Anda di halaman 1dari 21

HUBUNGAN ANTARMANUSIA DALAM KODE ETIK PSIKOLOGI

Disusun oleh

Maria Vinan Ciana Soi 19090000130

Ferlien Liana Effendi 19090000114

Nisa Lovinantika Putri 19090000121

Fakultas Psikologi

Universitas Merdeka Malang

2022
BAB I PENDAHULUAN

I. Latar Belakang
Kode etik psikologi merupakan hasil dari nilai-nilai leluhur yang bersumber
dalam Pancasila dan UUD 1945. Psikolog dan / atau Ilmuwan Psikologi senantiasa
menjunjung tinggi nilai tersebut dalam melakukan praktek atau layanan psikologi. Kode
etik psikologi merupakan seperangkat nilia-nilai yang ditaati dam dijalankan dengan
sebaik-baiknya dalam melaksanakan kegiatan sebagai psikolog dan ilmuwan psikologi di
Indonesia. Hal inilah yang menyebabkan psiolog dan ilmuwan psikologi selalu
melandaskan diri terhadap nilai-nilai yang tertuang dalam kode etik yang disusun oleh
HIMPSI (Himpunan Psikolog Indonesia) baik itu kegiatan penelitian, pendidikan dan lain
sebagainya yang termaksud dalam praktik psikologi.
Psikolog dan ilmuwan psikologi selalu berupaya menjamin kesejahteraan manusia
dan memberikan perlindungan kepada masyarakat yang menggunakan layanan psikologi
serta berbagai pihak yang terlibat didalamnya. Sebagaimana yang telah teratur dalam
kode etik psikologi bahwa prinsip umum (Pasal 2) yang dimiliki ialah harus menekankan
pada hak asasi manusia, menghormati martabat serat hal-hak yang dimiliki, menjaga
kerahasiaan terkait infomasi pribadi seseorang.
Dalam kode etik ini sendiri telah diatur berbagai ketentuan-ketentuan yang
berlaku dimana salah satunya ialah mengenai hubungan antarmanusia yang dicantumkan
dalam bab 4. Dalam praktik pelayanan psikologi yang diberikan, harus memberikan rasa
aman bagi seseorang yang sedang mendapatkan layanan psikologi. Utuk itulah kode etik
ini diperlukan agar segala tindakan dan prilaku psikolog dan ilmuwan psikologi tetap
berlangsung sesuai dengan kaidahnya.
Dalam bab 4 ini sendiri telah menjelaskan berbagai pembahasan seperti sikap
profesional hingga pengalihan dan penghentian layanan psikologi. Dalam tiap-tiap pasal
akan dijabarkan berbagai penjelasan terkait hubungan antarmanusia. Akan tetapi masih
ada beberapa oknum yang mengabaikan kode etik psikologi dalam memberikan
pelayanan psikologi bagi seseorang. Sering kali terjadi fenomena-fenomena yang
dianggap masyarakat atau mereka yang menerima layanan psikologi memberikan
kerugiaan dan rasa tak aman. Mulai dari kasus pelecehan hingga kerahasiaan yang tidak
terjamin. Salah satu kasus yang sering kita temukan ialah dimana terdapat beberapa
okmun yang memberikan pelatihan psikotes untuk lolos pada tahap psikotes guna
mendapatkan pekerjaan. Padahal dalam kaidah nilai-nilai kode etik yang diterapkan telah
dilanggar.
Meskipun HIMPSI sangat mejaga keanggotannya, akan tetapi HIMPSI tidak
dapat mengambil tindakan serius bagi oknum-oknum yang tidak bergabung dalam
HIMPSI. Hal ini dikarenakan dalam UUD 1945 sendiri tidak mengatur terkait sanksi
yang dapat memberikan efek jera bagi oknum-oknum tersebut. UUD 1945 tidak
menerapkan aturan terkait praktik layanan psikologi secara pasti.
Telah banyak terjadi beberapa kasus atau fenomena-fenomena lainnya yang
dilakukan psikolog dan ilmuwan psikologi yang kurang bertanggung jawab akan
profesinya. Pada media berita yang mengangkat topik dimana seorang psikolog bernama
Sherly Solihin yang digugat ke pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan tuduhan
pelanggaran kode etik oleh WNA, Denis Anthony Michael Keet. Sherly Solihin digugat
akibat ia telah mengeluarkan atau membocorkan rekam medis dari proses koneling
perceraian antara pihak tergugat dan penggugat yang telah dilakukan oleh Denis
Anthony. Melalui kasus tersebut dapat ditahui bahawa psikolog tersebut telah melanggar
kode etik mengenai kerahasiaan hasil rekam medis yang dilakukan.

II. Rumusan masalah


Dilihat dari penjabaran pada latar belakang, yang menjadi rumusan masalah pada
makalah ini ialah:
1. Letak pembahasan hubunhan antar manusiad alam kode etik psikologi?
2. Pembahasan dalam hubungan antar mausia dalam kode etik psikologi?
3. Contoh kasus yang menlanggar kode etik mengenai hubungan antar manusia?

