Anda di halaman 1dari 203

KOTA KEMATIAN

Hanya sebuah dongeng.


Kau tak perlu merisaukannya. Cukup Kau pahami
maknanya.

1
Ia bergegas mati, meski istrinya minta untuk
lima menit saja menundanya. Anaknya yang kecil
minta dibuatkan susu. Lelaki itu sudah tak sabar.
Nanti saja kalau sudah pulang dari kematian,
katanya. Biarkan anak itu menangis, nanti akan
diam kalau capai. Katakan saja, nanti dioleh-olehi
cincin Sulaiman dari surga. Dia akan diam. Dan
istrinya menurut saja perkataan suaminya itu.
Benar juga, anak itu diam karena janji oleh-oleh
itu. Cincin Sulaiman memang menjadi impiannya.
Dongeng yang selalu ia dengar dari emak-nya,
membuat keinginan untuk memiliki cincin itu
membumbung tinggi. Membumbung tinggi, seperti
bapak dan emaknya yang kini sudah melesat ke
angkasa menuju ke kematian.
Mereka berdua hampir saja tersesat. Jalan-
jalan sudah berubah halus dan lebar. Di kiri kanan,
Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 1
gedung-gedung bertingkat berdiri. Tak ada tanah
lapang dan kosong lagi. Sepuluh tahun lalu,
terakhir dia pergi ke kematian, gedung-gedung itu
belum ada. Hanya gubug kardus nampak di sana;
carut marut. Jalannya masih sempit dan ber-
lubang. Tanah-tanah masih banyak tak bertuan.
Kota kematian itu kini sudah maju pesat. Kalau
dulu haya gerobak yang berlalu lalang, kini
kendaraan bermesin. Mewah lagi. Melihat semua
itu, lelaki dan istrinya hampir mengambil jalan
menuju ke neraka. Kalau tidak membaca papan
arah yang berdiri di pertigaan tadi, mereka sudah
tersesat ke kampung neraka.
“Hampir saja kita tersesat,” ujar lelaki itu
sambil garuk-garuk kepalanya yang plontos.
“Ya, Pak, aku juga tidak mengenali lagi kota
ini,” jawab istrinya tak kalah sengitnya.
“Untungnya kita sampai juga di kampung
surga ini.”
“Kita cari toko Sulaiman, Pak. Kita beli dulu
cicin untuk si Kecil. Mumpung masih ingat.” Kata
istrinya mengingatkan janji lelaki itu pada anaknya.
“Kalau masih menjual. Barang itu diproduksi
secara terbatas. Bahkan belinya juga harus me-
nunjukkan identitas diri. Kita kan tidak punya itu.”
“Kau kan mempunyai orang dalam. Kita
sogok dia agar menjualnya pada kita.”

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 2


“Kalau dia masih menjadi karyawan. Kalau
tidak.....”
“Semua karyawan sama, Pak. Mudah di-
sogok. Biasanya mereka yang sok alim justru
mudah kita iming-iming sogokan.” Tukas istrinya.
Lelaki itu tak kuasa menolak ketika tangan-
nya ditarik istrinya memasuki sebuah toko antik
milik Sulaiman. Toko itu masih tak berubah. Sama
seperti sepuluh tahun lalu. Penuh sesak dengan
barang di sana-sini tak tertata. Di atas ruang
bergantungan barang-barang bermacam-macam
bentuk. Tak ada satu pun yang mereka kenali
barang apa itu. Di semua dinding ruangan, penuh
tempelan barang-barang yang asing di benak dua
orang itu. Belum lagi barang-barang yang warnanya
sudah kehitam-hitaman berjajar di atas meja di
tengah ruangan. Mereka diam terpaku atas semua
itu. Tak ada yang mereka ketahui bentuk dan
namanya. Mereka hanya tahu warnanya yang
kusam dipenuhi debu. Untungnya seorang karya-
wan menghampiri mereka.
“Cari apa, Pak?” Ujarnya sambil berdehem
melihat mereka mematung.
“Oh, ya, ehm..............aku cari..........” kata
lelaki itu masih dalam kebingungan.
“Cincin Sulaiman, Mas,” sambung istrinya
cepat.

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 3


“Bapak sangat beruntung. Barang itu tinggal
satu-satunya di sini. Tak ada lagi. Tak mempro-
duksi lagi. Mari ikut saya ke belakang.”
Mereka bergegas pergi ke tempat yang
ditunjukkan karyawan itu. Sebuah ruangan yang
sempit, tapi cukup bersih dan tertata. Tak ada
barang yang asing di sana. Barang yang ada sangat
dikenali mereka. Meja, kursi, mesin ketik, sempoa,
kertas-kertas merang tertumpuk rapi. Sebuah
lampu kristal bergantung tepat di tengah ruangan.
Karyawan itu mengambil duduk di belakng meja
dan mempersilahkan tamunya duduk di depannya.
“Bisa tunjukan identitas Bapak?” Tanya
karyawan meminta.
“Di tempatku tak mengenal identitas, Mas,”
jawab lelaki itu. Sebuah jawaban yang sudah
disiapkan sejak tadi.
“Wah, kalau tidak punya identitas tidak bisa
membeli cincin Sulaiman, Pak.”
“Tolonglah, mas. Barang itu impian anak
saya.” Kata sang istri memelas.
“Tak bisa, Bu,” kata karyawan itu tegas.
“Kan bisa diatur semua itu,” kata lelaki itu.
Kata-kata yang juga sudah disiapkan sejak tadi.
“Diatur bagaimana, Pak?”
“Begini,” istrinya menyahut. “Akan kami
bayar lima kali lipat atau sepuluh kali lipat sekali-
pun.”

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 4


“Atau, Mas saya beri bonus untuk penjualan
itu,” timpal sang suami.
Karyawawan itu diam. Tawaran kedua tamu-
nya sangat menggiurkan. Sepuluh kali lipat di-
tambah bonus, wah, sangat menguntungkan. Tapi
dia tetap menjaga sikapnya. Ia tak ingin kedua
tamunya tahu apa yang ada di benaknya.
“Bagaimana, Mas?” Tanya perempuan itu tak
sabar.
“Ehm.........” Karyawan itu sedang memasang
taktik serakahnya.
“Atau masih kurang tawaran kami?” Ujar
lelaki itu menambah dorongan hati karyawan untuk
melepas barang itu.
Karyawan itu tak menyahut. Keningnya
menggaris tanda seolah-olah dia sedang me-
nimbang-nimbang. Sementara kedua tamunya tak
sabar lagi dengan sikap karyawan itu.
“Saya beli dua puluh kali lipat ditambah
bonus ditambah gelang, kalung, cincin emas ini.
Mahal lho harganya.” Kata perempuan meyakinkan
karyawan. Mata perempuan dan lelaki itu lurus
menatap mata karyawan. Tatapan penantian per-
setujuan transaksi itu. Ketika sang karyawan
akhirnya tersenyum, kedua tamu itu lega hatinya
seperti terbebas dari himpitan gunung berapi. Dan
senyum itu cukup bagi keduanya untuk tahu apa
artinya. Lelaki itu mengambil uang setumpuk dari

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 5


dalam kantung. Istrinya sibuk melepas perhiasan
yang di badan. Keduanya segera meletakkan di atas
meja. Sementara karyawan mengeluarkan sebuah
barang. Kecil kehitam-hitaman. Sebuah cincin
dengan mata sebutir kaca yang mengeluarkan
cahaya keungu-unguan.
“Cukup uang segini?” Kata lelaki itu.
“Cukup-cukup beserta perhiasan itu,”
sambut karyawan sambil bergegas memasuk-
kannya ke dalam kotak kayu kehitam-hitaman
juga. “Ini barang yang terakhir. Tak ada lagi. Jadi
Bapak harus menyimpannya baik-baik.” Lanjut
karyawan itu meyakinkan tamunya.
Lelaki dan perempuan itu seakan lupa
pamitan untuk bergegas keluar ruangan. Hatinya
teramat senang mendapatkan cincin Sulaiman yang
diimpi-impikan anaknya. Senyum mereka tiada tara
maknanya. Kebahagiaan. Keberkahan. Keabadian.
Bercampur aduk dalam benaknya. Rasa yang luar
biasa telah mendorongnya berjalan ringan dan
cepat menuju ke tempat yang tak mereka sadari ke
mana arahnya.
“Pak, kita ke mana?” Tanya perempuan itu
menyadari keadaannya.
“Lho kita kock ke sini!?” Kata lelaki itu tak
kalah kagetnya.
“Banyak orang antri, Pak.”

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 6


“Kita salah alamat. Kita sedang berada di
kampung neraka.”
“Kita terlampau senang, sehingga tak
menyadari jalan yang kita lalui.”
“Tidak apa-apa,” ujar lelaki itu menenangkan
istrinya. “Anggap saja kita tamasya ke kampung ini.
Nanti kita bisa kembali lagi.”
“Banyak orang antri,” kata perempuan itu
mengulangi perkataannya.
“Mereka bukan mengantri. Mereka sedang
menunggu giliran.”
“Giliran apa, Pak?”
“Giliran untuk disiksa.”
“Giliran untuk disiksa?”
“Ya, giliran untuk disiksa dengan panas api
neraka.”
“Kenapa?”
“Mereka bodoh ketika masih hidup.”
“Aku juga begitu, Pak, besuk?”
“Mungkin.”
“Mungkin?”
“Mungkin juga tidak. Tapi sudahlah, kita
kembali saja. Biarkan mereka menikmati penyiksa-
annya.”
Keduanya segera berjalan kembali. Mereka
kembali pada perasaannya yang membumbung
tinggi. Bahagia karena cincin Sulaiman. Mereka
membayangkan anaknya akan bahagia luar biasa

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 7


menerima barang itu. Sudah terlampau lama
dongeng tentang cicin Sulaiman menggaris di benak
anaknya. Setiap malam ia dongengkan. Tak bosan-
bosannya anaknya mendengarnya. Tak bosan-
bosannya pula ia menceritakannya. Dongeng itu
persis, tak berubah, setiap keluar dari mulutnya.
Dongeng itu, kata demi kata, kalimat demi kalimat,
persis sama setiap masuk ke telinga anaknya. Tak
ada dongeng lain yang mampu menggesernya.
Cincin Sulaiman. Saking menariknya, barang itu
hadir dalam mimpi anak itu. Saking penasarannya,
kata cincin Sulaiman berulang kali diucapkan anak
itu. Kata itu seperti magnit yang memiliki daya tarik
yang luar biasa.
Cincin Sulaiman. Ya, cincin Sulaiman. Kata
itu seolah seribu cambuk yang menghentikannya
jika akan berbuat nakal. Kata itu juga seperti
mainan purba yang mendorongnya setiap akan
berbuat kebajikan. Kata itu bisa menjilma menjadi
apa saja, tergantung apa saja yang akan ia
lakukan. Raksasa, boneka, cambuk, es krim,
hantu, mainan, kelinci, cendrawasih, ular, batu,
air, bahkan bisa juga menjilma menjadi tetangga-
nya yang buruk rupa. Acap kali kata itu menjilma
menjadi ibu gurunya yang cantik dan yang suka
menggendongnya di sekolah ketika ia menangis.

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 8


2

Itu cerita masa kecilku. Cerita yang begitu


menenggelamkan aku ketika itu. Sekarang, semua
hanya menjadi bahan tertawaku. Pintar juga cara
ibuku mendidikku. Dia tak banyak bicara untuk
menasehatiku. Dia tak banyak bekata-kata jika
melarangku. Cukup menyebut Cincin Sulaiman.
Dan aku akan tahkluk dibuatnya. Entahlah. Aku
pun akan antusias mendengar ceritanya setiap
saat. Kau mungkin juga mengalami hal yang sama.
Mungkin cerita itu tak masuk akal dalam
pikiranmu sekarang. Memang, sebuah cerita mesti
tak masuk akal. Ia hanya imajinasi. Ia hanya
fantasi. Angan-angan. Ia dibuat bukan dari
kenyataan. Ia muncul dari dalam ruang intuisi dari
pembuatnya. Tapi kau harus memahaminya dari
sudut yang lain. Apa yang kau dengar, hanyalah
yang tampak. Yang tampak belum tentu nyata. Di
balik fantasi itu ada makna. Di balik imajinasi ada
yang nyata. Kalau kau mau menemukan itu, cerita
Cincin Sulaiman itu, masih sesuai untuk kita
sekarang. Bahkan hingga kita senja, cerita itu
masih menjadi magnit dengan daya tarik luar biasa.
Bukankah sudah saya katakan sebelum aku
bercerita tadi? Kau harus memilih dan memilah,
menimbang dan menentukan.

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 9


MALAIKATKU

Sebelum cahaya itu muncul,


hidup seperti raksasa hendak menelan manusia.
Ketika cahaya itu berpendaran di jalan,
hidup seterang matahari.

Malam retak. Menganga seperti mulut


raksasa. Bulan pasti takut dan meng-hindar di
balik mendung. Sebentar hujan bakal tiba. Petir
telah menyambar ke puncuk-pucuk pe-pohonan.
Angin semakin santer menerpa de-daunan. Hawa
atis. Tak ada sisa sedikit pun ruang malam untuk
sekedar merasa nyaman. Benar-benar retak. Retak
juga rumah sialan ini. Genting retak; hujan akan
mengintip lewat garis-garis retak itu. Mengucur
semakin deras, seperti garis vertikal di setiap sudut
ruang. Di antara garis-garis itulah tempat tubuh
ini berdiam. Membeku di sana. Bersedekap seperti
patung di depan makam Belanda warisan penjajah.
Dinding pun retak. Air pun akan merembes dari
sana dan mengalir lewat jalan yang sama, yang
telah ditandai warna kecoklat-an oleh hujan
Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 10
sebelumnya. Di bawah mereka berkumpul sedikit-
demi sedikit menjadi bukit. Garis-garis air dari
genting itu akan menaikkan permukaannya
menjadi air bah. Tenggelam. Tubuh ini semakin
cepat membeku. Darah membeku. Otak membeku.
Jantung semakin malas memacu. Cuma mulut
semakin menjadi-jadi bersumpah serapah. Hujan
sialan! Rumah sialan! Kemiskinan ini semakin
sialan! Sialan!
Boleh kusebut kau: hujan sialan? Tak perlu
marah. Anggap saja ini sebuah keluh kesah dari
orang-orang rendah. Terbukalah, bukan mengalah.
Aku tahu, benakmu tak ada istilah mengalah.
Apalagi kata: kalah. Tak ada. Kau hanya bisa
merasa benar. Bahkan seandainya yang keluar dari
mulutmu hanya bau kentut sekali pun, kau pasti
mengatakan-nya sebuah berkah. Sebuah fatwa
yang mesti ditaati semua orang. Tak boleh menolak;
apalagi menentang. Tapi aku tetap menyebut-mu
hujan sialan. Terserah kau mau apa, karena kau
memang benar-benar sialan.
Hujan sialan. Di malam yang sialan pula.
Rumah ini sialan juga. Petir sialan. Angin Sialan.
Dingin sialan. Serba sialan. Tapi kau katakan
semuanya sebuah kebaikan. Ingin esok kutanam
bunga Kemboja di depan rumah dan bendera
kuning berkibar di atasnya. Anggap saja itu sebuah

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 11


pernyataan penyesalan untuk hujan sialan. Tak
perlu marah.
Tak perlu marah. Kau sudah terlampau kaya
akan kemarahan. Tak perlu ditambah lagi. Atau
kalau boleh aku usulkan, kau terima saja keluh
kesah ini sebagai bahan tertawaan. Aku juga tak
akan marah untuk itu. Aku sudah terlalu kerap
mengalami betapa keluh kesahku menjadi bahan
pelecehanmu. Meski bagiku itu sebuah kejujuran,
bahkan yang paling jujur, tapi perasaanmu tak
bergeming sedikit pun. Empatimu tak tersentuh
juga. Atau barangkali kau tak memiliki perasaan?
Barangkali juga kemarahanmu itu telah
menghanguskan sensor yang paling peka sekalipun
dalam dirimu. Syaraf kepekaanmu telah hitam
legam atas apinya. Terpotong-potong ribuan
penggal-an menjadi patahan-patahan kecil.
Berserabut. Lantas menjadi ribuan ulat gatal.
Lantas menciptakan impuls psikologis. Lantas men-
dorongnya menjadi ledakan gunung berapi dalam
dirimu. Lantas lava itu menjadi api. Lantas apimu
itu menjadi petir. Dan uapnya bergantungan di
dinding-dinding tubuhmu hingga menjadi hujan.
Lantas kau menjadi hujan sialan.
Malam ini, sekian kali, aku bertemu kau lagi.
Hidupku pun menjadi sialan. Dan aku teronggok di
pojok paling aman dari guyuran hujan sialan.
Sampah. Ya, teronggok seperti sampah barang

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 12


bekas. Tak akan bisa ke mana. Tak akan bisa
menyalurkan hobi favoritku di malam hari; mencari
inspirasi. Mengamati ke-sibukan kota, dengan
segala perangainya, lantas menuangkan menjadi
tulis-an. Bagai-mana mungkin melaksanakan hobi
itu, tepat-nya sebuah pekerjaan, jika tak bisa ke
mana-mana. Satu-satunya menerima lagi
perbincang-an dengan hujan sialan. Dialog sialan.
Lantas menjadi tulisan sialan. Bosan. Kebosan-an
sialan. Serba sialan malam ini dan akan terus
seperti ini.
“Kau tak perlu terpekur seperti itu,” sapa
hujan penuh kelembutan. Bah! Aku tak akan
tertipu dengan sikap lembutmu itu. Semu! Munafik!
“Aku tak ingin bercengkerama dengan-mu,”
jawabku ketus.
“Dengan apa kau akan menghabiskan
malammu seperti ini!?”
“Apa pedulimu!”
“Jangan menolak niat baik orang lain,”
desaknya sambil tersenyum. Dasar hujan sial-an,
senyumnya pun memuakkan! “Apa salahku hingga
kau teramat ketus padaku?”
“Apa salahmu!? Kau memang benar-benar
dungu! Lihatlah! Apa yang telah kau lakukan
padaku, pada rumahku, pada pekerja-anku, pada
semua ini.”

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 13


“Jangan bebankan kesalahanmu padaku.
Aku bukan kambing hitam. Semua ini karena
ulahmu sendiri. Kalau kau punya rumah bagus,
mobil bagus, dan uang banyak, kau tak mungkin
seperti ini. Keadaanmu seperti ini karena
kebodohanmu.”
“Bicara memang gampang. Kalau aku kaya,
tak mungkin seperti ini. Tak mungkin aku harus
bercengkerama denganmu semalam-an.”
“Mengapa kau tak kaya?”
“Aku bukan seperti koruptor yang maling
uang rakyat untuk menjadi kaya. Aku juga bukan
jadi kapitalis yang mau menyogok pejabat untuk
mendapatkan proyek. Aku cukup bangga dengan
keadaanku sebagai penulis.” Bantahku mulai kesal
dengan hujan sialan itu. Mudahnya ia bicara.
Benar-benar sialan!
“Perasaanku aku belum pernah me-
nyarankan kau menjadi koruptor atau kapitalis
kotor. Menjadi penulis pun bisa kaya.” Sekali lagi
hujan sialan itu berkata dengan senyum
memuakkan itu. Aku jadi semakin muak dibuatnya.
“Bagaimana mungkin penulis bisa men-jadi
kaya!? Rakyat lebih sibuk ngurusi perut dari pada
membaca. Wajar. Koruptor telah me-ngeruk uang
yang seharusnya untuk mem-perbaiki hidup
mereka. Negeri ini hanya bisa memakmurkan
koruptor dari pada rakyatnya. Bagaimana mungkin

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 14


rakyat mau membeli buku, membeli beras saja
hanya cukup untuk sehari dua hari.”
“Kenapa kau tidak menulis untuk mereka
yang mampu membeli buku? Kau bisa menulis
untuk sebagian rakyat ini yang mampu membeli
buku.”
“Sebagian rakyat ini tak bisa beli buku.
Sebagaian lagi tak memiliki hobi membaca.
Sempurna!”
“Kau salah memahami keadaan. Dunia-mu
sudah berbeda, sudah banyak yang me-nyukai
membaca. Mereka kritis untuk memilih-milih buku
apa yang akan dibaca.”
“Mereka bukan kritis. Mereka cuma ingin
membaca buku-buku yang bombastis. Sebagi-an
kecil saja yang benar-benar ideal.”
“Bukan bombastis, tapi yang mampu
menguras sisi kemanusiaan. Semakin mereka
terkuras emosinya, semakin menarik. Menulis-lah
cerita yang membuat mereka se-perti itu.” Katanya
dengan kepercayaan diri yang mem-bumbung
tinggi.
“Lantas aku harus menulis apa?” Rasa-nya
aku semakin dungu berhadapan dengan hujan
sialan ini. Ia lebih menguasai keadaan dari pada
aku. Aku dibuatnya mati kutu.

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 15


“Banyak! Kau bisa menulis tentang diri-mu
misalnya; seorang penulis yang gagal. Buku cerita
semacam itu akan laris di pasaran.”
“Aku bukan penulis gagal, Sialan!” Ja-wabku
tersinggung ucapannya barusan. Sialan benar
hujan itu.
“Jangan tersinggung. Kau bisa men-
ceritakan kemiskinan seorang penulis misal-nya.”
“Aku juga bukan miskin!” Aku semakin
marah dibuatnya.
“Kenapa Kau sewot!? Aku bukan bicara
tentangmu. Aku hanya bicara tentang penulis yang
miskin.”
“Tapi makna tersiratnya itu merujuk
padaku.”
“Maaf, bukan itu maksudku. Kau cermati
saja ucapanku. Aku hanya membantumu, bukan
melecehkanmu. Kau jadikan pengalam-anmu untuk
menulis tentang penulis yang gagal dan miskin,
karena kejujuran yang ingin di sampaikan dalam
tulisan itu. Atau mungkin tentang penulis yang
berjuang menjadi seorang yang membela kaum
lemah. Sekarang ini tak ada buku semacam itu.
Penulis sekarang cenderung mengandalkan selera
pembaca. Apa kesukaan pembaca, itulah yang
ditulisnya. Tak lebih dari itu. Kenapa kau tidak
memulainya?” Katanya dengan sedikit tersenyum
dan itu membuatku semakin dungu dan sewot.

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 16


“Gila! Bisa dianggap aku seorang
pemberontak!” Jawabku bersungut-sungut.
Perasaan dan pikiranku terasa sudah dikuasai
hujan sialan itu.
“Kau hanya menulis. Imajinatif dan kreatif.
Bukan ingin protes atau melawan. Justru
sebaliknya, Kau memberikan pencerah-an tentang
arti sebuah kejujuran dan kebenar-an. Kenapa
mesti takut dikatakan pem-berontak. Daripada
cuma bisa ngomong tapi tak mau bertindak, lebih
baik menulis.” Kata hujan semakin percaya diri.
Pandai juga dia. Benar-benar inspiratif hujan sialan
itu. Dari mana ide gila itu dia dapat? “Tapi kau
mesti menulisnya dengan gaya bercerita yang baik.
Jangan seperti tip dan trik masak makanan di
majalah wanita itu. Kau ceritakan saja dengan gaya
human interest-mu yang mengiba-iba itu.”
“Kau layaknya sudah menjadi seorang
kritikus hebat saja!” Kataku tersinggung atas
kritiknya terhadap tulisanku.
“Jangan marah kalau kau dikritik orang,”
katanya seperti paham apa yang kupikirkan itu.
“Sudahlah, sudah waktunya aku pergi. Sudah
waktunya aku menyudahi hujan ini.” Lanjutnya
sambil ngeloyor pergi begitu saja. Dasar hujan
sialan tak mengenal kesopanan.
Malam sudah sepenggalan. Hujan sialan itu
telah pergi. Entah ke mana lagi dia akan

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 17


menggangu kehidupan orang. Dia hanya
menyisakan hawa dingin dan tanah becek hampir
di semua tempat di rumah ini. Bahkan di luar
genangan air di sana-sini. Dasar sialan! Kenapa
mesti aku yang merasakan ulahnya. Hidupku
memang sialan. Kemiskinan sialan. Pekerjaan
sialan. “Dan kau hujan sialan!”
“Jangan mengumpat, Penulis!” Masih saja
dia berteriak dengan petirnya dari tempat yang
jauh. Langit sekejap terang atas teriakannya.
Dasar! Apa yang kupikirkan pun dia
mengetahuinya.
Keadaan rumah yang menjengkelkan itu,
mendorongku untuk keluar. Kota ini tentu belum
tidur. Kendaraan juga tak akan cepat-cepat tidur.
PKL, gelandangan, pengemis, PSK, tukang becak,
dan penghuni kota ini tak mungkin tidur. Hujan
sialan itu telah memprorak-porandakan hidup
mereka malam ini. Aku tak ingin cepat-cepat tidur.
Benakku lebih tertarik ide hujan sialan itu. Benar
juga dia. Kenapa tak kupikirkan itu sejak dulu.
Bukankah tak ada berita yang menarik di negeri ini
selain korupsi, adu mulut para politis, kekerasan,
penggusuran, kebakaran, dan semacamnya.
Tak seperti biasanya, malam ini aku tak
tertarik hiruk pikuk kota ini. Selama ini, itu
menjadi sumber inspirasi yang tak pernah habis
kugali. Kubiarkan malam ini semua itu lewat di

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 18


depan mata dan telingaku. Bahkan peristiwa PSK
marah-marah karena tak dibayar pelanggannya,
kubiarkan lewat begitu saja. Pengemis kecil dihajar
Polisi PP, tak menarik hasratku. Atau tukang becak
rebutan penum-pang, terasa tak menyentukhku
lagi. Pikiranku justru berkelebatan ucapan hujan
sialan tadi. Dan penjual koran di pojok alun-alun
itu menjadi pilihanku.
Bebera koran yang tak laku hari ini aku
borong. Harganya lebih murah. Dan di tempat
biasanya mangkal, aku membolak-balik koran-
koran itu. Apalagi kalau tidak mencari berita
seputar kemiskinan, kegagalan, perjuangan, atau
tentang kelaparan. Kata-kata itu menjadi bahan
tulisanku nantinya. Tak perlu susah mencarinya,
semua koran memberitakannya. Sisi lain negeri
yang terkenal kaya raya dan subur alamnya. Uh!
teramat ironis. Hujan sialan itu memang benar-
benar sialan. Tahu saja dia, inspirasi apa yang akan
mendatang-kan perhatian khalayak untuk
membaca. Soal korupsi malah bikin marah dan
muak; bisa-bisa malah meracuni diri sendiri.
Tak sabar aku untuk segera menulisnya.
Orang-orang pasti sedang menunggu terbitnya
buku tentang makna sebuah perjuangan. Hari ini
tema itu terasa asing dan telah dilupakan.
Aku datangi Karjo, teman penulis yang
nasibnya agak lebih mujur dari aku. Dia

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 19


mempunyai laptop lebih untuk aku pijam. Maklum
penulis miskin, untuk menulis pun harus pijam
laptop. Komputer terakhir yang aku punya telah
kujual untuk membayar hutang-hutangku. Pemilik
warung sebelah rumah, tak akan menghutangi aku
lagi kalau tak melunasi hutangku yang telah
menunggak tiga bulan. Bah!
“Kau nampaknya sudah kebelet,” kata Karjo
sambil menyerahkan laptop.
“Hujan sialan itu telah memberiku in-spirasi
yang bagus.”
“Biasanya kau hanya menyumpahi hujan itu.
Tapi sekarang kau memujinya.”
“Aku masih tetap menyumpahinya. Gara-
gara hujan sialan itu, aku teronggok seperti
sampah di rumah.”
“Gara-gara hujan sialan itu, kau juga
mendapatkan inspirasi yang bagus, kan?” Kata
Karjo memojokkan aku. Aku tak membantah-nya.
Malam ini hujan sialan itu telah membuka
pikiranku. Dia telah membantuku dengan ide
nyeleneh tapi menarik. “Tapi jangan jual laptop itu!”
“Jangan kuatir, Bung. Aku tak akan
menjualnya. Buku yang akan aku tulis pasti best
seller. Bahkan akan aku kembalikan sekalian
hutan-hutangku.”
“Semoga,” jawab Karjo dengan nada agak tak
percaya.

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 20


“Kau seperti tak memercayainya,” kataku
dongkol. Sementara Karjo hanya tersenyum.
Kutatap matanya yang sipit seperti peranakan
Mongol itu.
“Kenapa kau tatap aku seperti itu?”
“Tulisanmu sering nongol di koran-koran
akhir-akhir ini.”
“Kau butuh uang lagi?” Tanya Karjo tahu
arah pembicaraanku. Aku tersenyum senang
betapa pekanya dia pada apa yang kumaksud. Dan
teman yang satu ini, tak perlu berpikir lagi untuk
merogoh dompetnya untukku. Beberapa lembar
ratusan ribu telah berpindah ke sakuku.
“Berhematlah. Semoga kau berhasil.”
Segelas kopi dan sebungkus rokok
menemaniku malam ini. Kalimat demi kalimat
meluncur deras lewat monitor laptop di depanku.
Halaman demi halaman seolah tak mau berhenti
mewadahinya. Otakku seperti sumber air tak
terbendung. Deras, sederas hujan si........ ah, tak
adil aku mengatakan sialan pada orang yang telah
memberikan inspirasi ini. Sumber air ini tak juga
berhenti. Entah sudah berapa jam aku tangkap
derasnya. Langit mulai terang. Sorot matahari
mulai memancar lewat genting-genting yangn bocor.
Tubuh ini juga semakin letih. Kaku. Tapi aku tak
merasakan apa-apa kecuali menulis, menulis, dan
menulis.

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 21


*****

Bacalah! Kata Jibril kepada Muhamad.


Aku tak bisa, kata Muhamad
Bacalah atas nama Allah! Perintah Jibril.
Dan Muhamad pun membaca aksara demi aksara
dengan keyakinannya pula.

Satu hal yang paling dia sukai di sekolah,


yaitu pelajaran mengarang. Tapi teman-teman-nya
malah sebaliknya, teramat mem-bencinya. Bagi
mereka, sudah gurunya tua dan kasar, mengarang
adalah pekerjaan yang paling menjemukan. Tapi
bagi Carik –namanya saja sudah Carik atau tulisan,
pelajaran mengarang mampu menenggelamkan
dirinya ke dalam imajinasi yang tak terkira. Dia
bisa sejenak melupakan segala kesemrawutan
hidup di rumah. Atau mungkin, juga bisa untuk
curhat. Yang satu ini tak bisa dia lakukan kepada
orang lain, selain kepada dirinya sendiri melalui
tulisan. Memalukan. Menyebarkan aib keluarga
sendiri. Tak akan aku lakukan itu, batin Carik.
Guru mengarang yang telah beruban tapi
masih gesit itu, tampak seperti malaikat. Carik
memandangnya dengan penuh pesona dan
penantian, apa yang bakal diucapkan gurunya itu.
Dia tak sabar, untaian kata apa yang keluar dari

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 22


mulut tipisnya itu. Dan dia juga tak sabar, perintah
apa yang kemudian akan diberikan malaikatnya
itu. Dia akan dengan senang hati melakukan itu.
“Boleh minta selembar kertas dari bukumu
itu?” Tanya malaikat kepada murid-muridnya. Tak
perlu berpikir dua kali Carik telah menyodorkan
selembar kertas pada gurunya. Malaikat itu cukup
mahfum atas tanggapan yang sepat dari siswanya
yang satu ini. Sebuah senyum dia berikan kepada
Carik. Senyum malaikat. Ah, andaikan senyum
yang sama diberikan ayahnya, betapa...... Carik tak
meneruskan apa yang berkecamuk dalam batinnya.
Dia benamkan lagi kalimat yang belum selesai itu
ke dalam batin sedalam-dalamnya.
Malaikat itu meremas-remas kertas itu
seperti pemain sulap. Anak-anak mengira gurunya
itu akan bermain sulap. Biasa, ada saja ulah guru
jika sudah jam-jam terakhir seperti ini. Sepertinya
guru-guru membangkit-kan motivasi siswa-
siswanya untuk memper-hatikan pelajaran. Tapi
percuma, batin mereka. Jam sesiang ini hanya satu
yang mereka pikir, cepat pulang dan mengisi
perutnya yang telah kelaparan. Selembar kertas
yang telah berubah menjadi lucet di tangan
gurunya itu, kemudian dibuka lagi. Dia usap-usap
selembar kertas itu lipatan-lipatan yang telah
membekas pada lembaran itu. Anak-anak pun
melihat semua ulah gurunya itu seperti melihat

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 23


anak-anak kecil sedang bermain selembar kertas.
Guru mengarang itu mafum keadaan siswanya
seperti itu.
“Tahu apa makna dari kertas yang sedang
saya mainkan ini?” Tanya malaikat tua itu sambil
tersenyum.
“Tidaaaaak!” Seru paduan suara dari anak-
anak, kompak. Hanya carik tak ingin menjadi
bagian dari paduan suara itu. Dia cukup paham
maksud dari sang malaikat itu. Tapi dia cuma
diam. Tak penting menjawabnya. Lebih baik dia
segera akan menuliskan sesuatu di bukunya yang
sudah sejak tadi terbuka seperti hatinya yang
terbuka untuk segera menuangkan kalimat-kalimat
menjadi karang-an.
“Tidakkah kau tahu apa makna kertas yang
telah kumainkan tadi hingga seperti ini?”
“Tidaaaaaaaaaa!” Sekali lagi anak-anak
menjawabnya dengan suara yang lebih pan-jang.
Dan malaikat semakin mafum dengan itu.
Ketaksabaran. Dasar anak zaman seka-rang,
inginnya serba cepat.
“Sabarlah! Bisakah kau berpikir dulu
sebelum menyanyikan lagu “tidak” itu.”
“Tidak!” Sekali lagi mereka menjawab dengan
pendek. Cepat. Dan gurunya menang-kapnya
sebagai sebentuk perintah untuk sege-ra
menerangkan apa maksudnya.

