Anda di halaman 1dari 4

“ Manusia itu buta. Ya, buta akan rasa.

mengabaikan saat pipinya masih merah merona,


kemudian menyesal saat bibirnya telah berwarna biru dan tubuhnya terbujur kaku,
mengabaikan saat masih ada hawa nafas pada ujung batang hidungnya, kemudian
menangisi nisan yang notabene adalah benda mati. Manusia itu buta, Ketika perhatiannya
tertuju pada penantian kabar dari seseorang yang sudah terlihat kabur.”
Kata orang, maut itu misteri, tapi tak ada lagi yang rahasia tentang maut seorang kakek tua
yang sudah berhari-hari tak bangkit dari pembaringannya. Bahkan aku yang saat itu baru
kelas 5 SD tahu bahwa sebentar lagi orang-orang akan berkumpul di rumah ini bukan untuk
menengok orang sakit dan mendoakan kesembuhannya, melainkan melayat seorang
almarhum dan mendoakan ketabahan bagi orang-orang yang ditinggalkannya. Termasuk
aku, orang-orang yang ditinggalkan itu.

Tidak ada yang rahasia tentang maut kakek buyut ku .Sejak tiga hari sebelumnya, anak-
anaknya, terutama yang perempuan, sudah berkumpul di rumah Kakek untuk bergiliran
menjaganya. Memberinya makan dan minum sesendok demi sesendok. Juga bergantian
membaca kitab suci dan doa-doa.

Malam itu, beberapa jam sebelum waktunya makan malam, para ibu-ibu yang biasanya rajin
berselisih itu menjadi sebuah paduan suara yang memecahkan kesunyian malam dengan
tangisan mereka. Di antara semua tangisan tersebut, aku mengenali dengan mudah dua di
antaranya. Tangisan nenek dan ibuku. Mereka menangis paling keras.

Baru bertahun-tahun kemudian aku mengerti bahwa tangisan mereka tidak hanya terbuat
dari kehilangan dan rasa sedih, melainkan juga rasa bersalah. Ibu menceritakan kisah itu
ketika aku kelas 7 SMP Ibu dan Nenek pernah datang pada orang pintar, orang pintar itu
berkata "Tidak lama lagi kakek akan meninggal". Rasa lelah yang mereka rasakan selama
mengurus Kakek membuat keduanya merasa lega.Perasaan lega itu rupanya berubah jadi
perasaan berdosa ketika Kakek benar-benar meninggalkan dunia.

Mungkin pada malam kematian Kakek, mereka membayangkan betapa hari-harinya akan
sepi tanpa ada lagi orang yang membuat mereka malu karena berjalan ke teras tanpa
memakai baju. Mungkin mereka teringat berapa kali mereka kehilangan kesabaran ketika
mengurus kakek. Mungkin mereka teringat hari-hari ketika mereka bertengkar tentang siapa
yang kebagian giliran untuk mencuci celana Kakek yang dipenuhi kotoran.

Rumah yang kami tempati berbentuk seperti persegi panjang yang ditempelkan dengan
persegi berukuran lebih kecil. Aku tidur di bagian persegi kecil itu. Suara tangisan berasal
dari ruang tengah di bagian persegi panjang.Jadi seperti ini kondisi rumahmu jika ada
keluarga yang meninggal malam-malam, kataku pada diri sendiri. Aku berdiri di ambang
pintu entah untuk berapa lama, memperhatikan orang-orang tua yang sibuk dengan urusan
mereka masing-masing. Ada yang menangis, ada yang mengaji, ada yang menelepon Pak
Ustad, ada yang berdiskusi tentang waktu pemakaman, pembuatan nisan, dan siapa yang
akan mengambil kain kafan juga keranda dari masjid.

Dari sela-sela kerumunan orang-orang, aku melihat tubuh Kakek berbaring tertutup kain.
Sudah berhari-hari Kakek berbaring di tempat yang sama persis dengan tempatnya
berbaring saat ini, tapi tentu saja kali itu berbeda. Keesokan harinya, ia tak akan ada lagi di
sana.