III. Tujuan makalah


Berdasarkan rumusan masalah yang ada, tujuan dari penulisan makalah ini ialah:
1. Mengetahui letak pembahasan hubungan antarmanusia dalam kode etik psikologi
2. Mengetahui pembahasan yang terkandung dalam hubungan antar manusia dalam
kode etik psikologi dan mengetahui letak-letak pasal pembahasan
3. Mengetahui contoh kasus pelanggaran kode etik mengenai hubungan antar
manusia
BAB II PEMBAHASAN

I. Hubungan Antar Manusia Dalam Kode Etik Psikologi


Pada Bab IV dalam buku kode etik psikologi yang disusun oleh HIMPSI (Himpunan
Psikolog Indonesia) membahas menganai hubungan antar manusia dalam memberikan
berbagai layanan psikologi antara psikolog dan/atau ilmuwan psikologi dengan berbagai
pihak yang terlibat dalam pelayanan psikolog baik itu masyarakat, pengguna layanan
psikologi, mahasiswa dan lain sebagainya. Hubungan antar manusia pada Bab IV ini akan
membahas mengenai:
1. Sikap professional
2. Pelecehan
3. Penghindaran dampak buruk
4. Hubungan majemuk
5. Konflik kepentingan
6. Ekspoitasi
7. Hubungan professional
8. Informed consent
9. Layanan psikologi kepada atau melalui organisasi
10. Pengalihan dan penghentian layan psikologi
II. Pembahasan Hubungan Antar Manusia dalam Kode Etik Psikologi
1. Sikap Profesional
Dalam kode etik sikap professional terdapat padaPasal 13 yang menjelaskan bahwa sikap
professional ini diartikan sebagai salah satu ciri profesi yang merupakan perilaku dan
perbuatan. SeorangPsikolog atau Ilmuwan Psikologi dalam pengambilan keputusan harus
berdasar pada pengetahuan ilmiah dan sikap profesional yang sudah teruji dan diterima.
Berikut ini dalam sikap professional menurut kode etik psikologi terdapat pasal yang
berisi, yakni pada pasal 13. Psikolog dan/atau IlmuwanPsikologi dalam memberikan
layanan psikologi, baik yang bersifat perorangan, kelompok, lembaga, atau organisasi
atau institusi, harus sesuai dengan keahlian dan kewenangannya serta kewajiban untuk :
a. Mengutamakan dasar – dasar profesional
b. Memberikan layanan kepada semua pihak yang membutuhkannya
c. Melindungi pemakai layanan psikologi dari akibat yang merugikan sebagai
dampak layanan psikologi yang diterimanya.
d. Mengutamakan ketidak berpihakan dalam kepentingan pemakai layanan psikologi
serta pihak – pihak yang terkait dalam pemberian pelayanan tersebut.
e. Dalamhalpemakailayananpsikologimenghadapi kemungkinan akan terkena
dampak negatif yang tidak dapat dihindari akibat pemberian layanan psikologi
yang di lakukan oleh psikolog atau ilmuwan psikologi maka pemakai layanan
psikologi tersebut harus di beritahu

2. Pelecehan
Pelecehan merupakan suatu pola perilaku menyerang yang tampak bertujuan tidak
baik terhadap orang yang menjadi sasarannya, biasanya (tapi tidak selalu) dengan
tujuan untuk mengancam atau mengintimidasi target utamanya. dalam kode etik
psikologi terdapat pasal 14 terkait pelecehan yang menjelaskan tentang pelecehan
seksual dan lainnya. Pembahasan terkait pelecehan terletak dalam pasal 14, dimana
yang menjadi pembahasannya ialah:
1. Pelecehan Sexual
Psikolog atau Ilmuwan Psikologi dalampenerapankeilmuannyatidakterlibat
dalam pelecehan seksual Tercakupdalampengertian ini adalah permintaan
hubunganseks, cumbuan fisik, perilaku verbal atau non verbal yang bersifat
seksual, yang terjadi dalam kaitannya dengan kegiatan atau peran sebagai
psikolog atau ilmuwan psikologi. Pelecehanseksualdapatterdiridari satu
perilaku yang intens / parah, atau perilaku yang berulang, bertahan / sangat
meresap, serta menimbulkan trauma Perilaku yang dimaksud pengertian ini
adalah tindakan atau perbuatan yang adinggap:
a) Tidak dikehendaki,tidak sopan,dapat menimbulkan sakit hati
atau dapat menimbulkan suasana tidak nyaman, rasa takut,
mengandung permusuhan yang dalam hal ini Psikolog atau
Ilmuwan Psikologi mengetahui / diberitahu mengenai hal
tersebut atau
b) Bersikap keras atau cenderung menjadi kejam atau menghina
terhadap seseorang dalam konteks tersebut
c) sepatutnya menghin dari hal-hal yang secara nalar merugikan
atau patut diduga dapat merugikan pengguna layanan psikologi
atau pihak lain

2. Pelecehan Lain
Psikolog atau Ilmuwan Psikologi tidak diperkenankan secara sadar terlibat
dalam perilaku yang melecehkan atau meremehkan individu yang berinteraksi
dengan mereka dalam pekerjaan mereka, baik atas dasar usia, gender, ras
suku, bangsa, agama orientasi seksual, kecatatan, bahasa atau status sosial
ekonomi.

