DISONANSI KOGNITIF
DALAM PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN
PADA INDIVIDU YANG TERLIBAT KORUPSI
Studi Kualitatif-Deskriptif
Peneliti :
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2015
2
HALAMAN PENGESAHAN
1. Judul Penelitian : Disonansi Kognitif Dalam Proses Pengambilan
Keputusan Pada Individu Yang Terlibat Korupsi,
Studi Kualitatif-Deskriptif
Menyetujui,
Ketua lembaga Penelitian dan Pengembangan
IDENTITAS PENELITIAN
2. Peneliti
c. Jabatan Struktural : -
3. Anggota Peneliti : -
I. PENDAHULUAN
“Kalo menurut prinsip pribadi ya sebetulnya itu tidak boleh. Tapi kalau
tidak mau nanti diblacklist, besok nggak dapat (dana) lagi.” (AM, 2014)
Hal ini senada dengan pernyataan salah satu anggota Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) Indonesia menyatakan bahwa di antara faktor-faktor yang muncul dalam berbagai
kasus kecurangan atau korupsi di Indonesia, salah satunya adalah adanya upaya untuk
melakukan pembenaran atas kecurangan tersebut (Amrizal, 2004).
Disonansi kognitif adalah “keadaan internal yang tidak nyaman akibat adanya
ketidaksesuaian antara dua sikap atau lebih serta antara sikap dengan tingkah laku”
(Wibowo, 2009).
Hubungan bertolak belakang tersebut terjadi bila ada penyangkalan antara elemen
kognitif yang satu dengan yang lain, contohnya antara sikap positif A terhadap korupsi (A
berpendapat korupsi itu menguntungkan) dengan sikap negatif A terhadap korupsi (A
menganggap korupsi itu perbuatan tercela) (Wibowo, 2009).
Ketidaknyamanan yang dirasakan saat terjadinya konflik internal dalam diri individu
akan mendorong individu tersebut untuk berupaya mengurangi disonansi kognitif yang
dialaminya. Cara yang dilakukan individu untuk mengurangi disonansi kognitif itu ada dua
macam pilihan: mengurangi disonansi kognitif dengan mengubah perilaku; atau
mengurangi disonansi kognitif dengan merubah sikap atau keyakinan (Rabin, 1994).
Hasil penelitian Falah (2014) pada pengelola sekolah yang dipaksa terlibat dalam
korupsi di lingkungan pendidikan mengungkapkan bahwa individu yang menghadapi
paparan aktivitas korupsi di lingkungannya pada awalnya mengalami disonansi kognitif.
Individu-individu tersebut kemudian mencoba menyeimbangkan konflik psikologis
tersebut dengan cara masing-masing. Ada individu yang merasakan beban psikologis yang
berat saat dipaksa melakukan korupsi, lalu memutuskan untuk melakukan penarikan diri
(withdrawal) karena nilai pribadinya yang menolak korupsi mengalahkan godaan
lingkungan untuk terlibat dalam aktivitas tersebut, yang berarti individu tersebut
merubah perilakunya. Ada pula yang menciptakan mekanisme pertahanan diri dalam
bentuk rasionalisasi atau pembenaran untuk melakukan korupsi, yang berarti individu
tersebut merubah sikapnya (Falah, 2014).
“Kalo kita tetap (menolak untuk korupsi) nanti yang kasihan sekolahnya”
(AP, 2014)
baik saja, sehingga masyarakat secara kolektif akan terlibat lebih jauh aktivitas korupsi
tersebut (Rabin, 1994). Hal tersebut menunjukkan bahwa pemahaman akan dinamika
psikologis yang dialami individu menjadi sangat penting untuk dipelajari, karena
mengabaikan proses psikologis pada individu bisa berdampak fatal pada transmisi atau
penularan penyimpangan perilaku, dalam hal ini korupsi, yang akan menular pada
individu-individu lain dalam masyarakat, dan berpotensi menjadi epidemi psikososial.
