Anda di halaman 1dari 51

SI JUNDAI LUBUAK PUSARO

BAGIAN 2
“Allahu Akbar.. Allahu Akbar.. Allahu Akbar.. Laa illaha
ilallah.. wallahu akbar.. Allahu Akbar walillah ilham”

Warga kampung mulai keluar dari rumah masing


masing, berjalan di sepanjang jalan desa dengan baju baru
pagi itu.

Hari ini adalah idul fitri, hari yang dinantikan seluruh


umat muslim dunia setelah sebulan lamanya berpuasa. Wajah
wajah ceria anak anak yang mengenakan baju baru, para
perantau yang pulang kampung dengan cerita suksesnya di
tanah orang dan para pemuda pemudi yang berkumpul
kumpul memenuhi sudut desa hingga ke mushola kampung.

Semua terlihat bergembira dan bersuka cita kecuali di


satu rumah.. rumah kakek. Saat semua orang mempersiapkan
baju baru, rendang, ketupat dan lain lainnya, kami sekeluarga
saat itu mempersiapkan acara pemakaman untuk Bobi dan
Nizar.

Kebetulan rumah kakek berada di jalur menuju


mushola kampung, dan setiap orang yang lewat
menyempatkan dirinya untuk singgah ke rumah kakek untuk
meyampaikan bela sungkawanya kepada kami.

Hanya kakek, Pak Panji dan ayahku yang masih


memiliki tenaga untuk menjawab dan menerima tetangga
yang datang. Sedangkan sisanya sudah terduduk lemas akibat
menangis sepanjang malam dan tidak tidur. Semua rendang,
cemilan, kue dan semacamnya yang dengan semanagat
dimasak tante tanteku dan nenek dilupakan begitu saja.

Tidak ada hari raya untuk kami tahun itu..

Atas permintaan kakek juga, kepala Nizar ditutup


sedemikian rupa agar tidak terjadi fitnah di kalangan
masyarakat. Rencananya pemakaman akan dilakukan setelah
sholat ied dilaksanakan.

Suara takbir yang menggema pagi itu membangkitkan


lagi rasa sakit pada tante Rina dan tante Lisa. Mereka mulai
meracau tentang lebaran lebaran tahun lalu dimana anak anak
mereka begitu semangat dengan baju baru dan mainan yang
mereka punya menyambut hari raya. Tidak ada yang bisa
dilakukan keluargaku yang lain kecuali meminta keduanya
untuk sabar dan beristighfar.
Sekitar jam 9 pagi, setelah khatib pengganti kakek
menyelesaikan khutbah idul fitri, kakek naik ke atas mimbar
untuk mengumumkan meninggalnya kedua cucu tercintanya.
Kakek lalu memohon jamaah sholat ied saat itu untuk
menshalatkan jenazah Bobi dan Nizar. Tidak ada satupun yang
beranjak dari mushola saat itu. Seluruh jamaah ied
melaksanakan shalat jenazah untuk kedua saudaraku..

Pemakaman keduanya berlangsung lancar walaupun


beberapa kali tante Lisa pingsan saat tanah mulai menimbun
tubuh anak tercintanya. Sementara Pak Ali hanya menatap
nisan kayu bertuliskan nama Bobi Januar dengan pandangan
kosong dan mata yang memerah. Pak Panji terlihat lebih tegar
mendampingi Tante Rina yang tidak berhenti menangis.

Selesai prosesi pemakaman, kami semua kembali ke


rumah. Di hari raya itu, kami menutup semua pintu. Tidak
menghidangkan makanan apapun dan bahkan kami tidak
saling mengucapkan minal aidzin wal faidzin satu dengan yang
lainnya.

“Da Zal.. awak pacapek sajo pulang ka rantau baa?..”


(bang Zal, kita percepat aja rencana pulang ke jakarta
gimana?) tanya ibu ke ayah. Kami memang berencana berada
di kampung selama 7 hari. Namun apa yang sudah terjadi
padaku membuat ibu ragu.

Ayah terlihat ragu, beliau melihatku sesaat lalu


kembali melihat ke arah ibu.

“beko malam, datuak jo parangkaik adaik ka


barundiang masalah wak ko. Bobi mungkin iyo dek tenggelam.
Tapi Nizar.. itu ndak mungkin dek tahantam batu..” (nanti
malam, datuk sama perangkat adat lainnya akan berunding
tentang masalah kita. Bobi mungkin memang (meninggal)
karena tenggelam. Tapi Nizar.. itu tidak mungkin karena
terbentur batu) ujar ayah lalu kembali menoleh kepadaku.

“Anak wak jadi ciek kunci utamo untuak mancari tau


sia urang nan mampagunoan caro tu.. Kalau ayah mangatoan
wak pulang, pulang wak ka rantau baliak” (anak kita jadi satu
satunya kunci utama untuk mencari tau siapa pelakunya..
kalau ayah bilang kita harus pulang, maka kita akan pulang)
ujar ayah lagi.

Malam harinya diadakan doa bersama yang dihadiri


para petinggi adat serta para tetangga. Kakek memimpin doa
bersama tersebut secara khidmat dan sesekali terisak. Momen
berkumpul keluarga lengkap yang seharusnya berlangsung
bahagia dan penuh canda tawa justru menjadi tragis dan
menimbulkan trauma yang sangat besar.

Ketika tetangga sudah membubarkan diri, kakek


memanggilku untuk masuk ke kamarnya. Aku menoleh ke ibu
dan ayah lalu mengikuti perintah kakek, ayah mendorongku
pelan dan ikut masuk bersamaku ke kamar itu. Di dalam,
sudah ada 4 datuk lainnya yang duduk bersila di lantai kamar
kakek.

“Assalamualaikum…” ujar kakek membuka forum


tersebut.

“waalaikumsalam warahmatullah..” jawab keempat


pria lainnya hampir serentak.

“Mangko ambo kumpuan sanak sadonyo nan


tahormaik disiko, lah nampak kamalangan di diri ambo jo
bapulangnyo kaduo cucu dagiang ambo hari kini ko. Nan
malang tak dapek di tolak, nan untuang ndak dapek di raiah.
Kok ditanyokan hati yo sakik, bana. Tapi tabik tanyo dibaliak
kato, kato taurai jadi carito” (Maksud saya mengumpulkan
saudara yang terhormat disini, sudah terlihat duka yang
terjadi pada diri saya dengan berpulangnya cucu saya. Malang
tak dapat di tolak, untung tak bisa di raih. Kalau ditanyakan
sakit, memang sakit. Tapi muncul pertanyaan dari sebuah
kata, kata terurai jadi cerita) ujar kakek membuka
pembicaraan dengan sajak.

“Dari ketigo cucu ambo nan pai mandi patang, iko


surang nan pulang nyawonyo lai di kanduang badan..
Rahman, anak si Zal Jakarta” (dari ketiga cucu saya yang
mandi kemarin, Cuma ini yang pulang masih bernyawa) ujar
kakek.

“Man, cubo caritoan a nan tajadi di batang aia


patang..” (Man, coba ceritakan apa yang terjadi di batang aia
kemarin) pinta kakek padaku.

Akupun menjelaskan semuanya dari awal. Bagaimana


kami awalnya bermain di air yang tenang dan ada batu batu
besar sampai akhirnya aku terbawa arus air, Bobi mencoba
menyelamatkanku tapi malah ikut terbawa dan akhirya
ditemukan meninggal dunia.