3. Penghindaran Dampak Buruk


Psikologi adalah ilmu yang berfokus pada perilaku dan proses mental yang
melatarbelakangi, serta penerapan dalam kehidupan manusia. Di dalam psikologi
terdapat kode etik yang merupakan seperangkat nilai-nilai untuk ditaati dan
dijalankan dengan sebaik-baiknya dalam melaksanakan kegiatan sebagai psikolog dan
ilmuwan psikologi di Indonesia. Oleh sebab itu dalam kode etik ketika melakukan
sebuah layanan psikologi seperti proses konseling antara klien dan konselor perlu
adanya antisipasi atau penghindaran dampak buruk agar layanan psikologi bisa
berjalan dengan baik. Berikut ini penghindaran dampak buruk yang terdapat pada
pasal 15, yakni Psikolog atau Ilmuwan Psikologi mengambil langkah-langkah yang
masuk akal untuk menghindari munculnya dampak buruk bagi pengguna layanan
psikologi serta pihak-pihak lain yang terkait dengan kerja mereka serta
meminimalkan dampak buruk untuk hal-hal yang tak terhindarkan tetapi dapat
diantisipasi sebelumnya. Dalam hal ini, maka pemakai layanan psikologi serta pihak-
pihak lain yang terlibat harus mendapatkan informasi tentang kemungkinan-
kemungkinan tersebut.
4. Hubungan Majemuk
Hubungan majemuk menurut kode etik psikologi dijelaskan pada pasal 16, dimana
yang dimaksud dengan hubungan majemuk ialah hubungan yang terjadi antara
psikolog dan/atau ilmuwan psikologi yang berprofesi sebagai ilmuwan psikologi
dan/atau psikolog dengan seseorang atau klien namun diwaktu yang bersamaan juga
menjalankan peran lainnya bagi klien atau subjek. Sebagai contoh seorang psikolog
yang juga berperan sebagai Ayah dari klien atau anak yang menjalani pelyanan
psikologi.
Selain itu dalam pasal yang sama juga dijelaskan bahwa hubungan majemuk yang
terjadi dalam pelayanan psikologi ialah hubungan yang terjadi antara psikolog
dan/atau ilmuwan psikologi dengan subjek atau klien yang secara bersamaan terjalin
dalam hubungan profesional lainnya. Sebagai contoh yang menjadi subjek atau klien
dari sikolog dan/atau ilmuwan psikolog tersebut juga menjadi asisten dari psikolog
dan/atau ilmuwan psikolog itu sendiri.
Dalam pasal 16 ayat 2, 3, dan 4 ini juga dijelaskan beberapa hal yang perlu
diperhatikan saat menjalani pelayanan atau praktik psikologi, yaitu:
 Menghidari hubungan majemuk yang bersifat merugikan
Psikolog dan/atau ilmuwan psikologi harus dapat menghindari hubungan
majemuk dengan klien atau subjek apabila hubungan majemuk tersebut
diperkirakan dapat merusak objektifitas, kompetensi atau efektivitas
dalam menjalankan fungsinya atau profesinya sebagai psikologi dan/atau
ilmuwan psikologi atau apabila beresiko terhadap ekspliotasi atau
kerugian pada pihak atau individu lain dalam hubungan profesional
tersebut.

 Mengambil tindakan atau langah-langkah untuk menghinari hubungan


majemuk yang merugikan
Dalam pelayanan psikologi dimana psikolog dan/atau ilmuwan psikologi
merasa bahwa hubungan majemuk yang dimiliki dengan subjek atau klien
akan memberikan dampak buruk atau merugikan, psikolog dan/atau
ilmuwan psikolgi dapat mengambil langkah-langkah yang masuk akal
untuk mengatasi hubungan majemuk yang merugikan tersebut dengan
mempertimbangkan kepentingan bagi orang yang terkait (subjek atau
klien) dan sesuai kaidah yang berlaku dalam kode etik psikologi.

 Memperjelas peran psikolog dan/atau ilmuwan psikologi dari awal


Adakalanya psikolog dan/atau ilmuwan psikologi mendapatkan tuntutan
hukum, kebijakan instasi atau kondisi-kondisi luar biasa untuk melakukan
lebih dari satu peran. Untuk itu, psikolog dan/atau ilmuwan psikologi
perlu memperjelas peran yang diharapkan dan rentang kerahasiaannya
baik itu bagi dirinya sendiri ataupun bagi pihak-pihak lainnya yang
terikat dalam pelayanan psikologi.