Korupsi merupakan suatu bentuk pengkhianatan yang dengan tegas ditolak dan
dilarang dalam Al Quran:
Korupsi atau riswah dalam Al-Qur’an dianalogikan dengan istilah ghulul yaitu
praktik suap menyuap (Q.S Ali Imran ayat 161). Menurut Ibnu Katsir, ghulul berarti
menyalahgunakan kewenangan untuk mengambil sesuatu yang tidak ada dalam
kewenangannya dan berakibat merugikan pihak lain (Karim, 2013). Majelis Ulama
Indonesia (MUI) dalam fatwanya menetapkan bahwa al-ghulul identik dengan korupsi,
dan dinyatakan sebagai salah satu bentuk perbuatan haram. Al-Qur’an surat Al Baqarah
ayat 188 mengistilahkan korupsi dengan al-batil yaitu memakan harta orang lain dengan
jalan yang tidak benar. Imam al-Qurthubi menambahkan bahwa al-batil adalah perbuatan
mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak di benarkan syariat. Al-qur’an dalam
surat Al-A’raf ayat 56 juga mengistilahkan korupsi dengan al fasad (Karim, 2013).
Hadiah atau pemberian yang didapatkan seseorang karena jabatan yang melekat
pada dirinya, dengan kata lain gratifikasi, juga dilarang dalam Islam. Diriwayatkan oleh
Ahmad, “Hadiah yang diterima para pejabat adalah korupsi (ghulul)” (Karim, 2013).
Hadits lain yang diriwayatkan oleh Abu Daud (Karim, 2013) menyebutkan larangan
melakukan saling-suap:
Dalil-dalil di atas menegaskan bahwa Islam, sebagai agama yang sangat menjunjung
kejujuran dan sifat amanah, menolak korupsi yang dianggap sebagai “pengingkaran besar
atas amanah kebendaan yang dititipkan pada manusia” (Karim, 2013).
Usaha mempelajari dan memahami perilaku korupsi sebagai salah satu bagian dari
gerakan pemberantasan korupsi merupakan wujud pengamalan ajaran Islam “amar
makruf nahi munkar” atau melakukan kebaikan dan mencegah kemunkaran dalam
masyarakat.
9
Korupsi di Indonesia telah menjadi objek penelitian yang masif selama lebih dari
satu dekade terakhir, khususnya sejak lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
namun belum banyak yang mengarahkan fokus penelitiannya pada dinamika psikologis
yang dialami pelaku korupsi, termasuk proses disonansi kognitif dalam pengambilan
keputusan untuk melakukan tindakan korup. Pemahaman akan proses psikologis individu
yang terlibat dalam korupsi diharapkan memberikan dasar-dasar yang kuat untuk
membantu mencegah dan mengatasi godaan korupsi yang mengancam bangsa Indonesia.
B. RUMUSAN PERMASALAHAN
Permasalahan yang terungkap di atas mengerucut pada rumusan permasalahan
sebagai berikut:
a. Tujuan Khusus
Hasil (outcome) yang diharapkan dari penelitian ini, pertama adalah naskah
publikasi dalam jurnal ilmiah nasional yang terstandar (memiliki ISSN), dan yang
kedua adalah rekomendasi bagi pihak-pihak yang terkait dalam gerakan anti-
korupsi di Indonesia, lebih khusus lagi bagi mereka yang bergerak di bidang
pencegahan perilaku korupsi.
11
KORUPSI
Definisi klasik dari korupsi yang dipaparkan Nye (1967) adalah segala perilaku yang
menyimpang dari tanggung jawab yang resmi dalam peran publik, yang disebabkan
karena kepentingan pribadi atau keluarga atau kelompoknya, baik berupa uang atau
status yang menguntungkan; atau melanggar aturan dengan menyalahgunakan
wewenang atau pengaruh pribadinya; termasuk perilaku seperti penyuapan dan
gratifikasi, nepotisme, dan perampasan sumber daya publik secara ilegal untuk keperluan
pribadi (Anduiza, Gallego, & Muñoz, 2013).