“Jadi yang mandi hanya Rahman dan Bobi? Nizar ga


ikut?” tanya salah satu pria itu yang ternayata fasih berbahasa
Indonesia.
“Enggak pak.. waktu Rahman bangun, Nizar masih ada
di pinggiran sungai. Sama ibu ibu pakai baju merah..” jawabku
singkat.

“Dan wakatu Nizar basobok, kapalonyo lah balubang.


Tangkurak kaniangnyo ilang sampai ka ateh matonyo..” (Dan
waktu Nizar ditemukan, kepalanya sudah berlubang.
Tengkorak jidatnya hilang sampai ke bagian atas matanya..)
tambah kakek yang tentu saja mengagetkan keempat pria
lainnya hingga mereka beristighfar.

“Ado urang nan mamulai gasiang tangkurak di


kampuang awak ko.. ” (ada orang yang memulai gasing
tengkorak di kampung kita) ujar kakek.

Pandangan kembali tertuju padaku. Mereka


memintaku menceritakan ciri ciri wanita yang aku lihat
terakhir bersama Nizar. Aku tidak bisa memberikan ciri ciri
lebih banyak selain berbaju merah, rambut panjang, berkulit
sawo matang dan sepertinya gemuk. Sebuah spesifikasi yang
sangat umum ditemukan di kampung ini.

“adek ngeliat yang lain selain ibu ibu tadi waktu hari
itu?” tanya seorang pria lainnya.
Aku terdiam sejenak lalu mengingat sesuatu.

“Ada.. Rahman liat ada perempuan berbaju putih


gantung diri di pohon disisi atas tebing. Dia gerak gerak terus
terus Rahman gaktau lagi karena langsung ga sadar..”
jawabku.

“itu Si jundai nan dipakai urang tu…” (itu si jundai yang


dipakai orang itu..) ujar salah satu pria lainnya.

“dima kaduonyo basobok tuak?” (dimana keduanya


ditemukan datuk?) tanya salah satu pria lainnya.

“Lubuak Pusaro…” ujar kakek singkat yang langsung


membuat keempat pria lainnya terbelalak.

“dalam wakatu dakek, akan ado urang nan kanai si


jundai, awak harus capek manyalasaian ko. Cari tau sia
anjiang nan bamain main pakaro biadab ko di kampuang
awak!” (dalam waktu dekat, akan ada orang yang kena si
Jundai.. kita harus cepat menyelesaikan ini. Cari tau siapa
‘anjing’ yang bermain main sama perkara biadab ini di
kampung kita!” ujar kakek tegas.

Akhirnya aku diminta keluar terlebih dahulu


sementara kakek dan keempat datuk lainnya tetap di dalam
kamar bersama ayah. Tak lama ayah keluar dan langsung
beranjak ke ibu.

“Wak pulang bisuak.. ayah lah maizinan..” (kita


pulang besok. Ayah sudah memberi izin) kata ayah ke ibuku.

“Iyo da.. “ jawab ibu.

Pak Ali, ayah dari Bobi lalu beranjak dari tempat


duduknya dan mendekat ke ayah.

“Kama kalian?? Takah ko keadaan awak kini kalian ka


baliak ka Jakarta??!!” (Kemana kalian? Keadaan seperti ini
kalian malah mau balik ke Jakarta??!!) kecam Pak Ali penuh
emosi.

“iko caro paliang baiak bang Ali.. ayah lah manyuruah


hal nan samo..” (ini cara terbaik bang Ali.. ayah udah
menyuruh hal yang sama..) ujar ayah mencoba tenang.

“ANAK DEN MATI DEK MANOLONGAN ANAK ANG


P*NT*K!! ANAK ANG NAN HARUSNYO MATI!!” (ANAK SAYA
MATI KARENA MENOLONG ANAKMU B*JINGAN!! ANAKMU
YANG HARUSNYA MATI!!” bentak Pak Ali dengan nada tinggi.
Ucapan Pak Ali itu mengundang para datuk di dalam
kamar untuk keluar dan menenangkan Pak Ali yang masih
emosional. Mereka membawa Pak Ali menjauh dan sepertinya
memberinya nasehat. Pak Ali terus memandangiku dan ayah
dengan tatapan tajamnya dan pergi dari rumah tanpa
mengatakan apapun lagi kepada kami.

Keesokan siangnya aku, ayah, ibu dan Diana


memutuskan pulang dengan bus. Ayah terlihat berat untuk
meninggalkan sanak saudara lainnya dalam keadaan seperti
itu, namun atas saran kakek, kami memang harus pergi untuk
keselamatanku. Caranya adalah menjauh dari sini dan jika
memungkinkan dipisahkan dengan lautan, cara termudahnya
adalah pulang kembali ke Jakarta.

Seluruh keluarga melepas kepergian kami dengan air


mata. Ayah dan ibu berkali kali meminta maaf. Pak Panji, Tante
Rina dan Tante Lisa terlihat berusaha tetap tegar dan
mendoakan agar kami selamat sepanjang jalan. Namun aku
tidak melihat keberadaan Pak Ali waktu itu. Ayah sempat mau
menunggunya, namun karena bus akan segera tiba, akhirnya
kami pergi tanpa berpamitan pada beliau.
Sepanjang perjalanan ibu terus mengelus kaki kiriku
yang masih bengkok dengan tatapan khawatir. Sementara
ayah hanya diam sambil memandang keluar jendela.

3 hari 2 malam kami lalui via darat untuk tiba kembali


ke Jakarta. Satu hari setelah kami sampai di Jakarta, aku
dibawa ke rumah sakit untuk dilakukan rontgen pada kaki
kiriku. Ibu mengira tulangku patah atau sebagainya, namun
ketika hasil xray keluar, tulangku memang sudah bengkok,
seperti bawaan lahir dan bukan karena insiden.

Akhirnya kami pulang tanpa hasil dan aku harus


menerima kondisi kaki kiri yang membengkok ke arah dalam.
Beruntung, hal ini tidak mengurangi kemampuanku dalam
berjalan, hanya saja aku kesulitan untuk berlari cepat.. aku
sangat mudah keseleo karena lengkungan kakiku itu.

Sekitar sebulan kemudian, ayah mendapatkan kabar


buruk dari kampung. Tante Lisa mulai berkelakuan aneh sejak
beberapa Minggu kematian Bobi. Ia sering berbicara sendiri
dan menjerit jerit tanpa henti sejak ashar hingga maghrib. Ia
juga tidak bisa ditenangkan dengan apapun bahkan oleh Pak
Ali, suaminya. Awalnya orang mengira ini adalah hal wajar
karena baru kehilangan anak tercintanya, namun seiring
berjalannya waktu, tidak ada perubahan pada psikis tante Lisa.
Bahkan pada sewaktu mengamuk, Tante Lisa pernah
memanjat dinding tembok seperti cicak dan menempel di
sudut langit langit ruang tengah sambil menjulurkan lidahnya.

Tante Lisa baru bisa tenang ketika adzan isya


berkumandang. Ia akan diam dan tidak berteriak namun
belum bisa diajak berkomunikasi. Lidahnya tetap menjulur
dan badannya kaku. Kakek sudah berusaha menghilangkan
gangguan ini namun belum membuahkan hasil.

Anehnya, jika di siang hari tante Lisa berkelakuan


normal. Ia bisa pergi ke pasar dan bisa melakukan aktivitas
biasa seperti tidak terjadi apa apa. Hanya saja, warga yang
telah mengetahui penyakit kambuhan tante Lisa, akan
menyuruh tante Lisa segera pulang sebelum ashar menjelang,.
Khawatir akan membahayakan orang lain dan diri tante Lisa
sendiri.

