Anda di halaman 1dari 15

Air Terjun Bayang Sani

Suasana pagi yang cerah, semilir angin membelai wajahku dengan lembut,
langit sebiru laut bersih tanpa adanya awan yang menghiasi langit kini. Sang
matahari memancarkan cahayanya kepada bumi namun ini sangat berlebihan
sampai ku memandi keringat karenanya. Ah, apa karena wilayah ini berada di
dekat pantai makanya matahari begitu garang memancarkan cahayanya? Ya,
karena aku sekarang berada di kampungku.

Kampung ku di sebut Bayang. Terletak di wilayah Pesisir Selatan, Sumatera


Barat. Kota kelahiran bundaku ini masih sangat asri, udaranya yang masih
bersih membuat ku betah di sini.Namun karena wilayah tempat tinggalku
dengan kampungku jauh, aku jarang datang ke sini.Belum lagi saudara
sepupuku banyak di sini, dan masyarakatnya juga ramah, siapa yang tidak betah
di daerah ini.

Karena hari ini libur panjang setelah berakhirnya ujian semester naik kelas 9,
aku sekarang berada di rumah kampungku, terkapar sambil menikmati
hembusan kipas angin. Tapi ini tak cukup bagiku untuk mengeringkan keringat
di badanku. “haaa panas sekali.” Ucapku sambil mengkibaskan bajuku. Ku
melihat jam yang tertempel di dinding, jam tersebut menunjukkan angka satu,
segera ku bangkit dari ritual pendinginan ku lalu pergi keluar menuju rumah
kakak sepupu ku yang tak jauh dari rumah. Setelah sampai di depan pintu
rumahnya aku pun berteriak sedikit keras “ kak Zola!! kakak di rumahh gaa?!!”
ucapku sambil melihat ke jendela ada penghuni rumah ini atau tidak. “Ya!!
Kakak di rumah langsung masuk ke dalam aja ?!!” teriak Kak Zola dari dalam
rumahnya, dengan cepat ku masuk ke rumahnya dan menuju ke lantai atas.
Sebelum itu aku menyapa abang sepupu ku Bang Rendy, Bang Yeri dan Bang
Yori. Setelah ku tiba di atas ku melihat kakak ku sedang berbincang dengan
temannya.
“ ku mendengar ibuku bahwa ada korban tenggelam lagi di air terjun itu.” Ucap
salah satu teman kakak ku yang bernama Puji. “korban tenggelam? Kok bisa?”
ucapku sambil duduk di sebelah kakakku. “ iya ada cowok tenggelam lagi di
sana, kata orang penjaga di sana dia masih berenang lewat dari jam 6, meski
udah di kasih tau tapi si cowo ini malah ga percaya dan yaa.. tenggelam.” Jelas
kak zola kepada ku. Ku mengerinyit bingung “ emang kenapa kalau kita
berenang di atas jam 6??” tanya ku, Puji menjawabnya “ ga boleh pio, di sana
ada penjaganya, penjaganya juga ga sembarangan. Kalau kata orang yang bisa
melihat seperti itu naga putih besar, tiap habis maghrib dia muncul lalu di
kelilingi mba kunti.” Aku pun yang mendengarnya kaget, naga putih? Mba
kunti? Apa mereka benar benar ada?

“ ah apakah benar itu? Masa kalian percaya akan hal itu.” ucapku sambil
membayangkan kalau itu memang ada, aku bersumpah untuk membuktikannya.
“ teman kakak dia korban selamat, pas dia tenggelam dia merasa ada yang
menarik kakinya ke dalam pas dia melihat ke bawah ternyata ada mba kunti gigi
panjang narik narik dia ke bawah.” Jelas kak Zola “ untung teman Kak Zola itu
berhasil di selamatkan oleh temannya, dan ya pas di liat kakinya yang di tarik
tadi berdarah, kayak bekas cakar tapi panjang.” Timpal puji, ku mendengarnya
merasa merinding mendengarnya “ iyuhh, apa setannya tidak memotong dulu
kukunya? Bunda saja kukunya panjang sedikit pas mencubit ku saja membiru
nih.” Ucapku sambil memperlihatkan bekas cubitan bunda kemarin yang
membiru di lengan atas ku. Tiba-tiba saja Kak Zola menyentil keningku
sementara Puji tertawa “ Astagfirullah pioo mana ada setan memotong kukunya,
memegang alat potong kuku saja tidak bisa.” Ucap Kak Zola, sementara aku
hanya menyengir.