Korupsi menurut definisi Rabl (2008); Vahlenkamp dan Knauβ serta Rabl dan
Ku˝hlmann (2008) adalah tindakan curang yang merupakan penyalahgunaan
kepercayaan atau amanah, pertukaran keuntungan dan imbalan di antara pihak-pihak
tertentu yang bertujuan untuk menguntungkan pihak-pihak itu saja sehingga serta
menimbulkan kerugian bagi masyarakat luas secara umum (Rabl, 2011). Osborne
mempersepsikan korupsi sebagai “pembusukan sosial” (Osipian, 2009).
Proses korupsi menurut Rabl dan Ku˝hlmann adalah sebagai berikut: Pertama,
korupsi adalah penyimpangan perilaku menyimpang yang berwujud “penyalahgunaan
atas suatu fungsi yang telah diamanatkan oleh insitusi atau oleh orang lain”; Kedua,
penyalahgunaan amanat tersebut terjadi karena adanya inisiatif dari seorang individu
atau individu lainnya yang bertujuan untuk mengambil keuntungan bagi pribadinya
sendiri atau dalam rangka memberikan keuntungan bagi pihak lain yang tidak berhak;
Ketiga, korupsi merupakan proses pertukaran keuntungan dan atau pertukaran imbalan
yang bersifat timbal balik di antara semua pihak yang ikut ambil bagian dalam suatu
hubungan yang korup; Keempat, korupsi mengakibatkan kerugian dan kerusakan bagi
masyarakat secara ekonomi maupun politis; Kelima, tindakan korup bersifat tersembunyi
dan dirahasiakan oleh pihak-pihak yang membangun konspirasi atau kesepakatan yang
menguntungkan pihak-pihak yang terlibat tersebut (Rabl, 2011).
12
Analisis dari tiga puluh lima negara di bawah kordinasi Lembaga Penelitian Sosial di
Michigan University membuktikan bahwa sikap dan toleransi individu terhadap korupsi di
lingkungannya dipengaruhi oleh efek sosial. Penelitian tersebut juga mengungkapkan
bahwa kaum perempuan, pekerja, orang yang kurang kaya, serta individu berusia lanjut
(lansia) ternyata lebih besar penolakannya terhadap korupsi (Gatti, Paternostro, &
Rigolini, 2003).
Analisis Kartini yang ditulis pada akhir abad 19 mengungkapkan bahwa perilaku
korup tidak lepas dari pengaruh faktor budaya dan kebiasaan, gaya hidup yang
dipaksakan untuk memelihara status sosial, sistem kepegawaian yang diskriminatif dan
upah yang tidak realistis (Kartini, 1985).
DISONANSI KOGNITIF
Disonansi kognitif adalah suatu situasi ketegangan yang muncul saat seseorang
memiliki dua kognisi yang tidak konsisten secara psikologis, atau pada saat keyakinan
seseorang tidak selaras dengan perilakunya. Teori Disonansi Kognitif menyatakan bahwa
ketegangan akan muncul bila seseorang berpikir bahwa dia telah mengambil keputusan
yang salah (Wade & Tavris, 2008).
Disonansi kognitif terjadi ketika seseorang melakukan sesuatu yang tidak sesuai
dengan keyakinannya. Disonansi atau ketidakselarasan antara perilaku dan keyakinan
terasa tidak menyenangkan bagi kebanyakan orang, dan para ilmuwan psikologi telah
lama mempelajari bagaimana disonansi kogniitif mempengaruhi perasaan dan perilaku
masyarakat (Rabin, 1994).
13
Pembangun Teori Disonansi Kognitif, Leon Festinger pada tahun 1957 berpendapat
bahwa kelompok sosial adalah sumber disonansi kognitif sekaligus alat untuk
menguranginya (Matz & Wood, 2005). Festinger menambahkan bahwa keadaan disonan
tersebut bisa diatasi dengan cara mengubah elemen tingkah laku, mengubah elemen
kognitif lingkungan, dan menambah elemen kognitif baru (Fitri, 2013). Festinger meyakini
adanya empat sumber disonansi, yaitu inkonsistensi logis, nilai-nilai budaya, pendapat
umum, dan pengalaman masa lalu (Fitri, 2013).
