Kode Etik
Psikologi
Pengantar Kode Etik Psikologi
Indonesia
01
Psikologi Psikologi 61035 Shinta Utami, M.Psi., Psikolog
Abstract Kompetensi
Dalam materi ini akan menjelaskan Mampu mengetahui pengertian dari
pengantar kode etik psikologi yang etika, moral dan akhlak, mengetahui
mengatur tata perilaku lulusan sejarah kode etik psikologi di Indonesia
psikologi dalam menjalankan profesi. dan etika dalam eksperimen psikologi.
Pembahasan
Etika, Moral dan Akhlak
Istilah ‘etika’ berasal dari bahasa Yunani kuno, baik dalam bentuk tunggal “ethos” yang
berarti tempat tinggal yang biasa, akhlak, watak, perasaan, sikap, cara berpikir, maupun
dalam bentuk jamak “ta etha” yang berarti adat kebiasaan. Aristoteles (384-322 S.M) sudah
memakai kata etika saat menunjukkan filsafat moral, sehingga jika dibatasi secara etimologi
etika adalah ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan
(Bertens, 2001).
Kata “etika” juga memiliki kedekatan arti dengan “moral” yang diambil dari bahasa Latin
mos (jamak: mores) dan menunjukkan arti yang sama dengan etika, yaitu kebiasaan, adat.
Menurut Poerwadarminta (dalam Bertens, 2001) pada Kamus Umum Bahasa Indonesia, etika
adalah ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral). Namun kamus tersebut hanya
menganggap etika sebagai ilmu sehingga terdapat arti “etika” yang baru pada Kamus Besar
Bahasa Indonesia (dalam Bertens, 2001) yaitu ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk
dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak); kumpulan asas atau nilai yang berkenaan
dengan akhlak; nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Lebih lanjut Bertens (2001) menjelaskan bahwa meskipun secara etimologi moral memiliki
pengertian yang sama seperti etika, namun dapat disimpulkan bahwa moral bermakna nilai-
nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok sebagai
pengatur tingah laku. Misal, pergaulan bebas remaja yang ditunjukkan dengan perilaku seks
bebas maupun penggunaan narkoba dikatakan sebagai perilaku tidak bermoral. Hal tersebut
menunjukkan bahwa remaja yang bersikap demikian telah melanggar nilai dan norma yang
berlaku di masyarakat atau memiliki nilai dan norma yang tidak baik.
Dalam penggunaan kata etika, seringkali digantikan dengan kata etiket. Kedua kata
tersebut memang memiliki persamaan namun juga memiliki perbedaan arti. Secara
persamaan, etika dan etiket menyangkut perilaku manusia sehingga dalam penggunaan
bahasa kedua kata tersebut selalu diikuti dengan perilaku manusia. Selain itu, etika dan etiket
mengatur perilaku manusia terkait perilaku yang boleh dilakukan dan tidak. Namun, terdapat
perbedaan penting antara kedua kata tersebut, yaitu:
a. Etiket menunjukkan cara atas perilaku manusia, seperti harus makan menggunakan
tangan kanan.
Sementara akhlak, secara bahasa merupakan bentuk jamak dari khuluq yang memiliki arti
tingkah laku, perangai dan tabiat. Secara istilah akhlak merupakan daya kekuatan individu
yang ia miliki sehingga mendorongnya untuk melakukan suatu tindakan tanpa dipikirkan
kembali, meskipun demikian perbuatan tersebut bukan berarti individu tersebut melakukannya
dalam keadaan tidak sadar atau hilang ingatan. Akhlak pun muncul dari proses belajar agama
yang terinternalisasi ke diri individu sehingga teranam kuat menjadi khas kepribadiannya.
Dalam pelaksanaannya, akhlak dilakukan didasarkan nilai ketuhanan sehingga tidak ada
unsur paksaan, bersifat ikhlas dan tidak berpura-pura (Azra, 2002).
Awal mula kode etik profesi dikenal oleh dunia adalah Sumpah Hippokrates yang
dipandang sebagai sumpah kode etik profesi dokter. Hippokrates merupakan dokter Yunani
Kuno dan sumpah tersebut meskipun belum tentu berasal langsung dari Hippokrates namun
murid-murid Hippokrates dianggap sebagai penerus perjuangan Hippokrates saat itu
(Bertens, 2001).
Sebagai contoh pentingnya kode etik dalam profesi adalah antara dokter dan farmasi.
