Anda di halaman 1dari 43

ETIKA PEMERIKSAAN PSIKOLOGIS

BAHASAN:
1. Permasalahan dalam Etika Pemeriksaan Psikologis
2. Tanggung Jawab Penerbit Tes
a. Isu-isu Publikasi dan Pemasaran
b. Kompetensi Pembeli Tes
3. Tanggung Jawab Pengguna Tes
a. Kepentingan Terbaik Klien
b. Kerahasiaan
c. Keahlian Pengguna Tes
d. Pernyataan Persetujuan
e. Penulisan Laporan yang Bertanggung Jawab
f. Penyampaian Hasil Tes
g. Pertimbangan Atas Perbedaan Individual
4. Syarat untuk Membentuk Kemampuan dan Keterampilan Psikodiagnostik
1. Permasalahan dalam etika pemeriksaan psikologis umumnya
mencakup hal-hal berikut ini:
a. Siapa yang berhak melakukan diagnosa psikologis
(menyelenggarakan dan menginterpretasikan tes psikologi).
b. Bagaimana seharusnya seorang diagnotikus bersikap dan
bertingkah laku dalam menegakkan suatu diagnosa psikologis.

3
a. Siapa yang berhak melakukan diagnosa psikologis?

• Tes psikologis dapat dilakukan oleh ahli psikologi dan orang


yang mendapat pelatihan dan pendidikan khusus (yaitu
administrasi tes yang tetap harus berada dibawah supervisi
ahli)
• Tetapi ada pula alat pemeriksaan yang hanya dapat
dilaksanakan oleh ahli yang benar-benar kompeten dan
mendapat pendidikan khusus (mis : tes proyektif).
4
Ditinjau dari segi penggunaannya, diagnosa psikologis dan
penyelenggaraannya dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1) Diagnosa untuk keperluan pelatihan atau pendidikan


• Diselenggarakan khusus untuk bidang pendidikan psikologi dan untuk
memperoleh keterampilan diagnostik (tujuannya bukan hanya untuk
sekedar tahu dan dapat melaksanakannya, tetapi lebih dari itu).

5
2) Diagnosa mengenai tes prestasi
• Tujuannya untuk melihat sejauh mana penyelenggaraan pendidikan
telah mencapai hasil seperti yang diharapkan.
• Untuk itu, diperlukan pengujian melalui seperangkat tes prestasi
(para pendidik dapat merancang dan menggunakannya, tetapi bila
dalam hasilnya menemukan gejala kelainan atau penyimpangan maka
sebaiknya dirujuk pada ahli yang lebih berwenang).

6
3) Diagnosa dengan menggunakan tes psikologi
• Hanya dapat dilaksanakan oleh ahli psikologi atau orang
yang mendapat pendidikan dan pelatihan khusus.
• Manfaat tes psikologi sebagai alat diagnostik akan sangat
tergantung pada siapa yang menggunakan dan bagaimana
tes tersebut digunakan.

7
Kouwer membatasi kewenangan menyelenggarakan tes psikologi
berdasarkan 3 fungsi pemeriksaan psikologis, yaitu:

1) Pemeriksaan dengan tujuan memprediksi


• Syarat utamanya adalah penyelenggaraan yang eksak dan terkontrol.
• Pada prinsipnya penyelenggaraan tes dapat dilakukan oleh
administrator tes, namun interpretasinya, sebaiknya dilakukan oleh
ahli.
8
2) Pemeriksaan dengan tujuan mendeskripsikan
• Nilai utama tes ini terletak sepenuhnya pada interpretasi
(analisis psikologi tentang hasil tes).
• Syarat utamanya adalah menguasai sepenuhnya teori
kepribadian dan arti diagnostik dari materi tes yang
digunakan.
• Oleh karena itu, hanya ahli psikologi yang paling kompeten
dalam menyelenggarakan tes.
9
3) Pemeriksaan dengan tujuan terapi
• Syarat untuk memakai material tes dalam tujuan ini harus
dilatarbelakangi oleh pengetahuan psikologis yang khusus
dan pengetahuan tentang terapi.
• Untuk dapat berhasil dalam mencapai tujuan tes, ahli terapi
harus mengerti secara mendalam tentang arti, syarat-syarat
dan sifat-sifat materi tes.

