Anda di halaman 1dari 11

Pelanggaran Kode Etik pada Psikolog dalam Kasus

Dugaan Pelecehan Seksual Siswa Jakarta International School

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi


Tugas Akhir Mata Kuliah Etika Profesi Psikologi

Disusun Oleh:

1. Shadalli ; 190811636930 ; Offering E


2. Silvia Abrilia Arifin ; 190811636848 ; Offering E
3. Syafira Putri Giriansyah ; 190811686978 ; Offering E
4. Tb. Farhan Muhammad ; 190811636956 ; Offering E
5. Tiara Radini ; 190811636997 ; Offering E
6. Wafa Usy Syahadah ; 190811636910 ; Offering E

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS PENDIDIKAN PSIKOLOGI
NOVEMBER
2019
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Psikolog adalah seorang ahli dalam bidang praktik psikologi, bidang
ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku dan proses mental. Psikolog
merupakan lulusan pendidikan profesi yang berkaitan dengan praktik
psikologi dengan latar belakang pendidikan sarjana psikologi lulusan
program pendidikan tinggi psikologi strata 1 (S1) sistem kurikukum lama,
atau yang mengikuti pendidikan tinggi psikologi strata 1 (S1) dan lulus dari
pendidikan profesi psikologi atau strata 2 (S2) Pendidikan Magister Psikologi
(Profesi Psikolog). Psikolog memiliki kewenangan untuk memberikan
layanan psikologi. Seorang psikolog diwajibkan memiliki izin praktik
psikologi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Layanan psikologi adalah segala aktivitas pemberian jasa dan praktik
psikologi dalam rangka menolong individu dan/atau kelompok yang
dimaksudkan untuk pencegahan, pengembangan, dan penyelesaian masalah-
masalah psikologis. Layanan psikologi dapat berupa praktik konseling dan
psikoterapi, penelitian, pengajaran, aktivitas dalam bidang forensik,
penyelenggara asesmen, dan lain sebagainya.
Kode etik adalah suatu acuan yang digunakan untuk beberapa profesi
yang diyakini dapat menjadi pengukur tindakan profesional dalam suatu
profesi. Kode etik psikologi adalah seperangkat nilai-nilai untuk untuk ditaati
dan dijalankan dengan sebaik-baiknya dalam melaksanakan kegiatan sebagai
psikolog dan ilmuwan psikologi di Indonesia. Tetapi sering kali kode etik
psikologi tidak dijalankan oleh seorang psikolog atau ilmuwan psikologi
dengan sebagaimana mestinya. Sehingga dapat menimbulkan terjadinya
pelanggaran terhadap kode etik psikologi, yang mengakibatkan kerugian.
Oleh karena itu, kami membuat makalah ini untuk mengetahui apa saja
pelangaran kode etik psikologi yang terjadi di dalam kasus “Dugaan adanya
unsur rekayasa dalam kasus dugaan kekerasan seksual di Jakarta International
School (JIS)”, dan bagaimana analisis dari pelanggaran tersebut beserta saran
yang diharapkan dapat mengurangi atau mencegah terjadinya pelangaran
kode etik psikologi lagi.

1.2. Rumusan Masalah


1. Bagaimana deskripsi kasus “Dugaan adanya unsur rekayasa dalam kasus
dugaan kekerasan seksual di Jakarta International School (JIS)” ?
2. Apa saja pelanggaran yang terjadi, dan analisis terhadap pelanggaran
tersebut menurut pasal yang tercantum di dalam buku kode etik psikologi?
3. Bagaimana solusi alternatif yang seharusnya dilakukan supaya
pelanggaran tidak terulang kembali?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pasal yang Dilanggar
1. BAB I Pasal 2
 Prinsip A ayat 5
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi berusaha untuk menghilangkan
pengaruh bias faktor-faktor tersebut pada butir (3) dan menghindari
keterlibatan baik yang disadari maupun tidak disadari dalam aktifitas-
aktifitas yang didasari oleh prasangka.
 Prinsip B ayat 2
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi senantiasa menjaga ketepatan,
kejujuran, kebenaran dalam keilmuan, pengajaran, pengamalan dan
praktik psikologi.
 Prinsip E ayat 3
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi perlu waspada terhadap
kemungkinan adanya faktor-faktor pribadi, keuangan, sosial, organi-
sasi maupun politik yang mengarah pada penyalahgunaan atas pengaruh
mereka.