Dokter memiliki kuasa penuh atas pemberian resep obat terhadap penyakit-penyakit
pasiennya, sementara farmasi melakukan kerjasama dengan dokter melalui promosi obat
yang diharapkan dapat dijadikan acuan oleh dokter untuk diresepkan kepada pasien. Jika hal
tersebut berhasil, maka pihak farmasi akan memberikan sejumlah bonus seperti liburan bagi
dokter. Dokter yang memiliki kecenderungan untuk mengambil untung pribadi dibanding
kepentingan pasien menunjukkan perilaku yang kurang etis karena dokter mengambil
keuntungan pribadi melalui farmasi, sementara pasien menaruh harapan penuh kepada
dokter dan tidak tahu menahu obat-obatan yang paling sesuai untuk penyakitnya, selain itu,
memungkinkan dokter yang sesuai dengan kerjasama farmasi memiliki harga yang lebih
mahal dibandingkan obat generik. Untuk mengatasi kekhawatiran masyarakat maupun
pasien, maka kode etik dari kedokteran maupun farmasi dapat menjadi acuan dasar agar
kedua profesi tersebut melakukan tugasnya sesuai dengan kode etik masing-masing profesi.
Kode etik profesi berhasil dalam menyelesaikan masalah kekhawatiran masyarakat dan
mampu mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap profesi tersebut (Bertens, 2001).
Menurut Bertens (2001), syarat agar kode etik profesi dapat berjalan sesuai fungsinya
adalah:
a. Kode etik harus dibuat oleh kalangan profesi itu sendiri. Hal ini dikarenakan yang
memahami, mencintai dan menjiwai profesi tersebut adalah individu-individu di
kalangan profesi itu sendiri sehingga jika kode etik dibuat oleh instansi pemerintahan
atau pemerintah pusat, maka kode etik tidak akan berjalan efektif. Meskipun demikian,
pihak luar seperti pemerintah dapat membantu merumuskannya, namun
pembuatannya tetap dilakukan oleh kalanprofesi yang bersangkutan.
b. Kode etik profesi menjadi self-regulation atau pengaturan diri bagi para kalangan
profesi agar tercapai nilai-nilai moral profesi dan pelaksanaannya berdasarkan hati
nurani dan tanpa paksaan pihak luar.
c. Kode etik harus secara terus menerus diawasi. Kode etik tidak hanya menjadi
pedoman kalangan profesi untuk bersikap dan berperilaku yang sesuai dengan
American Psychological Association (APA) sebagai organisasi ilmiah dan profesional yang
mewakili psikolog di Amerika Serikat sudah selama lima decade membentuk dan merevisi
kode etik yang menjadi refleksi antara aspek aspirasi dan aspek keputusan etik yang dibuat
oleh para anggota profesi. Revisi berkelanjutan terkait kode etik APA didorong oleh keinginan
akan standar yang akan mendorong usaha para psikolog, memastikan kesejahteraan
masyarakat, mempromosikan hubungan yang baik antar rekan sejawat dan mempromosikan
kedudukan profesional dari disiplin ilmu (Hobbs, dalam Fisher, 2003). Setelah kode etik
pertama dibuat, tinjauan serta revisi secara berkala dilakukan berdasarkan pengalaman dan
perspektif para anggota APA dan menghasilkan Sembilan kali revisi sejak tahun 1953. Sejak
awal sejarahnya yang lebih dari 50 tahun, setiap revisi APA tentang psikolog dan tata perilaku
berlandaskan tujuan berikut (Hobbs, dalam Fisher, 2003):
Kode etik Psikologi di Indonesia diatur dalam HIMPSI (Himpunan Psikologi Indonesia)
yang mencakup seluruh lulusan psikologi di Indonesia, baik S1, S2, maupun S3. Sebelum
berganti nama menjadi HIMPSI, pada tanggal 11 Juli 1959 dibentuklah ISPSI (Ikatan Sarjana
Psikologi Indonesia). Perubahan nama tersebut dikarenakan adanya perubahan kurikulum
pendidikan psikologi di Indonesia di tahun 1992 yang memisahkan jenjang pendidikan
sebelumnya yang berada di bawah pendidikan sarjana psikologi, yang kemudian menjadi
program magister profesi psikologi. Sejalan dengan perubahan nama, pada tahun 2000
disusun kembali Kode Etik Psikologi Indonesia yang merupakan penyesuaian dari Kode Etik
Sarjana Psikologi Indonesia yang dimiliki oleh ISPSI. Kode etik tersebut berisi mukadimah,
batang isi yang terdiri dari tujuh bab, serta lampiran pedoman pelaksanaan. Dalam
melaksanakan profesi, lulusan psikologi di Indonesia seharusnya memperhatikan Kode Etik
Dalam usaha memudahkan kalangan profesi mengambil keputusan atau tindakan terkait
etika, Winter (dalam Hasan, 2009) bahkan mengembangkan berbagai langkah yang dapat
ditempuh:
Tokoh lain, yaitu McDonald (Hasan, 2009) mengembangkan perangkat lunak Ethics
Shareware yang berfungsi untuk mengambil keputusan etika dengan melalui langkah-langkah
berikut:
a. Identifikasi masalah.
