Anda di halaman 1dari 10

Nama : Muthi Husnun Dimanty

NPM// Kelas : 14517310 // 2PA01

ETIKA DALAM ASESMEN PSIKOLOGIS

A. Masalah Etika dalam Pemeriksaan Psikologi


• Seorang diagnostikus tidak bebas dalam menyelenggarakan pemeriksaan psikologi,
artinya banyak persyaratan yang dituntut dan dipertimbangkan.
• Tes psikologi tidak akan ada manfaatnya ditangan yang tidak ahli, dan bila salah
penyelenggaraan dan interpretasi akan berdampak besar karena menyangkut kehidupan
manusia.
• Secara ideal dan teoritis, hanya ahli psikologi dan yang telah mendapatkan pelatihan
khusus yang berhak menyelenggarakan pemeriksaan psikologi dan psikodiagnostik.
• Namun pada kenyataannya, ada ahli dari luar bidang psikologi yang menyelenggarakan
pemeriksaan psikologi.
Terdapat perbedaan kewenangan dan kompetensi dalam penyelenggaraan tes.
Permasalahan dalam etika pemeriksaan psikologi, antara lain:
1. Pihak yang Berhak Melakukan Diagnosis Psikologi
2. Pihak yang Bertanggung Jawab untuk Mengamankan Perangkat Tes
3. Sikap dan Tingkah Laku Seorang Diagnostikus dalam Suatu Pemeriksaan.

1. Pihak yang Berhak Melakukan Diagnosis Psikologi


Dari segi penggunaan, diagnosa psikologi dan penyelenggaraannya
dikelompokkan sebagai berikut:
• Diagnosa untuk keperluan pelatihan/ pendidikan
• Diagnosa mengenai prestasi belajar
• Diagnosa dengan menggunakan tes psikologi
Tiga kewenangan penyelenggaraan tes psikologi berdasarkan fungsi pemeriksaan
(Kouwer), antara lain:
• Pemeriksaan dengan tujuan memprediksi
• Pemeriksaan dengan tujuan mendeskripsikan
• Pemeriksaan dengan tujuan terapi
Kategori Tes Menurut “APA”

Level A : Alat tes yang dapat diadministrasikan, diskor, dan diinterpretasi dengan bantuan manual.

Level B: Memerlukan latar belakang training khusus dalam administrasi, skoring, dan interpretasi;
perlu pehamaman tentang prinsip-prinsip psikometri, sifat-sifat yang diukur, dan latar belakang
keilmuan.

Level C: kategori yang paling ketat. Selain pelatihan administrasi, scoring, dan interpretasi, juga
membutuhkan pemahaman tes secara substantif.

2. Pihak yang Bertanggung Jawab untuk Mengamankan Perangkat Tes

• Menjadi tanggung jawab para ahli yang selalu mengunakan materi tes tersebut

• Menurut Cronbach (1969), penggandaan materi hanya diperkenankan oleh penerbit yang
memiliki kualifikasi dan terbatas. Semakin sulit diinterpretasikan, semakin terbatas yang dapat
menerbitkannya.

• Prinsip sistem kendali pendistribusian dapat dilihat di Ethical Standards of Psychologist dari
APA.

3. Sikap dan Tingkah Laku Seorang Diagnostikus dalam Suatu Pemeriksaan


1. Etika dalam Tes Meramalkan/Memprediksikan
2. Etika dalam Tes Mendeskripsikan
3. Etika dalam Tes Menemukan Diri Sendiri

Sikap Hubungan Antara Pemeriksa dan Subjek yang Diperiksa (Sumadi Suryabrata, 1971)

1. Tidak menganggap subjek sebagai pasien atau penderita yang butuh pertolongan, tapi
sebagai manusia yg mempunyai harga diri, keinginan tertentu dengan menghargai latar
belakang agama, politik, & lingkungan sosialnya.
2. Menjaga rahasia pribadi subjek.
3. Membuat diagnosa dengan penuh hati-hati.
4. Penuh simpati dalam memahami kesulitan-kesulitan subjek.
5. Menciptakan rasa aman bagi subjek yang diperiksa selama pemeriksaan berlangsung.
B. Syarat untuk Membentuk Kemampuan dan Keterampilan Psikologi
• Mampu membentuk rapport
• Mampu berempati
• Mampu membangun impresi yang tepat
• Memiliki kematangan/ kedewasaan pribadi
• Mampu bersikap
• Memiliki wawasan yang luas
• Memiliki sensitivitas persepsi/ kepekaan
• Mampu membentuk penyesuaian diri
• Mampu mengevaluasi diri demi keefektifan