Karena mendapat kabar kakaknya mengalami hal


aneh itu, ayah memutuskan untuk kembali pulang kampung
seorang diri. Aku, ibu dan Diana tidak ikut dan tetap tinggal di
Jakarta. Saat itu belum ada handphone maupun telepon
rumah di rumah kami dan kakek. Kami biasa menelpon
melalui wartel, sementara ayah meminjam telepon milik
koperasi kampung. Setiap Minggunya kami tetap
berkomunikasi sekedar menanyakan kabar maupun bercerita
apapun pada ayah.

Hingga suatu hari, setelah aku mengobrol dengan


ayah, ayah meminta telpon untuk diberikan ke ibu. Ibu lalu
menerima telepon itu dan mulai berbicara dengan ayah.
Namun tatapan ibu yang awalnya biasa saja berubah menjadi
seperti ketakutan. Ibu tidak berbicara apapun sementara di
ujung telepon ayah terus berbicara sesuatu yang tidak bisa aku
dengar.

“iyo da.. semoga itu jadi caro tabaiak untuak uni


Lisa..” (iya bang, semoga itu jadi cara terbaik buat kak Lisa)
ujar ibu dengan suara yang bergetar.

Saat itu ayah mengabari keadaan terkini Tante Lisa


setelah 2 bulan lebih sejak pertama kali mulai berperilaku
aneh. Hari demi hari keadaannya tidak kunjung membaik,
justru semakin memburuk dan mengkhawatirkan. Kini tante
diam hanya ketika adzan berkumandang. Sisanya ia akan terus
meronta ronta dan memanjat apapun yang ada di
hadapannya.
Selain memanjat dinding ruang tengah, terakhir tante
juga memanjat tiang atap dapur lalu bergelantungan disana
sambil menjulurkan lidahnya.

Akibat tindakannya yang sudah diluar kontrol, kakek


dan seluruh keluarga lain memutuskan untuk mengurung
tante Lisa di kamar kakek. Kamar kakek dipilih karena memiliki
atap yang rendah dan jendela yang berteralis. Tante Lisa
dikunci di dalamnya dan hanya kakek, nenek, Pak Ali dan Pak
Panji yang bergantian masuk ke dalam untuk membawakan
makanan atau mengajak tante mengobrol.

Suasana lebih memilukan terjadi di malam hari. Tante


akan menggedor gedor pintu kamar sambil berteriak teriak.

“BUKAAAA… BUKA…. APAAKK… UDA…. KO LISA…


BUKA PAK… BOBI… IBU DIKURUANGNYO DEK AYAAAH.. BOBI
TOLONG IBUUU NAAAK…”(Buka.. buka.. apak, abang, ini Lisa.
Buka pak.. Bobi, ibu dikurung sama ayahmu.. Bobi tolong ibu
nak) teriak tante Lisa dari dalam sepanjang malam hingga
menjelang subuh.
Tidak ada yang bisa diperbuat oleh keluarga yang lain.
Pernah suatu ketika kakek mencoba membuka pintu dan tiba
tiba saja Tante Lisa berlari dari keluar kamar dan harus
ditangkap dengan susah payah oleh Pak Ali dan ayah.

Ayah berada di kampung selama 3 bulan lamanya. Dan


selama itu juga ayah selalu mengupdate keadaan tante Lisa
kepada ibu melalui sambungan telepon. Namun sudah dua
minggu terakhir ayah tidak berada di koperasi untuk
mengangkat telepon kami. Menurut petugas yang menjaga
koperasi itu, ayah juga tidak terlihat dan berkunjung.

“Ooh.. tarimo kasih yo ni. Beko kok uda Zal nampak,


titip salam, kami taruih manelpon di jam 2 siang yo.. maaf
mangganggu” (ooh, terima kasih ya kak. Nanti kalau ketemu
bang Zal, titip salam, bilang kalo kami akan nelpon terus jam 2
siang. Maaf mengganggu) ujar ibu sambil menutup
sambungan telepon.

Kami terus menelpon koperasi tersebut setiap harinya


hingga akhirnya ayah yang mengangkat telepon kami.

"Uda? Kama pai lah duo minggu ndak maagiah


kaba..." (Abang? Kemana aja udah dua minggu tidak kasih
kabar..) kata ibu dari sambungan telepon.
"Banyak nan tajadi Ta, tapi InsyaAllah uda pulang
minggu ko.." (Banyak yang terjadi ta, tapi InsyaAllah abang
pulang minggu ini) ujar ayah dari ujung telepon.

"Alhamdullillah... Lah cegak ni Lisa da? Alhamdulillah


ya Allah.." (Alhamdulillah, udah sembuh kak lisa bang?) ucap
ibu.

"Beko da caritoan di rumah. Abang jo dedek lai sehat


sehat?" (Nanti abang ceritain. Abang sama dedek sehat?)
sambung ayah.

"Sehat alhamdulillah"

Ibu lalu memberikan telpon dari ayah kepadaku. Kami


berbincang seputar keseharianku seperti biasa dan kami
mengira semuanya sudah kembali normal.
4 hari kemudian, ayah sampai di rumah. Ayah sengaja
pulang dengan bus karena tidak nyaman naik pesawat.

Ayah tidak membawa oleh oleh apapun. Ayah pulang


dengan keadaan wajah yang begitu lelah. Beberapa luka
goresan terlihat di tangan dan wajah ayah.

"Ayah kenapa tangannya?.." Tanyaku setelah


menyadari tangan dan wajah ayah yang luka luka.

Ibu menatap ayah dengan mata yang seakan bertanya


hal yang sama denganku.

Tanpa menjawab pertanyaaku, ayah duduk di sofa lalu


menanggalkan baju kemeja yang beliau kenakan. Sebuah
perban melilit di bahu ayah dan beberapa luka lebam
membiru ada di tubuhnya.

"Baa badan uda??!!" (Kenapa badan abang??) tanya


ibu panik.

Ayah menghela nafas panjang. Beliau membuka


jendela lalu menyalakan rokoknya. Ayah melakukan ini untuk
membuat pikirannya tetap tenang.
"Ini yang buat ayah gak telfon kalian dua minggu..."
ujar ayah sambil mengembuskan asap rokok dari mulutnya.

----

Kampung kakek, sekitar bulan Mei 2002

Seorang pemuka agama dari Jambi kenalan kakek


akhirnya tiba di kampung. Namanya Pak Mahdi, kakek
berteman dengannya sejak masih muda dulu dan memang
seumuran dengan kakek. Di daerah asalnya, Pak Mahdi
dikenal sebagai salah satu praktisi penyembuhan gangguan
hal hal ghaib. Kakek sengaja memanggil teman lamanya itu
untuk menyembuhkan anak pertamanya, Lisa.

Ayah dan kakek menyambutnya di rumah. Setelah


saling berpelukan dan bertanya kabar, kakek, ayah dan Pak Ali
lalu mengantarkan Pak Mahdi ke kamar tempat tante Lisa
dikurung. Pak Panji sedang sibuk mengurusi sawahnya yang
akan panen dan belum bisa membantu.

"Assalamualaikum.." salam Pak Mahdi sambil


melangkahkan kakinya masuk ke kamar.

