Level A : Alat tes yang dapat diadministrasikan, diskor, dan diinterpretasi dengan bantuan manual.
Level B: Memerlukan latar belakang training khusus dalam administrasi, skoring, dan interpretasi;
perlu pehamaman tentang prinsip-prinsip psikometri, sifat-sifat yang diukur, dan latar belakang
keilmuan.
Level C: kategori yang paling ketat. Selain pelatihan administrasi, scoring, dan interpretasi, juga
membutuhkan pemahaman tes secara substantif.
• Menjadi tanggung jawab para ahli yang selalu mengunakan materi tes tersebut
• Menurut Cronbach (1969), penggandaan materi hanya diperkenankan oleh penerbit yang
memiliki kualifikasi dan terbatas. Semakin sulit diinterpretasikan, semakin terbatas yang dapat
menerbitkannya.
• Prinsip sistem kendali pendistribusian dapat dilihat di Ethical Standards of Psychologist dari
APA.
Sikap Hubungan Antara Pemeriksa dan Subjek yang Diperiksa (Sumadi Suryabrata, 1971)
1. Tidak menganggap subjek sebagai pasien atau penderita yang butuh pertolongan, tapi
sebagai manusia yg mempunyai harga diri, keinginan tertentu dengan menghargai latar
belakang agama, politik, & lingkungan sosialnya.
2. Menjaga rahasia pribadi subjek.
3. Membuat diagnosa dengan penuh hati-hati.
4. Penuh simpati dalam memahami kesulitan-kesulitan subjek.
5. Menciptakan rasa aman bagi subjek yang diperiksa selama pemeriksaan berlangsung.
B. Syarat untuk Membentuk Kemampuan dan Keterampilan Psikologi
• Mampu membentuk rapport
• Mampu berempati
• Mampu membangun impresi yang tepat
• Memiliki kematangan/ kedewasaan pribadi
• Mampu bersikap
• Memiliki wawasan yang luas
• Memiliki sensitivitas persepsi/ kepekaan
• Mampu membentuk penyesuaian diri
• Mampu mengevaluasi diri demi keefektifan
Cronbach (1969), memberikan pendapat tentang siapa yang berhak mengadakan dan
mendistribusikan material psikologik. Untuk prinsip system kendali pendistribusian ini lihat
Ethical Standards of Psychologist dari American Psychological Association. 1968.
Menurut standar ini, terdapat tiga jenis tes dilihat dari kompleksitasnya, yaitu Level A, Level B,
Level C
Kouwer, memberi gambaran tentang sikap dan tingkah laku pemeriksa dalam pemeriksaan
psikologik melalui bahasan fungsi dan tujuan tes. Antara lain:
1) Etika dalam tes meramalkan/memprediksikan
2) Etika dalam tes mendeskripsikan
3) Etika dalam tes menemukan diri sendiri
Secara umum hubungan yang terjalin antar pemeriksaan dan subyek yang di periksa
haruslah tetap hubungan antar manusia yang saling menghormati dan saling menghargai:
Tidak menganggap subyek sebagai pasien atau penderita.
Menjaga rahasia pribadi subyek.
Membuat diagnosa dengan penuh hati-hati.
Dengan penuh sipati berusaha memahami kesulitan-kesulitan subyek.
Memberikan rasa aman bagi subyek yang di periksa, selama pemeriksaan berlagsung.
Agar pemeriksaan berhasil dan sesuai dengan tujuan yang telah di tetapkan. Harus ada
kerjasama yang baik antara pemeriksa dan individu yang diperiksa. Untuk hal itu seorang
pemeriksa harus dapat berperan dengan baik, yang ditunjang oleh kemampuan diagnostik dan
perilakunya yang tepat pula
Sundberg menguraikan beberapa kemampuan dan keterampilan yang di perlukan dalam proses
psikodiagnostik:
Mengetahui secara jelas tujuan dari asesmen
Asesmen adalah kejadian interpersonal dalam suatu konteks sosial
Dalam asesmen kepribadian mula mula pemeriksa secara cepat meneliti masalah
Pemeriksa harus peka terhadap latar belakang budaya
Pemeriksa memanfaatkan prosedur pemeriksaan yang baku
Secara umum pemeriksa harus menguasai beberapa teori kepribadian untuk menjadi
landasan dalam menganalisis subyek yang di periksa
Melalui kemampuan dan keterampilan yang dapat di kembangkan melalui pelatihan yang
efektif dan intensif, diharapkan pemeriksa dapat terus menumbuhkan potensi-potensinya dalam
proses psikodiagnostik.
KUALIFIKASI PEMERIKSA (TESTER) DAN LAPORAN PEMERIKSAAN
PSIKOLOGIS
Selama dasawarsa akhir ini banyak dikemukakan kritik terhadap tes, penggunaan tes dan tester.