Kemampuan dan Keterampilan yang diperlukan dalam Proses Psikodiagnostik (Sundberg):

• Mengetahui tujuan penilaian (assessment) secara jelas


• Dalam asesmen kepribadian, diawali dengan meneliti dengan cepat masalah dan situasi
hidup subjek
• Pemeriksa harus peka terhadap latar belakang budaya, sosial, etnis subjek, orang lain &
pengaruhnya terhadap pemeriksaan
• Prosedur pemeriksaan yang baku
• Membatasi jumlah data ketika mengumpulkan informasi baru tentang subjek, yang ada
relevansinya dengan tujuan pemeriksaan
• Tidak melakukan spekulasi dalam menginterpretasikan dan menarik kesimpulan dari
data yang diperoleh tentang subjek
• Secara umum, pemeriksa harus menguasai beberapa teori kepribadian sebagai landasan
dalam menganalisis subjek yang diperiksa

Etika Pemeriksaan Psikologis


1. Permasalahan dalam etika pemeriksaan psikologis umumnya mencakup hal-hal berikut ini:
a. Siapa yang berhak melakukan diagnosa psikologis (menyelenggarakan dan
menginterpretasikan tes psikologi).
• Tes psikologis dapat dilakukan oleh ahli psikologi dan orang yang mendapat pelatihan
dan pendidikan khusus (yaitu administrasi tes yang tetap harus berada dibawah supervisi
ahli)
• Tetapi ada pula alat pemeriksaan yang hanya dapat dilaksanakan oleh ahli yang benar-
benar kompeten dan mendapat pendidikan khusus (mis : tes proyektif).
Ditinjau dari segi penggunaannya, diagnosa psikologis dan penyelenggaraannya dapat
dikelompokkan sebagai berikut:
 Diagnosa untuk keperluan pelatihan atau pendidikan : Diselenggarakan khusus
untuk bidang pendidikan psikologi dan untuk memperoleh keterampilan diagnostik
 Diagnosa mengenai tes prestasi: Tujuannya untuk melihat sejauh mana
penyelenggaraan pendidikan telah mencapai hasil seperti yang diharapkan.Untuk itu,
diperlukan pengujian melalui seperangkat tes prestasi
 Diagnosa dengan menggunakan tes psikologi : Hanya dapat dilaksanakan oleh ahli
psikologi atau orang yang mendapat pendidikan dan pelatihan khusus
Kouwer membatasi kewenangan menyelenggarakan tes psikologi berdasarkan 3 fungsi
pemeriksaan psikologis, yaitu:
1) Pemeriksaan dengan tujuan memprediksi
• Syarat utamanya adalah penyelenggaraan yang eksak dan terkontrol.
2) Pemeriksaan dengan tujuan mendeskripsikan
• Nilai utama tes ini terletak sepenuhnya pada interpretasi (analisis psikologi tentang
hasil tes).
• Syarat utamanya adalah menguasai sepenuhnya teori kepribadian dan arti
diagnostik dari materi tes yang digunakan.
3) Pemeriksaan dengan tujuan terapi
• Syarat untuk memakai material tes dalam tujuan ini harus dilatarbelakangi oleh
pengetahuan psikologis yang khusus dan pengetahuan tentang terapi.
b. Bagaimana seharusnya seorang diagnotikus bersikap dan bertingkah laku dalam
menegakkan suatu diagnosa psikologis.
 Hal ini menyangkut etika pengetesan, relasi antar pemeriksa dan subjek yang diperiksa
melalui suatu rapport yang baik.
 Kouwer memberi gambaran tentang sikap dan tingkah laku pemeriksa dalam
pemeriksaan psikologis melalui bahasan fungsi dan tujuan tes. Secara ringkas, hal
tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
1) Etika dalam tes meramalkan (prediksi)
• Tes dibatasi pada aspek yang dapat dikuantifkasikan .Yang diukur bukan kliennya,
tetapi fakta objektif yang berkaitan dengan klien (klien berada diluar hasil objektif