5. Konflik Kepentingan
Pada pasal 17 dalam kode etik membahas terkait konflik kepentingan bagi psikolog
dan/atau ilmuwan psikologi serta subjek atau klien yang menggunakan layanan
psikologi. Diman didalam pasal tersebut mengatakan bahwa Sebagai psikologi dan /
atau ilmuwan psikologi harus menghindari atau tidak melakukan pekerjaanya dalam
memberikan pelayanan psikologi apabila dalam melakukan peran profesionalnya jika
kepentingan pribadi, ilmiah, profesional, hukum, finansial, kepentingan atau
hubungan lain diperkirakan dapat merusak objektivitas, kompetensi atau efektifitas
yang dimiliki dalam menjalankan peran dan fungsinya sebagai psikolog dan/ atau
ilmuwan psikologi ataupun memberikan dampak buruk bagi mereka yang
menggunakan layanan psikologi serta berbagai pihak yang memiliki kaitannya
dengan pengguna layanan psikologi tersebut.

6. Eksploitasi
Dalam buku kode etik psikologi dijelaskan mengenai isu eksploitasi yang tercantum
dalam pasal 18. Terdapat rincian pembahasan dibagi menjadi beberapa pasal yaitu:
1) Apa itu eksploitasi dalam kode etik psikologi
Dalam memberikan layanan psikologi, psikolog dan/atau ilmuwan psikologi
tidak diperbolehkan untuk melakukan eksploitasi. Dalam pasal 18 ini juga
menjelaskan beberapa hal yang dianggap eksplotasi ialah pemanfaatan
terhadap orang-orang yang berada dalam wewenang psikologi dan ilmuwan
psikologi seperti mahasiswa bimbingan, klien pengguna jasa psikologi
ataupun peserta penelitian. Selain itu yang termaksud dalam eksploitasi ialah
jika psikolog dan/atau ilmuwan psikologi terlibat dalam hal-hal atau hubungan
yang mengarah pada unsur seksual denga mahasiswa atau mereka yang berada
dibawah bimbingannya serta pemanfaatan atau eksploitasi atau terlibat dalam
hal-hal yang mengarah pada hubungan seksual dengan mereka yang
menggunakan layanan psikologi dari psikolog atau ilmuwan psikologi
tersebut.
2) Larangan untuk melakukan eksploitasi data
Dalam menerikan pelayanan psikologi bagi merek ayang memerlukan,
psikolog dan/atau ilmuwan psikologi dilarang untuk melakukan eksploitasi
data dari mereka yang sedang disupervisi, dievaluasi atau berada di bawah
wewenang mereka seperti mahasiswa, karyawan, partisipan penelitian,
penggunaan jasa layanan psikologi ataupun mereka yang berada dibawah
penyeliaannya dimana data terseut digunakan atau dimanipulasi digunakan
untuk kepentingan pribadi.

Pada poin-poin yang dijelaskan mengenai eksploitasi menjadi suatu larangan yang
harus ditaati. Hal ini dikarenakan pada poin satu dan dua ini akan sangat
mempengaruhi penilaian yang dilakukan masyarakat awan terhadap psikolog dan/atau
ilmuwan psikologi. Untuk itu, sebagai psikolog dan/atau ilmuwan psikologi harus
menjalankan peran dan tugasnya sesuai dengan kaidah dan norma-norma serta nilai-
nilai yang berlaku dalam kode etik psikologi yang ditetapkan oleh HIMPSI.