“ ah iya terus cowo itu kapan di temukan mayatnya?” tanya ku, Puji yang
sepelantaran dengan ku menjawab “ kata orang yang ronda kesana mayatnya
ditemukan di celah batu besar itu,sangkut disana dengan keadaan mayatnya
pucat, bibirnya menganga dan bewarna biru.” Perkataan Puji membuatku
merinding “ cowonya pasti ga orang sini, karena nekat sekali ckckck.” Kak Zola
tertawa “ dia turis lokal orang Jambi, sayang banget padahal dia ganteng banget
tau, barusan lihat facebooknya.” Kata Kak Zola dengan sengaja mengerucutkan
bibirnya. Aku dan Puji hanya menggelengkan kepala melihat tingkahnya, Dasar
penggila lelaki.

Tak terasa matahari sudah mulai menenggelamkan dirinya perlahan ke arah


Barat, berencana tidur dengan kakaku, namun ku harus menemui bunda dahulu
ke rumah. Setelah sampai di depan pintu tak lupa membaca salam “
Assalammualaikum.”

“ Waalaikummsalam.” Ucap yang ada di dalam rumah, sekarang banyak sekali


keluarga ku menginap di kampung ada mama papa atau tante dan omku, bunda,
kedua adikku, 5 saudara sepupu ku yang merupakan anak dari mama, dan
saudara bunda lainnya yang mengunjungi rumah. “ makan dulu pio, habis itu
baru pergi ke rumah kak zola.” Ucap bunda yang sepertinya tau isi pemikiranku.
Aku pun mengangguk lalu ikut makan bersama.

Langit sudah menghitam, bulan menampilkan cahaya indahnya ke seluruh


penjuru bumi. Sesudahnya aku mengisi perutku yang kosong lalu aku pergi
kembali ke rumah kakak sepupu ku. Setelah sampai di depan rumahnya, banyak
sekali temannya yang duduk di depan rumahnya, ada Kak Tiara, Kak Rani, Puji,
dan Kak Putri. Mereka sepertinya sedang serius membicarakan sesuatu. “ haii!!
Vio paling comell datang!” ucapku mengalihkan pembicaraan mereka. Kakak
ku mendelik kesal, sementara temannya hanya tertawa ringan. “ comel
darimana?? Gaya kek laki begini mana ada comel.” Ucap Zola membuat para
temannya tertawa, sementara aku hanya melihatnya kesal.
“Sudah – sudah pio sini duduk kita lagi cerita soal air terjun bayang sani.” Ucap
Kak Rani kepadaku, lalu segera ku duduk di tempat kursi yang kosong. “ cerita
apalagi tentang air terjun itu?” tanyaku kepada mereka. “ begini dari yang aku
dengar dari ibu kakak, konon air terjun itu tempat para ratu atau putri kolonial
Belanda mandi bersama, tapi kalau soal naga putih beda versi sama ibu kakak.
Kata ibu kakak harimau putih yang menjaga dan di belakang air terjun itu ada
goa. Nah sampai sekarang orang orang belum berhasil sampai ke sana.”