yang dihasilkan alat tes). Hasil bahasan harus rasional (aspek emosional tidak
dilibatkan)
2) Etika dalam tes mendeskripsikan
• Persyaratan etika tes meramalkan juga berlaku. Yang diperhatikan adalah karakter,
sifat khas dari klien yang dianggap sebagai sebab dari tingkah lakunya. Pemeriksa
memberi masukan sesuai hasil pemeriksaan dan sesuai dgn norma yang berlaku
3) Etika dalam tes mendapatkan insight
• Pemeriksa tidak boleh mengambil sebagian dari problematika klien. Tidak boleh
mengambil alih tanggung jawab problematika klien . Pemeriksa memiliki
pandangan bahwa subjek dapat memecahkan persoalannya sendiri serta
bertanggung jawab atas alternatif pemecahan masalah yang dipilihnya.Pertolongan
yang diberikan pemeriksa hanya sebatas pada pemberian kemungkinan untuk suatu
problem solving
Pada dasarnya hubungan antara klien dan psikolog adalah hubungan antar manusia yang
saling menghormati, menjaga dan menghargai. Oleh karena itu Suryabrata (1971)
menyimpulkan beberapa sikap hubungan, sebagai berikut:
• Tidak menganggap subjek sebagai penderita yang memerlukan pertolongan,
melainkan sebagai manusia yang menghargai harga diri, keinginan dan juga
menghargai latar belakang agama, politik dan kehidupan sosialnya
• Menjaga rahasia pribadi subjek
• Membuat diagnosa dengan penuh hati-hati
• Dengan penuh simpati berusaha memahami kesulitan-kesulitan subjek
• Menciptakan rasa aman bagi subjek yang diperiksa selama pemeriksaan
berlangsung
• Pengembangan dan pembakuan kode etik psikologi masih terus dilakukan, tetapi
sangat perlu untuk diingat adalah bahwa apa yang dilakukan dalam diagnostik akan
selalu memiliki konsekuensi etik.
• Sebagai suatu pegangan dasar: buku etik psikologi Indonesia dari HIMPSI.
2. Tanggung Jawab Penerbit Tes
• Tanggung jawab penerbit tes menyangkut publikasi, pemasaran, dan distribusi tes
yang diterbitkan.
a. Isu-isu Publikasi dan Pemasaran
• Mencegah peluncuran tes yang terlalu dini
• Standar yang ditetapkan American Psychological Association (APA) mengenai
panduan teknis dan pedoman pengguna yang biasanya menyertai tes harus dipenuhi
• Harus lengkap, mencakup statistik yang terinci terkait analisis reliabilitas, validitas,
sampel normatif, dan aspek-aspek teknis lainnya.
• Memasarkan tes secara bertanggung jawab tidak hanya menyangkut iklan (harus
akurat) namun juga cara penyampaian informasi dalam panduan dan pedoman.
b. Kompetensi Pembeli Tes
• Penerbit harus memastikan bahwa hanya para pengguna yang memenuhi syarat yang
boleh membeli produk/alat tes.

3. Tanggung Jawab Pengguna Tes


a. Kepentingan Terbaik Klien: “Apa yang menjadi kepentingan terbaik bagi klien?”
b. Kerahasiaan : menjaga kerahasiaan informasi, termasuk hasil-hasil tes, yang
mereka dapatkan dari para klien selama berlangsungnya konsultasi
c. Keahlian Pengguna Tes : Pengguna tes harus sangat terlatih dalam teori asesmen
dan pengukuran.
Ethical Standards of Psychologist dari APA (Cronbach, 1969) menguraikan 3 jenis tes
dilihat dari kompleksitasnya untuk diamankan keobjektifannya, yaitu:
a) Level A, yaitu tes yang dapat dilaksanakan oleh administrator tes
b) Level B, yaitu tes yang mempersyaratkan pengetahuan tentang konstruksi tes
c) Level C, yaitu tes yang menuntut kemampuan khusus dan mendalam dalam
penyelenggaraannya melalui supervisi yang ketat dari seorang ahli psikologi.