2. Pasal 13 Sikap Profesional Butir D


Psikolog mengutamakan ketidak berpihakan dalam kepentingan
pemakai layanan psikologi serta pihak-pihak yang terkait dalam
pemberian pelayanan tersebut.

3. Pasal 16 Hubungan Majemuk


 Ayat 2
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi sedapat mungkin menghindar dari
hubungan majemuk apabila hubungan majemuk tersebut
dipertimbangkan dapat merusak objektivitas, kompetensi atau efektivitas
dalam menjalankan fungsinya sebagai Psikolog dan/atau Ilmuwan
Psikologi, atau apabila beresiko terhadap eksploitasi atau kerugian pada
orang atau pihak lain dalam hubungan profesional tersebut.

4. Pasal 50 Pengelabuan/Manipulasi dalam Penelitian


 Ayat 1
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi tidak diperkenankan menipu atau
menutupi informasi, yang mungkin dapat mempengaruhi calon niat
partisipan untuk ikut serta, seperti kemungkinan mengalami cedera fisik,
rasa tidak menyenangkan, atau pengalaman emosional yang negatif.
Penjelasan harus diberikan sedini mungkin agar calon partisipan dapat
mengambil keputusan yang terbaik untuk terlibat atau tidak dalam
penelitian.
5. BAB X Psikologi Forensik
 Pasal 56 ayat 3
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang menjalankan tugas psikologi
forensik wajib memiliki kompetensi sesuai dengan tanggung jawab
yang dijalaninya, memahami hukum di Indonesia dan implikasinya
terhadap peran tanggung jawab, wewenang dan hak mereka.
 Pasal 57 Ayat 1
Praktik psikologi forensik adalah penanganan kasus psikologi forensik
terutama yang membutuhkan keahlian dalam pemeriksaan psikologis
seseorang yang terlibat kasus per-adilan pidana, yang bertujuan
membantu proses peradilan dalam menegakkan kebenaran dan keadilan.
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang melakukan praktik psikologi
forensik harus memiliki kompetensi sesuai dengan standar psikologi
forensik, memahami sistem hukum di IndonesiaIndonesia dan
mendasarkan pekerjaannya pada kode etik psikologi.
BAB III

DATA LAPANGAN

3.1. Identitas Kasus


a. Tempat terjadinya kasus : Tempat persidangan dua guru JIS
b. Kasus JIS : Adanya dugaan kekerasan seksual pada
anak di JIS
c. Pelapor kasus JIS : Ibu Theresia (ibu korban)
d. Pelanggar kode etik : Connie Kristianto dan Nella Safitri
e. Permasalahan kasus :
1. Psikolog yang menjadi saksi ahli berafiliasi dengan ibu korban
dalam kasus JIS.
2. Dua psikolog tersebut dibayar oleh pihak ibu korban dalam
menjalankan tugasnya agar berpihak kepada ibu korban.
3. Connie tidak memiliki kompetisi untuk menangani kasus JIS
tersebut karena dia hanya memiliki spesialisasi bidang psikologi
klinis, dan tidak punya keahlian dalam psikologi forensik.
Seharusnya saksi ahli mempunyai keahlian dalam psikologi forensik.