Aku mengerinyit bingung, goa?? Wah ini semakin menarik. “ eh pio bukannya
bisa liat yang begituan ga si???” Tanya Kak Zola kepadaku. Aku hanya
mengangguk sambil mengusap tengkuk “ iyaa ku bisa melihatnya sedikit.”
Seketika semua menatapku dengan pandangan yang tidak ku mengerti “jangan
bilang kalau pio bakal jadi tumbal buat liat liat di sana.” Ucap ku sambil
menatap mereka yang senyum lebar “ Betul sekali sekarang mau ga ke sana??
Lagian ngeronda sekarang Bang Yeri, pasti dia nongkrong di sana.” Ucap Kak
Zola yang langsung di setuju oleh temannya, “ gak, gak, gak, gak mau! Kalau
beneran ada gimana?? Please deh ya cukup killa kunti merah yang jadi
temanku, kalau mereka juga mau minta teman denganku?? Bisa habis aku
kakk.” Ucapku dengan nada kesal. “ ah ayolah.. kan cuman lihat bener apa
engganya, liat doang dari atas ga kebawah kok.” Kata Kak Tiara yang memelas
kepadaku, aku tetap menolaknya. “ engga-engga, ini udah jam sembilan wahai
kakakku tercinta dan ku sayangi, kalau ada kenapa napa atau di tarik sama mba
mba sana siapa yang mau nolongin? Jangan mengada – ada deh yaa.” Segala
bujuk – membujuk mereka lakukan padaku, akhirnya mau tidak mau ku pergi
dengan mereka, tetapi setelah ini mereka akan membelikanku mie kwetiau dua
kotak. Lumayanlah..
Setelah menempuh jarak dengan menggunakan motor yang membutuhkan
waktu 30 menit untuk sampai kesana. Aku yang di bonceng oleh Kak Zola, Kak
Tiara dengan Kak Putri dan Puji membawa motornya sendiri. Kami
memakirkan motor di depan pos ronda yang sekarang para pria dewasa sedang
menikmati kopi hangat. Dan mereka melihat kami “ kalian ngapain di sini??
anak gadis ga boleh keluyuran malam – malam.” Sosok badan tinggi dan tegap
menghampiri kami, rambut sengaja di panjangkan bagian depan. “ ini bang pio
penasaran kan katanya ada mba mba kunti sama naga putih tuh, karena pio bisa
melihat kan makanya ke sini.” ucap Kak Zola membuatku membelalak. “ HEH!
ASRAGFITULLAH ANDA MENYEBARKAN FITNAH BESAR YA
ANANDA! YANG AJAK SAYA KAN PARA ANANDA SEMUA!” teriak ku
yang membuat Kak Zola dan lainnya menutup telinga. “ ya allah pio suaramu
ya! Iya iya kami yang ngajak ke sini karena kami penasaran.” Kata Kak Tiara,
sementara aku hanya menyengir. Bang Yeri, sepupuku hanya memijit pangkal
hidungnya melihat kami. “kalian mau saja dibohongi, mana ada yang begituan,
abang aja dari tadi di sini ga diganggu tuh.”

Aku mendengar apa yang dikatakan oleh Bang Yeri langsung ku memandang ke
sekeliling ku. Pohon yang tinggi dan lebat mengelilingi kami, cahaya lampu
yang masih kurang untuk menerangi tempat yang seluas ini. Belum lagi suara
air terjun yang membuat suasana tenang tapi membuat bulu kudukku berdiri. Ku
tatap lagi mereka yang sedang berdebat benar atau tidak sosok itu, lalu menatap
lagi sekeliling terutama jalan menuju air terjun. Sekilas ada sosok baju putih
mengintip dari pohon besar. Dan setelah ku pertajam lagi penglihatanku,
ternyata memang sosok putih rambutnya sepanjang tumit, mulutnya
mengeluarkan darah sedang memperhatikan kami. Sedikit lama aku menatapnya
hingga ia tau aku bisa melihatnya. Bukan satu lagi namun mereka bermunculan
dengan banyak, ada yang melayang, berdiri di atas batu dan duduk di ranting
pohon.
Dengan cepat ku mengalihkan pandangan ku ke bawah langsung merapalkan
ayat kursi. Semuanya langsung menatap ku khawatir karena memabaca ayat
kursi makin keras dan tangan bergemetar. “ hey pio.. are you okay, kamu
melihat sesuatu?” ucap Kak Zola sambil memelukku untuk menenangkanku.
Dengan nada pelan namun mereka mendengarku “mereka memang ada, salah
satunya mba kun itu. Dan mereka lagi memantau kita.” Kami menunduk dan
merapalkan doa bersama. “ sudah – sudah batalkan saja niat kalian yang
penasaran itu, pio udah melihatnya bahkan dia ketakutan sekarang, lebih baik
kalian pulang.” Ucap Bang Yeri dan langsung disetujui oleh kami.

Kami pun pulang tak lupa mie kwetiau 3 buah kotak di genggamanku, sebagai
permintaan maaf mereka menambahkan satu kotak lagi. Sesampainya aku di
rumah Kak Zola aku terlebih dahulu ke rumah membagikan 2 buah kwetiau lagi
kepada bunda dan adikku, lalu kembali lagi ke rumah Kak Zola dan memakan
mie kwetiau.

