Anda di halaman 1dari 10

MODUL PERKULIAHAN

Kode Etik
Psikologi
Pengantar Kode Etik Psikologi
Indonesia

Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh

01
Psikologi Psikologi 61035 Shinta Utami, M.Psi., Psikolog

Abstract Kompetensi
Dalam materi ini akan menjelaskan Mampu mengetahui pengertian dari
pengantar kode etik psikologi yang etika, moral dan akhlak, mengetahui
mengatur tata perilaku lulusan sejarah kode etik psikologi di Indonesia
psikologi dalam menjalankan profesi. dan etika dalam eksperimen psikologi.
Pembahasan
Etika, Moral dan Akhlak

Istilah ‘etika’ berasal dari bahasa Yunani kuno, baik dalam bentuk tunggal “ethos” yang
berarti tempat tinggal yang biasa, akhlak, watak, perasaan, sikap, cara berpikir, maupun
dalam bentuk jamak “ta etha” yang berarti adat kebiasaan. Aristoteles (384-322 S.M) sudah
memakai kata etika saat menunjukkan filsafat moral, sehingga jika dibatasi secara etimologi
etika adalah ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan
(Bertens, 2001).

Kata “etika” juga memiliki kedekatan arti dengan “moral” yang diambil dari bahasa Latin
mos (jamak: mores) dan menunjukkan arti yang sama dengan etika, yaitu kebiasaan, adat.
Menurut Poerwadarminta (dalam Bertens, 2001) pada Kamus Umum Bahasa Indonesia, etika
adalah ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral). Namun kamus tersebut hanya
menganggap etika sebagai ilmu sehingga terdapat arti “etika” yang baru pada Kamus Besar
Bahasa Indonesia (dalam Bertens, 2001) yaitu ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk
dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak); kumpulan asas atau nilai yang berkenaan
dengan akhlak; nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.

Lebih lanjut Bertens (2001) menjelaskan bahwa meskipun secara etimologi moral memiliki
pengertian yang sama seperti etika, namun dapat disimpulkan bahwa moral bermakna nilai-
nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok sebagai
pengatur tingah laku. Misal, pergaulan bebas remaja yang ditunjukkan dengan perilaku seks
bebas maupun penggunaan narkoba dikatakan sebagai perilaku tidak bermoral. Hal tersebut
menunjukkan bahwa remaja yang bersikap demikian telah melanggar nilai dan norma yang
berlaku di masyarakat atau memiliki nilai dan norma yang tidak baik.

Dalam penggunaan kata etika, seringkali digantikan dengan kata etiket. Kedua kata
tersebut memang memiliki persamaan namun juga memiliki perbedaan arti. Secara
persamaan, etika dan etiket menyangkut perilaku manusia sehingga dalam penggunaan
bahasa kedua kata tersebut selalu diikuti dengan perilaku manusia. Selain itu, etika dan etiket
mengatur perilaku manusia terkait perilaku yang boleh dilakukan dan tidak. Namun, terdapat
perbedaan penting antara kedua kata tersebut, yaitu:

a. Etiket menunjukkan cara atas perilaku manusia, seperti harus makan menggunakan
tangan kanan.

2017 Kode Etik Psikologi Pusat Bahan Ajar dan eLearning


2 Shinta Utami, M.Psi., Psikolog http://www.mercubuana.ac.id
b. Etiket hanya berlaku di dalam pergaulan serta berlaku baik ketika ada orang lain
maupun tidak, seperti orang yang makan berbunyi akan berusaha untuk tidak berbunyi
jika ada orang lain karena di dalam pergaulan hal tersebut kurang menunjukkan etiket
namun akan kembali makan dengan berbunyi jika tida orang lain yang melihat.
Sementara etiket tetap berlaku meskipun tidak ada orang lain adalah seperti mencuri
barang orang lain.
c. Etiket bersifat relatif, yaitu hal yang dianggap sopan di kebudayaan lain, belum tentu
menunjukkan hal yang sama di kebudayaan lain dan terakhir.
d. Etika lebih menunjukkan manusia dari segi dalam, sementara etiket menunjukkan
perilaku manusia dari segi lahiriah (Bertens, 2001).