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 24


“Carik, kau yang sejak tadi tidak ikut
menyanyikan lagu “tidak” itu. Bisakah kau
membantu teman-temanmu mengurai ketidak-
tahuannya itu?” Kehalusan perintah malaikat itu
seperti firman yang wajib dia lakukan. Semua
tatapan mata di kelas itu serentak berpindah
kepadanya.
“Semua yang sudah terjadi, tak akan bisa
kembali lagi seperti semula.” Jawab Carik terbata-
bata. Tatapan mata teman-temannya seperti seribu
raksasa yang ingin melahap tubuhnya.
“Tepat. Ternyata cuma kamu yang sedikit
mau berpikir di siang ini.” Kata malaikat sambil
mengitari ruangan kelas dengan tatapan matanya.
Dan Carik merasa terangkat ke atas angkasa. Tapi
di dalam benaknya muncul wajah lelaki yang
teramat sering menguburnya hidup-hidup ke dasar
bumi yang paling dalam; ayahnya.
“Kau sudah mulai berani sama ayahmu ini,
hah!? Apa karena kau sudah merasa besar? Kuat?
Siapa lagi yang telah membesarkan kamu selama
ini? Dan kau sekarang berani menentang ayahmu
ini!” Mitraliur itu membabi buta memberondongkan
jutaan mesiu tepat ke dadanya. Perih. Panas. Dan
Carik seperti sampah teronggok di sudut kamar.
“Tak perlu kau mengusik kesenangan ayahmu ini.
Kalau kau tak suka, pergi saja! Carilah ibumu yang
kini menikmati bau ketiak lelakinya itu.” Sambung

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 25


ayahnya lagi semakin garang. Hari-mau yang
terusik dan siap menerkam mangsanya. Sementara
mangsanya semakin ciut nyalinya. Carik merasa
semakin kecil tubuhnya. Matanya mulai kabur oleh
air mata kesedihannya.
Siang itu, sepulang sekolah, sekali lagi Carik
melihat ayahnya sedang mengepit mesra
perempuan seusia dirinya. Sekali lagi pula,
pandangan matanya menunjukkan ketidak-sukaan
melihat pemandangan itu. Ayahnya melihat ulah
Carik seperti pemantik menyulut api di dadanya.
Dia lemparkan perempuan itu ke atas kursi dan
mengejar Carik ke kamarnya. Sekali lagi, Carik
terjerembab di kamar dengan berondongan
mitraliur kemarahan ayahnya. Sekali lagi tubuhnya
semakin kecil di depan harimau garang ayahnya.
“Kenapa kau diam, Carik, setelah menjawab
pertanyaanku itu?” Carik sontak tersadar
mendengar teguran halus di telinga-nya.
Malaikatnya telah berdiri di sampingnya sambil
mengelus kepalanya yang tak rata lagi. Bekas-bekas
luka tersebar di sekujur kepalanya. Terlihat jelas
oleh mata malaikat itu, karena tak lagi bisa
ditumbuhi rambut. “Tuangkan saja lamunanmu itu
ke dalam karangan. Itu yang paling jujur dari
sebuah tulisan.”
“Maaf,” jawab Carik singkat. Dia ambil
bolpoin dari kantung bajunya untuk menutupi

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 26


kekagetannya yang belum habis dari hatinya. Dia
pandangi halaman kosong penuh konsentrasi.
Seperti biasa, dia harus mengawali tulisannya
dengan kalimat-kalimat yang menarik. Kalimat-
kalimat yang akan menuntun orang yang membaca
tulisannya kelak. Kalimat-kalimat yang akan
merasuki pikiran pembaca hingga tak menyadari
kalau dirinya telah didorong untuk terus membaca
tulisan-nya itu. Dan pembacanya itu adalah
malaikat-nya; gurunya. Kelak, kembali seribu
kehalusan pujian akan menerbangkan Carik ke
angkasa. Kelak, akan sedikit meringankan
tubuhnya dari segala beban. Kelak, dia ingin
menemukan ayahnya dari semua perhatian yang
pernah diperoleh dari malaikatnya itu.

*****

Bukankah dunia ini bermula


dari aksara kaf dan nun.

Malam ini begitu utuh. Bulan utuh. Angin


utuh. Anomali termangu semakin dalam. Matanya
menatap kosong. Tapi benaknya mengembara ke
dunia asing. Dia seolah berjalan di sebuah jalan
yang lurus. Semakin dalam, semakin ia tenggelam
dalam dunia maya yang nyata. Berseliweran
peristiwa-peristiwa yang rasanya pernah ia jumpai.

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 27


Bahkan seolah ia sendiri yang melakukannya. Ia
berada di dunia antara lupa dan ingat. Ia berada
dalam ambang kesadaran dan ketaksadaran;
kepastian dan ketidak-pastian.
Anomali melihat sebuah pohon besar.
Rindang. Teduh. Rimbun. Hijau. Segar. Tapi tak
ada angin di sana. Tak ada cahaya di sana. Tak ada
horison. Asing, tapi dia merasakan semua itu
seperti pernah dilihatnya. Seolah pernah dia
nikmati kenyamanan yang luar biasa di tempat ini.
Entah di mana, kapan. Pohon itu seakan telah
akrab dengan dirinya. Pohon itu tersenyum
padanya ketika melihat kebingungan Anomali.
“Tak perlu bingung. Aku ada dalam dirimu,
dalam sejarahmu.” Sapa pohon bersahabat.
“Siapa namamu?” Tanya Anomali me-
nyambutnya dengan gamang.
“Apa penting sebuah nama?” Balas pohon itu
dengan pertanyaan juga.
“Ya. Setidaknya untuk saling menyapa.”
“Kalau hanya untuk menyapa, mengapa
harus memakai nama.”
“Paling tidak, ada identitas untuk menandai
sesuatu. Kalau ngurus KTP misal-nya.”
Pohon itu tersenyum. Ada yang lucu dari
jawaban Anomali di telenganya. “Kau lucu. Di sini
tidak ada KTP. Kehadiranku hanya satu-satunya di
sini. Tak ada yang lain. Jadi tak perlu sapa

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 28


menyapa, tak perlu penanda. Tubuhku sudah
cukup untuk menandai kehadiranku.”
“Kalau begitu, bagaimana aku
memanggilmu?”
“Cukup panggil aku dengan Pohon atau
Kayu. Kalu tidak suka dengan itu, panggil saja aku
dengan Sajarat.”
“Nama yang aneh. Baiklah, aku panggil kau
dengan Kayu. Setiap hari pekerjaanku mengambil
kayu di hutan.”
“Aku tahu itu.”
“Tahu?”
“Ya. Aku tahu semua tentang dirimu.”
“Kita tak saling kenal.”
“Kau bukan tidak mengenal aku, tapi kau
bodoh. Kau tak mau belajar tentang dirimu. Kau
tak ubahnya hanya tulang terbungkus daging dan
kulit. Kau punya otak, tapi tak pernah kau
gunakan untuk memi-kirkan keberadaanmu. Kau
terlalu sibuk dengan urusan perut dan nafsu.”
“Aku benar-benar tak mengenalmu!”
“Kau benar-benar bodoh!” Kata pohon itu
sambil berjalan meninggalkan Anomali sendirian
Benak Anomali masih belum hilang
kebingungannya. Ia berjalan mengikuti naluri-nya.
Naluri purba yag menuntun dirinya memasuki
dunia yang lain pula. Sebuah cahaya yang amat

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 29


terang, tapi tak menyilau-kan. Mata Anomali justru
nyaman. Damai.
“Mataharikah itu!? Mengapa begitu rendah!?
Mengapa tidak terasa panas!?” Belum lagi paham
tentang pohon itu, sekarang muncul cahaya itu.
“Dunia apa ini!?”
“Ini dunia azalimu.”
“Siapa yang bicara?” Reflek mulut Anomali
berteriak mengeluarkan pertanyaan itu. Tak ada
sahutan. “Hei! Siapa yang bicara?”
“Tak perlu berteriak di sini.”
“Kau yang bicara, Cahaya?”
“Ya.”
“Heran aku dengan dunia ini. Tak adakah
manusia lain selain aku.”
“Tak ada yang lain selain kita.”
“Ini dunia apa!? Tadi hanya ada pohon,
sekarang cahaya. Apa dunia manusia sudah
kiamat. Tapi mengapa aku masih hidup.”
“Justru dunia manusia baru akan mulai.”
“Lucu kamu! Tak mungkin aku ada sebelum
dunia manusia ada. Bukankah aku bukan Adam!?”
“Kau memang bukan Adam. Kau hanya
seorang Anomali. Kehadiranmu sekarang ada di
dunia anomali. Adam berdiam di dunia yang lebih
luas dari dunia anomali. Duniamu itu hanya
sebagian kecil yang akan hadir di dalam dunia
Adam.”

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 30


“Aku semakin bingung. Ini dunia apa? Ini
alam apa? Apa ini alam kematian? Apa aku sudah
mati?”
“Kau justru belum lahir. Bahkan masih jauh
dari kelahiran. Wadagmu saja belum diciptakan.”
“Aku ini Anomali, seorang laki-laki yang
ditinggal istri pergi bersama laki-laki lain. Aku
punya Surti yang telah pergi. Aku punya………”
Anomali tak sanggup melanjutkan ucapannya.
Perasaannya perih. Betapa dia menciptai Surti;
seorang wanita yang telah menenggelamkan dirinya
ke dalam pesonanya. Tak sadar matanya menetes
butiran-butiran air mata. “Aku ingin merantau
mencari Surti. Aku ingin membuktikan pada Surti
kalau aku lebih baik daripada lelaki itu.”
“Tak perlu menangis. Kau belum mengalami
apa-apa. Kau belum dilahirkan. Tunggu waktunya
tiba.”
“Aku sedih! Aku bingung dengan semua ini!!
Kau ini siapa!?”
“Aku bagian dari dirimu,” jawab Cahaya
sambil ngeloyor pergi. Tinggal pendaran-pendaran
cahaya menerangi tempat itu.
“Anomali sendirian lagi dengan kebi-
ngungannya. Benaknya tak mampu mengurai apa
yang dialaminya ini. Selain Surti, tak ada lagi yang
bisa dipikirkan. Wajah istrinya itu bergantian
berkelebat dengan seorang anak laki-laki di

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 31


pikirannya. Surti yang teramat dicintai, Carik yang
amat disayanginya.
“Kau mencintai dan menyayangi dengan cara
yang salah,” sebuah suara kecil tiba-tiba
mengusiknya. Dilihatnya empat anak kecil sudah
berdiri di belakang Anomali. Tak seperti pada Pohon
dan Cahaya, Anomali tak kaget sedikit pun. Dia
hanya merasakan kelucuan, betapa anak kecil itu
seperti mengerti apa yang dipikirkannya.
“Anak sekecil kamu, mana tahu tentang
cinta dan kasih sayang,” ledek Anomali sambil
tertawa dipaksakan. Terlihat saru di mata keempat
anak kecil itu.
“Kau tertawa saja terasa ganjil, tak tulus,
mana tahu arti sebuah cinta dan kasih sayang yang
tulus.” Ganti mereka bersamaan meledek Anomali.
Betapa kompaknya mereka, batin Anomali. Ada
yang tak lumrah di dalam diri anak-anak kecil itu.
Ucapan barusan juga terasa ganjil keluar dari
mereka yang masih belia itu.
“Siapa, Kalian?”
“Kau juga tak tahu dirimu sendiri,” jawab
mereka semakin mengusik perasaan Anomali.
“Jawablah,” perintah Anomali ragu-ragu.
“Sama seperti Kakek Pohon dan Bapak
Cahaya, kami bagian dari dirimu.”

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 32


“Jangan suruh aku menebak teka-tekimu
itu. Aku sudah merasa bingung dengan Pohon dan
Cahaya yang kau sebut kakek dan bapak itu.”
“Mereka memang kakek dan bapak kami,”
jawab mereka semakin menambahi kusut perasaan
Anomali.
“Aku tak mengerti ucapan kalian, juga Pohon
dan Cahaya.”
“Belajarlah untuk mengerti tentang semua
yang kau alami hari ini. Perkenalkan, kami Putih,
Kuning, Merah, dan Hijau. Sebenarnya tak perlu
berkenalan, karena kami juga dirimu. Tepatnya,
sebagian dari dirimu. Kami yang akan
menuntunmu kelak jika wadagmu sudah tercipta
dan lahir dari rahim ibumu.”
“Aku sudah tua. Aku sudah punya istri dan
anak lelaki yang penurut itu,” kata Anomali
semakin tidak tahu pada apa yang dialaminya ini.
“Kau belum mengalami apa-apa dan tak bisa
mengatakan apa-apa tentang apa yang terjadi
kelak.” Kata anak-anak kecil itu sambil berlarian
berhamburan meninggalkan Anomali. Benang
kusut itu semakin kusut lagi. Benak Anomali
seolah semakin membeku. Membatu. Kering. Dan
dia tinggal terpaku. Kosong.
Tiba-tiba cahaya berpendaran itu semakin
hilang. Satu-satu. Kelam semakin menggantang.
Pekat, semakin pekat. Malam terasa menganga

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 33


dengan tubuh terpaku di kursi panjang. Sementara
lewat jendela, Carik melihat betapa ayahnya seolah
berkeliaran dalam samudra kesedihan luar biasa.
Hatinya tak tega untuk sakit hati atas kelakuannya
selama ini. Dia berpikir, apa yang dilakukan
ayahnya hanya pelampiasan atas kesedihan dan
sakit hati atas kelakuan ibunya. Carik merasa
kasihan yang teramat dalam pada ayahnya itu.
Tubuh ayahnya terlihat semakin kurus. Setiap
malam seolah tubuh orang tua itu semakin
berkurang.
Carik tahu apa yang paling disukai ayahnya
setiap malam sambil duduk di kursi panjang
kesukaannya itu. Segelas kopi pahit panas dan
sebungkus rokoh selalu menemani-nya. Dia tak
tahu apa yang berkecamuk dalam diri ayahnya itu.
Carik hanya menyaksikan ayahnya berdiam diri.
Sesekali menyeruput kopi dan menghisap dalam-
dalam sebatang rokok. Dia hanya menerka lewat
hembusan asap rokok dari mulut ayahnya itu. Asap
itu terasa menjadi lampiasan apa yang dirasakan
ayahnya. Asap itu seperti didorong cepat agar cepat
pula keruwetan benak ayahnya melesat keluar. Dia
hanya bisa menerka. Selebihnya dia tahu betapa
harimau mengaum setiap hari. Ada saja sumber
kegarangannya. Tak perlu Carik mengeluarkan
sekata pun, harimau itu telah mengaum kencang.

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 34


Carik letakkan segelas kopi pahit panas di
samping ayahnya dan sebungkus rokok yang telah
berkurang separuh isinya. Tak ada kata-kata keluar
dari mulutnya. Tak ingin dia mengusik harimau
yang sedang asyik menikmati kesendiriannya itu.
Tapi tangan halus memegang bahunya. Dengan
halus pula, tangan itu menariknya untuk duduk di
samping ayahnya itu. Tak menyangka betapa halus
sentuhan dan tarikan tangan ayahnya. Tak seperti
biasa, tangan yang legam itu selalu mencengkeram
tubuhnya keras sambil tangan kanannya memukul-
mukulkan rotan ke kepalanya. Angin apa yang
telah membawa perubahan sikap ayahnya itu.
Perasaannya terasa heran. Bingung. Dan dia
merasakan pula ada rasa bahagia di sana.
Keharuan muncul juga di dasar hatinya. Carik pun
menanti dengan perasaan tak menentu. Apa yang
bakal terjadi kemudian.
Tapi yang dinanti tak segera terjadi. Ayahnya
cuma diam memandanginya. Sementara Carik
tertunduk semakin dalam. Tangan halus itu
dirasakannya mengelus-elus pundaknya. Setiap
elusan itu, terasa ada perasaan haru bermunculan
di hati. Carik menikmatinya dalam kedahagaan
setelah sekian lama tak ada air setetes pun
membasahi di sana. Malam ini, alir sungai telah
menyirami kedahagaan itu. Segar. Nyaman. Sejuk.
Dan entah apalagi yang terasa selain kedamaian

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 35


luar biasa. Malam ini sumber air itu tak terbendung
lagi. Malam seolah mengetahui keinginan yang
terpendam lama dalam diri Carik. Sumber air itu
mukziat bagi dirinya; bagi ayahnya, bagi
keluarganya yang tak sempurna lagi itu. Di
manakah ibu malam ini, batin Carik. Mimpikah ibu
hal yang sama yang kurasakan malam ini?
“Bagaimana sekolahmu?” Kalimat itu keluar
juga dari kesunyian hati ayah.
“Baik, ayah.” Terasa ganjil kata ayah yang
keluar dari mulut Carik. Kata itu hampir tak
pernah dia ucapkan semenjak ibunya pergi. Kata
itu selalu tertahan di tenggorokannya. Tapi malam
ini, kata itu keluar dengan ganjil. Tapi hati Carik
merasakan kebahagian dengan kata yang dia
ucapkan itu. Ayah.
“Ayah dengar, kau suka menulis. Kau ingin
jadi penulis?”
“Kalau ayah mengizinkan,” jawab Carik ragu-
ragu.
“Ayah selalu mengizinkan apapun yang kau
citakan. Ayah tak pantas melarangmu. Ayah telah
menenggelamkanmu ke dalam keadaan ayah yang
menyedihkan ini.”
“Ayah teringat ibu?” Tanya Carik semakin
berani. Tak ada alasan untuk menerka sikap ayah
malam ini. Malam ini terasa malam seribu bulan.

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 36


Malam yang telah mengembalikan masa lalu yang
telah hilang.
“Selalu. Ayah telah terlanjur mencintai
ibumu. Dia yang selalu ayah kejar semasa muda.
Dia obsesi ayah. Tapi entah kenapa, ibumu
mengkianati kita.” Ada perasaan sedih menjalar di
wajah ayah.
“Minumlah ayah,” kataku segera untuk
membendung kesedihan itu. Ayah menurut saja
apa yang kukatakan. Diambilnya gelas kopi dan
meminumnya dalam-dalam.
Aku melihatnya ada yang hilang dalam diri
ayah malam ini. Bahkan terbersit pikiran dia bukan
ayahku. Ayahku tidak seperti itu. Tapi dia benar-
benar ayahku. Ada perubahan seratus delapan
puluh derajat dari hari-hari sebelumnya. Apa
kepala ayah terbentur tadi? Tapi tidak. Sejak
malam menggantang, ayahku hanya duduk terpaku
di kursi panjang ini. Hampir tak bergeming
menikmati kesunyian. Sejak tadi kuamati lewat
jendela yang kubiarkan terbuka. Tak terjadi apa-
apa. Tak ada alasan apa-apa untuk merubah
ayahku menjadi keadaannya seperti malam ini.
“Selamat malam, Om,” suara seorang
perempuan menegur di pintu pagar. Kulihat
perempuan itu yang setiap hari menemani hari-hari
ayahku. Perempuan itu penyulut harimau dalam
diri ayahku.

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 37


“Pergilah!” Jawab ayahku spontan.
“Aku hanya ingin menemani Om malam ini.”
“Tidak. Pergilah. Aku sudah ditemani
anakku,” kata ayahku tegas. Aku begitu bahagia
dengan ucapannya itu: “anakku”. Kata itu seakan
membumbungkan tubuhku ke atas langit. Ada
sesuatu yang aku tak mengerti maknanya, selain
begitu damai mendengarnya.
“Sudah gencatan senjata, ya Om?” Tanya
perempuan itu bernada meledek.”
“Pergilah! Carilah mangsamu di alun-alun
kota sana.”
“Sungguh ini, Om?”
“Ya.”
“Pendek sekali jawabannya,” goda
perempuan itu. Manja. Barangkali kemanjaan-nya
itu yang membikin ayahku suka. Dan ayahku
nampak teramat malu di hadapanku. Harimau
sudah berganti kupu-kupu. Sebuah mukziat malam
yang aku juga tak mengerti maknanya, selain
begitu bahagia merasakan-nya.
Perempuan itu segera pergi setelah ayahku
mendekatinya. Aku tahu ayahku memberikan uang.
Aku pura-pura tak melihatnya. Aku tak ingin
kesekian kali ayah merasa malu padaku. Malam
semakin naik. Hawa semakin membekukan badan.
Butiran-butiran embun semakin banyak pada
daun, ranting, bunga, rerumputan. Tapi butiran-

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 38


butiran cahaya berpendaran di benakku. Mereka
meliak-liuk seperti ular bercahaya. Memainkan
segala organ tubuhku, segala bayanganku.
Kurasakan setiap sentuhannya begitu halus. Ular-
ular bercahaya itu semakin ramai, semakin
menerangi hati. Terang tiada tara. Harapan dan
kebahagian tak terkira. Tuhan memang memiliki
segudang bahasa untuk menegur manusia.

*****
Bukankah Kau harus membuka hatimu dahulu
sebelum menyadari ke-ada-anmu.

“Aku terkesan dengan tulisanmu ini,” kata


malaikat itu padaku memulai pelajaran
mengarangnya. “Aku menangkap kekayaan tema,
gaya penceritaan yang luar biasa, dan suasana
bercampur aduk tapi tertata dengan bagus. Aku
percaya kelak kau akan menjadi penulis handal,
Carik. Teruslah menulis.”
Carik cuma diam, melamunkan sesuatu.
Pujian malaikatnya itu tidak membuatnya bangga.
Tak seperti biasa. Setiap dia menerima pujian dari
gurunya itu, jiwanya seakan terbang ke angkasa.
Tapi tidak kali ini. Kesedihan yang merayap,
menjalar ke dalam hatinya, dan bercokol dalam
rongga-rongga. Merenangi harapannya, melumat

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 39


habis harapan itu. Andaikan cerita itu benar-benar
nyata.......

***

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 40


SEORANG ANAK
YANG BEGITU MENCINTAI
ORANG YANG TAK PERNAH IA
JUMPAI.

Acapkali bayangan itu lebih nyata


daripada yang nyata.

Setiap kali kakek menabuh gender-nya, Agis


selalu duduk di depannya. Ia diam mengamati,
betapa kedua tangan kakek lincah menari-nari di
atas gamelan itu. Denting lembut merambat di
telinganya. Nada-nadanya terasa aneh, tapi irama-
nya terasa nyaman di hati. Sesekali mata Agis
berpindah ke bibir kakek yang sudah tak padat lagi.
Ada tembang yang tak jelas keluar dari bibir itu.
Berpadu iramanya dengan denting gamelan.
Sesekali suara tembang itu sangat jelas ia tangkap,
meski ia tak tahu maknanya. Sesekali pula hanya
bunyi seperti guman yang terdengar. Tapi semua-

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 41


nya begitu indah. Semuanya begitu menenangkan
hati Agis.
Entahlah, Agis selalu menikmatinya setiap
malam. Semalam saja kakek tidak melakukan itu,
ia akan memaksanya memainkan gemelan itu.
Bahkan batuk kakek kumat pun, Agis selalu
memintanya. Meski barang sejenak, Agis harus
menikmati. Ada yang hilang dalam dirinya jika
tidak.
Kakek cukup maklum dengan hal itu. Sejak
dalam kandungan, mamanya selalu melakukan hal
yang sama. Sambil mengelus-elus perutnya yang
semakin membuncit, mama Agis menemani kakek
menikmati malam sambil memainkan gender.
Kesepian dirinya semenjak papa Agis meninggal, ia
isi dengan menikmati tembang Jawa yang
dilantunkan ayahnya itu. Ia akan menyudahi
semua itu jika malam telah dingin. Angin telah
membawa embun mendinginkan udara. Kesepian
mama Agis telah membeku bersama dingin malam.
Dan ia telah menghapus satu sepi untuk malam ini.
Dan esok, ia akan menghapus satunya lagi. Begitu
terus, hingga tak ada sepi lagi yang tersisa.
Kelahiran Agis pun tiba di tengah-tengah
tembang saat memenuhi malam.Tembang Sinom
yang keluar dari mulut kakek, seolah me-
ngantarkan bayi Agis mengawali hidup di dunia ini.
Sebuah tembang yang berisi nasehat bagaimana

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 42


menjadi seorang ksatria. Sebuah harapan bagi
generasi baru yang akan lahir, menggantikan
generasi yang telah uzur. Kakek Agis telah
menerima putusan bagi perjalanan hidup yang lebih
dulu ia alami. Akan lahir seorang putu sebagai
putusan, sebuah ajaran filosofis Jawa tentang yang
lahir dan yang mati. Ada batasnya manusia hidup.
Ia akan lahir, hidup, dan mati. Lantas ada yang
menggantikannya. Ada yang akan lahir kemudian.
Agis adalah putu, sebagai putusan hidup; sebuah
batas. Rotasi waktu yang tak terelakkan. Kakek
Agis menyadari hal itu. Tak ada yang tetap. Tak ada
yang abadi.
Tembang sinom itu seperti sebuah warisan
tak ternilai untuk Agis; karena ia adalah cucu yang
akan menjadi putusan, titik batas akhir bagi
perjalanan hidup kakek. Ia harus menerima ajaran
hakikat hidup. Sebuah ajaran lama yang mengan-
dung filosofis. Kakek Agis sengaja melantunkannya
setiap malam menjelang kelahiran cucunya itu. Ia
berharap, cucunya itu menjadi manusia
sebagaimana tuntutan ajaran tembang sinom yang
ia lantunkan.

Nuladha laku utama


Tumpraping wong tanah Jawi
Wong agung ing ngesthi ganda
Panembahan Senopati

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 43


Amarsudi sudanen dahar lan guling
Amesu tapa brata
Karyenak tyasing sasama

Usia enam tahun bukan waktu yang cukup


untuk memahami sebuah ajaran hidup. Apalagi
dari sebuah karya sastra yang ditulis pujangga
masa lalu. Tapi kakek penuh kesabaran untuk
menjelaskannya pada cucunya. Agis pun selalu
bertanya setiap kali kakek menyelesaikan satu
tembang.
“Itu lagu apa, Kek?” Tanya Agis penasaran.
Kakek tersenyum mendengar pertanyaan itu.
“Itu Tembang macapat, Le. Tembang Sinom
namanya.”
“Sinom?”
“Ya, sinom.”
“Sinom itu apa?”
“Sinom itu daun Asam yang muda.”
“Kok daun!? Itu kan lagu, Kek.”
“Tembang, Le,” ujar kakek, geli mendengar
perkataan cucunya itu. “Tembang sinom itu dibuat
untuk anak-anak muda. Makanya disebut Sinom;
daun Asam yang muda.” Lanjut kakek penuh
kesabaran.
“Untuk Agis juga, Kek?”
“Ya, untuk Agis juga.”

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 44


“Tapi Agis tidak mengerti lagu…..eh, tembang
itu.”
“Tembang sinom yang dinyanyikan kakek
tadi, berisi tentang Panembahan Senopati.”
“Panembahan Senopati?”
“Ya, Panembahan Senopati. Dia adalah raja
Mataram.”
“Raja Mataram?”
Satu hal yang tak akan pernah dilupakan
kakek terhadap cucunya itu adalah ia anak yang
selalu penasaran pada hal-hal baru. Ia selalu
bertanya hingga ia cukup jelas memahaminya. Acap
kali kakek jengkel dengan pertanyaan-pertanyaan
Agis. Apalagi jika ia tak paham bagaimana harus
menjelaskan yang ditanyakan cucunya itu. Mama
Agislah yang lantas membantu menjawabnya
sambil melirik ayahnya itu. Lirikan itu cukup
dimengerti; sabarlah, Kek, menghadapi Agis! Lirikan
itu ia kenal betul. Sama dengan lirikan anaknya itu
setiap kali ia berdebat dengan mendiang
menantunya dulu; papah Agis. Agis memang
mewarisi sifat papahnya; Wasis Linuhung. Papah
Agis, seorang aktivis buruh yang meninggal saat
bentrokan dengan aparat dalam unjuk rasa anti-
Suharto dulu. Ia seorang muda yang kritis, cerdas,
dan selalu mempertanyakan hal-hal baru. Sifat
itulah yang kini tanda-tandanya ada dalam diri
Agis.

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 45


“Mataram itu, kerajaan zaman dulu.
Kerajaan itu pemimpinnya disebut raja. Panembah-
an Senopati namanya.”
“Seperti presiden Suharto itu, Kek.”
“Ya, seperti presiden Suharto,” jawab kakek
sambil tersenyum mendengar bagaimana cucunya
itu menyamakan raja dengan presiden. Senyum itu
juga mengingatkan betapa papah Agis dulu
menyebut pak Harto itu bukan presiden, tapi Raja
Republik Indonesia. Persis dengan apa yang
dikatakan anaknya sekarang.
“Panembahan Senopati itu raja yang pintar,
adil, dan bijaksana.” Lanjut kakek kemudian.
“Panembahan Senopati itu raja yang baik
dan berani, Agis.” Kata mama Agis memotong. Sejak
tadi ia hanya diam menyaksikan keintiman kakek
dan cucunya itu. Tapi jawaban kakek terlalu tinggi
untuk anak seusia Agis. Ia tahu penjelasan kakek
akan membuat anaknya bakal bertanya terus,
sedang malam mulai merambat naik.
“Sudah, sekarang Agis tidur. Sudah malam.
Besuk sekolah.” Lanjutnya sambil menarik tangan
anaknya itu.
Agis cukup puas dengan penjelasan
mamahnya itu. Ia juga cukup puas dengan hal baru
yang ia kenal lewat kakeknya itu. Panembahan
Senopati, seorang yang baik dan berani.

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 46


“Panembahan Senopati itu seperti papah ya,
Mah, baik dan berani?” Tanya Agis sambil
merapatkan tubuhnya ke tubuh mamahnya.
“Ya, seperti papahmu. Ia baik dan berani.”
Jawab mamahnya sambil melingkarkan tangan
pada tubuh anaknya itu. Terasa ada sesuatu yang
muncul di pelopok matanya. Basah. Sebentar lagi
kesedihan dan kesepihan itu merambat lagi di
dalam hati. Ia cepat-cepat menghapusnya agar
anaknya tak tahu itu. Ia tak ingin anaknya
mengatahui, betapa sedih dan rindunya ia pada
papah Agis.
Malam kembali sepi. Hanya denting nada
gender kakek sayub terdengar. Nada itu terasa
lembut di telinga wanita itu. Nada itu menyihirnya
dalam suasana sahdu. Ia seolah mengembara ke
dalam suasana itu. Terbang ke dalam kenangan
lama. Sementara anaknya sudah tertidur pulas.
Dan Ia pun harus menyusulnya dalam mimpi;
melanjutkan pengembaraannya bersama nada-nada
tembang ayahnya. Barangkali ia bertemu dengan
seseorang yang teramat ia cintai; mendiang
suaminya. Barangkali ia bisa menceritakan pada
suaminya itu, betapa anaknya telah mewarisi
kebaikan dan keberaniannya. Barangkali ia juga
bisa melepas kerinduannya, yang selama ini hanya
bisa ia larutkan dalam tembang-tembang Jawa
yang dilantunkan ayahnya.

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 47


Tapi mimpi itu telah bersemayam dalam
tidur anaknya. Agis mengembara di dunia yang
asing. Dunia yang tak akan pernah ia jumpai dalam
dunia sadarnya. Dunia yang nyaman, damai, dan
penuh rupa warna pelangi. Warna-warni cahaya
berpendaran mengikuti pengembaraan anak itu.
Dari cahaya itu muncul sesosok ksatria yang
tampan dan gagah. Mata Agis menatap penuh
takjub pada sosok itu.
“Kau papahku?” Tanya Agis penuh selidik.
Sementara sosok ksatria itu tersenyum masgul. Ia
belai rambut anak itu dengan kelembutan. Ia
sangat mengerti apa yang dirasakan anak di
hadapannya itu.
“Bukan. Aku Panembahan Senopati.”
Jawabnya lembut.
“Kau presiden Mataram seperti yang
diceritakan kakek?”
“Raja Mataram,” kata sosok ksatria itu
meralat ucapan Agis. “Ya, aku raja Mataram seperti
cerita kakek Agis.”
“Bapak kok tahu nama saya?”
“Panggil saja aku Panembahan. Aku tahu
semua tentang kamu, Nak.”
“Dari mana Bapak…eh….Panembahan
tahu?”
“Papahmu cerita padaku.”
“Jadi Panembahan bertemu papahku?”

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 48


“Ya. Aku teman baik papahmu.” Kata
Penembahan sambil memegang lembut tangan Agis.
Ia pegang penuh simpatik, karena ia tahu anak itu
begitu penasaran pada ayahnya yang tak pernah ia
lihat.
“Di mana papahku sekarang? Aku ingin
bertemu dengannya.” Tukas Agis cepat. Harapan-
nya begitu besar untuk bertemu papahnya. Selama
ini ia hanya mengenalnya lewat cerita mamah dan
kakek.
“Ia di 49urge. Besuk kalau sudah waktunya
kamu bisa bertemu dengan papahmu.”
“Kapan?”
“Papahmu masih sibuk. Ia tidak mau
diganggu.”
“Sibuk apa?” Berondong Agis pada Pa-
nembahan. Ada nada sedih dan tak sabar pada
pertanyaan anak itu.
“Papahmu lagi berdoa untuk kamu, mamah,
dan kakek. Kamu yang rajin dan pintar agar
ayahmu senang.”
“Aku ingin seperti papah. Aku ingin seperti
Panembahan. Papah dan Panembahan baik dan
berani.” Teriak Agis penuh semangat. Ia sengaja
berteriak agar papahnya mendengar. Teriakan itu
menggema ke angkasa. Berputar-putar memenuhi
udara. Agis merasakan seperti terbang mengikuti
teriakannya itu. Ia berputar-putar. Cepat. Semakin

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 49


cepat. Dan ciuman mamahnya terasa dingin di
kening Agis. Ia pelan membuka matanya. Dilihatnya
mamah tersenyum dekat sekali dengan wajahnya.
Aroma harum menusuk hidung. Aroma itu
mendorongnya untuk merangkul tubuh dihadap-
annya itu. Mamah mengangkat tubuh anak itu dan
menggendongnya keluar kamar. Pagi telah
menyembul lewat jendela rumah. Mata Agis
terpicing sesaat oleh sinar matahari. Pagi ini ia
harus sekolah agar seperti papah dan Panembahan,
batinnya.

*****

Semuanya serba papah. Semuanya serba


Panembahan Senopati. Sosok yang baik dan berani.
Tak pernah sekalipun kedua nama itu lupa Agis
ucapkan. Tak pernah sedetik pun lepas dari benak
anak itu. Kedua kata itu seperti roh yang memompa
semangat anak itu. Jika teman-temannya bercita-
cita jadi dokter, polisi, guru, presiden, menteri, dan
pengusaha, Agis ingin menjadi ayahnya. Agis ingin
menjadi Panembahan Senopati. Lama-lama nama
itu melebur jadi satu; papahnya bernama Pa-
nembahan Senopati. Panembahan Senopati adalah
papahnya. Begitu terus yang terjadi dalam otak,
hati, darah, dan segenap tubuh dan jiwanya.

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 50


Kakek dan mamah Agis sangat memaklumi
apa yang terjadi pada anak itu. Sebuah kerinduan
dan kebanggaan yang luar biasa terhadap orang
yang belum pernah ia jumpai selama ini. Mamah
Agis mengambil sisi positif atas sikap anak yang
teramat dicitainya itu. Ia tak takut anaknya hidup
dalam bayangan angan-angan. Seorang anak mesti
punya cita-cita. Seorang anak mesti punya idola
untuk diteladani. Apa salahnya jika anaknya itu
mengidolakan ayahnya. Bukankah itu lebih baik.
Bukankah itu tanda betapa sayangnya anak itu
mencintai ayahnya. Bukankah betapa mudahnya ia
menasehati anaknya itu dengan media cita-cita
yang sangat dibanggakannya itu.
Tidak seperti biasanya, pagi-pagi sekali Agis
sudah mandi dan berpakaian. Bahkan hari ini
kakek dan mamahnya ia yang membangunkannya.
Keduanya kaget melihat ketidak-biasaan itu.
“Mah, Agis mandi dan berpakaian sendiri.
Agis sudah bisa, Mah.” Kata anak itu penuh
kebanggaan. Sedang mamahnya masih terperangah
dengan apa yang dilihatnya. Tapi ia tersenyum
juga. Perasaannya senang dengan perubahan anak
itu. Bahkan ia tertawa saat teringat sesuatu.
“Ini hari apa, Gis?” Tanya mamah sambil
tertawa geli.
“Hari Minggu, Mah.” Jawab Agis masih tak
menyadari maksud pertanyaan mamahnya itu.