Namun tante Lisa tidak ada di atas kasurnya. Pak


Mahdi lalu mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar
dari ambang pintu dan tidak melihat siapapun. Namun baru
saja Pak Mahdi akan bertanya kepada kakek, tiba tiba wajah
pak Mahdi kejatuhan air. Pak Mahdi refleks melihat ke atas
dan mendapati tante Lisa menempel di dinding tepat di atas
pintu. Tante Lisa menghadap ke bawah dan lidahnya menjulur
dengan ludah yang menetes ke lantai. Ludah itulah yang
mengenai wajah Pak Mahdi.

"Astaghfirullah.." Kata pak Mahdi pelan.

"Begitulah keadaannya Di.." Ujar kakek kepada teman


lamanya itu.

"Semoga saya bisa bantu ya Mad" Ujar Pak Mahdi.

Keempatnya lalu menurunkan tante Lisa. Pak Mahdi


mulai membacakan doa doa dibantu dengan kakek.
Sementara ayah dan pak Ali memegangi tubuh tante Lisa yang
terus meronta ronta.

Pak Mahdi melakukan praktik itu selama hampir 3 jam


lamanya. Sepanjang itu juga, teriakan demi teriakan terdengar
dari dalam kamar tersebut. Tubuh tante Lisa menengang, lalu
melengkung ke atas. Pak Mahdi mengeraskan suara
bacaannya namun tante Lisa semakin tidak bisa ditenangkan.
Tiba tiba kejadian diluar nalar terjadi. Tubuh tante Lisa mulai
terasa ringan dan tiba tiba saja ia melayang.

“TARIK!! TARIK!!!” perintah Pak Mahdi kepada ayah


dan Pak Ali.

Keduanya lalu menarik Tante Lisa ke bawah sekuat


tenaga. Namun usaha keduanya hanya bisa menahan tante
Lisa untuk tidak semakin naik ke atap ruangan, tidak bisa
membuatnya kembali menempelkan punggungnya ke kasur.

Pak Mahdi lalu merapal sesuatu yang sulit


didengarkan secara luas. Lalu ia menempelkan ibu jarinya di
kening tante Lisa.

“LEPASKAN!” bentaknya sambil menekan kening


tante Lisa dengan ibu jarinya.

DUG! Hentakan kuat terjadi pada tubuh tante Lisa


yang langsung terbanting ke kasur. Ayah dan Pak Ali yang
masih berusaha menarik tante Lisa sampai terjerembab
karena hal itu. Namun setelah itu tante Lisa diam dan tidak lagi
berteriak teriak.

“Berhasil Di?” tanya kakek kepada Pak Mahdi.


“Belum.. itu baru satu. Masih ada banyak lagi dan ini
ulah orang.. Untuk saat ini Lisa bisa tenang, tapi tidak akan
lama, akan ada yang lain lagi datang..” jawab Pak Mahdi lemas.

“Siapa pelakunya?” tanya kakek.

“Susah.. saya daritadi coba melihatnya namun


terhalang tabir hitam..” ujar Pak Mahdi.

“Coba lihat sekali lagi.. biar saya bantu” ujar kakek.

Kakek berdiri di belakang Pak Mahdi. Ia meletakkan


tangannya di punggung Pak Mahdi dan menarik nafas panjang.

Pak Mahdi memejamkan matanya. Ia menyentuh


tangan tante Lisa dan bola matanya bergerak gerak di dalam
kelopak matanya. Mulutnya merapal dan tidak bisa diam,
sementara kakek dibelakangnya terus mengatur nafas sambil
tidak melepaskan tangannya dari punggung pak Mahdi.

“Ah… saya menemukan kemungkinan pelakunya..”


ujar Pak Mahdi.

“Siapa??? Siapa pelakunya??!” tanya kakek tidak


sabar.
“Dia masih penduduk desa ini.. perempuan.
Rambutnya sudah beruban. Ia tinggal di rumah kayu dan
tungku kayu bakar yang tidak pernah padam sepanjang hari.
Ia punya seorang anak laki laki yang sudah bersekolah.. Gasing
tengkorak yang dia gunakan ada di tumpukan tempurung
kelapa di belakang rumahnya..” ujar Pak Mahdi.

Mata kakek menerawang jauh memikirkan orang


orang yang kemungkinan memiliki ciri ciri yang dimaksud Pak
Mahdi.

“Lebih baik Mahdi ikut sama saya, kita keliling


kampung dan mencari rumah itu!” ujar kakek.

Pak Mahdi, ayah, kakek dan Pak Ali berkeliling


kampung untuk mencari rumah itu. Mereka berusaha terlihat
normal dan seperti tidak mencari seseorang agar tidak
mencurigakan.

Hingga akhirnya keempatnya tiba di sebuah rumah


dari warga yang bernama Bu Nur. Saat keempatnya lewat,
asap tipis membumbung dari cerobong asap rumahnya. Bu
Nur sudah berumur cukup tua. Ia seorang janda dengan 3
orang anak. Namun dua anaknya sudah meninggal dunia dan
kini hanya ada satu anak bungsunya. Sementara suaminya
sudah lama meninggal dunia akibat sakit.

“Ini.. di rumah inilah pelaku itu berada” ujar Pak


Mahdi.

“Nur??” kakek tidak percaya.

“Coba periksa bagian belakang rumahnya. Kau akan


temukan tengkorak bagian kening diantara tumpukan
tempurung kelapa di belakang” ujar Pak Mahdi.

Kakek lalu membuat siasat. Ia akan mengalihkan


perhatian Bu Nur , lalu ayah dan Pak Ali akan pergi ke belakang
untuk memeriksa tumpukan tempurung kelapa dan mencari
tengkorak kepala diantaranya.

“Assalamualaikum Nuur, oo Nuur” panggil kakek di


depan pintu bersama Pak Mahdi dengan wajah ramah.

Tak lama pintu kayu itu dibuka. Bu Nur, wanita paruh


baya dengan rambut yang sudah memutih membuka pintu
sambil menenteng sapu.
“Oi, eh datuak, waalaikumsalam ado apo Tuak? lah ka
sanjo hari” (Oh datuk, waalaikumsalam, ada apa ya Tuk? Udah
mau malam) ujarnya.

“Ah indak, ka mandata untuak panarimo bantuan dari


koperasi kampuang. Ka wak wawancara sabanta buliah? Iko
donaturnyo beko” (Ah enggak, mau mendata untuk penerima
bantuan koperasi kampung. Bisa kita wawancara sebentar? Ini
donaturnya ) kata kakek berbohong sambil memperkenalkan
Pak Mahdi yang berperan sebagai donatur.

“Awak sibuak tuak, baa tu? Sadang manyapu rumah.


Ndak bisa lo naiak ka ateh rumah do. Baseserak jo baru” (Saya
sibuk Tuk, gimana ya? Lagi nyapu rumah. Belum bisa masuk
juga karena masih berantakan) ujar Nur sambil menunjukkan
sapunya.

Baru saja kakek akan mencari alasan lain, tiba tiba saja
dari arah dalam rumah terdengar suara dari Ramon, anak
bungsu dari Nur.

“Maak, ado urang di balakang, sia tu?” (Ma, ada


orang di belakang. Itu siapa?) ujarnya dari balik pintu.
Wajah Nur berubah panik dan beberapa detik
kemudian dari arah belakang rumah ayah berteriak.

“AYAHH!! GASIANG TANGKURAKNYO BASOBOK!!”


(AYAH! TENGKORAKNYA KETEMU!) pekik ayahku dari
belakang.

