Anda di halaman 1dari 9

PELANGGARAN KODE ETIK PSIKOLOGI

HUBUNGAN SEKSUAL ANTARA PSIKOLOG DAN KLIEN

Disusun Guna Memenuhi Tugas Kode Etik Psikologi


Dosen : Dewi Ulfah Arini,MM,M.Psi

Oleh :
Robiatul Adawiyah
137.000.09
Fak.Psikologi Univ.Tama Jagakarsa

Cover

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI


FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS TAMA JAGAKARSA
Kode Etik Psikologi

DAFTAR ISI

Cover....................................................................................................................................................1
DAFTAR ISI.......................................................................................................................................2
BAB I...................................................................................................................................................3
BAB II..................................................................................................................................................4
LANDASAN TEORI...........................................................................................................................4
2.1 Perlindungan Klien dari Bahaya.................................................................................................4
2.2 Hubungan Majemuk...................................................................................................................4
2.3 Pelecehan Seksual.......................................................................................................................5
BAB III.................................................................................................................................................6
PEMBAHASAN..................................................................................................................................6
BAB IV.................................................................................................................................................8
PENUTUP............................................................................................................................................8
4.1 Simpulan.....................................................................................................................................8
4.2 Saran...........................................................................................................................................8
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................................9

Kode Etik Psikologi

BAB I
LATAR BELAKANG
Hubungan antara psikolog dan klien merupakan aspek penting dalam proses konseling dan
psikoterapi. Menurut Morrison-Valfre (2009), kemampuan klien untuk mempercayai orang lain
sangat penting dalam terapi. Hal ini menyebabkan umumnya setiap tindakan terapeutik bertujuan
untuk meningkatkan kepercayaan. Akan tetapi, kadang-kadang kepercayaan yang terbangun antara
psikolog dan klien yang memiliki tujuan positif dapat menjadi masalah. Hal ini terjadi ketika
seorang psikolog melangkah terlalu jauh sehingga menyebabkan hubungan profesional menjadi
hubungan seksual.
Sudah banyak pemberitaan, yang muncul di media cetak dan elektronik, mengenai psikolog
klinis yang berhubungan seksual dengan kliennya. BBC News (2000) memberitakan bahwa seorang
psikolog, yang sudah menikah, berhubungan seksual dengan klien wanitanya yang datang dengan
tujuan untuk melakukan konseling. Kasus ini menyebabkan psikolog tersebut dikeluarkan
dari British Psychological Society (BPS). Psikolog yang bernama tersebut Timothy Naylor
dianggap melakukan pelanggaran kode etik profesi. Menurut Patricia Hitchcock, juru bicara BPS,
menjelaskan bahwa hubungan personal muncul setelah sesi terapi dan berujung pada seks tanpa
proteksi. Selain itu, Naylor juga meminta wanita tersebut untuk tidak menceritakan hal ini kepada
terapis sebelumnya atau orang lain. Apabila wanita tersebut menceritakan hal ini, wanita tersebut
bisa saja kehilangan pekerjaannya.
Seorang psikolog, yang sudah menikah, berhubungan seksual dengan klien wanitanya yang
datang dengan tujuan untuk melakukan konseling. Kasus ini menyebabkan psikolog tersebut
dikeluarkan dari British Psychological Society (BPS). Psikolog yang bernama tersebut Timothy
Naylor dianggap melakukan pelanggaran kode etik profesi. Menurut Patricia Hitchcock, juru bicara
BPS, menjelaskan bahwa hubungan personal muncul setelah seorang psikolog laki-laki melakukan
psikotes untuk penerimaan pramugari suatu perusahaan penerbangan terkemuka tempatnya bekerja.
Ia tertarik dengan salah seorang perempuan cantik yang menjadi calon pramugari tersebut, namun
ternyata ia gagal dalam tes. Psikolog tersebut melihat bahwa perempuan tersebut sangat
membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Calon pramugari itu kemudian
menawarkan bahwa ia mau melakukan hubungan seksual dengan psikolog itu, dengan syarat ia
dapat diterima di perusahaan itu. Dan akhirnya psikolog itu tergiur dan menyepakati syarat
pramugari tersebut.