3.2. Uraian data Temuan Kasus


Pada persidangan dua guru JIS yaitu Neil Bantleman dan Ferdinant
Tjong terungkap bahwa saksi ahli psikolog yang didatangkan oleh Jaksa
Penuntut Umum (JPU) terafiliasi dengan ibu korban. Menurut pengakuan
dari salah satu pengacara guru JIS () bahwa dua psikolog yang bernama
Connir Kristianto dan Nella Safitri dibayar oleh ibu korban agar memihak Si
pelapor tersebut. Menurutnya juga dalam pemilihan dan penunjukan saksi
ahli persidangan tidak independen dan meragukan. Dua orang psikolog ini
berperan dalam memberikan konseling kepada anak korban diduga
mengalami pelecehan seksual itu, sehingga nantinya saat Si anak korban ini
menjalani sidang dapat mengungkapkan apa yang sesuai dengan kemauan
ibunya.
Connie Kristianto yang merupakan saksi ahli mengaku bahwa dia
tidak mempunyai kompetensi sebagai ahli psikologi forensik. Keahlian yang
dimilikinya hanya sebatas pada bidang psikologi klinis keahlian tersebut
tujuannya hanya untuk mengobati dan memberikan terapi saja. Padahal
untuk mengungkap kasus JIS ini, saksi ahli yang didatangkan harus
memiliki keahlian bidan psikiatri forensik, sehingga dapat memeriksa
kondisi kejiwaan anak tersebut untuk mengungkap penyebab trauma
psikologis yang dialami anak.
Pengacara guru JIS tersebut menyarankan kepada Jaksa Penuntut
Umum untuk mengenyampingkan kesaksian dari ahli psikologi tersebut,
karena saksi ahli yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum tidak memiliki
kompetensi yang dibutuhkan dalam persidangan yang telah dijalankan serta
tidak bersifat independen karena telah memihak ibu korban.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa
DAFTAR RUJUKAN