“KATUMBUAHAN KALIAN SADONYO!!” (BRENGSEK


KALIAN SEMUA!) bentak Nur sambil melemparkan sapu dan
serokan debunya ke arah kakek dan Pak Mahdi. Beruntung
keduanya sempat menghindar, namun waktu sepersekian
detik itu digunakan Nur untuk melarikan diri.

Kakek dan Pak Mahdi mengejarnya dengan susah


payah. Nur berlari dengan sangat cepat padahal usianya tidak
lagi muda. Nur berlari menjauh perkampungan menuju hutan
di pinggiran tebing.

Ayah dan Pak Ali berusaha berlari mengikuti kakek dan


Pak Mahdi namun kakek mencegah keduanya..

“Kalian jan sato lo! Pai ka rumah urang urang, suruah


iduikan sado lampu jo dama. Jan sampai batino ko lapeh!!!”
(Kalian ga usah ikut! Pergi ke rumah warga, suruh mereka
idupkan lampu. Jangan sampai betina ini lepas!) perintah
kakek pada ayah dan Pak Ali.

Keduanya lalu berbalik ke arah pemukiman warga. Di


waktu menjelang maghrib dengan langit jingga keunguan itu
ayah dan Pak Ali menggedor gedor pintu setiap warga dan
meminta mereka menyalakan lampu dan bersiaga, karena
dukun pelaku tumbal gasing tengkorak sudah ditemukan dan
itu adalah Nur!

Sementara sisi kampung sudah mulai terang


benderang dengan dinyalakannya lampu, petromak dan obor
di setiap rumah, sisi hutan tetap kelam tanpa pencahayaan.
Pak Mahdi maupun kakek tidak membawa senter atau apapun
selain korek api yang biasa kakek gunakan untuk membakar
cerutunya.

Keduanya masuk ke wilayah hutan belantara. Mata


kakek mencoba membiasakan melihat di kegelapan dan
bantuan sedikit cahaya dari korek. Sementara Pak Mahdi di
belakang kakek mengawasi sekeliling. Sedikit saja suara
langkah kaki dari sisi tertentu hutan ini bisa saja
mengindikasikan posisi Nur.
Kakek dan Pak Mahdi berjalan terus ke dalam hutan.
Dari kejauhan suara adzan Maghrib terdengar pelan. Pak
Mahdi memejamkan matanya lama, lalu membuka matanya
lagi. Hal ini berguna sehingga matanya terbiasa dengan gelap
dan bisa melihat sedikit jelas di hutan tersebut.

“ITU! SEBELAH KANAN!” teriak Pak Mahdi sambil


menunjuk arah yang dimaksud.

Tanpa perlu kakek menoleh, dari arah kanannya suara


gelak tawa terdengar memecah keheningan hutan.

“AHAHAHA MATI KALIAN DISIKO BANGKAI ADAIK!”


(Hahaha mati kalian disini bangkai adat!) ujar Nur yang sudah
duduk bersila sambil meremas tanah dihadapannya.

Tiba tiba saja suara adzan yang baru sampai lafadz


Hayya Alashollah terhenti. Sebuah dentingan kencang
berbunyi di kepala kakek dan Pak Mahdi. Keduanya refleks
menutup mata telinga karena suara memekakkan itu.

Ketika keduanya membuka mata, dihadapan mereka


muncul sosok perempuan besar berwajah menyeramkan
dengan baju putih lusuh yang membentangkan tangannya.
Sosok perempuan ini menjulurkan lidahnya hingga mencapai
perutnya dengan wajah rusak dan mata hitam total.

“Ndak ka dapek gai kalian pulang lai doh!” (Kalian


tidak akan bisa pulang lagi!) ujar Nur dari belakang sosok
wanita itu.

Kakek dan Pak Mahdi masuk ke dunia ghaib yang


entah ada dimana. Semuanya seketika gelap dan ada suara
gejolak air mengelilingi keduanya. Sosok dihadapan mereka
adalah Jundai, makhluk halus yang terikat perjanjian kepada
dukun untuk mencelakai orang orang. Ketika ada seseorang
yang diculik makhluk halus, inilah dimensi yang akan mereka
masuki.

Tanpa aba aba, sosok Jundai itu melayang ke arah


kakek dengan sangat cepat. Ia mencoba menyerang kakek
dengan lidahnya. Kakek menghindar dengan sigap dan
terguling beberapa kali karena pijakan kakinya seperti berada
di sesuatu yang licin.

“MAINDA LAH TARUIH TUAK! NDAK ADO GUNONYO


DO! HAHAHA” (TERUS AJA MENGHINDAR TUK! GAAKAN ADA
GUNANYA! HAHAHA) tawa Nur.
Jundai itu lalu beralih ke Pak Mahdi. Mulutnya
menganga lebar lalu memuntahkan darah kehitaman yang
mengeluarkan asap. Pak Mahdi sempat menghindar namun
lengan kirinya mengenai darah tersebut.

“ARRGGHHH!!” Pak Mahdi mengerang. Tangan kiri


Pak Mahdi seakan terbakar dan terasa sangat panas.

Perhatian kakek teralihkan ke Pak Mahdi. Disaat


bersamaan sosok ini kembali melayang ke arah kakek dan
mencakar dada kakek dengan jarinya yang berkuku panjang
hitam dan runcing.

Kakek jatuh terduduk. Baju kemeja yang ia gunakan


terkoyak dan luka sabetan benda tajam berbekas di dadanya.

Jundai itu lalu melayang ke langit. Ia lalu berputar


putar dengan sangat cepat sambil mengeluarkan suara
lengkingan yang memekakkan telinga. Sepersekian detik
kemudian kilatan putih besar jatuh dan membuat pandangan
kakek dan pak Mahdi buta untuk sesaat karena silau.

Cahaya itu lalu menghilang dan posisi keduanya


kembali ke lokasi hutan. Kakek dan Pak Mahdi saling
berpandangan. Mereka tidak tahu apakah saat ini masih di
dunia Jundai atau sudah kembali ke dunia nyata.

Sampai tiba tiba..

“Nyiak… Nyiak…” (kakek.. kakek..)

Dari balik pepohonan suara kecil Nizar terdengar


memanggil kakek.

Kakek berbalik dan melihat ke sekeliling, begitu juga


dengan pak Mahdi.

“Inyiak… inyiak… Sakik nyiak…” (kakek.. kakek.. sakit


kek..) ujar suara itu menggema dipenjuru hutan.

“Nizar???” ujar kakek pelan.

Tiba tiba saja seorang anak kecil berbaju kuning


memeluk boneka muncul dari balik kegelapan. Nizar, dengan
menangis berlari ke arah kakek sambil menangis tersedu sedu.

“Inyiaak.. Nizar taragak.. Bawa Nizar pulang nyiak…”


(kakek.. Nizar kangen.. bawa Nizar pulang kek..) ujar Nizar
sambil merlari dan membentangkan tangannya, meminta
untuk dipeluk.
Kakek melihat hal itu dengan terpana. Nizar masih
sehat dan hidup.. Kakek membukakan tangannya, siap
menyambut pelukan Nizar.

Namun beberapa meter lagi keduanya berpelukan..

DUG!! Sebuah batu melayang keras ke arah kepala


Nizar hingga kepala itu terlepas dan menggelinding.

“AHMAD! JANGAN TERPENGARUH!! CUCUMU SUDAH


MENINGGAL!!” Pak Mahdi yang melemparkan batu itu
berteriak ke arah kakek.