Kode Etik Psikologi

BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Perlindungan Klien dari Bahaya
Menurut Morrison-Valfre (2009), dalam praktik perawatan kesehatan mental, salah satu
prinsip terpenting adalah klien tidak mengalami bahaya. Pemberi jasa dari berbagai latar harus
bertanggung jawab untuk melindungi kliennya, tetapi bagi perawat yang bekerja untuk klien
kesehatan mental, prinsip ini sangat penting. Jika prinsip ini dilupakan, maka klien yang seharusnya
dilindungi akan berada dalam bahaya. Berdasarkan Pasal 2,
Prinsip A: Penghormatan pada Harkat Martabat Manusia
(1) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus menekankan pada hak asasi manusia dalam
melaksanakan layanan psikologi.
Prinsip B: Integritas dan Sikap Ilmiah
(2) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi senantiasa menjaga ketepatan, kejujuran, kebenaran dalam
keilmuan, pengajaran, pengamalan dan praktik psikologi.
Prinsip E : Manfaat
(3) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi perlu waspada terhadap kemungkinan adanya faktorfaktor pribadi, keuangan, sosial, organi-sasi maupun politik yang mengarah pada pe-nyalahgunaan
atas pengaruh mereka.
2.2 Hubungan Majemuk
Menurut Pope (dalam Bersoff, 1999), hubungan majemuk dalam psikoterapi terjadi ketika
terapis mempunyai hubungan signifikan lain yang berbeda dengan pasiennya. Umumnya hubungan
tersebut bersifat sosial, finansial, atau profesional. Misalnya, psikolog dan klien merupakan atasan
dan bawahan. Hubungan majemuk dapat menimbulkan suatu konflik, misalnya, ketika klien
merupakan seseorang yang psikolog kenal, bisa saja klien merasa malu untuk terbuka terhadap
psikolog tersebut karena takut dijauhi oleh psikolog.
Hubungan majemuk tidak dapat dihindari, namun dapat diminimalkan denggan
cara selective inattention, misalnya ketika melakukan praktik, psikolog berusaha untuk tidak
melihat hubungan lain antara psikolog tersebut dengan kliennya (Pope dalam Bersoff, 1999).
Namun, terkadang hubungan majemuk dianggap sesuatu yang benar ketika terlihat mempunyai
efek positif, misalnya hubungan seksual. Hubungan seksual dianggap meningkatkan kehangatan
hubungan antara psikolog dengan kliennya dan meningkatkan perasaan diterima klien, meskipun
sampai saat ini tidak ada penelitian atau data statistik yang signifikan yang menunjukkan efek
positif hubungan tersebut.
Kode Etik Psikologi

2.3 Pelecehan Seksual


Menurut Lahey (2012), pelecehan seksual adalah permintaan, komentar, atau perilaku
seksual koersif lainnya. Bentuk pelecehan seksual, misalnya, pendekatan seksual yang tidak
diinginkan, permintaan untuk berhubungan seksual, sentuhan di kaki, payudara, atau paha yang
tidak diinginkan, dan lain-lain. Komponen utama dalam pelecehan seksual adalah terjadi pada orang
yang memiliki kekuasaan yang berbeda. Korban pelecehan seksual umumnya merasa tidak nyaman
dan tenang pada pekerjaan atau sekolahnya. Bahkan, pelecehan seksual dapat menyebabkan
kecemasan dan depresi.
Lahey (2012) juga menegaskan bahwa terapis tidak diperkenankan untuk memanfaatkan
hubungan intens dengan klien hubungan seksual. Keintiman romantis atau seksual dengan klien
merupakan hal yang terlarang, bahkan dengan mantan klien. Pelecehan seksual terhadap klien
adalah suatu hal yang terlarang. Berdasarkan Kode Etik Psikologi Indonesia Pasal 14 (dalam
Juneman, 2011), pelecehan seksual yang dilakukan oleh psikolog merupakan suatu hal yang
terlarang karena dapat mengakibatkan efek negatif.