Matahari sudah menampakkan dirinya, aku yang baru mandi lalu bergegas
kembali ke rumah untuk makan. Sedang asik makan adikku, Radit berbicara
padaku. “ kak, nanti kami pergi ke air terjun lhoo.. kakak ikut kan?” aku
mendengar itu langsung menggeleng kepala cepat, membuat adikku bingung.
“lho? Kenapa kakak ga ikut? Jarang lho kita mandi air terjun, lagian di bukit ga
ada air terjun kak, sia – sia kalau kakak ga ikut nantinya, ajak juga kak Zola
pasti dia mau kok.” Ucap adikku yang menatapku dengan berbinar. aku berpikir
sejenak, adikku berharap padaku tapi karena melihat mba kun kemarin aku
sedikit takut buat ke sana. “ ayolah kak.. temani radit berenang di sana, ya ya
yaaa.” Dengan berat hati aku pun mengiyakan, toh kita mandi pada sore hari,
mungkin mereka tidak akan muncul?
Hari menunjukkan pukul 4 sore, aku beserta keluarga besarku bersiap untuk
pergi ke air terjun. Kami menggunakan dua mobil, aku dan Kak Zola berada di
mobil kedua dan duduk di tengah tengah mobil. Sesekali melirik kakak ku yang
asik main handphone, kakaku santai tanpa cemas memikirkan kejadian kemarin,
sedangkan aku meremas jemariku yang sudah berkeringat, ah aku menyesal
mengikuti kemarin malam, coba aku tidak menyutujuinya, aku tidak akan
secemas ini. Ck sudah resiko seseorang bisa melihat mahluk lain. “ tidak usah
khawatir, mereka tidak akan memunculkan diri, di sana ramai mereka benci
keramaian jadi tidak usah cemas pio.” Aku mendengar dari Kak Zola, seakan
dia tau apa yang aku pikirkan, mataku menatap sinis kearahnya. “ ck, ya karena
kamu tidak bisa melihatnya kak, coba kau jadi aku, kau pasti tiap hari teriak
ketakutan, lari terpontang – panting dan teriak kesetanan.” Kak Zola bergidik
ngeri “ dan untung aku tidak bisa melihat mereka, karena kalau aku bisa aku
bakal seperti orang gila berbicara dengan angin.” Ucapnya sambil tertawa
ringan, aku mendengarnya hanya diam, malas meladeni. Toh betul juga, bagi
yang bisa melihat mahluk seperti mereka seperti berbicara dengan orang,
sementara bagi yang tidak bisa melihat pasti berpikiran yang tidak – tidak.

Tidak butuh waktu lama, sekitar 30 menit untuk sampai kesana. Segera ku turun
dari mobil dan mengambil kantong plastik besar yang berisi baju dan
perlengkapan ku. Melihat ke arah tempat air terjun itu yang sangat ramai
dikunjungi oleh masyarakat, dari anak – anak, remaja yang seumuran denganku
sampai dewasa. Setelah semua keluargaku turun dari mobil, lalu kami berjalan
menuruni tangga, setelah sampai di bawah aku menatap air terjun yang tidak
jauh dengan ku. Air nya yang mengalir sangat deras, pohon pohon besar yang
mendampinginya, tak lupa airnya yang jernih membuat siapapun tidak sabar
menceburkan diri ke dalam air yang menyejukkan.

Segera kami mencari kedai tempat duduk yang di buat oleh masyarakat sini. aku
mengingat kejadian semalam kemarin mba kun yang mengerikan dan banyak itu
tapi setelah ku lihat lagi sekitar hanya hawa mereka yang terasa namun mereka
tidak menampakkan dirinya. Tapi tidak apa – apa selagi mereka tidak
menampakkan dirinya, aku tidak merasa terusik. “ ayo kak! Dit tidak sabar
ingin berenang.” Ucap adikku sambil menarik tanganku. “ iya iya sebentar kita
cari dulu ban pelampung dulu biar kamu tidak tenggelam.” Ucapku sambil
memegang tangan adikku menuntun dia supaya tidak terpeleset, disini sangat
licin bahkan aku hampir jatuh karena pijakan licin. Setelah merental pelampung
ban buat diriku dan adekku, aku pun bergegas ke tepi air terjun itu, karena
keluarga ku sudah mulai mencemplungkan diri mereka kedalam air itu, dengan
perlahan aku meletakan ban di atas air itu lalu dengan pasti aku masuk ke
tengah ban itu lalu berenang menggunakan ban. Diingatkan aku kurang pandai
dalam berenang.