Sementara akhlak, secara bahasa merupakan bentuk jamak dari khuluq yang memiliki arti
tingkah laku, perangai dan tabiat. Secara istilah akhlak merupakan daya kekuatan individu
yang ia miliki sehingga mendorongnya untuk melakukan suatu tindakan tanpa dipikirkan
kembali, meskipun demikian perbuatan tersebut bukan berarti individu tersebut melakukannya
dalam keadaan tidak sadar atau hilang ingatan. Akhlak pun muncul dari proses belajar agama
yang terinternalisasi ke diri individu sehingga teranam kuat menjadi khas kepribadiannya.
Dalam pelaksanaannya, akhlak dilakukan didasarkan nilai ketuhanan sehingga tidak ada
unsur paksaan, bersifat ikhlas dan tidak berpura-pura (Azra, 2002).

Kode Etik Psikologi Indonesia

Awal mula kode etik profesi dikenal oleh dunia adalah Sumpah Hippokrates yang
dipandang sebagai sumpah kode etik profesi dokter. Hippokrates merupakan dokter Yunani
Kuno dan sumpah tersebut meskipun belum tentu berasal langsung dari Hippokrates namun
murid-murid Hippokrates dianggap sebagai penerus perjuangan Hippokrates saat itu
(Bertens, 2001).

Camenisch (dalam Bertens, 2001) menyatakan bahwa profesi merupakan suatu


masyarakat moral yang memiliki cita-cita yang sama sehingga membentuk suatu profesi
berdasarkkan kesamaan latar belakang pendidikan dan memiliki keahlian yang tertutup bagi
orang lain sehingga profesi tersebut memiliki kekuasaan tersendiri. Namun, tertutupnya
keahlian tersebut untuk orang lain menjadikan individu yang membutuhkan jasa profesinya
khawatir akan keamanan diri sebagai pengguna jasa. Oleh karena itu, dalam beberapa profesi
tertentu memiliki kode etik yang akan menjamin individu yang menggunakan jasa profesi
bahwa kepentingannya akan terjamin serta membentuk rasa percaya antara individu dengan
profesi tersebut. Menurut Bertens (2001), kode etik bagaikan kompas yang menunjukkan arah

2017 Kode Etik Psikologi Pusat Bahan Ajar dan eLearning


3 Shinta Utami, M.Psi., Psikolog http://www.mercubuana.ac.id
moral suatu profesi dan sekaligus menjamin mutu moral profesi di mata masyarakat. Seiring
perkembangan zaman, kode etik tidak bersifat kaku sehingga dapat diperbaharui dan diubah
jika terjadi kebingungan, penyalahgunaan atau keresahan masyarakat atas kode etik tersebut,
bahkan kode etik dapat dibuat baru jika suatu profesi sebelumnya tidak memiliki kode etik
yang mengatur profesi tersebut. Tujuan dari adanya pembuatan maupun revisi kode etik tidak
lain adalah untuk membangun kepercayaan masyarakat terhadap profesi yang ada dan yang
akan ia gunakan di kemudian hari.