Eksperimen yang dilakukan setengah abad setelah Festinger menguatkan teori ini
dengan temuan bahwa tekanan terhadap konsistensi bisa muncul dari interaksi
kelompok, dan juga bisa diselesaikan dengan interaksi kelompok. Perbedaan sikap
dengan anggota kelompok yang lain bisa menjadi penyebab munculnya disonansi karena
situasi tersebut mengancam pemahaman realitas dan regulasi normatif diri dan tujuan
sosial dari individu yang bersangkutan (Matz & Wood, 2005).
Meskipun kelompok memiliki peran penting dalam disonansi kognitif, namun diri
(self) juga berperan melakukan mediasi terhadap proses disonansi. Ada semacam
kontroversi di antara tiga teori utama tentang bagaimana kognisi atau pikiran tentang diri
melakukan mediasi terhadap proses disonansi, ketiga teori tersebut masing-masing
mengajukan pendekatan mengenai konsistensi diri, afirmasi diri, dan perspektif dengan
cara pandang yang baru. Setiap pendekatan membuat prediksi yang berbeda mengenai
bagaimana pengetahuan tentang self atau diri menengahi disonansi, karena masing-
masing pendekatan tersebut memiliki asumsi yang berbeda mengenai standar dan atribut
diri yang digunakan untuk menilai makna psikologis perilaku tertentu (Stone & Cooper,
2001).
14
Peneliti dari lima universitas di Amerika Serikat dan Kanada, yang meneliti orang-
orang Kanada yang berasal dari Eropa dan Asia, menemukan bahwa individu yang berasal
dari budaya Timur dan Barat sama-sama bisa mengalami disonansi, tapi budaya
membentuk situasi di mana disonansi menguat ataupun melemah (Hoshino-Browne,
Zanna, Spencer, Zanna, Kitayama, & Lackenbauer, 2005).
Pernyataan ini diperkuat oleh Amrizal (2004) yang mengatakan bahwa ada tiga
faktor yang biasanya muncul dalam berbagai kasus kecurangan atau korupsi di Indonesia,
terutama kasus penggelapan aset dan pencurian. Ketiga faktor tersebut adalah: pertama,
faktor tekanan yang dialami individu, misalnya tekanan untuk memperoleh uang; kedua,
faktor tersedianya kesempatan untuk melakukan tindak kecurangan ditambah adanya
kesempatan untuk menyembunyikan kecurangan tersebut; serta ketiga, adanya upaya
untuk melakukan pembenaran atas kecurangan tersebut yang dipengaruhi oleh level
integritas individu yang melakukannya (Amrizal, 2004).
Studi yang dilakukan oleh tim gabungan dari University of Birmingham (UK),
University of Hyderabad (India), the Nigerian Institute for Social and Economic Research
dan University of Ibadan (Nigeria) mencoba menggali hubungan antara keberagamaan
seseorang dengan sikapnya terhadap korupsi. Para peneliti ini melakukan wawancara
terhadap lebih dari 250 orang penganut Hindu, Sikh, Muslim, dan Kristen, dengan status
pekerjaan yang heterogen; hasilnya menunjukkan bahwa korupsi tetap dilakukan oleh
individu yang merasa dirinya religius dan menyadari bahwa perbuatan itu berdosa,
namun pelaku berdalih bahwa mereka tidak bisa menghindari tekanan situasi dan
lingkungan. Hal ini menunjukkan bahwa koruptor selalu menyodorkan pembenaran atau
rasionalisasi atas perilaku korup yang dilakukannya (Marquette, 2010).
15
PERTANYAAN PENELITIAN
A. RANCANGAN PENELITIAN
Penelitian ini menerapkan pendekatan kualitatif yang merupakan proses
untuk memperoleh pemahaman berdasarkan metode investigasi khusus untuk
mengeksplorasi persoalan-persoalan sosial atau kemanusiaan (Creswell J. W.,
1998). Penggunaan metode kualitatif diharapkan membantu menangkap ketepatan
dan orisinalitas dari realita permasalahan sosial yang sesuai dengan konteks dan
budaya Indonesia (Somantri, 2005). Penelitian kualitatif sering memiliki tujuan
menggambarkan atau deskripsi, dan peneliti dapat menindaklanjuti dengan
meneliti alasan maupun implikasi dari temuan (Shields & Rangarajan, A Playbook
for Research Methods: Integrating Conceptual Frameworks and Project
Management, 2013) .