Kak Zola yang melihatku berenang memakai ban mentertawaiku. “ hahahaha ya


allah pio, liat badanmu ndut, badanmu sebesar gini masih memakai
pelampung.” Aku mendengar itu hanya memutar mata malas. “ aku bisa
berenang tapi ini sangat dalam, bahkan dari tadi aku mencari pijakan di bawah
ini belum sampai.” Kak Zola mendatangi ku lalu memegang tanganku. “ karena
kau memakai pelampung bodoh! Makanya tidak sampai. Sekarang pegang
tangan kakak, di sini bisa kamu pijak ada batu batu.” Aku pun mendengar itu
dengan ragu memegang tangan kakakku erat, menenggelamkan diri sebentar
lalu keluar dengan memeluk sang kakak, ban ku pun melayang di atas air. “
padahal merentalnya mahal 20ribu.” Gumam ku “ ya udah sekarang berjalan
maju ke sini lalu pijak di bawah.” Aku pun mengangguk lalu melakukan apa
yang di bilang oleh kakak. Dan ternyata benar ada batu besar yang tersusun rapi
di bawah. “ nah mulai dari sini sampai ke ujung tepi itu banyak batuan yang
bisa kamu pijakan, tetapi jangan sampai ke tengah atau kamu akan tenggelam.”
Aku hanya mengangguk, lalu mulai berenang dengan air setara dengan dada ku,
tidak dalam tapi mana tau di tengah tengah sana.
Keluarga ku sedang asik berfoto di tepi dinding air terjun, membiarkan air
menurun deras ke kepala mereka, katanya itu obat terapi menghilangkan sakit
kepala. Sementara anak – anaknya ada yang berenang di tepi, ada yang makan
di kedai dan untuk keponakan ku yang kecil bermain di tempat dangkal, karena
itu khusus anak kecil. Aku dan para kakakku yang berenang di tepi sesekali
menyipratkan air, lalu berfoto untuk membuat kenangan, sesekali kakakku
berenang ke tengah untuk mengambil foto, kecuali aku. Karena aku masih
sayang nyawa dan tidak bertekad untuk berenang ke tengah.

Satu setengah jam berlalu, aku lelah dan duduk di bawah pohon. Sedang
asiknya menghirup udara yang segar, seketika aku merasakan hawa yang panas
dingin, aku melihat sekeliling tidak ada yang membuat ku curiga, sampai
dimana aku menatap pohon besar rindang di sisi air terjun, aku melihat harimau
putih dengan seorang pria yang berambut hitam, tapi badannya tegap berisi,
berkumis tipis, memakai baju serba hitam dengan membawa kris yang melekat
di pinggangnya dan kopiah yang bertengger diatas kepalanya, duduk di atas
ranting pohon yang kokoh yang mengelus bulu harimau itu dengan sayang, aku
terus melihatnya yang sedari tadi melihat ke bawah yang dimana orang- orang
berenang. Aku terus melihatnya sampai pria menatap ku, pria itu menatap ku
mengerinyitkan keningnya, aku hanya tersenyum tipis sambil membungkuk
sedikit lalu menatap pria itu lagi. Sang pria itu terkejut karena terlihat dari
ekspersi wajahnya, lalu tersenyum lalu membalas membungkuk sedikit. “ dia itu
jarang senyum lho, kenapa dia murah tersenyum kepadamu vi?” aku sontak
kaget karena ada yang berbicara tiba tiba dengan ku lalu mengusap dadaku
menetralkan detak jantungku lalu menatap pria itu lagi yang asik melihat ke
bawah, seperti mengawasi setiap orang orang yang berenang disini. “ dia siapa
Dan? Apa dia yang menjaga air terjun ini?” ucapku pelan kepada penjagaku,
karena di sini tempat umum, nanti aku bakal di kira gila. Namanya Jidan
biasanya ku panggil Idan. Dia ditugaskan oleh datuk menjagaku selama ini saat
mata batinku ini sudah terbuka. “ iya, dia penjaga di sini dan dia teman
seperjuanganku, yah menjaga di sini supaya para arwah ratu dan putri kolonial
yang dia bunuh di sini. jadi karena dia bertanggung jawab atas semua
pembunuhan dan juga dia berkuasa di wilayah ini maka di kekalkan arwahnya
bersama harimau putih sebagai penjaga setianya.” Aku menganga mendengar
cerita dari jidan. Ya jidan persis memakai sama dengan pria itu hanya saja
Jidan memakai delta di kepalanya. “ jadi mba mba kun itu..” ucapku
mendongak ke atas melihat jidan yang berdiri sambil menatap sahabat lamanya
yang sepertinya ingin menghampiri kami. “ iya mereka arwah wanita kolonial
yang di bunuh oleh dia.” Aku melihat pria itu lagi dan terkejut dia tidak di atas
pohon itu. Aku menoleh ke kanan kiri kemana pria itu pergi.