7. Informed Consent
Informed Consent menurut kode etik psikologi dalam Pasal 20 tentang Informed
Consent bahwa setiap-Setiap proses dibidang psikologi yang meliputi penelitian/
pendidikan/ pelatihan/ asesmen/ intervensi yang melibatkan manusia harus disertai
dengan informed consent. Informed Consent adalah persetujuan dari orang yang akan
menjalani proses dibidang psikologi yang meliputi penelitian
pendidikan/pelatihan/asesmen dan intervensi psikologi. Persetujuan dinyatakan dalam
bentuk tertulis dan ditandatangani oleh orang yang menjalani pemeriksaan/yang
menjadi subyek penelitian dan saksi. Aspek-aspek yang perlu dicantumkan dalam
informed consent adalah:
a. Kesediaan untuk mengikuti proses tanpa paksaan.
b. Perkiraan waktu yang dibutuhkan.
c. Gambaran tentang apa yang akan dilakukan.
d. Keuntungan dan/atau risiko yang dialami selama proses tersebut.
e. Jaminan kerahasiaan selama proses tersebut.
f. Orang yang bertanggung jawab jika terjadi efek samping yang merugikan
selama proses tersebut.
Dalam konteks Indonesia pada masyarakat tertentu yang mungkin terbatas
pendidikannya, kondisinya atau yang mungkin rentan memberikan informed consent
secara tertulis maka informed consent dapat dilakukan secara lisan dan dapat direkam
atau adanya saksi yang mengetahui bahwa yang bersangkutan bersedia.
Informed consent yang berkaitan dengan proses pendidikan dan/atau pelatihan
terdapat pada pasal 40; yang berkait dengan penelitian psikologi pada pasal 49; yang
berkait dengan asesmen psikologi terdapat pada pasal 64; serta yang berkait dengan
konseling dan psikoterapi pada pasal 73. Yang dijelaskan secara lebih lanjut :
- Pasal 40 Tentang Informed Consent dalam Pendidikan dan/atau Pelatihan
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus memperoleh persetujuan untuk
melaksanakan pelatihan sebagaimana yang dinyatakan dalam standar
informed consent, kecuali jika a) Pelaksanaan pelatihan diatur oleh peraturan
pemerintah atau hukum; b) Pelaksanaan dilakukan sebagai bagian dari
kegiatan pendidikan, kelembagaan atau orgainsasi secara rutin misal: syarat
untuk kenaikan jabatan.
- Pasal 49 Tentang Informed Consent dalam Penelitian
Sebelum pengambilan data penelitian Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi
menjelaskan pada calon partisipan penelitian dengan menggunakan bahasa
yang sederhana dan istilah-istilah yang dipahami masyarakat umum tentang
penelitian yang akan dilakukan. Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi
menjelaskan kepada calon partisipan asas kesediaan sebagai partisipan
penelitian yang menyatakan bahwa keikutsertaan dalam penelitian yang
dilakukan bersifat sukarela, sehingga memungkinkan pengunduran diri atau
penolakan untuk terlibat. Partisipan harus menyatakan kesediaannya seperti
yang dijelaskan pada pasal yang mengatur tentang itu.
(1) Informed consent Penelitian Dalam rangka mendapat persetujuan dari
calon partisipan, Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menjelaskan
proses penelitian. Secara lebih terinci informasi yang penting untuk
disampaikan adalah: a) Tujuan penelitian, jangka waktu dan prosedur,
antisipasi dari keikutsertaan, yang bila diketahui mungkin dapat
mempengaruhi kesediaan untuk berpartisipasi, seperti risiko yang
mungkin timbul, ketidaknyamanan, atau efek sebaliknya; keuntungan
yang mungkin diperoleh dari penelitian; hak untuk menarik diri dari
keikutsertaan dan mengundurkan diri dari penelitian setelah penelitian
dimulai, konsekuensi yang mungkin timbul dari penarikan dan
pengunduran diri; keterbatasan kerahasiaan; insentif untuk partisipan; dan
siapa yang dapat dihubungi untuk memperoleh informasi lebih lanjut. b)
Jika partisipan penelitian tidak dapat membuat persetujuan karena
keterbatasan atau kondisi khusus, Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi
melakukan upaya memberikan penjelasan dan mendapatkan persetujuan
dari pihak berwenang yang mewakili partisipan, atau melakukan upaya
lain seperti diatur oleh aturan yang berlaku. c) Psikolog dan/atau
Ilmuwan Psikologi yang mengadakan penelitian intervensi dan/atau
eksperimen, di awal penelitian menjelaskan pada partisipan tentang
perlakuan yang akan dilaksanakan; pelayanan yang tersedia bagi
partisipan; alternatif penanganan yang tersedia apabila individu menarik
diri selama proses penelitian; dan kompensasi atau biaya keuangan untuk
berpartisipasi; termasuk pengembalian uang dan halhal lain terkait bila
memang ada ketika menawarkan kesediaan partisipan dalam penelitian.
d) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi berusaha menghindari
penggunaan segala bentuk pemaksaan termasuk daya tarik yang
berlebihan agar partisipan ikut serta dalam penelitian. Psikolog dan/atau
Ilmuwan Psikologi menjelaskan sifat dari penelitian tersebut, berikut
risiko, kewajiban dan keterbatasannya.
(2) Informed Consent Perekaman Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi
sebelum merekam suara atau gambar untuk pengumpulan data harus
memperoleh izin tertulis dari partisipan penelitian. Persetujuan tidak
diperlukan bila perekaman murni untuk kepentingan observasi alamiah di
tempat umum dan diantisipasi tidak akan berimplikasi teridentifikasi atau
terancamnya kesejahteraan atau keselamatan partisipan penelitian atau
pihak-pihak terkait. Bila pada suatu penelitian dibutuhkan perekaman
tersembunyi, Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi melakukan
perekaman dengan tetap meminimalkan risiko yang diantisipasi dapat
terjadi pada partisipan, dan penjelasan mengenai kepentingan perekaman
disampaikan dalam debriefing. (3) Pengabaian informed consent Psikolog
dan/atau Ilmuwan Psikologi tidak harus meminta persetujuan partisipan
penelitian, hanya jika penelitian melibatkan individu secara anonim atau
dengan kata lain tidak melibatkan individu secara pribadi dan
diasumsikan tidak ada risiko gangguan pada kesejahteraan atau
keselamatan, serta bahaya-bahaya lain yang mungkin timbul pada
partisipan penelitian atau pihak-pihak terkait. Penelitian yang tidak harus
memerlukan persetujuan partisipan antara lain adalah: a) penyebaran
kuesioner anonim; b) observasi alamiah; c) penelitian arsip; yang ke
semuanya tidak akan menempatkan partisipan dalam resiko pemberian
tanggung jawab hukum atas tindakan kriminal atau perdata, resiko
keuangan, kepegawaian atau reputasi nama baik dan kerahasiaan.
- Pasal 64 Tentang Informed Consent dalam Asesmen
- Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus memperoleh persetujuan untuk
melaksanakan asesmen, evaluasi, intervensi atau jasa diagnostik lain
sebagaimana yang dinyatakan dalam standar informed consent, kecuali jika
a) pelaksanaan asesmen diatur oleh peraturan pemerintah atau hukum;
b) adanya persetujuan karena pelaksanaan asesmen dilakukan sebagai bagian
dari kegiatan pendidikan, kelembagaan atau orgainsasi secara rutin misal:
seleksi, ujian;
c) pelaksanaan asesmen digunakan untuk mengevaluasi kemampuan individu
yang menjalani pemeriksaan psikologis yang digunakan untuk
pengambilan keputusan dalam suatu pekerjaan atau perkara.