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 51


“Hari Minggu kan hari libur!” Seru
mamahnya mengingatkan. Matanya agak dipelotot-
kan di depan anaknya itu. Hatinya gemas juga
melihat semangat dan kelucuan anak itu.
“Oh, ya Mah! Hari ini kan hari Minggu, ya
Mah!?” Kata anak itu sambil menepuk jidatnya
seolah menyadari kekeliruannya. Itu persis seperti
papahnya dulu jika ingat sesuatu, batin mamah
Agis.
“Sudah ganti pakaiannya. Hari ini kita pergi
ke makam papah.” Perintah mamah Agis. Men-
dengar kata papah, Agis sontak timbul semangat-
nya. Kata itu seperti penyulut api bagi dirinya.
Mamahnya tak perlu mengulang kedua kalinya
untuk menyuruh anaknya dengan memakai kata
itu. Agis pun lari mengganti pakaiannya. Sebelum
berangkat, ia mengambil sesuatu dari meja belajar.
Ia gulung sebuah kertas dan mengikatnya dengan
karet. Kakek dan mamahnya hanya diam melihat-
nya. Mereka tahu apa yang akan dilakukan Agis
dengan kertas itu.
Hari Minggu terasa padat di makam. Tak
seperti hari-hari yang lain; sepi. Kakek, Mamah,
dan Agis tak sulit menemukan pusara orang yang
pernah menjadi bagian dari keluarganya itu; Wasis
Adiluhung. Pusara itu terbuat dari kijing berwarna
hijau tua. Di ujung terdapat sebuah tanda
bertuliskan: Wasis Adiluhung, Wafat 3 Mei 1998.

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 52


Agak tinggi 53urge53ding pusara-pusara lainnya.
Di dekatnya sebuah pohon kamboja tumbuh dan
sedang mekar bunga-bunganya yang putih. Karena
itu tak sulit mencarinya. Agis pun sangat mudah
menemukannya.
Selagi kakek dan mamah sedang
membacakan doa, Agis di sisi pusara yang ber-
seberangan, sedang asyik sibuk dengan kertasnya
itu. Ia buka gulungan kertas itu. Ia gosok-gosok
sambil menekannya agar kertas itu terbuka lebar.
Ia mengambil sebuah lem dari dalam kantong
celananya. Ia lem kertas itu dan menempelkannya
di tanda pusara papahnya itu. Sebuah gambar tiga
orang dan di bawahnya bertuliskan: “Papah,
Panembahan Senopati yang baik dan berani”.
Tulisan itu berwarna merah mencolok. Sebuah
tulisan yang tak karuan, tapi ditulis dengan
keyakinan dan semangat seorang anak yang begitu
mencintai dan membanggakan papahnya. Ia
pandangi dengan senyum kepuasan kertas yang
menempel itu. Kakek dan mamahnya yang telah
selesai berdoa, memandang kesibukan Agis dengan
iba. Mereka membiarkan semua itu. Mereka tak
mau mengganggu kesibukan Agis.
Puas dengan memandang kertas yang
tertempel itu, Agis ngeloyor pergi. Kakek dan
mamahnya tahu apa yang akan dilakukan anak itu.
Sudah biasa dilakukan setiap merziarah di makam

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 53


papahnya. Sebuah ritual, pikir mereka. Ritual
ziarah yang hanya dilakukan Agis bagi pusara
papahnya itu. Mereka memandangnya dari jauh.
Anak itu pergi membeli sesuatu di gerbang masuk
makam. Sebuah kantung palstik penuh dengan
makanan. Makanan itulah yang kemudian di-
letakkan di bawah tanda pusara papahnya. Agis
berharap, papahnya akan memakannya. Sebagian
ia buka dan menaburkannya di atas pusara itu.
Sementara sebagian ia biarkan masih bungkusan
dan diletakkan begitu saja di lobang yang
menganga tempat meletakkan bunga bagi orang
yang berziarah.
Kakek memandang semua itu dengan
kagum. Begitu peduli dan cintanya anak itu pada
papahnya yang tak pernah ia jumpai. Ia belum lahir
saat papahnya itu meninggal. Tak lama kakek
dengan kekagumannya itu. Timbul hasratnya
untuk berbuat sesuatu pada cucunya itu. Ia harus
menjelaskan sebuah kebaikan bagi anak itu. Sudah
saatnya untuk itu. Lantas ia dekati Agis. Ia angkat
anak itu dan memangkunya di atas paha.
“Agis, papahmu tak kekurangan makanan di
54urge. Sangat banyak di sana. Agis tak perlu
membelikannya lagi. Lebih baik berikan makanan
itu pada anak-anak itu,” kata kakek sambil
menunjuk sederet anak telanjang dada yang sejak
itu mengamati ulah Agis. Anak-anak itu akan

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 54


mengambil makanan yang diletakkan Agis di atas
pusara papahnya setelah mereka pergi. Agis melihat
anak-anak yang ditunjuk kakeknya itu. Mereka
Nampak dekil di mata Agis. Timbul rasa kasihan
pada mereka. Ia cuku mengerti apa yang telah
dikatakan kakeknya itu. Ia mesti berbuat sesuatu,
batinnya. Ia pun turun dari pangkuan kakek dan
mengambil semua makanan yang tadi diletakkan di
atas pusara papahnya. Agis menghampiri anak-
anak itu dan membaginya satu-satu. Tak ada kata-
kata apa-apa di antara mereka. Tapi kakek dan
mamah Agis sangat tahu Agis dan ank-anak itu
sama-sama senang. Keduanya menyusulnya dan
membagi uang receh yang telah disiapkan semenjak
dari rumah.
Hari itu ada sesuatu yang lain dalam diri
ketiganya. Di mata kakek, ia merasakan telah
menanamkan kebaikan dalam diri cucunya itu. Di
hati Mama muncul keharuan, betapa anaknya itu
telah besar dan berjiwa seperti papahnya. Dan di
dalam relung hati Agis, kepuasan dan kebahagiaan
tak ternilai saat ia membagikan makanan untuk
anak-anak dekil itu. Ia yakin papahnya akan
senang melihat apa yang telah ia lakukan itu.
Sebuah hari yang sangat istimewa bagi ketiganya.
Terasa ada butiran air jatuh dari mata Kakek dan
mamah Agis. Mereka membiarkan air mata
keharuan itu jatuh satu-satu. Barangkali bersama

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 55


air mata itu, semua kesedihan akan larut di sana.
Sedang Agis telah sibuk dengan dirinya sendiri. Ia
telah melupakan semua yang ia lakukan tadi.

***

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 56


OIDYPUS COMPLEX

Pernahkah Kau menyadari


bahwa dalam dirimu teramat dekat dengan wanita
daripada pria. Sekalipun jiwamu adalah lelaki.

Katakanlah perempuan itu benar-benar ada,


bukan sebuah ilusi, lantas apa yang akan kau
lakukan padanya? Kau lelaki pemalu. Jangankan
dengan perempuan, dengan sesama lelaki saja kau
sulit mengungkapkan pikiran-mu. Malu, katamu.
Apalagi dengan perempuan, tentang cinta lagi,
betapa mati berdiri kau. Itulah kenapa usiamu
keburu berkepala tiga, tapi kau tidak juga memiliki
pacar, apalagi istri. Terakhir ada perempuan
mengejarmu, kau malah seperti dikejar setan.
Berhari-hari kau ngumpet di rumah saudara-mu.
Baru kau nongol setelah perempuan itu diembat
orang. Malumu itu benar-benar tidak masuk akal.
Tapi sekarang kau menceritakan hal yang
aneh menurutku. Ganjil. Tak masuk akal. Tak bisa
dinalar. Ilusi. Kau menganggapnya nyata. Ada
perempuan yang selalu muncul di rumahmu setiap
malam. Tiba-tiba muncul saat kau sendirian. Dia
Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 57
mengajakmu bercengkerama menghabiskan malam.
Kau melayaninya tanpa perasaan malu sedikit pun.
Sifatmu itu hilang saat dia datang. Dan itu kau
ceritakan setelah malam kelima belas.
“Kau tidak menanyakan di mana
rumahnya?”
“Apa perlu?” Katamu seolah alamat tidak
begitu penting untuk sebuah hubungan.
“Kenapa tidak!? Suatu saat kau
membutuhkannya. Barangkali hubunganmu bisa
sejelas wadagmu.”
“Dia tak suka kutanya itu.” Jawabanmu
membuat aku semakin penasaran.
“Siapa namanya?”
“Dia juga tak suka ditanya namanya.”
“Berapa usianya?”
“Apalagi usianya, dia malah marah-marah.
Yang jelas dia cantik, menarik, seksi, pokoknya
serba sempurna.”
“Kau tidak curiga kalau dia bukan manusia?”
“Dia manusia. Benar-benar manusia.
Tubuhnya hangat. Mana ada hantu tubuhnya
hangat.”
“Tapi kau harus menanyakan siapa
sesungguhnya dia.”
“Suatu saat akan aku tanyakan itu. Untuk
sekarang kubiarkan saja apa maunya, asal mauku
bisa tersalurkan.”
“Lantas, perempuan itu menganggapmu apa
dan kau menganggapnya siapa?”
“Dia menganggapku sebagai mainannya.”
“Kau?”

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 58


“Aku menganggap dia sebagai kekasih.”
“Misterius!” Hanya kata ini yang tepat untuk
menjelaskan keadaanmu itu. Aku bisa apa, selain
mengingatkanmu. Itu pun kalau kau bisa
kuingatkan. Selebihnya tergantung kau.

Tidurmu wangi. Tubuhmu membujur, putih


pucat pasi. Mata mengatub, bibir sedekit
menganga. Tak seperti tidur, tapi tidur. Hasratku
hendak memburu, tak menentu. Bayanganku,
terlalu sibuk tentangmu. Sayang kau diam ke
dalam mimpi. Tapi kau tak hendak berpaut maut.
Kau masih belia, dahaga belaian pria. Membuat
dahaga juga dalam pria. Dan aku juga diam. Tak
seperti tidur, karena memang tak bisa tidur.
Dahulu ibu akan mendongeng kalau itu terjadi,
hingga aku benar-benar tidur. Ibu akan me-
nyudahinya ketika aku tak lagi kuasa atas
kantukku. Sayang kau tak seperti ibu. Kau
gelisahkan aku, tapi ibu menghapus gelisah
anaknya. Barangkali ibu terbuat dari kapas. Halus.
Sedang kau perempuan juga, terbuat dari kain.
Berwarna warna-warni. Aku tatap ibu dengan
teduh, tapi kau kutatap penuh sibuk.
Andaikan. Tapi tidak. Kau selalu permainkan
apa yang ingin kau permainkan. Aku permainan-
mu. Aku menerima saja karena aku cinta. Teramat

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 59


cinta. Semacam virus yang bisa membuat darah
mengental di otak, hingga penderitanya menjadi
gila. Semacam Bakteri yang melahap apa saja
dalam tubuh, hingga penderitanya tak mampu lagi
menggerakkan tubuh; lumpuh. Semacam zat dalam
bunga kecubung yang bisa mencipta ilusi, hingga
penderitanya berhalusinasi. Dan aku penderita,
menerima penuh suka. Jadi mainanmu.
“Kenapa Engkau mau jadi kekasihku?”
Tanyaku tak percaya lantaran kau teramat cantik
untukku.
“Karena Kau mau jadi mainanku,” jawabmu
dengan senyum menggoda.
“Ya, aku mau jadi apa saja asal Engkau mau
jadi kekasihku.”
“Tapi Kau tak boleh marah kalau aku tetap
seperti aku. Tak berubah.”
“Ya, aku tak boleh marah asal Engkau mau
jadi kekasihku.”
“Tapi kau juga tak boleh menuntut, meski
aku tuntut.”
“Ya, aku tak boleh menuntut asal Engkau
jadi kekasihku.”
“Tapi kau tak boleh memaksa yang tak
kumau.”
“Ya, aku tak boleh memaksa asal Engkau
jadi kekasihku.”
“Tapi……”

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 60


“Ya, tapi………”
Kau ingin main kuda-kudaan. Ya, aku jadi
kudamu. Meringkik. Tapi bukan mainan itu yang
aku harapkan, meski sama namanya. Tapi aku tak
bisa memaksa, menuntut, apalagi marah, karena
kau kekasihku. Kau begitu kuat mengekang talinya,
hingga aku tersengal. Bilur-bilur merah di paha ini,
lantaran kau terlalu kencang mencambuknya. Aku
terjerembab di lantai, karena kau terlalu lama
menunggangiku. Tapi aku suka karena kau ke-
kasihku. Kau teramat cantik jadi kekasihku. Aku
jadi mainanmu karena aku kekasihmu.
“Kau bukan kekasihku,” katamu meralatnya.
“Ya, aku bukan kekasihmu, tapi kau
kekasihku.”
“Kau juga bukan suamiku.”
“Ya, aku bukan suamimu, tapi kau istriku.”
“Kau juga bukan lelakiku.”
“Ya, aku bukan lelakimu, tapi kau
perempuanku.”
“Kau bukan…..”
“Ya, aku bukan……”
Ya, tapi sampai kapan? Kau pernah
menjawabnya, kalau kau sudah bosan dengan
semua itu. Tapi kau tak mungkin akan bosan,
katamu. Dan aku diam menerima jawabanmu
karena kau kekasihku. Kau teramat cantik jadi
kekasihku. Aku serba bukan bagimu, karena kau

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 61


jadi kekasihku. Dan aku serba ya bagiku, karena
kau jadi kekasihku. Sampai kapan? Dan matamu
melotot ketika kuulangi pertanyaan itu. Aku pun
tahu maksudmu. Diam. Aku diam karena kau jadi
kekasihku. Hanya ibu yang tahu yang kumau.
“Kau memerankan cerita cinta yang tragik,
anakku,” kata ibu sambil mengelus lembut rambut-
ku yang sering kau jambak kalau main kuda-
kudaan.
“Ya, Ibu, aku suka cerita cinta yang tragik.”
“Tapi kau memerankan tokoh yang tragik,
anakku.”
“Ya, Ibu, aku suka memerankan tokoh yang
tragik.”
“Sampai kapan, anakku?”
“Sampai akhir cerita yang indah, Ibu.”
“Bukankah cerita cinta tragik tak pernah
berakhir bahagia!?”
“Ya, Ibu, akan aku buat happy ending.”
“Kau menyalahi konvensi cerita, anakku.”
“Ya, Ibu, aku menyalahi konvensi.”
“Sampai kapan, anakku?”
“Sampai akhir cerita yang indah, Ibu.”
Aku terima dengan suka peran cerita cinta
tragik ini. Aku ingin seperti Pranacitra, karena
Rara Mendut begitu cantik dan membuat setiap
pria tergila-gila. Tapi bukan seperti Romeo, karena
Yuliet sengaja membuat setiap pria tergila-gila. Tapi

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 62


kau tidak. Kau tak setuju dengan perumpamaan
itu. Kau tak mau seperti Rara Mendut atau Yuliet,
karena kau tak mau bunuh diri. Aku pun bilang ya,
karena kau kekasihku. Kau hanya ingin seperti
dirimu sendiri. Tapi aku tak tahu namamu!
Wajahmu tampak tak senang atas pertanyaan itu.
Dan aku tahu maksudmu.
“Siapa namamu?” Tanyaku setelah aku
semakin dekat jadi mainanmu.
“Tak perlu tahu,” jawabmu tak senang.
“Tapi aku memanggilmu siapa?”
“Kau tak perlu memanggilku. Aku yang
memanggilmu.”
“Bukankah setiap orang punya nama!?”
“Bukankah setiap orang punya hak untuk
tak bernama!?”
Kau memang benar. Kau memang pintar.
Kenapa orang harus bernama? Bukankah bahasa
sudah menyediakannya: manusia, orang, perempu-
an, wanita, betina, lelaki, pria, atau jantan. Kenapa
harus bernama lagi? Belum cukupkah nama-nama
yang sudah tersedia dalam bahasa itu? Aku tetap
manusia, meski namaku Bayu atau Bambang.
“Nama itu doa, anakku,” kata ibu ketika aku
tanya kenapa namaku Badai.
“Kenapa Badai, ibu?”

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 63


“Namamu itu doa, agar badai yang telah
menghantam ibu dan ayahmu, tak berulang
padamu.”
“Badai apa, Ibu?”
“Cerita cinta tragik, anakku.”
“Maukah Ibu mendongengkannya? Aku tak
bisa tidur, Ibu.”
“Ya, anakku. Pejamkan matamu, ibu akan
mengantarkan tidurmu dengan dongeng cerita cinta
tragik itu.”

Ceritamu itu semakin aneh. Ganjil. Tak


masuk akal. Hubungan serba misterius.
Sebenarnya apa yang Kau kehendaki dengan
hubungan semacam itu? Tapi Kau nyengir saja.
“Sampai kapan kau bisa bertahan seperti
itu?”
“Sampai kekasihku itu seperti ibu,” katamu
semakin membuatku buntu memikirkanmu.
“Jangan-jangan Kau mengalami sindrom
Oydipus Complex.” Kata kedua yang tepat untuk
menjelaskan keadaanmu; selain misterius.
“Apa itu?”
“Semacam sakit jiwa. Kau seperti Oydipus
dari Colomnus, raja Thybes yang membunuh
ayahnya dan mengawini ibunya.”

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 64


“Aku tak paham maksudmu?”
“Kau terlampau dekat dan sayang pada
ibumu. Lantas, Kau begitu menuruti kekasihmu
seperti Kau menuruti ibumu. Bahkan Kau
menginginkan kekasihmu itu seperti ibumu.”
“Salahkah itu?”
“Tidak. Orang gila tak pernah salah.”

***

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 65


SEPASANG PILIHAN

Adakalanya manusia tak perlu mencari dalam


pikiran
untuk sebuah penyelesaian hidup.
Dalam hatinya telah bersemayam sebuah kebenaran
untuk sebuah penyelesaian hidup

“Gila! Cewek secantik itu kau putus juga!?


Lantas cewek bagaimana lagi yang menarik
perhatianmu?” Begitu reaksi teman-teman ketika
mengetahui kalau aku putus hubungan dengan
Santi.
Santi memang cantik. Bahkan lebih cantik
dari Luna Maya yang kerempeng itu. Tapi apakah
hubungan cinta didasarkan pada kecantikan
semata?
“Kau benar-benar gila! Kau ini pacaran,
bukan untuk bersuami-istri, kenapa mesti memper-
hatikan yang bukan-bukan. Apa kau sudah bosan
dengan Santi? Apa kau sudah memperlakukannya

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 66


tidak senonoh sehingga kau tinggalkan begitu
saja?” Kata Toni, sahabatku.
“Ternyata kau yang gila, bukan aku,”
jawabku ketus.
“Apa maksudmu?”
“Apa tidak gila namanya, kalau kau memiliki
pikiran yang kotor. Kau anggap aku pecundang,
setelah menodai Santi lantas meninggalkannya
tanpa tanggung jawab? Aku bukan orang semacam
itu.”
“Lantas kenapa kau putuskan hubunganmu
dengan Santi yang cantik itu?”
“Aku belum bisa menceritakan,” jawabku
sekenanya. Aku tak ingin teman-teman tahu apa
yang terjadi. Menceritakan alasanku sama halnya
dengan membuka aib Santi. Biarlah benak mereka
tak berubah dalam menilai Santi. Ia cewek yang
teramat cantik, lembut, manja, seksi, bibirnya
selalu basah, dan semua sifat yang sangat
diidamkan setiap laki-laki. Dan aku mengakui
penilaian mereka. Dalam banyak hal, Santi menarik
untuk dipandang. Bahkan, meski dia sudah jadi
pacarku, teman-teman sering memandang penuh
nafsu padanya. Apa yang terjadi nanti setelah
mereka semua pada tahu kalau aku putus
dengannya? Aku tak bisa membayangkan itu.
Pagi ini tak ada berita yang paling aktual di
kampus selain kabar tentang putusnya hubungan-

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 67


ku dengan Santi. Berita itu lebih heboh dari berita
tentang Nurman Kamaru yang mendadak populer,
anggota dewan yang kepergok nonton video porno,
atau rencana unjuk rasa menuntut diseretnya
tersangka koruptor yang lari ke Singapura. Berita-
berita hukum, politik, dan selebriti, yang biasa
mewarnai pembicaraan mereka, berganti dengan
bebasnya Santi dari penjara lelaki yang bernama
Aksan. Kurang ajar mereka, menyebutku dengan
penjara lelaki. Tapi aku cuma bisa tersenyum
masygul. Dengan putusnya Santi dariku, terbuka
kembali per-tarungan memperebutkan cewek cantik
itu. Sebelum aku jadian dengan Santi, teman-
teman pada berlomba untuk menarik perhatian
Santi. Dan mereka kecut saat Santi lebih menaruh
perhatiannya padaku dari pada mereka.
“Boleh aku bertanya.....”
“Tidak!” Potongku agak marah. Aku tahu apa
yang ada dalam benak temanku itu. Ia pasti akan
bertanya alasanku putus dengan Santi. Tidak akan
aku ceritakan pada siapa pun hal ihwal tentang
putusnya hubungan cintaku dengan Santi. Biarlah
Santi tetap sebagai cewek sebagaimana yang
dibayangkan mereka. Biarlah pertarungan men-
dapatkan Santi semakin seru. Biarlah mereka
menemukan sendiri jawaban atas kepenasaran
mereka. Lebih baik aku ceritakan saja dalam cerita
pendek yang akan aku tulis kemudian.

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 68


*****

Kampus kembali diam saat terdengar kabar


kalau aku jadian degan Santi. Tak ada lagi
keisengan, pandangan mata penuh nafsu, atau
rayuan gombal dari teman-teman yang pada naksir
dia. Mereka harus mengakui kalau aku adalah
lelaki impian cewek cantik itu. Mereka terperangah
menyaksikan, betapa manjanya Santi sambil
bergelayutan di bahuku. Pandangan mereka
terkesan iri, bukan nafsu yang selama ini mereka
tampakkan. Dan mereka pada tersipu malu saat
aku tegor mereka. Di antara mereka, ada yang
nampak marah dan benci. Sedang yang lain, pura-
pura acuh tak acuh. Aku tak mempedulikannya,
yang penting Santi sekarang sudah resmi milikku.
Pesona Santi memang luar biasa. Rambutnya
begitu lurus dan legam. Lembut di tangan saat
mengelusnya. Itu salah satu kegemaranku se-
karang; mengelus rambut Santi. Kulitnya putih
bersih, tak ada setitik noda pun di kulitnya itu. Aku
pun merasakan, betapa halusnya kulitnya itu saat
kusentuh bahunya. Dan itu pun kegemaranku
sekarang; meraba bahunya. Bicaranya lembut,
selembut suara Celien Delon, penyanyi favoritku.
Dan itu kegemaranku yang lain; mendengarkan
Santi bebicara. Aku pun tersihir oleh pesona Santi

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 69


yang luar biasa itu. Sedetik pun tak menyalurkan
kegemaranku itu, rasanya hidupku terasa hampa.
Ah, aku terlampau bombastis menilai Santi. Tapi
itu kenyataan yang aku rasakan. Bukan mengada-
ada lantaran aku mencintainya. Aku pun teramat
beruntung jika mengingat bagaimana iri dan
cemburunya teman-teman padaku.
Ada yang berubah dalam diriku semenjak
aku terperosok ke dalam pesona Santi. Kegemaran-
ku yang selama ini kugeluti, sama sekali tak aku
lakukan. Menulis. Sudah teramat banyak tulisan
yang aku ciptakan. Bahkan aku semakin populer.
Aku telah disejajarkan dengan penulis-penulis
beken di tanah air. Materi begitu mudah aku
dapatkan dari kegemaranku itu. Kiriman orang tua
yang sebelumnya selalu aku tunggu setiap awal
bulan, kini tak lagi aku hiraukan. Entah sudah juta
kiriman orang tua menumpuk di bank. Aku tak
pernah mengeceknya. Honorarium menulis dan
bukuku yang diterbitkan, lebih dari cukup untuk
kebutuhanku sehari-hari. Bahkan aku sanggup
mentraktir Santi apapun yang dia kehendaki. Dan
dia semakin berbunga setiap aku belikan barang
kesukaannya; boneka beruang. Bah, cewek
materialistis!
“Aku tak lagi melihat tulisanmu di media
sebulan ini. Apa kau sudah mandul sekarang?
Tanya sekaligus kritik Toni padaku.

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 70


“Aku sedang menyelesaikan novelku. Aku
yakin, novelku itu akan menghebohkan jagad
kesusastraan Indonesia.” Jawabku bohong. Aku
harus punya alasan yang tepat atas hilangnya
kegemaran menulisku semenjak berhubungan
dengan Santi. Dan Toni kelihatan puas atas
jawabanku itu. Ia memang sahabatku yang selalu
perhatian padaku. Sekecil apapun yang terjadi
padaku, tak luput dari perhatiannya. Itulah kenapa
kecurigaannya muncul saat dia tak membaca lagi
karyaku di media langgananku.
“Aku takut kalau kau sudah melupakan
profesimu menulis. Kau sudah menjadi penulis
hebat, jangan dilupakan itu. Jangan lantaran kau
sekarang berhubungan dengan cewek, lantas
melupakan yang utama dalam hidupmu.”
“Tidak, sahabat. Jangan kawatir.” Kataku
meyakinkannya.
Toni nampak lega mendengar jawabanku.
Tapi aku, terasa sebaliknya. Benakku berkelebatan
wajah-wajah Santi bertumpang tindih dengan
kilatan-kilatan imajinasi kepenulisanku. Keduanya
saling bertarung; saling meniadakan. Keduanya
sebentuk dua ksatria yang sedang bertarung
mempertahankan amanahnya. Keduanya sama-
sama kuat. Keduanya sama-sama digdaya. Yang
satu bernama Dora, sedang yang lain Sembodo.

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 71


Keduanya adalah abdi setia Aji Saka yang sama-
sama mendapatkan amanah dari junjungannya itu.
“Kakang Dora, serahkan senjata itu karena
Pangeran Aji Saka berkehendak atas senjata itu.”
“Maaf, adi Sembodo. Aku tak bisa mem-
berikannya padamu. Amanahku untuk menjaga
senjata itu tetap di tempatnya.”
“Aku telah mendapatkan amanah dari
Pangeran Aji Saka untuk mengambilnya.”
“Amanahku tak ada yang lain selain menjaga
senjata itu dari tangan orang-orang yang akan
mencurinya.”
“Jadi Kakang Dora telah mencurigai aku?”
Tanya Sembodo agak marah mendengar perkataan
Dora.
“Bukan itu maksduku, Adi Sembodo.
Amanah bagi seorang ksatria adalah jiwa hidupnya.
Jika seorang ksatria tak mampu mempertahankan
amanahnya, sama halnya ia tak kuasa memper-
tahankan jiwanya. Lebih baik mati dari pada tak
mampu menjalankan amanah itu.”
“Begitu juga denganku, Kakang Dora. Lebih
baik mati dari pada aku gagal menjalankan
amanahku.”
“Apa boleh buat, Adi Sembodo. Apalah arti
bersaudara jika kita tak bisa mempertahankan
amanah kita.”

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 72


Keduanya tak bisa berbuat apa-apa selain
bertarung. Dora tak melihat yang dihadapi adalah
musuhnya, tapi dirinya sendiri. Demikian juga
dengan Sembodo, dia melihat Dora bukan sebagai
musuh, tapi sebagai dirinya yang mempertahankan
amanah ksatrianya. Kedua saling beradu kesaktian;
keduanya beradu pedang yang mereka pujanya.
Suara denting pedang beradu membahana
memenuhi hutan. Di tingkap suara angin menerpa
dedaunan, suara kaki mereka menjejak tanah
tempat mereka berpijak tak berirama. Keduanya
sebanding atas kekuatan dan kedigdayaan yang
mereka punya. Seolah pertarungan itu tak akan
pernah usai. Pertarungan itu seolah tak akan
berlangsung secepat harapan keduanya.
Takdir telah mencatat kesetiaan mereka
dengan tinta emas, bahwa keduanya tak akan ada
yang memenangkan pertarungan itu. Keduanya
tewas bersamaan dengan pedang menancap di dada
mereka. Mereka tewas atas kesetiaan terhadap
amanah yang diembannya. Dora dan Sembodo
ambruk ke tanah, berangkulan sebagai saudara.
Jiwa keduanya juga berangkulan melesat
keangkasa menemui takdirnya. Tewas sebagai
ksatria. Cahaya berkilauan menyambutnya dan
membawanya ke surga.
Mataku terasa pedas atas cahaya yang jatuh
dari lobang langit-langit. Tubuhku terkulai di atas

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 73


lantai. Pegal. Seolah semalaman aku habis ber-
tarung dengan seorang yang digdaya. Seperti
mimpinya, menyaksikan betapa dua bersaudara
sedang mempertaruhkan jiwanya untuk sebuah
amanah yang diembannya. Wajah Santi bertarung
dengan wajah azalinya. Keduanya bertarung seperti
Dora dan Sembodo. Dan aku merasakan suatu
kesalahan yang luar biasa atas wajah-wajah yang
bertarung dalam benaknya. Seperti Aji Saka dalam
mimpinya itu, aku merasakan telah melakukan
kesalahan yang tak termaafkan.
Tidak seperti biasanya, setiap bangun yang
kulakukan membuat kopi dan merokok sebatang
sebagai sarapan pagi, kali ini tidak. Aku cuma bisa
diam. Benakku merenungkan sesuatu yang asing
terjadi dalam diriku akhir-akhir ini. Mimpi semalam
seperti mendorongku untuk mengambil keputusan,
memilih dua pilihan yang sama-sama tak ku-
hendaki. Kegemaranku yang sekarang aku lakukan
terhadap Santi atau kegemaran menulisku yang
selama ini telah kugeluti. Keduanya sama-sama
kuat mencengkeram benakku. Memilih keduanya
jelas tidak mungkin, Keduanya saling meniadakan;
keduanya sama-sama kuatnya. Memilih salah satu,
adalah pengurban yang luar biasa yang tak pernah
terjadi sebelumnya. Dan aku semakin terperosok ke
dalam ketidaktahuanku.

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 74


“Suluh benar, kau baru bangun sesiang ini.
Apa semalaman kau melanjutkan novelmu itu?”
Tanya Toni sambil menenteng segelas kopi
untukku. Aku ambil gelas kopi dari tangannya itu
dan menghirupnya pelan-pelan.
“Ya,” jawabku singkat. Satu lagi kebohongan
kulakukan pada sahabatku itu.
“Cerita apa yang kau tulis itu?”
“Ahhh...,” desahku untuk menghindari
kebohongan yang bakal terjadi lagi. Aku cepat-cepat
pergi ke kamar mandi, melepaskan diri dari
pertanyaan Toni yang membuatku harus berbohong
untuk menjawabnya. Toni cukup tahu makna
desahanku itu. Desahan itu sering aku lakukan
untuk tidak ingin menjawab pertanyaannya. Dia
sangat mengenal semua kebiasaan yang aku
lakukan. Dia sahabatku, juga serumah dengannya.
Itulah kenapa Toni cukup hafal tentang diriku.
Salah satunya, aku tak pernah bohong padanya.
Kalau sekarang aku harus berbohong, dia pun tak
akan mencurigainya. Ia mempercayai kesetiaanku,
seperti ia setia pada persahabatannya denganku.
Aku guyur badanku seperti aku mengguyur
ketidaktahuanku tentang kedua pilihan itu. Aku
berharap, kesegarannya akan membuka kebuntuan
otakku. Selama ini aku cukup cerdas untuk
menyelsaikan kemelut tokoh-tokoh dalam tulisan-
tulisanku. Betapa rumitnya yang dialami mereka,

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 75


aku begitu lancar menyelesaikannya. Karena
kecerdasan itu, tulisanku diapresiasi positif oleh
pembaca dan kritikus. Tapi apa yang kualami
sekarang bukan imajinasi. Itu sungguh-sungguh
realitas, meskipun tak serumit yang dialami tokoh-
tokoh yang kuciptakan itu. Ah, ternyata perasaan
ini lebih rumit dari kecerdasan otakku.
“Bagaimana dengan tulisanmu?” Tanyaku
sambil mengusap butiran-butiran air yang masih
melekat di badanku.
“Aku masih kebingungan menyelesaikan
ceritaku itu. Tak ingin aku dianggap penulis yang
tak berbobot karena serampangan menyelesaikan
konflik cerita.”
“Cerita apa yang kamu tulis itu?” Tanyaku
hendak ikut membantu menyelesaikan ceritanya
itu. Kami biasa mendiskusikan cerita yang akan
kami tulis. Kami saling mengisi kebuntuan yang
sering kami alami dalam menulis.
“Cerita biasa saja. Romantika anak muda.
Tapi persoalannya menjadi rumit ketika tokohnya
harus memilih pilihan yang sama-sama kuatnya.”
Jawabnya serius. Dan aku merasa sahabatku itu
menyindirku.
“Dari mana kau mendapatkan inspirasinya?”
Selidikku penuh curiga.
“Hanya imajinasi. Cerita itu begitu saja
muncul saat aku menulis. Aku mengikuti terus apa

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 76


yang muncul dari imajinasiku. Dan ketika sudah
waktunya untuk ending, imajinasiku itu seperti
purik. Tak mau lagi menampakkan wajahnya.
Otakku pun terasa tumpul. ” Jawabnya agak putus
asa. Dan aku merasa lega mendengarnya. Apa yang
aku rasakan ternyata tidak menimbulkan kecuri-
gaannya.
“Kenapa tidak kau paksa saja tokohmu itu
memilih salah satunya.”
“Itulah masalahnya, pilihan itu sama-sama
kuatnya.”
“Barangkali kau bisa memulai dengan
mengurai kelebihan dan kekurangan masing-
masing pilihan itu.” Kataku menyarankan
sebagaimana yang sering aku lakukan dalam
menyelesaikan ceritaku.
“Ya! Kenapa aku melupakan itu!?” Katanya
seolah telah menemukan sesuatu yang sangat
berarti dalam hidupnya. Toni pun cepat-cepat
masuk kamarnya, dan aku tahu apa yang akan
dilakukannya.
Ya! Kenapa aku melupakan itu!? Kata-kata
Toni itu pun muncul juga dalam benakku. Kenapa
aku tak menimbang-nimbang positif negatifnya.
Kenapa aku membiarkan keduanya saling
bnertarung dalam benakku. Kenapa aku seperti
menikmati kebodohanku itu. Kenapa? Kedua
pilihanku seperti menciut atas kecerdasanku yang

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 77


selama ini tenggelam dalam bawah sadarku.
Keduanya semakin tak nampak berimbang. Salah
satu nampak pesimis karena keputusan yang
kutemukan. Wajah Santi terasa layu di benakku.
Sedang wajah yang lain begitu digdaya. Tegak atas
pilihanku terhadapnya. Aku putus hubungan
dengan Santi. Setidaknya, untuk sementara sampai
aku berkehendak lain. Tak masalah kalau Santi
tidak menerimanya. Tapi pilihanku telah
kupikirkan masak-masak.
Aku dan Toni hampir bersamaan keluar dari
kamar dengan wajah senyum. Dia nampaknya
sudah menyelesaikan ceritanya. Dan aku juga telah
memutuskan apa yang mesti aku lakukan. Kami ke
kampus bersama. Ke kantin bersama. Pulang
bersama. Dan malam ini aku harus tak bersama
dalam satu hal, ke rumah Santi untuk
mengutarakan pilihanku itu.