10
b. Bagaimana seharusnya seorang diagnostikus bersikap dan
bertingkah laku?

• Hal ini menyangkut etika pengetesan, relasi antar pemeriksa


dan subjek yang diperiksa melalui suatu rapport yang baik.
• Kouwer memberi gambaran tentang sikap dan tingkah laku
pemeriksa dalam pemeriksaan psikologis melalui bahasan
fungsi dan tujuan tes.
11
• Secara ringkas, hal tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
1) Etika dalam tes memprediksi
• Tes dibatasi pada aspek yang dapat dikuantifkasikan
• Yang diukur bukan kliennya, tetapi fakta objektif yang berkaitan dengan
klien (klien berada diluar hasil objektif yang dihasilkan alat tes)
• Hasil bahasan harus rasional (aspek emosional tidak dilibatkan)

12
2). Etika dalam tes mendeskripsikan
• Persyaratan etika tes meramalkan juga berlaku
• Yang diperhatikan adalah karakter, sifat khas dari klien yang
dianggap sebagai sebab dari tingkah lakunya
• Pemeriksa memberi masukan sesuai hasil pemeriksaan dan
sesuai dgn norma yang berlaku

13
3). Etika dalam tes mendapatkan insight
• Pemeriksa tidak boleh mengambil sebagian dari problematika klien
• Tidak boleh mengambil alih tanggung jawab problematika klien
• Pemeriksa memiliki pandangan bahwa subjek dapat memecahkan
persoalannya sendiri serta bertanggung jawab atas alternatif
pemecahan masalah yang dipilihnya
• Pertolongan yang diberikan pemeriksa hanya sebatas pada
pemberian kemungkinan untuk suatu problem solving

14
Pada dasarnya hubungan antara klien dan psikolog adalah
hubungan antar manusia yang saling menghormati, menjaga
dan menghargai. Oleh karena itu, Suryabrata (1971)
menyimpulkan beberapa sikap hubungan, sebagai berikut:
• Tidak menganggap subjek sebagai penderita yang memerlukan
pertolongan, melainkan sebagai manusia yang menghargai harga diri,
keinginan dan juga menghargai latar belakang agama, politik dan
kehidupan sosialnya

15
• Menjaga rahasia pribadi subjek
• Membuat diagnosa dengan penuh hati-hati
• Dengan penuh simpati berusaha memahami
kesulitan-kesulitan subjek
• Menciptakan rasa aman bagi subjek yang
diperiksa selama pemeriksaan berlangsung

16
• Pengembangan dan pembakuan kode etik psikologi masih terus
dilakukan, tetapi sangat perlu untuk diingat adalah bahwa apa
yang dilakukan dalam diagnostik akan selalu memiliki
konsekuensi etik.
• Sebagai suatu pegangan dasar: buku etik psikologi Indonesia
dari HIMPSI.

17
2. Tanggung Jawab Penerbit Tes

• Menyangkut publikasi, pemasaran, dan distribusi tes yang


diterbitkan.
• Penerbit diharapkan akan merilis tes berkualitas tinggi,
memasarkan produknya secara bertanggung jawab, dan
membatasi distribusi tes hanya kepada orang-orang
dengan kualifikasi yang tepat.
a. Isu-isu Publikasi dan Pemasaran
• Mencegah peluncuran tes yang terlalu dini, yaitu pada publikasi
instrumen baru atau yang direvisi.
• Standar yang ditetapkan American Psychological Association (APA)
mengenai panduan teknis dan pedoman pengguna yang biasanya
menyertai tes harus dipenuhi
• Harus lengkap, mencakup statistik yang terinci terkait analisis
reliabilitas, validitas, sampel normatif, dan aspek-aspek teknis lainnya.
• Memasarkan tes secara bertanggung jawab tidak hanya menyangkut
iklan (harus akurat) namun juga cara penyampaian informasi dalam
panduan dan pedoman. Berkaitan dengan kelemahan dan kelebihan
tes tersebut, studi-studi sebelumnya.
b. Kompetensi Pembeli Tes

Penerbit harus memastikan bahwa hanya para


pengguna yang memenuhi syarat yang boleh
membeli produk/alat tes.

