta saat membutuhkan pembenaran atas usaha yang dilakukan
dalam mengambil pilihan atau keputusan (Wade & Tavris, 2008).

Pembangun Teori Disonansi Kognitif, Leon Festinger pada tahun 1957 berpendapat
bahwa kelompok sosial adalah sumber disonansi kognitif sekaligus alat untuk
menguranginya (Matz & Wood, 2005). Festinger menambahkan bahwa keadaan disonan
tersebut bisa diatasi dengan cara mengubah elemen tingkah laku, mengubah elemen
kognitif lingkungan, dan menambah elemen kognitif baru (Fitri, 2013). Festinger meyakini
adanya empat sumber disonansi, yaitu inkonsistensi logis, nilai-nilai budaya, pendapat
umum, dan pengalaman masa lalu (Fitri, 2013).

Eksperimen yang dilakukan setengah abad setelah Festinger menguatkan teori ini
dengan temuan bahwa tekanan terhadap konsistensi bisa muncul dari interaksi
kelompok, dan juga bisa diselesaikan dengan interaksi kelompok. Perbedaan sikap
dengan anggota kelompok yang lain bisa menjadi penyebab munculnya disonansi karena
situasi tersebut mengancam pemahaman realitas dan regulasi normatif diri dan tujuan
sosial dari individu yang bersangkutan (Matz & Wood, 2005).

Meskipun kelompok memiliki peran penting dalam disonansi kognitif, namun diri
(self) juga berperan melakukan mediasi terhadap proses disonansi. Ada semacam
kontroversi di antara tiga teori utama tentang bagaimana kognisi atau pikiran tentang diri
melakukan mediasi terhadap proses disonansi, ketiga teori tersebut masing-masing
mengajukan pendekatan mengenai konsistensi diri, afirmasi diri, dan perspektif dengan
cara pandang yang baru. Setiap pendekatan membuat prediksi yang berbeda mengenai
bagaimana pengetahuan tentang self atau diri menengahi disonansi, karena masing-
masing pendekatan tersebut memiliki asumsi yang berbeda mengenai standar dan atribut
diri yang digunakan untuk menilai makna psikologis perilaku tertentu (Stone & Cooper,
2001).
14

Peneliti dari lima universitas di Amerika Serikat dan Kanada, yang meneliti orang-
orang Kanada yang berasal dari Eropa dan Asia, menemukan bahwa individu yang berasal
dari budaya Timur dan Barat sama-sama bisa mengalami disonansi, tapi budaya
membentuk situasi di mana disonansi menguat ataupun melemah (Hoshino-Browne,
Zanna, Spencer, Zanna, Kitayama, & Lackenbauer, 2005).

DISONANSI KOGNITIF PADA PERILAKU KORUPSI


Korupsi terjadi karena adanya unsur tekanan (pressure), kesempatan (opportunity),
dan pembenaran atau rasionalisasi (rasionalization) (Mustakim, 2013).

Pernyataan ini diperkuat oleh Amrizal (2004) yang mengatakan bahwa ada tiga
faktor yang biasanya muncul dalam berbagai kasus kecurangan atau korupsi di Indonesia,
terutama kasus penggelapan aset dan pencurian. Ketiga faktor tersebut adalah: pertama,
faktor tekanan yang dialami individu, misalnya tekanan untuk memperoleh uang; kedua,
faktor tersedianya kesempatan untuk melakukan tindak kecurangan ditambah adanya
kesempatan untuk menyembunyikan kecurangan tersebut; serta ketiga, adanya upaya
untuk melakukan pembenaran atas kecurangan tersebut yang dipengaruhi oleh level
integritas individu yang melakukannya (Amrizal, 2004).

Rasionalisasi atau pembenaran sendiri dilakukan individu untuk menghilangkan


ketidaknyamanan psikologis saat mengalami disonansi kognitif saat melakukan perbuatan
yang tidak selaras dengan prinsip idealnya (Wade & Tavris, 2008).