Kode Etik Psikologi

BAB III
PEMBAHASAN
Penulis meyakini hal ini terkait dengan efek negatif yang bisa saja ditimbulkan oleh
hubungan seksual. Menurut Lahey (2012), korban pelecehan seksual dapat mengalami kecemasan
dan depresi. Suatu efek negatif yang tidak diharapkan terjadi setelah kegiatan psikoterapi. Hal ini
terkait dengan Kode Etik Psikologi Indonesia Pasal 13 dan 15 (dalam Juneman, 2011), bahwa
seorang psikolog harus bertanggung jawab untuk menghindarkan klien dari bahaya. bahwa psikolog
bertanggung jawab terhadap klien. Efek negatif hubungan seksual bisa saja tetap terjadi, meskipun
hubungan terjadi dengan landasan suka-sama-suka. Seorang psikolog harus meminimalkan efek
negatif, bahkan ketika kemungkinannya sangat kecil. Penulis juga melihat bahwa terjadi suatu
bentuk ancaman terhadap klien di kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh psikolog Timothy
Naylor di Inggris. Klien diminta untuk tidak memberitahukan hubungan seksual yang terjadi karena
bisa saja klien kehilangan pekerjaannya. Hal ini juga merupakan pelanggaran terhadap Kode Etik
Psikologi Indonesia Pasal 13 dan 15 (dalam Juneman, 2011), subjek bisa saja merasakan kecemasan
karena kata-kata psikolog tersebut. Kecemasan timbul karena klien tersebut merasa takut akan efek
negatif bocornya rahasia tersebut.
Berdasarkan pandangan Lahey (2012), pelecehan seksual dapat menimbulkan rasa tidak
nyaman, selain itu dapat mengarah kepada kecemasan dan depresi. Selain itu, pelecehan seksual
dalam psikoterapi juga merupakan bentuk eksploitasi kekuasaan. Psikolog yang memiliki hubungan
intens dengan kliennya sehingga menyebabkan klien percaya dengan segala tindakan psikolog.
Meskipun tidak tergambar dengan jelas penyebabnya, contoh kasus yang dijelaskan di latar
belakang bisa saja tidak ditimbulkan oleh perasaan suka-sama-suka melainkan karena bentuk
eksplotasi kekuasaan.
Tidak sedikit psikolog yang menilai bahwa hubungan seksual antara psikolog dan klien
memiliki efek-efek positif (Pope dalam Bersoff, 1999). Akan tetapi, menurut Pope, tidak ada
penelitian dan data statistik yang signifikan yang menunjukkan bahwa hubungan seksual antara
klien dan mempunyai efek positif. Hal ini juga melanggar Kode Etik Psikologi Indonesia Pasal 2
(dalam Juneman, 2011) bahwa seorang psikolog harus bertindak berdasarkan pengetahuan yang
diyakini benar oleh komunitas psikologi. Jika tidak pernah ada penelitian dan data statistik yang
signifikan, maka suatu pandangan atau pendapat bisa saja suatu hal yang salah. Sehingga,
pandangan yang menyatakan bahwa hubungan seksual antara psikolog dan klien memiliki efek-efek
positif merupakan hal yang salah karena tidak terbukti melalui penelitian. Psikolog yang melakukan
hubungan seksual dengan klien secara otomatis melakukan tindakan yang tidak berdasarkan
kebenaran komunitas psikologi. Hal ini bisa saja menimbulkan efek negatif, bukan efek positif
Kode Etik Psikologi

karena tidak ada pernah penelitian yang dilakukan. Penulis menilai bahwa keberadaan penelitian
untuk mencegah terjadinya efek negatif karena kebenaran yang salah. Selain itu, pada salah satu
contoh kasus, psikolog tersebut berusaha meminta perusahaan asuransi klien membayar salah satu
pertemuan seksual antara psikolog dan klien tersebut, hal ini merupakan bentuk penipuan.
Berdasarkan Kode Etik Psikologi Indonesia (dalam Juneman, 2011), kode etik psikologi Indonesia
tidak bertentangan dengan hukum negara Indonesia. Oleh karena itu, psikolog Indonesia tetap harus
mematuhi hukum-hukum yang berlaku di Indonesia. Kasus ini tentu merupakan suatu bentuk kode
etik psikologi dan juga hukum di Indonesia
Hal ini menyebabkan penulis mencapai suatu kesimpulan bahwa hubungan seksual pada
psikoterapi merupakan pelanggaran kode etik psikologi Indonesia. Seorang psikolog wajib untuk
melindungi kliennya dari segala ancaman, salah satunya adalah ancaman pelecehan seksual oleh
psikolognya.

Meskipun

kemungkinan

munculnya

kecil,

pelecehan

seksual

tetap

tidak

diperkenankan. Sekecil apapun suatu resiko, resiko tetaplah sebuah resiko sehingga lebih baik
dihindari. Oleh karena itu, hubungan seksual dalam psikoterapi harus dihindari demi menjaga
profesionalitas profesi psikolog.