Sebagai contoh pentingnya kode etik dalam profesi adalah antara dokter dan farmasi.
Dokter memiliki kuasa penuh atas pemberian resep obat terhadap penyakit-penyakit
pasiennya, sementara farmasi melakukan kerjasama dengan dokter melalui promosi obat
yang diharapkan dapat dijadikan acuan oleh dokter untuk diresepkan kepada pasien. Jika hal
tersebut berhasil, maka pihak farmasi akan memberikan sejumlah bonus seperti liburan bagi
dokter. Dokter yang memiliki kecenderungan untuk mengambil untung pribadi dibanding
kepentingan pasien menunjukkan perilaku yang kurang etis karena dokter mengambil
keuntungan pribadi melalui farmasi, sementara pasien menaruh harapan penuh kepada
dokter dan tidak tahu menahu obat-obatan yang paling sesuai untuk penyakitnya, selain itu,
memungkinkan dokter yang sesuai dengan kerjasama farmasi memiliki harga yang lebih
mahal dibandingkan obat generik. Untuk mengatasi kekhawatiran masyarakat maupun
pasien, maka kode etik dari kedokteran maupun farmasi dapat menjadi acuan dasar agar
kedua profesi tersebut melakukan tugasnya sesuai dengan kode etik masing-masing profesi.
Kode etik profesi berhasil dalam menyelesaikan masalah kekhawatiran masyarakat dan
mampu mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap profesi tersebut (Bertens, 2001).

Menurut Bertens (2001), syarat agar kode etik profesi dapat berjalan sesuai fungsinya
adalah:

a. Kode etik harus dibuat oleh kalangan profesi itu sendiri. Hal ini dikarenakan yang
memahami, mencintai dan menjiwai profesi tersebut adalah individu-individu di
kalangan profesi itu sendiri sehingga jika kode etik dibuat oleh instansi pemerintahan
atau pemerintah pusat, maka kode etik tidak akan berjalan efektif. Meskipun demikian,
pihak luar seperti pemerintah dapat membantu merumuskannya, namun
pembuatannya tetap dilakukan oleh kalanprofesi yang bersangkutan.
b. Kode etik profesi menjadi self-regulation atau pengaturan diri bagi para kalangan
profesi agar tercapai nilai-nilai moral profesi dan pelaksanaannya berdasarkan hati
nurani dan tanpa paksaan pihak luar.
c. Kode etik harus secara terus menerus diawasi. Kode etik tidak hanya menjadi
pedoman kalangan profesi untuk bersikap dan berperilaku yang sesuai dengan

2017 Kode Etik Psikologi Pusat Bahan Ajar dan eLearning


4 Shinta Utami, M.Psi., Psikolog http://www.mercubuana.ac.id
profesinya saja, namun kalangan profesi dapat bertindak tegas terhadap pelanggaran
yang dilakukan oleh invididu profesi tersebut. Hal ini bertujuan untuk mencegah
terjadinya perilaku yang tidak etis. Seringkali di dalam kalangan profesi akan saling
mengatur jika diantara mereka melihat pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh
rekan sejawatnya.

American Psychological Association (APA) sebagai organisasi ilmiah dan profesional yang
mewakili psikolog di Amerika Serikat sudah selama lima decade membentuk dan merevisi
kode etik yang menjadi refleksi antara aspek aspirasi dan aspek keputusan etik yang dibuat
oleh para anggota profesi. Revisi berkelanjutan terkait kode etik APA didorong oleh keinginan
akan standar yang akan mendorong usaha para psikolog, memastikan kesejahteraan
masyarakat, mempromosikan hubungan yang baik antar rekan sejawat dan mempromosikan
kedudukan profesional dari disiplin ilmu (Hobbs, dalam Fisher, 2003). Setelah kode etik
pertama dibuat, tinjauan serta revisi secara berkala dilakukan berdasarkan pengalaman dan
perspektif para anggota APA dan menghasilkan Sembilan kali revisi sejak tahun 1953. Sejak
awal sejarahnya yang lebih dari 50 tahun, setiap revisi APA tentang psikolog dan tata perilaku
berlandaskan tujuan berikut (Hobbs, dalam Fisher, 2003):

a. Untuk memberikan etika praktik terbaik di lapangan sebagaimana yang telah


dilakukan oleh sebagian besar sampel anggota dari APA.
b. Untuk mencerminkan system nilai dan aturan perilaku secara jelas.
c. Agar sesuai dengan berbagai aktivitas dan hubungan peran dalam menjalankan
tugas sebagai psikolog.
d. Memiliki partisipasi seluas mungkin di kalangan psikolog dalam mengembangkan diri.
e. Untuk memberikan pengaruh tata perilaku psikolog dengan menerapkan identifikasi
dan menerima secara luas perilaku antar anggota disiplin.