- Pasal 73 Informed Consent dalam Konseling dan Terapi


a) Konselor/Psikoterapis wajib menghargai hak pengguna layanan
psikologi untuk melibatkan diri atau tidak melibatkan diri dalam
proses konseling psikologi/psikoterapi sesuai dengan azas kesediaan.
Oleh karena itu sebelum konseling/psikoterapi dilaksanakan, konselor/
psikoterapis perlu mendapatkan persetujuan tertulis (Informed
Consent) dari orang yang menjalani layanan psikologis. Persetujuan
tertulis ditandatangani oleh klien setelah mendapatkan informasi yang
perlu diketahui terlebih dahulu.
b) Isi dari Informed Consent dapat bervariasi tergantung pada jenis
tindakan konseling psikologi atau terapi psikologi yang akan
dilaksanakan, tetapi secara umum menunjukkan bahwa orang yang
menjalani yang akan menandatangani Informed Consent tersebut
memenuhi per-syaratan sebagai berikut:
i. Mempunyai kemampuan untuk menyatakan persetujuan
ii. Telah diberi informasi yang signifikan mengenai prosedur
Konseling Psikologi/ Psikoterapi.
iii. Persetujuan dinyatakan secara bebas dan tidak dipengaruhi
dalam menyatakan persetujuannya.
c) Informed Consent didokumentasikan sesuai prosedur yang tetap. Hal-
hal yang perlu diinformasikan sebelum persetujuan konseling/terapi
ditandatangani oleh orang yang akan menjalani Konseling
Psikologi/Psikoterapi adalah sebagai berikut:
a. proses Konseling Psikologi/Psikoterapi,
b. tujuan yang akan dicapai,
c. biaya,
d. keterlibatan pihak ketiga jika diperlukan,
e. batasan kerahasiaan,
f. memberi kesempatan pada orang yang akan menjalani
Konseling/Terapi untuk mendiskusikannya sejak awal.
d) Hal-hal yang berkaitan dengan sifat konseling psikologi/psikoterapi
seperti kemungkinan adanya sifat tertentu yang dapat berkembangdari
proses konseling atau terapi, risiko yang potensial muncul, psikoterapi
lain sebagai alternatif dan kerelaan untuk berpartisipasi dalam proses
konseling psikologi/psikoterapi.
e) Jika Konselor/Terapis masih dalam pelatihan dan dibawah supervisi,
hal ini perlu diberitahukan kepada orang yang akan menjalani
konseling dan hal ini harus menjadi bagian dari prosedur informed
consent.