Studi yang dilakukan oleh tim gabungan dari University of Birmingham (UK),
University of Hyderabad (India), the Nigerian Institute for Social and Economic Research
dan University of Ibadan (Nigeria) mencoba menggali hubungan antara keberagamaan
seseorang dengan sikapnya terhadap korupsi. Para peneliti ini melakukan wawancara
terhadap lebih dari 250 orang penganut Hindu, Sikh, Muslim, dan Kristen, dengan status
pekerjaan yang heterogen; hasilnya menunjukkan bahwa korupsi tetap dilakukan oleh
individu yang merasa dirinya religius dan menyadari bahwa perbuatan itu berdosa,
namun pelaku berdalih bahwa mereka tidak bisa menghindari tekanan situasi dan
lingkungan. Hal ini menunjukkan bahwa koruptor selalu menyodorkan pembenaran atau
rasionalisasi atas perilaku korup yang dilakukannya (Marquette, 2010).
15

Rasionalisasi dan sosialisasi secara bersama-sama memungkinkan pelaku tindakan


yang tidak etis untuk mempercayai bahwa dirinya adalah individu yang bermoral dan
memiliki etika, sehingga memungkinkan mereka untuk terus terlibat dalam praktek tidak
etis tersebut tanpa merasa terusik hati nuraninya (Anand, Ashforth, & Joshi, 2005).

Bentuk-bentuk rasionalisasi terhadap korupsi adalah penyangkalan atas tanggung


jawab, penyangkalan akan adanya dampak negatif, penyangkalan adanya korban,
membandingkan diri dengan yang lebih buruk, dalih loyalitas, dan metafora; sedangkan
sosialisasi aktivitas korupsi terhadap pemula atau pendatang baru dilakukan dalam tiga
macam proses yaitu kooptasi, incrementalisme, dan kompromi (Anand, Ashforth, & Joshi,
2005).

Zyglidopoulos dkk meyakini bahwa individu berusaha untuk membenarkan


perbuatan korup lalu dan masa depan untuk diri mereka sendiri dan orang lain.
Rasionalisasi sering memerlukan proses overkompensasi dimana pembenaran dilakukan
secara terus-menerus dan berlebihan bila dikaitkan dengan perilaku yang faktual.
Rasionalisasi yang berlebihan seperti di atas memberikan dorongan untuk tindakan lebih
lanjut dan pelanggaran yang lebih serius. Kesenjangan yang dinamis antara perbuatan
dan rasionalisasi yang berlebihan dapat menjelaskan mengapa korupsi dalam lingkup
organisasi sering meningkat keparahannya (Zyglidopoulos, Fleming, & Rothenberg, 2008).

PERTANYAAN PENELITIAN

Pertanyaan yang akan dijawab melalui penelitian ini adalah:


a. Apakah yang melatarbelakangi keterlibatan subjek dalam kasus korupsi?
b. Bagaimana gambaran disonansi kognitif yang dialami subjek saat mengambil
keputusan untuk terlibat dalam kasus korupsi?
c. Upaya apa yang telah dilakukan subjek untuk mengurangi disonansi kognitif
dan membenarkan keterlibatannya dalam tindak korupsi?
16

III. METODE PENELITIAN

A. RANCANGAN PENELITIAN
Penelitian ini menerapkan pendekatan kualitatif yang merupakan proses
untuk memperoleh pemahaman berdasarkan metode investigasi khusus untuk
mengeksplorasi persoalan-persoalan sosial atau kemanusiaan (Creswell J. W.,
1998). Penggunaan metode kualitatif diharapkan membantu menangkap ketepatan
dan orisinalitas dari realita permasalahan sosial yang sesuai dengan konteks dan
budaya Indonesia (Somantri, 2005). Penelitian kualitatif sering memiliki tujuan
menggambarkan atau deskripsi, dan peneliti dapat menindaklanjuti dengan
meneliti alasan maupun implikasi dari temuan (Shields & Rangarajan, A Playbook
for Research Methods: Integrating Conceptual Frameworks and Project
Management, 2013) .

Lebih khusus lagi, penelitian ini merupakan studi deskriptif. Penelitian


deskriptif digunakan untuk menggambarkan karakteristik populasi atau fenomena
yang dipelajari, tidak bermaksud menjawab pertanyaan tentang bagaimana atau
kapan atau mengapa karakteristik terjadi; melainkan membahas apa karakteristik
populasi atau situasi yang dipelajari. Karakteristik yang digunakan untuk
menggambarkan situasi atau populasi biasanya berupa beberapa jenis skema
kategoris yang juga dikenal sebagai kategori deskriptif (Shields & Rangarajan, A
Playbook for Research Methods: Integrating Conceptual Frameworks and Project
Management, 2013).