Kode etik Psikologi di Indonesia diatur dalam HIMPSI (Himpunan Psikologi Indonesia)
yang mencakup seluruh lulusan psikologi di Indonesia, baik S1, S2, maupun S3. Sebelum
berganti nama menjadi HIMPSI, pada tanggal 11 Juli 1959 dibentuklah ISPSI (Ikatan Sarjana
Psikologi Indonesia). Perubahan nama tersebut dikarenakan adanya perubahan kurikulum
pendidikan psikologi di Indonesia di tahun 1992 yang memisahkan jenjang pendidikan
sebelumnya yang berada di bawah pendidikan sarjana psikologi, yang kemudian menjadi
program magister profesi psikologi. Sejalan dengan perubahan nama, pada tahun 2000
disusun kembali Kode Etik Psikologi Indonesia yang merupakan penyesuaian dari Kode Etik
Sarjana Psikologi Indonesia yang dimiliki oleh ISPSI. Kode etik tersebut berisi mukadimah,
batang isi yang terdiri dari tujuh bab, serta lampiran pedoman pelaksanaan. Dalam
melaksanakan profesi, lulusan psikologi di Indonesia seharusnya memperhatikan Kode Etik

2017 Kode Etik Psikologi Pusat Bahan Ajar dan eLearning


5 Shinta Utami, M.Psi., Psikolog http://www.mercubuana.ac.id
Psikologi Indonesia. Akan tetapi pelaksanaan tersebut terkadang menjadi tidak mudah karena
terjadi pelanggaran di pasal-pasal yang ada di Kode Etik Psikologi Indonesia, baik sengaja
maupun tidak sengaja sehingga Majelis Psikologi yang dimiliki oleh HIMPSI di tingkat wilayah
dan pusat memiliki peranan penting untuk menyelesaikan laporan pelanggaran kode etik
psikologi dan mengambil keputusan atas kode etik yang dilanggar (Hasan, 2009).

Dalam usaha memudahkan kalangan profesi mengambil keputusan atau tindakan terkait
etika, Winter (dalam Hasan, 2009) bahkan mengembangkan berbagai langkah yang dapat
ditempuh:

a. Pengenalan terhadap masalah etika.


b. Mendapatkan gambaran fakta.
c. Mengevaluasi alternatif tindakan berdasarkan berbagai perspektif etika.
d. Membuat keputusan dan mengujinya.
e. Melakukan tindakan dan melakukan perenungan terhadap segala hal yang terjadi.

Tokoh lain, yaitu McDonald (Hasan, 2009) mengembangkan perangkat lunak Ethics
Shareware yang berfungsi untuk mengambil keputusan etika dengan melalui langkah-langkah
berikut:

a. Identifikasi masalah.
b. Menguraikan alternatif yang mungkin.
c. Menggunakan sumber daya etika untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang signifikan
untuk masing-masing alternatif.
d. Mengusulkan dan menguji resolusi yang memungkinkan.
e. Membuat pilihan.

Meskipun tokoh di atas telah mengupayakan cara baru untuk memudahkan kalangan
profesi dalam mengambil tindakan yang tepat agar terhindar dari masalah kode etik, namun
pemanfaatan sumber daya manusia masih dianggap sebagai cara yang terbaik sebelum
mengambil keputusan yang menyangkut kode etik, yaitu seperti bertanya dengan rekan
sejawat atau supervisor untuk dapat memberikan pertimbangan sebelum kita memilih dan
melakukan tindakan. Kegiatan mencatat keputusan yang diikuti dengan alasan mengambil
leputusan tersebut pun dianggap efektif agar kita mampu mempertanggungjawabkan segala
tindakan yang kita ambil (Hasan, 2009).