B. FOKUS PENELITIAN
C. SUBJEK PENELITIAN
Subjek penelitian ini adalah individu yang terlibat kasus korupsi, yaitu:
E. KEABSAHAN DATA
Penelitian deskriptif dianggap memiliki persyaratan rendah untuk validitas
internal (Shields & Rangarajan, A Playbook for Research Methods: Integrating
Conceptual Frameworks and Project Management, 2013). Keabsahan data
penelitian ini dijaga melalui upaya memperkuat kredibilitas data, yaitu dengan
memperpanjang masa observasi dan keterlibatan di lapangan, observasi yang
tekun dan terus-menerus, pemeriksaan silang oleh sejawat yang berkompeten,
referensi yang memadai, serta uraian yang rinci dan detail (Moleong, 2006).
DAFTAR PUSTAKA
Agil, R. (2009, Desember 17). Office Boy Belajar Korupsi (Sebuah Pengalaman). Dipetik Agustus 29,
2015, dari Kompasiana: http://www.kompasiana.com/ragile/office-boy-belajar-korupsi-
sebuah-pengalaman_54fd5347a33311691650fa69
AM. (2014, Oktober 3). Ya Memang Seperti Itu Faktanya. (F. Falah, Pewawancara)
Amrizal. (2004). Pencegahan dan Pendeteksian Kecurangan oleh Internal Auditor. Dipetik
November 14, 2013, dari bpkp.go.id:
http://www.bpkp.go.id/public/upload/unit/investigasi/files/Gambar/PDF/cegah_deteksi.pdf
Anand, V., Ashforth, B. E., & Joshi, M. (2005). Business as usual: The acceptance and perpetuation
of corruption in organizations. The Academy of Management Executive , 19 (4), 9-23.
Anduiza, E., Gallego, A., & Muñoz, J. (2013). Turning a Blind Eye: Experimental Evidence of Partisan
Bias in Attitudes Toward Corruption. Journal of Comparative Political Studies , 46 (12), 1664–
1692.
AP. (2014, Oktober 3). Galau di Tengah Sistem yang Korup. (F. Falah, Pewawancara)
Creswell, J. W. (1998). Qualitative Inquiry and Research Design. Choosing Among Five Traditions.
Thousand Oaks: SAGE Publications.
Denzin, N. K., & Lincoln, Y. S. (2009). Handbook of Qualitatif Research. (S. Z. Qudsy, Penyunt., & B. S.
Dariyatno, Penerj.) Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Er, M. (2008). Corruption from the Islamic perspective: Some recommendations for the MENA
region. International Journal of Islamic and Middle Eastern Finance and Management , 1 (1),
31– 51.
Falah, F. (2014). “Kita Nggak Bisa Apa-Apa...” Studi Mengenai Adaptasi Individu Terhadap Budaya
Korupsi di Lingkungan Pendidikan Dasar dan Menengah di Wilayah X . Jurnal Psikologi
Integratif , II (2), 18-26.
Fischer, R., Ferreira, M. C., Milfont, T., & Pilati, R. (2014, September 1). Culture of Corruption? The
Effects of Priming Corruption Images in a High Corruption Context. Journal of Cross-Cultural
Psychology , 1-12.
Fitri, R. A. (2013). Gambaran Disonansi Kognitif Pada Wanita Perokok Dewasa Muda Berpendidikan
Tinggi. Jurnal Humaniora , 4 (1), 547-555.
Gatti, R., Paternostro, S., & Rigolini, J. (2003). Individual Attitudes Toward Corruption: Do Social
Effects Matter? World Bank Policy Research.
Hoshino-Browne, E., Zanna, A. S., Spencer, S. J., Zanna, M. P., Kitayama, S., & Lackenbauer, S.
(2005). On the Cultural Guises of Cognitive Dissonance: The Case of Easterners and
Westerners. Journal of Personality and Social Psychology , 89 (3), 294–310.
