Anda di halaman 1dari 4

Na Oto

Sekarang aku sedang berpikir, mengapa marga bisa bercabang atau berhubungan dengan
marga lain? Seperti margaku, simamora debataraja, memiliki hubungan dengan purba dan
manalu, atau masih ada marga lain yang aku tak tau. Tidak hanya itu, tenyata beberapa marga
memiliki konflik dengan marga lain atau bisa saja sesama marga seperti marga temanku. Apa
margaku juga ya?
“Pstt. Kak uti, dipanggil opung tuh,” bisik adik sambil menyenggol badanku. Aku pun
menoleh ke arah opung doli jauh tepat di depanku.
“Nunga kelas piga ho, utii?” semua orang menoleh ke arahku.
“Kelas 3 SMA pung,” sambil tersenyum aku menjawab.
“Ehh,,nga anak boru hape pahoppukon,” sambil menyesap tuak di gelasnya. Aku hanya bisa
tersenyum membalas.
“Berarti dikit lagi kau kuliah kan. Tudia ma annon ho?” opung doli bertanya padaku.
“Lanjut ke perguruan tinggi pung, kuliah.”
“Denggan-denggan ma marsiajar da, nga loja natorasmu pasikkolahon hamu. Gabe halak
nahasea, marguna, marsauli,” opung boru berkata setelah menyesap tuaknya.
“Dan ingat, kalau sudah di kota nantinya jangan pernah lupakan kampungmu, bahasamu, dan
agamamu. Kau itu boru toba, walaupun sekarang sudah zaman modern, jangan pernah malu
sama asal-usumu. Ini tegas opung ingatkan pada kalian cucu-cucu opung, tidak hanya si
putri,” semua mendengar kalau sudah diberi nasihat dari opung baru.
Ahh, benar apaku tanya opung aja kali, ya
“Pung, ada yang ingin ku tanya tentang marga kita.”
“Apa itu?” kata opung doli.
“Apa ada cerita di balik panggilan Simamora Naoto?”
“Kenapa kau ingin tau hal itu, apa ada yang memanggilmu begitu?” tanya opung boru.
“Oiya pung, ada. Waktu aku teman mama nanya aku marga apa, ku jawab simamora
nantulang. Trus dia bilang gini, Simamora na oto do manang dang?” adikku tiba-tiba sewot
dan membuat semua orang tertawa karena ia memperagakan dialognya.
“Hagios coba tanya opung, simamora na oto do au pung. Hahaha,” ayah menggoda adikku
hingga pipnya memerah malu. Aksinya lucunya membuat orang yang ada di rumah opung
seketika gemas.
“Sinilah kalian mendekat, biar opung boru yang ceritakan.”
“Boasa ahu, ho do na simamora dison. Mendekat sini biar opung doli yang ceritakan,” kata
opung boru sambil melenggang pergi ke kamar.
“Dah siap? Dengar baik-baik ya, biar tau menjawab kalo ditanya orang lagi, ya kan Hagios.”
“Jadi dulu Simamora itu seorang pedagang garam. Dia sangat ramah dan jujur
dalam berdagang. Berkat sifatnya, banyaklah orang yang sengan membeli dagangannya dan
gak pernah kekurangan pelanggan. Sua-”
“Brarti Simamora kaya kan pung, banyak duitnya,” Hagios tiba-tiba menyela.
“Makanya simamora namanya hehe,” kata ayah bercanda.
“Tapi tetapnya susah dah yang berdagang itu karena hujan. Kalo hujan turun, kuda-kudanya
gamau jalan. Trus bakul tempat garamnya pun dari anyaman daun kelapa jadi pasti basah,”
lanjut opung doli.
“ Jadi dia kemana pung kalo hujan,” kali ini adikku yang perempuan, Eca.
“Emmm, biasanya dia di rumah orang yang di kampong itu lah. Tapi pernah dia nginap di
warung kopi sama dua orang yang juga jualan garam. Yang dua orang ini, diam-diam iri
sama Simamora karena pelanggannya lebih banyak”
“Orang jahattt,” dia menyela lagi. Kali ini dia berdiri, banyak tingkah.
“Isss, diemm. Dengar opung cerita dulu gioss,” geramku. Opung doli hanya bisa geleng-
geleng melihat aku yang memarahinya.
“Malamnya mereka menyarankan agar bergantian jaga sampai pagi tiba. Tapi ditolak si