“ mencari aku cantik?” seketika aku mendongak ke atas, pria itu duduk di atas
ranting besar itu, menatap ku dengan sorotan tajam seperti elang, membuat ku
ketakutan. “ hei jaga matamu Raden, dia ketakutan.” Ucap Jidan membuat sang
empu itu turun dari pohon yang tinggi itu. “ mata ku memang seperti itu Jidan.”
Ucapnya, aku mendongak lagi menatap wajah pria itu lebih detail, wajahnya
seperti tidak asli wajah pribumi di sini, hidungnya mancung, matanya bewarna
coklat terang dan tak lupa rahangnya tegas, aku tebak dia keturunan Belanda,
tidak seperti Jidan mata yang sipit seperti khas orang Jepang. “ aku keturunan
Belanda nona, ibuku asli orang sini sementara bapa ku tentara Belanda.” Ah dia
sepertinya membaca pikiranku, aku mengangguk saja sambil tersenyum lalu
beralih lagi melihat keluarga ku sedang asik berenang. “ apa kabarmu Raden?
Apa tugasmu berjalan dengan lancar?” ucap Jidan yang langsung membuat
Raden menghela nafas kasar, aku hanya mendengar percakapan mereka “ para
manusia zaman sekarang banyak sekali yang membantah, membuang sampah
sembarangan, membuat tempatku yang suci ini kotor karena ulah mereka.” Aku
yang mendengarnya meringis, aku sebagai manusia hidup di zaman ini merasa
tersinggung, malu. “ dan juga mereka tidak mendengarkan orang yang telah
lama di sini, berenang lewat jam 6, ya rasakan para wanita itu menarik mereka
untuk di jadikan santapan oleh mereka.” Ucap Raden yang membuat ku
merinding mendengarnya. “ namanya juga jiwa penasaran Raden.” Ucap Jidan
terkekeh pelan. Raden mendengus lalu menatap ku “ lalu gadis ini, anak siapa?
Perasaan kau ditugaskan untuk Sultan Rajo Ameh.” Jidan mengangguk
mengiyakan “ iya karena dia generasi 3 dari Sultan jadi cucu besarnya
menyuruhku menjaganya, karena dia bisa melihat kita takut cicit berharganya
ini hilang.” Mendengar hal tersebut sontak ku menoleh lalu menatap sinis
kepada Jidan. “ jangan berlebihan Dan.” Raden hanya terkekeh sebentar sontak
Jidan membulatkan matanya. “ Den, kau terkekeh? Wah kau bisa terkekeh
ternyata.” Raden mendengar hal itu menatap Jidan dengan sorotan tajam “
bisalah kenapa tidak ! lagian gadis ini mirip dengan Mariana, perempuan kecil
itu persis wajahnya dengan dia.” Aku mendengar itu langsung mendongak dan
mengangguk setuju. “ itu nenekku tuan, orang banyak aku mirip dengannya saat
neneku masih gadis.” Ucapku, Raden tersenyum tipis “ iya dia mirip
denganmu, persis cuman badannya tidak sebesar dirimu nak.” Ucap Raden
membuat ku mendecak kesal, sementara Jidan tertawa “ penghinaan fisik.”
Gumam ku membuat Jidan tertawa terbahak sementara Raden hanya
menggeleng kepala. “ jangan terlalu lama di sini, cuaca sedang tidak baik dan
jam segini rawan, mereka akan datang.” Ucap Raden melihat ke atas puncak air
terjun, aku dan Jidan ikut melihat kearah sana, dimana ‘mba kun’ itu siap siap
terjun untuk menyelam seperti ingin menangkap kaki yang berenang di sana dan
menjadikan santapan mereka.

“ VIO! AYO PULANG SEBENTAR LAGI MAGHRIB ?!” teriak bunda yang
sudah di seberang sana, sontak aku pun berdiri, sebelum itu aku berpamitan
kepada Raden. “ tuan aku pulang dulu, aku merasa tersanjung bisa melihat mu
secara langsung.” Ucapku sambil membungkuk badan ku sedikit. “ tidak
masalah nona, aku berterima kasih kepadamu bisa membawa teman
seperjuanganku ke sini. datanglah lain hari, aku akan senang jika cucu Mariana
ini sering ke air terjun ini.” Ucap Raden dengan senyumnya. Aku tersenyum “
baiklah aku pulang dulu ayo Dan.” Aku pun berdiri dan berjalan menyusul
bunda yang duduk di kedai. “ jaga wilayahmu Raden, selamat tinggal.” Raden
mengangguk . “ jaga cucu Mariana Jidan, hati- hati dan selamat tinggal.”