Namun kepala Nizar yang sudah terlepas dari


tubuhnya itu masih berbicara…

“Nyiak.. Nizar taragak.. Nyiak..” (Kek, Nizar kangen..


kek..)

Kakek menggigit lidahnya dengan gemetar. Rasa


sayangnya kepada cucu cucunya sangatlah menggebu gebu
namun disisi lain ia sadar bahwa Nizar sudah tiada. Ahmad,
alias Datuk Sutan Mantari kehabisan rasa sabarnya. Giginya
bergemertak dan tangannya mengepal keras.
Kakek lalu mengeluarkan sebuah cerutu dari
kantongnya dan membakarnya dengan korek api yang beliau
bawa. Kakek menghisapnya dalam dalam lalu
menghembuskannya sekali. Kakek yang tadi emosional kini
perlahan tenang.

Kakek menggenggam tangannya kuat kuat lalu


membisikkan sesuatu di kepalan tangannya itu. Tak lama, asap
putih mengepul dari sela sela jari kakek. Kakek lalu membuka
tangannya dan telapak tangan kakek kini terang dan
memancarkan sinar. Kakek lalu mengembuskan asap rokok
yang ia hisap ke tangan tersebut dan BLARRRR api berwarna
merah menyala nyala di tangan kakek.

“Ndak kau surang sajo nan bisa bamain di tampek ko


Nur! Kau nan ndak ka salamaik lai satalah ko!” (Bukan kamu
saja yang bisa bermain main di dunia ini Nur. Kamulah yang
tidak akan selamat setelah ini!!”) pekik kakek.

Kakek lalu melemparkan api yang ada di tangannya ke


salah satu pohon di hutan itu dan seketika langit menjadi
terang dan apa yang ada di hutan itu terlihat jelas. Pada salah
satu sisi hutan, nampak Nur sedang berlari ketakutan karena
dimensi Jundai yang ia gunakan untuk menjebak kakek dan
Pak Mahdi sudah dibuka oleh kakek.

“Ini kenapa orang orang panggil kau Sutan Mantari ya


Mad!..” ujar Pak Mahdi.

“ANJIAANGGG!!!” jerit Nur sambil berlari zigzag


diantara pepohonan. Kakek tidak tinggal diam, beliau kembali
meniupkan asap rokok ke telapak tangannya dan seketika
sebuah bola api kembali siap di tangannya.

Kakek kembali melemparkan bola api itu yang


mengejar langsung ke arah Nur. Belum sedetik bola api itu
kakek lepaskan dari tangannya, bola api lain sudah ada di
tangan kakek dan kembali kakek lemparkan bertubi tubi ke
arah Nur.

Satu demi satu pepohonan di dunia jundai itu


terbakar. Jundai yang sedari tadi ternyata berada di balik salah
satu pohon ikut melayang dibelakang Nur.

“LINDUANGI DEN! DEN AGIAHAN KAPALO BALIAK KA


KAU!!” (LINDUNGI SAYA! SAYA AKAN BERI KAMU KEPALA
LAGI!) ujar Nur kepada Jundai dibelakangnya.
Jundai itu lalu berhenti dan memasang badan dengan
merentangkan tangannya menahan bola bola api dari kakek.
Serangan kakek membakar wajah Jundai itu, namun tidak
membuatnya tumbang. Bola api yang melekat di wajah Jundai
kini membuat darah di mata dan mulutnya mendidih dan
menetes terus menerus dalam keadaan terbakar.

Sementara Jundai itu berhasil menghalau bola api


kakek, Nur berlari semakin menjauh menuju gerbang
perbatasan antara dunia Jundai dengan dunia nyata.

Kakek lalu merogoh kantongnya, mengeluarkan


sebuah cincin batu berwarna putih lalu mengenakannya di jari
tengah tangan kanannya.

“Maaf cucu maimbau inyiak kini nyiak..” (maaf


cucumu ini memanggilmu saat ini kek..) ujar kakek berbisik ke
cincin itu.

Tiba tiba saja sebuah auman harimau menggelegar di


hutan tersebut disusul suara derap kaki hewan yang bergerak
cepat dan mendekat. Lalu seekor harimau besar berbulu
merah muncul dari kegelapan dan meloncat dari belakang
kakek menuju arah Jundai.
Jundai itu menurunkan tangannnya, turun dari
posisinya melayang dan membungkuk ke arah harimau itu.
Perlahan sosok keduanya menghilang dari pandangan tepat
ketika harimau merah tadi sudah sangat dekat dengan Jundai
tersebut.

Menghilangnya Jundai dan harimau tadi juga


dibarengi dengan suara adzan yang kembali terdengar..

Assholatu khairum minannaum…

Walaupun baru terasa sekian menit, ternyata


pertarungan tadi berlangsung dari Maghrib hingga Shubuh..

Tangan kakek tidak lagi menyala seperti tadi. Begitu


juga pohon pohon yang tadi terbakar seketika menghilang dan
semua kembali normal seperti sedia kala. Dari kejauhan, Nur
berlari tunggang langgang menjauhi posisi kakek dan Pak
Mahdin yang masih terduduk lemas.

Nur berhasil melarikan diri dari kakek dan Pak Mahdin.


Sayang, identitasnya sebagai pelaku gasing tengkorak sudah
terbongkar sehingga ketika ia melintasi pemukiman, warga
yang melihatnya langsung memburu Nur.
Nur berhasil dipojokkan oleh warga yang saat itu akan
pergi sholat shubuh hingga Lubuak Pusaro. Lubuak Pusaro
adalah lokasi dimana Bobi mengantarku pertama kali.
Dinamakan Lubuak Pusaro (Lubuk Makam) karena disisi lubuk
ini terdapat pemakaman warga kampung. Dahulu, sebelum
menjadi lubuk, aliran sungai batang aia di bawahnya
berbentuk seperti biasa. Namun sebuah gempa
mengakibatkan lempengan tebing patah dan membuat sisi
tebing runtuh ke aliran sungai bersama kuburan diatasnya.
Saat kejadian ini terjadi, warga bahu membahu mengambil
sisa sisa tulang penghuni makam yang terjatuh ke bawah.
Lama kelaaman patahan itu menjadi sebuah lubuk dan
dinamakan Lubuak Pusaro.

Nur tersudut di ujung tebing. Warga yang memegang


obor mengelilinginya sambil memaki maki Nur. Kakek dan Pak
Mahdi belum sampai disana saat kejadian ini terjadi.

“MATI ANJIANG LAH KAU NUR!” (Mati anjing aja kamu


Nur!) hardik salah satu warga.

“LAMAK KAU MAKAN DAGIANG SANAK KAU SURANG


P*ANT*K!!” (ENAK KAU MAKAN DAGING SAUDARAMU
SENDIRI SIALAN??!!) kecam warga yang lainnya.
Nur tidak bisa berbuat banyak karena mentari sudah
mulai terbit dan Jundai peliharaannya sudah entah kemana.

Tiba tiba saja..

DUGG!! Sebuah batu melayang mengenai tubuh Nur.


Pelemparnya adalah salah satu warga yang geram namun
tidak berani menyentuh Nur.

Inisiatifnya ini didukung oleh warga lainnya. Mereka


memunguti bebatuan di pemakaman itu dan
melemparkannya kepada Nur tanpa ampun. Nur dirajam di
lokasi itu.