Pernyataan Persetujuan : Sebelum tes dimulai, pengguna tes perlu mendapatkan


pernyataan persetujuan dari para peserta tes atau perwakilan hukum mereka. Dari
sudut pandang hukum, ada 3 elemen pernyataan persetujuan:
• Keterbukaan
• Kompetensi
• Kesukarelaan
• Penulisan Laporan yang Bertanggung Jawab : Laporan yang bertanggung jawab
menggunakan gaya penulisan sederhana dan langsung yang menghindari
penggunaan kata kiasan serta istilah-istilah teknis.
• Penyampaian Hasil Tes : Memberikan umpan balik yang efektif kepada para klien
tentang hasil tes mereka merupakan keterampilan yang menantang dan sangat
penting.
• Pertimbangan Atas Perbedaan Individual : Para praktisi diharapkan mengetahui
kapan suatu tes atau interpretasi mungkin tidak dapat diterapkan karena faktor-
faktor seperti usia, gender, ras, etnisitas, asal kebangsaan, agama, orientasi seksual,
kecacatan, bahasa, dan status sosial ekonomi.
c. Syarat untuk Membentuk Kemampuan dan Keterampilan Psikodiagnostik
• Melalui kemampuan dan keterampilan diagnostik yang dapat dikembangkan
melalui pelatihan yang efektif dan intensif, diharapkan pemeriksa dapat terus
menumbuhkan potensinya dalam proses diagnostik.
• Kerja sama yang baik antara pemeriksa dan individu yang diperiksa sangat utama
dalam psikodiagnostik adar pemeriksaan psikologi dapat berhasil dan sesuai
dengan tujuannya.
• Selain itu Sundberg menguraikan beberapa kemampuan dan keterampilan yang
diperlukan dalam proses diagnostik, yaitu:
a. Mengetahui secara jelas tujuan dari asesmen.
b. Pemeriksa harus peka terhadap latar belakang budaya, sosial dan etnis
dirinya, orang lain maupun pengaruh hal-hal tersebut dalam proses
pemeriksaan.
c. Pemeriksa memanfaatkan prosedur pemeriksaan yang baku
d. Dalam mengumpulkan informasi baru tentang subjek, pemeriksa harus
membatasi jumlah data
e. Pemeriksa tidak melakukan spekulasi atau lompatan prosedur tak logis
dalam menginterpretasikan & menarik kesimpulan dari data yang
diperoleh
f. Pemeriksa harus menguasai teori kepribadian untuk menjadi landasan
dalam menganalisis subjek yang diperiksa.

Etika dan Laporan Hasil Pemeriksaan Psikologi


• Masalah etika dalam pemeriksaan psikologik berhubungan erat dengan etika bidang
psikologi pada umumnya.
• Secara ideal dan teoritis, hanya psikologi dan mereka yang mendapat pelatihan khusus
yang berhak dan berwenang untuk menjalankan pemeriksaan psikologik dan
psikodiagnostik.
• Di tinjau dari segi jenis penyelenggaraan tesnya sendiri terdapat berbagai perbedaan
kewenangan dan kompetensi.
Yang menjadi permasalahan dalam etika pemeriksaan psikologi biasanya mencakup hal
berikut ini.
1) Siapa yang berhak melakukan diagnosa psikologik
2) Siapa yang bertanggung jawab untuk mengamankan aparat tes
3) Bagaimana seharusnya seorang diagnostikus bersikap dan bertingkah laku dalam
menegakan suatu diagnosa psikologik.

a. Siapa yang berhak melakukan diagnosa psikologik

Ditinjau dari segi penggunaan diagnosa psikologik dan penyelenggaraanya dapat


dikelompokan sebagai berikut:
 Diagnosa untuk keperluan pelatihan pendidikan : diagnosa ini diselenggarakan khusus
untuk pendidikan psikologi untuk memperoleh keterampilan diagnostik.
 Diagnosa mengenai prestasi belajar : untuk melihat sejauh mana penyelenggaraan
pendidikan telah mencapai hasil yang telah di harapkan.
 Diagnosa dengan menggunakan tes psikologik : penyelenggaraan tes tidak diperkenalkan
oleh sembarang orang melainkan oleh ahli psikologi.