*****

Aku sebenarnya sebal melihat ulah teman-


temanku yang kampungan itu. Betapa konyolnya
mereka mereaksi peristiwa putusnya hubunganku
dengan Santi. Mereka terasa berlebihan menarik
perhatian Santi. Kalau mereka naksir, kenapa tidak
secara jantan mengutarakan maksudnya itu.
Kenapa mesti bersiul-siul, pura-pura menabraknya,

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 78


atau bertindak seperti layaknya pahlawan ke-
siangan. Bukankah Santi belum tentu menerima
mereka semua. Dalam benakku, mereka nampak
menyebalkan. Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa,
selain prihatin melihat polah tingkah mereka.
Tapi aku kecele. Ternyata pagi ini Santi
berjalan sambil bergelayut manja di bahu seorang
cowok. Aku terperangah melihat pemandangan itu.
Betapa cepatnya dia mengalihkan perasaannya
kepada cowok yang lain. Bukankah baru seminggu
lalu aku putuskan dia.
“Apakah itu yang menjadi alasan kau
putuskan Santi?” Tanya Toni membuyarkan ke-
herananku atas apa yang dilakukan Santi itu.
“Tidak!” Jawabku seperti gerak reflek yang
spontan keluar dari mulutku.
“Kau berhutang jawaban atas pertanyaanku
itu. Seminggu yang lalu aku menanyakan hal yang
kurang lebih sama. Dan kau tidak menjawabnya.”
“Kau akan menemukannya sendiri jawaban
itu,” hiburku karena kepenasarannya.
“Aku mungkin telah menemukan salah satu
jawabannya dengan melihat apa yang dilakukan
Santi tadi. Meskipun kau menyangkalnya.”
“Terserahlah. Aku sudah malas membahas-
nya.” Munafik rasanya jika aku tidak mengakui
bahwa kata-kataku itu suatu bentuk kecemburuan
melihat pemandangan tadi. Ada perasaan marah

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 79


melihat Santi bergelayutan di bahu cowok itu,
meski aku telah putus dengannya. Aku tak ingin
mengebiri perasaan itu. Aku masih menyintainya.
Aku masih memikirkan kegemaranku mengelus
rambutnya yang lembut, menyentuh bahunya yang
halus, dan mendengarkan bicaranya selembut
suara Celien Delon. Tapi aku sudah membuat
pilihan yang terbaik. Jika waktunya tiba, akan aku
pilih yang lain. Biarlah waktu berjalan menurut
pikirannya, seperti Toni menerka-nerka jawaban
atas pertanyaannya sendiri.

***

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 80


HARIMAU LAPAR DAN KELINCI
MAINAN LELAKI

Yang tampak belum tentu nyata.


Biar waktu membuktikannya, ketika manusia
tak mampu memahaminya.

DI MATAKU, ibu adalah harimau lapar.


Tetapi di mata banyak lelaki, yang saban hari
datang ke rumah, dia adalah seekor kelinci mainan
mereka. Dua pribadi yang berseberangan melekat
dalam diri ibu. Rasa takutku muncul luar biasa jika
ibu sudah berkacak pinggang di depanku. Tapi rasa
jijikku muncul tak kalah luar biasanya, jika ibu
mengerang dari kamarnya dengan seorang lelaki.
Aku heran, betapa mudahnya ibu membalik
kemarahannya padaku dengan tertawa geli pada
lelaki itu. Sudah gila rupanya. Kegilaan seorang
perempuan tanpa suami yang harus menghidupi
aku, anaknya. Ketika usai dengan tamunya, ibu
mengibas-ibas lembaran uang ratusan ribu di
Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 81
depanku sambil melotot, “Jangan malu kalau tak
ingin lapar!” Dan aku tahu maksud perkataannya.
Ibu, perempuan tak bersuami. Tapi juga tak
janda. Punya anak satu, aku. Jangan tanya siapa
ayahku. Aku tak tahu, siapa di antara lelaki tamu
ibuku itu yang jadi ayahku. Siapa di antara mereka
telah membuahi telur ibu hingga menjadi aku. Yang
pasti, di antara mereka adalah ayahku. Kadang-
kadang aku juga ingin mengetahuinya. Diam-diam
aku amati mereka satu persatu. Aku tatap tajam
warna kulit, muka, mata, hidung, dan semuanya,
barangkali ada yang sama denganku. Aku sangat
hafal dengan tubuhku. Hampir setiap hari aku
amati di depan cermin. Lantas mencari kesamaan-
nya dengan milik mereka. Tapi selama ini tak ada
yang cocok. Aku pun menghentikan pencarianku.
Tak ada gunanya. Malah akan menyakitkan hatiku.
Lumrah kalau aku iri melihat anak-anak
sebayaku beribu dan berayah. Mereka sering
bersama berjalan-jalan di taman kota. Mereka
tertawa bersama, makan sambil duduk bersama,
berlarian bersama, bahkan tidak malu-malu
bergelantungan bersama di alat permainan anak-
anak. Sedang aku cuma diam memperhatikan
mereka. Sementara ibu di rumah sibuk ber-
gelantungan di leher lelaki tamunya. Perasaan ini
terlampau sepi dan sedih merambat dalam diriku
setiap hari. Tapi aku tak menghendakinya. Aku

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 82


kubur dalam-dalam perasaan itu. Aku terima apa
saja yang telah dan bakal terjadi. Kalau kemudian
orang lain mengatakan aku ini tipe pendiam, sering
melamun, dan sibuk dengan diriku sendiri, itulah
menurutku jalan terbaik untuk menerima
semuanya.
Andaikan. Ayahku seorang pegawai negeri.
Ibuku, ibu rumah tangga yang sesekali arisan
bersama istri teman sekantor ayahku. Dan aku
sasaran cubitan mereka karena gemas melihat
kelucuanku. Tapi tidak. Ayahku tak tahu siapa.
Ibuku banyak tidur dengan lelaki tamunya. Dan
aku, penyendiri di pojok halaman belakang rumah
sambil menunggu kacak pinggang dan omelan
ibuku. Kerabat? Tak ada namanya kerabat. Satu-
satunya orang yang katanya kerabat, pernah
datang marah-marah di depan ibuku dengan kata-
katanya yang pedas.
“Kau perempuan memalukan. Lonte! Tak
punya malu sedikit pun. Lihat, anakmu! Kau didik
dia dengan melihat adegan mesummu!” Kata keras
pak lik. Orang yang marah itu pak lik; satu-satunya
kerabat yang pernah aku lihat selama 18 tahun
usiaku. Kata sapaan itu yang aku dengar dari
mulut ibu.
“Tak perlu mencampuri urusanku, pak lik.
Urus diri pak lik sendiri!” Jawab ibu tak kalah

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 83


sengitnya. Tangannya berkacak pinggang persis
seperti kalau marah padaku.
“Jangan sebut aku pak lik. Malu aku punya
keponakan seperti kamu!”
“Aku pun tak sudi menganggap kamu pak
lik. Kau hanya bisa berhutang padaku, tapi tak
pernah bersikap ramah padaku.”
“Harta apa yang pernah aku hutang darimu!?
Tak sudi aku makan uang haram dari jual diri.”
Kata pak lik sambil ngloyor pergi. Perasaan
dongkolnya masih terlihat saat dia mengendarai
sepeda motor bututnya. Sementara ibu menggerutu
kesal seperti harimau lapar. Dan aku menyusut di
pojok rumah.
Ayahku tak bisa aku bayangkan. Ibuku tak
bisa aku mengerti. Dan aku, hidup dalam bayangan
dan ketidakmengertian. Barangkali itulah hidup.
Banyak rahasia tak pernah bisa dipahami
maknanya. Manusia hanya bisa merasakan.
Manusia hanya bisa membuatnya menjadi nyaman.
“Kau mesti punya cita-cita, Ragil,” kata pak
lik suatu ketika. Tatapan matanya tampak lembut,
tidak seperti saat mengumpat ibu kemarin.
Barangkali dia kasihan padaku. Entahlah. Aku tak
merasakan semua itu. Yang kutahu pak lik begitu
perhatian padaku.
“Aku ingin jadi ayah,” jawabku sekenanya.
Jangankan cita-cita, keinginan saja aku hampir tak

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 84


punya. Bagiku hidup dijalani saja seperti air
mengalir.
“Itu bukan cita-cita,” kata pak lik sambil
tersenyum. Mungkin ia merasa lucu mendegar
jawabanku itu. “Cita-cita itu seperti jadi dokter,
guru, tentara, polisi, atau presiden. Kalau ingin jadi
seorang ayah, tak perlu bercita-cita. Semua lelaki
besuk jadi ayah.
“Tapi ayahku?” Jawabku terasa ada protes di
sana. Dan pak lik diam mendengar itu. Matanya
sipit memandangku. Tangannya meraih badanku
dan menariknya ke pelukannya. Terasa begitu
keras dan kuat pelukannya. Nafasku tersengal. Tapi
benakku tak mengerti kenapa dia melakukan itu.
Aku hanya bisa menerjemahkan kalau pak lik
merasa kasihan.
“Suatu ketika kau akan mengetahuinya.
Kalau pada akhirnya kau tidak mengetahui juga,
tak apa-apa. Masih banyak anak tak beruntung.
Mereka tak punya ayah dan ibu. Mereka toch bisa
menjadi orang yang sukses. Karena mereka
mempunyai cita-cita.”
“Aku tak punya cita-cita.” Entah kenapa tiba-
tiba aku bisa bicara banyak pada pak lik. Tidak
seperti biasanya yang hanya bisa diam. Cita-cita
apa yang harus aku inginkan, sedang usiaku sudah
18 tahun. Bahkan anak tetangga, seusia denganku,
sudah punya pacar. Sementara aku hanya

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 85


merasakan tak ada perubahan apa-apa dalam
diriku selama ini.
“Kau harus punya cita-cita.”
Kau harus punya cita-cita. Kata-kata itu yang
terngiang-ngiang di telingaku. Kalau sebelumnya
aku diam tak berasa apa-apa, kini diamku
berkelebatan kata-kata itu. Kau harus punya cita-
cita. Kata-kata pal lik itu muncul dan tenggelam di
otakku. Memenuhi ruang waktuku di tengah-
tengah suara ringkik kuda dari kamar ibuku.
Bahkan omelan ibuku terdengar seperti kata-kata
itu: “Kau harus punya cita-cita!” Bahkan rayuan
lelaki pada ibuku juga terdengar, “Kau harus punya
cita-cita.” Suara derit dipan di kamar ibuku karena
terlalu berat beban yang menumpanginya, juga
seperti itu. Kau harus punya cita-cita. Dan aku
merasa sudah gila.
Malam ini aku heran melihat perubahan
pada ibu. Dia tampak lebih tenang. Ada senyum di
wajahnya. Aku tak menanggapi senyum itu. Selama
ini senyum itu hanya untuk tamu lelakinya.
Untukku, hanya dampratan. Dan aku semakin
heran ketika menyadari kalau senyum itu benar-
benar ditujukan padaku. Rasanya asing dengan
senyum itu. Lucu. Dan aku lebih lucu lagi saat
kikuk menyambutnya. Apakah ini pertanda ada
perubahan dalam diri ibu? Mustahil. Aku tak
melihat cukup alasan untuk itu. Hari-hari ini tak

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 86


ada yang istimewa terjadi di rumah ini. Tak ada
yang luar biasa. Seperti biasanya, ibu melayani
lelaki tamunya dan aku terperosok di pojak
halaman belakang.
Justru akulah yang mengalami perubahan.
Kata-kata pak lik seperti menggores tinta tebal
dalam benakku. Kau harus punya cita-cita. Kata-
kata itu selalu muncul dalam diamku. Bukan
malah ibu yang berubah. Kalau sekarang ada
senyum untukku, mungkin kepala ibu habis
terbentur dinding. Amnesia. Tapi tidak. Ibu tak
mengalami apa-apa. Ibu tak pernah terbentur
kepalanya. Ada apa dengan ibu? Tak ada jawaban
atas pertanyaan itu. Dan senyum itu aku pahami
sebagai misteri.
Aku pun terperangah saat ibu menyodorkan
selembar uang kepadaku. Biasanya dia mengibas-
ibaskan lembaran uang itu di depan wajahku
sambil berkata keras, “Jangan malu jika tak ingin
lapar!” Tapi kini tidak. Selembar uang itu dia
sorongkan kepadaku dengan senyum.
“Ambillah. Ini malam minggu, bisa buat
jajan,” katanya sedikit memerintah. Pelan kuterima
uang itu. Perasaan ini campur aduk, antara heran,
tanya, dan tidak percaya atas perubahan itu.
“Aku akan ke rumah pak lik,” kataku ragu-
ragu. Kata pak lik menjadi tabu untuk dikatakan di
rumah ini semenjak peristiwa percekcokan ibu

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 87


dengannya. Aku juga tak pernah mengucapkan itu.
Takut. Tapi hari ini terdengar lain.
“Ya,” jawabnya singkat. Perubahan ibu
benar-benar seratus delapan puluh derajat. Jawab-
an ibu yang singkat itu sudah cukup bagiku untuk
meyakani bahwa ibu telah berubah.
Kalau aku malam ini ke rumah pak lik,
bukan lantaran ingin bersilahturahmi. Bukan. Tak
ada kamus dalam keluargaku tertoreh kata itu. Ibu
selama ini menganggap tak punya siapa-siapa. Tak
punya teman satu pun. Yang ibu punya hanya
lelaki tamunya. Tak ada kewajiban untuk itu. Tapi
aku ke rumah pak lik lantaran ingin mendekati
kata-kata yang hari-hari ini menyibukkan benakku.
Kau harus punya cita-cita. Kata-kata yang telah
diucapkan pak lik saat itu. Kata-kata yang
menyerangku setiap detik. Kata-kata yang men-
dorongku untuk berubah. Meski aku sudah duduk
di bangku SMA, tapi kata-kata itu terasa asing.
Bukan aku tak pernah mendengarnya, tapi ibu tak
pernah sekalipun menanamkan hal itu. Ibu terlalu
sibuk dengan tamunya. Dan aku tak pernah
menghiraukan apa yang bakal terjadi kelak. Biarlah
hidupku mengalir saja. Apa peduliku.
“Cita-cita itu bukan mimpi. Cita-cita itu juga
bukan sekedar keinginan. Cita-cita itu sebuah
tekat. Dengan begitu, kita punya semangat untuk
berbuat sesuatu. Berbuat untuk meraihnya.” Kata

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 88


pak lik penuh wibawa. Dia seperti seorang guru
yang mengajar siswanya tentang pentingnya sebuah
cita-cita. “Kau tahu Arjuna?” Tanyanya selanjutnya.
“Tokoh pewayangan itu, pak lik?”
“Ya. Ia tak pernah putus asa untuk belajar
apa saja demi cita-citanya. Meski saudara-
saudaranya dari Kurawa memperlakukannya
dengan tidak adil, dia tetap belajar untuk bisa
melebihi kemampuan saudara-saudaranya itu. Ia
bertekat menjadi seorang satria agar saudara-
saudaranya itu menghargainya.”
Pak lik menghentikan ceritanya. Dia
menatapku seolah mencari tahu apakah aku cukup
paham dengan ceritanya itu. Aku tersenyum.
Mungkin terlihat lucu, seperti senyum ibu tadi.
“Meski Arjuna diperlakukan dengan jahat,
tapi ia tak membalas dengan kejahatan pula. Ia
membalasnya dengan menambah kemampuan
ilmunya, sehingga ia tak akan kalah dengan
saudara-saudaranya itu. Ia akan memenangkan
persaingan dengan saudara Kurawanya itu dengan
tanpa mengalahkan.”
Aku hanya diam mendengarkan. Aku juga
menunggu ujung cerita pak lik tentang hubung-
annya dengan aku. Sementara dia semakin
semangat bercerita. Apalagi jika berhubungan
dengan wayang. Pak lik adalah seorang dalang;
mantan dalang tepatnya. Sudah lama dia tak

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 89


mendalang. Tak ada yang menanggapnya. Zaman
teknologi ini orang lebih suka nonton TV, VCD, atau
bioskop dari pada semalaman nonton wayang.
Begitu kata pak lik suatu hari.
“Aku tahu kau tersiksa dengan ulah ibumu
itu. Meskipun nuraniku tak menyetujuinya, tapi
aku tak bisa berbuat apa-apa. Bebannya tanpa
suami untuk membesarkanmu, terlalu berat dia
pikul.” Kata pak lik sambil mengelus-elus rambut-
nya yang telah beruban itu. Aku pun mulai
menemukan ujung cerita pak lik dalam hubungan-
nya denganku. “Aku ingin kau seperti Arjuna.
Meskipun setiap hari kau merasa tidak enak atas
kelakuan ibumu itu, tapi semua itu menjadi
cambuk untuk memperbaiki keadaan itu. Kita tak
bisa apa-apa. Mengingatkan ibumu sama halnya
dengan mengajak berantem. Ibumu akan berubah
suatu ketika, saat kau sudah dewasa dan menjadi
orang yang berhasil. Kau bisa menggantikan beban
ibumu. Itulah kenapa kau harus punya cita-cita.
Kau harus bertekat menjadi orang yang berhasil.
Dengan begitu, ibumu akan berubah.”
Kata-kata pak lik yang terakhir itu membuat
aku semakin penasaran. Bukankah ibu tadi sudah
berubah? Ibu sudah tersenyum padaku, yang tak
pernah dia lakukan selama ini. Ibu begitu tenang
sikapnya dan dengan iklas memberikan uang jajan
malam minggu ini. Apakah terlalu cepat perubahan

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 90


itu? Bukankah aku belum menjadi apa-apa untuk
merubah keadaan ibu itu? Kata-kata pak lik itu
terasa ganjil jika melihat perubahan yang terjadi
pada ibu sekarang ini.
“Ibu sudah berubah, pak lik,” kataku seperti
meralat pendapatnya itu. Tapi dia menanggapi
dengan tersenyum.
“Berubah bagaimana?”
“Ibu sudah tersenyum padaku. Bahkan
mengiyakan saat aku minta izin ke rumah pak lik
malam ini. Ibu juga memberikan uang untuk jajan
padaku.” Kataku meyakinkan.
“Bagaimana dengan lelaki tamunya itu?
Apakah mereka tadi juga datang ke rumahmu?”
Tanya pak lik seolah menyelidik.
“Ya. Masih seperti biasa.” Jawabku agak
malas. Aku terasa jijik dan muak dengan setiap
lelaki yang datang di rumahku.
“Ibumu belum berubah,” kata pak lik dengan
menekan ucapannya itu.
“Aku tak tak tahu, pak lik.”
“Ada maksud tertentu di balik sikapnya yang
kau anggap berubah itu.”
“Aku tak tahu apa maksudnya,” kataku
sambil menerka untuk menemukan jawaban atas
ketidaktahuanku atas perubahan ibu.
“Kau akan tahu,” jawab pak lik penuh tanda
tanya di benakku.

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 91


Apa maksud ibu? Itulah yang kubawa pulang
dari rumah pak lik. Tujuan semula datang ke
rumah pak lik seolah tenggelam atas pertanyaan
itu. Aku sudah tak memikirkan lagi tentang cita-
cita. Maksud ibu di balik perubahan sikapnya itu
lebih memunculkan penasaranku. Lebih parah lagi.
Ada kekecewaan di dalamnya. Ada perasaan kecele
di benakku. Harapan kebahagiaan atas perubahan
ibu sirna oleh penjelasan pak lik tadi. Ada maksud
tertentu di balik itu. Dan ada sesuatu yang mulai
menjalar di perasaan. Suatu perasan sakit hati atas
kebohongan ibu. Perubahan sikap ibu hanyalah
sebuah sandiwara. Dia ingin mengatakan sesuatu,
mungkin, dengan sikapnya itu. Kenapa ibu tidak
mengatakannya saja langsung, sambil berkacak
pinggang dan ucapannya yang kasar itu? Bukankah
itu cukup berhasil menyurutkan nyaliku selama
ini?
Aku menunggu dengan tak sabar apa yang
bakal terjadi pada ibu selanjutnya. Apa maksud ibu
padaku sehingga harus bermanis-manis? Dan
diamku di pojok halaman belakang rumah, sambil
menunggu lelaki tamu ibu menyelesaikan nafsunya,
bertambah dengan tanda tanya besar atas maksud
ibu itu. Aku pun semakin berubah. Aku tidak lagi
anak yang suka diam melamun, tapi diam dalam
keramaian pikiran. Cita-citaku.......maksud ibu

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 92


......cita-citaku...... maksud ibu, bergantian ber-
seliweran di dalam diamku.
Tak ada lagi harimau lapar di rumah hari ini.
Ibu tak lagi murka dengan kacak pinggangnya. Tapi
kelinci mainan lelaki tamu ibu masih belum hilang.
Ibu masih tetap menjadi kelinci yang siap membuat
geli lelaki tamunya itu. Aku hitung sudah delapan
lelaki bergantian datang. Delapan kali pula ibu
bolak-balik ke kamar mandi. Aku tak mem-
pedulikan semua itu. Pemandangan yang sudah
biasa terjadi setiap hari.
Baru malamnya apa yang aku tunggu terjadi.
Ibu dengan senyum lucunya mendekatiku. Meski
aku telah siap menerima apa yang bakal terjadi,
tapi jantungku masih terasa berdetak kencang.
Nafasku terasa memburu, persis seperti nafas lelaki
tamu ibu menjelang puncak kenikmatannya.
Mataku tak berkedip memandang ibu.
“Aku ingin kau mendengar niat ibu ini,” kata
ibu memulai menceritakan apa yang sejak malam
kemarin aku tunggu makna perubahan sikapnya
itu. “Ibu ingin menitipkan kau ke panti asuhan.”
“Apa maksud ibu?” tukasku cepat men-
dengar kata-kata ibu itu.
“Tak perlu membantah,” katanya sambil agak
mengancamku. Biasanya kalimat itu diucapkan
dengan keras dan mendorong telunjuknya ke depan
mukaku. Sedang tangannya yang lain berkacak

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 93


pinggang. Meski nadanya agak rendah, tapi aku
merasakan ancaman itu tak kurang seperti
biasanya. Nyaliku pun surut. Menyerah seperti bayi
burung yang belum mampu menggerakkan sayap-
nya. Lemah.
“Ibu tak ingin kau menyaksikan apa yang
terjadi di rumah ini setiap hari. Kau sudah besar
untuk bisa menilainya. Kau juga sudah punya rasa
malu atas ulah ibumu ini. Ibu tak ingin teman-
temanmu memperolok-olokmu. Kau harus pergi.
Panti asuhan di kota mau menerimamu atas
bantuan teman ibu.”
Aku tak bisa apa-apa jika ibu sudah
berkehendak. Apalagi nada suara ibu mulai
meninggi. Harimau lapar sudah mulai tampak lagi.
Benar kata pak lik, ibu belum berubah. Ibu
menyembunyikan maksudnya di balik perubahan
sementara itu. Akulah yang bakal semakin
berubah. Biarlah aku pergi jika perubahan yang
bakal terjadi akan membuat aku sukses.
Barangkali dengan itu, akan merubah keadaan ibu.
Semoga benar kata-kata pak lik, kesuksesanku
akan menggantikan beban ibu. Dengan begitu ibu
akan berubah menjadi perempuan baik-baik.
Sebutir demi sebutir air menetes dari
mataku. Di kamar perasaan sedih menjalar di
hatiku. Bukan kesedihan lantaran akan meninggal-
kan ibu. Bukan pula karena aku akan hidup

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 94


sendiri. Ayah tak ada dan sekarang ibu juga akan
jauh dari kehidupanku. Bukan itu. Itu tak
seberapa. Sudah makananku sehari-hari. Kesedih-
an itu lantaran aku harus punya cita-cita menjadi
orang sukses, sehingga keadaan ibu akan berubah.
Ibu tak akan memiliki beban berat lagi. Tapi kenapa
baru sekarang ini itu terbersit dalam benakku!?
Kenapa tidak ketika aku masih di SD atau SMP
dulu? Aku bisa pergi jauh mengejar kesuksesan itu.
Kalau itu terjadi, sekarang aku sudah menjadi
orang sukses. Sekarang pula ibu akan benar-benar
berubah. Aku pun tak pindah ke panti asuhan. Dan
aku bisa hidup bukan dengan harimau lapar dan
kelinci mainan setiap lelaki.
Ayahku hanya bayangan. Ibu penuh
harapan. Dan aku kini menjadi orang kota
mengejar kesuksesan. Aku tak sekolah lagi. Terlalu
lama bisa meraih sukses menunggu lulus. Belum
lagi harus mencari pekerjaan. Belum lagi harus
meniti karier untuk bisa sukses. Terlalu lama.
Sebelum ibu merambat senja, aku harus menjadi
sukses. Tak ingin ibu digerogoti penyakit tuanya
baru bisa menikmati kesuksesanku. Tak ingin ibu
tetap saja menjadi kelinci mainan lelaki, sementara
aku cuma bisa menikmati hasilnya. Ibu harus
benar-benar berubah. Ibu harus menjadi kelinci
untukku dan harimau lapar untuk lelaki tamunya.
Bukan sebaliknya.

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 95


Aku, harimau lapar mengejar kesuksesan
setiap waktu. Aku kejar di pojok-pojok kota, di
antara hilir mudik pekerja pabrik, di tengah-tengah
aroma keringat kuli pelabuhan, atau di antara
orang-orang kaya menghambur-hamburkan uang di
dalam plasa. Tak ingin aku terpaku pada satu
pilihan pekerjaan. Aku harus pintar memilih mana
cara cepat meraih sukses. Tak ingin ibu terlalu
lama menunggu kesuksesanku itu. Beban ibu
terlalu berat. Usia ibu semakin beranjak senja.
Sebelum semua itu menjadi malapetaka buat ibu,
aku harus merubahnya. Aku yang dulu hanya bisa
diam, kini aku menjadi harimau lapar yang siap
menerkam apa saja. Demi kesuksesan dan demi
berubahnya keadaan ibu, aku sanggup melakukan
apa saja untuk itu.
Wanita itu aku kenal saat berbelanja di
plasa. Kerepotannya membawa barang-barang
belanjaannya, mendorongku untuk menawarkan
jasa. Barangkali selembar uang kuraih dari jasa itu.
Alih-alih seperti itu, aku pun semakin akrab
dengannya lantaran itu. Wanita itu lebih tua
dariku. Tapi dia tampak lebih muda. Kesengsaraan-
ku menjadikan aku terlihat lebih matang. Lebih tua
darinya. Karena itu aku tak merasa menjadi
brondong baginya. Apalagi dia cantik. Kulitnya
putih. Halus. Maklum dia tak pernah berpanas-
panas. Matahari tak sempat sedikit pun menyentuh

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 96


kulitnya. Sedang aku, harimau lapar yang mengejar
kesuksesan tanpa kenal panas dan hujan. Entah
apa yang dipandang dariku hingga dia semakin
lengket padaku.
Kunikahi dia agar aku tak seperti lelaki tamu
ibu. Dia menyambutnya dengan bahagia. Perasaan
cintanya seperti gunung Merapi yang hendak
meletus. Aku tak ingin berpikir panjang untuk itu.
Tak perlu tahu dia janda atau masih perawan. Aku
juga tak peduli andaikan dia istri simpanan pejabat
atau gundik cukong cina. Apalagi cinta, aku tak
memerlukan itu. Yang penting dia sangat kaya. Itu
sebuah pilihan cepat untuk sukses. Itu sebuah
pilihan yang bisa merubah keadaan ibu. Ibu tak
lagi menjamu lelaki tamunya demi selembar uang.
Ibu juga tak perlu merasakan beban berat yang
mesti dipikul. Pengorbanan ibu sudah terlalu
banyak untukku. Dan aku benar-benar telah kaya.
Tak peduli kekayaan itu milik siapa, toch aku juga
ikut menikmatinya.
“Bagaimana, mas, jadi menengok ibu?”
Tanya istriku suatu ketika. Aku pernah menjanji-
kan itu padanya. Hanya waktu yang aku belum
siap. Aku tak ingin istriku mengetahui apa profesi
ibuku. Aku tak ingin dia kecewa mengetahuinya.
Apalagi kemudian dia minta cerai. Duh, jangan
sampai itu terjadi.

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 97


“Belum saatnya. Tunggu waktunya tiba.
Biarkan untuk sementara aku kirimi uang untuk
memperbaiki kehidupan ibu. Ibu akan memaklumi
itu. Ibu sudah membalas suratku, mengabarkan dia
baik-baik saja.” Jawabku sekenanya. Aku ingin ibu
berubah dulu sebelum aku ajak istriku me-
ngunjunginya. Uang yang aku kirimkan kepada ibu
sangat banyak. Terlampau banyak bila disbanding-
kan perolehannya jadi kelinci mainan lelaki
tamunya itu. Aku berharap dengan uang itu ibu
sudah tak menjadi kelinci lagi. Hidup normal
seperti perempuan-perempuan lainnya.
“Kapan, mas?” Tanya istriku sambil me-
rengek seperti anak kecil. Dan aku cukup senang
dengan sikapnya itu. Apa yang kubayangkan se-
belumnya tak terjadi pada istriku itu. Aku
bayangkan betapa dia yang kaya itu akan
mengaturku, menjajahku, dan mengekangku, se-
perti di sinetron-sinetron itu. Ternyata tidak. Dia
teramat cinta. Dia teramat lembut. Dan dia seperti
kelinci mainan buatku, seperti ibu buat lelaki
tamunya itu.
“Biarkan ibu menyiapkan semuanya dulu
untuk menyambut menantunya yang cantik ini.”
Kataku merayunya. Dia tampak tersenyum bahagia.
Tersanjung. Dan aku merasakan dia telah terjebak
pada harimau lapar yang siap menerkamnya.

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 98


Apa yang aku tunggu selama ini, ternyata
bukan itu yang tiba. Tetapi khabar kalau ibuku
meninggal akibat penyakit kelamin yang meng-
gerogoti tubuhnya. Tangisku meledak tak ter-
bendung lagi. Aku teriakkan sekuat tenaga
menyebut ibu. Suaranya menggema memenuhi
rumah mewah istriku ini. Menghantam dinding
beton layaknya bandul pendulum. Menghantam apa
saja seisi rumah. Suara itu menjalar dalam
darahku hingga merubah tangisku menjadi murka.
Aku hantam semua perabotan yang ada. Aku
lemparkan semuanya pada setiap dinding. Aku
hantamkan tubuhku ke tiang beton rumah. Dan
aku tersungkur berbasah darah. Sementara istriku
terperangah melihat semuanya. Dengan perasaan
takut dia mendekatiku. Tangannya lembut menarik
kepalaku ke dadanya. Dia tampak menangis juga
melihat betapa sedih dan marah yang luar biasa
terjadi dalam diriku.
Dekapan istriku begitu nyaman kurasakan.
Elusan lembut tangannya pada rambutku terasa
membuatku menjadi seorang anak. Tentram seperti
dalam dekapan ibu. Benarkah? Inikah rasanya
dekapan seorang ibu pada anaknya?
“Ibu, dekaplah yang erat, bu.”
“Mas, aku istrimu. Tenanglah. Tabahlah. Ibu
telah tenang di alamnya sekarang.”

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 99


Kata-kata ibu terasa segar air telaga. Aku
benamkan tubuhku ke dalamnya. Aku arungi
kedalamannya. Ikan-ikan berkilatan warna-warni.
Batu-batu seperti tertata oleh tangan-tangan
terampil. Indah kehijauan. Riak air lembut
berirama membentuk lingkaran semakin besar dan
hilang ke tepian.
“Betapa bahagianya aku berenang bersama
ibu. Lihatlah, ibu, cahaya matahari berpendaran di
permukaan telaga ini. Menyinari sirip ikan-ikan
seperti indahnya mutiara.”
“Mas, aku istrimu. Kenapa kau ini. Sadarlah,
mas. Tenanglah. Terimalah semuanya.”
“Jernihnya telaga ini, hingga langit seolah
ikut tenggelam di dalamnya. Berenanglah, ibu.
Berenanglah. Kita akan menuju ke tengah-tengah
telaga. Di sana ada pusaran air yang menukik ke
dalam. Ia seperti lesung pipit yang berada di pipi
ibu.”
“Betapa kesedihanmu telah menenggelamkan
kesadaranmu, mas. Kuatlah menahan semua ini.
Aku istrimu akan membantumu, mas. Sadarlah.”
“Ya, ibu. Kita akan menenggelamkan tubuh
kita ke dalam telaga ini. Kita akan jadi ikan. Kita
akan jadi batu. Kita akan jadi apa saja, ibu.
Asalkan ibu tetap bersamaku, aku akan menjadi
anak yang manis. Ayo, ibu, kita semakin dalam lagi.
Semakin dalam. Di sana dunia kita......

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 100


DILEMA

Tak ada dilema yang tak bisa terurai. Tinggal


bagaimana
menempatkan pilihannya pada tempatnya masing-
masing. Tanpa mempertentangkannya.

DILEMA. Kalau dikatakan sebuah pilihan


yang sama-sama sulit, memang begitu adanya.
Apalagi di mata Arjuna, pilihan itu benar-benar
membuatnya puyeng. Sebagai ksatria, ia tak bisa
menentukan satu di antara dua pilihan itu.
Jiwanya telah terpola menjadi seorang ksatria.
Terlanjur dihamparkan ruh di atas kebajikan,
kebenaran, dan kemuliaan. Seandainya ada pilihan
ketiga –mati misalnya, ia mesti memilih itu dari
pada dua pilihan yang lain.
“Apa dua pilihan itu, Adiku Arjuna, sehingga
Engkau teramat sulit untuk memilihnya?” Tanya
Bhima dengan suara berat seperti berat tubuhnya.
“Sebagai seorang ksatria, aku harus memilih
takdir untuk menjadi senopati perang di Kurusetra.