20
3. Tanggung Jawab Pengguna Tes
a. Kepentingan Terbaik Klien
b.Kerahasiaan
c. Keahlian Pengguna Tes
d.Pernyataan Persetujuan
e.Penulisan Laporan yang Bertanggung Jawab
f. Penyampaian Hasil Tes
g. Pertimbangan Atas Perbedaan Individual
a. Kepentingan Terbaik Klien

• Para praktisi harus berpedoman pada satu


pertanyaan yang sangat penting: “Apa yang menjadi
kepentingan terbaik bagi klien?”
b. Kerahasiaan
• Kewajiban utama para praktisi adalah menjaga kerahasiaan informasi,
termasuk hasil-hasil tes, yang mereka dapatkan dari para klien selama
berlangsungnya konsultasi (Prinsip 5; APA, 1992)
• Informasi tersebut secara etis dapat dibuka kepada orang lain hanya bila
klien bersangkutan atau suatu perwakilan hukum memberikan persetujuan,
biasanya secara tertulis.
• Satu-satunya pengecualian terhadap kerahasiaan adalah dalam situasi yang
tidak biasa di mana penutupan informasi akan menimbulkan bahaya nyata
bagi si klien atau orang lain.
• Para psikolog klinis harus memberitahukan setiap
ancaman serius kepada calon korban, maupun lembaga-
lembaga penegak hukum.
• Para psikolog klinis harus mempertimbangkan
kesejahteraan klien dalam memutuskan apakah akan
membuka informasi, terutama bila klien yang
bersangkutan masih dibawah umur dan tidak dapat
memberikan pernyataan persetujuan secara sukarela.
c. Keahlian Pengguna Tes
• Pengguna tes harus sangat terlatih dalam teori asesmen dan
pengukuran.
• Pengguna tes harus memiliki keahlian yang dibutuhkan untuk
mengevaluasi tes-tes psikologi menyangkut ketepatan
standarisasi, reliabilitas, validitas, akurasi interpretif, dan
karakteristik psikometri lainnya.
• Para psikolog yang kurang terlatih dalam instrumen-instrumen
dapat membuat kesalahan serius dalam interpretasi tes yang
akan merugikan peserta tes.
• Penggunaan tes yang ceroboh dapat membuat penguji menerima sanki
profesional dan tuntutan hukum.
• Ethical Standards of Psychologist dari APA (Cronbach, 1969)
menguraikan 3 jenis tes dilihat dari kompleksitasnya untuk
diamankan keobjektifannya, yaitu:
1) Level A, yaitu tes yang dapat dilaksanakan oleh administrator
tes (dengan menggunakan bimbingan manual dalam
administrasi, skoring dan interpretasinya).
• Contohnya tes prestasi sekolah dan tes vokasional (evaluasi jabatan)

26
2) Level B, yaitu tes yang mempersyaratkan pengetahuan
tentang konstruksi tes, termasuk pengetahuan tentang
statistik, individual differences, psikologi industri, bimbingan
dan sebagainya.
• Jadi tes jenis ini dapat dilaksanakan oleh mereka yang telah
mendapat pelatihan khusus dan memiliki kemampuan tentang
psikologi.
• Contohnya: tes intelegensi, tes bakat, minat dan tes kepribadian
dengan teknik inventorinya.