Himpunan Psikologi Indonesia. 2010. Kode Etik Psikologi Indonesia


Halimah, Nur. 2017. Makalah Kode Etik Psikologi.
https://www.academia.edu/35007514/MAKALAH_KODE_ETIK_PSIK
OLOGI [diakses pada 20 November 2019]
Anggriawan, Fiddy. 2015. Rekayasa Kasus JIS Kembali Mencuat di Sidang Guru.
https://megapolitan.okezone.com/read/2015/01/21/338/1095400/rekayasa
-kasus-jis-kembali-mencuat-di-sidang-guru, [diakses pada 19 November
2019]
LAMPIRAN
Lampiran 1. Bukti Dokumen Kasus
JAKARTA - Dugaan adanya unsur rekayasa dalam kasus dugaan kekerasan seksual
di Jakarta International School (JIS) kembali muncul. Kali ini fakta tersebut
terungkap dalam sidang dua guru JIS yaitu Neil Bantleman dan Ferdinant Tjong.
Dalam sidang tertutup yang berlangsung hingga Selasa malam terungkap, sejumlah
saksi ahli yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) masih terafiliasi
dengan ibu korban. Selain itu, para ahli yang terdiri dari psikolog tersebut tidak
memiliki kompetensi serta tidak didukung oleh pengetahuan serta pengalaman yang
memadai.
Saat dihubungi wartawan Rabu pagi (21/1/2015),Henock Siahaan, salah satu
pengacara dua guru JIS menyatakan, dua orang psikolog yaitu Connie Kristianto
dan Nella Safitri merupakan psikolog yang dibayar oleh pelapor kasus ini yaitu
TPW dan DAR.
Ibu dari korban MAK dan CAP meminta dua psikolog itu untuk memberikan
konseling kepada anak mereka sejak kasus ini mencuat ke publik. Sedangkan, dua
ahli lainnya yaitu Nurul Adhiningtyas dan Setyani Ambarwati merupakan psikolog
di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) di DKI
Jakarta yang merupakan mitra Polda Metro Jaya.
“Pemilihan dan penunjukan ahli yang dihadirkan dalam persidangan kemarin
sangat tidak independen dan meragukan. Seharusnya ahli yang dihadirkan tidak
memiliki afilisasi dengan pihak-pihak yang terlibat, apalagi sampai dibayar oleh
ibu yang diduga anaknya menjadi korban kasus ini,” kata Hennock.
Banyak keterangan yang bias dalam persidangan, kemarin. Hennock
mencontohkan, dalam keterangannya Setyani mengatakan bahwa anak tidak
mungkin berbohong. Tapi pada keterangannya yang lain ia menyatakan bahwa anak
kalau dipaksakan bisa berbicara apa saja.
Dalam ilmu psikologi sendiri teori anak yang tidak mungkin berbohong merujuk
kepada teori yang dikemukakan oleh Catherine Fuller tahun 1984. Teori ini ada
sebelum peristiwa tuduhan kekerasan seksual palsu yang terjadi di TK McMartin
di Amerika Serikat. Namun, setelah kasus di TK McMartin tersebut teori anak tidak
mungkin berbohong sudah ditinggalkan oleh dunia psikologi.
Sebagai ahli, Setyani juga hanya mengumpulkan informasi sepihak yaitu dari ibu
korban dan polisi. Dalam keterangannya psikolog yang ditunjuk Polda Metro
mendampingi MAK sejak bulan Maret 2014 ini mengungkapkan, dia tidak
mengumpulkan informasi dari pihak sekolah karena tidak mendapatkan ijin.
Padahal Setyani juga mengakui bahwa dirinya belum pernah mengirimkan surat
resmi kepada JIS untuk datang dan melakukan pengumpulan informasi terkait kasus
ini.
“Semua keterangan yang disampaikan ahli sangat bias dan tidak relevan untuk
didengar. Sangat berbahaya menggunakan keterangan ahli yang sudah memiliki
afiliasi dengan salah satu pihak,” tuturnya.
Saksi ahli lainnya, yaitu Connie Kristanto, mengaku diminta oleh orang tua MAK
untuk memberikan terapi kepada anaknya sebanyak 30 kali sesi. Selama 30 sesi
bersama MAK, Connie mengakui bahwa si anak tidak pernah menyebut nama Neil
dan Ferdi.
Lebih penting lagi, Connie mengaku hanya memiliki spesialisasi di psikologi klinis.
Keahlian itu tujuannya hanya mengobati dan memberikan terapi. Connie tidak
punya keahlian psikologi forensik. Oleh karena itu, dia tidak pernah menggali apa
latar belakang kejadian yang diduga menimpa MAK.
"Seharusnya saksi ahli yang kompeten adalah psikiatri forensik. Dengan demikian
dapat memeriksa kejiwaan anak untuk mengetahui penyebab trauma psikologis dan
saat memberikan keterangan dapat dinyatakan masuk akal. Dan yang lebih penting,
ahli harus independen,” ujar Hennock.
Dalam UU kesehatan Nomor 36 Tahun 2011 Pasal 150, Ayat (1) tentang
pemeriksaan kesehatan untuk kepentingan hukum dilakukan oleh dokter spesialis
kedokteran jiwa. Sedangkan Ayat (2) tentang penetapan status kecakapan hukum
seseorang yang diduga mengalami gangguan kesehatan jiwa dilakukan oleh tim
dokter yang mempunyai keahlian dan kompetensi sesuai dengan standar profesi.
"Mengingat saksi ahli yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum tidak memiliki
kualifikasi yang dibutuhkan untuk menangani kasus ini, tidak independen dan ahli
tidak mengikuti perkembangan metode penanganan psikologis anak, kami berharap
majelis hakim mempertimbangkan untuk mengenyampingkan kesaksian ahli hari
ini,” tuntasnya.
Lampiran 2. Pembagian Tugas Kelompok

No Nama Anggota NIM Uraian Tugas

1 Wafa Usy S 19081163

2 Syafira Putri G 19081163

3 Silvia Abrilia A 19081163

4 Shadalli 190811636930 Mengerjakan Bab III

5 Tb. Farhan M 190811636956

6 Tiara Radini 19081163

Anda mungkin juga menyukai