b. Menguraikan alternatif yang mungkin.
c. Menggunakan sumber daya etika untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang signifikan
untuk masing-masing alternatif.
d. Mengusulkan dan menguji resolusi yang memungkinkan.
e. Membuat pilihan.
Meskipun tokoh di atas telah mengupayakan cara baru untuk memudahkan kalangan
profesi dalam mengambil tindakan yang tepat agar terhindar dari masalah kode etik, namun
pemanfaatan sumber daya manusia masih dianggap sebagai cara yang terbaik sebelum
mengambil keputusan yang menyangkut kode etik, yaitu seperti bertanya dengan rekan
sejawat atau supervisor untuk dapat memberikan pertimbangan sebelum kita memilih dan
melakukan tindakan. Kegiatan mencatat keputusan yang diikuti dengan alasan mengambil
leputusan tersebut pun dianggap efektif agar kita mampu mempertanggungjawabkan segala
tindakan yang kita ambil (Hasan, 2009).
Dalam beberapa kali jawaban salah dan kejutan listrik diberikan, banyak subyek yang
menyatakan keinginannya untuk mengundurkan diri dari eksperimen dan ingin memeriksa
“murid”, sebutan untuk aktor di dalam eksperimen Milgram. Namun, mereka tetap melakukan
tugasnya sebagai “guru” sebutan untuk subyek di eksperimen Milgram, setelah diyakinkan
oleh eksperimenter bahwa mereka tidak akan bertanggungjawab atas kondisi “murid”. Jika
keinginan untuk mengundurkan diri kembali muncul, eksperimenter memberikan pernyataan
yang mendorong “guru” tetap melakukan penelitian. Hasilnya, banyak “guru” yang
melanjutkan eksperimen hingga kejutan listrik 300 volt meskipun merasa bertentangan
dengan hati nurani, ada peserta yang embali mempertanyakan tujuan penelitian dan ada
peserta yang mengembalikan uang partisipasi penelitian. Sebelum melakukan penelitian,
Milgram menanyakan pendapat 40 psikolog terkait eksperimennya dan seluruhnya meyakini
bahwa ‘guru’ akan menolak perintah eksperimenter untuk melanjutkan pemberian kejut listrik
ke ‘murid’ dan berpendapat bahwa hanya 1,2% subyek yang sadis untuk memberikan kejut
listrik hingga 450 volt. Namun dari eksperimen tersebut adalah 65% subyek patuh untuk
melaksanakan kejut listrik maksimum sampai diminta berhenti oleh eksperimenter dan hasil
tersebut tidak berubah signifikan meskipun subyeknya adalah perempuan (Hasan, 2009).
Hasil eksperimen Milgram (Hasan, 2009) terkait kepatuhan terhadap figur otoritas dapat
dijelaskan dua teori antara lain:
a. Teori konformitas, yaitu teori yang membahas terkait hubungan fundamental antara
kelompok acuan dan individu. Ketika subyek tidak memiliki kekuasaan, keahlian atau
Eksperimen lainnya yang juga menarik perhatian terkait etika dalam melakukan penelitian
adalah Philip Zimbardo terkait eksperimen penjara Stanford pada tahun 1971. Dalam
eksperimennya tersebut, Zimbardo ingin melihat respon manusia terhadap penahanan dan
pengaruh perilaku, baik pada figur otoritas maupun penghuni penjara. Pada penelitian ini,
Zimbardo dan tim menajak relawan dari kalangan mahasiswa tingkat sarjana muda untuk
berperan sebagai penjaga maupun tahanan. Zimbardo memilih 24 laki-laki yang memiliki
kepribadian stabil dan sehat secara psikologis dan umumnya pria berkulit putih dan berasal
dari kalangan menengah. Para penjaga diberi pentungan kayu, seragam menyerupai
seragam militer dan kacamata hitam untuk menghindari kontak mata.sementara tahanan
menggunakan pakaian luar longgar, rantai kaki dan sandal kaki keras yang akan memaksa
mereka untuk menyesuaikan keadaan tubuh yang tidak biasa dan merasa ketidaknyamanan
(Hasan, 2009).