Simamora, karena menurutnya aman. Namun yang dua ini gak setuju kalau di warung ini
selalu aman. Lalu Simamora beri usul untuk menyembunyikan garam masing-masing. Kedua
orang itu tidak yakin kalau Simamora bisa menyembunyikan garamnya di warung sekecil ini.
Tapi mereka bertaruh, garam siapa yang ditemukan maka ia harus menyerahkan garamnya.”
“Apa kudanya juga, pung?” tanya cucu opung yang lain.
“Ido. Kudanya pun mau diambil, tapi gak berhasil,” jawab opung boru.
“Kenapa?” tanya kami serentak.
“Setelah Simamora menyembunyikan garamnya, dia pun tidur dengan lelap. Saat pagi subuh,
yang dua orang itu pun bergegas mencari garamnya Simamora di dapur, tapi gak ketemu.
Mereka pikir kalau Simamora menyembunyikan garamnya di desa dan mereka pun pergi ke
desa yang tanpa disadari mereka sudah berjalan cukup jauh. Karena Simamora sudah
menunggu terlalu lama, dia pun bersiap pergi saat tukang warung sudah datang dan sedang
menggambil air di sumur. Tukang Warung pun binggung, ai boasa hancur dapurkon.”
“Jadi dimananya pung Simamora menyembunyikan garamnya?”
“Yang dimasukkannya ke sumur, pung?”
“Sebenarnya dia hanya menipu dengan menaruh bakulnya di dekat sumur. Karena sebenarnya
garamnya ada di bakul dekat kudanya. Tapi yang dua orang itu menyebarkan rumor kalau
Simamora menyembunyikan garamnya di sumur. Jadi dipanggillah dia Simamora na oto,”
jawab opung boru.
“YESS! Berarti aku gak simamora na oto!” seru Hagios sambil lompat kegirangan.
“Jadi garam kawannya itu dibawa Simamora lah. Banyak kali lah garamnya,” ujar Eca.
“Itulah kalau jadi orang yang cerdik dan tidak serakah. Coba opung tanya, apa pelajaran yang
dapat kalian dapat dari kisah si Simamora tadi?” tanya opung doli.
“AKU, AKU” Hagios mengangkat satu tangannya.
“Emm, Jadi orang baik, truss gabole irii dan harus pandai. Ya kan, pung?” jawab Hagios
sambil tersenyum.
“Seratus buat Hagios,” ujar kedua opung. Sungguh mereka sudah diambil hati oleh cucunya
yang satu itu.
“Sudah selesai ceritanya kan, sekarang kita tidur yuk sudah malam,” ujar mama yang datang
sambil mengambil segunung selimut tebal.
Suhu di doloksanggul memanglah dingin. Kau takkan bisa menyentuh air disini jika bukan
asli orang sini. Di pagi hari saja kau bisa terlihat seperti mengeluarkan asap dari nafasmu.
Sekarang saja kami sudah diselimuti dengan lima selimut tebal tapi masih terasa dingin
bagiku. Apalagi rumah opung beralas semen. Kemudian aku mulai menutup mata sambil
berpikir, ohhh ada yang kurang.
“Opung, apa hubungan kita dengan purba dan manalu?” tanyaku pada opung doli yang
kebetulan masih di ambang pintu kamarnya.
“Hubungan kerabat, pung. Karena Simamora, Purba, dan Manalu merupakan anak dari Tuan
Debataraja,” jawab opung doli dengan sabar. “Nanti kalau ada yang nanya, simamora aha do
ho inang, simamora debataraja pung, simamora debataraja aha, debataraja marbulang,
marbulang aha, jawablah nahumdimana. Ai idia do kampungmu, di doloksanggul,
sosorgoting pung,” lanjut opung.
“Ohhhh.”
“Sudah? Ada lagi pertanyaanmu pung?” tanya opung doli.
“Udah, pung. Mauliate, pung.”
“Gapapa, namanya juga belajar harus banyak bertanya. Supaya tidak lupa dengan asal-usul
diri,” ujar opung doli sambil masuk ke kamarnya.
Ahhh, lega. Semua pertanyaan tentang margaku sudah terjawab. Tinggal bertanya punya
temanku nanti saat masuk sekolah. Sekarang aku bisa tidur, selamat malam dunia.

Anda mungkin juga menyukai