8. Layanan Psikologi Kepada dan/atau Melalui Organisasi


Dalam Layanan Psikologi Kepada dan / atau Melalui Organisasi dalam Pasal 21,
Psikolog dan/atau Ilumuwan Psikologi yang memberikan layanan psikologi kepada
organisasi/ perusahaan memberikan informasi sepenuhnya tentang:
 Sifat dan tujuan dari layanan psikologi yang diberikan
 Penerima layanan psikologi
 Individu yang menjalani layanan psikologi
 Hubungan antara Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dengan organisasi dan
orang yang menjalani layanan psikologi
 Batas-batas kerahasiaan yang harus dijaga
 Orang yang memiliki akses informasi Apabila Psikolog dan/atau Ilmuwan
Psikologi dilarang oleh organisasi peminta layanan untuk memberikan hasil
informasi kepada orang yang menjalani layanan psikologi, maka hal tersebut
harus diinformasikan sejak awal proses pemberian layanan psikologi
berlangsung.
9. Pengalihan dan Penghentian Layanan Psikologi
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menyadari pentingnya perencanaan
kegiatan dan menyiapkan langkah-langkah yang perlu dilakukan bila terjadihal-
hal yang dapat menyebabkan pelayanan psikologi mengalami penghentian,
terpaksa dihentikan atau dialihkan kepada pihak lain. Sebelum layanan psikologi
dialihkan atau dihentikan pelayanan tersebut dengan alasan apapun, hendaknya
dibahas bersama antara Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dengan penerima
layanan psikologi kecuali kondisinya tidak memungkinkan.
1) Pengalihan layanan: Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dapat
mengalihkan layanan psikologi kepada sejawat lain (rujukan) karena:
a. Ketidakmampuan Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi, misalnya
sakit atau meninggal.
b. Salah satu dari mereka pindah ke kota lain.
c. Keterbatasan pengetahuan atau kompetensi dari Psikolog dan/atau
Ilmuwan Psikologi.
d. Keterbatasan pemberian imbalan dari penerima jasa layanan psikologi.
2) Penghentian layanan: Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus menghentikan
layanan psikologi apabila:
a. Pengguna layanan psikologi sudah tidak memerlukan jasa layanan
psikologi yang telah dilakukan.
b. Ketergantungan dari pengguna layanan psikologi maupun orang yang
menjalani pemeriksaan terhadap Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi
yang bersangkutan sehingga timbul perasaan tak nyaman atau tidak
sehat pada salah satu atau kedua belah pihak.

III. Contoh Kasus Pelanggaran Kode Etik Psikologi


1. Kasus 1
Dalam salah satu surat kabar, Okezone yang ditulis oleh Rizka Diputra mengenai
pelanggaran kode etik yang mengakibatkan digugatnya psikolog ke PN Jaksel.
Menurut berita yang ditulis pada tahun 2013 ini, seorang psikolog bernama Sherly
Solihin dan klinik tempatnya bekerja, ICAC Profesional Service membocorkan
rekam medis dari proses konseling perceraian antara penggugat yang
berkewarganegaraan Australia dengan sang istri. Sharly juga memberikan catatan
rekam medis hasil konsleing palsu karena Andru selaku pengacara Denis berkata
bahwa dalam proses konseling ia tidak pernah membahas masalah anak. Akan
tetapi dalam catatan tersebut berisi bahwa Denis telah melakukan penyekapan dan
penyiksaan terhadap Luke, anaknya.

Pembahasan:
Dari kasus tersebut Sherly sebagai psikolog telah melanggar kode etik psikologi
dengan membocorkan rekam medis seperti yang telah tertera dalam Bab V Pasal
23 mengenai rekam psikologi. Dimana dalam pasal tersebut, tepatnya di ayat 1C
yang mengatakan bahwa psikolog dan/atau ilmuwan psikologi harus menjaga
kerahasiaan klien dalam hal catata, penyimpanan, pemindahan dan permusnahan
catatan/data dibawah pengawasan. Selain itu, dalam kasus ini juga telah
melanggar kode etik psikologi dalam pasal 13 mengenai sikap profesional yang
terletak pada bab IV mengenai Hubungan antar manusia. Pada pasal 13 ini yang
mana dijelaskan dalam point C bahwa psikolog dan/atau ilmuwan psikologi harus
melindungi pemakai layanan psikologi dari akibat yang merugikan sebagai
dampak layanan yang diterima. Sebagai psikolog yang memberikan layanan
konseling bagi klien, Sherly tidak menunjukan hal tersebut dimana ia
membocorkan hasil catatan konseling milik klien tanpa persetujuannya.

2. Kasus 2
Kasus kedua merupakan kasus yang didapatkan dari bahan ajar Kode Etik. Dewi
merupakan seorang psikolog memberikan layanan konseling bagi kliennya
bernama Ani yang merupakan Ibu rumah tangga. Ani merupakan teman masa
kecil Dewi sehingga keluarga merekapun saling kenal meskipun sudah jarang
bertemu karena kesibukan masing-masing. Ani melakuakn konseling pada Dewi
mengenai permasalahan yang dialami. Setelah proses konseling dilakukan, Dewi
mengambil inisiatif untuk menceritakan permasalahan Ani kepada keluarganya
karena ia merasa dengan begini ia dapat menolong teman kecilnya tersebut. Selain
menceritakan masalah yang dihadapi ani, Dewi juga menunjukan hasil test dan
rekaman wawancaranya bersama Ani. Hal ini dilakukan Dewi tanpa
sepengetahuan Ani.