27
3) Level C, yaitu tes yang menuntut kemampuan khusus
dan mendalam dalam penyelenggaraannya melalui
supervisi yang ketat dari seorang ahli psikologi.
• Jadi hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki sertifikat
bidang psikologi (orang yang telah mencapai gelar master atau
memiliki sertifikat profesi).
• Contohnya tes intelegensi dan tes kepribadian untuk
penggunaan klinis.
28
d. Pernyataan Persetujuan

• Sebelum tes dimulai, pengguna tes perlu mendapatkan


pernyataan persetujuan dari para peserta tes atau perwakilan
hukum mereka.
• Pengecualian bagi pernyataan persetujuan dapat dilakukan
dalam kasus tertentu, seperti program tes yang diwajibkan
secara hukum, tes kelompok di sekolah, dan ketika persetujuan
sudah jelas (misal tes masuk perguruan tinggi).
• Dalam buku panduan standards menyediakan standar
tersendiri mengenai pernyataan persetujuan:
Pernyataan persetujuan menyiratkan bahwa peserta tes atau
perwakilannya diberi pemahaman, dalam bahasa yang dapat
mereka pahami tentang alasan pemberian tes, jenis tes yang
digunakan, kesengajaan penggunaannya, dan rentang
konsekuensi material dari kesengajaan penggunaannya. Jika
dilakukan pencatatan tertulis, perekaman video, atau audio
terhadap sesi-sesi tes, atau catatan lainnya disimpan, peserta tes
berhak untuk mengetahui informasi apa dari pelaksanaan tes
tersebut yang akan dibuka dan kepada siapa. (AERA dkk, 1999)
• Anak-anak usia dini atau peserta tes dengan kecerdasan terbatas berhak atas
penjelasan tentang alasan dilakukannya asesmen.
• Dari sudut pandang hukum, ada 3 elemen pernyataan persetujuan:
 Keterbukaan: klien menerima cukup informasi (mis: tentang resiko & manfaat dibukanya
laporan) untuk membuat keputusan bijak tentang kelanjutan partisipasinya dalam tes
 Kompetensi: mengacu pada kemampuan mental peserta tes untuk memberikan
persetujuan. Secara umum, terdapat dugaan adanya kompentensi kecuali jika peserta tes
adalah seorang anak, sudah sangat tua, atau cacat mental, dalam kasus ini seorang wali
harus memberikan persetujuan hukum.
 Kesukarelaan: bahwa pilihan untuk menjalani suatu rangkaian asesmen diberikan secara
bebas dan tidak didasarkan pada pemaksaan halus.
e. Penulisan Laporan Yang Bertanggung Jawab
• Laporan yang bertanggung jawab menggunakan gaya penulisan
sederhana dan langsung yang menghindari penggunaan kata kiasan
serta istilah-istilah teknis.
• Tujuan utama dari sebuah laporan adalah untuk memberikan sudut
pandang terhadap klien yang dapat membantunya, bukan untuk
memberi kesan kepada pemberi rujukan bahwa penguji adalah orang
yang terpelajar (tidak untuk membuat kesan bahwa penguji adalah
orang yang hebat)
• Laporan yang efektif harus berada dalam batas-batas keahlian.
f. Penyampaian Hasil Tes

• Memberikan umpan balik yang efektif kepada para klien tentang


hasil tes mereka merupakan keterampilan yang menantang dan
sangat penting.
• Pope (1992) menekankan tanggung jawab psikolog klinis untuk
memastikan bahwa klien memahami secara memadai dan akurat
mengenai informasi yang berusaha disampaikan ileh psikolog
klinis. Selain itu, merupakan tanggung jawab psikolog klinis untuk
mengantisipasi kemungkinan adanya reaksi-reaksi dari klien.
g. Pertimbangan Atas Perbedaan Individual

• Para praktisi diharapkan mengetahui kapan suatu tes atau


interpretasi mungkin tidak dapat diterapkan karena
faktor-faktor seperti usia, gender, ras, etnisitas, asal
kebangsaan, agama, orientasi seksual, kecacatan, bahasa,
dan status sosial ekonomi.
3. Syarat untuk Membentuk Kemampuan dan
Keterampilan Psikodiagnostik