Darah segar mulai mengalir dari kepala dan telinga


Nur. Salah satu batu bahkan mengenai matanya dengan
sangat keras hingga Nur tidak bisa lagi membuka mata kirinya
yang mulai mengeluarkan darah. Nur hanya bisa meringkung
menahan sakit dari lemparan lemparan itu.

Lalu salah satu pemuda datang membawa bilah


bambu besar lalu menghantamkannya ke Nur hingga dirinya
terlempar ke Lubuk Pusaro. Belum puas, dari ketinggian warga
terus menghujani tubuh Nur yang sudah kepayahan untuk
berenang dengan batu. Hingga akhirnya seorang remaja
berlari menembus kerumunan dan berdiri di hadapan para
warga.

“ALAH TU PAK, BUK! ITU IBU KANDUANG AWAK DI


BAWAH TU!!” (UDAH PAK, BUK! ITU IBU KANDUNGKU DI
BAWAH!) teriak remaja itu. Ramon, dengan wajah sembab
karena menangis dan ingus yang mengalir di hidungnya
menghadang warga yang masih mencoba melemparkan batu
ke bawah.

Namun teriakan bocah itu sepertinya tidak digubris


warga. Beberapa batu kembali dilempar ke arah Nur di bawah.
Nur sudah berada di tepian, terengah engah dengan darah
mengalir dari mata, hidung dan kepalanya.

Ketika warga kembali mengambil batu, sebuah


teriakan lantang menghentikan gerakan mereka.

“ALAH TU SANAK! JAN LUPO LO KALAU NAN DI


BAWAH TU YO MANUSIA LO TAKAH AWAK!” (SUDAH
SAUDARA SAUDARA SEMUA, JANGAN LUPA KALAU YANG
DIBAWAH ITU JUGA MANUSIA SEPERTI KITA!) ujar suara itu.
Warga menoleh ke belakang dan ternyata Datuak
Sutan Mantari yang meneriaki hal itu. Ia berjalan ke arah
Ramon berdiri, memeluknya dan menengok ke arah bawah.
Nur berbaring diam di atas batu dengan luka parah di sekujur
tubuhnya.

“Lah.. takah ma jo, Ramon ko anaknyo. Lah cukuik nyo


mancaliak induaknyo lah sarupo binatang dirajam takah ko..
kok lai salamaik jo Nur, itu lah takdir dek nyo. Kok indak, samo
lah takdir lo atehnyo..” (Udah. Bagaimanapun, Ramon ini
anaknya. Sudah cukup dia melihat ibunya diperlakukan seperti
binatang. Kalau Nur masih selamat ataupun tidak, itu jadi
takdirnya..” ujar kakek menenangkan warga.

“pai japuik ibu..” (Pergi jemput ibumu) perintah kakek


ke Ramon. Ramon segera berlari ke hulu, menuju sisi tebing
yang rendah, lalu menyebrang ke sisi hutan di seberang tebing
lubuak pusaro. Ramon menepuk pipi Nur namun tidak ada
respon. Darah terus mengalir dari mata dan hidung Nur tanpa
henti tapi Nur sama sekali tidak bergerak.

Ramon mengerang dan menangis. Hal itu dilihat oleh


para warga dan kakek dari atas tebing. Nur meninggal dunia.
Kakek menyusul ke bawah, sementara pak Mahdi
membubarkan warga di atas.

“kok mati bana batino tu ndak ka amuah gai den


sumbayangan jo kubuaan. Bia mati anjiang sajo paja tu
disinan!” (sekalipun beneran mati perempuan itu, saya gaakan
mau mensholatkan dan menguburkan. Biar dia mati buruk aja
disana!) ujar salah satu warga sebelum meninggalkan lokasi
itu.

“Den ndak kan rela kok bangkai paja tu ditanam di


tanah nagari awak!” (Saya gak akan rela kalau bangkai orang
itu dikuburkan di tanah kampung kita!) teriak yang lain dari
atas.

Saat itulah ayahku, pak Panji dan Pak Ali tiba karena
dikabari salah satu warga. Ketiganya sedang mencari kakek
dan Pak Mahdi yang semalaman menghilang tanpa jejak. Saat
ketiganya sampai, mereka melihat dari atas tebing keadaan
Nur yang sudah sangat parah. Pak Ali mengepalkan tangannya
dan bergetar. Matanya memerah dan giginya bergemeretak.
Walaupun banyak orang mengatakan bahwa kematian Bobi
adalah normal karena tenggelam, ia tidak mempercayainya
dan yakin bahwa Nur terlibat akan hal itu. Sepertinya jika tidak
ditahan kakek dan Pak Mahdi, Pak Ali akan menghabisi Nur
dengan tangannya sendiri.

Ketika kakek turun dan mendekati Nur, terlihat tubuh


Nur sudah sangat pucat dan darah terus mengalir dari lubang
lubang tubuhnya. Disisi Nur, Ramon terus menangis sambil
memeluk tubuh Nur. Kakek yang iba coba menawarkan diri
membantu untuk memakamkan dan menyolatkan Nur namun
Ramon menolak. Ia memilih mengurus jasad ibunya itu sendiri
dan melarang keikutcampuran orang lain yang sudah
membunuh ibunya. Ia meminta kakek meninggalkan dirinya
berdua dengan ibunya saja. Kakekpun menurut dan
meninggalkan Ramon dengan ibunya.

Keesokan harinya Ramon datang ke rumah kakek


dengan menenteng sebuah nisan kayu, ia meminta maaf dan
memohon izin. Ia meminta izin untuk menaruh nisan ibunya di
sisi ujung tebing lubuk pusaro walaupun ibunya tidak
dikuburkan disana sekaligus memohon maaf atas apa yang
sudah terjadi akibat ibunya. Meski demikian, Ramon menolak
memberitau dimana ibunya dikuburkan karena khawatir akan
dirusak warga. Akhirnya kakek memberikan izin nisan kayu itu
ditancapkan di ujung jurang Lubuak Pusaro.
Sebelum memberikan izin, kakek memberikan
nasehat kepada Ramon.

“Nak, induak ang ado pajanjian jo Jundai. Satalah ko,


Jundai tu ka maikuikan angku. Basaba, pabanyak ibadah, ijan
tapangaruah makhluk tu dih..” (Nak, ibumu ada perjanjian
dengan Jundai. Setelah ini, Jundai itu akan mengikutimu.
Bersabar, perbanyak ibadah, jangan terpengaruh makhluk itu
ya..) pesan kakek kepada Ramon. Kakek tau suatu perjanjian
yang sosoknya belum pergi akan diteruskan kepada tali darah
keturunan pembuat perjanjian.

“iyo nyiak…” jawab Ramon.

Pak Mahdi menetap di rumah kakek selama dua hari


sebelum kembali ke Jambi. Selama itu ia terus melakukan
pengobatan pada tante Lisa dengan membacakannya ayat
ayat suci quran di waktu senja hingga malam.

“Seharusnya ini sudah tahap penyembuhan. Tidak


lama lagi dia akan perlahan sembuh. Teruskan komunikasi dan
bacakan doa doa setiap waktu ba’da ashar hingga maghrib”
pesan Pak Mahdi sebelum berpamitan dengan kakek, ayah
dan pak Ali.
Seminggu berlalu sejak kepergian pak Mahdi, namun
tante Lisa tidak menunjukkan perubahan sama sekali. Ia terus
menjerit dan menjulurkan lidahnya sepanjang malam sambil
sesekali tertawa. Kakek berusaha sebisanya menenangkan
anaknya itu namun hasilnya nihil.