Tes klinis dianggap tidak realiable, tidak valid, tidak diperlukan dengan alasan-alasan bahwa tes
itu tidak objektif, tes-tes klinis tergantung dari intuisi yang dimiliki oleh pemeriksa/ interpreter,
yang kesemuanya dihubungkan dengan tidak adanya patokan-patokan kuntitatif, dan
ketidakpercayaan kepada deskripsi yang kualitatif.
Robert Holt berpendapat bahwa psikodiagnostik penting untuk kegiatan psikologi klinis, dan
terutama ditunjukan untuk asesmen terhadap kepribadian dan keadaan psikopatologi seseorang.
Brown (1971), mengemukakan bahwa dalam pendidikan untuk menjadi ahli psikodiagnostik,
perlu diadakan latihan analisis dan interpretasi kasus secara “buta” (blind diagnosis), artinya tanpa
mengetahui anamnesis dari klien, kecuali jenis kelamin, umur dan pekerjaan.
Selanjutnya Brown mengemukakan perlunya seorang psikolog klinis mengadakan formulasi
hipotesis dengan N=1, yakni kasus khusus yang dihadapinya, kemudian membenarkan atau
menolak hipotesis tersebut ( sesuai dengan prinsip-prinsip sintetis yang mengatur organisasi
temuan-temuan dari tes), hingga terjadilah suatu kesimpulan yang berarti seperti yang dilakukan
dalam suatu desain eksperimen.
Schafer (1954) , tipe-tipe tester tersebut ialah :
1. Yang hanya melihat kelemahan-kelemahan dan tanda-tanda patologisnyasaja dari
seorang klien, dan tak dapat melihat segi-segi positifnya.
2. Tester yang “ masochhistik”.
3. Tester yang mempunyai rasa identitas diri yang ragu-ragu
4. Tester yang terhambat dalam hubungan sosial
Psikologis klinis atau ahli psikodiagnostik sering mendapat kiriman klien untuk evaluasi
psikologis dari guru, psikiater, sosial worker, neuroulog, dokter umum, psikolog lain,
psikoanalisis, perusahaan, pengadilan ( pengacara, hakim, jaksa) dan lain-lain.
Laporan pemeriksaan psikologis yang ditulisnya hendaknya memperhatikan siapa yang
meminta laporan tersebut; apakah keperluannya, jadi tidak dapat dibuat seragam. Bila kita menulis
laporan hasil pemeriksaan psikologis tentang seorang anak sekolah atau anak usia remaja, yang
akan dibaca oleh guru atau oleh orang tua hendaknya laporan tersebut diserahkan oleh psikolog
dengan penjelasan-penjelasan, agar tidak terjadi salah pengertian tentang suatu hasil.
Kerahasiaan dari suatu laporan terutama ditujukan untuk melindungi kepentingan klien dan
untuk melaksanakan kode etik profesi. Bila laporan pemeriksaan psikologis diminta oleh petugas
hukum, seringkali psikolog diminta membuat laporan kepada psikiater atau hakim untuk urusan-
urusan perceraian, ganti rugi,warisan dan sebagainya. Dalam hal ini psikolog dapat menolak untuk
melakukannya bila ia tidak bersedia dijadikan saksi ahli dalam pengadilan.
Bila seorang psikolog menerima tugas mengadakan evaluasi psikologis untuk suatu perkara
pengadilan, maka ia harus bersedia untuk diuji ( cross xamine) laporannya dengan disertai bukti
dan tidak boleh seorang psikolog terperangkap dalam posisi partisan. Suatu laporan tertulis
mengenai hasil evaluasi psikologis tidak boleh diberikan kepada siapapun kecuali yang meminta,
tanpa ijin tertulis dari klien yang diperiksa.
1. Kerahasian laporan versus hak klien
Psikolog perlu menjaga keharmonisan hubungan antar profesi, antara pemberian jasa dan
pemakai jasa, dan kesejahteraan klien, namun tetap berpegang pada hasil yang objektif.
2. Kode etik himpsi dan kerahasiaan alat-alat tes
Himpsi adalah organisasi yang menaungi sarjana psikologi, psikolog, sarjana non
psikolgi yang mengikuti pendidikan S2 dan psikologi. Kode etik ini dibuat untuk
meningkatkan mutu pelayanan praktik psikologi yang melindungi masyarakat terhadap
mal praktek atau pelayanan psikolog yang merugikan , dan untuk melindungi sesama
psikolog sendiri.
Salah satu hal yang sering dipersoalkan adalah kerahasiaan alat-alat tes psikologi.
Banyak tes yang digunakan oleh psikolog diciptakan bukan oleh psikolog melainkan oleh
psikiater
3. Pokok-pokok bahasan kode etik Himpsi
Kode Etik Psikologi merupakan hasil nilai nilai luhur yang terkandung dalam
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Berdasarkan nilai luhur tersebut Pendidikan
Tinggi Psikologi telah menghasilkan Psikolog dan Ilmuwan Psikologi yang senantiasa
menghargai dan menghormati harkat maupun martabat manusia serta menjunjung tinggi
terpeliharanya hak-hak asasi manusia.