Pembahasan:
Pada kasus ini, Dewi sebagai psikolog telah melanggar beberapa pasal dalam
kode etip psikologi. Pasal pertama yang dilanggar ialah Pada Bab XIV pasal 72
ayat 1d mengenai Kualifikasi Konselor dan Psikoterapis. Hal ini dikarenakan ia
telah mengungkapkan hasil tes dan rekaman wawancara konseling milik klien
kepada orang tua klien tanpa mempertimbangkan dampak buruk yang
kemungkinan akan dihadapi oleh klien akibat dari proses konseling yang
dilakukannya. Dewi juga melanggar pasal 73 ayat 3 mengenai Informend Consent
dalam Koseling dan Terapi. Pada pasal tersebut mengatakan bahwa “Informed
Consent” didokumentasikan sesuai prosedur yang tepat. Dalam kasus ini tidak
dijaskan mengenai keterlibatan pihak ketiga sehingga tidak ada yang berhak
mengetahui informasi anai mengenai konseling yang dilakukannya selain dirinya
sendiri.
Seperti yang dikatakan dalam pasal 74 mengenai Konseling Psikologi/Psikoterapi
yang melibatkan pasangan atau keluarga. Pada kasus ini, Ani yang seorang diri
melakukan konselig tanpa ditemani keluarga ataupun suami menunjukan bahwa
Ani tidak bermaksud melibatkan keluarganya dalam koseling yang dilakukan
sehingga keluarga ani tidak berhak mengetahui konseling yang dilakukan oleh
Ani. Akan tetapi Dewi selaku konselor membicarakan proses konseling tersebut
kepada keluarganya.
Selain melanggar kode etik yang ada di Bab XIV, Dewi selaku konselor juga telah
melanggar beberapa pasal lainnya yaitu pada padal 16 ayat 2 dan 3 mengenai
hubungan majemuk yang terletak pada Bab IV. Dalam kasus tersebut, Dewi
sebagai konselor dalam waktu bersamaan memiliki hubungan dekat atau
hubungan majemuk dengan klien karena pada saat yang bersamaan, selain
menjadi konselor Dewi juga merupakan teman masa kecil Ani yang merupakan
kliennya. Dewi tidak melindungi hubungan majemuk yang dimilikinya yang mana
dapat merusak objektivitasnya dalam melakukan konseling selain itu Dewi tidak
melakukan langkah-langkah pencegahan untuk mengatasi dampak buruk dari
hubungan majemuk yang dialaminya bersama ani sang klien.
Pada pasal 24 mengenai kerahasiaan data juga telah dilanggar oleh Dewi. Dimana
ia tidak menjaga dan mempertahankan informasi Ani sebagai klien. Dewi
melanggar pasal 24a dan b karena menyampaikan hasil tes dan rekaman
wawancara klien kepada pihak ketiga yang tidak memiliki wewenang pada proses
konseling. Serta Dewi juga melanggar pasal 24c karena telah
mengkomunikasikan hasi lkonseling tersebut untuk kepentingan penggunaan
layanan psikologi, profesi dan akademis.
BAB III PENUTUP

I. Kesimpulan

Kode etik psikologi ini merupakan salah satu acuan bagi psikolog dan ilmuwan psikologi, karena
dalam kode etik ini mengandung serangkaian nilai – nilai dan juga norma – norma tertulis yang
di harapkan akan menjadi pedoman dalam bersikap dan berperilaku, serta dapat berpegang teguh
bagi seluruh psikolog dan kelompok ilmuwan psikolog untuk menjalankan aktivitas profesinya
sesuai dengan kompetinsi dan kewenangan masing – masing, guna menciptakan kehidupan.

Dalam kode etik psikologi ini terdapat pembahasan terkait hubungan antar manusia yang dimana
mengandung pasal 13 – 22 yang berisikan tentang :

a. Sikap Professional
b. Pelecehan
c. Penghindaran Dampak Buruk
d. Hubungan Majemuk
e. Konflik Kepentingan
f. Eksploitasi
g. Hubungan Professional
h. Informed Consent
i. Layanan Psikologi kepada dan/ melalui organisasi
j. Pengalihan dan Penghentian Layanan Psikologi

II. Saran

Sebagai seorang Psikologi maupun Ilmuwan Psikologi wajib memegang teguh prinsip kode etik.
Berikut ini mengapa seorang Psikologi ataupun Ilmuwan Psikologi perlu adanya kode etik.

a. Demi perlindungan dan juga kenyamanan masyarakat terkait layanan psikologi ini wajib
menerapkan kode etik, karena dengan adanya kode etik ini maka dapat bertujuan untuk
menjamin kesejahteraan umat manusia dan juga dapat memberikan perlindungan
terhadap layanan masyarakat terkait praktik layanan psikologi. Selain itu juga,
b. Pentingnya kode etik bagi profesi psikologi untuk memperlancar proses pelayanan
praktik psikologi agar dapat meminimalisir kejadian yang tak terduga

Link Video Presentasi :


Daftar Isi

Diputra,Rizka (2013). Diduga Langgar Kode Etik, Psikolog Digugat ke PN Jaksel.


Okezone. Diakses dari https://news.okezone.com/read/2013/10/02/500/875317/diduga-langgar-
kode-etik-psikolog-digugat-ke-pn-jaksel

HIMPSI. (2010). KODE ETIK PSIKOLOGI INDONESIA. Jakarta: Pengurus Pusat


HIMPSI

Nitami, Helen dkk. (2016). Pelanggaran Kode Etik. Diakses dari


https://id.scribd.com/doc/304112746/Tugas-6-Pelanggaran-Kode-Etik

Anda mungkin juga menyukai