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 101


Tapi sebagai murid yang berbakti, aku wajib
menghormati dan tunduk pada Sang Guru.
Keduanya tak mungkin saling meniadakan. Kedua-
nya harus dijunjung tinggi kemuliaannya secara
bersama-sama. Hanya kematian yang mampu
menghindari keduanya. Jika aku mesti memilih di
antara kedua pilihan itu, di mana lagi arti
kehormatan, kemuliaan, dan kebenaran hidupku
ini, Kakanda Bhima.” Jawab Arjuna datar tanpa
makna. Selain kegalauan, tak ada lagi perasaan
yang lain di hatinya.
“Apa yang Engkau maksudkan, Adiku?”
Tanya Bhima belum mengerti arah pembicaraan
Arjuna. Tapi ia menangkap sorot mata Arjuna yang
galau itu. Hatinya merasa terpanggil untuk
membantunya.
“Prabu Karna adalah guru saya, sekaligus
musuh yang harus aku hadapi dalam perang
Baratayuda ini, Kakanda Bhima.”
Malam semakin sunyi. Para prajurit telah
lelap dalam mimpi. Barangkali mimpi terakhir
sebelum esok hidup mereka dipertaruhkan dalam
kancah perang besar; Baratayuda. Tinggal beberapa
dari mereka berjaga di antara tenda-tenda putih,
menjaga setiap sudut perkemahan Pandawa. Angin
mulai membawa embun dan menyerbarkannya di
setiap jengkal hutan Jati Peteng. Dingin. Tapi
Arjuna dan Bhima tak merasakan apa-apa, selain

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 102


kebuntuhan. Galau. Dan Kegalauan hati Arjuna itu
telah merasuk ke dalam hati Bhima. Kesedihan
Arjuna menebar ke dalam hati Bhima. Kegamangan
Arjuna menukik ke dalam hati Bhima pula.
Keduanya hanya bisa diam. Dilema itu begitu kuat
mencengkeram keduanya. Apalagi Arjuna, kedua
pilihan itu seperti wesi aji yang teramat kuat untuk
dilumerkan. Dibakar api magma gunung Merapi
sekalipun. Ia menatap nanar busur panahnya yang
teronggok. Sedang dalam perang yang lain, busur
panah itu seperti jiwanya yang kokoh menghadapi
dentingan pedang musuh-musuhnya. Kini lunglai,
lunglai seperti empunya menghadapi dilema itu.

*****

Tapi tidak! Aku Arjuna, tapi bukan Arjuna


yang menghadapi dilema dalam kisah Mahabarata.
Suatu kebetulan ayahku memberi nama seperti itu.
Barangkali, ayah berharap aku menjadi ksatria,
tampan, digilai banyak wanita, dan selalu membela
kebenaran. Tapi jika harus menghadapi dilema
seperti itu, lebih baik aku ganti saja namaku.
Bukan lagi Arjuna, tapi Bambang atau Karto atau
apa saja asal bukan Arjuna. Entahlah, apa yang
ada di benak ayahku saat aku lahir. Tiba-tiba akte
kelahiranku mencatat: namaku sebagai Arjuna,
lahir Senin Pon, tanggal 4 Januari 1989, nama ayah

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 103


Jacques dan ibu Spivak. Dari kedua nama orang
tuaku saja sudah jauh dari nama Arjuna; tokoh
pewayangan. Kedua nama itu jelas bukan nama
Jawa atau Indonesia. Bahkan memiliki kemiripan
dengan tokoh Dekonstruksi dan Feminisme Barat.
Tapi aku juga tak menghiraukan sebuah nama.
Apalah artinya nama; sebuah label. Apapun
namanya, mawar tetap harum dan indah.
Kalau kemudian namaku mengusikku se-
karang, lantaran sebuah buku cerita pewayangan
yang diberikan pacarku, Rani. Mahabarata. Buku
ini mengisahkan perang sepanjang masa antara
dua saudara, Kurawa dan Pandawa. Dan perasaan-
ku terasa terusik ketika kubaca sebuah episode
tentang Arjuna yang harus menghadapi gurunya,
Prabu Karna, dalam perang di Kurusetra itu.
Sebuah dilema yang tak mudah ditentukan mana
yang mesti dijalani. Sebagai ksatria, Arjuna harus
mengemban suratan takdir untuk menjadi senopati
perang dari kelompok Pandawa. Ia harus meng-
hadapi sang guru yang selama ini dihormati dan
dijunjung tinggi. Sebagai murid, ia harus men-
junjung tinggi kewajiban sebagai murid terhadap
gurunya. Mana yang mesti Arjuna pilih? Ke-
gamangan, kebingungan, dan kesedihan yang mesti
dialami dalam keadaannya itu.
Aku Arjuna, tapi bukan Arjuna yang
menghadapi dilema itu. Aku bukan tokoh pe-

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 104


wayangan. Aku manusia nyata, lahir dari ibu dan
ayah yang nyata pula. Sejarah hidupku pun nyata.
Bumi tempat aku berpijak juga nyata. Bukan
imajinatif. Bukan fiksi. Juga bukan sebuah kisah
lama yang tak pernah habis digali inspirasinya itu.
Aku tak pernah sedetik pun mengalami keadaan
seperti itu. Hidup baik-baik saja. Lurus-lurus saja.
Bahkan teramat lempang jalan hidupku. Segala
mimpi begitu saja terjadi hampir tanpa hambatan.
Kalau ada persoalan hidup yang boleh dikatakan
tragik, itu cuma soal ayah. Itu pun tak mem-
pengaruhi jalan hidupku hingga kini. Bahkan, kata
ayah sudah terhapus dari khazanah kosa kata
keluargaku. Tabu untuk disebut, apalagi diper-
bincangkan. Kata itu harus dikubur dalam-dalam
ke dasar bumi yang paling dalam. Bahkan me-
moriku pun tak mungkin dapat diketemukan kosa
kata itu, apalagi rupa benda yang bernama ayah.
Yang ada kata Kakek dan Mama. Kedua kata itu
begitu lekat setiap detik, menit, jam, hari, bulan,
tahun, hingga usiaku 21 tahun. Bahkan nama
Jacques, kata akte kelahiran tercatat nama ayahku,
tidak lebih dekat dari seorang tokoh dekonstruksi
asal Perancis, Jacques Derrida. Nama ini teramat
dekat dalam dunia kehidupanku sekarang; dunia
tulis-menulis.
Aku memang seorang penulis. Lebih
tepatnya, semenjak kecil aku bermimpi menjadi

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 105


penulis. Mimpi itu begitu lekat di benak. Aku tidak
pernah melupakan mimpi lama itu barang sedetik
pun. Tapi aku teramat sederhana menyikapi mimpi
itu. Aku bukan Arjuna yang teramat serius
memandang dilema dari kacamata ksatria. Bahkan,
tak perlu muluk-muluk menjadi penulis yang
populer dan sukses dengan buku best seller. Tak
perlu. Aku bukan tipe orang yang muluk-muluk.
Aku teramat sederhana memandang kehidupan ini.
Bagiku cukuplah lancar menulis, punya banyak
tulisan, dan kegelisahan ini bisa tertampung ke
dalam tulisan itu. Kalau kemudian tulisanku men-
jadi apa saja, terserahlah. Seandainya menjadi
santapan serangga sekalipun, tak menjadi soal.
Paling tidak, ada manfaatnya bagi sesama.
Aku bukan Arjuna yang memandang ke-
hidupan ini dari kacamata ksatria. Aku Arjuna yang
memandang segalanya dari kacamata keluarga.
Termasuk bagaimana aku menyikapi dunia tulis-
menulisku. Bagiku, menulis seperti kakekku yang
setiap malam melantunkan tembang macapat
sambil tangannya lincah memainkan gamelan
Jawa, gambang. Lantunan tembang itu meneng-
gelamkan pikiran dan perasaan ini ke ruang waktu
yang azali. Nada-nada berpadu secara teratur dan
sugestif, merasuk ke dalam diriku. Ada perasaan
teduh di sana. Ada perasaan nikmat setiap telinga
ini menangkap iramanya. Lantunan tembang itu

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 106


seperti riak gelombang naik turun secara teratur
pada tempat yang tepat. Kadang datar menjalar
seperti ular berjalan di atas rerumputan. Kadang
menaik lantas menurun dalam jarak interval yang
teratur. Beat-beatnya terasa menonjok-nonjok,
kadang pula menarik-narik. Kadang pula seperti
tiupan udara halus menerpa buih. Beterbangan
buih-buih itu. Lantas turun dalam gerak lembut
nan lambat. Selebihnya, adalah denting halus
gambang menyuarakan alunan nada membangun
senyawa harmonis. Sebuah harmonisasi tembang
dan gambang. Tak terkira, selain merasa.
Selebihnya, meraba maknanya dari untaian kata
dan nada. Keduanya, sebuah komposisi luar biasa
yang akan terjangkau akal manusia.
Bagiku, menulis adalah komposisi nada dan
kata yang berkomposisi lewat lantunan tembang
kakek dan musik gambang di malam hari. Tapi itu
dulu, saat kakek masih ada. Itu terjadi saat aku
masih sangat belia hingga mengenyam pendidikan
SMA. Tapi kini tak ada lagi. Tak ada lagi harmoni-
sasi malam hari. Tak ada lagi, selain gambang yang
kini diam terpekur di sudut ruang tamu. Ia telah
menjadi bagian dari hiasan di rumah ini. Setiap
hari tangan lembut mama melapnya dari debu yang
melekat di sana. Tak ada yang me-mainkannya.
Para tamu memandangnya takjub pada artefak
antik itu. Mahal harganya, barangkali kecamuk

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 107


batin mereka. Sedang aku memiliki komposisi
harmoni lain lagi. Lewat laptop, aku susun
komposisi itu lewat kata, perasaan dan pkiran,
menjadi tulisan. Di sana komposisi harmoni kakek
merasukinya. Ia menjadi nuansa bagaimana aku
tuangkan pikiran dan perasaan ke dalam tulisan.
Bagiku, menulis adalah komposisi harmoni
antara kakek dan aku, cucunya. Itulah warisan tak
ternilai dari orang yang begitu dekat selama sejarah
hidupku. Aku bukan mewarisi kepiawian kakek
melantunkan macapat dan memainkan gambang-
nya. Aku tak mampu untuk itu. Tapi komposisi
harmoni yang dimainkan kakek itu menjadi
penuntun setiap kepiawian tanganku memainkan
tombol-tombol keyboard laptopku. Ia seperti angin
mendorong perasaan dan pikiran menjelma menjadi
kata. Ia seperti air selalu menyirami keteduhan
pikiran dan perasaan menjadi nada-nada kata. Ia
menjadi tanah yang selalu menyuburkan batang-
batang pikiran dan perasaan dalam kata. Dan ia
menjadi api yang mencairkan kebekuan pikiran dan
perasaan membentuk kata. Lalu untaian kata-kata
seperti gerbong kereta pembawa makna, melintas di
atas kertas, menjadi tulisan. Lalu kereta itu tak
akan pernah usai dalam jadwal perjalanan
sejarahnya. Lalu di setiap peron, segalanya seperti
telah diatur; antara yang telah sampai ke tujuan

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 108


perjalanan dan yang memulai sebuah perjalan yang
baru.
Sedang mamaku, pembaca pertama tulisan-
tulisanku. Mama, orang pertama yang mengritisi
tulisan-tulisanku. Bahkan, suatu kali ia berkata, ia
menjadi pintar karena tulisan-tulisanku. Rasanya,
pujian mama seperti angin yang menerbangkan aku
ke angkasa. Dan mama bangga juga saat melihat
betapa aku seperti burung beterbangan ke angkasa
karena pujiannya itu. Senyumnya tulus dengan
mata berbinar.
“Aku tak suka dengan tulisanmu ini. Terlalu
sembrono menyikapi kehidupan.” Kata mama
dengan suara yang menderak serak suatu kali. Dan
aku cukup mengerti, mama mengajakku berdiskusi.
Dan aku juga cukup mengerti kalau mama merasa
sepi. Tak ada lagi kesibukan yang mesti ia tangani.
Dari pada mengebiri diri dengan lamunan yang tak
berarti, mama selalu memilih untuk berdiskusi.
“Malam ini aku mesti mendatangi diskusi
bedah bukuku, Ma.” Sahutku dengan nada
meminta. Hatiku tak tega menolak ajakan mama
untuk bercengkerama. Aku tak ingin mengecewa-
kan pembaca pertamaku ini. Tapi malam ini aku
harus pergi.
“Tak apalah,” jawab mama datar. Aku cukup
mengerti pula kalau mama agak kecewa.

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 109


“Aku pastikan, besuk kita diskusikan
pendapat mama itu. Aku juga harus membela diri.”
Kataku dengan serius yang kupaksakan. Itu cukup
jitu untuk meredam kekecewaan mama. Mama
tersenyum mendengarnya.
Dan malam berikutnya, cengkerama itu
begitu seru. Aku dan mama seolah bukan ibu dan
anak, tetapi seorang kritikus dan penulis. Mama
begitu semangat dengan suaranya yang menderak
di sela-sela asap mengepul dari mulutnya. Dan aku,
gunung Merapi yang menggelegak dengan lava yang
mendidih. Dan ketika cengkerama itu menjadi
perang Baratayuda di Kurusetra, kami serentak
tertawa bersama. Tak ada dilema seperti yang di-
hadapi Arjuna, meski namaku juga Arjuna. Lantas
saling tersenyum, saling memeluk. Erat. Kepuasan
tiada tara. Saat itulah selalu ada setitik air jatuh
dari mata mama. Entah apa maknanya. Keharuan-
kah? Kebahagiaankah? Atau ada pe-rasaan yang
tersembunyi di sana.
Tapi itu juga masa lalu. Mama kini telah
menyusul kakek meninggalkan kehidupan ini. Tapi
mama juga mewarisi komposisi harmoni yang lain
lagi. Kakek dan mama, dua sosok dengan komposisi
harmoni yang berbeda. Sikap kritis mama merasuki
jalan pikiranku. Warisan tak ternilai juga dari
sebuah komposisi pribadi mama yang pintar, sabar,
dan penuh nalar. Ia selalu terngiang dalam setiap

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 110


jemariku menyentuh tombol keyboard laptopku
menjadi tulisan. Ia seperti mata pisau yang tajam,
membelah dalam sekali tebasan. Ia sumber air yang
deras mengalir hingga ke hilir. Dan ia bersemayam
dalam tulisan-tulisanku.
Sementara ayah? Tak ada benda itu di dalam
memoriku. Bahkan kakek dan mama menjatuhkan
ultimatum untuk tabu menyebut kata itu. Sebuah
larangan, pantangan, dan hukum yang berlaku
dalam keluargaku. Bagiku itu terlampau mudah.
Semenjak aku mengenal lingkungan sekitarku, aku
tak pernah melihat benda itu. Tak pernah
menyebut kata itu. Bukan semata aku seorang
anak dan cucu penurut, tapi memang tak ada
referensi untuk itu. Tak bisa mengira-ngira bagai-
mana bentuk dan warnanya. Tak bisa meraba-raba
bagaimana permukaannya. Yang kutahu tentang
itu, seorang lelaki tua yang kujumpai setiap aku
apel ke rumah pacarku. Ia kusebut Om. Pacarku
memanggilnya juga bukan ayah, tapi papa. Atau
seorang lelaki yang menyambutku saat aku ber-
tandang ke rumah Selly, Rackel, atau Tara. Mereka
juga memanggil lelaki itu, Bapak, Dady, dan Papa,
bukan Ayah. Atau Bilqis yang memanggil lelaki
setengah baya di rumahnya dengan kata Abi, bukan
ayah. Akhirnya, semakin jauh kata ayah dari
benakku.

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 111


Tak ada komposisi harmoni dari ayah dalam
tulisan-tulisanku. Apalagi dalam mimpi. Apalagi
terucap di mulut. Apalagi mendendangkan tembang
seperti kakek. Apalagi menjadi pembaca dari setiap
tulisan-tulisanku. Ia seperti tak pernah ada di jagad
ini. Seolah Tuhan tak pernah mencipta benda yang
bernama ayah. Tulisanku cuma berwarna kakek
dan mama. Kedua orang itu selalu bersemayam
dalam tulisan. Kedua nama itu selalu mengintip di
balik kata-kata yang menari dalam tulisan. Dan
aku tak pernah menanyakan apa-apa. Bahkan
setelah kakek dan mama tiada, tak pernah muncul
keinginan untuk mencari hal ihwal tentang nama
ayah. Perasaanku, roh kakek dan mama selalu
hadir di rumah ini. Kakek selalu melantunkan
tembang macapat sambil memainkan gambang
setiap aku menulis. Sedang mama, mama selalu
membaca tulisanku setiap aku selesaikan satu
tulisan yang baru.
“Kenapa tidak kau tulis saja tentang ayah-
mu?” Tanya Rani suatu ketika.
“Tidak!” Jawabku menggelegak spontan. Kata
itu terasa seperti pemantik yang menyulut bom
waktu.
“Maaf,” kata Rani merasa bersalah. Ucapan-
nya itu lebih terkesan sedih dari pada permintaan
maaf.
“Apa yang Kau sedihkan?”

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 112


“Bukan. Sudahlah.” Jawab Rani semakin
kentara kesedihannya itu. Aku merasa tak enak
dengan perasaannya itu. Rani seperti menohok
hatiku dengan tombak yang teramat tajam.
“Ungkapkan perasaanmu itu. Aku bukan
anak kecil yang mesti dikasihani.” Kataku semakin
jengkel. Rani mulai menjadi pengganggu kete-
nanganku. Ia seperti gulma dalam hamparan sawah
yang menguning.
“Apa aku salah jika mengingatkan kamu?”
“Tidak.”
“Apa aku salah jika berharap orang yang aku
cintai memiliki hidup yang sempurna?”
“Tidak juga.”
“Termasuk mengingatkan kamu tentang
ayahmu?”
“Maaf, sudah malam. Aku pulang.” Kataku
menghindari pembicaraan yang aku sendiri tak
tahu maknanya. Malam ini apelku lebih seperti
perang Baratayuda dari pada sebuah pertemuan
cinta kasih yang romantis. Apa namaku Arjuna,
sehingga setiap detik harus menghadapi sebuah
peperangan?
“Kenapa Kau selalu marah setiap aku
menyinggung soal ayah?” Tanya Rani semakin
menohok lebih dalam lagi. Kulihat ia seperti Karna
yang harus aku hadapi dalam peperangan di
Kurusetra. Mestikah aku terima tantangannya

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 113


untuk perang Baratayuda? Mestikan pertemuan
yang seharusnya penuh romantis itu menjadi
sebuah prahara?
“Apakah aku mesti mengingatkan kamu
setiap kali aku bertandang ke rumahmu?”
Tantangan itu mulai mengusikku.
“Aku bukan ingin membangunkan harimau
tidur?”
“Aku juga bukan harimau setiap bertemu
denganmu,” tukasku sengit. Prahara ini mulai
bergerak ke puncak. Aku pun telah terlanjur untuk
memilih menerima tantangannya. Apakah ini
dilema sebagaimana Arjuna mengalaminya? Ah,
bukan. Aku bukan Arjuna, meski namaku Arjuna.
Aku nyata, lebih nyata dari Arjuna dalam Maha-
barata.
“Aku bukan mengajakmu bertengkar, Arjuna.
Aku teramat menyintaimu. Wajar kalau aku ber-
usaha membantumu mencapai kesempurnaan
sebagai anak manusia.” Ujar Rani dengan lembut.
Seolah ia melihat ada awan menyelimuti mukaku.
Tapi aku tak merasakan itu. Perasaan sebal
semakin menebal.
“Aku baik-baik saja. Tak kekurangan apa-
apa.”
“Aku tahu. Kau cukup berhasil menjadi
penulis. Aku bangga dengan itu. Aku juga bukan
tidak tahu kalau Kau begitu tabu menyebut kata

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 114


ayah. Aku menyadarinya karena Kau sudah
ditinggalkannya saat masih belum tahu apa-apa.
Tapi apakah Kau akan selalu menolak kenyataan
akan bagian dari sejarah hidupmu.”
“Mama teramat sempurna tanpa kehadiran
suami. Aku pun akan seperti itu.” Sengaja aku tak
menyebut kata ayah. Kata itu tak akan pernah
kusebut selamanya.
“Apakah kau tahu, apa yang ada dalam
perasaan mamamu sesungguhnya?”
“Apa masudmu?” Tanyaku dengan perasaan
tak menentu. Aku belum siap, bahkan tak akan
pernah siap, membicarakan hal seperti itu. Tapi
pertanyaan Rani seperti menyimpan sesuatu yang
teramat mengusikku.
“Kenapa aku menyintaimu?” Balas Rani
tanpa menghiraukan pertanyaanku.
“Kenapa kau bertanya itu? Apa hubung-
annya dengan perasaan mama yang kau tanyakan
itu?” Berondongku ketus. Rani semakin seperti
musuh yang menyudutkan aku dengan pedang-
pedang tajamnya. Apakah Arjuna tak bisa memilih
dilema itu lantaran takut terpojok seperti aku saat
ini? Apakah Arjuna takut kematian menghantui-
nya? Apakah ia merasa kalah sebelum berperang?
Bukankah Karna adalah gurunya yang lebih sakti
dari dia, sehingga ia surut nyalinya? Tapi aku
bukan Arjuna, kenapa mesti takut menghadapi

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 115


Rani. Ia bukan guru Karna yang sakti. Ia hanyalah
wanita yang menyintaiku? Tapi apakah aku
menyintainya? Kenapa pertemuanku dengan Rani
malam ini menjadi sebuah peperangan yang tak
pernah aku alami selama ini!?
“Aku menyintaimu karena aku membutuh-
kan Kamu. Perempuan dan laki-laki adalah
pasangan yang telah tersuratkan takdir. Tak bisa
berdiri sendiri. Ia selalu saling melengkapi, saling
mengisi kekurangan satu sama lain. Begitu juga
mamamu. Aku dan mamamu sama-sama perempu-
an yang sangat membutuhkan pasangannya.”
“Mama tak pernah membutuhkan lelaki. Ia
bisa hidup sendiri. Ia punya aku, punya kakek.”
“Tapi kau tak pernah tahu apa yang ada
dalam perasaan mamamu.” Tukas Rani cepat. Ia
seolah sudah tahu apa yang akan aku katakan. Ia
sudah siap dengan jawabannya itu.
“Aku begitu dekat dengan mama,” kataku
membela diri atas tudingan Rani. Kata-kata Rani
seolah ingin memisahkan kedekatanku pada mama.
Betapa pun mama telah tiada, ia masih begitu
dekat. Tak ada satu pun orang yang akan meng-
hancurkan kedekatan itu, termasuk Rani.
“Ada yang mesti disisakan mamamu dalam
perasaannya. Ia tak ingin mengusik ketenangan
anaknya. Seorang ibu lebih mau berkurban demi
anaknya; demi keluarganya.” Ada saja yang isi

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 116


pikiran Rani. Ada saja kilah dari setiap pem-
belaanku. Pintar juga dia. Perasaanku semakin
terasa tersudut. Aku merasa seperti kerbau dungu
tercongok hidungnya.
Benar-benar malam ini seperti di medan
perang. Aku tertekuk. Tersudut. Dan sabetan demi
sabetan pedang tajam rani menghujam ke tubuhku.
Tubuhku nyaris terkulai. Tapi semangatku masih
belum padam untuk melanjutkan peperangan ini.
Aku merasa seperti ksatria yang pantang surut
sebelum maut berpaut. Aku Arjuna yang telah
memutuskan untuk menghadapi Karna yang telah
bersemayam dalam diri Rani; kekasihku. Dilema itu
bukan lagi sebuah pilihan yang sulit. Keputusan
telah aku buat. Perang. Aku Arjuna, bukan
menghadapi kekasih yang seharusnya aku puji, tapi
aku menghadapi kebatilan yang mesti aku
binasakan.
“Janganlah Kau menganggap kata-kataku
sebagai sebuah peperangan.” Ujar Rani kemudian.
Seolah ia tahu apa yang berkecamuk dalam
pikiranku. “Aku mesti memiliki tanggung jawab
pada lelaki yang aku cintai.” Kata-kata terakhirnya
yang lembut itu seolah menyempurnakan
kekalahanku. Aku benar-benar terkulai. Rubuh.
Tubuh ini terjerembab ke tanah dengan darah yang
melimpah. Dan mataku terasa basah. Penglihatan-

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 117


ku memburam. Mataku seperti sungai yang
mengucurkan berkubik-kubik air menuju hilir.
Waktu seperti berhenti. Hidupku terasa
berhenti juga. Apa yang kurasa, sontak menghenti-
kan geraknya. Segalanya berhenti. Malam berhenti.
Rani berhenti, seolah menikmati kemenangan me-
nahklukkan musuhnya. Hanya air mataku semakin
deras mengalir. Tiba-tiba terasa ada tangan lembut
menyekanya. Ada tubuh mendekap tubuhku yang
telah runtuh. Kulihat Rani teramat dekat dengan-
ku. Ia begitu cantik malam ini. Ia beraroma bunga
menusuk hidungku. Harumnya menjalar ke dalam
tubuhku. Menjalar lewat pembuluh hingga ke
jantung, hati, paru, otak, ke semuanya. Ber-
semayam di segala rongga dan memendarkan
keteduhan yang teramat.
“Aku sangat menyintaimu, Arjuna,” kata
lembut dari bibir yang lembut. Helaan nafas lembut
masuk ke telingaku, menyempurnakan keteduhan-
ku.

*****
AYAH. Apakah mama menyimpan perasa-
annya itu dalam-dalam? Apakah mama menyisakan
perasaan itu hanya untuk dirinya sendiri? Apakah
ia menyembunyikannya di balik semangat hidupnya
yang luar biasa itu? Berpuluh pertanyaan tumpat

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 118


pedat di benakku. Saling menindih, saling ber-
kelebat.
Malam yang lain lagi, memori tentang mama
meletup-letup di antara berpuluh pertanyaan.
Semenjak perangku dengan Rani terjadi, ingatan itu
seolah menghentikan jadwal rutinku. Cuma
terbengong, satu-satunya yang kulakukan. Ter-
bersit ingatan pada setitik air mata yang jatuh dari
mata mama setiap kami berpelukkan. Ada cairan
mengembang di mata, setiap kebanggaan muncul di
benak mama. Kenapa kebanggaan itu harus
menjadi titik air mata? Keharuankah? Kesedihan-
kah? Adakah yang dipendam dalam-dalam dengan
air mata itu? Pendirianku mulai bergeming.
Pikiranku mulai meraba ada yang disisakan dalam
perasaan mama. Aku mulai membenarkan apa yang
dikatakan Rani.
“Aku tidak meragukan ketegaran mamamu,
Arjuna. Aku mengagumi sosok mamamu yang
begitu mandiri, pintar, dan sabar. Tapi perasaan
perempuanku tak jauh berbeda dengan perasaan
mamamu. Di balik ketegaran itu, ada saatnya
merasakan sepi; sendiri. Meski ada kamu yang
teramat menyintai dan memperhatikannya, ada
ruang kosong ia membutuhkan yang lain. Ayahmu.”
Kesekian kali Rani mengungkit kembali. Tapi entah
kenapa, hari ini terasa berbeda. Kata ayah bukan
lagi seperti pemantik. Kata itu mulai meng-

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 119


hantuiku. Kata itu mulai mengurai kebekuanku
selama ini tentang ayah. Aku cuma diam terpekur
mendengar kuliah Rani. Sekali-kali kutatap
matanya. Di sana juga ada cairan mengembang
seperti mama saat merasakan kebanggaan atas
keberhasilanku menjadi penulis. Itukah perempu-
an? Inikah lelaki yang terlampau ego untuk
mengerti perempuan?
“Pintu hal ihwal tentang ayah selama ini
tertutup, Rani.” Aku mulai mempercayai ada per-
ubahan dalam diriku. Kebekuanku tentang ayah
mulai mencair. Kata itu meluncur begitu saja dari
mulutku. Tak ada lagi perasaan yang memotong-
nya.
“Selalu ada pintu untuk membuka lembaran
sejarah hidupmu itu. Kau mesti menemukannya,
Arjuna. Kau harus mencarinya. Aku akan mem-
bantumu. Waktu tak pernah surut ke belakang.
Sebelum pintu itu semakin tertutup rapat oleh
waktu, kau mesti menemukannya. Aku tak ingin
setengah hati menyintaimu lantaran ke-bekuanmu
itu.”
“Aku mesti memulai dari mana?” Betapa
bebalnya aku tentang satu hal itu.
“Aku percaya Kau bisa memulainya,” kata
Rani sambil memegang kedua lenganku. Sikapnya
itu seperti mata air yang mengguyur tubuh dan
jiwaku dengan kesegarannya.

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 120


Dan aku memulainya dari tumpukan barang-
barang bekas milik mama. Barang-barang itu
tersimpan rapi di almari pakaian di kamar mama.
Bebera kotak kardus terjajar rapi. Bendelan kertas
yang telah menguning tepiannya, bertumpukan di
sana. Di antara itu, beberapa asesoris kesukaan
mama. Foto-foto dalam album kecil berwarna pink
berdiri berderet di setiap dinding almari. Kutatap
satu-satu sambil tanganku tetap berpegangan di
kedua pintu almari itu. Tak tahu mulai dari mana
aku mesti mencarinya. Sejenak kututup kembali
pintu itu. Aku memutari ruangan kamar mama
yang masih begitu terawat oleh tangan
pembantuku. Aku selalu mengingatkan bibi Inah
untuk selalu merawat kamar itu. Foto-foto
bergantungan di setiap didindingnya. Foto mama,
aku, dan kakek memenuhi permukaan dinding itu.
Tak ada foto yang lain, termasuk foto ayah. Hanya
ada satu foto lelaki bercambang dan berkumis lebat
berpakaian seragam tentara, tapi bukan foto
ayahku. Mendiang mama mengatakan itu foto
almarhum adik kakek yang tewas dalam pe-
perangan mempertahankan kota Yogya.
Aku menutup kamar mama pelan, seperti
mama memperlakukan pintu kamar itu dengan
tangan kurusnya dengan kelembutan. Tak ingin
suara berderit pintu itu terdengar orang lain. Pintu
tua itu selalu berderit keras jika ditarik dengan

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 121


kasar. Suaranya akan menggema dalam rumah
yang tua ini. Rumah peninggalan moyang kakek.
Entah sudah berapa generasi yang mendiaminya.
Terakhir aku sendirian di tengah rumah yang
begitu luas. Satu-satunya orang yang menemaniki
adalah bibi Inah. Ia juga entah sudah berapa
generasi tempat ia mengabdi. Ia perempuan tua
yang masih cukup cekatan merawat semuanya.
Aku urungkan niatku untuk mencari seputar
ayah hari ini. Masih banyak waktu untuk itu. Aku
niatkan hari ini untuk yang lain. Aku ingin
bermalas-malasan saja, duduk di kursi goyang
kesukaan kakek sambil menikmati gambang
kesukaan kakek juga. Gambang. Kata itu tiba-tiba
menarik hasratku. Dan aku pun telah duduk
berhadapan dengan alat musik Jawa itu. Kedua
tanganku memegang dua tabuh-nya. Seperti kakek
setiap malam selalu duduk seperti itu, sambil
melantunkan tembang dan memukulkan tabuh itu
menjadi komposisi harmonis yang sahdu.
Perasaanku mulai menuntun kedua tangan untuk
memukul gambang itu. Pelan-pelan beralih dari
satu nada ke nada yang lain. Sesaat seemakin
keras suara dentingnya. Tak ada tembang melantun
di sana, selain suara denting itu berharmonisasi
sendiri; mengkomposisi sendiri. Suara itu begitu
asing, lantaran keluar dari sebuah improvisasi;
gerak batin tak terencana. Aku ikuti komposisi itu.

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 122


Aku tenggelamkan perasaan ini ke dalamnya.
Harmonisasi itu semakin tertata; semakin mencipta
suasana.
Mulutku mulai lirih menembangkan sesuatu.
Sebuah tembang yang teramat dekat dan sangat
kuhapal nada-nadanya. Dulu kakek tak pernah
lupa menembangkannya setiap malam. Di dalam
nada tembang itulah aku selalu menyemayamkan
kedamaian dan keteduhan perasaanku. Sementara
mama duduk di sudut ruang tamu ini dengan
kepulan asap rokok dari mulutnya yang tak merah
lagi. Sekali waktu, ia juga mengikutinya dengan
suaranya yang berderak. Kuingat betapa suasana
seperti itu semakin membekukan sebagian
kenyataan sejarah keluarga ini. Sebagian sejarah
yang hari ini mulai mengusikku. Ayah.
Tiba-tiba tanganku berhenti menabuh. Mulut
pun tersentak berhenti pula. Ada satu dorongan
yang kuat menghampiri jiwaku. Tubuh ini spontan
berdiri dan meninggalkan semua itu. Kakiku
berjalan tergesa menuju ke kamar kakek. Niatan itu
muncul kembali; lebih kuat lagi. Kubuka lemari
kakek agak kasar. Suaranya berderit memenuhi
ruang kamar. Kuambil sebuah kotak dari dalamnya
dan kubawa ke ruang tamu. Tak sabar aku
mengetahui isinya. Kubuka tutupnya dan kubalik
kotak itu dengan kasar. Berhamburan isinya ke
atas meja. Kertas-kertas bersampul, jam tangan

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 123


kuna, dan beberapa uang logam menggelinding ke
bawah meja. Hanya kertas bersampul itu yang
menarik perhatianku. Kubiarkan yang lain ber-
jatuhan. Satu persatu kertas sampul itu kubaca
tulisan yang tertoreh di sisi depannya. Semua
sama, bertuliskan: Untuk Spivak yts. Di sisi
belakang sampul itu juga sama bertuliskan: Dari
Suamimu Jacques. Dan aku tak perlu lama untuk
memahaminya, sampul itu adalah beberapa surat
ayah kepada mama. Barangkali kakek sengaja
merahasiakannya dari mama. Ada sesuatu dalam
diri kakek terhadap ayahku hingga harus menyita
surat-surat yang mestinya untuk mama. Surat-
surat inilah kuharap dapat menjadi pintu untuk
membuka sebagian sejarah hidupku yang hilang
selama ini.
Kubuka satu surat bersampul warna pink;
warna kesukaan mama. Ayah ternyata romantis
juga dalam soal yang satu ini, batinku. Tak terkira,
betapa pintu tentang rahasia seputar ayah mula
terkuak. Harapan mulai tumbuh dalam diriku.
Kebekuan mulai mencair. Kubaca huruf demi huruf
dalam surat itu penuh harap.

Yts. Istriku Spivak


Aku teramat rindu padamu. Apalagi
bayi kita sudah saatnya lahir, menurut
perhitunganku. Aku tak bisa apa-apa

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 124


selain berdoa. Penjara ini telah
menguburku dalam-dalam. Kuharap
suatu ketika aku bebas dan berkumpul
kembali denganmu, dengan anak kita.
Aku ingin Kau beri nama
ARJUNA. Semoga ia menjadi seorang
Arjuna yang tampan, ksatria, dan
menghormati ibunya, Dewi Kunti.