Kouwer membatasi kewenangan menyelenggarakan tes psikologik berdasarkan tiga fungsi


pemeriksaan pasikologik, antara lain:
 Pemeriksaan dengan tujuan memprediksi
 Pemeriksaan dengan tujuan mendeskripsikan
 Pemeriksaan dengan tujuan terapi

b. Siapa yang Bertanggung Jawab untuk Mengamankan Aparat Tes

Cronbach (1969), memberikan pendapat tentang siapa yang berhak mengadakan dan
mendistribusikan material psikologik. Untuk prinsip system kendali pendistribusian ini lihat
Ethical Standards of Psychologist dari American Psychological Association. 1968.
Menurut standar ini, terdapat tiga jenis tes dilihat dari kompleksitasnya, yaitu Level A, Level B,
Level C

c. Bagaimana Seharunya Seorang Diagnostikus Bersikap dan Bertingkahlaku dalam


Suatu Pemerikasaan Psikologik.

Kouwer, memberi gambaran tentang sikap dan tingkah laku pemeriksa dalam pemeriksaan
psikologik melalui bahasan fungsi dan tujuan tes. Antara lain:
1) Etika dalam tes meramalkan/memprediksikan
2) Etika dalam tes mendeskripsikan
3) Etika dalam tes menemukan diri sendiri

Secara umum hubungan yang terjalin antar pemeriksaan dan subyek yang di periksa
haruslah tetap hubungan antar manusia yang saling menghormati dan saling menghargai:
 Tidak menganggap subyek sebagai pasien atau penderita.
 Menjaga rahasia pribadi subyek.
 Membuat diagnosa dengan penuh hati-hati.
 Dengan penuh sipati berusaha memahami kesulitan-kesulitan subyek.
 Memberikan rasa aman bagi subyek yang di periksa, selama pemeriksaan berlagsung.

d. Syarat untuk Membentuk Kemampuan dan Keterampilan Psikodiagnostik

Agar pemeriksaan berhasil dan sesuai dengan tujuan yang telah di tetapkan. Harus ada
kerjasama yang baik antara pemeriksa dan individu yang diperiksa. Untuk hal itu seorang
pemeriksa harus dapat berperan dengan baik, yang ditunjang oleh kemampuan diagnostik dan
perilakunya yang tepat pula
Sundberg menguraikan beberapa kemampuan dan keterampilan yang di perlukan dalam proses
psikodiagnostik:
 Mengetahui secara jelas tujuan dari asesmen
 Asesmen adalah kejadian interpersonal dalam suatu konteks sosial
 Dalam asesmen kepribadian mula mula pemeriksa secara cepat meneliti masalah
 Pemeriksa harus peka terhadap latar belakang budaya
 Pemeriksa memanfaatkan prosedur pemeriksaan yang baku
 Secara umum pemeriksa harus menguasai beberapa teori kepribadian untuk menjadi
landasan dalam menganalisis subyek yang di periksa