Aku berjalan dengan hati – hati sampai aku dimana melihat ibu – ibu kesusahan
mengambil kainnya yang mengapung di tengah air terjun itu. Dengan inisiatif
ku menolong ibu itu yang mencoba meraih kainnya sementara tangan kirinya
memeluk batu besar. Aku mengambil ban di tepi kolam, “ apa yang ingin kau
lakukan vi? Hari sudah mulai malam, Raden sudah mengingatkan untuk tidak
masuk lagi vi.” Ucap Jidan dengan nada tegas. “ aku ingin menolong ibu itu
Dan, dia kesusahan mengambil kainnya, ada ban ini aku bakal selamat.”
Ucapku dan langsung berenang memakai ban dan berenang menuju ibu itu.
“biarkan aku membantu tan.” Aku pun dengan berani berenang menuju ke
tengah air terjun yang deras dan mengambil kain itu lalu ketika ku berbalik tiba
tiba ban ku terbalik. Seketika aku berusaha buat memunculkan kepala keatas.

“ TOLONG?! ADA YANG TENGGELAM!!” aku masih bisa mendengarnya.


Berusaha mengangkat tanganku keatas. Tiba – tiba ada yang menarikku
kebawah, aku pun melihat kebawah lalu melotot “ sial, aku jadi korban
selanjutnya.” Dan seketika semua itu gelap.
Uhukk.. uhukkk

Aku mengeluarkan air yang ada di dalam tubuhku, mengambil udara sebanyak
mungkin. Mataku sayu berusaha melihat ke sekitar dimana aku sudah di kamar,
dengan banyaknya tetangga datang kerumah. Segera bunda mengambil minum
untukku. “ ini minum dulu, ya allah pio udah tau tidak bisa berenang kenapa
malah berenang?” aku mendengar hal itu hanya menyengir meski badanku
terasa sangat panas sekarang. “ hanya membantu bunda.. lagian ibu itu
kesusahan jadi tidak salahnya menolong akkh.” Ucapku setelah menggerakkan
sedikit kaki kanan ku yang begitu perih. “ kakimu terluka kak, sepertinya itu
terkena goresan batu di bawah.” Ucap adikku , aku membelalak segera melihat
kaki kananku yang di perban, aku menatap sedih kakiku yang malang itu.
Padahal itu hasil cakaran kukunya mba kun. “ kamu udah aku peringatkan vi,
tapi kamu malah mengacuhkanku.” Ucap Jidan sambil menatapku tajam, aku
mendengarnya hanya tersenyum. “ lalu bunda, siapa yang menolongku??” tanya
ku kepada bunda. “ ada laki – laki menolongmu tadi sepertinya warga sini.” aku
hanya mengangguk saja. “ Raden yang menolongmu vi, kau tau aku dimarahi
oleh dia karena aku lamban menjagamu.” Aku berusaha menahan tawaku
melihat muka kesalnya Jidan ini. “ pio kenapa kamu tertawa?” akhirnya aku
melepas tertawa ku setelah bunda menanyakan. “ ahhahaha itu Jidan bunda dia
mengadu dia dimarahi oleh temannya, terus sekarang dia marah kepadaku liat
mukanya itu lucu sekali haahaha.” Ucapku sambil tertawa, bunda melihatku
hanya menggelengkan kepala. “ jangan tertawa, istirahat sekarang dan ceritakan
pada bunda apa yang terjadi.” Ucap bunda yang membuat aku bingung, tau
anaknya ini terlihat kebingungan, bunda tersenyum kepadaku. “ kamu melihat
harimau putihkan?” tanya bunda langsung membuatku terkejut. “ bunda .. kok
tau??” bunda hanya mengusap rambutku. “istirahatlah dahulu, baru bunda
ceritakan semuanya.”
Setelah beberapa hari berlalu, luka yang ada di kakiku sudah mulai membaik.
Jidan bilang bahwa luka itu hasil dari cakaran mba kun saat Raden menarikku
ke atas. Melihat bunda sedang asik tiduran sambil bermain handphonya lalu ku
mendekat ke bunda.