Pak Ali akhirnya kehabisan kesabarannya. Melihat


kondisi istrinya yang tanpa kemajuan padahal sang pelaku
sudah tidak ada, ditambah lagi kepergian Bobi masih berbekas
di pikirannya, Pak Ali melampiaskannya kepada ayah.

Ayah yang mengira Pak Ali masih baik baik saja, tidak
menyangka akan mendapat serangan dari iparnya itu. Saat
tengah duduk di teras sambil menyeruput kopi, tiba tiba saja
Pak Ali melemparkan gelas ke arah ayah.

Gelas itu mengenai tepat kepala ayah dan air kopi


membasahi wajah ayah.

“Apo ko Bang??!” (apa apaan ini bang?) tanya ayah


yang terkejut sekaligus menahan sakit.

“ANJIANG DEK ANG PULANG KELUARGA DEN HANCUA


KALERA!!!” (ANJING KARENA KAMU PULANG KELUARGAKU
JADI HANCUR SIALAN!) bentak Pak Ali sambil berusaha
meninju ayah.

Ayah mengelak tinjuan itu namun Pak Ali lebih cepat


dan bertubuh lebih besar. Sebuah pukulan telak mengenai ulu
hati ayah dan disusul pukulan pukulan lain di tubuh ayah. Ayah
berusaha melindungi tubuh dan kepalanya dengan tangan,
namun pukulan demi pukulan kuat Pak Ali membuat tangan
ayah sakit dan seakan mau patah.

Belum selesai sampai disana, Pak Ali mengeluarkan


sabit yang ia simpan dibalik bajunya. Melihat senjata itu ayah
segera lari. Namun Pak Ali sudah kehilangan akal sehatnya. Ia
berlari mengejar ayah sambil mengacung acungkan senjata
itu.

Pada suatu jalan setapak kampung, ayah kehilangan


keseimbangan setelah terpeleset kerikil. Ketika ayah hendak
bangun, Pak Ali sudah berdiri di belakangnya dan
menancapkan sabitnya itu ke punggung ayah. Ayah menjerit
namun tetap melanjutkan untuk berlari. Beruntung ayah
menemukan warung kopi yang buka dan berlindung disana
diantara para warga lain.
Akibat insiden itu, ayah sempat demam dan
memerlukan perawatan di lukanya. Hal itulah yang membuat
ayah tidak bisa menelpon kami untuk beberapa waktu.

Awalnya Pak Ali akan dibawa ke kepolisian. Namun


kakek meminta ayah dan Pak Ali berdamai. Dihadapan kakek,
keduanya bersalaman namun masih enggan bermaafan satu
sama lain. Bahkan Pak Ali sempat berkata

“ Den ndak pantiang ang maafan den atau indak.


Intinyo kini, Bisa ang ndak manampakan muko ang jo keluarga
ang disiko lai?” (Saya gak peduli kamu maafkan saya atau
tidak. Intinya sekarang, Bisa gak kamu dan keluargamu tidak
memperlihatkan lagi muka kalian di kampung ini?) tanyanya
sinis.

Ayah tidak menjawab saat itu. Namun keesokan


harinya kakek menyarankan untuk ayah pulang saja dan biar
urusan Tante Lisa dilanjutkan oleh kakek dan Pak Ali, selain itu
ada Pak Panji yang bisa membantu juga sesekali saat tidak
bekerja. Dari saran itu, ayah akhirnya memutuskan kembali ke
Jakarta.

***
Ayah menceritakan semuanya kepadaku dan ibu. Ibu
nampak begitu khawatir melihat luka ayah sekaligus kejadian
yang terjadi di kampung.

“Untuak salanjuiknyo... ndak diam wak pulang dulu yo


da.. bahayo..” ( untuk selanjutnya, gausah kita pulang dulu ya
bang. Bahaya..) ujar ibu.

Ayah mengangguk pelan. Kepulangan kami hanya


akan membuka lagi luka lama keluarga di kampung terutama
pak Ali. Aku berharap, di kampung tante Lisa bisa segera
sembuh untuk setidaknya membuat Pak Ali menjadi lebih baik
lagi..

Namun nyatanya harapan hanyalah sebuah harapan..


2009 ibu meninggal dunia karena sakit, dua tahun kemudian
ayah menyusul ibu akibat pecah pembuluh darah.
Pertengahan 2011, saat umurku baru 17 tahun dan Diana 12
tahun, kami sudah menjadi yatim piatu. Selain itu di tahun
sebelumnya, 2006, nenek meninggal dunia karena penyakit
diabetes yang ia derita.

Ketika ayah meninggal, Pak Panji datang melayat ke


rumah kami di Jakarta. Saat itu beliau menawarkan kami untuk
kembali ke kampung dan menjadi “anak” Pak Panji dan Tante.
Awalnya kami ragu, namun sepertinya tidak ada pilihan lain.
Kami belum bisa membiayai diri kami sendiri dan tidak ada
saudara dekat yang berada di Jakarta. Seluruh adik kakak
mendiang ayah dan ibu berada di kampung. Sementara
keluarga ibu tidak bisa kami harapkan karena satu dan lain hal
yang berhubungan privasi keluarga.

Akhirnya kami mengiyakan tawaran tersebut dengan


syarat aku menyelesaikan dulu SMAku di Jakarta, lalu aku akan
berusaha mendapatkan univeristas di Sumatera Barat. Pak
Panji menyetujuinya dan selama satu semester sisa
persekolahanku di Jakarta, beliau membiayai uang saku
sekolahku dan Diana.

Selama satu semester itu aku dan Diana hidup dalam


kesederhanaan. Kami sama sekali tidak ingin meminta lebih
dari apa yang pak Panji berikan kepada kami. Kami makan
seadanya dan tidak membeli barang barang apapun yang tidak
penting. Alhamdulillah perjuanganku berhasil, aku diterima di
Universitas Andalas, Padang. Itu juga menjadi jalanku hingga
akhirnya memantapkan diri untuk tinggal di kampung.

Aku segera mengabari pak Panji bahwa aku diterima


di Unand. Beberapa Minggu kemudian Pak Panji datang lagi ke
Jakarta dan membantu kami untuk berkemas. Barang barang
kenanganku dengan ayah dan ibu, aku bawa pulang ke
kampung. Sementara beberapa perabotan rumah
ditinggalkan karena rencananya rumah tersebut akan
dikontrakan.

Kepulanganku itu akan menjadi awal mula kisah


mengerikan yang kualami sendiri dan tidak akan pernah
kulupakan hingga kini..

….Bersambung bagian 3…
Hallo mwvers!

Terima kasih sudah mensupport mystic wave dengan mendownload cerita


ini. Apresiasi dari kalian sangat berharga demi terus berlangsungnya akun
membagikan kisah horror, tragedi dan informasi

Nantikan cerita cerita berikutnya dari seluruh narasumber di


Indonesia!

Temukan mystic wave di platform lainnya :

Instagram : @mwv.mystic

Twitter : @mwv_mystic

Youtube : Mwv Mystic Channel

TikTok : @mwv.mystic

Saweria : saweria.co/mwvmystic

Jika ingin mengangkat cerita ini ke platform lain, harap hubungi


admin untuk syarat dan ketentuannya di mwv.story@gmail.com

DILARANG MEMPERJUALBELIKAN ATAU MENCETAK ULANG CERITA


INI UNTUK TUJUAN KOMERSIL. HARGAI HAK KEKAYAAN
INTELEKTUAL PENULIS

Anda mungkin juga menyukai