Konseptualisasi dari hasil penelitian deskriptif yang berupa kategorisasi atau


taksonomi umumnya digunakan sebagai dasar untuk mengajukan hipotesis atau
dugaan sementara dalam explanatory research yang berusaha menemukan
penjelasan dan dan sebab-akibat (Shields & Tajalli, Intermediate Theory: The
Missing Link in Successful Student Scholarship, 2006). Penelitian deskriptif sendiri
memiliki keterbatasan sehingga tidak dapat digunakan sebagai dasar dari hubungan
sebab akibat (causal relationship) di mana satu variabel mempengaruhi lain (Shields
& Rangarajan, A Playbook for Research Methods: Integrating Conceptual
Frameworks and Project Management, 2013).
17

B. FOKUS PENELITIAN

Fokus dalam penelitian ini adalah disonansi kognitif, yaitu ketidaknyamanan


akibat ketidak-konsistenan antara dua kognisi atau antara pikiran dengan perilaku,
yang dialami oleh individu sebelum, saat, atau setelah melakukan korupsi.

C. SUBJEK PENELITIAN
Subjek penelitian ini adalah individu yang terlibat kasus korupsi, yaitu:

1. Warga binaan Lembaga Pemasyarakatan Kedungpane Semarang yang


menjadi terpidana kasus korupsi.

2. Warga binaan Lembaga Pemasyarakatan Wanita Bulu Semarang yang


menjadi terpidana kasus korupsi.

3. Individu lain yang pernah terlibat aktivitas korupsi.

Kriteria subjek penelitian ini adalah:

1. Jenis kelamin perempuan atau laki-laki.


2. Berusia sekurang-kurangnya 17 tahun.
3. Mampu berkomunikasi.
4. Memberikan kesediaan untuk diwawancarai.

D. METODE PENGAMBILAN DATA PENELITIAN


Instrumen utama dalam penelitian kualitatif adalah peneliti sendiri. Peneliti
dalam studi kualitatif bertugas untuk membangun gambaran penelitian yang
kompleks dan holistik, menganalisa setiap kata, laporkan secara rinci persepsi atau
pandangan dari informan/narasumber/subjek penelitian, serta melakukan
penelitian dalam kondisi sealami mungkin (Creswell J. W., 1998).

Data dalam penelitian ini diambil dengan metode wawancara mendalam


(indepth interview). Wawancara sendiri merupakan “bentuk perbincangan, seni
bertanya dan mendengar”, yang bukan merupakan alat pencipta realitas yang
netral, berfungsi untuk menciptakan pemahaman situasional yang berasal dari
“episode-episode interaksional khusus”, dan merupakan metode yang sulit
dipisahkan dari pengaruh karakteristik individu peneliti (Denzin & Lincoln, 2009).
18

E. KEABSAHAN DATA
Penelitian deskriptif dianggap memiliki persyaratan rendah untuk validitas
internal (Shields & Rangarajan, A Playbook for Research Methods: Integrating
Conceptual Frameworks and Project Management, 2013). Keabsahan data
penelitian ini dijaga melalui upaya memperkuat kredibilitas data, yaitu dengan
memperpanjang masa observasi dan keterlibatan di lapangan, observasi yang
tekun dan terus-menerus, pemeriksaan silang oleh sejawat yang berkompeten,
referensi yang memadai, serta uraian yang rinci dan detail (Moleong, 2006).

F. TEKNIK ANALISIS DATA


Data dalam penelitian ini akan dianalisis dengan teknik analisis deskriptif.
Analisis data akan didahului dengan proses eliminasi melalui prosedur horisonalisasi
untuk mendapatkan tema psikologis yang relevan dengan tujuan penelitian.
Horisonalisasi sendiri merupakan prosedur mengkategorikan data yang diperoleh
dari lapangan untuk menarik makna atau kesimpulan dengan dukungan perspektif
teoritis untuk menjelaskan makna atau kesimpulan tersebut (Poerwandari, 1998).
Horisonalisasi berfungsi membatasi batas unit makna yang kemudian
dikelompokkan sesuai tema-tema yang ditemukan (Leimeister, Knebel, & Krcmar,
2007).