Suamimu
Jaqcues

Penjara!? Kata itu seperti godam yang


menghantam kepalaku. Apa yang telah dilakukan
ayahku hingga ia dipenjara? Apakah ayahku se-
orang penjahat? Kriminal? Koruptor? Atau apapun
itu. Lantaran itukah hingga kakek begitu murka
padanya? Lantaran itukah kakek melarang mama
dan aku menyebut kata ayah? Lantas apa ke-
salahan ayahku hingga ia dipenjara? Lantas apa
kesalahan ayahku hingga kakek menjatuhkan vonis
untuk menghapus keberadaannya dalam keluarga-
nya? Pintu ini terkuak dan berhamburan beribu
pertanyaan. Keingintahuanku semakin besar. Ku-
buka surat yang lain, yang lain lagi. Tapi isinya
sama, kerinduan ayah pada mama; padaku juga.
Bukankah ayah masih memperhatikan mama dan
aku!? Kenapa kakek bersikap tak adil pada ayah?

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 125


Kenapa kakek menyita surat-surat ayah? Begitu
jahatkah kakek? Egois? Beribu pertanyaan itu
memenuhi benak tanpa jawab.
Masihkah ayah di penjara? Tak mungkin.
Tak ada narapidana dihukum selama itu; paling
tidak seumurku. Pembunuh pun tak akan selama
itu. Tidak mungkin. Lantas di mana sekarang?
Pertanyaan demi pertanyaan bertubrukan. Tak ada
jawaban bisa kutemukan. Selain mengira-ira, tak
ada yang lain. Malah berpuluh-puluh pertanyaan
lain bermunculan lagi. Kuhentikan otakku untuk
mengira. Aku tidak ingin isi otak semakin rumit.
Lebih baik aku mencari jawab dari yang lain. Aku
cari jawaban dari barang-barang kakek yang lain.
Aku aduk-aduk isi almarinya. Tapi tak kutemukan
apa-apa. Bik Inah malah terperangah menyaksikan
apa yang aku lakukan. Ia tak berani berkata apa-
apa. Hanya matanya mengikuti semua yang aku
lakukan. Tak kuhiraukan dia dengan keperangah-
annya itu. Bahkan ketika aku melewatinya untuk
menuju ke kamar mama, ia tak kupandang sedikit
pun. Yang kutahu, ia mengikutiku dari belakang.
Ganti aku acak-acak kamar mama. Semua
isi almari berhamburan ke lantai. Berdentingan
benda-benda kecil berjatuhan ke lantai. Kertas,
pakaian, sepatu, sandal, dan semuanya, berter-
bangan ke udara. Dan tubuhku kusandarkan
begitu saja ke almari ketika tak kutemukan apa-

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 126


apa. Kecewa. Penasaran. Sedih. Marah. tumpang
tindih tak karuwan. Tubuhku terasa letih luar
biasa. Kepalaku terasa berat menampung beban
penasaranku. Lantas kujatuhkan tubuh ini ke
lantai. Kuputari pandangan ke semua sudut kamar
mama. Saat pandangan mataku bertubrukan
dengan tatapan mata Bik Inah, baru kusadari
wajah bik Inah begitu pucat pasi. Ia mesti
merasakan ketakutan menyaksikan pemandangan
yang tidak biasanya ini. Ia sorongkan wajah
lugunya yang pucat itu kepadaku. Sebuah tanda
tanya besar kutangkap dari gerak wajahnya itu.
Tapi aku diam tak menjawab.
“Mas Arjuna mencari apa?” Tanya Bik Inah
kemudian dengan nada ketakutan. Suaranya
hampir tak terdengar. Tapi aku diam saja. Perasaan
ini belum pulih dari semua hal yang berkecamuk di
sana. Hanya pandanganku tak berpaling darinya.
Kosong.
Kamar mama terasa hening. Tapi perasaanku
terasa ramai. Bik Inah mulai menjumputi barang-
barang yang berantakan di sana-sini. Ia benahi
semuanya ke tempat asalnya. Sesekali ia berpaling
padaku. Ketika aku tak bergeming apa-apa, ia
kembali dengan kesibukannya itu. Lantas berpaling
lagi; menatapku lagi. Lantas kembali dengan
kesibukannya berbenah. Saat Bik Inah menatapku
lagi, timbul ideku, kenapa tidak bertanya padanya

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 127


saja. Dan aku paksakan tersenyum menyambut
tatapan itu. Ia pun tersenyum yang dipaksakan
juga. Lucu dalam senyuman itu. Barangkali
senyumku juga terasa lucu.
“Mas Arjuna mencari apa?” Tanyanya lagi
hampir berbisik.
“Nanti saja aku ceritakan. Lanjutkan
kesibukan Bik Inah itu.” Jawabku sambil berdiri.
Kupaksakan kakiku melangkah gontai menuju
kamar.
Di kamar aku rubuhkan tubuh ini ke atas
ranjang. Ranjang tua ini berteriak-berderit seolah
berat menyangga tubuhku ini. Ranjang tua di
kamar tua; sebuah saksi bisu tentang cerita lama.
Aku pejamkan mata rapat-rapat. Kuingin me-
lemparkan semua beban perasaanku ke dalam
tidur; ke dalam mimpi. Barangkali di sana bisa
terurai satu-satu. Setiap tanya merangkul jawab.
Kukosongkan pikiran dari semuanya agar mimpi itu
segera tiba. Kuringankan berat tubuh dari rasa
lelah agar tidur segera tiba. Lama aku benamkan
jiwa dan tubuh ini di atas ranjang.

*****
Bik Inah duduk di depanku dengan perasaan
tak menentu. Wajah lugunya membersitkan
perasaan itu. Teramat mudah menangkap bahasa
wajahnya. Ia teramat lugu, teramat terbuka untuk

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 128


menyimpan isi perasaannya. Sifat khas wanita
pengabdi yang setia. Itulah kenapa selama ini
kakek dan mama merasa nyaman hidup ber-
samanya. Bahkan acap kali sifat lugunya itu
menjadi bahan tertawaan kami. Dan ia malah
begitu senang saat kami menertawakannya. Ia
begitu baik, setia, penurut, dan tak pernah
mengeluh. Kuharap lewat keluguannya itu, aku
bisa memperoleh cerita hal ihwal tentang ayah. Bik
Inah pasti mengetahui semuanya.
“Bik Inah sudah berapa lama kerja di sini?”
Tanyaku memulai menginterogasinya; tepatnya
mengorek keterangan bik Inah.
“Kalau tahun berapa dan berapa tahun saya
di sini, ya sulit, Mas Arjuna. Kalau saya ingat-ingat,
ya waktu almarhum simbah buyut masih sugeng.
Tapi Mas Arjuna belum menjawab pertanyaan Bik
Inah tadi siang. Mas Arjuna itu mencari apa kock
seperti orang kesetanen, sampai-sampai Bik Inah
merasa ketakutan. Jangan-jangan Mas Arjuna
kesurupan.” Jawab Bik Inah nyerocos seperti tak
ada titik komanya. Sementara aku tersenyum
mendengarnya.
“Lha ya itu yang ingin aku tanyakan pada
Bik Inah.”
“Lha iya itu, Mas Arjuna itu mencari apa?”
Tukas Bik Inah menirukan gaya bicara saya. Itu
sifat khas yang lain dari Bik Inah, sering menirukan

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 129


gaya lawan bicaranya. Almarhum kakek dan mama
sering terpingkal-pingkal ketika Bik Inah meniru-
kan gaya bicara mama yang tegas dengan suara
yang berderak. Sementara tangannya berkacak
pinggang mirip mama kalau bicara. Itu dilakukan
bukan karena sengaja, tetapi latah. Kelatahannya
itu sering menjadi keisengan kami bertiga.
“Saya sedang mencari keterangan tentang
ayah.”
“Ayah? Lha kock mengacak-acak kamar
kakek dan mama? Apa hubungannya dengan ayah
Mas Arjuna?”
“Aku sama sekali tidak mengetahui siapa dan
di mana ayahku, Bik Inah!” Jawabku kesal atas
kebodohan Bik Inah.
“Oooh...Terus?”
“Apanya yang terus?”
“Lha ya, Mas Arjuna ngacak-ngacak kamar
itu untuk apa?”
“Bik Inah, aku ingin mencari keterangan dari
surat-surat atau apa saja yang menunjukkan
keberadaan ayah.”
“Oooh, begitu,” kata Bik Inah sambil
manggut-manggut. Kutahan kesabaranku atas
kebodohannya itu. Seharusnya aku yang
meninterogasi Bik Inah, tapi justru aku yang
diinterogasi.
“Bik Inah tahu tentang ayahku?”

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 130


“Ya jelas tahu, Mas Arjuna.” Jawabnya
singkat. Aku tunggu penjelasan selanjutnya, tapi
sudah beberapa lama ia tak melanjutkan ucapan-
nya itu. Ia diam, menatapku seperti me-nunggu apa
yang bakal aku katakan kemudian. Bik Inah benar-
benar perempuan tua yang bodoh. Tak tahu
maksud pertanyaanku barusan.
“Aku ingin Bik Inah bercerita tentang ayah!”
Kataku teramat kesal.
“Tapi saya takut pada ka......” Bik Inah
menghentikan ucapannya. Sepertinya ia baru
menyadari kalau orang yang ditakutinya itu telah
tiada. “Aku tidak berani, Mas Arjuna,” katanya
kemudian.
“Kakek sudah tak ada. Tak akan mendengar
pembicaraan kita. Apalagi marah.”
“Tapi kakek selalu melihat kita, Mas.”
“Tidak ada orang yang telah mati masih
berada di dunia.”
“Rohnya itu, Mas, yang masih di sini. Tak
tega kakek jauh-jauh dari cucunya yang sangat
dicintainya.”
“Dunianya sudah berbeda, Bik Inah. Tapi
sebenarnya kenapa kakek begitu membenci ayah?”
Percuma berdebat dengan perempuan tua bodoh
ini. Ia tak mungkin bisa diyakinkan tentang apa
yang tidak pernah dia tahu. Ia teramat tertutup
pada hal-hal baru. Apalagi yang berseberangan

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 131


dengan keyakinan tradisionalnya. Orang Jawa
tradisional. Ortodok. Kuna.
“Kakek tidak menyetujui mamamu nikah
sama ayahmu itu.”
“Kenapa? Bukankah mama sudah menikah
dengan ayah? Bahkan ada aku, anak dari per-
nikahan itu.”
“Kakek terpaksa menikahkan mereka karena
mamamu keburu bunting. Meskipun ayahmu
berada dipen.....”
“Tak perlu menghentikan cerita Bik Inah.
Aku sudah tahu kalau ayahku pernah dipenjara.”
“Dari mana Mas Arjuna tahu?”
“Surat ayah yang tersimpan di almari kakek.”
“Jadi Mas Arjuna......” Tukas Bik Inah seperti
baru mengetahui alasanku kenapa seperti kesetan-
an siang tadi.
“Itulah kenapa aku mengacak-acak kamar
kakek dan mama.” Tandasku agar Bik Inah
semakin jelas pengertiannya. Ia nampak manggut-
manggut lagi. Kekhasan Bik Inah yang lain lagi.
Kekhasan sikapnya yang membuatku kesal. “Aku
ingin Bik Inah menceritakan seputar ayahku.”
“Karena ayah Mas Arjuna dipenjara itu,
kakek merasa malu. Kakek melarang mama mas
Arjuna berhubungan dengannya. Bahkah kakek
melarang membicarakannya. Pernikahan mama
mas Arjuna hanya untuk menutupi kehamilan itu.

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 132


Setelah itu, kakek memutuskan hubungan per-
nikahan itu.”
“Apa kesalahan ayah sehingga dipenjara, Bik
Inah?”
“Bik Inah tidak jelas, Mas. Sepertinya
ayahmu terlibat...”
“Narkotika?” Potongku tidak sabar.
“Ya, seperti itu.”
“Lantas di mana ayahku sekarang?”
“Sudah meninggal,” Jawab Bik Inah pelan.
Wajah lugunya menampakkan semburat kesedihan.
Tapi perasaanku semakin penasaran untuk
mengetahui semuanya.
“Meninggal kenapa, Bik?”
“Katanya ketagihan obat di penjara.”
“Hanya itu?”
“Ya itu, mas Arjuna, yang bik Inah ketahui.”
Tak terasa malam sudah beranjak sepenggal-
an. Bik Inah sejak tadi sudah beberapa kali
menguap. Aku suruh ia masuk ke kamarnya.
Kurasa sudah cukup aku mengerti hal ihwal
tentang ayahku; tentang kebencian luar biasa
kakek pada ayahku itu. Kakek seorang priyayi Jawa
terpandang di desa ini. Itulah kenapa kakek merasa
malu memiliki menantu seperti ayahku itu. Dan
mama, semakin jelas dalam pengertianku, betapa ia
sangat mencintai kakek. Mama sangat menghormati
dan menurut apa yang menjadi kehendak kakek.

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 133


Barangkali mama juga merasa telah melakukan
kesalahan pada kakek. Mama benar-benar wanita
yang tegar. Ia mampu mengubur perasaan cinta
dan kerinduannya dalam-dalam. Mama menutupi
perasaannya itu dengan membaca dan merokok;
dua hal yang dilakukannya sepanjang hari. Kurasa
ucapan Rani benar, mama telah menyisakan
perasaannya hanya untuk dirinya. Kedekatanku
hanya menangkap keceriaan mama, bukan
kesedihannya. Ah, kenapa baru sekarang aku
menyadari itu.

*****

Buku cerita Mahabarata pemberian Rani


kubaca lagi. Dilema Arjuna menghadapi sang guru
Karna terurai lewat nasehat Kresna; sosok setengah
dewa yang sangat dihormati Arjuna. Manusia tak
akan bisa melawan takdir. Ia sudah tersurat. Kalau
kemudian Karna tumbang karena panah sang
Arjuna, bukan guru Karna yang tewas, tapi ke-
angkaramurkaan. Kebaikan akan mengalahkan
kejahatan. Ah, ternyata mama yang menghadapi
dilema sepanjang hidupnya. Mama harus meng-
hadapi dua orang yang dicintainya; kakek dan
Jaqcues. Penghormatan pada seorang ayah, dan
kesetiaan pada seorang suami. Kedua pilihan itu
mama tempatkan pada dua ruang yang berbeda.

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 134


Kehormatan pada seorang ayah, mama tempatkan
pada sikapnya. Kesetiaan cinta, mama tempatkan
ke dalam relung hatinya yang paling dalam.
Betapapun mama telah mengurbankan dirinya, tapi
mama tak pernah mengkhianati salah satunya;
orang-orang yang dicinta.
Sebuah novel aku selesaikan di malam
berikutnya; sebuah perhormatan bagi mama.
Dilema Sang Mama. Tak ada dilema yang tak bisa
diurai. Tinggal bagaimana kita menempatkan pilih-
an itu pada tempatnya masing-masing, tanpa
mempertentangkannya.

***

Catatan:
Gambang : salah satu jenis alat musik
(gamelan) Jawa
Macapat : Jenis tembang atau lagu
Jawa lama yang terdiri atas
10 jenis, seperti: Dhan-
dhanggula, Sinom, Kinanti,
Pucung, Asmaradhana,
Gambuh, dan sebagainya.
simbah buyut masih sugeng : (terj.) Ayah
kakek masih hidup

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 135


MALAM INI TERBUAT
DARI TANAH KERING KUBURAN

Hidup tak pernah selesai.


Kenapa Kau tergesa-gesa menjalaninya?
Kenapa Kau risaukan jika ujungnya tak akan Kau
pahami?

Bagimu malam ini retak. Bulan retak. Hati-


mu juga retak. Peristiwa demi peristiwa berkelebat-
an menguras kesedihan. Wajah orang-orang yang
kau kenal berhamburan keluar menguras ke-
khawatiran. Saudaramu. Tetanggamu. Sahabat
kecilmu. Dan berhenti pada wajah kedua orang
tuamu yang masih tertinggal di sana. Daerah
perang. Daerah rebutan kekuasaan. Daerah kaum
lelaki yang lebih mengandalkan otot dari pada otak.
Sedang perempuan-perempuan terhimpit keadaan.
Perempuan adalah teman belakang bagi lelaki.
Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 136
Mereka lebih menjadi pelengkap penderita dari
pada subyek bagi kehidupannya sendiri.
Malam ini terbuat dari tanah kering
kuburan. Aroma kematian. Semerbak wewangian
setan. Anganmu mengembara pada kampung yang
telah mengukirmu menjadi perempuan berdarah
kampung. Daerah perang; kematian. Tapi kini kau
tak kampung lagi ketika beranjak dewasa. Kamu
sudah menjadi kota. Aroma kota. Kotamu begitu
ramai. Gemerlap. Daerah perang juga. Semua orang
mengangkat pedang. Kampungmu, kotamu juga
sedang perang. Kau bagian dari keduanya. Kau
ingin menolak stigma itu. Apalah arti tubuhmu
yang perempuan di kancang perang laki-laki.
“Mana ada daerah tanpa perang. Di mana-
mana perang. Antara kematian dan kehidupan,
perdamaian dan peperangan, tipis jarak yang
memisahkannya.” Kata profesor Maya; kolega se-
sama guru besar sebuah perguruan tinggi ternama
di kota ini. “Kau cukup paham tentang itu, Kawan.
Disertasimu mengangkat perang dan damai di
negeri berkembang seperti Indonesia ini.” Lanjut
profesor Maya. Ia tersenyum setan di dalam
benakmu.
“Aku tahu. Kita telah termakan ideologi setan
sehingga peperangan menjadi satu-satunya norma.
Tapi bukan berarti tak ada penolakan atas ideologi
itu. Bukan tanpa penolakan terhadap peperangan

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 137


sebagai normanya.” Katamu dalam wajah yang
muram.
“Kita telah lama menandingi hegemoni
mereka. Wacana tandingan satu-satunya cara yang
beradab. Itu yang selama ini tak henti-hentinya kita
lakukan. Bentuk perlawanan yang bukan didorong
oleh keperempuanan kita saja, tetapi juga ber-
nurani perempuan. Memasuki cara mereka sama
halnya dengan melegitimasi ideologi dan norma-
nya.”
“Kenapa kita tak berhasil juga. Bahkan
melirik pada kita pun tak pernah.” Tanyamu seperti
kebodohan yang menjalar dalam darahmu.
“Kau juga paham jawaban atas pertanyaan-
mu itu.”
“Lantaran kita tak mempunyai kekuasaan?”
“Aku melihatnya lantaran kekuasaan tak
berpihak pada perempuan.”
“Perang menjadi ideologi kekuasaan pada
akhirnya.” Katamu menyimpulkan di antara ke-
rumitan benang-benang kusut di otakmu.
“Tepat! Perang menjadi satu-satunya ideologi
kekuasaan.”
“Mengapa?” Kau memunculkan kekusutan
lagi. Sepertinya, tak ada lagi tanah lapang dalam
dadamu untuk sekedar menghirup kebebasan.
“Pertanyaanmu itu lebih beraroma sejarah.
Kenapa tidak kau jadikan saja: Bagaimana solusi-

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 138


nya. Kalau itu, kita menjadi mudah menjawabnya;
Tidak ada.” Jawab Profesor Maya sambil tersenyum.
Senyum keterpaksaan atas posisi kalian yang serba
tak pernah terselesaikan.
“Setidaknya ada jawaban yang bisa diambil
dari sana.”
“Bukan jawaban menurutku. Tapi justru
sebuah utopia; semacam bayangan keinginan
untuk kembali pada masa lalu yang ideal. Sedang
masa lalu itu pun belum tentu relevan untuk
sekarang.”
“Jadi kita menyerah pada keadaan?”
“Bukan. Setidaknya masih ada sesuatu yang
mesti kita perjuangkan.”
Wajahmu sedih, kesedihan seorang pe-
rempuan ilmuwan. Atau ilmuwan peremuan?
Kenapa dalam bahasa pun mesti ada label
perempuan, batinmu. Sebentuk kerumitan lagi atas
bahasa yang setiap hari kau gunakan membangun
keprihatinan. Kesedihan itu sering aku baca dalam
tulisan-tulisanmu. Kenapa mesti bersedih? Kalau
kau selama ini mengejar karier akademismu hanya
untuk sebuah kesedihan, mendingan kau sibuk
dalam urusan rumah tangga. Bermanja-manja
dengan suami. Lantas kau bermain kelamin untuk
menikmati surga fana seperti dewi Ratih dan dewa
Kama. Kau buahi hasil permainanmu itu di dalam
rahim, menjadi benih. Kelak menjadi anak-anak

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 139


yang lucu dan pintar. Kau basuh pikirannya
dengan kasih sayang. Kau sirami hatinya dengan
kehalusan tutur bahasa. Kau damaikan hidupnya
dengan belaian tangan lembutmu. Betapa menjadi
ibu lebih profesor daripada keprofesoranmu
sekarang.
“Aku bukan tipe perempuan seperti itu,”
sangkalmu atas pendapatku yang kau sendiri
menyetujui kebenaran ucapanku. Sebentuk ke-
munafikan seorang akademis macam kamu.
“Tapi kau membenarkan ucapanku, betapa
perempuan adalah ibu yang menciptakan matahari
dan bulan di dalam jiwa anak-anaknya.”
“Membenarkan bukan berarti harus me-
nerimanya.” Logikamu yang menurutku tak logis.
Tapi aku membenarkan logikamu yang tak logis itu.
Pemikiran macam apa ini, pikirku.
“Jangan-jangan kau telah menutupi nurani-
mu dengan proposisi-proposisi ilmiahmu itu. Kau
tak akan mengelak terhadap kebenaran jalan
pikiranku itu. Tapi kau memungkirinya lantaran
kau anggap tak rasional. Terlalu cengeng buat
seorang profesor macam kamu. Semua isi
nuranimu telah kau tuangkan dalam cerpen-
cerpenmu itu. Aku selalu baca karya-karya profesor
sastra sepertimu.”
“Barangkali kau tak lengkap membaca
cerpen-cerpenku. Aku bukan seorang sastrawan

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 140


yang cukup dipahami dari satu cerpennya saja. Aku
profesor sastra yang sarat dengan argumentasi
yang rasional.” Sekali lagi kau menyangkalnya. Aku
pikir itu semacam keangkuan seorang ilmuwan.
Aku masih ingat betul cerpenmu berjudul
Potongan Kaki Perempuan di Sudut-Sudut Kota.
Cerpenmu itu bukan ingin bercerita menurutku.
Cerpenmu itu seperti bak sampah yang me-
nampung sampah-sampah otakmu. Kekhawatiran-
mu yang berlebihan itu telah menjadi sampah.
Racun. Dan kau membuangnya dalam cerpen.

Beberapa potong kaki tergeletak di


sudut kota. Beberapa di super market.
Beberapa di tong-tong sampah. Beberapa
lagi di tempat-tempat hiburan. Di jalan-
jalan beberapa potong tergeletak dipenuhi
debu dan dikerubungi lalat. Beberapa
kendaraan melindasnya. Remuk. Bebe-
rapa pelajar menggunakannya untuk
senjata perkelaian sesama mereka. Be-
berapa mahasiswa menggunakannya
untuk melempari istana negara saat unjuk
rasa. Beberapa kenek menggunakannya
untuk mengganjal roda bus. Beberapa
polisi menggunakannya untuk meng-
hantam kepala pedagang kaki lima saat

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 141


penggusuran. Beberapa anak mengguna-
kannya untuk mobil-mobilan.
Tak ada yang merasa kehilangan
potongan kaki itu. Orang-orang tak
merasa ada kekurangan pada tubuh
mereka. Bahkan setiap orang lewat tak
tertarik untuk melirik. Bahkan tak satu
pun yang ingin bertanya tentang potongan
kaki itu. Apalagi merasa kehilangan.
Bukankah tubuh mereka masih lengkap.
Sempurna seperti kelahirannya. Tapi satu
hal yang semua orang sepakat, potongan
kaki itu pasti milik perempuan. Rata-rata
potongan kaki itu mulus. Bersih. Tak ada
bulu sehelai pun tumbuh di sana. Tak
berotot seperti kaki lelaki. Tak berlekuk
seperti kaki lelaki. Lurus. Herannya, tak
ada satu pun perempuan yang merasa
kehilangan kakinya. Mereka tak merasa
ada kekurangan dalam kakinya. Masih
lengkap seperti sedia kala.
Jangan sebut kaki itu palsu.
Semua asli. Masih ada darah meleleh di
sana. Darah beraroma amis, persis aroma
darah manusia. Lalat sangat tahu betapa
barang yang dikerubunginya itu asli milik
manusia. Tak sulit untuk membedakan
yang asli dan palsu. Insting mereka

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 142


sangat peka untuk membedakan
keduanya. Justru orang-orang kota tak
merasakan aroma yang merebak ke
udara. Memebuhi ruang kota, bercampur
dengan kepulan asap pabrik dan knalpot
kendaraan. Mata mereka melihat, tapi
hidung mereka tak merasa aroma itu.
Apalagi instingnya, selain insting para
lalat menyerbu potongan kaki itu. Tak ada
yang istimewa dengan peristiwa itu.
Bahkan menjadi pemandangan yang
biasa. Setidaknya, menjadi hiasan untuk
mempercantik sudut-sudut kota. Sebuah
sentuhan artistik arsitektur kota.
Makanya, pasukan kuning membiarkan
saja potongan kaki itu tergeletak di sana.
“Mak, di manakah surga itu
berada?” Tanya seorang anak kepada
emak di suatu hari. Sebuah buku
tergeletak di depannya. Ada yang belum
dimengerti kata-kata yang tertulis di
dalamnya. Surga. Kata itu kerap kali dia
baca. Tapi setiap kali pikirannya tak
sampai ke pada maknanya.
“Di telapak kaki ibu, Nak.” Jawab
emak sambil membersihkan kakinya
dengan sabun. Wajahnya tergurat
senyum penuh kebanggaan. Di telapak

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 143


kakinya itu telah bersemayam surga
untuk anak-anaknya.
“Tapi bagaimana melihatnya, Mak.
Telapak kaki emak itu tak ada apa-
apanya, selain debu yang emak bersih-
kan setiap harinya.
“Ia tak bisa dilihat, Nak. Ia hanya
dirasakan saat kau cium telapak kaki
emak.”
“Ndak, Mak. Kaki Emak bau.”
Jawab anak itu bersungut-sungut. Jijik.
Dia tahu, kaki emaknya tak pernah me-
makai sandal setiap melewati jalan-jalan
becek. Dan emaknya hanya membersih-
kan kaki itu dengan sabun murahan, pikir
anak itu. Emak tersenyum melihat tingkah
anaknya yang masih lugu itu. Ia
menyadari, suatu hari anaknya itu akan
mengetahuinya. Kelak anaknya itu akan
tahu arti pepatah itu.
Suatu siang anak-anak berebutan
potongan kaki yang tergelatak di sudut-
sudut kota. Mereka pada memegang satu
potong, lantas membersihkan dari debu
yang melekat di telapaknya. Mereka me-
raba-raba permukaannya dengan tangan-
nya yang mungil itu. Mereka sedang
mencari-cari sesuatu di sana. Beberapa

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 144


saat mereka saling menatap. Jidatnya
menggaris kerut sebelum waktunya ber-
kerut. Mata mereka menyiratkan sebuah
pertanyaan tanpa jawaban.
“Mana yang disebut surga?” Tanya
seorang anak pada yang lainnya. Mereka
hanya menggeleng. Mereka pada meng-
angguk. Antara tidak tahu dan saling
mengiyakan, berkecamuk di benak me-
reka. Mereka sama-sama tidak tahu
jawaban atas pertanyaan itu. Dan mereka
juga mengiyakan dalam satu hal, mereka
tidak menemukan apa yang dicari.
“Semua orang dewasa bohong!”
Seru seorang anak.
“Pak guru bohong!” seru yang
lainnya.
“Emakku juga bohong.” Kata
seorang anak yang kemarin mendapatkan
cerita emaknya tentang surga.
“Ibu juga bohong,” kata yang
lainnya lagi.
Dan mereka lantas melemparkan
potongan-potongan kaki itu ke tengah
jalan. Kendaraan yang lewat melindas-
nya. Remuk. Sepotong kaki terlempar dan
menghantam pedagang bakso di pinggir
jalan. Tapi pedagang itu tak marah. Ia

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 145


ambil potongan itu dan ia masukkan ke
tempat kuah baksonya yang sedang men-
didih. Anak-anak itu pun tertawa menik-
mati keasyikan melempar potongan kaki.
Dan di setiap jalan yang dilaluinya,
mereka berebutan mengambil potongan
kaki dan melemparkanya bersama-sama
ke tengah jalan. Mereka pun bertepuk
tangan saat suara gemeratak potongan
kaki itu terlindas kendaraan. Orang-orang
dewasa yang melihat ulah mereka juga
ikut tertawa. Perempuan-perempuan ikut
juga bertepuk tangan bersama anak-anak
itu. Dan kota semakin riuh seolah ada
pawai melintas di jalan.
...........

Aku tak tega meneruskan ceritamu itu. Kau


tampak seperti pendholim daripada seorang
profesor atau cerpenis. Kasihan perempuan yang
membaca karyamu itu –apa kau bukan seorang
perempuan? Kurasa kau perempuan juga. Sekali
waktu kau kunjungi perempuan-perempuan pe-
milik potongan kaki itu. Bagaimana mereka akan
menyikapi cerpenmu itu? Bagaimana mereka
mereaksi jalan pikiranmu itu? Jangan-jangan,
mereka benar-benar memotong kakinya dan ramai-
ramai menghantamkannya ke kepalamu.

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 146


Pagi ini kau tak keluar dari ruang kerjamu.
Semalaman kau menyelesaikan sesuatu di
dalamnya. Kupikir kau tertidur di sana. Tapi tidak,
bunyi keyboard komputermu satu-satu tertangkap
telingaku. Apakah kau sudah bangun lantas
meneruskan pekerjanmu itu? Kau akan men-
jawabnya, tak penting memasalahkan itu. Meski itu
teramat penting daripada tulisan-tulisanmu. Per-
tanyaanku itu semacam perhatian dan kasih
sayang dari suamimu. Apa yang melebihi penting-
nya dari itu? Bukankah yang kau perjuangkan
bersama teman-teman guru besarmu juga itu? Kau
terlalu sibuk memikirkan yang besar, sehingga hal
sekecil itu telah terlupakan. Apalagi namanya sex,
kau tak lagi memandangnya sebagai upacara ritual
suami-istri, selain sifat kebinatangan yang ada
pada manusia. Ah, kau seperti kehilangan akal.
Bukankah kehilangan akal menjadikan manusia
kembali pada sifat kebinatangannya? Tapi mengapa
kau melupakan sex sebagai sifat binatang?
“Sayang, istirahatlah. Makan pagi telah aku
siapkan semenjak tadi. Makanlah. Nanti kau sakit.”
Sengaja aku romantiskan kata-kataku. Aku bukan
ingin mengajakmu sex, tapi mengingatkan kasih
sayang kita layaknya suami-istri.
“Makanlah duluan! Tanggung!” Teriakmu
dari dalam. Aku berharap kau buka pintu ruang
kerjamu itu sekedar membuatku senang. Tapi

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 147


tidak. Hanya suara keyboard koputer semakin
nyaring dan cepat. Sepertinya kau dikejar hari mau
di hutan belantara pekerjaanmu. Dan aku cukup
mengerti itu. Diam kadang lebih bijaksana daripada
banyak berbicara. Sebuah pilihan keadaan yang
terpaksa aku pilihkan untuk kita pagi ini.
Dua jam kemudian suara keyboard kom-
putermu diam. Sebentar lagi menyusul suara
printermu seperti suara semut menggerogoti
sebongkah kayu kering; hatiku itu. Lantas kau
akan membuka pintu itu dan tersenyum dipak-
sakan padaku. Aku akan menyambutnya; keter-
paksaan juga. Bah! Apakah hubungan kita juga
sebuah keterpaksaan? Kalau benar, kita pun
terpaksa mempertahankan hubungan keterpaksaan
itu. Kenapa kita tak lebih baik terpaksa bercerai?
Kalau sama-sama terpaksa, kenapa memper-
masalahkan itu. Tentu jawabanmu seperti itu. Dan
aku menurutinya lagi jalan pikiranmu itu.

***

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 148


POTONGAN KAKI PEREMPUAN
DI SUDUT-SUDUT KOTA

Kalau Kau seorang wanita, kutanya padamu:


Masihkah kedua kakimu melekat di tubuhmu?

Sengaja kuceritakan kembali cerita ini,


agar Kau tak pernah melupakannya
Beberapa potong kaki tergeletak di sudut
kota. Beberapa di super market. Beberapa di tong-
tong sampah. Beberapa lagi di tempat-tempat
hiburan. Di jalan-jalan, beberapa po-tong tergeletak
dipenuhi debu dan dikeru-bungi lalat. Beberapa
kendaraan melindasnya. Re-muk.... Beberapa
pelajar menggunakannya untuk senjata perkelaian
sesama mereka. Be-berapa mahasiswa
menggunakannya untuk melempari istana negara
saat unjuk rasa. Be-berapa kenek menggunakannya
untuk meng-ganjal bus. Beberapa polisi
menggunakannya untuk menghantam kepala
pedagang kaki lima saat penggusuran. Beberapa
anak mengguna-kannya untuk mobil-mobilan.
Tak ada yang merasa kehilangan potong-an
kaki itu. Orang-orang tak merasa ada kekurangan
pada tubuh mereka. Bahkan setiap orang lewat tak
Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 149
tertarik untuk melirik. Bahkan tak satu pun yang
ingin bertanya tentang potongan kaki itu. Apalagi
merasa kehilangan. Bukankah tubuh mereka masih
lengkap. Sem-purna seperti kelahirannya. Tapi satu
hal yang semua orang sepakat, potongan kaki itu
pasti milik perempuan. Rata-rata potongan kaki itu
mulus. Bersih. Tak ada bulu sehelai pun tum-buh
di sana. Tak berotot seperti kaki lelaki. Tak
berlekuk seperti kaki lelaki. Lurus. H-erannya, tak
ada satu pun perempuan yang merasa kehilangan
kakinya. Mereka tak merasa ada kekurangan dalam
kakinya. Masih lengkap seperti sedia kala.
Jangan sebut kaki itu palsu. Semua asli.
Masih ada darah meleleh di sana. Darah beraroma
amis, persis aroma darah manusia. Lalat sangat
tahu betapa barang yang dike-rubunginya itu asli
milik manusia. Tak sulit untuk membedakan yang
asli dan palsu. Insting mereka sangat peka untuk
mem-bedakan keduanya. Justru orang-orang kota
tak merasakan aroma yang merebak ke udara.
Memebuhi ruang kota, bercampur dengan kepulan
asap pabrik dan knalpot kendaraan. Mata mereka
melihat, tapi hidung mereka tak merasa aroma itu.
Apalagi instingnya, selain insting para lalat
menyerbu potongan kaki itu. Tak ada yang istimewa
dengan peristiwa itu. Bahkan menjadi
pemandangan yang biasa. Setidaknya, menjadi
hiasan untuk memper-cantik sudut-sudut kota.
Sebuah sentuhan artistik arsitektur kota. Makanya,
pasukan kuning membiarkan saja potongan kaki
itu tergeletak di sana.