“bunda.” Panggil ku, bunda menoleh ke arahku dan menatap ku bingung. “ iya
kak, kenapa?” aku pun duduk di samping bunda. “ bun, pio mau nanya, bunda
kok tau ada harimau putih di air terjun itu?” tanya ku, bunda yang sedari tidur
lalu mengubah posisinya menjadi duduk. “ ya mitos- mitos orang sini dari dulu,
ada yang bilang arwahnya ratu kolonial Belanda, ada yang pernah melihat naga
putih berenang di sana, dan ada harimau putih yang suka duduk di ranting
pohon dekat air terjun itu. Saat kakak melihat lama ke arah pohon itu, Bunda
kamu lagi ngelamun, eh di liat – liat lagi kamu seperti berbincang dengan
seseorang.” Ucap bunda yang membuatku tersenyum tipis sambil mengusap
tengkuk belakang . “ itu bun hehehe emang ada sebenarnya, dari mba kun alias
arwah putri belanda, harimau putih tapi ku belum lihat naga putih sih bun.”
Ucapku, bunda langsung terkejut lalu memegang kedua bahuku. “ kak, terus
kamu berbicara sama siapa saat itu?” aku menatap bunda bingung “ aku
berbicara sama pemilik harimau putih itu bun, namanya Raden. Dia
seperjuangan sama Jidan. Orangnya baik kok bun, malah dia tau nenek lho.
Katanya aku mirip dengan nenek saat waktu gadis.” Ceritaku pada bunda,
bunda hanya menghela nafas dan menurunkan tangannya di bahuku. “ coba
tanya sama nenek deh mana tau dia masih ingat.” Kata bunda yang langsung ku
menyetujuinya.

Lalu ku mencari nenekku yang ternyata sedang baru saja pulang dari rumah
tetangga. “ eh nenek, nek vio mau nanya dong boleh?” ucapku, neneku
mengerinyitkan keningnya nenekku berjalan ke sofa dan duduk. “ boleh mau
tanya apa?” aku pun langsung duduk di bawah lantai dekat kaki nenekku.
“nenek, vio pas ke air terjun, vio ketemu sama seseorang. Katanya aku mirip
dengan nenek waktu masih gadis.” Ucapku membuat nenekku terkekeh. “iya
mirip tapi lebih cantikan nenek si hahaha.. emang siapa yang kamu ketemui?”
ucap nenekku sambil mengelus pucuk rambutku. “ namanya Raden nek,
temannya Jidan lhoo nek.” Ucapku membuat neneku membulatkan matanya.
“kamu sudah ketemu sama dia?? Bagaimana bisa?” ucap nenekku, aku pun
hanya tertawa keras mendengarnya. “ nenek ingat cucumu ini bisa melihat
mahluk yang seperti itu.” Nenek ku yang mendengarnya hanya mendengus.
“namanya juga udah tua nak, lupa udah maklum.” Aku hanya tersenyum.

“ tapi nenek bilang jangan pernah ceritakan. Biarlah kamu yang melihat jangan
ada yang lain. Itu akan menganggu mereka terutama Raden. Kalau ada yang
menanyakan tentang apa yang terjadi sama kamu cukup kamu bilang tenggelam
karena kesalahan mu sendiri.” Aku mendengarkannya hanya mengangguk
mengerti. “ tapi nek, kan udah jadi mitos di sini. sebagian pasti ada yang
percaya.” Ucapku, nenekku hanya tersenyum. “ iya hanya mitos, dan tetap akan
jadi mitos bagi manusia seperti kami. Tapi untuk seperti kamu pi, cukup tau saja
ya. Lagian kalau semuanya percaya nanti air terjun itu sepi karena cerita itu.
Biarlah mitos masyarakat di sini tetap menjadi cerita dongeng di masyarakat.”
Ucap nenekku. Aku berpikir betul juga, biarlah aku yang tau kalau semuanya
tau kasihan juga kan orang yaang bekerja di sana tidak dapat penghasilan
nantinya.

“ baiklah nek aku tidak menceritakan ke semua orang.” Ucapku membuat


neneku mengecup pipi ku dengan sayang. “ nah sekarang ceritakan bagaimana
kamu bertemu dengan Raden.” Kata nenek. Aku pun menceritakan bagaimana
aku bertemu dengannya yang ternyata teman Jidan. Setelah kejadian itu,
masyarakat kampungku menanyakan apa yang terjadi, aku hanya menjawab
karena kesalahan ku sendiri yang memaksa untuk berenang, bukan hal yang lain
seperti mitos yang mereka dengar.

Anda mungkin juga menyukai