Sesuai dengan asumsi metodologis dalam pendekatan kualitatif, proses yang


dilakukan bersifat induktif, yaitu penarikan kesimpulan yang didasarkan pada
peristiwa khusus ke arah konteks yang lebih umum (Creswell J. W., 1998).
19

DAFTAR PUSTAKA

Agil, R. (2009, Desember 17). Office Boy Belajar Korupsi (Sebuah Pengalaman). Dipetik Agustus 29,
2015, dari Kompasiana: http://www.kompasiana.com/ragile/office-boy-belajar-korupsi-
sebuah-pengalaman_54fd5347a33311691650fa69
AM. (2014, Oktober 3). Ya Memang Seperti Itu Faktanya. (F. Falah, Pewawancara)
Amrizal. (2004). Pencegahan dan Pendeteksian Kecurangan oleh Internal Auditor. Dipetik
November 14, 2013, dari bpkp.go.id:
http://www.bpkp.go.id/public/upload/unit/investigasi/files/Gambar/PDF/cegah_deteksi.pdf
Anand, V., Ashforth, B. E., & Joshi, M. (2005). Business as usual: The acceptance and perpetuation
of corruption in organizations. The Academy of Management Executive , 19 (4), 9-23.
Anduiza, E., Gallego, A., & Muñoz, J. (2013). Turning a Blind Eye: Experimental Evidence of Partisan
Bias in Attitudes Toward Corruption. Journal of Comparative Political Studies , 46 (12), 1664–
1692.
AP. (2014, Oktober 3). Galau di Tengah Sistem yang Korup. (F. Falah, Pewawancara)
Creswell, J. W. (1998). Qualitative Inquiry and Research Design. Choosing Among Five Traditions.
Thousand Oaks: SAGE Publications.
Denzin, N. K., & Lincoln, Y. S. (2009). Handbook of Qualitatif Research. (S. Z. Qudsy, Penyunt., & B. S.
Dariyatno, Penerj.) Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Er, M. (2008). Corruption from the Islamic perspective: Some recommendations for the MENA
region. International Journal of Islamic and Middle Eastern Finance and Management , 1 (1),
31– 51.
Falah, F. (2014). “Kita Nggak Bisa Apa-Apa...” Studi Mengenai Adaptasi Individu Terhadap Budaya
Korupsi di Lingkungan Pendidikan Dasar dan Menengah di Wilayah X . Jurnal Psikologi
Integratif , II (2), 18-26.
Fischer, R., Ferreira, M. C., Milfont, T., & Pilati, R. (2014, September 1). Culture of Corruption? The
Effects of Priming Corruption Images in a High Corruption Context. Journal of Cross-Cultural
Psychology , 1-12.
Fitri, R. A. (2013). Gambaran Disonansi Kognitif Pada Wanita Perokok Dewasa Muda Berpendidikan
Tinggi. Jurnal Humaniora , 4 (1), 547-555.
Gatti, R., Paternostro, S., & Rigolini, J. (2003). Individual Attitudes Toward Corruption: Do Social
Effects Matter? World Bank Policy Research.
Hoshino-Browne, E., Zanna, A. S., Spencer, S. J., Zanna, M. P., Kitayama, S., & Lackenbauer, S.
(2005). On the Cultural Guises of Cognitive Dissonance: The Case of Easterners and
Westerners. Journal of Personality and Social Psychology , 89 (3), 294–310.
Ismail, P. A. (2015). Peranan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Mencegah dan Memberantas
Gratifikasi di Indonesia. Jurnal Lex Crimen , IV (5), 139-148.
Karim, A. (2013). Teologi Anti Korupsi. Fikrah , I (I), 175-194.
Kartini, R. A. (1985). Letters of a Javanese princess. Lanham: University Press of America.
Komisi Pemberantasan Korupsi. (2015, Juli 31). Rekapitulasi Pengaduan Masyarakat. Dipetik
September 2015, 2015, dari AACH Anti-Corruption Clearing House, Portal Pengetahuan
Antikorupsi: http://acch.kpk.go.id/statistik-pengaduan-masyarakat
20