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 150


“Mak, di manakah surga itu berada?” Tanya
seorang anak kepada emak di suatu hari. Sebuah
buku tergeletak di depannya. Ada yang belum
dimengerti kata-kata yang tertulis di dalamnya.
Surga. Kata itu kerap kali dia baca. Tapi setiap kali
pikirannya tak sampai ke pada maknanya.
“Di telapak kaki ibu, Nak.” Jawab emak
sambil membersihkan kakinya dengan sabun.
Wajahnya tergurat senyum penuh kebanggaan. Di
telapak kakinya itu telah bersemayam surga untuk
anak-anaknya.
“Tapi bagaimana melihatnya, Mak. Telapak
kaki emak itu tak ada apa-apanya, selain debu yang
emak bersihkan setiap harinya.
“Ia tak bisa dilihat, Nak. Ia hanya dirasakan
saat kau cium telapak kaki emak.”
“Ndak, Mak. Kaki Emak bau.” Jawab anak
itu bersungut-sungut. Jijik. Dia tahu, ka-ki
emaknya tak pernah memakai sandal setiap
melewati jalan-jalan becek. Dan emaknya hanya
membersihkan kaki itu dengan sabun murahan,
pikir anak itu. Emak tersenyum me-lihat tingkah
anaknya yang masih lugu itu. Ia menyadari, suatu
hari anaknya itu akan me-ngetahuinya. Kelak
anaknya itu akan tahu arti pepatah itu.
Suatu siang anak-anak berebutan potongan
kaki yang tergelatak di sudut-sudut kota. Mereka
pada memegang satu potong, lantas membersihkan
dari debu yang melekat di telapaknya. Mereka
meraba-raba permuka-annya dengan tangannya
yang mungil itu. Mereka sedang mencari-cari
sesuatu di sana. Beberapa saat mereka saling

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 151


menatap. Jidat-nya menggaris kerut sebelum
waktunya ber-kerut. Mata mereka menyiratkan
sebuah per-tanyaan tanpa jawaban.
“Mana yang disebut surga?” Tanya se-orang
anak pada yang lainnya. Mereka hanya menggeleng.
Mereka pada mengangguk. Antara tidak tahu dan
saling mengiyakan, berkecamuk di benak mereka.
Mereka sama-sama tidak tahu jawaban atas
pertanyaan itu. Dan mereka juga mengiyakan
dalam satu hal, mereka tidak menemukan apa yang
dicari.
“Semua orang dewasa bohong!” Seru seorang
anak.
“Pak guru bohong!” seru yang lainnya.
“Emakku juga bohong.” Kata seorang anak
yang kemarin mendapatkan cerita emaknya tentang
surga.
“Ibu juga bohong,” kata yang lainnya lagi.
Dan mereka lantas melemparkan potong-an-
potongan kaki itu ke tengah jalan. Ken-daraan yang
lewat melindasnya. Remuk. Se-potong kaki
terlempar dan menghantam pe-dagang bakso di
pinggir jalan. Tapi pedagang itu tak marah. Ia ambil
potongan itu dan ia masukkan ke tempat kuah
baksonya yang sedang mendidih. Anak-anak itu
pun tertawa menikmati keasyikan melempar
potongan kaki itu. Dan di setiap jalan yang
dilaluinya, mereka berebutan mengambil potongan
kaki dan melemparkanya bersama-sama ke tengah
jalan. Mereka pun bertepuk tangan saat suara
gemeratak potongan kaki itu terlindas ken-daraan.
Orang-orang dewasa yang melihat ulah mereka juga

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 152


ikut tertawa. Perempuan-pe-rempuan ikut juga
bertepuk tangan bersama anak-anak itu. Dan kota
semakin riuh seolah ada pawai melintas di jalan.

****

Pulang sekolah seorang anak menangis. Tak


biasanya anakku seperti itu, pikir ibunya saat
menjumpai anaknya menangis. Dilihatnya
pakaiannya kusut. Di sana-sini warna coklat tanah
mewarnai bajunya.
“Kau pasti habis bertengkar?” Tanya ibu,
matanya melotot hendak keluar. Tapi anak itu tak
takut. Hatinya telah terbakar kemarahan luar
biasa.
“Tidak!” Teriak anak itu seakan me-nantang
ibunya.
“Lantas, kenapa Kau menangis?”
“Karena ibu tak punya surga lagi untuk-ku!”
Teriak anak itu semakin menjadi-jadi. Ibu-nya
heran mendengar tuduhan anaknya seperti itu.
“Apa maksudmu?”
“Kata pak guru, surga itu terletak di telapak
kaki ibu. Tapi ibu sudah tak punya kaki lagi. Kaki
ibu sudah buntung. Tak ada lagi surga untuk itu.”
Teringat di benak ibu sebuah peristiwa saat
dia menjadi kurban tabrak lari. Kedua kakinya
remuk, harus diamputasi. Tapi jiwanya masih
selamat untuk melanjutkan hidup ber-sama anak
semata wayangnya. Dan kini anak semata
wayangnya itu menuntut kakinya karena di telapak
kaki itu terletak surga untuk dia. Dilihatnya

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 153


anaknya masih menangis. Wajahnya menggantung
kesedihan luar biasa. Dan tangisnya berpijar
kemarahan anak hari-mau yang lapar.
“Mendekatlah,” kata ibu dengan lembut.
Dibisikan sesuatu di telinga anaknya itu.
“Benar, Ibu?” Tanya anak itu tak percaya.
“Ibu tak pernah berbohong pada anaknya.”
Anak itu mengangguk senang. Dia usap air
matanya. Dia usaikan kemarahan anak harimau
laparnya. Dan dia kembali berlari sambil tertawa
bahagia. Ibunya tersenyum melihat betapa anaknya
sangat menyayangi-nya. Betapa anak itu telah setia
menemaninya, seperti kursi roda yang selalu
menjadi sandar-an tubuhnya setiap hari.

***

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 154


ANAK-ANAK PEKAT

Ada satu hal yang mesti Kau sisakan


saat anak-anak tumbuh dewasa
sebelum sesal itu menagih janji
atas kekeliruan kita pada mereka.
Kasih sayang sesama

KONON hidup terbuat dari genangan air


mata, yang dikucurkan rerumputan karena sangat
kesepihan setiap hari. Air mata itu mengalir ke
tempat yang sama, di beberapa cekungan bekas
tapak kaki binatang purba –kelak menjadi bahan
penelitian seorang arkeolog. Lantas angin meniup-
kan inti sari dirinya pada cekungan-cekungan itu.
Lantas genangan air mata itu bertumbuhan men-
jadi anak-anak. Lantas mereka tumbuh besar men-
jadi dewasa. Lantas kehidupan ini menjadi ramai
oleh kehadiran mahkluk baru bernama manusia.
Sejak itulah rerumputan tak merasa kesepian lagi.
Mereka memanggil rerumputan dengan sebutan
Ibu. Rerumputan memanggil mereka dengan sebut-
an Anak.
Ibu Rerumputan merawat mereka dengan
kasih sayang yang tak akan pernah ada di dunia
ini. Sehari-hari mereka diberi makan air mata, yang

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 155


tak akan pernah lagi berlinangan sejak kehadiran
mereka. Anak-anak itu telah menjadikan air mata
rerumputan menjadi makanannya. Sebelum air
mata itu keluar, Ibu Rerumputan telah memerasnya
menjadi makanan. Jika malam, Ibu Rerumputan
mendongengi mereka dengan cerita-cerita tentang
raksasa yang suka memangsa anak-anak yang suka
menangis. Anak-anak itu pun tak pernah menangis
karena takut dimangsa raksasa. Saat waktunya
tidur, mereka dipeluk dan diselimuti tubuh Ibu
Rerumputan agar embun tak menggangunya dari
mimpi-mimpi mereka.
Konon, mimpi-mimpi itulah yang mencipta-
kan peradaban. Setiap tidur, mereka diajar mimpi
tentang segala hal. Mereka menjadi pintar, berpikir
untuk tidak bergantung pada Ibu Rerumputan yang
membesarkannya. Konon, Ibu Rerumputanlah yang
menyuruh Mimpi untuk menjadi guru bagi anak-
anaknya. Mimpi itu dengan senang hati menerima
perintah itu dan hadir setiap malam di dalam tidur
mereka.
“Aku mesti mengajarkan apa?” Kata Mimpi
pada Ibu Rerumputan saat mendengar perintah itu.
“Apa saja. Kau pandai merangkai peristiwa,
tak sulit untuk itu. Aku ingin mereka menjadi
mandiri, pintar, dan memperbaiki hidupnya. Aku
ingin hidup mereka lebih ramai. Tak bergantung
lagi padaku yang bodoh ini.”
“Jangan salahkan aku kalau hidup mereka
akan berubah.” Ujar Mimpi memperingatkan Ibu
Rerumputan.

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 156


“Perubahan itu yang aku kehendaki dari
mereka,” jawab Ibu Rerumputan meyakinkan
Mimpi. “Jangan takut! Asal mereka berubah
menjadi pintar, mandiri, dan tak bergantung lagi
padaku, aku tak akan menyalahkanmu.
“Tapi, setiap perubahan membawa banyak
kemungkinan yang terjadi.”
“Kita pikirkan nanti soal itu.”
Semenjak itulah Mimpi selalu hadir dalam
tidur mereka untuk mengajarkan bayak hal; mem-
baca, menulis, berhitung, berbicara, mema-hami
alam semesta, manusia, bumi, angin, api, udara,
semuanya. Anak-anak itu setia memperhati-kan
Mimpi mengajar. Dan Setiap pergantian bulan, Ibu
Rerumputan mengecek perkembangan belajar
mereka.
“Bagaimana perkembangan mereka, Mimpi?”
Tanya Ibu Rerumputan suatu hari.
“Mereka berbeda dengan kita. Mereka me-
miliki akal untuk bisa memahami apa yang aku
ajarkan.”
“Akal?”
“Ya, akal. Ada dalam organ tubuhnya ber-
nama otak. Ia ada di kepala mereka. Ia adalah alat
untuk berpikir dan menyimpan semua hal yang
dialami sehari-hari. Di situlah mereka menyimpan
apa yang aku ajarkan.”
“Alat menyimpan?”
“Seperti tabungan. Kalau kita, hanya
mempunyai perut untuk menyimpan makanan.
Itulah kenapa kita hanya butuh makan, bukan
berpikir. Tapi mereka mempunyai otak, selain

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 157


perut. Mereka butuh makan untuk hidup dan
berpikir untuk memperbaiki hidupnya.”
“Jadi, mereka telah menjadi pintar karena
kau ajarkan sesuatu.”
“Mereka belum menyadarinya. Mereka baru
menyimpan apa yang aku ajarkan. Suatu saat
mereka akan menggunakannya dalam kehidupan
mereka.”
“Kenapa tidak kau ajarkan saja bagaimana
menggunakan apa yang kau ajarkan itu dalam
hidupnya.” Seru Ibu Rerumputan gemas. Tak sabar
dia melihat anak-anaknya menjadi pintar.
“Tak perlu dipaksakan itu. Mereka lambat
laun akan menggunakannya secara tak sadar. Saat
itulah akan kau lihat perubahan mereka. Apakah
kau tak pernah memperhatikan mereka setiap
hari?”
“Aku tak melihat perubahan itu,” kata Ibu
Rerumputan sambil menggaris kerut di dahinya.
“Perhatikan mereka mulai besuk. Perubahan
itu tak kau sadari. Sekecil apapun perubahan itu
telah terjadi.” Ujar Mimpi sambil nyelonong pergi
ditelan malam. Sedang Ibu Rerumputan me-
mandangnya nanar. Betapa yang dikatakan Mimpi
itu benar. Sekecil apapun mereka pasti berubah.
Kenapa aku tak memperhatikan, kata batin Ibu
Rerumputan.
Pagi sekali Ibu Rerumputan telah me-
nyiapkan sarapan mereka. Dia masak perasan air
matanya menjadi masakan istimewa. Dia per-
hatikan anak-anaknya dengan lahap menyantap
makanan itu. Dia lihat setiap anak-anaknya itu

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 158


bebicara dan bergerak. Ibu Rerumputan ingin
membuktikan apa yang dikatakan mimpi semalam.
Tapi dia tak menemukan apa-apa. Anak-anaknya
masih seperti hari-hari sebelumnya. Tak ada tanda-
tanda perubahan sedikit pun. Ibu Rerumputan
agak kecewa tak menemukan apa-apa dalam diri
anak-anaknya itu. Barangkali belum saatnya
mereka berubah, pikirnya. Dan dia akan memanggil
mimpi malam nanti untuk menyampaikan ke-
kecewaannya itu.
“Aku tak melihat perubahan apa-apa dalam
diri mereka.” Kata Ibu Rerumputan agak kesal pada
Mimpi. Dan Mimpi melihat ketidaksabaran Ibu
Rerumputan tentang perkembangan anak-anaknya.
“Sabarlah. Barangkali perubahan itu belum
tampak. Tapi sudah ada dalam otak. Kita tunggu
saja.” Jawab Mimpi penuh pengertian pada Ibu
Rerumputan.
“Ya. Mungkin aku tak sabar melihat per-
kembangan mereka.”
Malam ini Ibu Rerumputan memperhatikan
anak-anaknya yang sedang tidur pulas. Mereka
tidur berjajar dengan kaki lurus berselonjor.
Sedang tangannya mereka lipat di atas dadanya.
Semuanya serba sama. Semuanya seolah telah
diatur. Tak ada yang berbeda dengan yang lainnya.
Ibu Rerumputan melihatnya sambil tersenyum.
Betapa mereka telah tumbuh membesar melampaui
dirinya. Air mata kesepihan Ibu Rerumputan telah
manjadi anak-anak manusia. Air mata itu telah
menciptakan hidup. Kelak dia akan melihat ter-
jadinya perubahan luar biasa dalam diri mereka.

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 159


Perubahan yang diharapkan Ibu Rerumputan
itu terjadi saat kemarau panjang. Tapi sayang, dia
tak akan melihatnya. Kemarau itu telah membakar
tubuhnya hingga kering. Meranggas. Akhirnya Ibu
Rerumputan itu mati. Dia tak akan melihat betapa
air matanya itu telah berubah. Hidup anak-anak itu
semakin ramai. Ada saja yang mereka buat untuk
menciptakan keramaian itu. Mereka tak makan
makanan yang terbuat dari air mata ibunya lagi.
Mereka mesti membuat makanannya sendiri dari
daun-daun, bunga-bunga, dan buah-buahan.
Mereka menemukan api seperti diajarkan Mimpi.
Mereka, mereka menjadikan hujan menjadi air yang
segar dan sejuk atas terik matahari yang membakar
tubuhnya. Bukit tempat hidup mereka bersama Ibu
Rerumputan dulu, tak sepi lagi. Tak ada air mata
menggenang lagi karena kesepihan menjadi ke-
ramaian.
Mimpi sangat bangga melihat hasil usaha-
nya. Ia telah menyelesaikan amanah yang diberikan
Ibu Rerumputan. Sudah waktunya ia meninggalkan
anak-anak itu untuk sementara. Kelak ia akan
menemui mereka lagi dengan tubuh yang berbeda.
Ia tak akan lagi menjadi guru yang mengajarkan
segala hal pada mereka. Ia akan berubah menjadi
segala hal untuk mengingatkan mereka. Menjadi
raksasa pemangsa anak-anak yang suka menangis
sekali pun, ia akan lakukan. Barangkali juga men-
jadi pangeran rupawan dengan permaisuri yang
cantik, seperti cita-cita mereka. Sekali waktu, ia
juga akan menjilma menjadi gambar-gambar bawah
sadarnya agar mereka selalu ingat masa lalunya.

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 160


Mereka harus selalu mengingat hal ihwal hidupnya
bahwa mereka terbuat dari air mata kesepian Ibu
Rerumputan. Untuk sementara Mimpi akan me-
nunggu waktu itu tiba sambil menyaksikan
keramaian hidup mereka.
Konon, keramaian itu menjadi peradaban.
Mereka tak lagi saudara, karena di antara mereka
telah merubah cinta menjadi bentuk yang lain. Di
antara mereka adalah orang-orang lain dengan
cinta yang berbeda. Di antara mereka tumbuh
perasaan yang ganjil. Ada dorongan dari dalam
dirinya untuk menikmati sebuah hasrat yang
berbeda-beda. Mereka baru memahaminya saat di
antara mereka menyadari perbedaan itu. Tubuh
mereka ternyata tidak sama. Suasana perasaan
mereka juga tak sama. Ada semacam dorongan
kebinatangan untuk melakukan persetubuhan,
pertengkaran, pengelompokan, dan semuanya
seperti yang mereka lihat dulu pada diri srigala.
Acapkali dorongan itu memaksaknya untuk me-
lakukan persetubuhan menjadi manusia baru.
Acapkali pula dorongan itu memaksanya untuk
beringas menjadi kematian. Tak jarang dorongan
itu membentuk koloni menjadi kekuatan. Di situlah
yang paling pintar menguasai yang lainnya menjadi
kekuasaan. Yang pasti, mereka tak lagi saudara
karena bentuk cinta telah berubah, terpecah-pecah.
Mimpi melihat semua itu dengan masygul.
Apa yang terjadi sekarang, pernah ia bicarakan
bersama Ibu Rerumputan.
“Kenapa perubahan itu begitu berarti
buatmu, Ibu Rerumputan?” Tanya Mimpi di suatu

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 161


malam sambil menikmati kesejukan. Sebentar lagi
kesejukan itu akan berubah menjadi kering, panas,
dan meranggas dalam kehidupan temannya itu.
Sebuah akhir pertemuan yang mesti terjadi di
setiap awal kemarau.
“Perubahan itu takdir satu-satunya di dunia
ini. Tak ada takdir yang lain. Tinggal kita mau
menjadikannya berjalan cepat atau lambat; baik
atau buruk. Perjalanan itulah kendaraan untuk
masa depan mereka. Aku tak ingin anak-anakku
selalu makan makanan dari perasan air mataku.
Itu akan membuatnya bergantung terus padaku.
Tinggal kau, Mimpi. Apakah kau akan mendorong
perubahan mereka cepat atau lambat; baik atau
buruk.”
“Ya. Aku bisa mendorongnya dengan cepat.
Tapi aku tak yakin, apakah perubahan itu baik
atau buruk. Di antara keduanya batasnya ter-
lampau tipis; di mana ada baik, di situlah ada
buruk.”
“Setidaknya, kau telah meniatkan dirimu
untuk menjadikan anak-anakku berubah menjadi
baik.”
Mimpi selalu teringat yang dikatakan Ibu
Rerumputan setiap melihat anak-anak itu. Sayang
kemarau terlalu cepat tiba sebelum Ibu Rerumput-
an melihat harapannya menjadi nyata. Anak-anak
itu telah berubah dengan cepat. Mereka telah men-
ciptakan peradaban baru atas perubahan itu. Tapi
satu hal yang mimpi tak bisa memahaminya, apa-
kah perubahan itu menjadi baik atau buruk. Ketika
anak-anak itu tak lagi makan perasan air mata,

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 162


Mimpi mengira perubahan itu telah mem-bawa
kebaikan. Tapi ketika dilihatnya mereka saling be-
rebut makanan, Mimpi merasa gagal. Perubahan itu
seolah telah menciptakan ke-burukan.
“Lihatlah, Kau telah berhasil merubah
mereka.” Sebuah suara tiba-tiba menyapanya.
“Siapa?”
“Baru berapa bulan kita berpisah, tapi Kau
telah melupakannya.”
“Keluarlah! Tak perlu bersembunyi.” Perintah
Mimpi pada seseorang yang sangat ia kenalnya;
Serigala. Dari balik bebatuan, Serigala keluar
menghampiri mimpi. Dari mulutnya menetes air
liur –kelak akan menjadi anak-anak juga?
“Sudah berapa lama Kau mengintipku dari
balik batu itu?”
“Tidak berapa lama. Kebetulan saja aku
lewat di sini. Saat kulihat Kau melamun, aku intip
saja Kau.”
“Pekerjaanmu memang selalu mengintip. Tak
adakah yang lain?”
“Bagaimana aku bisa melakukan hal yang
bukan diriku!?” Kilah Serigala membela dirinya.
Mimpi memahami ucapan Serigala itu sebentuk
ketertutupan mahkluk itu terhadap perubahan.
Berbeda dengan mendiang Ibu Rerumputan.
“Itulah kenapa Kau tak pernah menjadi apa-
apa. Kau tak akan pernah berubah dengan
sikapmu itu.”
“Apa yang kau maksudkan seperti anak-anak
Rerumputan itu?”

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 163


“Ya. Mereka mau berubah. Mereka ber-
kehendak merubah dirinya.” Jawab Mimpi dengan
bangga. Sedang Serigala tersenyum kecut melihat
kebanggaan itu.
“Kebanggaan semu!” Serigala melontarkan
kritiknya dengan suara berderak. Derak suara
Serigala itu seperti berasal dari tulang-tulang yang
mengganjal perutnya. Ia telah menyantap mangsa-
nya beserta tulang-tulangnya hingga tandas. Tak
tersisa selain darah yang mengering di tanah.
“Kau nampak iri pada mereka, pada apa
yang aku lakukan juga.” Balas Mimpi agak men-
dongkol atas kritik Serigala itu.
“Kau ternyata bodoh memahami perubahan
yang telah kau ciptakan pada mereka.”
“Kau tak mungkin melakukan hal yang sama
pada anak-anakmu.” Tukas Mimpi semakin sengit.
Serigala itu nampaknya mengajak bertengkar
dengan dirinya, batin Mimpi.
“Aku tak akan melakukan itu pada anak-
anakku. Aku tak ingin anak-anakku kehilangan
naluri serigalanya karena perubahan.”
“Ya. Naluri saling memangsa!” Seloroh Mimpi
sambil ia tekuk sudut bibirnya.
“Apakah Kau bisa merubah takdir yang
melekat pada dirimu?” Bantah Serigala tak senang
atas perkataan Mimpi itu. Ia telah menangkap
gejala pertentangan yang sengaja disulut oleh
Mimpi.
“Perubahanlah satu-satunya takdir. Yang
lainnya bukan; termasuk nalurimu yang selalu
ingin memangsa itu.” Mimpi teringat apa yang

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 164


dikatakan mendiang Ibu Rerumputan dahulu
padanya. Ia mengulanginya untuk membantah
pandangan Serigala itu.
“Aku mulai paham terhadap apa yang telah
kau lakukan atas anak-anak Rerumputan itu. Kau
menginginkan perubahan, tapi bukan perubahan
yang terjadi pada dirimu. Anak-anak itu telah
menjadi kurban percobaanmu itu. Kasihan
mereka.”
“Kau tidak tahu ceritanya. Ibu Rerumputan-
lah yang menghendaki itu.”
“Barangkali awalnya memang begitu. Tetapi
perubahan seperti itu bukan yang dimaksud Re-
rumputan. Kau sengaja mengarahkannya untuk
kepentinganmu sendiri.”
“Kepentingan apa yang Kau maksudkan?”
Tanya Mimpi dengan keras. Ia teramat tersinggung
ucapan Serigala itu. Mahkluk pemangsa itu benar-
benar mengajaknya untuk bertengkar, pikir Mimpi.
“Perubahan yang terjadi pada mereka, justru
menguntungkan keberadaanmu. Kau telah men-
ciptakan ruang hidupmu pada benak-benak mereka
sesukamu. Dengan begitu, Kau bebas memper-
mainkannya. Tak ada orang yang akan menegurmu;
memarahimu. Bahkan Kau akan menjadi bayangan
yang menakutkan bagi mereka. Sebagian lagi, Kau
akan menjadi barang pusaka yang diidam-idamkan
mereka. Kau akan menjadikan mereka menjadi
orang-orang yang menyalahi kodratnya sendiri.
Pada ibunya pun mereka akan melupakannya;
selain padamu. Kau memang licik!”

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 165


“Kau salah! Kau dungu untuk memahami
perubahan. Percuma aku bicara dengan orang yang
dungu macam Kamu.” Ujar Mimpi sambil me-
ninggalkan Serigala, terbang ke atas angkasa.
“Kau telah melupakan satu hal, Licik!” Teriak
Serigala pada Mimpi yang semakin kelihatan kecil.
Tiba-tiba mimpi menghentikan terbangnya. Ia
balikkan tubuhnya ke arah Serigala. Ia penasaran
apa yang dimaksud oleh Serigala itu.
“Apa yang telah aku lupakan, Mahkluk
Pemansa?” Tanya mimpi sambil teriak juga.
“Ha, ha, ha...Ternyata yang dungu itu Kamu!
Ketahuilah Mimpi, ada sesuatu yang mestinya tak
ikut berubah. Sayang Kau tak menyadarinya!”
Serigala sengaja membuat penasaran dalam benak
Mimpi. Ia sakit hati dikatakan seorang yang dungu.
Kini giliran Mimpi menjadi orang yang dungu, pikir
Serigala.
Mimpi tak jadi melanjutkan perjalanannya ke
angkasa. Ia kembali turun. Ia benar-benar dibuat
penasaran oleh Serigala dungu itu. Di tempatnya
semula, Mimpi tak lagi melihat Serigala ada di sana.
Ia telah pergi. Mimpi sendirian lagi dengan satu
pertanyaan yang tak bisa ia urai jawabannya.
Ketahuilah Mimpi, ada sesuatu yang mestinya tak
ikut berubah. Kata-kata Serigala itu telah meng-
usiknya. Apanya yang seharusnya tak berubah
pada anak-anak itu? Pertanyaan itu berkelebatan di
benak Mimpi. Ia merasa bertanggung jawab pada
mereka; anak-anak mendiang Ibu Rerumputan. Ia
harus menemukan jawaban itu, tekatnya. Tapi apa?
Mimpi pun mesti bertanya pada mereka malam ini.

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 166


Ia mesti menemukan jawabannya pada mereka. Tak
mungkin Serigala itu memberi tahunya. Mimpi pun
merasa gengsi untuk bertanya pada mahkluk
pemangsa itu.
“Adakah yang tak berubah dalam dirimu,
Anakku?” Tanya mimpi ketika memasuki tidur
mereka.
“Aku telah berubah sama sekali Bapak Guru.
Lihatlah. Aku sendiri telah lupa bagaimana
wujudku semula. Dapatkah Bapak Guru
menceritakannya?”
“Lain waktu aku ceritakan itu. Aku hanya
ingin tahu apa yang tak berubah dalam dirimu.”
Jawab Mimpi serius dengan kepenasarannya itu.
“Tak ada, Bapak Guru. Semuanya telah
berubah. Aku pun menikmati perubahan ini.
Terima kasih, Bapak Guru.” Jawab mereka dengan
bangga. Kebanggaan mereka itu semakin membuat
Mimpi sedih. Serigala itu sepertinya lebih pintar di
balik tubuhnya yang dekil itu, pikir Mimpi.
“Benar tak ada yang tak berubah dalam
dirimu?”
“Benar, Bapak Guru.”
Mimpi pun kecewa mendengar jawaban
anak-anak itu. Ia segera keluar dari tidur mereka
dengan kepenasarannya yang semakin meng-
gunung. Sialan Serigala itu! Kenapa tak sekalian
memberikan jawaban atas pendapatnya itu. Ke
mana lagi harus aku cari? Kenapa Ibu Rerumputan
harus mati sebelum melihat perubahan yang di-
kehendakinya menjadi nyata? Sialan kemarau itu!.
Berpuluh-puluh pertanyaan dan umpatan semakin

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 167


memenuhi benak Mimpi. Dan ia cuma bisa diam
mematung di atas gundukan batu malam ini.
Perasaannya semakin buntu. Bingung. Dari balik
batu Serigala tersenyum penuh kemenangan me-
lihat betapa Mimpi telah terusik atas ucapannya
tadi.
Sifat usil Serigala mulai muncul melihat
Mimpi penuh kebingungan. Ia sengaja berjalan di
depan mimpi seolah tak melihatnya. Saat dilihatnya
Serigala lewat, spontan Mimpi mengejarnya.
“Serigala, kebetulan Kau lewat. Apa yang
semestinya tak berubah dari mereka?” Tanya Mimpi
sambil menghampiri Serigala itu.
“Kau bicara apa, Mimpi?” Tanya Serigala
seolah tak paham maksud Mimpi itu.
“Kau jangan berlagak bodoh, Serigala. Kau
tahu apa yang aku maksudkan.” Kata Mimpi me-
rasa dipermainkan mahkluk pemangsa itu.
“Benar, Mimpi. Aku tak paham maksudmu.
Apanya yang berubah? Siapa yang berubah?” Balik
Serigala bertanya dengan nada yang dibuatnya
seperti kebingungan. Dan Mimpi semakin marah
dibuatnya, tapi ia tak ingin menunjukkan perasa-
annya itu. Ia mesti bisa mengambil hati Serigala.
“Kenapa Kau permainkan aku?”
“Aku tak pernah memainkan siapa pun.
Bahkan pada mangsaku pun aku tak memper-
mainkannya. Kenapa kau mengatakan seperti itu?”
“Katamu, aku telah melupakan satu hal
dalam perubahan yang terjadi pada anak-anak Ibu
Rerumputan itu.”

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 168


“Tidak. Mungkin orang lain itu.” Kata
Serigala sambil ngeloyor pergi. Batinnya tersenyum,
betapa dungunya Mimpi itu aku permainkan.
“Awas! Kau balas nanti!” Ancam Mimpi
marah. Ia merasa Serigala itu benar-benar memper-
mainkannya. Sedangkan yang diancam pergi
dengan ekornya yang bergerak-gerak seolah men-
cibir Mimpi. Mimpi pun semakin tenggelam dalam
kebuntuan pikirannya itu.
Malam hampir menyisir ke Barat. Matahari
menyemburatkan warna jingganya di ufuk Timur.
Saatnya Mimpi mengejar malam ke Barat. Tapi
hatinya terasa malas. Ada sesuatu yang masih
tersisa di tempat ini. Maka Mimpi tak bergeming
saat matahari benar-benar membelalakan matanya.
Malam pun telah berpindah ke belahan bumi
lainnya. Biarlah hari ini aku tak ke mana-mana.
Biarlah tak ada aku di belaham bumi yang lain
untuk sementara. Biarlah orang-orang tidur tanpa
kehadiranku. Dan aku bisa merenungkan per-
tanyaan Serigala sialan itu.
“Hari ini Kau tak melaksanakan tugasmu di
tempat lain, Mimpi?” Serigala itu tiba-tiba sudah
berada di depan Mimpi. Sapaan Serigala itu tak
digubrisnya. Kata-kata itu dirasakan Mimpi seperti
mencibirnya. Mengolok-oloknya. Dan Serigala itu
pun melanjutkan langkahnya sambil tersenyum.
Senyum itu pun seperti palu godam yang meng-
hantam perasaan Mimpi. Hati Mimpi semakin larut.
Carut marut.
“Kenapa kau bersedih, Mimpi?” Lamat-lamat
didengarnya sebuah suara dari dalam tanah. Suara

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 169


itu seolah begitu akrab di telinganya. Mimpi men-
cari-cari asal datangnya suara itu.
“Siapa?” Tanya Mimpi sambil mencari-cari
suara itu.
“Kau telah melupakan temanmu ini. Baru
semusim saja kau telah lupa.” Jawab suara itu.
Mimpi pun menatap tunas kecil rerumputan
muncul tak jauh dari tubuhnya.
“Kau! Bukankah?” Mulut Mimpi terperangah
melihat siapa yang bersuara itu.
“Aku tak akan mati hanya karena panas
kemarau. Aku akan kembali hidup saat musim
berganti hujan.”
“Saat yang tepat Kau muncul,” sambut
Mimpi berseri-seri.
“Ada apa? Sepertinya hari ini Kau bermalas-
malasan. Bukankah Kau seharusnya di tempat
lain?”
“Ya. Tapi aku dibuat bingung oleh Serigala
sialan itu.”
“Aku tahu semuanya. Serigala memang
benar dengan ucapannya itu. Tapi dia sengaja
mempermainkan Kamu.”
“Jadi Kau tahu jawabannya?” Tanya Mimpi
tak sabar.
“Jangan tergesa-gesa. Pergilah ke belahan
bumi lain melaksanakan tugasmu. Kasihan orang-
orang itu tidur tanpa kehadiranmu. Nanti, saat
malam kita bisa berbicara lebih banyak. Aku pun
mesti membesarkan tubuhku. Untung kemarau ini
cepat berganti. Kalau tidak, aku bisa terpanggang
di dalam tanah ini lebih lama lagi.”

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 170


“Baiklah!” Jawab Mimpi sambil melesat me-
ngejar malam. Hatinya begitu mekar bunga mawar.
Dan hari ini akan dia temani tidur orang-orang
dengan keindahannya.

*****

Dari rahim yang sama, anak-anak itu lahir


ketika senja berangkat naik. Mereka lahir bukan
sebagai kertas putih. Senja telah melunturkan
warna kertas itu menjadi kehitam-hitaman. Kelak
mereka akan semakin pekat saat bersenyawa
dengan udara. Hitam. Kelam. Lantas, tak ada
tempat bagi mereka selain di sudut-sudut kota yang
pekat pula. Di tempat itu semua serba pekat.
Matahari pekat. Bulan pekat. Langit pekat. Jalan-
jalan pekat. Mimpi pekat. Nasi yang mereka makan
pun pekat; berasa pekat. Air pekat. Tak heran jika
kulit mereka pekat-pekat. Tulang pekat. Darah
pekat. Udara yang dihirup pun pekat.
Pekat. Tapi mereka bangga dengan warna
itu. Saat mandi mereka hati-hati agar air dan
sabun tak merubah warnanya. Mereka basuh
tubuh dengan lembut. Mereka guyur tubuh dengan
air seolah mengguyur mawar yang sedang merekah.
Pelan. Jangan sampai kelopaknya berguguran.
Warna pekat itu bunga mawar yang indah;
pemantik rasa simpatik. Setiap hari mereka jaga.
Setap hari pula mereka akan menjualnya di

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 171


sepanjang jalan kota. Mereka tawarkan pada orang-
orang yang lewat di jalan-jalan yang mereka lalui.
Setiap kendaraan yang berhenti di perempatan
jalan, mereka jajakan warna pekat itu pada para
pengemudi. Dan di setiap toko yang berderet di
sepanjang jalan kota, mereka jual satu demi satu.
Tertawa mereka, yang pekat pula, berhamburan
saat saku mereka penuh dengan kepingan uang
logam. Hari ini mereka tak lapar lagi. Hari ini
mereka bisa bermain lepas dengan perut tak
keroncongan lagi. Mereka memainkan bulan; saling
melempar-tangkap. Saling melempar tawa; tawa
mereka pun berwarna pekat.
Hari ini ada yang tewas saat menjajakan
pekat di perempatan jalan. Polisi segera membawa
tubuhnya entah ke mana. Sedang mobil yang
menabraknya telah dibawa pergi juga, takut
dibakar saudara-saudaranya. Tak ada tangis
meratapi anak itu. Mereka sudah cukup paham apa
yang bakal terjadi. Mereka sudah cukup mengerti
harga yang harus dibayar atas hari-harinya. Se-
jenak, serentak mereka menghentikan jualannya.
Mereka menghormati saudaranya yang mati hari
ini. Tak perlu lama, hanya beberapa saat. Mereka
berbaris di pinggir jalan sambil bernyanyi himne
Anak-Anak Pekat. Khitmat. Syahdu. Lantas ber-
hamburan lagi ketika lampu merah menyala dan
mobil-mobil rapi berhenti. Peristiwa yang barusan

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 172


terjadi telah usai. Waktuna kembali dengan teriak-
an mereka menjajakan pekat pada mobil-mobil
yang mengular itu. Malam nanti satu lagi ber-
kurang anak-anak yang memainkan bulan.
“Di mana Tatak?” Tanya bulan sambil
memutari wajah anak-anak yang telah berkumpul
semenjak senja mulai beringsut malam.
“Dia tewas tertabrak diperempatan jalan
siang tadi,” jawab mereka hampir serentak.
“Satu lagi saudaramu mati.” Kata bulan
sedih.
“Sudahlah, Bulan, ayo kita bermain. Kami
sudah lama menunggumu.”
“Mendung mencegatku tadi hingga aku tak
bisa melihatmu; kau tak bisa melihatku.”
“Ayolah, malam sudah mulai naik. Kau pun
juga semakin jauh.” Kata yang lain.
“Aku tak bersemangat malam ini,” ujar bulan
dengan wajah memburam.”
“Apakah mendung membuatmu sedih?”
“Bukan.”
“Apa Kau lapar, Bulan?”
“Bukan.”
“Apa kau sakit?”
“Juga bukan.”
“Lalu?”
“Aku merasa sedih pada Tatak. Dia kini tak
lagi bermain dengan kita.”