Melalui kemampuan dan keterampilan yang dapat di kembangkan melalui pelatihan yang
efektif dan intensif, diharapkan pemeriksa dapat terus menumbuhkan potensi-potensinya dalam
proses psikodiagnostik.
KUALIFIKASI PEMERIKSA (TESTER) DAN LAPORAN PEMERIKSAAN
PSIKOLOGIS
Selama dasawarsa akhir ini banyak dikemukakan kritik terhadap tes, penggunaan tes dan tester.
Tes klinis dianggap tidak realiable, tidak valid, tidak diperlukan dengan alasan-alasan bahwa tes
itu tidak objektif, tes-tes klinis tergantung dari intuisi yang dimiliki oleh pemeriksa/ interpreter,
yang kesemuanya dihubungkan dengan tidak adanya patokan-patokan kuntitatif, dan
ketidakpercayaan kepada deskripsi yang kualitatif.
Robert Holt berpendapat bahwa psikodiagnostik penting untuk kegiatan psikologi klinis, dan
terutama ditunjukan untuk asesmen terhadap kepribadian dan keadaan psikopatologi seseorang.
Brown (1971), mengemukakan bahwa dalam pendidikan untuk menjadi ahli psikodiagnostik,
perlu diadakan latihan analisis dan interpretasi kasus secara “buta” (blind diagnosis), artinya tanpa
mengetahui anamnesis dari klien, kecuali jenis kelamin, umur dan pekerjaan.
Selanjutnya Brown mengemukakan perlunya seorang psikolog klinis mengadakan formulasi
hipotesis dengan N=1, yakni kasus khusus yang dihadapinya, kemudian membenarkan atau
menolak hipotesis tersebut ( sesuai dengan prinsip-prinsip sintetis yang mengatur organisasi
temuan-temuan dari tes), hingga terjadilah suatu kesimpulan yang berarti seperti yang dilakukan
dalam suatu desain eksperimen.
Schafer (1954) , tipe-tipe tester tersebut ialah :
1. Yang hanya melihat kelemahan-kelemahan dan tanda-tanda patologisnyasaja dari
seorang klien, dan tak dapat melihat segi-segi positifnya.
2. Tester yang “ masochhistik”.
3. Tester yang mempunyai rasa identitas diri yang ragu-ragu
4. Tester yang terhambat dalam hubungan sosial
Psikologis klinis atau ahli psikodiagnostik sering mendapat kiriman klien untuk evaluasi
psikologis dari guru, psikiater, sosial worker, neuroulog, dokter umum, psikolog lain,
psikoanalisis, perusahaan, pengadilan ( pengacara, hakim, jaksa) dan lain-lain.
Laporan pemeriksaan psikologis yang ditulisnya hendaknya memperhatikan siapa yang
meminta laporan tersebut; apakah keperluannya, jadi tidak dapat dibuat seragam. Bila kita menulis
laporan hasil pemeriksaan psikologis tentang seorang anak sekolah atau anak usia remaja, yang
akan dibaca oleh guru atau oleh orang tua hendaknya laporan tersebut diserahkan oleh psikolog
dengan penjelasan-penjelasan, agar tidak terjadi salah pengertian tentang suatu hasil.
Kerahasiaan dari suatu laporan terutama ditujukan untuk melindungi kepentingan klien dan
untuk melaksanakan kode etik profesi. Bila laporan pemeriksaan psikologis diminta oleh petugas
hukum, seringkali psikolog diminta membuat laporan kepada psikiater atau hakim untuk urusan-
urusan perceraian, ganti rugi,warisan dan sebagainya. Dalam hal ini psikolog dapat menolak untuk
melakukannya bila ia tidak bersedia dijadikan saksi ahli dalam pengadilan.
Bila seorang psikolog menerima tugas mengadakan evaluasi psikologis untuk suatu perkara
pengadilan, maka ia harus bersedia untuk diuji ( cross xamine) laporannya dengan disertai bukti
dan tidak boleh seorang psikolog terperangkap dalam posisi partisan. Suatu laporan tertulis
mengenai hasil evaluasi psikologis tidak boleh diberikan kepada siapapun kecuali yang meminta,
tanpa ijin tertulis dari klien yang diperiksa.
1. Kerahasian laporan versus hak klien
Psikolog perlu menjaga keharmonisan hubungan antar profesi, antara pemberian jasa dan
pemakai jasa, dan kesejahteraan klien, namun tetap berpegang pada hasil yang objektif.
2. Kode etik himpsi dan kerahasiaan alat-alat tes
Himpsi adalah organisasi yang menaungi sarjana psikologi, psikolog, sarjana non
psikolgi yang mengikuti pendidikan S2 dan psikologi. Kode etik ini dibuat untuk
meningkatkan mutu pelayanan praktik psikologi yang melindungi masyarakat terhadap
mal praktek atau pelayanan psikolog yang merugikan , dan untuk melindungi sesama
psikolog sendiri.
Salah satu hal yang sering dipersoalkan adalah kerahasiaan alat-alat tes psikologi.
Banyak tes yang digunakan oleh psikolog diciptakan bukan oleh psikolog melainkan oleh
psikiater
3. Pokok-pokok bahasan kode etik Himpsi
Kode Etik Psikologi merupakan hasil nilai nilai luhur yang terkandung dalam
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Berdasarkan nilai luhur tersebut Pendidikan
Tinggi Psikologi telah menghasilkan Psikolog dan Ilmuwan Psikologi yang senantiasa
menghargai dan menghormati harkat maupun martabat manusia serta menjunjung tinggi
terpeliharanya hak-hak asasi manusia.

Anda mungkin juga menyukai