Komisi Pemberantasan Korupsi. (2015, Juli 31). Rekapitulasi Penindakan Pidana Korupsi . Dipetik
September 20, 2015, dari AACH Anti-Corruption Clearing House, Portal Pengetahuan
Antikorupsi: http://acch.kpk.go.id/statistik-tindak-pidana-korupsi
Leimeister, J. M., Knebel, U., & Krcmar, H. (2007). RFID as enabler for the boundless real-time
organisation: empirical insights from Germany. International Journal of Networking and
Virtual Organisations , 4 (1), 45-64.
Marquette, H. (2010). Religion and Attitudes Towards Corruption in a Globalised World.
Birmingham: University of Birmingham.
Matz, D. C., & Wood, W. (2005). Cognitive Dissonance in Groups: The Consequences of
Disagreement. Journal of Personality and Social Psychology , 88 (1), 22–37.
Moleong, L. J. (2006). Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi ed.). Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya Offset.
Mustakim, M. (2013). Wawasan Al-Quran Tentang Pendidikan Anti Korupsi. Jurnal Ilmu Tarbiyah At-
Tajdid , 2 (1), 69-92.
Osipian, A. L. (2009). Corruption and Reform in Higher Education in Ukraine. Journal of Canadian
and International Education , 38 (2), 103-122.
Poerwandari, E. K. (1998). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia, Pengantar Fuad
Hasan (Edisi Revisi ed.). Jakarta: Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Fakultas
Psikologi UI.
Rabin, M. (1994). Cognitive dissonance and social change. Journal of Economic Behavior and
Organization , 23, 177-194.
Rabl, T. (2011). The Impact of Situational Influences on Corruption in Organizations. Journal of
Business Ethics , 100, 85-101.
Shields, P. M., & Rangarajan, N. (2013). A Playbook for Research Methods: Integrating Conceptual
Frameworks and Project Management. Stillwater OK USA: New Forums Press, Inc.
Shields, P. M., & Tajalli, H. (2006). Intermediate Theory: The Missing Link in Successful Student
Scholarship. Journal of Public Affairs Education , 12 (3), 313-334.
Somantri, G. R. (2005). Memahami Metode Kualitatif. Jurnal Makara Sosial Humaniora , 9 (2), 57-
65.
Stone, J., & Cooper, J. (2001). A Self-Standards Model of Cognitive Dissonance. Journal of
Experimental Social Psychology , 37 (3), 228-243.
Transparency International. (2014, Desember). Corruption Perceptions Index 2014: Results. Dipetik
Desember 8, 2014, dari Transparency International:
http://www.transparency.org/cpi2014/results
Wade, C., & Tavris, C. (2008). Psikologi, edisi ke-9. Jilid 2. (H. Hardani, Penyunt., P. Mursalin, &
Dinastuti, Penerj.) Jakarta: Penerbit Erlangga.
Wati, E. (2014). Pendidikan Anti Korupsi di Sekolah Menurut Islam. Tajdid , 17 (1), 53-64.
Wibowo, I. (2009). Sikap. Dalam T. P. UI, S. W. Sarwono, & E. A. Meinarno (Penyunt.), Psikologi
Sosial (hal. 79-102). Jakarta: Salemba Humanika.
Zyglidopoulos, S. C., Fleming, P. J., & Rothenberg, S. (2008). Rationalization, Overcompensation and
the Escalation of Corruption. Journal of Business Ethics .
21

Lampiran

RENCANA ANGGARAN PENELITIAN

I. RENCANA PEMASUKAN

URAIAN BESARAN RINCIAN HARGA TOTAL/JUMLAH


Road map Fakultas - Rp 5.000.000,- Rp 5.000.000,-
Psikologi Unissula

Total rencana pemasukan Rp 5.000.000,-

II. RENCANA PENGELUARAN


URAIAN BESARAN RINCIAN HARGA TOTAL/JUMLAH
Kertas HVS 1 Rp 65.000,- Rp 65.000,-
Tinta hitam 2 Rp 105.000,- Rp 210.000,-
Tinta warna 1 Rp 220.000,- Rp 220.000,-
Penggandaan dan jilid 5 Rp 15.000,- Rp 75.000,-
proposal
Penggandaan dan jilid 5 Rp 50.000,- Rp 250.000,-
laporan
Perizinan dan subjek 6 Rp 200.000,- Rp 1.200.000,-
Raport dan interview 12 Rp 90.000,- Rp 1.080.000,-
Transkripsi dan 6 Rp 200.000,- Rp 1.200.000,-
horisonalisasi data
Honor (per semester) 2 Rp 350.000,- Rp 700.000,-
Total rencana pengeluaran Rp 5.000.000,-

Semarang, 30 Agustus 2015

Peneliti

Falasifatul Falah, S.Psi, M.A.


NIK. 210701012

Anda mungkin juga menyukai