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 173


“Tak perlu cengeng, Bulan. Bukankah sudah
berulang kali itu terjadi.” Kata anak yang tertua di
antara mereka. Tubuh anak itu sangat kelam,
hanya giginya yang nampak putih saat dia ber-
bicara.
“Kita mestinya merasa berduka malam ini,
bukan malah tertawa-tawa.”
“Siang tadi kami sudah menyanyikan himne
untuknya. Bahkan lebih khitmat dari pada saat
kematian ibu kami dulu. Apa belum cukup,
Bulan!?”
“Kau sudah cukup memberikan penghormat-
an pada Tatak dengan himne itu.” Kata bulan
dengan serius.
“Lalu kenapa Kau tak mau bermain malam
ini?”
“Sekali waktu kita mesti merenungkan apa
yang terjadi dalam hidup kita. Hidup ini bukan
hanya untuk tertawa-tawa.”
“Aku tak mengerti kata-katamu itu. Kami
selalu tertawa kalau dagangan kita laris. Sedih dan
lapar kalau tak ada perolehan apa-apa. Bahkan,
kami lebih banya lapar dan sedih dari pada tertawa.
Kau salah, Bulan, kalau menganggap kami hanya
tertawa-tawa saja!” Kata anak tertua itu mulai
marah.
“Tak perlu marah, Aidi. Apa kau sudah puas
dengan hidup seperti itu. Tertawa, sedih, lapar,

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 174


dingin, dan sepi. Belum lagi kau ketakutan saat
polisi pamong praja merazia kamu. Apa kau cukup
puas dengan itu. Kau yang tertua, semestinya kau
yang lebih pintar dari yang lain. Kaulah yang
seharusnya mengajak saudara-saudaramu untuk
sedikit berpikir.”
“Tak perlu berpikir untuk bisa makan. Kami
sudah terbiasa dengan keadaan ini.”
“Apa kau cuma butuh makan saja!?” Tukas
bulan sinis.
“Ya. Apalagi?”
“Kau tidak ingin bersekolah?”
“Apa? Sekolah?” Seperti dikomando se-
empak mereka tertawa. Sedang bulan semakin
tenggelam dalam buram mendengar reaksi mereka.
“Sekolah hanya menyiksa saja,” ujar Aidi.
“Sekolah menghabiskan waktu. Lebih enak
menghabiskan dagangan di perempatan jalain.”
Kata yang lain sambil berteriak.
“Sekolah membuat kepalaku gundul,” kata
yang lain.
“Bisa-bisa aku tak bisa makan kalau
sekolah,” kata yang lain lagi.
“Bagaimana kalau aku yang membeayai
kamu?” Kata bulan serius. Ia berpikir anak-anak
itu harus diseriusi. Mereka sudah salah memahami
masalah. Kalau dibiarkan, semakin hitam tubuh
pekatnya. Sementara Anak-Anak Pekat saling

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 175


berpandangan mendengar tawaran bulan. Lantas
berpaling kepada yang tertua ketika mereka hanya
menemukan mulut-mulut saudaranya terkunci
rapat.
“Apa tawaranmu termasuk makan kami?”
Akhirnya Aidi bersuara saat dilihatnya tatapan
saudara-saudaranya itu seolah minta pendapatnya.
“Juga untuk tidur?”
“Pakaian?”
“Buku?”
“Juga jajan?”
“Ya, semuanya,” kata Bulan bersemangat.
Wajah buramnya agak memudar. Pertanyaan
bertubi-tubi itu dipahaminya sebagai rasa keter-
tarikan mereka atas sekolah.
“Tapi tidak usahlah, Bulan!” Seru Aidi tak
bersemangat. Tawaran Bulan terasa ganjil di benak-
nya. Dia tak bisa membayangkan bagaimana jadi-
nya jika ia bersekolah. Saudara-saudaranya se-
makin bingung mendengar keputusan kakaknya
itu.
“Kenapa? Kau takut?” Kata Bulan me-
nantang. Ia sengaja seperti itu agar Aidi tertantang
dengan tawarannya itu. “Semuanya akan saya
tanggung. Bahkan kau tak usah lagi berjualan
pekat di jalan-jalan. Kau dan saudaramu hanya
sekolah, sekolah, dan sekolah.”

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 176


“Kalau sudah selesai sekolah, apa aku bisa
jadi tentara?”
“Dokter?”
“Guru?”
“Polisi Pamong Praja?”
“Juga bisa kaya?”
“Semuanya serba bisa.” Kata Bulan
meyakinkan.
“Kalau begitu.....”
“Tidak!” Potong Aidi cepat sambil memelotot-
kan matanya kepada saudaranya yang barusan
bicara itu.
“Jangan kau putuskan dulu. Pikirkan malam
ini. Besuk saja kita bermain-main lagi. Mendung
sialan itu sudah mulai melewatiku. Sebentar lagi
aku tak bisa melihatmu dan kau tak bisa
melihatku.”
Belum selesai Bulan berbicara, mendung
telah menelannya. Anak-Anak Pekat hanya bisa
melihat tengadah, betapa Bulan telah hilang dalam
pandangannya. Aidi mengajak mereka duduk me-
lingkar. Diam. Tak ada yang bersuara lagi. Se-
mentara angin mulai membawa butiran embun dan
menyebarkan pada udara. Dingin. Tapi tubuh
Anak-Anak Pekat itu tak merasakan perubahan
malam itu. Perasaan mereka berkecamuk berpuluh-
puluh suara-suara yang asing dalam benaknya.
Suara-suara itu berkelebatan seperti klakson mobil

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 177


bersautan yang teramat dihapal mereka di per-
empatan jalan. Di antara itu, wajah bulan muncul
dan tenggelam.

*****
“Sudah selesai, Anak-Anak?” Kata seorang
guru di balik kaca mata minusnya. Rambutnya
yang telah memutih mengkilatkan cahaya.
“Sudahhhhhh....!!!” Jawab murid-murid
serempak. Mereka berlarian ke meja guru sambil
membawa lembaran kertas.
“Jangan rebutan. Yang sudah mengumpul-
kan pekerjaannya, kembali ke bangku masing-
masing.
Tak lama mereka telah duduk sambil me-
nunggu apalagi yang akan diperintahkan gurunya
itu. Semua mata tertuju pada lelaki tua yang sudah
berdiri dengan senyum melihat betapa murid-
muridnya rajin dan tertib.
“Lho, Antok belum selesai mengerjakan?”
Tanya sang guru saat dilihatnya seorang murid
masih asyik mengerjakan.
“Belum, pak!” Jawab teman sebangkunya.
“Apa yang kamu tulis sehingga begitu lama
mengerjakannya?” Tanya sang guru sambil meng-
hampiri Antok. Sedang yang ditanya diam tak
menjawab. “Kamu menulis apa, Antok?” Tanya sang
guru lebih keras.

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 178


“Yyyaaa, Pak Guru,” jawab Antok geragapan.
“Kamu menulis apa?” Tanya sang guru lagi
sambil menyorongkan wajahnya lebih dekat ke
wajah Antok.
“Menulis tentang Anak-Anak Pekat, Pak.”
“Anak-Anak Pekat?” Tanya sang guru heran.
“Saudara-saudaraku, Pak.”
“Saudara-saudaramu?” Tanya sang guru
belum mengerti juga.
“Ya, Pak Guru.”
“Apa yang kamu tulis tentang mereka?”
“Mereka sangat senang bersahabat dengan
Bulan, Pak.”
“Bersahabat dengan Bulan?” Benak sang
guru semakin bingung mendengar jawaban murid-
nya itu.
“Ya. Bulan yang telah mengangkat Anak-
Anak Pekat menjadi anaknya. Dan mereka sekarang
tak berjualan pekat lagi di perempatan jalan.”
“Jualan pekat?” Otak sang guru kini benar-
benar tumpul untuk memahami cerita Antok.
“Ya, jualan pekat. Tapi itu dulu, sebelum
Bulan mengangkat mereka jadi anaknya.”
“Di mana sekarang saudara-saudaramu itu?”
“Di rumah Bulan, Pak Guru.”
“Di mana itu?”

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 179


“Di langit,” jawab Antok singkat. Dia mulai
kesal dengan berondongan pertanyaan dari gurunya
itu. Sementara dia belum menyelesaikan ceritanya.
“Baiklah, selesaikan tugasmu itu. Aku ingin
membaca ceritamu itu.” Akhirnya sang guru me-
nyudahi pertanyaannya. Rasanya semakin gila dia
mendengar penjelasan muridnya itu, batinnya.
Bel sekolah telah berbunyi. Sang guru
menyuruh muridnya untuk pulang. Anak-anak
berhamburan keluar kelas, seolah mereka telah
lepas dari siksaan seharian di sekolah. Sedang
Antok masih sibuk dengan pekerjaannya. Sang
guru pun harus menunda waktu pulangnya untuk
beberapa saat. Perutnya yang telah berteriak sejak
tadi ia tahan. Rasa penasaran pada Anak-Anak
Pekat yang bersahabat dengan Bulan, lebih
menarik perhatiannya. Ia pandang dari depan
betapa Antok sangat serius mengerjakan tugasnya
itu. Anak itu memang terlalu serius dibandingkan
teman-temannya, pikir sang guru.
Tak lama sang guru menanti Antok selesai.
Dilihatnya anak itu berdiri dengan kertas di
tangannya.
“Sudah selesai?”
“Sudah, Pak.”
“Bawa ke sini,” perintah sang guru tak sabar.
Antok pun menyerahkan penuh kebanggaan hasil
garapannya kali ini. Lantas dia berlari keluar kelas

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 180


sambil tangannya merentang seperti burung yang
terbang. Sementara sang guru melepasnya dengan
senyum.
Tapi bukan senyum saat malam hari di
rumah sang guru. Tangannya bergetar memegang
sehelai kertas. Wajahnya penuh takjub. Mulutnya
berguman tak jelas maknanya. Sementara istrinya
terperangah melihat suaminya bersikap seperti itu.
“Kenapa, Pak? Seperti melihat setan saja.”
Tegur sang istri heran. Matanya dipicingkan agar
semakin jelas melihat suaminya dengan sikapnya
itu.
“Aku tak mengira, ternyata ada Anak-Anak
Pekat di kota ini.” Kata sang guru sambil
menunjukkan kertas yang dipegang kepada istrinya
itu.
“Anak-Anak Pekat?” Tanya istrinya semakin
heran.
“Ya, Anak-Anak Pekat yang bersahabat
dengan Bulan.”
“Bersahabat dengan Bulan?”
“Ya, bersahabat dengan Bulan. Bahkan
Anak-Anak Pekat itu sekarang diadopsi anak oleh
Bulan.”
“Diadopsi oleh Bulan? Bapak itu ngomong
apa? Bapak kesurupan, ya?”
“Masak kesurupan bisa menjawab
pertanyaanmu. Kamu yang kesurupan.” Jawab

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 181


sang guru sambil tertawa. Sementara sang istri
semakin tak mengerti.
“Bapak itu membicarakan siapa?”
“Ibu tak mendengar saya bicara barusan?
Anak-Anak Pekat yang bersahabat dengan Bulan.”
“Yang dimaksud Bapak itu siapa?”
“Saudara murid saya,” jawab sang guru
singkat. Dia pikir percuma menceritakan yang tak
mungkin akan dimengerti istrinya itu.
“Oh, saudara murid Bapak.” Kata sang istri
akhirnya, lantas masuk ke kamar. Ia tak akan
bertanya lagi. Urusan pekerjaan suami tak ingin ia
ketahui. Suaminya itu juga tak suka jika urusan
pekerjaannya dibicarakan istri. Keduanya memang
sepakat dalam segala hal, termasuk tak mengurusi
urusan pekerjaan masing-masing.
“Kenapa mesti Bulan yang mengadopsi Anak-
Anak Pekat itu!?” Gumam sang guru sambil
menyadarkan tubuhnya ke kursi goyang kesuka-
annya.
“Apa, Pak???” Teriak sang istri dari dalam
kamar.
“Tidak! Tidurlah! Besuk pagi kau mesti
bangun pagi-pagi! Ikan pemberian saudaramu itu
harus kau masak pagi-pagi, sebelum menjadi basi.”
Jawab sang guru mengalihkan perhatian. Tak ingin
istrinya tahu apa yang selama ini menjadi impian-

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 182


nya. Mengadopsi anak, lantaran sudah seusia
mereka belum juga dikaruniai anak.
Seperti tersengat listrik, sang guru tiba-tiba
berdiri. Ada sesuatu yang tiba-tiba terlintas dalam
pikirannya. Benaknya mendorong tubuhnya untuk
pergi. Ada sesuatu yang mesti dicari malam ini. Di
sambarnya jaket yang tergantung di sandaran
kursi, lantas pergi keluar. Pintu rumah ia tarik
tergesa-gesa untuk menutupnya. Tak ingat lagi ia
mesti berpamitan pada istrinya. Ia tak ingin
kedahuluan malam. Satu hal yang muncul dalam
benaknya itu adalah, malam ini ia harus mencari
Anak-Anak Pekat. Ia merasa penasaran, bagaimana
rupa mereka. Ia ingin mengetahu semua hal seperti
yang diceritakan dalam tulisan Antok. Tulisan itu
membawanya ke dunia yang asing; ganjil. Anak-
Anak Pekat bersahabat dengan bulan dan diangkat
anak oleh Bulan. Mereka tak lagi berjualan pekat di
perempatan jalan karena sudah berumah di langit.
Tempat pertama yang harus dikunjungi
adalah alun-alun kota. Di sinilah biasanya tempat
anak-anak bermain-main menghabiskan malam.
Tapi malam ini keadaan alun-alun kota begitu sepi.
Tak seperti biasa, hanya beberapa orang anak
duduk di sana. Mereka hanya diam sambil sesekali
tertawa. Sang guru menghampiri mereka.
Barangkali merekalah Anak-Anak Pekat yang
dimaksud Antok.

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 183


“Kamu Anak-Anak Pekat?”
“Anak-Anak Pekat?” Jawaban mereka
keheranan. Lantas tertawa bersama.
“Kenapa tertawa?” Ujar sang guru merasa
tersinggung.
“Pertanyaannya Bapak yang membuat kami
tertawa. Masak ada Anak-Anak Pekat!?” Sekali lagi
mereka tertawa. Sang guru semakin mendongkol.
Ditinggalkan anak-anak itu sebelum kemarahannya
semakin menjadi. Dasar kurang ajar anak-anak
sekarang, pikir sang guru.
Sang guru keluar dari alun-alun kota. Ia
susuri jalan-jalan kota. Barangkali di sepanjang
jalan, Anak-Anak Pekat pada cangkrukan meng-
habiskan malam. Di lihatnya beberapa anak sambil
merokok menikmati jalanan kota. Dihampirinya
mereka, berharap mereka mengetahui Anak-Anak
Pekat.
“Kalian tahu Anak-Anak Pekat?” Tanya sang
guru serius. Ia tak ingin menjadi bahan tertawaan
lagi. Ia pasang wajah angker agar anak-anak itu tak
berani neko-neko.
“Kami ini Anak-Anak Pekat,” jawab mereka
sambil menahan tawa.
“Kalian benar Anak-Anak Pekat?” Tanya sang
guru tidak percaya.

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 184


“Benar! Kami Anak-Anak Pekat. Setiap
malam kami menghabiskan waktu begadang hingga
pagi. Makanya kami sebagai Anak-Anak Pekat.”
“Kalian bersahabat dengan Bulan?”
“Tentu kami bersahabat dengan Bulan. Mana
ada matahari di malam hari.” Salah satu dari
mereka menjawab dengan serius pula. Pikirnya,
orang tua yang dihadapinya itu sangat aneh;
barangkali orang gila baru. Ia mesti menghadapinya
dengan serius pula. Tak ingin orang tua itu marah
lantas mengamuk mereka.
“Kalian juga diangkat anak oleh Bulan?”
“Tentu. Hanya bulan yang peduli pada kami.”
Jawab yang lain.
“Kalian juga berumah di langit?”
“Bahkan kami bermain-main dengan Bulan,
karena orang tua kami tak pernah mengajak
bermain. Mereka terlalu sibuk dengan urusannya
sendiri.” Kata yang lain lagi.
“Kalian sekarang tak lagi menjual pekat di
perempatan jalan?”
“Eee...menjual pekat?” Rasanya anak-anak
itu kuwalahan menghadapi jalan pikiran orang tua
itu. Mereka merasa menanggapinya semakin
membuatnya ikut gila. Lebih baik mereka menyerah
atas kepura-puraannya. Mereka saling berpan-
dangan, lantas seperti gunung api yang tak tahan

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 185


menahan gejolak lava di perutnya, mereka pun
meledak tertawa.
“Kurang ajar! Orang tua kalian permainkan!”
Bentak sang guru sambil mengambil sandal di
kakinya. Ia hantamkan sandal itu pada kerumunan
anak-anak itu. Mereka semakin meledak
tertawanya sambil berhamburan lari menjauhi sang
guru. Sementara sang guru berteriak tak karuan
mengumpati mereka. Orang-orang yang
menyaksikan peristiwa itu takut melerai. Mereka
takut kalau kena cipratan kemarahan orang tua
gila itu.
Sang guru segera pergi dari tempat itu.
Dilihatnya, semua orang menatapnya dengan ganjil.
Ia merasa risi dengan tatapan mereka. Ia merasa
orang-orang itu menganggapnya gila. Sambil
bergumam tak karuan, ia lanjutkan pencariannya
ke tempat lain. Ia susuri jalanan kota. Sementara
malam semakin berangsur naik. Udara semakin
dingin. Ia masukkan kedua tangannya ke dalam
saku jaket sambil memutari semua sudut jalanan
untuk mencari Anak-Anak Pekat itu. Tapi semakin
malam, kota semakin sepi. Jalanan kota semakin
lengang. Hanya satu-satu kendaraan lewat. Perasa-
annya mulai merasakan kekecewaan. Tak ada
Anak-Anak Pekat yang bisa dijumpainya. Sedang
perasaannya masih memendam kepenasaran yang
dalam. Aku harus menemukan mereka, pikirnya.

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 186


Aku tak akan pulang sebelum menemukan Anak-
Anak Pekat itu.
Rasa lelahnya menghantarkan sang guru
berhenti di depan sebuah warung. Diambilnya
sebuah kursi dari sana dan duduk di tempat yang
bisa memandang ke segala arah. Dengan begitu, ia
tak akan melepaskan setiap orang yang lewat di
jalanan ini. Ketika dilihatnya segerombolan anak-
anak lewat, sang guru segera berdiri. Anak-anak itu
pun serentak berlari saat melihat ada lelaki tua
tiba-tiba hendak mencegatnya. Sang guru hanya
bisa menatapnya kecewa melihat ulah mereka.
Sang guru kembali duduk sambil bergumam tak
karuan. Malam ini sang guru memiliki kebiasaan
baru; bergumam tak karuan.
Malam tinggal sepenggalan. Begitu juga
dengan mata sang guru, tinggal separuh terbuka.
Rasa kantuk mulai menjalar. Tapi tekatnya masih
lebih kuat daripada rasa kantuknya. Ia tahan
kantuk itu dengan bergumam tak karuan. Seperti
bernyanyi, tapi tak karuan. Seperti berkata, tapi tak
karuan. Seperti mengumpat, tapi juga tak karuan.
Segalanya tak karuan. Penampilan sang guru pun
tak karuan. Rambutnya yang biasa klimis menjadi
tak karuan. Celanannya lucet tak karuan. Jaketnya
melipat-lipat tak karuan. Dan pikirannya pun tak
karuan. Belum ada lagi anak yang lewat. Apalagi

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 187


Anak-Anak Pekat yang dicarinya itu, seperti ditelan
malam.
Tiba-tiba muncul sosok bayangan dari ke-
jauhan. Segera sang guru berdiri hendak me-
nyambutnya. Ia buka lebar-lebar matanya agar
jelas siapa bayangan hitam itu. Semakin dekat,
dilihatnya seorang anak sambil menahan tangis
berjalan seolah tak melihat sang guru sudah berdiri
di depannya. Ia tahan anak itu sambil memegang
pundaknya dengan kedua tangan.
“Kau Anak-Anak Pekat?” Tanya sang guru
dengan keyakinannya kalau anak di depannya itu
benar-benar Anak-Anak Pekat. Anak itu meng-
angguk pelan. “Kenapa kau sendirian malam-
malam? Ke mana saudara-saudaramu?”
“Di langit,” jawab anak itu cepat. Terasa ada
kemarahan dalam jawaban itu. Sang guru merasa
ada sesuatu dengan anak itu. Ia tarik anak pekat
itu ke depan warung. Hati sang guru merasa
senang, pencariannya tak sia-sia.
“Kenapa kau tak ikut di langit?”
“Tidak. Semua jahat padaku.”
“Jahat bagaimana?”
“Mereka tak mau mengajakku bermain
bintang.”
“Kenapa?”
“Katanya aku belum waktunya bermain
bintang.”

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 188


“Bukankah anak-anak harus bermain
dengan bintang!?” Tanya sang guru seolah men-
dukung kemarahan anak itu. Dengan begitu, ia
dapat memperoleh cerita lebih dari anak pekat itu.
“Aku hanya boleh makan dan tidur. Tak
boleh lebih.
“Kau ingin memiliki bintang?”
“Ya. Aku ingin bermain dengan bintang.”
“Kau ikut aku ke rumah. Tinggal di rumah-
ku. Kalau perlu, kau menjadi anakku. Mau?”
“Mau!” Jawab anak itu spontan. Ia seperti
melihat ada bintang di rumah orang tua itu. Sedang
sang guru seperti melihat ada bintang dalam diri
anak itu. Bintang yang selama ini diharapkan
kehadirannya di rumahnya.
Di depan rumahnya sang guru berteriak
pada istrinya. Kegembiraannya tak sabar lekas
disampaikan pada istrinya itu. Tetapi tak ada
sahutan dari dalam rumah. Ia dorong keras pintu
rumah itu. Ia tarik anak pekat masuk ke rumah
dan mendorongnya ke kamar. Dilihatnya istrinya
pulas tertidur sambil mengepit bantal. Sang guru
menggerak-gerakkan tubuh istrinya itu sambil
berteriak. Seperti ada gempa, sang istri sontak
bangun sambil berteriak juga. Ketika dilihatnya
suaminya bersama seorang anak, sang istri
terperangah. Nafasnya turun naik seperti habis
berlari jauh.

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 189


“Ada apak, Pak, membangunkan orang se-
perti ada kebakaran!”
“Lihatlah. Telah ada bintang di rumah kita,
Bu.”
“Bintang?”
“Ya, bintang. Anak ini akan menjadi bintang
di rumah ini.”
“Siapa dia?”
“Dia anak kita,” jawab sang guru berbinar-
binar.
“Anak kita?”
“Ya. Bukankah selama ini kita mengharap-
kan anak!?”
“Ya. Tapi tidak secepat ini, Pak. Apalagi
malam-malam seperti ini.”
“Rezeki itu tak mengenal waktu. Kapan pun
dan di mana pun, rezeki bisa datang pada kita.
Anak ini adalah rezeki. Anak kita.”
Sang istri tak segera menanggapi perkataan
suaminya itu. Ia beranjakkeluar kamar. Tiba-tiba
kamar itu terasa sempit karena kejutan yang di-
bawa suaminya. Sang guru mengikuti dari belakang
sambil menuntun anak itu.
“Bagaimana, Bu? Bisa kita adopsi anak ini
menjadi anak kita?” Tanya sang guru tak sabar.
“Kau belum menjelaskan siapa dan dari
mana anak itu, Pak.”

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 190


“Dia anak pekat,” kata sang guru memulai
penjelasannya. Ia harus segera memenuhi per-
mintaan istrinya itu. Lebih cepat, cepat pula ia
mempunyai anak. Sudah terlampau lama hidup
berdua tanpa kehadiran seorang anak.
“Anak pekat?”
“Ya. Dia saudara murid saya yang
kuceritakan sore tadi.” Kata sang guru meng-
ingatkan istrinya.
“Waktu Bapak seperti kesurupan tadi.”
“Ya.”
“Bagaimana bisa bersama Bapak malam ini?”
“Aku sengaja mencarinya. Karangan murid
saya yang aku baca sore tadi, menjadi
petunjuknya.”
“Siapa namanya?”
“Bintang.”
“Ya, Nak, namamu bintang?” Tanya sang istri
pada anak itu. Sementara anak itu diam ke-
bingungan. Ia merasa tak punya nama Bintang.
Bahkan ia tak merasa pernah punya nama. Anak
Pekat dirasa nama yang tepat untuknya; juga
untuk saudara-saudaranya. Hanya kakak yang
sudah besar berhak punya nama.
“Sudahlkah, kita beri saja ia nama Bintang.”
Kata sang guru kemudian saat anak itu hanya diam
saja.

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 191


“Mandikan saja dia. Besuk saja kita
bicarakan lagi. Mataku sudah tak kuat menahan
kantuk.” Kata sang istri sambil ngeloyor pergi ke
kamarnya. Ia tinggalkan suaminya bersama anak
itu.

*****

“Apa yang aku lupakan pada mereka?” Tanya


Mimpi pada Ibu Rerumputan. Ia tak sabar me-
nunggu jawaban itu. Hatinya tak akan puas
sebelum pertanyaan Srigala sialan itu dia ketahui
jawabannya.
“Kenapa anak-anak itu tak saling mengenal
lagi?” Balas tanya Ibu Rerumputan.
“Kenapa membalas bertanya?”
“Kau harus sedikit berpikir untuk menjawab
pertanyaanmu itu.”
“Bukankah Kau mengetahui jawaban itu?
Kenapa tak Kau katakan saja.”
“Aku hanya ingin menuntunmu kepada
jawaban itu.”
“Kenapa anak-anak itu tak saling mengenal
lagi?” Kata Mimpi menirukan pertanyaan Ibu
Rerumputan.
“Ya. Kenapa anak-anak itu tak saling
mengenal lagi?”

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 192


“Karena mereka sudah lupa,” jawab Mimpi
sekenanya. Otaknya benar-benar tumpul.
“Jangan ngawur. Pikirkanlah barang
sejenak.” Kata Ibu Rerumputan sambil tersenyum.
“Kalu tidak lupa, kenapa tak saling mengenal
lagi?” Bantah Mimpi serius.
“Apa yang mereka lupakan?” Tanya Ibu
Rerumputan akhirnya. Dia seolah menemukan
jalan bagaimana menuntun Mimpi untuk
menemukan jawaban atas pertanyaannya itu.
“Lupa kalau mereka bersaudara?” Antara
jawaban dan pertanyaan menjadikan Mimpi yang
gamang menjawab pertanyaan Ibu Rerumputan itu.
“Apa mungkin mereka melupakan itu?
Seperti kita, bukankah kita tak pernah akan lupa
pada saudara-saudara kita?”
“Benar juga katamu. Lantas apa yang mereka
lupakan?” Otak Mimpi semakin karut marut.
“Nafsu-nafsunya telah menimbun barang
berharga miliknya ke dalam hatinya yang paling
dasar.”
“Hingga mereka melupakan barang berharga
itu?”
“Ya. Hingga mereka melupakan barang
berharga itu.”
“Sebentar! Apa barang berharga itu?”
“Kasih sayang,” kata emak penuh keyakinan.

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 193


“Jadi kasih sayang itu seharusnya tak
berubah pada diri mereka?” Tanya Mimpi mulai
menemukan jawaban atas pertanyaan Srigala
sialan itu.
“Tepat. Kasih sayang itu semestinya harus
mereka sisakan ketika hidup mereka berubah.
Serigala yang suka memangsa pun, memiliki kasih
sayang, meski nalurinya selalu ingin membunuh.”
Mimpi merasakan sebuah dosa besar atas
anak-anak itu. Dialah yang telah merubah mereka.
Dia pula yang telah melupakan satu hal yang paling
berharga milik anak-anak itu; kasih sayang.
Kesedihan mulai menjalar dalam hatinya, wahajah-
nya, hingga tubuhnya hanya bisa terpaku dalam
diam.
“Kau tak perlu merasa bersalah. Kau
memang yang mendidiknya. Tapi bukan lantas Kau
penyebab semuanya. Mereka juga yang bersalah
dan bertanggung jawab atas apa yang mereka
lakukan.”
“Aku pun telah melupakan itu.” Kata Mimpi
semakin tenggelam dalam kesedihannya.
“Kau masih bisa merubahnya,” kata Ibu
Rerumputan menghibur Mimpi. Mimpi pun tergerak
atas ucapan Ibu Rerumputan itu.
“Bagaimana itu?” Tanya Mimpi tak sabar.

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 194


“Bukankah kau pemilik mimpi? Bukankah
Kau pencipta mimpi? Kenapa tak kau ciptakan
mimpi mereka tentang kasih sayang?”
“Contohnya?”
“Kenapa malah Kau bertanya padaku tentang
tugasmu?”
“Aku benar-benar bingung dan sedih.”
“Mimpikan mereka dengan cerita tentang
kebersamaan. Keindahan dalam kebersamaan.”
“Seperti cerita anak-anak pekat itu?”
“Ya. Seperti anak-anak pekat itu.”
“Sekarang mereka diambil anak oleh Bulan.
Mereka tak pekat lagi. Hidupnya pun semakain
baik.”
“Tapi mereka tak pernah kehilangan per-
saudaraannya meskipun mereka telah berubah.”
“Tapi seorang guru telah merubah salah
satunya.”
“Guru itu tak merubahnya. Dia malah
menemukan kasih sayangnya yang telah lama dia
bayangkan bersama istrinya itu. Dia telah men-
ciptakan kasih sayang yang tak dipunyai anak itu
selama ini.”
“Ya.” Jawab Mimpi akhirnya. Mimpi merasa
puas menemukan jawaban atas pertanyaan serigala
itu. Tapi benaknya muncul pertanyaan lain lagi.
Sanggupkah dia mengemban tugasnya yang baru
itu? Pikir Mimpi sambil melayap ke angkasa.

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 195


Tubuhnya terasa ringan. Tapi hatinya semakin
menebal karena kesedihan.
Mimpi beterbangan tanpa tujuan. Dia ingin
menghibur diri atas dosa yang dia lakukan pada
anak-anak rerumputan. Di atas rumah Sang Guru,
Mimpi merendah dan menebarkan mimpi-mimpi
yang indah untuk guru, istri, dan anak barunya itu.
Dia pun melayap hingga ke bulan menyaksikan
anak-anak pekat tidur berangkulan. Mimpi pun
menebarkan mimpi yang indah untuk mereka. Di
setiap orang yang dia jumpai, Mimpi menerbarkan
mimpi yang indah pula. Dia berharap barang yang
berharga milik manusia itu tak pernah hilang
dalam kehidupannya.

***

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 196


Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 197
-
Antologi Cerpen

Suhariyadi

Penerbit
Sanggar Sastra UNIROW Tuban
2011

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 198


ANAK-ANAK PEKAT
Antologi Cerpen
Suhariyadi © 2011

Cover
Chamim “Genthong Miring Art” Sluke, Rembang

Penerbit

SANGGAR SASTRA UNIROW TUBAN

Cetakan I 2011

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 199


KATA PENGANTAR

Apa pun bentuknya sebuah cerita akan lahir


setiap waktu. Saat orang mendengar, melihat,
membaca, atau pun melamunkan sesuatu, cerita
akan selalu hadir. Jika kemudian ditulis dalam
rangkaian kata, kalimat, paragraf, dan wacana yang
utuh, cerita itu barangkali dapat dibagi kepada
sesama. Itulah kenapa cerita pendek tak akan
pernah usai dicipta manusia. Begitu juga cerpen-
cerpen dalam buku ini. Dalam kesederhanaan
penerbitannya, cerpen-cerpen itu diharapkan dapat
terbagi kepada para sahabat yang menyukainya.
Andaikan cerita yang berkelebatan di benak
penulis tak sempat tertangkap, betapa begitu
banyak hal yang bisa dibagi akhirnya lewat begitu
saja. Tak ubahnya seperti pemandangan saat
seseorang menikmatinya melalui mobil berjalan.

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 200


Hanya sesaat. Tak lebih dari gerak slide dari sekian
potongan gambar-gambar yang tak lama usianya.
Apakah ini harapan terlalu tinggi? Entahlah.
Yang pasti antologi ini sudah terlanjur terbit.
Kesederhanaan hanyalah citra. Substansinya ada
pada isinya. Semoga ada manfaatnya, betapa pun
kecilnya itu.

Tuban, Mei 2009


Suhariyadi

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 201


DAFTAR ISI

1
KOTA KEMATIAN

10
MALAIKATKU

41
SEORANG ANAK
YANG BEGITU MENCINTAI
ORANG YANG TAK PERNAH IA JUMPAI.

57
OIDYPUS COMPLEX

66
SEPASANG PILIHAN

81
HARIMAU LAPAR DAN KELINCI MAINAN LELAKI

101
DILEMA
Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 202
136
MALAM INI TERBUAT
DARI TANAH KERING KUBURAN

149
POTONGAN KAKI PEREMPUAN
DI SUDUT-SUDUT KOTA

155
ANAK-ANAK PEKAT

Anak-Anak Pekat - Antologi Cerpen - Suhariyadi 203

Anda mungkin juga menyukai