Zimbardo memberikan aturan main untuk para penjaga bahwa mereka tidak
diperbolehkan untuk melakukan kekerasan fisik, memiliki tanggung jawab penuh dalam
menjalankan penjara dan dapat melakukan hal sesuai dengan keinginan mereka. Sementara
para tahanan diminta untuk menunggu hingga mereka ditangkap tanpa perencanaan dan
segera ditindaklanjuti sesuai prosedur kepolisian dalam menangani tindak kriminalitas serta
dibawa ke penjara tiruan yang telah dirancang oleh Zimbardo untuk keperluan eksperimen.
Pada masa awal penahanan, para tahanan mendapatkan pengalaman sadis dan
Lebih jauh lagi, para penjara melakukan penyiksaan dengan memberikan hukuman olah
raga dengan waktu yang panjang, kondisi kamar tahanan yang kotor, tahanan diminta
membersihkan toilet dengan tangan kosong, larangan untuk menggunakan toilet, tidur
telanjang di lantai beton, hingga menerima pelecehan seksual. Tidak hanya para penjaga
yang telah menginternalisasi peran-perannya, namun para tahanan pun mulai menghadapi
perasaan frustrasi dan tidak berdaya dalam menghadapi perilaku penjaga. Hasilnya,
beberapa tahanan melakukan pemberontakan dan perkelahian dengan para penjaga, serta
beberapa tahanan mengalami ledakan emosional agar dapat menghindar dari hukuman yang
diberikan penjaga. Karena situasi eksperimen yang semakin di luar kendali, Zimbardo
memutuskan untuk menghentikan penelitian yang telah dilakukan selama enam hari dari dua
minggu jadwal yang telah ditentukan. Penghentian eksperimen juga dilakukan karena
Christina Maslach (mahasiswi pascasarjana) yang mempertanyakan etika penelitian yang
dilakukan Zimbardo. Setelah eksperimen dihentikan, Zimbardo mengadakan sesi encounter
untuk mengetahui perasaan seluruh partisipan penelitian (Hasan, 2009).
Hasil eksperimen tersebut menunjukkan manusia yang mudah terpengaruh dan bersikap
patuh ketika ia dihadapkan dengan situasi institusional yang memiliki kekuatan hukum. Selain
dikritik dalam segi etika, eksperimen yang hanya memiliki 24 partisipan dan berlangsung
selama enam hari inipun dipertanyakan generalitas hasil penelitian agar dapat digunakan
untuk penelitian selanjutnya. Bahkan, Erich Fromm (Tokoh Psikologi Humanis) memandang
bahwa hasil penelitian yang menyatakan bahwa hanya situasi penjara yang mempengaruhi
perilaku individu terbantahkan karena perilaku penjaga maupun tahanan dipengaruhi oleh ciri
kepribadian masing-masing individu.
Di samping kontra yang muncul pasca eksperimen, hasil penelitian Zimbardo cukup
memberikan kontribusi penting terhadap gambaran kehidupan penjara. Zimbardo pun
dilibatkan untuk menjelaskan hasil penelitiannya ketika terjadi peristiwa revolusi berdarah di
penjara San Quentin dan peritiwa perang teluk untuk menjelaskan perilaku oknum tentara
yang melakukan penyiksaan tahanan Ira di Abu Ghraib pada tahun 2003 (Hasan, 2009). Video
terkait eksperimen dapat dilihat: https://www.youtube.com/watch?v=sZwfNs1pqG0
Azra, A. 2002. Pendidikan agama Islam pada perguruan tinggi umum. Jakarta: Direktur
Perguruan Tinggi Agama Islam.
Fisher, C. B. (2003). Decoding the ethics code: a practical guide for psychologists.
California: Sage Publications, Inc.
Hasan, A. 2009. Kode etik psikolog dan ilmuwan psikologi. Yogyakarta : Graha Ilmu