2017 Kode Etik Psikologi Pusat Bahan Ajar dan eLearning


6 Shinta Utami, M.Psi., Psikolog http://www.mercubuana.ac.id
Etika dalam Eksperimen Psikologi

Dalam melakukan eksperimen psikologi, peneliti tidak hanya memperhatikan kesediaan


subyek untuk terlibat di dalam penelitian, tetapi juga peneliti juga harus memperhatikan etika
serta dampak yang akan muncul setelah eksperimen tersebut dilaksanakan. Sebagai contoh
adalah penelitian yang dilakukan oleh Stanley Milgram (Hasan, 2009) yang melakukan
eksperimen untuk mengukur keinginan subyek penelitian dalam mematuhi tokoh otoritas yang
memberikan mereka instruksi untuk melakukan tindakan yang bertentangan dengan hati
nurani. Cara kerja eksperimen Milgram adalah eksperimenter akan memerintahkan subyek
untuk memberikan yang dipercayainya sebagai kejutan listrik ke subyek lainnya, namun
kejutan listrik ini sebenarnya tidak ada dan subyek yang menerima kejutan listrik merupakan
aktor. Ketika mereka ditempatkan di ruangan yang terpisah, subyek percaya bahwa jika aktor
salah menjawab pertanyaan darinya, maka aktor akan mendapatkan kejutan listrik. Voltasi
listrik akan semakin meningkat hingga mencapai 450 volt jika subyek terus menjawab
pertanyaan dengan salah.

Dalam beberapa kali jawaban salah dan kejutan listrik diberikan, banyak subyek yang
menyatakan keinginannya untuk mengundurkan diri dari eksperimen dan ingin memeriksa
“murid”, sebutan untuk aktor di dalam eksperimen Milgram. Namun, mereka tetap melakukan
tugasnya sebagai “guru” sebutan untuk subyek di eksperimen Milgram, setelah diyakinkan
oleh eksperimenter bahwa mereka tidak akan bertanggungjawab atas kondisi “murid”. Jika
keinginan untuk mengundurkan diri kembali muncul, eksperimenter memberikan pernyataan
yang mendorong “guru” tetap melakukan penelitian. Hasilnya, banyak “guru” yang
melanjutkan eksperimen hingga kejutan listrik 300 volt meskipun merasa bertentangan
dengan hati nurani, ada peserta yang embali mempertanyakan tujuan penelitian dan ada
peserta yang mengembalikan uang partisipasi penelitian. Sebelum melakukan penelitian,
Milgram menanyakan pendapat 40 psikolog terkait eksperimennya dan seluruhnya meyakini
bahwa ‘guru’ akan menolak perintah eksperimenter untuk melanjutkan pemberian kejut listrik
ke ‘murid’ dan berpendapat bahwa hanya 1,2% subyek yang sadis untuk memberikan kejut
listrik hingga 450 volt. Namun dari eksperimen tersebut adalah 65% subyek patuh untuk
melaksanakan kejut listrik maksimum sampai diminta berhenti oleh eksperimenter dan hasil
tersebut tidak berubah signifikan meskipun subyeknya adalah perempuan (Hasan, 2009).