Kode Etik Psikologi

BAB IV
PENUTUP

4.1 Simpulan
Hubungan seksual antara psikolog dan klien merupakan suatu hubungan majemuk yang
dihindari karena terbukti memiliki kemungkinan untuk menimbulkan dampak negatif terhadap
klien. Seorang psikolog harus melindungi klien dari ancaman dan harus meminimalkan ancaman
itu. Hal ini dilakukan dengan cara psikolog menghindari hubungan seksual dengan klien. Hubungan
seksual tetap harus dihindari, meskipun hubungan terjadi karena perasaan suka-sama-suka.
Ancaman tetap saja bisa terjadi meskipun dengan kemungkinan lebih kecil. Selain itu, hubungan
seksual antara psikolog dan klien tidak didukung oleh kebenaran komunitas psikolog yang
diperoleh melalui penelitian. Penulis menyimpulkan bahwa hubungan seksual antara psikolog dan
klien melanggar kode etik psikologi Indonesia.

4.2 Saran
Menurut pandangan Pope (dalam Garrett, 1998), ketertarikan seksual psikolog terhadap
klien tidak dapat dihindari. Namun, alangkah baiknya jika ketertarikan seksual tetap menjadi
ketertarikan semata dan tidak berakhir menjadi hubungan seksual. Beberapa cara yang dapat
dilakukan adalah dengan mendekatkan diri kepada Tuhan serta menempatkan seorang sekretaris
sebagai pengawas untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Selain itu, psikolog harus
memiliki self-control yang baik yang diperoleh melalui pemikiran positif.
Klien disarankan untuk berpakaian dengan pantas untuk menghindari pendekatan seksual
yang tidak diinginkan dari psikolog. Klien juga harus belajar untuk tegas menolak hubungan
seksual. Jika psikolog mulai berperilaku mencurigakan, maka klien bisa saja memutuskan untuk
berpindah ke psikolog lainnya. Namun, tidak sedikit klien yang merasa kebingungan terhadap
gangguan yang dialaminya untuk merasa pasrah kepada keputusan psikolog. Jika terjadi hal seperti
ini, maka eksploitasi klien oleh psikolog nakal akan sulit untuk dihindari.
Klien yang menjadi korban pelecehan seksual oleh psikolog harus segera melaporkan kasus
ini kepada pihak berwajib dan kepada HIMPSI (Himpunan Psikologi Indonesia). Hal ini bertujuan
untuk adanya tindakan lebih lanjut dari kedua organisasi tersebut. Melaporkan kasus seperti ini
memang merupakan hal yang memalukan. Namun, pelaporan kasus tetap disarankan untuk
dilakukan karena adanya tindakan lebih lanjut dari kedua organisasi tersebut dapat mengurangi efek
negatif yang dialami oleh korban pelecehan seksual.

Kode Etik Psikologi

DAFTAR PUSTAKA

BBC News. (2000, Oktober 25). Psychologist sex case raises regulation concern. Diunduh tanggal
7 Oktober 2012 dari http://news.bbc.co.uk/2/hi/ health/990637.stm
Bersoff, D.N. (1999). Ethical conflicts in psychology (2nd ed.). Washington, DC: American
Psychological Association.
Brazas, S.M. (n.d.). Psychologists sexual misconduct may involve billing. Lawyers.com. Diunduh
tanggal

Oktober

2012

dari http://medical-malpractice.lawyers.com/Psychologists-Sexual-

Misconduct-May-Involve-Billing.html
Garrett, T. (1998). Sexual contacts between patients and psychologists. The Psychologist.
Diunduh www.thepsychologist.org.uk/.../thepsychologist%5C sexual.pdf
Juneman. (2011, April 23). Kode etik psikologi Indonesia (terbaru) HIMPSI, 2010 [Web log post].
Diunduh tanggal 7 Oktober 2012 darihttp://kesehatan.kompasiana.com/kejiwaan/2011/04/23/kodeetik-psikologi-indonesia-terbaru-himpsi-2010/
Lahey, B.B. (2012). Psychology an introduction (11th ed.). New York, NY: McGraw-Hill.
Morrison-Valfe, M. (2009). Foundations of mental health care (4th ed.). St. Louis, MS: Mosby.

Kode Etik Psikologi

Anda mungkin juga menyukai