Saat kakek sakit tak seorang pun pernah membawanya berobat ke dokter apalagi rumah
sakit. Orang-orang dewasa yang mengurus Kakek berpuas diri dengan jawaban dari orang
pintar yang mereka datangi: lelembut Kakek sudah tak lagi mendiami tubuhnya. Mungkin
karena dia dijahili oleh saingannya dulu sewaktu masih bekerja.Tak ada yang mengira
bahwa Kakek akan berangsur-angsur melupakan segalanya. Ia lupa cara mengancingkan
baju, memakai celana, dan di mana seharusnya membuang hajat.

Hidup keluarga kami yang semula tenang, berubah. Segalanya jadi rumit. Tiba-tiba ada
anak kecil berusia 65 tahun yang memerlukan perhatian penuh. Karena itulah aku tak bisa
marah ketika Kakek juga melupakan aku, melupakan namaku. Padahal sebelumnya, setiap
kali aku datang berkunjung, Kakek akan selalu mengajak ku bercerita. Ia menyambutku
bahkan sebelum aku melewati pintu masuknya.

Ketika Kakek akhirnya meninggal, aku merasa sebetulnya ia telah pergi bahkan jauh
sebelum itu. Mungkin karena itulah aku tidak menangis. Aku telah pernah bersedih ketika
Kakek hanya berdiri di teras pinggir rumah. Aku memanggilnya berkali-kali. "Aku peringkat
satu lagi di kelas," kataku. Namun ketika Kakek akhirnya menoleh, matanya kosong dan
tangannya lunglai tak menyambutku.

Seseorang menyuruhku kembali ke kamar. Aku pikir aku tidak akan bisa tertidur setelah apa
yang terjadi. Namun, rupanya pikiranku tidak terbukti. Aku baru bangun keesokan paginya.
Aku bahkan melewatkan Salat Subuh. Semua orang dewasa sibuk menyiapkan prosesi
pemakaman.

Suasana di ruang tengah sudah lebih teratur ketimbang dini hari sebelumnya. Mata Ibu dan
Nenek masih terus basah tapi mereka sudah tak lagi meraung-raung. Ibu memanggilku
untuk menghampirinya yang sedang duduk tepat di samping kepala Kakek. Ia kemudian
menyuruhku meminta maaf pada Kakek. Ini kesempatan terakhirku, katanya.

Seperti seorang pengisi suara di tayangan kartun Minggu, Ibu mengucapkan permintaan
maaf atas namaku. Aku sebetulnya tak terlalu mengerti dengan apa yang Ibu ucapkan. Aku
hanya ingin minta maaf pada Kakek karena belakangan ini aku semakin jarang
menemuinya. Aku telah menganggapnya seperti orang asing. Aku melupakannya padahal
ingatanku baik-baik saja. Lelembutku masih ada dalam tubuhku. Aku tadinya ingin bertanya,
jika lelembut Kakek sudah sejak lama tidak lagi ada dalam tubuhnya, apakah setelah ia
dimakamkan, lelembut itu akan menemukan jalan pulang?
Aku harap begitu.

Jika benar apa kata orang bahwa hidup itu seperti ujian, berarti apa yang ada setelah
kehidupan seharusnya adalah liburan. Aku berharap bisa segera menuntaskan semua paket
ujianku dan menjalani masa liburan seperti Kakek. Aku akan berkunjung ke rumahnya,
kemudian bilang bahwa aku dapat peringkat satu. Kakek akan duduk di samping ku dan
tertawa. Tak perlu lagi tebak-tebakan. Namaku sudah pulang pada ingatannya.

Kemudian aku akan meminta Kakek untuk bercerita seperti ketika aku kecil dulu.
Dan karena kehidupan berikutnya adalah kehidupan yang baka, itu artinya aku bisa
menjalani liburan yang tak ada habisnya bersama Kakek. Kami tak akan merasa bosan
karena tentu saja, di Surga, Kakek tak pernah kehabisan bahan cerita. Ia mengingat
semuanya.

Anda mungkin juga menyukai