Hasil eksperimen Milgram (Hasan, 2009) terkait kepatuhan terhadap figur otoritas dapat
dijelaskan dua teori antara lain:

a. Teori konformitas, yaitu teori yang membahas terkait hubungan fundamental antara
kelompok acuan dan individu. Ketika subyek tidak memiliki kekuasaan, keahlian atau

2017 Kode Etik Psikologi Pusat Bahan Ajar dan eLearning


7 Shinta Utami, M.Psi., Psikolog http://www.mercubuana.ac.id
kemampuan dalam mengambil keputusan di situasi krisis, maka ia akan mengalihkan
pengambilan keputusan tersebut kepada kelompoknya
b. Teori keadaan perwakilan (the agentic state theory) yang menyatakan bahwa inti dari
kepatuhan terletak pada fakta bahwa individu melihat dirinya bukan lagi sebagai
individu yang bertanggungjawab atas sesuatu dan memandang dirinya sebagai alat
untuk melaksanakan keinginan orang lain. Posisi/jabatan figure otoritas dalam hal ini
juga memiliki peranan penting atas erilaku patuh individu. Misal, kehidupan di
lingkungan militer yang sangat memperhatikan kepatuhan terhadap figur otoritas.

Penelitian Milgram menimbulkan pertanyaan terkait etika dalam melakukan eksperimen


karena stress emosional ekstrim yang timbul selama menjadi partisipan penelitian. Namun,
menurut Milgram setelah beberapa tahun penelitiannya selesai, 84% partisipan justru
menyatakan perasaan senang atau sangat senang karena telah berpartisipasi sehingga
partisipan menjadi paham untuk bertindak sesuai hati nurani atau bertindak sesuai perintah
figur otoritas yang bertentangan dengan hati nurani dan menimbulkan rasa takut terhadap diri
sendiri, sementara partisipan yang lain memberikan jawaban yang netral (Hasan, 2009).
Video dapat dilihat di: https://www.youtube.com/watch?v=Xxq4QtK3j0Y

Eksperimen lainnya yang juga menarik perhatian terkait etika dalam melakukan penelitian
adalah Philip Zimbardo terkait eksperimen penjara Stanford pada tahun 1971. Dalam
eksperimennya tersebut, Zimbardo ingin melihat respon manusia terhadap penahanan dan
pengaruh perilaku, baik pada figur otoritas maupun penghuni penjara. Pada penelitian ini,
Zimbardo dan tim menajak relawan dari kalangan mahasiswa tingkat sarjana muda untuk
berperan sebagai penjaga maupun tahanan. Zimbardo memilih 24 laki-laki yang memiliki
kepribadian stabil dan sehat secara psikologis dan umumnya pria berkulit putih dan berasal
dari kalangan menengah. Para penjaga diberi pentungan kayu, seragam menyerupai
seragam militer dan kacamata hitam untuk menghindari kontak mata.sementara tahanan
menggunakan pakaian luar longgar, rantai kaki dan sandal kaki keras yang akan memaksa
mereka untuk menyesuaikan keadaan tubuh yang tidak biasa dan merasa ketidaknyamanan
(Hasan, 2009).

Zimbardo memberikan aturan main untuk para penjaga bahwa mereka tidak
diperbolehkan untuk melakukan kekerasan fisik, memiliki tanggung jawab penuh dalam
menjalankan penjara dan dapat melakukan hal sesuai dengan keinginan mereka. Sementara
para tahanan diminta untuk menunggu hingga mereka ditangkap tanpa perencanaan dan
segera ditindaklanjuti sesuai prosedur kepolisian dalam menangani tindak kriminalitas serta
dibawa ke penjara tiruan yang telah dirancang oleh Zimbardo untuk keperluan eksperimen.
Pada masa awal penahanan, para tahanan mendapatkan pengalaman sadis dan

2017 Kode Etik Psikologi Pusat Bahan Ajar dan eLearning


8 Shinta Utami, M.Psi., Psikolog http://www.mercubuana.ac.id
merendahkan dari para penjaga sehingga mereka merasa sangat menderita berada di dalam
penjara. Meskipun hari pertama mmbelum menunjukkan reaksi yang signifikan dari para
tahanan, namun pada hari kedua mereka melakukan pemberontakan sementara para
penjaga bekerjasama untuk mengatasi pemberontakan dan rela memperpanjang jam tugas
tanpa dibayar. Mereka pun melakukan kekerasan fisik ke tahanan, seperti menyerang
tahanan dengan alat pemadam kebakaran ketika staf penelitian sudah tidak ada di ruang
penelitian (Hasan, 2009).