Ismail, P. A. (2015). Peranan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Mencegah dan Memberantas
Gratifikasi di Indonesia. Jurnal Lex Crimen , IV (5), 139-148.
Karim, A. (2013). Teologi Anti Korupsi. Fikrah , I (I), 175-194.
Kartini, R. A. (1985). Letters of a Javanese princess. Lanham: University Press of America.
Komisi Pemberantasan Korupsi. (2015, Juli 31). Rekapitulasi Pengaduan Masyarakat. Dipetik
September 2015, 2015, dari AACH Anti-Corruption Clearing House, Portal Pengetahuan
Antikorupsi: http://acch.kpk.go.id/statistik-pengaduan-masyarakat
20
Komisi Pemberantasan Korupsi. (2015, Juli 31). Rekapitulasi Penindakan Pidana Korupsi . Dipetik
September 20, 2015, dari AACH Anti-Corruption Clearing House, Portal Pengetahuan
Antikorupsi: http://acch.kpk.go.id/statistik-tindak-pidana-korupsi
Leimeister, J. M., Knebel, U., & Krcmar, H. (2007). RFID as enabler for the boundless real-time
organisation: empirical insights from Germany. International Journal of Networking and
Virtual Organisations , 4 (1), 45-64.
Marquette, H. (2010). Religion and Attitudes Towards Corruption in a Globalised World.
Birmingham: University of Birmingham.
Matz, D. C., & Wood, W. (2005). Cognitive Dissonance in Groups: The Consequences of
Disagreement. Journal of Personality and Social Psychology , 88 (1), 22–37.
Moleong, L. J. (2006). Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi ed.). Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya Offset.
Mustakim, M. (2013). Wawasan Al-Quran Tentang Pendidikan Anti Korupsi. Jurnal Ilmu Tarbiyah At-
Tajdid , 2 (1), 69-92.
Osipian, A. L. (2009). Corruption and Reform in Higher Education in Ukraine. Journal of Canadian
and International Education , 38 (2), 103-122.
Poerwandari, E. K. (1998). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia, Pengantar Fuad
Hasan (Edisi Revisi ed.). Jakarta: Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Fakultas
Psikologi UI.
Rabin, M. (1994). Cognitive dissonance and social change. Journal of Economic Behavior and
Organization , 23, 177-194.
Rabl, T. (2011). The Impact of Situational Influences on Corruption in Organizations. Journal of
Business Ethics , 100, 85-101.
Shields, P. M., & Rangarajan, N. (2013). A Playbook for Research Methods: Integrating Conceptual
Frameworks and Project Management. Stillwater OK USA: New Forums Press, Inc.
Shields, P. M., & Tajalli, H. (2006). Intermediate Theory: The Missing Link in Successful Student
Scholarship. Journal of Public Affairs Education , 12 (3), 313-334.
Somantri, G. R. (2005). Memahami Metode Kualitatif. Jurnal Makara Sosial Humaniora , 9 (2), 57-
65.
Stone, J., & Cooper, J. (2001). A Self-Standards Model of Cognitive Dissonance. Journal of
Experimental Social Psychology , 37 (3), 228-243.
Transparency International. (2014, Desember). Corruption Perceptions Index 2014: Results. Dipetik
Desember 8, 2014, dari Transparency International:
http://www.transparency.org/cpi2014/results
Wade, C., & Tavris, C. (2008). Psikologi, edisi ke-9. Jilid 2. (H. Hardani, Penyunt., P. Mursalin, &
Dinastuti, Penerj.) Jakarta: Penerbit Erlangga.
Wati, E. (2014). Pendidikan Anti Korupsi di Sekolah Menurut Islam. Tajdid , 17 (1), 53-64.
Wibowo, I. (2009). Sikap. Dalam T. P. UI, S. W. Sarwono, & E. A. Meinarno (Penyunt.), Psikologi
Sosial (hal. 79-102). Jakarta: Salemba Humanika.
Zyglidopoulos, S. C., Fleming, P. J., & Rothenberg, S. (2008). Rationalization, Overcompensation and
the Escalation of Corruption. Journal of Business Ethics .
21
Lampiran
I. RENCANA PEMASUKAN
Peneliti