• Melalui kemampuan dan keterampilan diagnostik yang dapat


dikembangkan melalui pelatihan yang efektif dan intensif, diharapkan
pemeriksa dapat terus menumbuhkan potensinya dalam proses
diagnostik.
• Kerja sama yang baik antara pemeriksa dan individu yang diperiksa
sangat utama dalam psikodiagnostik adar pemeriksaan psikologi dapat
berhasil dan sesuai dengan tujuannya.
36
• Oleh karena itu, dibutuhkan kemampuan dan keterampilan
diagnostik sebagai berikut :
• Mampu menjalin rapport yaitu membangkitkan minat subjek untuk
mau dan dapat bekerja sama. Oleh karena itu pemeriksa harus
berusaha menciptakan suasana pemeriksaan yang menyenangkan,
akrab dan aman bagi subjek yang diperiksa
• Mampu berempati, yaitu memahami perasaan dan kebutuhan orang
lain
• Membangun impresi yang tepat
37
• Memiliki kematangan (kedewasaan pribadi) artinya secara
profesional pemeriksa bersikap dewasa dalam menjalin hubungan
dengan subjek
• Mampu bersikap kritis (apa yang dikatakan subjek tidak diterima &
diserap begitu saja, tetapi harus dianalisis secara kritis sebelum
ditarik kesimpulan tentang subjek tersebut)
• Memiliki wawasan yang luas (cara menginterpretasikan data subjek
dilakukan dari berbagai sudut pandang, mengingat perilaku manusia
yang sangat kompleks)
38
• Memiliki kepekaan atau sensitivitas persepsi (dapat melihat dan
memahami perasaan dan pikiran subjek serta peka terhadap gejala
yang dimunculkan subjek)
• Mampu membentuk penyesuaian diri (pemeriksa harus mampu
menyimpan problemnya sendiri dengan cara yang konstruktif)
• Mampu mengevaluasi diri demi efektivitas (menyadari tanggung
jawabnya terhadap klien sehingga ia lebih dulu perlu memahami
dirinya sendiri  mengetahui kelemahan dan potensinya untuk dapat
menolong individu lain secara efektif)
39
• Selain itu Sundberg menguraikan beberapa kemampuan dan
keterampilan yang diperlukan dalam proses diagnostik, yaitu:
• Mengetahui secara jelas tujuan dari asesmen.
• Asesmen adalah kejadian interpersonal dalam suatu konteks
sosial, karena itu semua observasi harus diinterpretasikan sebagai
sampel dalam konteks tertentu.
• Dalam asesmen kepribadian, mula-mula pemeriksa secara tepat
meneliti masalah dan situasi hidup subjek untuk kemudian secara
lebih rinci meneliti area-area lain yang sesuai dengan tujuan
pemeriksaan.
40
• Pemeriksa harus peka terhadap latar belakang budaya, sosial dan
etnis dirinya, orang lain maupun pengaruh hal-hal tersebut dalam
proses pemeriksaan.
• Pemeriksa memanfaatkan prosedur pemeriksaan yang baku
(mendayagunakan segala pengetahuan tentang pemeriksaan yang
baku dan objektif).
• Dalam mengumpulkan informasi baru tentang subjek, pemeriksa
harus membatasi jumlah data karena yang penting bukan kuantitas
atau banyaknya data melainkan ketepatan (kualitas) data dalam
relevansinya dengan tujuan pemeriksaan.
41
• Pemeriksa tidak melakukan spekulasi atau lompatan
prosedur tak logis dalam menginterpretasikan & menarik
kesimpulan dari data yang diperoleh, karena resiko &
tanggung jawab etiknya amat berat, selama hal tsb
menyangkut kehidupan seseorang.
• Secara umum, pemeriksa harus menguasai teori kepribadian
untuk menjadi landasan dalam menganalisis subjek yang
diperiksa.

42
@awanjeminy

Anda mungkin juga menyukai