Lebih jauh lagi, para penjara melakukan penyiksaan dengan memberikan hukuman olah
raga dengan waktu yang panjang, kondisi kamar tahanan yang kotor, tahanan diminta
membersihkan toilet dengan tangan kosong, larangan untuk menggunakan toilet, tidur
telanjang di lantai beton, hingga menerima pelecehan seksual. Tidak hanya para penjaga
yang telah menginternalisasi peran-perannya, namun para tahanan pun mulai menghadapi
perasaan frustrasi dan tidak berdaya dalam menghadapi perilaku penjaga. Hasilnya,
beberapa tahanan melakukan pemberontakan dan perkelahian dengan para penjaga, serta
beberapa tahanan mengalami ledakan emosional agar dapat menghindar dari hukuman yang
diberikan penjaga. Karena situasi eksperimen yang semakin di luar kendali, Zimbardo
memutuskan untuk menghentikan penelitian yang telah dilakukan selama enam hari dari dua
minggu jadwal yang telah ditentukan. Penghentian eksperimen juga dilakukan karena
Christina Maslach (mahasiswi pascasarjana) yang mempertanyakan etika penelitian yang
dilakukan Zimbardo. Setelah eksperimen dihentikan, Zimbardo mengadakan sesi encounter
untuk mengetahui perasaan seluruh partisipan penelitian (Hasan, 2009).

Hasil eksperimen tersebut menunjukkan manusia yang mudah terpengaruh dan bersikap
patuh ketika ia dihadapkan dengan situasi institusional yang memiliki kekuatan hukum. Selain
dikritik dalam segi etika, eksperimen yang hanya memiliki 24 partisipan dan berlangsung
selama enam hari inipun dipertanyakan generalitas hasil penelitian agar dapat digunakan
untuk penelitian selanjutnya. Bahkan, Erich Fromm (Tokoh Psikologi Humanis) memandang
bahwa hasil penelitian yang menyatakan bahwa hanya situasi penjara yang mempengaruhi
perilaku individu terbantahkan karena perilaku penjaga maupun tahanan dipengaruhi oleh ciri
kepribadian masing-masing individu.

Di samping kontra yang muncul pasca eksperimen, hasil penelitian Zimbardo cukup
memberikan kontribusi penting terhadap gambaran kehidupan penjara. Zimbardo pun
dilibatkan untuk menjelaskan hasil penelitiannya ketika terjadi peristiwa revolusi berdarah di
penjara San Quentin dan peritiwa perang teluk untuk menjelaskan perilaku oknum tentara
yang melakukan penyiksaan tahanan Ira di Abu Ghraib pada tahun 2003 (Hasan, 2009). Video
terkait eksperimen dapat dilihat: https://www.youtube.com/watch?v=sZwfNs1pqG0

2017 Kode Etik Psikologi Pusat Bahan Ajar dan eLearning


9 Shinta Utami, M.Psi., Psikolog http://www.mercubuana.ac.id
Daftar Pustaka

Azra, A. 2002. Pendidikan agama Islam pada perguruan tinggi umum. Jakarta: Direktur
Perguruan Tinggi Agama Islam.

Bertens, K. 2001. Etika. Jakarta : Gramedia

Fisher, C. B. (2003). Decoding the ethics code: a practical guide for psychologists.
California: Sage Publications, Inc.

Hasan, A. 2009. Kode etik psikolog dan ilmuwan psikologi. Yogyakarta : Graha Ilmu

2017 Kode Etik Psikologi Pusat Bahan Ajar dan eLearning


10 Shinta Utami, M.Psi., Psikolog http://www.mercubuana.ac.id

Anda mungkin juga menyukai